SALINAN
PUTUSAN
Nomor 13/PUU-XV/2017
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1 .1 ]
Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
1. Nama
: Ir. H. Jhoni Boetja, S.E.
Lahir
: Tanjung Karang, 2 Juni 1963
Warga Negara
: Indonesia
Pekerjaan
: Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB
Jabatan
: Ketua Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pegawai
Perusahaan Listrik Negara PT. PLN (Persero)
WS2JB
Alamat
: Jalan Kapten A. Riva’i Nomor 37 Palembang –
30129
Sebagai ---------------------------------------------------------------------- Pemohon I;
2. Nama
: Edy Supriyanto Saputro, Amd.
Lahir
: Palembang, 2 April 1973
Warga Negara
: Indonesia
Pekerjaan
: Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB Area
Palembang
Jabatan
: Sekretaris
Dewan
Pimpinan
Daerah
Serikat
Pegawai Perusahaan Listrik Negara PT. PLN
(Persero) WS2JB
Alamat
: Jalan Kapten A. Riva’i Nomor 37 Palembang –
30129;
Sebagai ---------------------------------------------------------------------- Pemohon II;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
2
3. Nama
: Ir. Airtas Asnawi
Lahir
: Palembang, 20 Maret 1963
Warga Negara
: Indonesia
Pekerjaan
: Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB
Jabatan
: Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pegawai
Perusahaan Listrik Negara PT. PLN (Persero)
Kantor Wilayah S2JB
Alamat
: Jalan Kapten A. Riva’i Nomor 37 Palembang –
30129
Sebagai ----------------------------------------------------------------------Pemohon III;
4. Nama
: Saiful
Lahir
: Jambi, 5 Mei 1963
Warga Negara
: Indonesia
Pekerjaan
: Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB
Jabatan
: Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pegawai
Perusahaan Listrik Negara PT. PLN (Persero)
Kantor Wilayah S2JB
Alamat
: Jalan Urip Sumoharjo Nomor 2, Jambi
Sebagai -------------------------------------------------------------------- Pemohon IV;
5. Nama
: Amidi Susanto
Lahir
: Lampung, 03 September 1967
Warga Negara
: Indonesia
Pekerjaan
: Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB Area
Palembang
Jabatan
: Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pegawai
Perusahaan Listrik Negara PT. PLN (Persero)
WS2JB Area Palembang
Alamat
: Jalan Kapten A. Riva’i Nomor 37, Palembang
Sebagai --------------------------------------------------------------------- Pemohon V;
6. Nama
: Taufan, S.E.
Lahir
: Kota Donok, 26 Desember 1964
Warga Negara
: Indonesia
Pekerjaan
: Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB Area
Bengkulu
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
3
Jabatan
: Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pegawai
Perusahaan Listrik Negara PT. PLN (Persero)
WS2JB Area Bengkulu
Alamat
: Jalan Prof. Dr. Hazairin, SH Nomor 8 Bengkulu
Sebagai -------------------------------------------------------------------- Pemohon VI;
7. Nama
: Muhammad Yunus
Lahir
: Palembang, 20 Oktober 1983
Warga Negara
: Indonesia
Pekerjaan
: Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB Area
Pengatur Distribusi Sumanjalu
Jabatan
: Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pegawai
Perusahaan Listrik Negara PT. PLN (Persero)
WS2JB Area Sumanjalu
Alamat
: Jalan Gubernur Hasan Bastari, Palembang
Sebagai -------------------------------------------------------------------- Pemohon VII;
8. Nama
: Yekti Kurniasih, Amd.
Lahir
: Bandung, 24 September 1989
Warga Negara
: Indonesia
Pekerjaan
: Mantan Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB
Area Jambi
Jabatan
: Anggota
Serikat Pegawai Perusahaan Listrik
Negara
Alamat
: Jalan Urip Sumoharjo Nomor 2, Jambi
Sebagai ------------------------------------------------------------------- Pemohon VIII;
Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------- Para Pemohon;
[1 .2 ]
Mendengar keterangan para Pemohon;
Membaca permohonan para Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Presiden;
Membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
Mendengar
dan
membaca
keterangan
Pihak
Terkait,
Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO);
Membaca keterangan pemberi keterangan, PT. Perusahaan Listrik
Negara (Persero);
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
4
Memeriksa bukti-bukti para Pemohon dan Pihak Terkait Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO);
Membaca kesimpulan para Pemohon, Presiden, dan Pihak Terkait
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO);
2 . DU DU K PERK ARA
[2 .1 ]
Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan
bertanggal 30 Januari 2017 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 2 Februari 2017,
berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 17/PAN.MK/2017 dan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 13 Februari 2017
dengan Nomor 13/PUU-XV/2017, yang telah diperbaiki dan diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 6 Maret 2017, menguraikan hal-hal sebagai
berikut:
I.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pemohon dalam permohonan sebagaimana dimaksud dalam perkara a quo
menjelaskan bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk menguji Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasal 153 ayat (1) huruf f terhadap Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945 adalah:
1. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 24C ayat
(1), “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum (bukti P1);
2. Bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (bukti P2);
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
5
3. Bahwa berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (bukti P3);
II.
KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING)
Kedudukan Pemohon dalam permohonan pengujian materiil undang-undang
a quo sebagai berikut:
1. Bahwa menurut ketentuan Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945 perubahan kedua menyatakan, “Setiap orang
berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya” (Bukti
P1);
2. Bahwa dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
perubahan kedua menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum” (bukti P1);
3. Bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi Pasal 51 ayat (1) yang berbunyi:
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara (Bukti P2).
4. Sehingga permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan Pasal 153 ayat (1) huruf f “Yang melarang
pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan
dengan pekerja/buruh lainnya dalam satu perusahaan, kecuali telah
diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian
Kerja Bersama” adalah bertentangan dengan Undang Undang Dasar
1945 (bukti P5);
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
6
III.
ALASAN/POKOK PERMOHONAN
Dalam suatu perusahaan perjanjian kerja dibuat oleh pengusaha dan pekerja,
peraturan perusahaan dibuat oleh pihak pengusaha sedangkan perjanjian
kerja bersama (PKB) dibuat oleh pengusaha dan para pekerja/buruh.
Apabila dilihat kedudukannya perjanjian kerja harus tunduk pada perjanjian
kerja bersama, begitupun peraturan perusahaan tidak perlu ada apabila
sudah ada perjanjian kerja bersama. Akan tetapi terdapat kesamaan
diantaranya, yakni mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak serta
syarat-syarat kerja. Di dalam syarat-syarat kerja inilah aturan membatasi hak
untuk menikah antara pekerja biasanya diatur.
Aturan yang menyatakan bahwa antara pekerja menikah dalam satu
perusahaan, maka salah satu wajib keluar atau bahkan akan dilakukan
pemutusan hubungan kerja yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama, hal tersebut tercantum pada
Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Ketenagakerjaan. Alasan-alasan
yang dilarang oleh undang-undang perihal pemutusan hubungan kerja oleh
pengusaha, salah satunya pengusaha dilarang melakukan pemutusan
hubungan kerja karena pekerja/buruh mempunyai pertalian darah atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya dalam satu perusahaan, kecuali
diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.
Jadi selama aturan tersebut ada dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama maka pekerja/buruh wajib tunduk
pada aturan tersebut.
Hak dan/atau kewenangan konstitusi Pemohon yang dirugikan akibat
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 153 ayat (1)
huruf f akan menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja karena telah diatur
dalam Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja, atau Perjanjian Kerja
Bersama tentunya ini sangat merugikan pekerja/buruh disebabkan hilangnya
hak konstitusi Pemohon dengan hilangnya jaminan kerja dan penghidupan
yang layak.
Pada Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang dituangkan
kembali dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Hak Asasi Manusia, “Setiap
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
7
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah” kemudian, dalam ayat (2) menyatakan perkawinan
yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan
calon isteri yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (bukti P8).
Dalam undang-undang perkawinan, pada Pasal 1 menyatakan, perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (bukti P6).
Dimana Pasal 2 menyatakan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya (Bukti P6).
Sedangkan pelarangan perkawinan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1990 Pasal 8 “adalah orang yang memiliki garis keturunan lurus ke
bawah, ke atas, atau hubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu,
dan ibu/bapak tiri” (bukti P7).
Apabila peraturan perusahaan/perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama
mengharuskan suami istri yang bekerja dalam suatu perusahaan salah
satunya harus keluar, bahkan dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja
terhadap pekerja seperti yang dialami Pemohon Saudari Yekti Kurniasih dan
masih banyak Yekti-Yekti yang lain terkena Pemutusan Hubungan Kerja,
karena melakukan perkawinan dalam satu perusahaan, tentunya Peraturan
Perusahaan, Perjanjian Kerja, atau Perjanjian Kerja Bersama yang memiliki
payung hukum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 153 ayat (1)
huruf f sangatlah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
28D ayat (2) (bukti P1).
Apabila Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 153 ayat (1) huruf f
yang mencantumkan kata-kata “kecuali yang telah diatur dalam perjanjian
kerja,
peraturan
perusahaan,
atau
perjanjian
kerja
bersama”,
tidak
dihapus/dibatalkan oleh Mahkamah, maka akan berpotensi besar pengusaha
akan melakukan pelarangan perkawinan sesama pekerja dalam satu
perusahaan yang sama dan pemutusan hubungan kerja akan terus terjadi
dikarenakan pekerja tersebut melaksanakan perintah agamanya dengan
melakukan ikatan perkawinan dimana jodoh dalam perkawinan tidak bisa
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
8
ditentang disebabkan ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang
wanita yang memiliki rasa saling mencintai sulit untuk ditolak, tentunya
apabila sudah ada kecocokan dan sepakat, maka hubungan tersebut akan
melangkah pada jenjang perkawinan.
Masalah lain yang dapat timbul adalah pasangan pekerja tersebut akhirnya
memutuskan untuk tidak jadi menikah guna bertahan di perusahaan tersebut,
kemudian kedua belah pihak secara baik-baik berpisah seharusnya tidak
masalah, tetapi terbuka juga kemungkinan mereka memilih untuk tinggal
bersama tanpa suatu ikatan perkawinan guna menghindari peraturan
perusahaan. Hal ini tentunya sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai
kehidupan yang dianut oleh bangsa Indonesia yang masih menjunjung tinggi
lembaga perkawinan.
Pembatasan hak untuk berkeluarga dan hak atas pekerjaan tidak perlu
dilakukan, apabila setiap individu yang bekerja dalam satu perusahaan
memiliki moral dan etika yang baik, untuk itu diperlukan adanya individuindividu yang menanamkan etika yang baik tersebut.
Perkawinan
sesama
pegawai
dalam
suatu
perusahaan
sebenarnya
merupakan keuntungan perusahaan karena dapat menghemat pengeluaran
perusahaan dalam hal menanggung biaya kesehatan keluarga pekerja
disebabkan apabila suami isteri bekerja dalam satu perusahaan yang sama
maka perusahaan hanya menanggung 1 (satu) orang pekerja beserta
keluarga tetapi perusahaan memiliki 2 (dua) orang pekerja, dimana suami
atau isteri yang menanggung sesuai yang didaftarkan ke perusahaan
dibandingkan dengan suami yang mempunyai isteri/ibu rumah tangga maka
perusahaan hanya mendapatkan 1 (satu) orang pekerja tetapi perusahaan
tetap menanggung isteri dan anak-anak pekerja tersebut.
Apabila perusahaan beralasan untuk mencegah terjadinya unsur korupsi,
kolusi, dan nepotisme dalam satu perusahaan, menurut Pemohon hal ini
sangatlah tidak beralasan karena unsur terjadinya korupsi, kolusi, dan
nepotisme adalah tergantung dari mentalitas seseorang.
Apabila Pasal 153 ayat (1) huruf f yang tercantum kata-kata “kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama” dibatalkan Mahkamah Konstitusi, maka perusahaan dalam hal ini
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
9
pengusaha tidak dapat lagi memasukkan unsur pelarangan pekerja/buruh
yang memiliki pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama, dimana
pengusaha
dapat
melakukan
pemutusan
hubungan
kerja
karena
pekerja/buruh tersebut melaksanakan perkawinan sesama pekerja dalam
satu perusahaan.
Dengan dibatalkannya kata-kata “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”, maka hak konstitusi
pekerja/buruh terlindungi.
Untuk
itu
Pemohon
memohon
kepada
Mahkamah
Konstitusi
untuk
membatalkan sebagian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasal 153 ayat (1) huruf f yang berbunyi “Kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama” karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2).
Bahwa Hak Konstitusi Pemohon melekat dalam:
- Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
- Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
IV.
PETITUM YANG DIMOHONKAN OLEH PEMOHON
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menyatakan: Membatalkan sebagian Pasal 153 ayat (1) huruf f UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi
“kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama” adalah bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat sejak diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini di dalam lembaran Berita Negara
Republik Indonesia.
[2 .2 ]
Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, para Pemohon
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan
bukti P-8 sebagai berikut:
1
Bukti P-1
Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
10
Tahun 1945;
2
Bukti P-2
Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;
3
Bukti P-3
Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman;
4
Bukti P-4
Fotokopi data-data Pemohon;
5
Bukti P-5
Fotokopi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
6
Bukti P-6
Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan;
7
Bukti P-7
Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil;
6
Bukti P-8
Fotokopi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia;
[2 .3 ]
Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden
memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 15 Mei 2017, yang pada
pokoknya menyampaikan keterangan sebagai berikut:
I.
POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON
Bahwa para Pemohon pada pokoknya memohon untuk menguji apakah:
Ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan, yang berbunyi:
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan
dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja
bersama;
bertentangan dengan:
Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
"Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah".
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:
"Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja".
dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
11
Bahwa adanya frase “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f
UU Ketenagakerjaan, dapat menimbulkan potensi besar bahwa pengusaha
akan melarang perkawinan sesama pekerja dalam satu perusahaan yang
sama sehingga dapat menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja, yang hal itu
bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
II.
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
Sehubungan dengan kedudukan hukum para Pemohon, Pemerintah
berpendapat sebagai berikut:
1. Bahwa berdasar Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang
dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam
UUD 1945;
Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima
sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing)
dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945,
maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
12
b. Hak
dan/atau
kewenangan
konstitusionalnya
dalam
kualifikasi
dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya UndangUndang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai
akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
2. Bahwa selanjutnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUUV/2007 dan putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah telah berpendirian
kerugian hak ditentukan dengan lima syarat yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan Pemohon yang diberikan oleh UUD
1945;
b. hak dan/atau kewenangan tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan
oleh berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan
pengujian;
c. kerugian tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian hak seperti yang didalilkan tidak akan dan/atau tidak
lagi terjadi;
3. Bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut, maka menurut Pemerintah
perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah tepat
sebagai
pihak
yang
menganggap
hak
dan/atau
kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 153 ayat (1)
huruf
f
UU
Ketenagakerjaan,
juga
apakah
terdapat
kerugian
konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan
sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya UndangUndang yang dimohonkan untuk diuji;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
13
4. Bahwa menurut Pemerintah tidak terdapat kerugian yang diderita oleh
para Pemohon, karena secara konkrit baik dalam posita maupun
petitumnya
para
Pemohon
tidak
menyebutkan
bentuk
kerugian
konstitusional yang dideritanya atas keberlakuan Pasal 153 ayat (1) huruf
f UU Ketenagakerjaan yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28B
ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, dan para Pemohon tidak
terhalang-halangi,
tidak
dikurangi,
dihilangkan,
dibatasi,
dipersulit
maupun dirugikan oleh karena berlakunya ketentuan a quo. Sehingga
menurut
Pemerintah
terhadap
argumentasi
adanya
kerugian
konstitusional yang dialami oleh para Pemohon nyata-nyata tidak terbukti.
Berdasarkan dalil-dalil di atas, Pemerintah berpendapat para Pemohon
tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) dan adalah tepat
jika Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana
menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke
verklaard).
III.
KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG
DIMOHONKAN UNTUK DIUJI
Bahwa alinea keempat Pembukaan UUD 1945, menentukan bahwa
tujuan Negara RI salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan
umum dan keadilan sosial. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian
integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan
harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil,
makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan
keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja
tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan
masyarakat. Oleh karena itu hubungan industrial sebagai bagian dari
pembangunan ketenagakerjaan harus diarahkan untuk terus mewujudkan
hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan, dengan tetap
mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerja dan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
14
pekerja/buruh Indonesia untuk membangun negara Indonesia yang dicitacitakan.
Bahwa dibentuknya UU Ketenagakerjaan merupakan amanat dalam
Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 33 UUD 1945 untuk
mengatur lebih teknis pengaturan bidang ketenagakerjaan salah satunya
pengaturan mengenai hubungan industrial. Dengan kata lain pengaturan
mengenai hubungan industrial dalam UU 13/2003 merupakan kebijakan
hukum (legal policy) pembentuk undang-undang dalam menentukannya.
Dalam UU Ketenagakerjaan diatur menganai hal-hal yang terkait
dengan
hubungan
industrial,
termasuk
perlindungan
pekerja/buruh,
perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan
pengusaha, perlindungan keselamatan, dan kesehatan kerja, perlindungan
khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat, serta
perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja.
Salah satu bentuk perlindungan pekerja/buruh yang diatur dalam UU
Ketenagakerjaan adalah perlindungan dari adanya Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK). Ketentuan Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan secara
eksplisit telah menyebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat
pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus
mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Segala
upaya dimaksud adalah segala kegiatan-kegiatan yang bersifat positif yang
pada akhirnya dapat menghindari terjadinya PHK.
Bahwa dalam UU Ketenagakerjaan telah diatur mengenai larangan bagi
pengusaha untuk melakukan PHK yang didasarkan atas suatu sebab
tertentu, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 153 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan yang berbunyi:
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan
dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terusmenerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
15
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan
dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja
bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja,
atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter
yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Bahwa salah satu larangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 153
ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan, adalah karena alasan pekerja/buruh
mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/
buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Bahwa makna ketentuan a quo pada dasarnya ingin memberikan
kesempatan bagi para pelaku hubungan industrial baik pengusaha dan
pekerja/buruh untuk menentukan lain. Dalam arti bahwa perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama merupakan suatu
bentuk kesepakatan yang dibuat oleh pelaku hubungan industrial dan
mengikat bagi para pihak.
Bahwa yang dimaksud dengan perjanjian kerja sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa
“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban
para pihak”, sedangkan dalam Pasal 1 angka 20 UU Ketenagakerjaan
“Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan”,
serta dalam Pasal 1 angka 21 UU Ketenagakerjaan, “Perjanjian kerja
bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang
tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
16
dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha
yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak”.
Bahwa perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama adalah suatu kesepakatan atau perikatan, dan merupakan undangundang bagi yang mengadakannya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
1338 KUHPerdata yang berbunyi, “Semua persetujuan yang dibuat sesuai
dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan
oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Bahwa dengan diaturnya frase “kecuali telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153
ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan, pada dasarnya pembentuk UndangUndang mengakui bahwa sumber hukum yang berlaku dan mendasari
hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh adalah perjanjian kerja,
peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama. Sehingga secara
substansi, kewenangan untuk menentukan apakah dengan adanya pertalian
darah dan/atau ikatan perkawinan pekerja/buruh dapat di PHK atau tetap
dapat bekerja di dalam satu perusahaan menjadi kewenangan para pihak
(pengusaha
dan
pekerja/buruh)
untuk
menentukannya.
Sehingga
pekerja/buruh seharusnya sudah mengetahui dan dapat memperkirakan
konsekuensi apabila mereka melakukan perikatan perkawinan sesama rekan
sekerja yang dilakukan setelah perjanjian kerja disepakati oleh kedua belah
pihak.
Bahwa frasa a quo dimaksudkan untuk mengakomodir sifat dan jenis
pekerjaan serta karakteristik perusahaan dalam bisnis tertentu, namun
demikian dengan adanya ketentuan yang memberlakukan perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama terlebih dahulu harus
melalui proses pemeriksaan oleh Pemerintah, maka hal ini untuk mencegah
terjadinya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pengusaha terkait
permasalahan hubungan pertalian darah dan ikatan perkawinan. Dalam hal
ini Pemerintah akan memeriksa substansi dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, dan apabila ditemukan hal-hal
yang
bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
maka
17
Pemerintah akan memberikan koreksi, sebagai bentuk pengawasan dari
Pemerintah.
Sehingga diaturnya frase “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat
(1) huruf f UU Ketenagakerjaan, tidaklah bertentangan dengan Pasal 28B
ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Sehingga terhadap dalil para
Pemohon tidak beralasan dan tidak berdasar.
IV.
PETITUM
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah
memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi, dapat
memberikan putusan sebagai berikut:
1) Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing);
2) Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidaktidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard);
3) Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
4) Menyatakan ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[2 .4 ]
Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan
Perwakilan Rakyat memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah tanggal 13 Juni 2017, yang pada pokoknya menyampaikan keterangan
sebagai berikut:
A. Ketentuan UU Ketenagakerjaan Yang Dimohonkan Pengujian Terhadap
UUD 1945
Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian Pasal 153
ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan yang dianggap bertentangan dengan
Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Bahwa isi ketentuan
Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
18
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan
alasan: ... f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan,
kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama...";
B. Hak Dan/atau Kewenangan Konstitusional para Pemohon Yang Dianggap
Dirugikan Oleh Berlakunya Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan
Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak
konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 153 ayat
(1) huruf f UU Ketenagakerjaan yang pada intinya sebagai berikut:
Dengan
diberlakukannya
pasal
a
quo,
para
Pemohon
merasa
hak
konstitusionalnya telah dilanggar. Selain itu, ketentuan pasal a quo juga
bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945. Ketentuan pada Pasal 153
ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan telah merugikan Pemohon berupa
jaminan kerja dan penghidupan yang layak karena dengan diberlakukannya
ketentuan a quo yang dapat menyebabkan terjadinya pemutusan kerja. Selain
itu, pasal a quo juga bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 Pasal
28B ayat (1) untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan. Kerugian
ini dialami secara nyata oleh salah satu Pemohon, Saudari Yekti Kurniasih.
Ketentuan ini bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU
Perkawinan) dan ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
tentang Izin Perkawinan (selanjutnya disebut sebagai PP 45/1990) (vide
permohonan halaman 5-7).
Para Pemohon beranggapan bahwa ketentuan dalam Pasal 153 ayat (1)
huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang berketentuan sebagai berikut:
Pasal 28B ayat (1) UUD 1945
"(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah."
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945
"(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja."
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
19
Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, para Pemohon dalam
petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menyatakan membatalkan sebagian Pasal 153 ayat (1) huruf f UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi:
"kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama" adalah bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan menyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat sejak diputuskan oleh Mahkamah
Konstitusi;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini di dalam lembaran Berita Negara
Republik Indonesia.
C. Keterangan DPR RI
Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan
a quo, DPR RI dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu
menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Kedudukan Hukum (legal standing) Para Pemohon
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai pihak telah
diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi), yang
menyatakan bahwa “Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undangundang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara”.
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal
51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “yang dimaksud
dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UndangUntuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
20
Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945.”
Ketentuan
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang
secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “hak
konstitusional”.
Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau
suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum
(legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD
1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam
“Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya
undang-undang a quo.
Mengenai batasan kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah
memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang
timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima)
syarat (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut
dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang
diuji;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam
perkara pengujian UU a quo, maka sesungguhnya tidak ada hak dan/atau
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
21
kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakuknya
ketentuan pasal-pasal UU a quo yang dimohonkan pengujian.
Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon a quo, DPR RI
memberikan penjelasan sebagai berikut:
a. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa
hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal
153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan. Namun pada penjelasan legal
standing para Pemohon tidak menjelaskan hak konstitusional yang
dilanggar dengan diberlakukannya Pasal 153 ayat (1) huruf f UU
Ketenagakerjaan. Para Pemohon tidak menjelaskan uraian kerugian yang
dialami para Pemohon dalam permohonan a quo. Para Pemohon tidak
menjelaskan secara spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial
berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi sesuai dengan
parameter kerugian konstitusional yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi
(vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007).
b. Bahwa dalam permohonan yang diajukan, para Pemohon tidak dapat
membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian yang dialami para Pemohon dengan berlakunya pasal a quo yang
dimohonkan pengujian. Para Pemohon adalah pengurus dan anggota
serikat pekerja yang bertindak untuk dan atas nama sendiri melalui
permohonan bersama-sama merasa dengan diberlakukannya ketentuan
pasal a quo dapat merugikan dirinya sebagai pekerja terhadap pengaturan
mengenai diperbolehkannya dilakukan pemutusan hubungan kerja dalam
hal mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan.
Namun dalam permohonan setiap para Pemohon (Pemohon I - VIII) yang
bertindak atas nama sendiri tidak dapat mengkonstruksikan adanya
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya dengan berlakunya
pasal a quo pada setiap Pemohon I - VIII, sehingga dengan demikian para
Pemohon sama sekali tidak memiliki kerugian konstitusional. Sebagaimana
diuraikan dalam permohonan Pemohon sehingga permohonan menjadi
samar dan kabur (obscuur libel) karena tidak ditemukan pelanggaran hak
konstitusional pada setiap Pemohon I - VIII dengan diberlakukannya pasalUntuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
22
pasal a quo. Dengan tidak adanya hal tersebut, para Pemohon a quo tidak
memenuhi kualifikasi sebagai pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi.
c. Bahwa dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada
kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal
dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal
dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan
prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv)
khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan
tanpa hubungan hukum” (no action without legal connection). Syarat adanya
kepentingan hukum juga telah digariskan dalam syarat kedudukan hukum
(legal standing) sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007 huruf d yang
menentukan adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI
menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh
Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007.
2. Pengujian Materiil atas Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan
Terhadap permohonan pengujian Pasal 153 ayat (1) huruf f UU
Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, DPR RI menyampaikan keterangan
sebagai berikut.
1) Bahwa dalam pembukaan alinea ke-4 (keempat) UUD 1945 menegaskan
bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Republik Indonesia
antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum.
Dalam memajukan kesejahteraan umum, negara bertanggung jawab untuk
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
23
meningkatkan
kesejahteraan
sehingga
hak
atas
pekerjaan
dan
penghidupan yang layak adalah jaminan sekaligus hak konstitusional
setiap
warga
negara.
Hak
atas
pekerjaan
dapat
meningkatkan
kesejahteraan seseorang sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup
yang layak.
2) Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara
hukum”. Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya supremasi
hukum (A.V. Dicey) yang artinya segala upaya penegakan hukum dan
penempatan hukum pada posisi tertinggi dari segalanya, serta menjadikan
hukum sebagai panglima ataupun komandan dalam upaya untuk menjaga
dan melindungi tingkat stabilitas dalam kehidupan suatu bangsa dan
negara (Abdul Manan).
3) Bahwa dalam menyusun UU Ketenagakerjaan, pembuat UU juga telah
memperhatikan standar internasional seperti Konvensi ILO dan Konvensi
PBB baik yang telah maupun belum diratifikasi oleh Indonesia. Ketentuan
Pasal 7 dan Pasal 8 Konvensi PBB mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya mengenai kewajiban negara untuk menjamin setiap pekerja
diperlakukan secara adil dan tanpa diskriminasi di dalam semua aspek
ketenagakerjaan
juga
telah
dimasukan
dalam
ketentuan
UU
Ketenagakerjaan.
4) Bahwa ketentuan dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan
yang berbunyi, "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama" telah mengadopsi prinsip
kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian, dimana ketentuan tersebut
hanya bisa dilaksanakan apabila telah disepakati oleh kedua belah pihak
melalui suatu perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja
bersama. Selain itu, dalam membuat suatu aturan, perusahaan tidak
diperkenankan memasukkan ketentuan yang
bertentangan dengan
ketentuan
perusahaan
hukum
yang
berlaku
dimana
tersebut
berkedudukan atau berdiri. Ketentuan dalam berkontrak diatur dalam
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berketentuan:
"Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
24
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang."
5) Bahwa
perjanjian
kerja
merupakan
bagian
dari
perjanjian
yang
dimaksudkan dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut
KUHPerdata).
Sebagai
bagian
dari
Buku
III
KUHPerdata maka berlaku asas-asas umum dari suatu perikatan salah
satunya asas pacta sun servanda yang diatur dalam Pasal 1338
KUHPerdata. Asas pacta sun servanda menyatakan bahwa perjanjian
merupakan undang-undang bagi yang membuatnya. Undang-undang
merupakan bagian dari hukum dan sebagai negara hukum otomatis setiap
warga negara harus menaati perjanjian yang dibuatnya karena perjanjian
berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata sama dengan undang-undang bagi
yang membuatnya. Perjanjian kerja juga bersifat mengikat dikarenakan
merupakan hasil kesepakatan para pihak yang harusnya muncul tanpa
paksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang
mengatur syarat sah perjanjian. Oleh karena itu persetujuan atau
kesepakatan
tersebut
tidak
dapat
ditarik
kembali
selain
dengan
persetujuan atau kesepakatan para pihak, yakni pihak pemberi kerja dan
pihak penerima kerja. Tentunya, penerimaan maupun penolakan terhadap
perjanjian maupun kontrak tersebut akan menimbulkan konsekwensi
tersendiri yang berbeda-beda.
6) DPR RI berpandangan bahwa tidak benar ketentuan Pasal 153 ayat (1)
huruf f UU Ketenagakerjaan telah bertentangan dengan kebebasan
membentuk
sebuah
keluarga
dan
melanjutkan
keturunan
melalui
perkawinan yang sah atas dasar kehendak bebas calon suami dan calon
istri yang bersangkutan. Pekerja bebas melakukan perkawinan dengan
siapapun yang dikehendaki dan dirasa telah cocok, namun dengan adanya
ketentuan pada perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama atau peraturan
perusahaan yang melarang untuk menikah dengan sesama pekerja pada
perusahaan tersebut, maka salah satu pekerja dapat mengundurkan diri
karena ketentuan dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama ataupun
peraturan perusahaan tersebut telah disepakati dan berlaku mengikat bagi
seluruh
pekerja
di
instansi
tersebut.
Sebaliknya,
apabila
pekerja
memaksakan untuk melakukan pernikahan dengan sesama pekerja pada
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
25
instansi dimana ia bekerja, maka pekerja tersebut telah melakukan
wanprestasi dan kepadanya dapat dikenakan sanksi tertentu sesuai
dengan ketentuan perusahaan dan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
7) Bahwa pada dasarnya, larangan adanya ikatan perkawinan dalam satu
perusahaan dimaksudkan untuk menjaga profesionalitas karyawan. Di
samping itu, larangan adanya ikatan perkawinan dalam satu perusahaan
juga dimaksudkan agar tidak terjadi konfik kepentingan (conflict of interest)
antara suami-isteri yang bekerja dalam satu perusahaan. Konflik
berkepentingan dapat terjadi ketika individu atau organisasi terlibat dalam
berbagai kepentingan, sehingga dapat mempengaruhi motivasi untuk
bertindak dan berbagai aktivitas lainnya. Konflik kepentingan muncul ketika
seseorang pada posisi tertentu memiliki kepentingan profesional dan
pribadi yang bersinggungan. Persinggungan kepentingan ini dapat
menyulitkan orang tersebut untuk menjalankan tugasnya. Suatu konflik
kepentingan dapat timbul bahkan jika hal tersebut tidak menimbulkan
tindakan yang tidak etis atau tidak pantas.
8) Bahwa menurut Thomas Hobbes keadilan merupakan suatu penataan
terhadap
suatu
perjanjian.
Sehingga
keadilan
dipandang
sebagai
perbuatan yang telah diatur di dalam suatu perjanjian. Pekerja yang telah
menandatangi suatu perjanjian atau kontrak kerja yang di dalamnya
termuat suatu aturan bahwa dilarangnya terjadi suatu ikatan perkawinan
harus menaati ketentuan hal yang telah disepakati. Sesuai dengan teori
keadilan yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes apabila pekerja yang
melanggar ketentuan yang termuat dalam suatu perjanjian yang telah
disepakati dapat dikatakan melakukan perilaku yang tidak adil dan dapat
berakibat pada perolehan keadilan bagi orang lain akan terganggu.
9) Bahwa hak setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah memang telah menjadi salah satu
hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam Pasal 28B ayat (1) UUD
1945. Akan tetapi, hak ini tidaklah termasuk dalam salah satu hak yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun menurut Pasal 28I UUD
1945 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM). Sehingga dalam keadaan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
26
tertentu hak untuk membentuk keluarga dapat disimpangi. Pasal 153 ayat
(1) huruf f UU Ketenagakerjaan merupakan salah satu bentuk pasal yang
menyimpangi aturan ini.
10) Aturan penyimpangan ini tidak hanya terdapat dalam UU Ketenagakerjaan,
akan tetapi juga dalam UU khusus yang mengatur perkawinan yaitu Pasal
8 huruf f UU Perkawinan. Pasal tersebut melarang dilangsungkannya
perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh
agamanya dan peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Keberadaan
pasal ini menegaskan bahwa larangan untuk melangsungkan perkawinan
juga dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya termasuk
UU Ketenagakerjaan.
11) Bahwa terjadinya pemecatan atau pemutusan hubungan kerja antara
perusahaan dengan pekerja yang melakukan pernikahan dengan sesama
pekerja, yang berarti pekerja tersebut telah melanggar ketentuan yang
telah disepakati dalam perjanjian kerja maupun perjanjian kerja bersama
sehingga dapat dinyatakan telah melakukan wanprestasi atau pelanggaran
kesepakatan yang telah dilakukan oleh pihak pemberi kerja dan pekerja
ketika
ikatan
kontrak
dibangun
diantara
para
pihak,
merupakan
konsekwensi yang telah diatur dengan jelas menurut kesepakatan para
pihak melalui perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama maupun peraturan
perusahaan. Oleh karena itu tidak benar bahwa ketentuan dalam Pasal
153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan ketentuan
dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
12) Bahwa jika ada permasalahan dengan perjanjian kerja, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (selanjutnya disebut UU 2/2004) sesungguhnya telah mengatur
bagaimana cara/proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial
diantara para pihak baik di luar pengadilan maupun dalam pengadilan.
Perselisihan berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja merupakan
salah satu bentuk perselisihan hubungan industrial menurut Pasal 1 angka
1 UU 2/2004.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
27
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar
kiranya, Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai
berikut:
1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard);
2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya
menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
3. Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
4. Menyatakan Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya pada bagian "kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama" tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
5. Menyatakan Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya pada bagian "kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama" tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2 .5 ]
Menimbang bahwa dalam perkara a quo, Asosiasi Pengusaha
Indonesia (APINDO) telah menyampaikan keterangan dalam persidangan pada
tanggal 15 Mei 2017, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Adapun terkait permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan Pasal 153 ayat (1) huruf f khususnya pada klausul yang
mencantumkan kata-kata “kecuali yang telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama” terhadap Pasal 28B ayat (1)
dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 untuk dibatalkan, maka dapat kami sampaikan
beberapa keterangan sebagai berikut:
1. Bahwa perkawinan antara pekerja laki-laki dan pekerja wanita dalam satu
perusahaan ataupun satu instansi pemerintahan telah lama terjadi dan
mengakibatkan dampak positif maupun negatif baik kepada perusahaan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
28
maupun kepada pekerja itu sendiri dan pekerja lainnya sebagai bagian dari
perusahaan tersebut.
2. Bahwa adapun dampak positif dari perkawinan sesama pekerja dalam satu
perusahaan adalah pasangan pekerja tersebut secara emosional akan saling
menguatkan hubungan keluarganya sehingga merasa aman dan tenteram
karena saling melindungi. Namun demikian, selain dampak positif tersebut
juga terdapat dampak negatif yang berhubungan dengan perasaan saling
melindungi tersebut yang berpotensi negatif yakni dapat mengurangi bahkan
menghilangkan objektivitas kerja dari hubungan kerja antara pekerja dan
manajemen perusahaan. Sebagai contoh seorang Manager HRD disatu
perusahaan mempekerjakan istri atau suami dari atasan kerjanya yakni
General Manager disatu perusahaan sebagai Supervisor, dimana pada suatu
keadaan tertentu istri atau suami atasan Manager HRD tersebut melakukan
pelanggaran indisipliner atau pelanggaran lainnya yang dapat dikenakan
sanksi sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan,
atau Perjanjian Kerja Bersama. Dengan kondisi tersebut, secara psikologis
akan terjadi konflik bathin bagi Manager HRD tersebut untuk menegakkan
aturan diperusahaannya.
3. Bahwa dengan adanya dampak negatif dan positif tersebut, maka Pemerintah
mengatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pada Pasal 153 ayat
(10) huruf f dengan tujuan untuk mencegah hal-hal yang negatif terjadi di
lingkungan perusahaan dan membangun kondisi kerja yang baik, professional,
dan berkeadilan.
4. Bahwa UUD 1945 pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28B ayat
(1) menyatakan bahwa “setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Kemudian Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan
bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
serta Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang
juga
menegaskan
bahwa
“Suami
istri
wajib
saling
mencintai,
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan bathin yang satu kepada
yang lain”. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa perkawinan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
29
adalah hak setiap orang yang bersifat sakral dan terdapat kewajiban bagi
suami istri yang menjadikan hubungan keduanya menjadi sangat kuat dan
“khusus”.
5. Bahwa pada prinsipnya perusahaan tidak melarang seseorang untuk menikah,
akan tetapi apabila suami istri bekerja dalam satu perusahaan yang sama
akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) dalam
mengambil
keputusan
dalam
internal
perusahaan,
dan
juga
dapat
mengganggu objektifitas serta profesionalisme dalam pekerjaannya. Misalnya
berkaitan dengan penilaian kinerja pekerja, dalam pengembangan karir, dalam
promosi, pemberian sanksi dan sebagainya yang akan mengganggu rasa
keadilan bagi pekerja lainnya yang tidak memiliki hubungan khusus sebagai
suami istri dalam satu perusahaan yang jumlahnya tentu lebih banyak
sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi
“setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
6. Bahwa Ketentuan yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan Pasal 153 ayat (1) huruf f adalah Tidak Bertentangan
Dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini bertujuan untuk melindungi
kepentingan yang lebih besar dalam menjaga hak setiap warga negara untuk
menikah tetapi sekaligus juga untuk menjaga hak setiap orang yang bekerja
guna mendapatkan perlakuan yang adil dimana kedua hal tersebut merupakan
hak asasi manusia yang sama-sama diatur di dalam UUD 1945 Pasal 28J ayat
(1) yang menegaskan bahwa “Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara” dan ayat (2) yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyaraka demokrat is” .
Berdasarkan keterangan yang dikemukakan di atas, maka APINDO berpendapat;
1. Bahwa ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang pada prinsipnya menegaskan bahwa
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
30
bahwa pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan
dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD
1945.
2. Bahwa dengan adanya pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini memberikan jaminan kondusivitas
hubungan kerja sesama pekerja maupun pekerja dan manajemen perusahaan,
sehingga mempengaruhi profesionalitas kerja dan memberikan keadilan baik
antara pekerja itu sendiri maupun bagi perusahaan.
Selanjutnya
Asosiasi
Pengusaha
Indonesia
(APINDO)
telah
menyampaikan keterangan tambahan dalam persidangan pada tanggal 5 Juni
2017, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
I.
Kebiasaan Merupakan Sumber Hukum Formil
1. Bahwa ketentuan larangan mempekerjakan antara pekerja laki-laki dan
pekerja wanita yang mempunyai hubungan suami/istri (ikatan perkawinan)
dalam satu perusahaan ataupun satu instansi pemerintahan telah lama
terjadi begitupun dengan ketentuan mempekerjakan karyawan atau
pekerja/buruh yang mempunyai hubungan darah dalam satu perusahaan
(pengecualian untuk perusahaan keluarga) pun telah lama terjadi dan
mengakibatkan dampak positif maupun negatif baik kepada perusahaan
maupun kepada pekerja itu sendiri dan pekerja lainnya sebagai bagian dari
perusahaan tersebut.
2. Bahwa ketentuan ini sudah menjadi sebuah kebiasaan yang berlaku umum
dalam dunia bisnis khususnya berkaitan dengan hubungan industrial.
Ketentuan ini telah ada jauh sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebagaimana kita ketahui bersama
bahwa kebiasan yang telah berlaku umum merupakan sumber hukum
formil di Indonesia. Kebiasaan merupakan sumber hukum formil dengan
syarat:
a. Harus ada perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan berulangkali
dalam hal yang sama dan diikuti oleh orang banyak/umum;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
31
b. Harus ada keyakinan hukum dari orang-orang/golongan-golongan yang
berkepentingan dalam arti harus terdapat keyakinan bahwa aturanaturan yang ditimbulkan oleh kebiasaan itu mengandung/memuat halhal yang baik dan layak untuk diikuti/ditaati serta mempunyai kekuatan
mengikat.
3. Bahwa kebiasaan dalam dunia bisnis ini salah satunya dapat dilihat dari
adanya peraturan yang dibuat oleh Bank Pembangunan Indonesia
(BAPINDO) pada tahun 1973 sekarang Bank Mandiri yang menegaskan
tentang pernikahan antar pegawai BAPINDO yang pada prinsipnya
mengatur berkenaan dengan larangan mempekerjakan pegawai yang
mempunyai hubungan suami/istri.
Keputusan Direksi Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO) Nomor 6
Tahun 1973 tentang Pernikahan Antar Pegawai BAPINDO (sekarang
menjadi Bank Mandiri) (bukti 1).
Pasal 1
“Setelah dikeluarkannya keputusan direksi ini, hubungan kerja antara
Bapindo dengan salah seorang dari pegawai yang akan menikah dengan
sesama pegawai Bapindo akan terputus dengan sendirinya terhitung mulai
tanggal pernikahan tersebut”.
Pasal 2
“Pemutusan hubungan kerja termaksud pada Pasal 1 di atas, akan berlaku
atas diri pegawai yang mempunyai masa kerja yang terpendek diantara
ke-2 (dua) pegawai yang menikah, kecuali apabila mereka secara tertulis
menyatakan pilihan lain dari mereka berdua”.
Pasal 3
“Kedua pegawai yang bersangkutan yang akan menikah, 1 (satu) bulan
sebelum pernikahannya dilangsungkan, harus memberitahukan bersamasama secara tertulis kepada Bapindo tentang maksud masing-masing
sehubungan dengan ketentuan Pasal 2”.
II. Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate
Governance) khususnya berkaitan dengan Pencegahan terhadap praktek
nepotisme diperusahaan
1. Bahwa untuk mencegah terjadinya praktek nepotisme di perusahaan maka
ketentuan-ketentuan
berkenaan
dengan
larangan
mempekerjakan
karyawan atau pekerja/buruh yang mempunyai hubungan keluarga atau
suami istri telah terjadi jauh sebelum munculnya Undang-Undang Nomor
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
32
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan tersebut dapat dilihat
dari Keputusan Direksi Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO) Nomor
6 Tahun 1973 tentang Pernikahan Antar Pegawai BAPINDO (sekarang
menjadi Bank Mandiri) (bukti 1).
Pasal 1
“Setelah dikeluarkannya keputusan direksi ini, hubungan kerja antara
Bapindo dengan salah seorang dari pegawai yang akan menikah dengan
sesama pegawai Bapindo akan terputus dengan sendirinya terhitung mulai
tanggal pernikahan tersebut”.
Pasal 2
“Pemutusan hubungan kerja termaksud pada Pasal 1 di atas, akan berlaku
atas diri pegawai yang mempunyai masa kerja yang terpendek diantara
ke-2 (dua) pegawai yang menikah, kecuali apabila mereka secara tertulis
menyatakan pilihan lain dari mereka berdua”.
Pasal 3
“Kedua pegawai yang bersangkutan yang akan menikah, 1 (satu) bulan
sebelum pernikahannya dilangsungkan, harus memberitahukan bersamasama secara tertulis kepada Bapindo tentang maksud masing-masing
sehubungan dengan ketentuan Pasal 2”.
2. Bahwa Keputusan Direksi BAPINDO Nomor 6 Tahun 1973 (sekarang
menjadi Bank Mandiri) tersebut menegaskan ketentuan PHK terhadap
karyawan yang mempunyai hubungan pernikahan diatur sebelah pihak
oleh perusahaan dalam rangka pencegahan terhadap potensi terjadinya
nepotisme karena hal tersebut merupakan faktor yang sangat penting
dalam dunia perbankan (sektor perbankan dan sektor keuangan). Namun
demikian setelah adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan khususnya pada Pasal 153 ayat (1) huruf f maka
ketentuan PHK tersebut dilakukan dengan adanya perjanjian yang
ditetapkan bersama oleh kedua belah pihak yakni perusahaan dan
karyawan atau pekerja/buruh diperusahaan bersangkutan yang tercantum
di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja
Bersama.
3. Bahwa larangan mempekerjakan karyawan atau pekerja/buruh yang
mempunyai ikatan darah, hubungan suami istri juga telah diterapkan di
lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengacu pada
prinsip Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang baik (Good Corporate
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
33
Governance), prinsip Kesetaraan/Equalitas, dan Tidak Diskriminatif
sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Menteri BUMN Nomor SE06/MBU/2014 tentang Pencegahan Praktek Nepotisme di Badan Usaha
Milik Negara (Bukti 2).
4. Bahwa mengacu pada Surat Edaran Kementerian BUMN tersebut pada
poin
3
di
atas,
maka
perusahaan-perusahaan
BUMN
termasuk
perusahaan perbankan milik BUMN seperti Bank BNI, Bank Mandiri, Bank
BRI, dan diikuti oleh perusahaan perbankan swasta lainnya tentu akan
menerapkan ketentuan yang sama kedalam Peraturan Perusahaannya
yang dituangkan di dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) (bukti – 3).
III. Membuka Peluang Kerja bagi Kepala Keluarga Lainnya
1. Bahwa dengan adanya ketentuan larangan mempekerjakan karyawan atau
Pekerja/Buruh yang mempunyai hubungan pernikahan dalam satu
perusahaan yang diterapkan oleh beberapa perusahaan tertentu dengan
menimbang kondisi perusahaannya masing-masing, hal ini memberikan
peluang untuk membuka kesempatan kerja yang seluas-luasnya bagi
pencari kerja lainnya, artinya jika dari 1.000 orang pekerja di suatu
perusahaan merupakan kepala keluarga yang menghidupi beberapa istri
dan anak-anaknya, maka secara tidak langsung dapat mensejahterakan
1.000 keluarga yang bersangkutan. Lain halnya apabila 1.000 pekerja
tersebut bekerja di satu perusahaan dengan 200 pekerja merupakan
pasangan suami istri, maka keluarga yang sejahtera melalui hubungan
kerja hanya 900 keluarga saja dan secara tidak langsung menutup
kesempatan bagi kepala keluarga lainnya (100 kepala keluarga) untuk
memperoleh kesempatan bekerja dan meraih kesejahteraan bersama
perusahaan tersebut.
2. Bahwa dengan di-PHK-nya salah satu karyawan atau pekerja/buruh yang
bekerja dalam satu perusahaan baik itu suami atau istrinya, Hal ini tidak
akan menutup kesempatan kerja baginya untuk bekerja di perusahaan
lainnya. Kesempatan kerja di perusahaan lain tersebut akan mudah
diterima oleh Karyawan atau Pekerja/Buruh yang telah di PHK tersebut
dengan syarat kemampuan atau kompetensi bagus yang telah dimilikinya.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
34
Berdasarkan keterangan yang kami kemukakan di atas, maka kami berpendapat;
1. Bahwa dengan adanya frasa kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama pada Pasal 153 ayat (1)
huruf f UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut. Hal ini
memberikan peluang kepada Perusahaan dan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat
Pekerja/Buruh di satu perusahaan untuk mengatur penata kelolaan persoalan
hubungan industrial di perusahaan sesuai dengan kondisi dan kemampuan
perusahaan mereka masing-masing dengan cara dirundingkan terlebih dahulu
persyaratan dan mekanisme yang dikehendaki bersama yang tentunya akan
dituangkan ke dalam kesepakatan bersama yakni Perjanjian Kerja dan/atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
2. Bahwa ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang pada prinsipnya menegaskan bahwa
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan
bahwa Pekerja/Buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan
dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Bahwa dengan adanya Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini memberikan jaminan kondusifitas
hubungan kerja sesama pekerja maupun pekerja dan manajemen perusahaan,
sehingga mempengaruhi profesionalitas kerja dan memberikan keadilan baik
antara pekerja itu sendiri maupun bagi perusahaan.
4. Bahwa berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan di atas mohon kepada
Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini untuk dapat
menolak seluruh permohonan uji materi Pemohon yang telah diajukan oleh Ir.
H. Jhoni Boetja, S.E. dan kawan kawan.
Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Makhamah Konstitusi dalam perkara ini
berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (et aequo et bono).
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
35
[2 .6 ]
Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Pihat Terkait
APINDO mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti PT-1 sampai
dengan bukti PT-3 sebagai berikut:
1
Bukti PT-1
Fotokopi Lembaran Pengumuman Keputusan Direksi Bank
Pembangunan Indonesia (BAPINDO) Nomor 6 Tahun 1973
tentang Pernikahan Antar Pegawai BAPINDO;
2
Bukti PT-2
Fotokopi Surat Edaran Menteri Badan Usaha Milik Negara
Nomor SE-06/MBU/2014 tentang Pencegahan Praktek
Nepotisme di Badan Usaha Milik Negara;
3
Bukti PT-3
Fotokopi PKB Bank BNI Tahun 2015 pada Pasal 69;
[2 .7 ]
Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo, PT. PLN (Persero)
telah menyampaikan keterangan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada
tanggal 12 Juni 2017, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
1. Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur
Pengusaha
dilarang
melakukan
pemutusan
hubungan
kerja
karena
pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
2. Aturan atau kode etik perusahaan yang mengatur hubungan perkawinan
sesama pegawai berbeda-beda antar satu perusahaan dan lainnya. Di PT.
PLN
(Persero)
pada
khususnya
sebagai
perusahaan
yang
memiliki
karakteristik khusus mengatur pemutusan hubungan kerja akibat ikatan
perkawinana sesama pegawai dengan pertimbangan profesionalitas dan
mencegah terjadinya konflik kepentingan antara pegawai yang dapat
menurunkan kinerja perusahaan. Reputasi pegawai yang tidak dapat
memisahkan
antara
ursuan
pribadi
dengan
urusan
pada
pekerjaan
berpengaruh negatif bagi perusahaan dan berdampak buruk bagi citra pegawai
itu sendiri.
3. Bahwa latar belakang PT. PLN (Persero) dan Serikat Pekerja menyepakati
pengaturan perkawinan sesama pegawai dalam Addendum Kedua Perjanjian
Kerja Bersama tanggal 11 Oktober 2013 adalah sebagai berikut:
a. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
36
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Dengan demikian
ikatan perkawinan adalah ikatan khusus, ikatan lahir dan batin antara suami
istri yang kuat dan khusus.
Dari sisi hubungan industrial, ikatan perkawinan ini mempunyai risiko yang
berpotensi mengganggu dan/atau mengurangi profesionalitas hubungan
kerja, antara lain:
i.
Dari sisi konflik kepentingan – kolusi, perlakuan yang berbeda
Konflik kepentingan terjadi ketika pegawai sebagai suami dan/atau istri
mempunyai posisi yang menguntungkan secara personal baik langsung
atau tidak langsung dari hubungan pertalian ikatan perkawinan yang
berpengaruh terhadap kepentingan bisnis perusahaan. Apabila ada
pegawai yang menikah satu kantor dan keduanya memiliki jabatan atau
fungsi
yang
strategis,
maka
berpotensi
memunculkan
konflik
kepentingan.
Contoh:
a) Pegawai A menjabat sebagai manajer SDM, di satu sisi istrinya
sedang menjalani fit & proper test untuk seleksi jabatan tertentu di
kantor Pegawai A tersebut.
b) Pegawai A sebagai General Manager, Pegawai B sebagai istri
menjabat Pejabat Pengadaan.
c) Pegawai A sebagai engineer di bidang teknologi informasi, pegawai
B sebagai istri di bidang niaga, informasi keamanan data penjualan
tenaga listrik dalam sistem teknologi PLN dapat digunakan untuk
kepentingan pribadi dalam bidang niaga jual beli tenaga listrik.
ii.
Dari sisi Talent Pool
Perkawinan
antar
pegawai
dapat
menimbulkan
hambatan
bagi
perusahaan dalam membina karir pegawai yang bersangkutan. Ada
jabatan yang tersedia kepada pegawai yang memiliki kualitas dan
potensi untuk menduduki jabatan tersebut, namun karena formasi
jabatan berpengaruh terhadap jabatan/fungsi suami/istri yang juga
pegawai, maka perusahaan tidak dapat memberikan jabatan tersebut
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
37
kepada pegawai yang bersangkutan, sehingga perusahaan kehilangan
potensi sumber daya manusia yang mempunyai kualitas yang sama
atau lebih baik dari pegawai tersebut (no right man in the right place).
Dengan sumber daya yang ada, perusahaan bisa lebih fokus dalam
menjalankan
fungsi
strategic
pembinaan
kompetensi
pegawai
dibandingkan dengan menangani hal yang bersifat administrative,
sehingga
pegawai
lebih
terpantau
pengembangan
karirnya,
keterbatasan formasi jabatan.
Perusahaan akan secara profesional menempatkan pegawai sesuai
kompetensinya, sehingga pegawai mendapatkan pembinaan karir tanpa
terkendala dengan faktor pernikahan. Dengan demikian, terjadi
harmonisasi antara kepentingan pribadi pegawai dan kepentingan
perseroan
secara
proporsional
dengan
memperhatikan
kondisi
perseroan.
iii. Permintaan/penolakan
mutasi
yang
mengganggu
profesionalisme
bekerja
Bagi PLN perusahaan yang proses bisnisnya terintegrasi dan berlokasi
di seluruh wilayah Indonesia, mutasi pegawai adalah hal yang awam
terjadi terlebih untuk kebutuhan formasi tenaga kerja. Sedari menjadi
pegawai
PLN,
pegawai
yang
bersangkutan
sudah
mengetahui
konsekuensi bekerja di PLN adalah bersedia ditempatkan di seluruh unit
kerja PLN.
Pertalian suami istri mengakibatkan banyaknya permintaan mutasi/
penolakan mutasi dengan alasan pribadi yaitu suami istri mutasi atau
tidak ikut dimutasi. Keadaan suami istri tidak dalam satu kediaman yang
sama dan tetap tidak dikehendaki dalam perkawinan, hal ini juga diatur
dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974:
(1) Suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal
ini ditentukan oleh suami-istri bersama.
Kegiatan usaha/bisnis PLN tentu tidak dapat menjadi penghalang
suami/istri mempunyai kediaman tetap bersama, oleh karena ikatan
hubungan perkawinan lebih kuat dan khusus dari hubungan industrial,
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
38
maka hal ini menjadi penghalang dalam peningkatan profesionalisme
bekerja yang tentu secara linear mengganggu kinerja perusahaan.
b. Faktor jenis usaha menjadi salah satu pertimbangan utama diaturnya ikatan
perkawinan dalam satu perusahaan. Beberapa perusahaan dengan jenis
bisnis dan transaksi dengan risiko tinggi dan sangat mengedepankan
kualitas pelayanan dan profesionalitas melarang perkawinan sesama
pegawai (bank, asuransi, bisnis terintegrasi, PLN, dll).
Setiap perusahaan mempunyai karakteristik usaha/industri yang berbedabeda. Misal perusahaan: multinasional, bisnis terintegrasi se-Indonesia,
terlokalisir di suatu daerah, kerahasiaan/kepercayaan tinggi, teknologi tinggi,
dll.
Sedangkan
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
tidak
mengatur
kekhususan hubungan industrial masing-masing karakteristik perusahaan.
Oleh
karenanya
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
memberikan
kesempatan kepada pengusaha dan tenaga kerja mengatur tata kerja
melalui Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan/atau Perjanjian Kerja
Bersama.
Karakteristik usaha/bisnis PLN adalah perusahaan yang proses bisnisnya
dari hulu sampai hilir dengan berbagai usaha penunjang serta lokasi kerja
unit PLN yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian
insan sumber daya manusia PLN merupakan bagian dari Formasi Tenaga
Kerja yang harus mampu dan bersedia melaksanakan pekerjaana secara
optimal dengan lokasi kerja seluruh Indonesia.
Formasi tenaga kerja PLN yang dipersiapkan meningkat setiap tahunnya
membutuhkan tenaga kerja yang siap dan professional untuk menjalankan
bisnis ketenagalistrikan secara profesional, PLN meminimalisir resiko dari
adanya potensi konflik kepentingan yang mengganggu kinerja perusahaan.
Oleh karenanya adanya Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan
justru
memberikan
kepastian
hukum
dan
mendukung
bisnis
yang
profesional.
c. Dari sisi Legal Yuridis
i.
Pasal 1338 KUHPerdata
Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan, semua persetujuan yang dibuat
sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
39
mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali
selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasanalasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
Dengan demikian masing-masing pihak diberikan kebebasan untuk
menyepakati isi dari suatu perjanjian atau biasa dikenal dengan istilah
asas kebebasan berkontrak. Dalam perjanjian tertuang hak dan
kewajiban yang mengikat masing-masing pihak. Asas kebebasan
berkontrak tersebut dimiliki oleh setiap pihak yang mempunyai
kepentingan.
Kepentingan-kepentingan
antar
pihak
kemudian
dituangkan dalam perjanjian yang didalamnya berisi hak dan kewajiban
yang mengikat serta harus dipatuhi oleh masing-masing pihak yang
menyetujuinya.
Asas kebebasan berkontrak mempunyai arti bahwa pihak yang akan
melakukan perjanjian/kontrak dalam keadaan bebas dan tanpa
paksaan. Para pihak tidak dapat dipaksa untuk sepakat karena
bertentangan dengan syarat objektif dalam Pasal 1320 KUHPerdata
yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri.
Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU
Ketenagakerjaan, memberikan ruang bagi pengusaha dan pekerja
mengatur ikatan perkawinan dalam hubungan industrial sepanjang
diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan/atau
Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal 1 butir 14, 20, dan 21 UU Ketenagakerjaan mengatur:
14. Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja,
hak, dan kewajiban para pihak.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis
oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib
perusahaan.
21. Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil
perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
40
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha,
atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak.
Berdasarkan aturan tersebut pengaturan pemutusan hubungan kerja
karena ikatan perkawinan diperbolehkan undang-undang dengan
catatan
adanya
kesepakatan
para
pihak
terlebih
dahulu
yang
dituangkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan/atau
Perjanjian Kerja Bersama.
Pekerja
dan/atau
serikat
pekerja
diberikan
kebebasan
untuk
menyepakati atau tidak suatu Perjanjian Kerja dan pengusaha tidak
dapat memaksa calon pekerja untuk menandatangani Perjanjian Kerja
dan/atau Perjanjian Kerja Bersama. Dengan demikian, apabila pekerja
sepakat kepada suatu perjanjian, maka pekerja tersebut secara sadar
mematuhi dan tunduk kepada Perjanjian Kerja yang telah dibuat berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak (asas pacta sunt servanda).
Hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang
dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
Segala ketentuan dan kode etik yang telah diatur oleh perushaaan
harus dipatuhi oleh pekerja dan pengusaha. Pekerja yang telah setuju
atas Perjanjian Kerja terikat pada kewajiban dan hak yang tercantum
dalam Perjanjian Kerja serta aturan-aturan perusahaan yang berlaku.
ii.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatur bahwa hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan Perjanjian Kerja,
yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Unsur perintah merupakan kewenangan yang dimiliki oleh pengusaha
kepada pekerja agar segala tindakan yang dilakukan oleh pekerja
sesuai dengan kepentingan perseroan asalkan tidak bertentangan
dengan Perjanjian Kerja Bersama dan Peraturan Perusahaan. Perintah
dapat berupa menyuruh melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu yang tertuang dalam Perjanjian Kerja atau Peraturan
Perusahaan.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
41
Berdasarkan ketentuan tersebut, pengusaha dapat menerapkan aturan
yang mewajibkan ataupun melarang suatu tindakan yang bertujuan
untuk meningkatkan kinerja perseroan serta meningkatkan pelayanan
dan sikap profesional dalam bekerja.
Pasal 61 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan mengatur Perjanjian Kerja berakhir apabila
adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama
yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Sesuai dalam ketentuan pasal tersebut di atas, perusahaan dapat
membuat aturan dalam mengatur keadaan tertentu yang apabila terjadi
dalam perusahaan dan dilakukan oleh pegawai, maka perusahaan
dapat memutus hubungan kerja.
iii. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan
Direksi
menjalankan
pengurusan
perseroan
untuk
kepentingan
perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan:
Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan
setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
Direksi berwenang untuk mengeluarkan kebijakan dan aturan-aturan
dalam menjalankan kegiatan perseroan. Segala kebijakan dan aturan
yang
dikeluarkan
oleh
direksi
semata-mata
untuk
kepentingan
perseroan yang dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung
jawab. Oleh karenanya perusahaan dapat mengatur hal-hal yang baik
untuk
kepentingan
bisnisnya
termasuk
mengatur
hal-hal
yang
berpotensi mengganggu hubungan profesionalisme dalam bekerja
termasuk pertalian ikatan perkawinan dalam pekerjaan.
Pengusaha ataupun perusahaan juga perlu diberikan jaminan hukum
yang layak dan adil untuk menjalankan usaha, menggerakkan
perekonomian sebagimana Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan:
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
42
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”.
4. Sebagaimana diuraikan di atas proses bisnis PLN merupakan proses bisnis
yang memiliki kekhususan yaitu proses bisnisnya dari hulu – hilir dengan
berbagai usaha penunjang dan lokasi kerja unit PLN tersebar di seluruh
wilayah Indonesia. Dengan demikian untuk menghindari adanya konflik
kepentingan, menurutnya talent pool, PLN dan serikat pekerja telah mencapai
kesepakatan dalam Addendum Perjanjian Kerja Bersama yaitu menerapkan
Pasal
153
ayat
(1)
huruf
f
mengatur
pemutusan
hubungan
kerja/pemberhentian sebagai pegawai terhadap pekerja/buruh mempunyai
ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan.
5. Perkawinan sesama pegawai berpotensi mengganggu kepentingan dan kinerja
perusahaan
yang
disebabkan
konflik
kepentingan,
menurunkan
sikap
profesional pegawai sehingga mengakibatkan perusahaan tidak luwes/lancer
dalam menentukan kebijakan, terutama kebijakan dalam pengembangan
organisasi dan karir pegawai. Untuk meminimalisir risiko ini maka Pasal 153
ayat (1) huruf f justru memberikan jaminan hukum bagi pengusaha untuk
menjalankan usaha dengan layak dan profesional serta jaminan bagi pekerja
dalam menjalankan hubungan kerja yang profesional untuk mendapatkan
penghidupan yang layak.
6. Bahwa pengaturan ikatan perkawinan sesama pegawai dalam Pasal 153 ayat
(1) huruf f adalah jaminan hukum bagi perusahaan dan pekerja untuk dapat
membuat aturan mengenai pemutusan hubungan kerja akibat pertalian ikatan
perkawinan sesama pegawai selama aturan tersebut telah diatur dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan/atau Perjanjian Kerja Bersama
dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja perseroan dan meminimalisir konflik
kepentingan.
Kesepakatan
dalam
bentuk
Perjanjian
Kerja,
Peraturan
Perusahaan, dan/atau Perjanjian Kerja Bersama adalah pemberian jaminan
hukum yang layak dan adil sesuai dengan undang-undang dan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 bagi pengusaha dan pekerja.
[2 .8 ]
Menimbang bahwa para Pemohon, Presiden dan Pihak Terkait
(Asosiasi Pengusaha Indonesia) masing-masing telah menyampaikan kesimpulan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
43
tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juni 2017 dan
tanggal 14 Juni 2017, yang pada pokoknya menyatakan tetap dengan
pendiriannya;
[2 .9 ]
Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;
3 . PERT I M BAN GAN H U K U M
Kewenangan Mahkamah
[3 .1 ]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945),
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan
konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar 1945;
[3 .2 ]
Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah
pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 153 ayat (1)
huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279, selanjutnya disebut UU
13/2003)
terhadap
UUD
1945,
maka
Mahkamah
berwenang
permohonan a quo;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
mengadili
44
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
[3 .3 ]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, para Pemohon dalam pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan
oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
[3 .4 ]
Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan
selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima
syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
45
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3 .5 ]
Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU
MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan
kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon sebagai berikut:
[3.5.1]
Bahwa
norma
undang-undang
yang
dimohonkan
pengujian
konstitusionalnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 153 ayat (1) huruf f UU
13/2003;
[3.5.2] Para Pemohon mendalilkan bahwa:
1. Pemohon I sampai dengan Pemohon VII adalah pegawai PT. PLN (Persero)
dan Pengurus Dewan Pimpinan Serikat Pegawai Perusahaan Listrik Negara
dan Pemohon VIII adalah mantan pegawai PT. PLN (Persero), masing-masing
sebagai perseorangan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK beserta penjelasannya;
2. Para Pemohon berpotensi mengalami kerugian konstitusional, bahkan banyak
pekerja yang telah mengalami kerugian aktual dengan berlakunya UndangUndang a quo;
3. Dengan merujuk pada Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan,
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya
secara
kolektif
untuk
membangun
masyarakat,
bangsa,
dan
negaranya”, sehingga dapat dikatakan bahwa para Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk memperjuangkan kepentingan diri
sendiri dalam hal jaminan untuk mempertahankan pekerjaan apabila terjadi
pemutusan hubungan kerja;
4. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
46
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”;
5. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka para Pemohon mempunyai
kedudukan
hukum
dan
kepentingan
konstitusional
untuk
mengajukan
permohonan pengujian Pasal 153 ayat (1) huruf f UU 13/2003 terhadap UUD
1945 karena menurut para Pemohon pasal tersebut mengandung materi
muatan yang bersifat menghilangkan dan menyebabkan pemutusan hubungan
kerja
para
Pemohon
disebabkan
terjadinya
perkawinan
dalam
satu
perusahaan, sehingga para Pemohon kehilangan jaminan kerja dan
penghidupan yang layak;
[3.5.3]
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dikaitkan
dengan kerugian konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon, menurut
Mahkamah, berdasarkan penalaran yang wajar para Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
[3 .6 ]
Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah selanjutnya akan
mempertimbangkan pokok permohonan;
Pokok Permohonan
[3 .7 ]
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 153 ayat (1) huruf
f UU 13/2003 bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, dengan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah
adalah hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) UUD 1945. Hal
itu ditegaskan pula dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sementara itu, perkawinan yang sah hanya
dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya
ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU 13/2003 membawa konsekuensi
bahwa pengusaha akan melakukan pelarangan adanya perkawinan sesama
pekerja dalam satu perusahaan. Karena menurut Undang-Undang Perkawinan
sahnya perkawinan adalah sah setelah dilakukan menurut agama berarti
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
47
norma Undang-Undang a quo juga melarang orang melakukan perintah
agamanya;
b. Ketentuan yang termuat dalam Pasal 153 (1) huruf f UU 13/2003
menghilangkan jaminan kerja para Pemohon dan hak atas penghidupan yang
layak serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja
yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Jika perusahaan beralasan
bahwa ketentuan demikian adalah penting untuk mencegah terjadinya korupsi,
kolusi, dan nepotisme, alasan itu tidak dapat diterima sebab terjadinya korupsi,
kolusi, dan nepotisme adalah tergantung kepada mentalitas seseorang;
c. Sesungguhnya, perkawinan antara sesama pegawai dalam satu perusahaan
justru
menguntungkan
pihak
perusahaan
karena
dapat
menghemat
pengeluaran perusahaan dalam hal menangggung biaya kesehatan keluarga
pekerja karena perusahaan hanya akan menanggung satu orang pekerja
beserta keluarga tetapi perusahaan memiliki dua orang pekerja, di mana bisa
suami atau istri yang berkedudukan sebagai penanggung yang akan
didaftarkan ke perusahaan yang bersangkutan.
[3 .8 ]
Menimbang
bahwa
untuk
mendukung
dalilnya,
para
Pemohon
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan
bukti P-8, yang selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara;
[3 .9 ]
Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyerahkan
keterangan tertulis ke Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Juni 2017
(sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara);
[3 .1 0 ]
Menimbang bahwa Presiden yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM
dan Menteri Ketenagakerjaan telah menyampaikan keterangan lisan pada Sidang
Pleno tanggal 15 Mei 2017 dan telah menyerahkan keterangan tertulis ke
Kepaniteraan
Mahkamah
Konstitusi
tanggal
15
Mei
2017
(sebagaimana
selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara);
[3 .1 1 ]
Menimbang bahwa Pihak Terkait Asosiasi Pengusaha Indonesia
(APINDO) telah menyampaikan keterangan lisan dan telah menyerahkan
keterangan tertulis pada Sidang Pleno tanggal 15 Mei 2017 dan tanggal 5 Juni
2017 (sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara);
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
48
[3 .1 2 ]
Menimbang bahwa Pemberi Keterangan PT. PLN (Persero) telah
menyerahkan keterangan tertulis ke Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi tanggal
12 Juni 2017 (sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk
Perkara);
[3 .1 3 ]
Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama
permohonan para Pemohon, bukti surat/tulisan Pemohon, keterangan tertulis DPR,
keterangan lisan dan tertulis Presiden, keterangan Asosiasi Pengusaha Indonesia
(APINDO), dan keterangan tertulis PT. PLN (Persero), bukti surat/tulisan Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO), kesimpulan tertulis Pemohon, kesimpulan tertulis
Presiden, dan kesimpulan tertulis Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO),
Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1]
Bahwa Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja”. Sejalan dengan itu, Pasal 23 ayat (1) Deklarasi HAM PBB
juga menegaskan, “Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas
memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan
menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran”. Hak
konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah
bagian dari hak asasi manusia yang tergolong ke dalam hak-hak ekonomi, sosial,
dan kebudayaan. Berbeda halnya dengan pemenuhan terhadap hak asasi
manusia yang tergolong ke dalam hak-hal sipil dan politik yang pemenuhannya
justru dilakukan dengan sesedikit mungkin campur tangan negara, bahkan dalam
batas-batas tertentu negara tidak boleh campur tangan, pemenuhan terhadap hakhak yang tergolong ke dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan justru
membutuhkan peran aktif negara sesuai kemampuan atau sumber daya yang
dimiliki oleh tiap-tiap negara.
[3.13.2]
Bahwa Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan, “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung
jawab negara, terutama pemerintah”. Oleh karena itu, terlepas dari jenis atau
kategorinya, tanggung jawab negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I ayat
(4) UUD 1945 tersebut tetap melekat pada negara, khususnya Pemerintah. Hal itu
juga berlaku terhadap hak-hak yang menjadi isu konstitusional dalam permohonan
a quo, dalam hal ini khususnya hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
49
perlakuan yang layak dan adil dalam hubungan kerja serta hak untuk membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Meskipun
tanggung jawab untuk melindungi, memajukan, dan memenuhi hak asasi manusia
itu oleh Konstitusi ditegaskan menjadi tanggung jawab negara, khususnya
pemerintah, hal itu bukan berarti bahwa institusi atau orang-perorangan di luar
negara tidak wajib menghormati keberadaan hak-hak tersebut. Sebab, esensi
setiap hak yang dimiliki seseorang selalu menimbulkan kewajiban pada pihak atau
orang lainnya untuk menghormati keberadaan hak itu.
[3.13.3]
Bahwa, selanjutnya, hak atas pekerjaan adalah juga berkait dengan hak
terkait dengan hak kesejahteraan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999) mempertegas ketentuan
yang tertuang dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tersebut. Pasal 38 ayat (1) UU
39/1999 menyatakan, “Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan,
dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.” Dalam ayat (2) diatur,
“Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan
berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”. Ketentuan ini sejalan
dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 6 ayat (1) International Covenant on
Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya) menyatakan, “Negara-negara Pihak pada Kovenan ini
mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk
mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya sendiri secara
bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang tepat guna melindungi hak
tersebut”.
Pertimbangan sebagaimana terurai dalam sub-paragraf [3.13.1] sampai
dengan sub-paragraf [3.13.3] di atas menunjukkan bahwa kewajiban melindungi
hak untuk mendapatkan pekerjaan bukan hanya menjadi kewajiban konstitusional
(constitutional obligation) negara tetapi juga telah menjadi kewajiban yang lahir
dari hukum internasional (international legal obligation), dalam hal ini kewajiban
yang lahir dari keturutsertaan Indonesia dalam International Covenant on
Economic, Social, and Cultural Rights. Benar bahwa Konstitusi memberikan
wewenang konstitusional kepada negara untuk membuat pembatasan terhadap
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
50
hak asasi manusia, namun kewenangan itu tunduk pada persyaratan yang
ditentukan oleh Konstitusi, sebagaimana akan diuraikan lebih jauh dalam
pertimbangan di bawah ini.
[3.13.4]
Bahwa apabila ketentuan yang terdapat UUD 1945, UU 39/1999,
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan International Covenant on Economic,
Social, and Cultural Rights tersebut dikaitkan dengan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU
13/2003 yang secara a contrario berarti bahwa dalam suatu perusahaan yang
mempersyaratkan pekerja/buruh tidak boleh mempunyai pertalian darah dan/atau
ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan dan
menjadikan hal itu sebagai dasar dapat dilakukannya pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh yang bersangkutan, Mahkamah menilai bahwa aturan
tersebut tidak sejalan dengan norma dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 maupun
Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) UU 39/1999, Pasal 6 ayat (1) International Covenant
on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya) yang telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2005, dan Pasal 23 ayat (1) Deklarasi HAM PBB sebagaimana
disebutkan di atas. Pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah takdir yang
tidak dapat direncanakan maupun dielakkan. Oleh karena itu, menjadikan sesuatu
yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan pemenuhan hak asasi
manusia, dalam hal ini hak atas pekerjaan serta hak untuk membentuk keluarga,
adalah tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara konstitusional. Sesuai
dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 pembatasan terhadap hak asasi manusia
hanya dapat dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pembatasan sebagaimana termuat dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU
13/2003 tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
karena tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya
pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dimaksud. Demikian pula tidak ada
norma-norma moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis yang terganggu oleh adanya fakta bahwa
pekerja/buruh dalam satu perusahaan memiliki pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
51
[3 .1 4 ]
Menimbang bahwa Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), dan PT.
PLN (Persero), dalam keterangannya menyatakan memberlakukan Pasal 153 ayat
(1) huruf f UU 13/2003 di lingkungan internal mereka adalah dengan tujuan untuk
mencegah hal-hal negatif yang terjadi di lingkungan perusahaan dan membangun
kondisi kerja yang baik, profesional, dan berkeadilan, serta mencegah potensi
timbulnya konflik kepentingan (conflict of interest) dalam mengambil suatu
keputusan dalam internal perusahaan. Terhadap hal tersebut, Mahkamah
berpendapat bahwa alasan demikian tidak memenuhi syarat pembatasan
konstitusional sebagaimana yang termuat dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Adapun kekhawatiran akan terjadinya hal-hal negatif di lingkungan perusahaan
dan potensi timbulnya konflik kepentingan (conflict of interest) dalam mengambil
suatu keputusan dalam internal perusahaan, hal tersebut dapat dicegah dengan
merumuskan
peraturan
perusahaan
yang
ketat
sehingga
memungkinkan
terbangunnya integritas pekerja/buruh yang tinggi sehingga terwujud kondisi kerja
yang baik, profesional, dan berkeadilan.
Adapun argumentasi yang disampaikan baik oleh Presiden maupun Pihak Terkait
APINDO yang pada prinsipnya mendasarkan pada doktrin pacta sunt servanda
dengan menghubungkannya dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan,
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan
itikad baik”, menurut Mahkamah, argumentasi demikian tidak selalu relevan untuk
diterapkan tanpa memperhatikan keseimbangan kedudukan para pihak yang
membuat persetujuan tersebut ketika persetujuan itu dibuat. Dalam kaitan ini, telah
terang kiranya bahwa antara Pengusaha dan pekerja/buruh berada dalam posisi
yang tidak seimbang. Sebab pekerja/buruh adalah pihak yang berada dalam posisi
yang lebih lemah karena sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan. Dengan
adanya posisi yang tidak seimbang tersebut, maka dalam hal ini filosofi kebebasan
berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian menjadi tidak
sepenuhnya terpenuhi. Berdasarkan pertimbangan demikian maka kata “telah”
yang terdapat dalam rumusan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU 13/2003 tidak dengan
sendirinya berarti telah terpenuhinya filosofi prinsip kebebasan berkontrak.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
52
[3 .1 5 ]
Menimbang
bahwa
berdasarkan
seluruh
pertimbangan
di
atas,
Mahkamah berpendapat dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut
hukum.
4 . K ON K LU SI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan
di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4 .1 ]
Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4 .2 ]
Para
Pemohon
memiliki
kedudukan
hukum
untuk
mengajukan
permohonan a quo;
[4 .3 ]
Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum;
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076);
5 . AM AR PU T U SAN
Mengadili,
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
53
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh
tujuh Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota,
Suhartoyo, Aswanto, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin
Adams, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari
Kamis, tanggal tujuh, bulan Desember, tahun dua ribu tujuh belas, yang
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada
hari Kamis, tanggal empat belas, bulan Desember, tahun dua ribu tujuh belas,
selesai diucapkan pukul 12.26 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief
Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Suhartoyo, Aswanto,
Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Manahan M.P
Sitompul, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi
oleh Wilma Silalahi sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon,
Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan
Pihak Terkait/kuasanya.
KETUA,
ttd.
Arief Hidayat
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
ttd.
Anwar Usman
Suhartoyo
ttd.
ttd.
Aswanto
Maria Farida Indrati
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
54
ttd.
ttd.
I Dewa Gede Palguna
Wahiduddin Adams
ttd.
ttd.
Manahan MP Sitompul
Saldi Isra
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Wilma Silalahi
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]