HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Tata Cara Perceraian
Dosen Pengampu : Abdullah Tri Wahyudi, S.Ag., SH., MH.
Maya Novitasari (162 111 290)
A.
Pendahuluan
Perceraian merupakan sesuatu yang dapat timbul atau terjadi karena adanya suatu ikatan
perkawinan. Ikatan perkawinan seperti halnya disebutkan dalam KHI yang menyebutkan
bahwa “ perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.” , dan undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
yang berbunyi “ Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Akan tetapi, proses kehidupan
yang terjadi terkadang tak jarang yang tidak sesuai dengan apa yang diimpikan. Hambatan
serta rintangan pun bermacam-macam dan datang dari segala penjuru. Apabila dalam
perkawinan, sepasang suami dan istri tidak kuat dalam menghadapinya, maka biasanya jalan
yang ditempuh adalah dengan cara bercerai atau berpisah yang secara hukum dikenal dengan
sebutan perceraian.
Adanya pengaturan mengenai perkawinan seperti KHI dan UU No 1 Tahun 1974 adalah
untuk memberikan perlindungan hukum bagi adanya hubungan yang dilakukan oleh seorang
laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan resmi yang disebut sebagai ikatan perkawinan.
Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa adanya perkawinan dapat menimbulkan suatu
akibat-akibat yang oleh karena akibat tersebut membutuhkan suatu hukum yang mengaturnya
agar tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan di kemudian hari.
Meskipun telah diatur sedemikian rupa, ikatan perkawinan juga berakibat dengan adanya
putusnya perkawinan juga, yang diantaranya perceraian. Perceraian tersebut akan dilakukan
melalui prosedur hukum yang ada. Permasalahannya adalah setiap perceraian atau status cerai
yang diinginkan dapat tercapai apabila dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ada.
Seperti, syarat bagaimana suatu hubungan diperbolehkan untuk bercerai, alasan-alasan yang
diajukan memenuhi atau tidak, tata cara yang dilalui telah sesuai atau tidak, hal ini sangat
penting untuk diperhatikan. Karena apabila tidak memenuhi hal-hal tersebut, maka akan
menimbulkan kerugian bahwasanya hubungan pernikahan dianggap masih tetap berlangsung.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sumber-sumber Hukum Tata Cara Perceraian di Indonesia?
2.
Bagaimana tata cara perceraian di Indonesia?
3.
Bagaimana tata cara pemeriksaan perkara cerai talak?
4.
Bagaimana tata cara pemeriksaan perkara cerai gugat?
5.
Bagaimana tahap pembuatan gugatan dan permohonan?
C.
Tujuan Masalah
1.
Dapat mengetahui sumber-sumber hukum tata cara perceraian di Indonesia
2.
Dapat mengetahui tata cara perceraian di Indonesia
3.
Dapat mengetahui tata cara pemeriksaan cerai talak
4.
Dapat mengetahui tata cara pemeriksaan cerai gugat
5.
Dapat mengetahui tahap pembuatan gugatan dan permohonan
BAB II
Pembahasan
A.
Sumber hukum tata cara perceraian di indonesia
1.
Sumber hukum menurut ahli
Pada umumnya, para ahli hukum di indonesia membedakan sumber hukum ke dalam 2
macam yakni sumber hukum materil dan sumber hukum formal.
a.
Sumber hukum materil adalah tempat darimana materil hukum diambil. Atau lebih
tepat dikatakan sumber hukum materil adalah suatu tempat pengambilan aturan (hukum)
yang berasal dari masyarakat sendiri, berupa kaedah-kaedah/ nilai yang hidup dalam
masyarakat , seperti kaedah kebiasaan yang disebut dengan adat/hukum adat.
b.
Sumber hukum formal
Sumber hukum formal adalah tempat pengambilan aturan (hukum) secara langsung yang
dapat mengikat masyarakat. Pengaturan aturan secara langsung artinya yaitu suatu aturan
telah tersedia dalam bentuk produk hukum pemerintah seperti UU,PP,Perda, dsb.dengan
demikian hakim tinggal membuka kitab-kitab/buku-buku perundang-undang. Misalnya kasus
pencurian tinggal membuka kitab hukum pidana.
B.
Tata cara Perceraian Di Indonesia
Sejalan dengan prinsip atau asas undang-undang perkawinan untuk mempersulit terjadinya
perceraian, maka perceraiannya hanya dapat di lakukan di depan sidang pengadilan, setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
(Undang-Undang Peradilan Agama selanjutnya disingkat UUPA pasal 65 jo. Pasal 115 KHI)
.
Adapun tata cara dan prosedurnya dibedakan ke dalam 2 macam yaitu :
1.
Cerai talak ( permohonan )
Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA)
menyatakan seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan
ikrar talak.
Pada rumusan Pasal 14 PP Nomor 9 tahun 1975 dijelaskan mengenai pengadilan tempat
permohonan itu diajukan, yaitu seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan
menurut Agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan
tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya
disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk
keperluan itu.
Langkah berikutnya adalah pemeriksaan oleh pengadilan, yang dalam pasal 68
undang-undang perkawinan yang menjelaskan bahwa :
a.
Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-
lambatnya 30 hari setelah berkas atau permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.
b.
Pemeriksaan permohonan cerai talak, dilakukan dalam sidang tertutup.
Langkah berikutnya diatur dalam UUPA Pasal 70 sebagaimana dirinci dalam pasal 16 PP
Nomor 9 tahun 1975:
a.
Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak, tidak mungkin lagi
didamaikan, dan telah cukup alasan perceraian maka pengadilan menetapkan bahwa
permohonan tersebut dikabulkan.
b.
Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) istri dapat
mengajukan banding.
c.
Setelah penetapan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap, pengadilan
menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau
wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.
d.
Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta
otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau
kuasanya.
e.
Apabila istri telah mendapat panggilan secara sah dan patut, tetapi tidak datang
menghadap sendiri atau tidak mengirimkan wakilnya dapat mengucapkan talak tanpa dihadiri
istri atau wakilnya.
f.
Jika suami dalam tenggang waktu 6 bukan sejak hari sidang penyaksian ikrar talak
tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat
panggilan secara sah dan patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian
dapat diajukan kembali berdasarkan alasan yang sama.
2.
Cerai Gugat
Cerai gugat yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan istri atau kuasa hukumnya kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri), kecuali
apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa izin tergugat
(suami). Dalam hal penggugat dan tergugat berdomisili di luar negri maka gugatan
dilangsungkan ditempat perkawinan mereka dilangsungkan atau pengadilan Agama Jakarta
Pusat (Pasal 73 Undang-Undang Perkawinan).
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara,
maka untuk memperoleh putusan perceraian, penggugat cukup menyapaikan salinan putusan
pengadilan yang berwenang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan
bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. (Pasal 74 Undang-undang
Perkawinan).
C.
Tata Cara Pemeriksaan Perkara Cerai Talak
Cerai talak adalah salah salah satu bentuk cara yang di benarkan hakim islam memutuskan
akad nikah antara suami istri. Dalam pengkajian fiqih seperti yang bersumber dari hadis
yang di riwayatkan Abu Daud dan Ibnu Majah. Kamus istilah agama menulis “talak berarti
melepaskan ikatan., yaitu melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan secara suka
rela ucapan talak kepada istrinya, dengan kata-kata yang jelas/sharih ataupun dengan katakata sindiran/kinayah”.
1.
Pemohon Suami,Termohon Istri
Apabila suami hendak mencerai istri,boleh. Jalur hukum yang harus ditempuh melalui gugat
permohonan kepengadilan agama, menurut ketentuan pasal 66 ayat 1 jo.pasal 67 huruf a,
dalam perkara cerai talak tidak bisa dilakukan secara sepihak, tapi harus bersifat dua pihak
dalam kedudukan:
-suami sebagai pihak “pemohon”, dan
-istri sebagai pihak “termohon”.
Meskipun pasal 66 ayat 1 masih tetap beranjak dari siap, seolah-olah pemerikasa perkara
cerai hanya sekedar persidangan guna menyaksikan ikrar talak, hal itu tidak mengurangi
kewewenangan pengadilan agama
mengucapakan ikrar talak.
umtuk mengabulkan atau tidak
permintaaan izin
Sebagian berkemutlakan hak usrusan pribadi suami
dalam
kebolehan talak sebagaian besar beralih ketangan pengadilan. Boleh atau tidaknya suami
mentalak istri , tergantung pada penilaian dan pertimbangan pengadilan, setelah pengadilan
mendengar sendiri pendapat dari bantahan istri, istri bukan objek yang pasif lagi dalam cerai
talak, istri mempunyai hak penuh untuk
membela kepentingannya dalam proses
pemeriksaan persidangan yang bersifat “contraictoir” dalam kedudukannya sebagi pihak
termohon. Istri berhak mengajukan duplik.dia berhak mengajukan alat-alat bukti.
2.
Formulasi gugat permohonan
Undang-undang sendiri menetapkan sifat gugatan atau cerai talak adalah berupa
“permohonan”. Hal ini dijelaskan dalam pasal 66 ayat 1. Seorang suami yang beragama Islam
yang akan menceraikan istrinya mengajukan “permohonan” kepada pengadilan. Sehingga
kalau bertitik tolak dari ketentuan ini, seolah-olah menyamakan gugat cerai talak dengan
gugat yang bersifat volunter. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi sifat contentiosa
yang terkandung di dalamnya. Maka ditempatkanlah kedudukan istri sebagai pihak termohon
dan pemeriksaannya dilakukan dalam proses contadictoir.
Formulasi gugat permohonan dalam perkara cerai talak, berpedoman kepada ketentuan pasal
67 dan pasal 66 ayat 5. Jika kedua ketentuan tersebut diterapkan dalam formulasi gugat
permohonan, undang-undang membenarkan “kumulasi” gugat dalam perkara cerai talak.
Diperbolehkan menggabung dan gugat pokok dalam suatu gugatan, dalam suatu proses
pemeriksaan yang sama serta dituangkan dalam keputusan yang sama yakni kebolehan
menggabung gugat cerai talak dengan gugat pembagian harta bersama. Penggabungan antara
kedua gugatan tersebut selama ini, merupakan tabu dalam praktek peradilan. Kebolehan atas
gugat yang seperti itu memberi kemungkinan bagi suami untuk memformulasi gugat dalam
dua cara. Pertama, gugat permohonan benar-benar murni sebagai gugat cerai talak. Jika
alternatif itu yang dipilihnya, gugat permohonan cukup berisi formulasi:
a.
Mencantumkan identitas pemohon (suami) dan termohon (istri) berupa: nama, umur,
dan tempat kediaman.
b.
Posita gugat yakni alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak sebagaimana yang
dirinci secara limitatif dalam pasal 19 PP. No. 9 Tahun 1975 jo. Penjelasan pasal 39 UU No.
1 Tahun 1974:
1)
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain
sebgaianya yang sukar disembuhkan .
2)
Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin
pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.
3)
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
4)
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
terhadap yang lain.
5)
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebgaia suami atau istri.
6)
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
c.
Petitum gugat, yang meminta perkawinan diputuskan serta memberi izin kepada
suami untuk mengucapkan ikrar talak di sidang Pengadilan.
3.
Kompetensi mengadili cerai talak
Kompetensi relatif mengadili gugat cerai talak diatur dalam pasal 66. Dengan demikian agar
gugatan tidak salah alamat, gugat cerai talak harus diajukan suami kepada Pengadilan Agama
berpedoman kepada petunjuk yang ditentukan dalam pasal 66 tersebut. Memperhatikan
ketentuan yang digariskan dalam pasal tersebut, faktor utama menentukan kompetensi relatif
Pengadilan Agama dalam perkara cerai talak, didasarkan pada “tempat kediaman termohon”.
Berarti dipegang asas “ actor sequitur forum rei”. Kemudian faktor ini dibarengi dengan
beberapa ketentuan tambahan, yang dapat dirinci sebagai berikut.
a.
Aturan pokok : gugat permohonan cerai talak diajukan kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi “tempat kediaman termohon”.
b.
Aturan tambahan : pengajuan gugat dapat menyimpang dari aturan pokok disebabkan
keadaan tertentu.
1)
Gugat dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang meliputi daerah hukum tempat
kediaman “pemohon” (suami) dalam hal termohon (istri) sengaja meninggalkan tempat
kediaman bersama.
2)
Gugat diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman “pemohon” dalam hal termohon bertempat kediaman di “luar negeri”.
3)
Gugat diajukan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat atau kepada Pengadilan
Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan.
D.
Tata Cara Pemeriksaan Cerai Gugat
Bentuk perceraian lain yang diatur dalam undang-undnag ialah bentuk “cerai gugat”. Bentuk
cerai gugat diatur dalam Bab IV bagian kedua paragraf 3. Pada dasarnya proses pemeriksaan
perkara cerai gugat tidak banyak berbeda dengan cerai talak. Oleh karena itu dalam uraian
mengenai cerai gugat, hanya membahas hal-hal yang berlainan dengan cerai talak.
1.
Penggugat istri, tergugat suami
Pasal 73 ayat 1 telah menetapkan secara permanen bahwa dalam perkara cerai gugat, yang
bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat adalah “istri”. Pada pihak lain, “suami”
ditempatkan sebagai pihak tergugat. Dengan dmeikian, masing-masing suami telah
mempunyai jalur tertentu dalam upaya menuntut perceraian. Jalur suami upaya cerai talak
dan jalur istri melalui upaya cerai gugat.
Kalau upaya cerai gugat dihubungkan dengan tata tertib beracara yang diatur dalam hukum
acara, cerai gugat benar-benar murni bersifat “contentiosa”. Ada sengketa yakni sengketa
perkawinan yang menyangkut perkara perceraian. Ada pihak-pihak yang sama-sama berdiri
sebagai subjek perdata. Istri sebagai pihak penggugat, dan suami sebagai pihak tergugat. Oleh
karena sifat gugatan bersifat contentiosa, serta pihak-pihak terdiri dari dua subjek yang saling
berhadapan dalam kedudukan hukum yang sama derajat, proses pemeriksaan cerai gugat
benar-benar murni bersifat “contradictoir”. Kalau begitu, dari segi hukum acara perdata,
dalam perkara cerai gugat, telah terpenuhi persyaratan yang memungkinkan penjatuhan
putusan yang mengandung amar “condemnatoir”. Penjatuhan putusan yang mengandung
condemnnatoir semakin besar kesempatannya bila dihubungkan dengan ketentuan pasal 86
ayat 1 yang memperbolehkan penggabungan gugatan cerai gugat dengan penguasaan anak,
nafkah dan pembagian harta bersama.
Terlepas dari penegasan yang menyatakan cerai gugat bersifat contentiosa bersifat
contracdictoir namun dalam cerai gugat yang berbentuk “khuluk”, penyelesaian hukumnya
akan diakhiri dengan tat cara cerai talak. Seolah-olah kedua bentuk upaya perceraian
bertemu. Prosesnya mula-mula mengikuti tata cara cerai gugat, tapi akhir penyelesaian
perkaranya diakhiri dengan tata cara cerai talak. Pertemuan kedua bentuk upaya perceraian
bisa terjadi dalam cerai gugat khuluk, karena tuntutan hukum islam yang terkandung dalam
khuluk itu sendiri. Menurut hukum islam, khuluk adalah hak istri untuk mengajukan tuntutan
perecraian kepada suami dengan cara suami bersedia menolak istri dengan suatu imbalan
“penggantian” atau iwadl, misalnya seorang istri tidak suka lagi kepada suami. Barangkali
suami kurang baik akhlaknya, suka minum-minuman keras atau penjudi. Istri dapat menuntut
cerai pada suami dengan membayar atau memberi sejumlah uang atau barang sebagai
penebus dirinya. Bila mereka setuju, tata cara penyelesaiannya melalui tata cara talak yang
bersifat “talak ba’in”. berarti, sekalipun tuntutan cerai dimulai dengan proses cerai gugat,
pemutusan perceraiannya diakhiri dengan tata cara cerai talak melalui pemberian izin kepada
suami untuk mengikrarkan talak dalam persidangan persaksian ikrar talak, yang kemudian
dikukuhkan dalam bentuk penetapan pengucapan ikrar talak. Memang ada kemungkinan
suatu gugatan khuluk tidak terlaksana apabila mereka tidak sepakat mengenai besarnya
imbalan tebusan. Sehingga pemeriksaan tetap dilanjutkan melalui proses perkara bisa. Namun
hal itu tidak mengurangi kemungkinan terjadianya pertemuan antara cerai gugat dengan cerai
talak apabila gugat istri dibarengi dengan bentuk khuluk .
2.
Kompetensi relatif perkara cerai gugat
Mengenai Pengadilan Agama mana yang kompeten memeriksa perkara cerai gugat diatur
dalam pasal 73. Dalam pasal ini telah ditentukan aturan pokok dan aturan tambahan
kompetensi relatif mengadili perkara cerai gugat.
a.
Aturan pokok : gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman “penggugat”.
b.
Aturan tambahan : kompetensi relatif menyimpang dari aturan pokok dalam hal ada
ketentuan tertentu.
Apabila ada keadaan-keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan undang-undang,
kompetensi relatif mengadili perkara cerai gugat beralih dari pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat ke Pengadilan agama lain sesuai dengan hal
yang mengikuti keadaan tersebut.
1)
Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama tempat kediaman “tergugat” (suami)
apabila istri (penggugat) pergi meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
2)
Gugat diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
“tergugat” dalam hal istri bertempat kediaman di “luar negeri”.
3)
Gugatan diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat, apabila suami istri
bertempat kediaman di luar negeri.
3.
Formulasi Gugatan Cerai Gugat
Seperti yang sudah disinggung, perkara cerai gugat adalah perkara yang bersifat
“contentiosa”. Yakni perkara yang mengandung “sengketa” perkawinan antara istri sebagai
penggugat dengan suami sebagai tergugat. Oleh karena itu, segala ketentuan yang
diperbolehkan hukum acara dalam berperkara secara partai, berlaku sepenuhnya dalam
formulasi gugatan perceraian. Apalagi jika gugatan cerai gugat dihubungkan dengan pasal 86,
yang memperbolehkan gugatan perceraian digabung bersamaan sekaligus dengan gugat
penguasaan anak, nafkah, dan pembagian harta bersama seluruh hal-hal yang berkenaan
dengan gugat provisi. CB dan petitum yang meminta putusan dapat dijalankan lebih dulu,
dapat dirumuskan dalam surat gugatan. Yang penting diingat, jangan sampai gugat
mengandung cacat obscur libel. Untuk menghindari cacat obscur libel, formulasi gugat harus
disusun secara sistematik dengan cara menempatkan gugatan cerai talak sebagai pokok utama
dan gugat yang lain sebagai gugat assesor yang menempel kepada gugatan pokok.
Begitu pula mengenai perumusan petitum gugat harus berurut sesuai dengan sistematika
formulasi gugat. Dimulai dari petitum pengesahan sita (jika ada diminta), baru menyusul
petitum gugat perceraian. Disuusl kemudian dnegan poin petitum penguasaan anak, nafkah
dan pembagian harta bersama. Petitum yang tidak teratur dan jungkir balik sehingga tidak
sejalar pencantuman urutannya dengan posita gugat, dapat mengakibatkan gugat dianggap
tidak sejalan dan sejiwa dengan posita gugat. Mengenai petitum permintaan putusan dapat
dijalankan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad), dicantumkan pada poin terakhir petitum,
mendahului petitum ongkos perkara.
Mengenai alasan dalil perceraian, berpedoman kepada alasan yang dibenarkan pasal 19 PP
No. 9 tahun 1975 jo. Penjelasan pasal 39 UU No. 1 tahun 1974. Hal itu tidak akan diulang
penguraiannya.
E.
Tahap Pembuatan Gugatan dan Permohonan
Permohonan atau gugatan pada prinsipnya secara tertulis namun kalau para pihak tidak bisa
baca tulis (buta huruf) permohonan/gugatandapat diajukan secara lisan keketua pengadilan
agama atau dilimpahkan kepada hakum untuk disusun permohonan/gugatan kemudian
dibacakan dan diterangkan maksud dan isinya kepada pihak kemudian ditandatangani oleh
ketua pengadilan agama atau hakim yang ditunjuk.
Orang yang bisa baca tulis dapat menyampaikan gugatannya secara lisan kepada pengadilan
agama
dengan menyampaikan maksudnya kepada petugas pengadilan agama untuk
dibuatkan permohonan/gugatan oleh yang bersangkutan dan ditandatangani oleh yang
bersangkutan.
Permohonan/gugatan yang dibuat sendiri oleh yang bersangkutan ditandatangani oleh yang
bersangkutan dan permohonan/gugatan yang dibuat oleh kuasa ditandatangani oleh kasusnya.
Membuat permohonan pada dasarnya memuat:
-
Identitas pemohon;
-
-uraian kejadian (posita);
-
- permohonan (petitum)..
Isi gugatan secara garis besar memuat hal-hal sebagai berikut:
a.
Identitas para pihak
Identitas para pihak meliputi nama,alamat, umur, pekerjaan, ama, kewarganegaraan.
Pencantuman nama lengkap, gelar, panggilan atau alias. Alamat harus terang dan jelas
terutama penyebutan alamat tergugat agar memudahakan pemanggilan dantergugat
mempertahankan hak-haknya, umur dicantumkan dakam kaitannya apakah para pihak cakap
melakukan perbuatan hukum. Pencantuman agama erat kaitannya dengan pihak yang
berperkara dipengadilan agama yaitu orang-orang yang beragama islam. Pekerjaan dan
kewarganegaraan dapat dicantumkan untuk mempertegas identitas para pihak.
b.
Uraian kejadian (posita)
Berisi uraian kejadian atau fakta-faktayang menjadi dasar adanya sengketa yang terjadi (recht
feitum) dan hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan (recht gronden). Posita disebut
juga fundamentum petendi.
Posita gugatan dibuat dengan ringkas, jelas, dan terinci mengenai dall-dalil yang
berhubungan dengan perkara. Antara posita satu dengan posita lainnya harus singkron dan
tudak boleh saling bertentangan. Posita yang satu sama lainnya saling bertentangan akan
mengakibatkan gugajan menjadi kabur atau obscur libel.
c.
Permohonan (petitum)
Petitum atau tuntutan berisi rincian apa saja yang diminta dan diharapkan penggugat untuk
dinyatakan dalam putusn penetapan kepada para pihak terutama pihak tergugat
putusan perkara.
dalam
Tuntutan yang diminta untuk diputuskanharus berdasarkan posita yang diuraikan. Tuntutan
yang tidak berdasarkan posita sebelumnya mengakibatkan tuntutan tidak diterima atau tidak
dikabulkan. Posita yang diuraikan ternyata tidak diajukan tuntutan maka gugatan akan
menjadi sia-sia karena hakim tidak berwenang memutus apa yang tidak dituntut oleh para
pihak yang berperkara.
Tuntutan terdiri dara dua hal yaitu tuntutan primair dan tuntutan subsidair. Tuntutan premair
adalah tuntutan yang merupakan tuntutan terhadap gugatan pokok sedangkan tuntutan
subsidair adalah tuntutan yang merupakan tuntutan alternatif atau pengganti yang biasanya
tuntutan subsidair dirumuskan dengan “mohon putusan yang seadil-adilnya”.
Secara sistematis susunan gugatan sebagai berikut:
a.
Nama kota dimana gugatan dibuat berikut tanggalnya;
b.
Alamat ketuapengadilan agama yang berwewenang memeriksa perkara;
c.
Identitas para pihak berikut penegasan kedudukan para pihak sebagai penggugat atau
tergugat;
d.
Posita;
e.
Tuntutan (petitum);
f.
Tanda tangan penggugat atau kuasanya.
BAB III
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebagaimana tersebut di atas maka penulis memberikan
kesimpulan sebagai berikut:
Pada umumnya, para ahli hukum di indonesia membedakan sumber hukum ke dalam 2
macam yakni sumber hukum materil dan sumber hukum formal. Sumber hukum materil
adalah tempat darimana materil hukum diambil. Atau lebih tepat dikatakan sumber hukum
materil adalah suatu tempat pengambilan aturan (hukum) yang berasal dari masyarakat
sendiri, berupa kaedah-kaedah/ nilai yang hidup dalam masyarakat , seperti kaedah kebiasaan
yang disebut dengan adat/hukum adat. Sumber hukum formal adalah tempat pengambilan
aturan (hukum) secara langsung yang dapat mengikat masyarakat. Pengaturan aturan secara
langsung artinya yaitu suatu aturan telah tersedia dalam bentuk produk hukum pemerintah
seperti UU,PP,Perda, dsb.dengan demikian hakim tinggal membuka kitab-kitab/buku-buku
perundang-undang. Misalnya kasus pencurian tinggal membuka kitab hukum pidana.
Tata cara perceraian di Indonesia itu meliputi cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak (
permohonan ) Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
(UUPA) menyatakan seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan
ikrar talak. Sedangkan cerai gugat yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan istri atau
kuasa hukumnya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat (istri), kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
tanpa izin tergugat (suami). Dalam hal penggugat dan tergugat berdomisili di luar negri maka
gugatan dilangsungkan ditempat perkawinan mereka dilangsungkan atau pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
Tahap Pembuatan Gugatan dan Permohonan, Permohonan atau gugatan pada prinsipnya
secara
tertulis
namun
kalau
para
pihak
tidak
bisa
baca
tulis
(buta
huruf)
permohonan/gugatandapat diajukan secara lisan keketua pengadilan agama atau dilimpahkan
kepada hakum untuk disusun permohonan/gugatan kemudian dibacakan dan diterangkan
maksud dan isinya kepada pihak kemudian ditandatangani oleh ketua pengadilan agama atau
hakim yang ditunjuk.Orang yang bisa baca tulis dapat menyampaikan gugatannya secara
lisan kepada pengadilan agama
dengan menyampaikan maksudnya kepada petugas
pengadilan agama untuk dibuatkan permohonan/gugatan oleh yang bersangkutan dan
ditandatangani oleh yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Tri Wahyudi,Hukum Acara Peradilan Agama, CV. Mandar Maju, Bandung:2018
Abdullah Tri Wahyudi, 2018, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-surat
Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, Bandung: Mandarmaju
Drs. Shodiq SE, H. Shalahuddin Chaery BA, CV. Sienttarama, Jakarta: 1998
Harahap Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini,
Jakarta: 1989
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT. Intermasa 1989
Yuswirman, Produser Gugat Cerai: Jakarta PT. Buku Kita 2001