Academia.eduAcademia.edu

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

2018

Maya Novitasari (162 111 290) A. Pendahuluan Perceraian merupakan sesuatu yang dapat timbul atau terjadi karena adanya suatu ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan seperti halnya disebutkan dalam KHI yang menyebutkan bahwa " perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah." , dan undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi " Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Akan tetapi, proses kehidupan yang terjadi terkadang tak jarang yang tidak sesuai dengan apa yang diimpikan. Hambatan serta rintangan pun bermacam-macam dan datang dari segala penjuru. Apabila dalam perkawinan, sepasang suami dan istri tidak kuat dalam menghadapinya, maka biasanya jalan yang ditempuh adalah dengan cara bercerai atau berpisah yang secara hukum dikenal dengan sebutan perceraian. Adanya pengaturan mengenai perkawinan seperti KHI dan UU No 1 Tahun 1974 adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi adanya hubungan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan resmi yang disebut sebagai ikatan perkawinan. Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa adanya perkawinan dapat menimbulkan suatu akibat-akibat yang oleh karena akibat tersebut membutuhkan suatu hukum yang mengaturnya agar tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan di kemudian hari. Meskipun telah diatur sedemikian rupa, ikatan perkawinan juga berakibat dengan adanya putusnya perkawinan juga, yang diantaranya perceraian. Perceraian tersebut akan dilakukan melalui prosedur hukum yang ada. Permasalahannya adalah setiap perceraian atau status cerai yang diinginkan dapat tercapai apabila dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ada.

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Tata Cara Perceraian Dosen Pengampu : Abdullah Tri Wahyudi, S.Ag., SH., MH. Maya Novitasari (162 111 290) A. Pendahuluan Perceraian merupakan sesuatu yang dapat timbul atau terjadi karena adanya suatu ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan seperti halnya disebutkan dalam KHI yang menyebutkan bahwa “ perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.” , dan undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi “ Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Akan tetapi, proses kehidupan yang terjadi terkadang tak jarang yang tidak sesuai dengan apa yang diimpikan. Hambatan serta rintangan pun bermacam-macam dan datang dari segala penjuru. Apabila dalam perkawinan, sepasang suami dan istri tidak kuat dalam menghadapinya, maka biasanya jalan yang ditempuh adalah dengan cara bercerai atau berpisah yang secara hukum dikenal dengan sebutan perceraian. Adanya pengaturan mengenai perkawinan seperti KHI dan UU No 1 Tahun 1974 adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi adanya hubungan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan resmi yang disebut sebagai ikatan perkawinan. Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa adanya perkawinan dapat menimbulkan suatu akibat-akibat yang oleh karena akibat tersebut membutuhkan suatu hukum yang mengaturnya agar tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan di kemudian hari. Meskipun telah diatur sedemikian rupa, ikatan perkawinan juga berakibat dengan adanya putusnya perkawinan juga, yang diantaranya perceraian. Perceraian tersebut akan dilakukan melalui prosedur hukum yang ada. Permasalahannya adalah setiap perceraian atau status cerai yang diinginkan dapat tercapai apabila dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ada. Seperti, syarat bagaimana suatu hubungan diperbolehkan untuk bercerai, alasan-alasan yang diajukan memenuhi atau tidak, tata cara yang dilalui telah sesuai atau tidak, hal ini sangat penting untuk diperhatikan. Karena apabila tidak memenuhi hal-hal tersebut, maka akan menimbulkan kerugian bahwasanya hubungan pernikahan dianggap masih tetap berlangsung. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sumber-sumber Hukum Tata Cara Perceraian di Indonesia? 2. Bagaimana tata cara perceraian di Indonesia? 3. Bagaimana tata cara pemeriksaan perkara cerai talak? 4. Bagaimana tata cara pemeriksaan perkara cerai gugat? 5. Bagaimana tahap pembuatan gugatan dan permohonan? C. Tujuan Masalah 1. Dapat mengetahui sumber-sumber hukum tata cara perceraian di Indonesia 2. Dapat mengetahui tata cara perceraian di Indonesia 3. Dapat mengetahui tata cara pemeriksaan cerai talak 4. Dapat mengetahui tata cara pemeriksaan cerai gugat 5. Dapat mengetahui tahap pembuatan gugatan dan permohonan BAB II Pembahasan A. Sumber hukum tata cara perceraian di indonesia 1. Sumber hukum menurut ahli Pada umumnya, para ahli hukum di indonesia membedakan sumber hukum ke dalam 2 macam yakni sumber hukum materil dan sumber hukum formal. a. Sumber hukum materil adalah tempat darimana materil hukum diambil. Atau lebih tepat dikatakan sumber hukum materil adalah suatu tempat pengambilan aturan (hukum) yang berasal dari masyarakat sendiri, berupa kaedah-kaedah/ nilai yang hidup dalam masyarakat , seperti kaedah kebiasaan yang disebut dengan adat/hukum adat. b. Sumber hukum formal Sumber hukum formal adalah tempat pengambilan aturan (hukum) secara langsung yang dapat mengikat masyarakat. Pengaturan aturan secara langsung artinya yaitu suatu aturan telah tersedia dalam bentuk produk hukum pemerintah seperti UU,PP,Perda, dsb.dengan demikian hakim tinggal membuka kitab-kitab/buku-buku perundang-undang. Misalnya kasus pencurian tinggal membuka kitab hukum pidana. B. Tata cara Perceraian Di Indonesia Sejalan dengan prinsip atau asas undang-undang perkawinan untuk mempersulit terjadinya perceraian, maka perceraiannya hanya dapat di lakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Undang-Undang Peradilan Agama selanjutnya disingkat UUPA pasal 65 jo. Pasal 115 KHI) . Adapun tata cara dan prosedurnya dibedakan ke dalam 2 macam yaitu : 1. Cerai talak ( permohonan ) Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) menyatakan seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Pada rumusan Pasal 14 PP Nomor 9 tahun 1975 dijelaskan mengenai pengadilan tempat permohonan itu diajukan, yaitu seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Langkah berikutnya adalah pemeriksaan oleh pengadilan, yang dalam pasal 68 undang-undang perkawinan yang menjelaskan bahwa : a. Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat- lambatnya 30 hari setelah berkas atau permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan. b. Pemeriksaan permohonan cerai talak, dilakukan dalam sidang tertutup. Langkah berikutnya diatur dalam UUPA Pasal 70 sebagaimana dirinci dalam pasal 16 PP Nomor 9 tahun 1975: a. Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak, tidak mungkin lagi didamaikan, dan telah cukup alasan perceraian maka pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan. b. Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) istri dapat mengajukan banding. c. Setelah penetapan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. d. Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya. e. Apabila istri telah mendapat panggilan secara sah dan patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirimkan wakilnya dapat mengucapkan talak tanpa dihadiri istri atau wakilnya. f. Jika suami dalam tenggang waktu 6 bukan sejak hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan secara sah dan patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian dapat diajukan kembali berdasarkan alasan yang sama. 2. Cerai Gugat Cerai gugat yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan istri atau kuasa hukumnya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri), kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa izin tergugat (suami). Dalam hal penggugat dan tergugat berdomisili di luar negri maka gugatan dilangsungkan ditempat perkawinan mereka dilangsungkan atau pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 Undang-Undang Perkawinan). Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, penggugat cukup menyapaikan salinan putusan pengadilan yang berwenang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. (Pasal 74 Undang-undang Perkawinan). C. Tata Cara Pemeriksaan Perkara Cerai Talak Cerai talak adalah salah salah satu bentuk cara yang di benarkan hakim islam memutuskan akad nikah antara suami istri. Dalam pengkajian fiqih seperti yang bersumber dari hadis yang di riwayatkan Abu Daud dan Ibnu Majah. Kamus istilah agama menulis “talak berarti melepaskan ikatan., yaitu melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan secara suka rela ucapan talak kepada istrinya, dengan kata-kata yang jelas/sharih ataupun dengan katakata sindiran/kinayah”. 1. Pemohon Suami,Termohon Istri Apabila suami hendak mencerai istri,boleh. Jalur hukum yang harus ditempuh melalui gugat permohonan kepengadilan agama, menurut ketentuan pasal 66 ayat 1 jo.pasal 67 huruf a, dalam perkara cerai talak tidak bisa dilakukan secara sepihak, tapi harus bersifat dua pihak dalam kedudukan: -suami sebagai pihak “pemohon”, dan -istri sebagai pihak “termohon”. Meskipun pasal 66 ayat 1 masih tetap beranjak dari siap, seolah-olah pemerikasa perkara cerai hanya sekedar persidangan guna menyaksikan ikrar talak, hal itu tidak mengurangi kewewenangan pengadilan agama mengucapakan ikrar talak. umtuk mengabulkan atau tidak permintaaan izin Sebagian berkemutlakan hak usrusan pribadi suami dalam kebolehan talak sebagaian besar beralih ketangan pengadilan. Boleh atau tidaknya suami mentalak istri , tergantung pada penilaian dan pertimbangan pengadilan, setelah pengadilan mendengar sendiri pendapat dari bantahan istri, istri bukan objek yang pasif lagi dalam cerai talak, istri mempunyai hak penuh untuk membela kepentingannya dalam proses pemeriksaan persidangan yang bersifat “contraictoir” dalam kedudukannya sebagi pihak termohon. Istri berhak mengajukan duplik.dia berhak mengajukan alat-alat bukti. 2. Formulasi gugat permohonan Undang-undang sendiri menetapkan sifat gugatan atau cerai talak adalah berupa “permohonan”. Hal ini dijelaskan dalam pasal 66 ayat 1. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan “permohonan” kepada pengadilan. Sehingga kalau bertitik tolak dari ketentuan ini, seolah-olah menyamakan gugat cerai talak dengan gugat yang bersifat volunter. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi sifat contentiosa yang terkandung di dalamnya. Maka ditempatkanlah kedudukan istri sebagai pihak termohon dan pemeriksaannya dilakukan dalam proses contadictoir. Formulasi gugat permohonan dalam perkara cerai talak, berpedoman kepada ketentuan pasal 67 dan pasal 66 ayat 5. Jika kedua ketentuan tersebut diterapkan dalam formulasi gugat permohonan, undang-undang membenarkan “kumulasi” gugat dalam perkara cerai talak. Diperbolehkan menggabung dan gugat pokok dalam suatu gugatan, dalam suatu proses pemeriksaan yang sama serta dituangkan dalam keputusan yang sama yakni kebolehan menggabung gugat cerai talak dengan gugat pembagian harta bersama. Penggabungan antara kedua gugatan tersebut selama ini, merupakan tabu dalam praktek peradilan. Kebolehan atas gugat yang seperti itu memberi kemungkinan bagi suami untuk memformulasi gugat dalam dua cara. Pertama, gugat permohonan benar-benar murni sebagai gugat cerai talak. Jika alternatif itu yang dipilihnya, gugat permohonan cukup berisi formulasi: a. Mencantumkan identitas pemohon (suami) dan termohon (istri) berupa: nama, umur, dan tempat kediaman. b. Posita gugat yakni alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak sebagaimana yang dirinci secara limitatif dalam pasal 19 PP. No. 9 Tahun 1975 jo. Penjelasan pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974: 1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebgaianya yang sukar disembuhkan . 2) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. 3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap yang lain. 5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebgaia suami atau istri. 6) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. c. Petitum gugat, yang meminta perkawinan diputuskan serta memberi izin kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak di sidang Pengadilan. 3. Kompetensi mengadili cerai talak Kompetensi relatif mengadili gugat cerai talak diatur dalam pasal 66. Dengan demikian agar gugatan tidak salah alamat, gugat cerai talak harus diajukan suami kepada Pengadilan Agama berpedoman kepada petunjuk yang ditentukan dalam pasal 66 tersebut. Memperhatikan ketentuan yang digariskan dalam pasal tersebut, faktor utama menentukan kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam perkara cerai talak, didasarkan pada “tempat kediaman termohon”. Berarti dipegang asas “ actor sequitur forum rei”. Kemudian faktor ini dibarengi dengan beberapa ketentuan tambahan, yang dapat dirinci sebagai berikut. a. Aturan pokok : gugat permohonan cerai talak diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi “tempat kediaman termohon”. b. Aturan tambahan : pengajuan gugat dapat menyimpang dari aturan pokok disebabkan keadaan tertentu. 1) Gugat dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang meliputi daerah hukum tempat kediaman “pemohon” (suami) dalam hal termohon (istri) sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama. 2) Gugat diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman “pemohon” dalam hal termohon bertempat kediaman di “luar negeri”. 3) Gugat diajukan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat atau kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan. D. Tata Cara Pemeriksaan Cerai Gugat Bentuk perceraian lain yang diatur dalam undang-undnag ialah bentuk “cerai gugat”. Bentuk cerai gugat diatur dalam Bab IV bagian kedua paragraf 3. Pada dasarnya proses pemeriksaan perkara cerai gugat tidak banyak berbeda dengan cerai talak. Oleh karena itu dalam uraian mengenai cerai gugat, hanya membahas hal-hal yang berlainan dengan cerai talak. 1. Penggugat istri, tergugat suami Pasal 73 ayat 1 telah menetapkan secara permanen bahwa dalam perkara cerai gugat, yang bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat adalah “istri”. Pada pihak lain, “suami” ditempatkan sebagai pihak tergugat. Dengan dmeikian, masing-masing suami telah mempunyai jalur tertentu dalam upaya menuntut perceraian. Jalur suami upaya cerai talak dan jalur istri melalui upaya cerai gugat. Kalau upaya cerai gugat dihubungkan dengan tata tertib beracara yang diatur dalam hukum acara, cerai gugat benar-benar murni bersifat “contentiosa”. Ada sengketa yakni sengketa perkawinan yang menyangkut perkara perceraian. Ada pihak-pihak yang sama-sama berdiri sebagai subjek perdata. Istri sebagai pihak penggugat, dan suami sebagai pihak tergugat. Oleh karena sifat gugatan bersifat contentiosa, serta pihak-pihak terdiri dari dua subjek yang saling berhadapan dalam kedudukan hukum yang sama derajat, proses pemeriksaan cerai gugat benar-benar murni bersifat “contradictoir”. Kalau begitu, dari segi hukum acara perdata, dalam perkara cerai gugat, telah terpenuhi persyaratan yang memungkinkan penjatuhan putusan yang mengandung amar “condemnatoir”. Penjatuhan putusan yang mengandung condemnnatoir semakin besar kesempatannya bila dihubungkan dengan ketentuan pasal 86 ayat 1 yang memperbolehkan penggabungan gugatan cerai gugat dengan penguasaan anak, nafkah dan pembagian harta bersama. Terlepas dari penegasan yang menyatakan cerai gugat bersifat contentiosa bersifat contracdictoir namun dalam cerai gugat yang berbentuk “khuluk”, penyelesaian hukumnya akan diakhiri dengan tat cara cerai talak. Seolah-olah kedua bentuk upaya perceraian bertemu. Prosesnya mula-mula mengikuti tata cara cerai gugat, tapi akhir penyelesaian perkaranya diakhiri dengan tata cara cerai talak. Pertemuan kedua bentuk upaya perceraian bisa terjadi dalam cerai gugat khuluk, karena tuntutan hukum islam yang terkandung dalam khuluk itu sendiri. Menurut hukum islam, khuluk adalah hak istri untuk mengajukan tuntutan perecraian kepada suami dengan cara suami bersedia menolak istri dengan suatu imbalan “penggantian” atau iwadl, misalnya seorang istri tidak suka lagi kepada suami. Barangkali suami kurang baik akhlaknya, suka minum-minuman keras atau penjudi. Istri dapat menuntut cerai pada suami dengan membayar atau memberi sejumlah uang atau barang sebagai penebus dirinya. Bila mereka setuju, tata cara penyelesaiannya melalui tata cara talak yang bersifat “talak ba’in”. berarti, sekalipun tuntutan cerai dimulai dengan proses cerai gugat, pemutusan perceraiannya diakhiri dengan tata cara cerai talak melalui pemberian izin kepada suami untuk mengikrarkan talak dalam persidangan persaksian ikrar talak, yang kemudian dikukuhkan dalam bentuk penetapan pengucapan ikrar talak. Memang ada kemungkinan suatu gugatan khuluk tidak terlaksana apabila mereka tidak sepakat mengenai besarnya imbalan tebusan. Sehingga pemeriksaan tetap dilanjutkan melalui proses perkara bisa. Namun hal itu tidak mengurangi kemungkinan terjadianya pertemuan antara cerai gugat dengan cerai talak apabila gugat istri dibarengi dengan bentuk khuluk . 2. Kompetensi relatif perkara cerai gugat Mengenai Pengadilan Agama mana yang kompeten memeriksa perkara cerai gugat diatur dalam pasal 73. Dalam pasal ini telah ditentukan aturan pokok dan aturan tambahan kompetensi relatif mengadili perkara cerai gugat. a. Aturan pokok : gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman “penggugat”. b. Aturan tambahan : kompetensi relatif menyimpang dari aturan pokok dalam hal ada ketentuan tertentu. Apabila ada keadaan-keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan undang-undang, kompetensi relatif mengadili perkara cerai gugat beralih dari pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat ke Pengadilan agama lain sesuai dengan hal yang mengikuti keadaan tersebut. 1) Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama tempat kediaman “tergugat” (suami) apabila istri (penggugat) pergi meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. 2) Gugat diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman “tergugat” dalam hal istri bertempat kediaman di “luar negeri”. 3) Gugatan diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat, apabila suami istri bertempat kediaman di luar negeri. 3. Formulasi Gugatan Cerai Gugat Seperti yang sudah disinggung, perkara cerai gugat adalah perkara yang bersifat “contentiosa”. Yakni perkara yang mengandung “sengketa” perkawinan antara istri sebagai penggugat dengan suami sebagai tergugat. Oleh karena itu, segala ketentuan yang diperbolehkan hukum acara dalam berperkara secara partai, berlaku sepenuhnya dalam formulasi gugatan perceraian. Apalagi jika gugatan cerai gugat dihubungkan dengan pasal 86, yang memperbolehkan gugatan perceraian digabung bersamaan sekaligus dengan gugat penguasaan anak, nafkah, dan pembagian harta bersama seluruh hal-hal yang berkenaan dengan gugat provisi. CB dan petitum yang meminta putusan dapat dijalankan lebih dulu, dapat dirumuskan dalam surat gugatan. Yang penting diingat, jangan sampai gugat mengandung cacat obscur libel. Untuk menghindari cacat obscur libel, formulasi gugat harus disusun secara sistematik dengan cara menempatkan gugatan cerai talak sebagai pokok utama dan gugat yang lain sebagai gugat assesor yang menempel kepada gugatan pokok. Begitu pula mengenai perumusan petitum gugat harus berurut sesuai dengan sistematika formulasi gugat. Dimulai dari petitum pengesahan sita (jika ada diminta), baru menyusul petitum gugat perceraian. Disuusl kemudian dnegan poin petitum penguasaan anak, nafkah dan pembagian harta bersama. Petitum yang tidak teratur dan jungkir balik sehingga tidak sejalar pencantuman urutannya dengan posita gugat, dapat mengakibatkan gugat dianggap tidak sejalan dan sejiwa dengan posita gugat. Mengenai petitum permintaan putusan dapat dijalankan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad), dicantumkan pada poin terakhir petitum, mendahului petitum ongkos perkara. Mengenai alasan dalil perceraian, berpedoman kepada alasan yang dibenarkan pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 jo. Penjelasan pasal 39 UU No. 1 tahun 1974. Hal itu tidak akan diulang penguraiannya. E. Tahap Pembuatan Gugatan dan Permohonan Permohonan atau gugatan pada prinsipnya secara tertulis namun kalau para pihak tidak bisa baca tulis (buta huruf) permohonan/gugatandapat diajukan secara lisan keketua pengadilan agama atau dilimpahkan kepada hakum untuk disusun permohonan/gugatan kemudian dibacakan dan diterangkan maksud dan isinya kepada pihak kemudian ditandatangani oleh ketua pengadilan agama atau hakim yang ditunjuk. Orang yang bisa baca tulis dapat menyampaikan gugatannya secara lisan kepada pengadilan agama dengan menyampaikan maksudnya kepada petugas pengadilan agama untuk dibuatkan permohonan/gugatan oleh yang bersangkutan dan ditandatangani oleh yang bersangkutan. Permohonan/gugatan yang dibuat sendiri oleh yang bersangkutan ditandatangani oleh yang bersangkutan dan permohonan/gugatan yang dibuat oleh kuasa ditandatangani oleh kasusnya. Membuat permohonan pada dasarnya memuat: - Identitas pemohon; - -uraian kejadian (posita); - - permohonan (petitum).. Isi gugatan secara garis besar memuat hal-hal sebagai berikut: a. Identitas para pihak Identitas para pihak meliputi nama,alamat, umur, pekerjaan, ama, kewarganegaraan. Pencantuman nama lengkap, gelar, panggilan atau alias. Alamat harus terang dan jelas terutama penyebutan alamat tergugat agar memudahakan pemanggilan dantergugat mempertahankan hak-haknya, umur dicantumkan dakam kaitannya apakah para pihak cakap melakukan perbuatan hukum. Pencantuman agama erat kaitannya dengan pihak yang berperkara dipengadilan agama yaitu orang-orang yang beragama islam. Pekerjaan dan kewarganegaraan dapat dicantumkan untuk mempertegas identitas para pihak. b. Uraian kejadian (posita) Berisi uraian kejadian atau fakta-faktayang menjadi dasar adanya sengketa yang terjadi (recht feitum) dan hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan (recht gronden). Posita disebut juga fundamentum petendi. Posita gugatan dibuat dengan ringkas, jelas, dan terinci mengenai dall-dalil yang berhubungan dengan perkara. Antara posita satu dengan posita lainnya harus singkron dan tudak boleh saling bertentangan. Posita yang satu sama lainnya saling bertentangan akan mengakibatkan gugajan menjadi kabur atau obscur libel. c. Permohonan (petitum) Petitum atau tuntutan berisi rincian apa saja yang diminta dan diharapkan penggugat untuk dinyatakan dalam putusn penetapan kepada para pihak terutama pihak tergugat putusan perkara. dalam Tuntutan yang diminta untuk diputuskanharus berdasarkan posita yang diuraikan. Tuntutan yang tidak berdasarkan posita sebelumnya mengakibatkan tuntutan tidak diterima atau tidak dikabulkan. Posita yang diuraikan ternyata tidak diajukan tuntutan maka gugatan akan menjadi sia-sia karena hakim tidak berwenang memutus apa yang tidak dituntut oleh para pihak yang berperkara. Tuntutan terdiri dara dua hal yaitu tuntutan primair dan tuntutan subsidair. Tuntutan premair adalah tuntutan yang merupakan tuntutan terhadap gugatan pokok sedangkan tuntutan subsidair adalah tuntutan yang merupakan tuntutan alternatif atau pengganti yang biasanya tuntutan subsidair dirumuskan dengan “mohon putusan yang seadil-adilnya”. Secara sistematis susunan gugatan sebagai berikut: a. Nama kota dimana gugatan dibuat berikut tanggalnya; b. Alamat ketuapengadilan agama yang berwewenang memeriksa perkara; c. Identitas para pihak berikut penegasan kedudukan para pihak sebagai penggugat atau tergugat; d. Posita; e. Tuntutan (petitum); f. Tanda tangan penggugat atau kuasanya. BAB III Kesimpulan Berdasarkan pembahasan sebagaimana tersebut di atas maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut: Pada umumnya, para ahli hukum di indonesia membedakan sumber hukum ke dalam 2 macam yakni sumber hukum materil dan sumber hukum formal. Sumber hukum materil adalah tempat darimana materil hukum diambil. Atau lebih tepat dikatakan sumber hukum materil adalah suatu tempat pengambilan aturan (hukum) yang berasal dari masyarakat sendiri, berupa kaedah-kaedah/ nilai yang hidup dalam masyarakat , seperti kaedah kebiasaan yang disebut dengan adat/hukum adat. Sumber hukum formal adalah tempat pengambilan aturan (hukum) secara langsung yang dapat mengikat masyarakat. Pengaturan aturan secara langsung artinya yaitu suatu aturan telah tersedia dalam bentuk produk hukum pemerintah seperti UU,PP,Perda, dsb.dengan demikian hakim tinggal membuka kitab-kitab/buku-buku perundang-undang. Misalnya kasus pencurian tinggal membuka kitab hukum pidana. Tata cara perceraian di Indonesia itu meliputi cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak ( permohonan ) Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) menyatakan seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Sedangkan cerai gugat yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan istri atau kuasa hukumnya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri), kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa izin tergugat (suami). Dalam hal penggugat dan tergugat berdomisili di luar negri maka gugatan dilangsungkan ditempat perkawinan mereka dilangsungkan atau pengadilan Agama Jakarta Pusat. Tahap Pembuatan Gugatan dan Permohonan, Permohonan atau gugatan pada prinsipnya secara tertulis namun kalau para pihak tidak bisa baca tulis (buta huruf) permohonan/gugatandapat diajukan secara lisan keketua pengadilan agama atau dilimpahkan kepada hakum untuk disusun permohonan/gugatan kemudian dibacakan dan diterangkan maksud dan isinya kepada pihak kemudian ditandatangani oleh ketua pengadilan agama atau hakim yang ditunjuk.Orang yang bisa baca tulis dapat menyampaikan gugatannya secara lisan kepada pengadilan agama dengan menyampaikan maksudnya kepada petugas pengadilan agama untuk dibuatkan permohonan/gugatan oleh yang bersangkutan dan ditandatangani oleh yang bersangkutan. DAFTAR PUSTAKA Abdullah Tri Wahyudi,Hukum Acara Peradilan Agama, CV. Mandar Maju, Bandung:2018 Abdullah Tri Wahyudi, 2018, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-surat Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, Bandung: Mandarmaju Drs. Shodiq SE, H. Shalahuddin Chaery BA, CV. Sienttarama, Jakarta: 1998 Harahap Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, Jakarta: 1989 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT. Intermasa 1989 Yuswirman, Produser Gugat Cerai: Jakarta PT. Buku Kita 2001