Academia.eduAcademia.edu

PUTUSAN Nomor 13/PUU-XV/2017

SALINAN PUTUSAN Nomor 13/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1 .1 ] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: 1. Nama : Ir. H. Jhoni Boetja, S.E. Lahir : Tanjung Karang, 2 Juni 1963 Warga Negara : Indonesia Pekerjaan : Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB Jabatan : Ketua Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pegawai Perusahaan Listrik Negara PT. PLN (Persero) WS2JB Alamat : Jalan Kapten A. Riva’i Nomor 37 Palembang – 30129 Sebagai ---------------------------------------------------------------------- Pemohon I; 2. Nama : Edy Supriyanto Saputro, Amd. Lahir : Palembang, 2 April 1973 Warga Negara : Indonesia Pekerjaan : Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB Area Palembang Jabatan : Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pegawai Perusahaan Listrik Negara PT. PLN (Persero) WS2JB Alamat : Jalan Kapten A. Riva’i Nomor 37 Palembang – 30129; Sebagai ---------------------------------------------------------------------- Pemohon II; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 2 3. Nama : Ir. Airtas Asnawi Lahir : Palembang, 20 Maret 1963 Warga Negara : Indonesia Pekerjaan : Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB Jabatan : Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pegawai Perusahaan Listrik Negara PT. PLN (Persero) Kantor Wilayah S2JB Alamat : Jalan Kapten A. Riva’i Nomor 37 Palembang – 30129 Sebagai ----------------------------------------------------------------------Pemohon III; 4. Nama : Saiful Lahir : Jambi, 5 Mei 1963 Warga Negara : Indonesia Pekerjaan : Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB Jabatan : Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pegawai Perusahaan Listrik Negara PT. PLN (Persero) Kantor Wilayah S2JB Alamat : Jalan Urip Sumoharjo Nomor 2, Jambi Sebagai -------------------------------------------------------------------- Pemohon IV; 5. Nama : Amidi Susanto Lahir : Lampung, 03 September 1967 Warga Negara : Indonesia Pekerjaan : Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB Area Palembang Jabatan : Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pegawai Perusahaan Listrik Negara PT. PLN (Persero) WS2JB Area Palembang Alamat : Jalan Kapten A. Riva’i Nomor 37, Palembang Sebagai --------------------------------------------------------------------- Pemohon V; 6. Nama : Taufan, S.E. Lahir : Kota Donok, 26 Desember 1964 Warga Negara : Indonesia Pekerjaan : Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB Area Bengkulu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 3 Jabatan : Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pegawai Perusahaan Listrik Negara PT. PLN (Persero) WS2JB Area Bengkulu Alamat : Jalan Prof. Dr. Hazairin, SH Nomor 8 Bengkulu Sebagai -------------------------------------------------------------------- Pemohon VI; 7. Nama : Muhammad Yunus Lahir : Palembang, 20 Oktober 1983 Warga Negara : Indonesia Pekerjaan : Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB Area Pengatur Distribusi Sumanjalu Jabatan : Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pegawai Perusahaan Listrik Negara PT. PLN (Persero) WS2JB Area Sumanjalu Alamat : Jalan Gubernur Hasan Bastari, Palembang Sebagai -------------------------------------------------------------------- Pemohon VII; 8. Nama : Yekti Kurniasih, Amd. Lahir : Bandung, 24 September 1989 Warga Negara : Indonesia Pekerjaan : Mantan Pegawai PT. PLN (Persero) Wilayah S2JB Area Jambi Jabatan : Anggota Serikat Pegawai Perusahaan Listrik Negara Alamat : Jalan Urip Sumoharjo Nomor 2, Jambi Sebagai ------------------------------------------------------------------- Pemohon VIII; Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------- Para Pemohon; [1 .2 ] Mendengar keterangan para Pemohon; Membaca permohonan para Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan Presiden; Membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; Mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO); Membaca keterangan pemberi keterangan, PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 4 Memeriksa bukti-bukti para Pemohon dan Pihak Terkait Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO); Membaca kesimpulan para Pemohon, Presiden, dan Pihak Terkait Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO); 2 . DU DU K PERK ARA [2 .1 ] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 30 Januari 2017 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 2 Februari 2017, berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 17/PAN.MK/2017 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 13 Februari 2017 dengan Nomor 13/PUU-XV/2017, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 6 Maret 2017, menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon dalam permohonan sebagaimana dimaksud dalam perkara a quo menjelaskan bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 153 ayat (1) huruf f terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 adalah: 1. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 24C ayat (1), “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (bukti P1); 2. Bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (bukti P2); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 5 3. Bahwa berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (bukti P3); II. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) Kedudukan Pemohon dalam permohonan pengujian materiil undang-undang a quo sebagai berikut: 1. Bahwa menurut ketentuan Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 perubahan kedua menyatakan, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya” (Bukti P1); 2. Bahwa dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 perubahan kedua menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” (bukti P1); 3. Bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 51 ayat (1) yang berbunyi: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara (Bukti P2). 4. Sehingga permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 153 ayat (1) huruf f “Yang melarang pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama” adalah bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 (bukti P5); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 6 III. ALASAN/POKOK PERMOHONAN Dalam suatu perusahaan perjanjian kerja dibuat oleh pengusaha dan pekerja, peraturan perusahaan dibuat oleh pihak pengusaha sedangkan perjanjian kerja bersama (PKB) dibuat oleh pengusaha dan para pekerja/buruh. Apabila dilihat kedudukannya perjanjian kerja harus tunduk pada perjanjian kerja bersama, begitupun peraturan perusahaan tidak perlu ada apabila sudah ada perjanjian kerja bersama. Akan tetapi terdapat kesamaan diantaranya, yakni mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak serta syarat-syarat kerja. Di dalam syarat-syarat kerja inilah aturan membatasi hak untuk menikah antara pekerja biasanya diatur. Aturan yang menyatakan bahwa antara pekerja menikah dalam satu perusahaan, maka salah satu wajib keluar atau bahkan akan dilakukan pemutusan hubungan kerja yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, hal tersebut tercantum pada Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Ketenagakerjaan. Alasan-alasan yang dilarang oleh undang-undang perihal pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha, salah satunya pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja karena pekerja/buruh mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya dalam satu perusahaan, kecuali diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Jadi selama aturan tersebut ada dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama maka pekerja/buruh wajib tunduk pada aturan tersebut. Hak dan/atau kewenangan konstitusi Pemohon yang dirugikan akibat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 153 ayat (1) huruf f akan menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja karena telah diatur dalam Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja, atau Perjanjian Kerja Bersama tentunya ini sangat merugikan pekerja/buruh disebabkan hilangnya hak konstitusi Pemohon dengan hilangnya jaminan kerja dan penghidupan yang layak. Pada Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang dituangkan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Hak Asasi Manusia, “Setiap Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 7 orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” kemudian, dalam ayat (2) menyatakan perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon isteri yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (bukti P8). Dalam undang-undang perkawinan, pada Pasal 1 menyatakan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (bukti P6). Dimana Pasal 2 menyatakan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya (Bukti P6). Sedangkan pelarangan perkawinan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Pasal 8 “adalah orang yang memiliki garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau hubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri” (bukti P7). Apabila peraturan perusahaan/perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama mengharuskan suami istri yang bekerja dalam suatu perusahaan salah satunya harus keluar, bahkan dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja seperti yang dialami Pemohon Saudari Yekti Kurniasih dan masih banyak Yekti-Yekti yang lain terkena Pemutusan Hubungan Kerja, karena melakukan perkawinan dalam satu perusahaan, tentunya Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja, atau Perjanjian Kerja Bersama yang memiliki payung hukum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 153 ayat (1) huruf f sangatlah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (2) (bukti P1). Apabila Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 153 ayat (1) huruf f yang mencantumkan kata-kata “kecuali yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”, tidak dihapus/dibatalkan oleh Mahkamah, maka akan berpotensi besar pengusaha akan melakukan pelarangan perkawinan sesama pekerja dalam satu perusahaan yang sama dan pemutusan hubungan kerja akan terus terjadi dikarenakan pekerja tersebut melaksanakan perintah agamanya dengan melakukan ikatan perkawinan dimana jodoh dalam perkawinan tidak bisa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 8 ditentang disebabkan ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang memiliki rasa saling mencintai sulit untuk ditolak, tentunya apabila sudah ada kecocokan dan sepakat, maka hubungan tersebut akan melangkah pada jenjang perkawinan. Masalah lain yang dapat timbul adalah pasangan pekerja tersebut akhirnya memutuskan untuk tidak jadi menikah guna bertahan di perusahaan tersebut, kemudian kedua belah pihak secara baik-baik berpisah seharusnya tidak masalah, tetapi terbuka juga kemungkinan mereka memilih untuk tinggal bersama tanpa suatu ikatan perkawinan guna menghindari peraturan perusahaan. Hal ini tentunya sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan yang dianut oleh bangsa Indonesia yang masih menjunjung tinggi lembaga perkawinan. Pembatasan hak untuk berkeluarga dan hak atas pekerjaan tidak perlu dilakukan, apabila setiap individu yang bekerja dalam satu perusahaan memiliki moral dan etika yang baik, untuk itu diperlukan adanya individuindividu yang menanamkan etika yang baik tersebut. Perkawinan sesama pegawai dalam suatu perusahaan sebenarnya merupakan keuntungan perusahaan karena dapat menghemat pengeluaran perusahaan dalam hal menanggung biaya kesehatan keluarga pekerja disebabkan apabila suami isteri bekerja dalam satu perusahaan yang sama maka perusahaan hanya menanggung 1 (satu) orang pekerja beserta keluarga tetapi perusahaan memiliki 2 (dua) orang pekerja, dimana suami atau isteri yang menanggung sesuai yang didaftarkan ke perusahaan dibandingkan dengan suami yang mempunyai isteri/ibu rumah tangga maka perusahaan hanya mendapatkan 1 (satu) orang pekerja tetapi perusahaan tetap menanggung isteri dan anak-anak pekerja tersebut. Apabila perusahaan beralasan untuk mencegah terjadinya unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam satu perusahaan, menurut Pemohon hal ini sangatlah tidak beralasan karena unsur terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah tergantung dari mentalitas seseorang. Apabila Pasal 153 ayat (1) huruf f yang tercantum kata-kata “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dibatalkan Mahkamah Konstitusi, maka perusahaan dalam hal ini Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 9 pengusaha tidak dapat lagi memasukkan unsur pelarangan pekerja/buruh yang memiliki pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama, dimana pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena pekerja/buruh tersebut melaksanakan perkawinan sesama pekerja dalam satu perusahaan. Dengan dibatalkannya kata-kata “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”, maka hak konstitusi pekerja/buruh terlindungi. Untuk itu Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan sebagian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 153 ayat (1) huruf f yang berbunyi “Kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2). Bahwa Hak Konstitusi Pemohon melekat dalam: - Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; - Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. IV. PETITUM YANG DIMOHONKAN OLEH PEMOHON 1. Mengabulkan permohonan Pemohon; 2. Menyatakan: Membatalkan sebagian Pasal 153 ayat (1) huruf f UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sejak diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi; 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini di dalam lembaran Berita Negara Republik Indonesia. [2 .2 ] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, para Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8 sebagai berikut: 1 Bukti P-1 Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 10 Tahun 1945; 2 Bukti P-2 Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; 3 Bukti P-3 Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman; 4 Bukti P-4 Fotokopi data-data Pemohon; 5 Bukti P-5 Fotokopi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 6 Bukti P-6 Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 7 Bukti P-7 Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil; 6 Bukti P-8 Fotokopi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; [2 .3 ] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 15 Mei 2017, yang pada pokoknya menyampaikan keterangan sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Bahwa para Pemohon pada pokoknya memohon untuk menguji apakah: Ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan, yang berbunyi: Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama; bertentangan dengan: Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah". Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja". dengan alasan-alasan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 11 Bahwa adanya frase “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan, dapat menimbulkan potensi besar bahwa pengusaha akan melarang perkawinan sesama pekerja dalam satu perusahaan yang sama sehingga dapat menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja, yang hal itu bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON Sehubungan dengan kedudukan hukum para Pemohon, Pemerintah berpendapat sebagai berikut: 1. Bahwa berdasar Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945; Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 12 b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya UndangUndang yang diuji; c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. 2. Bahwa selanjutnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUUV/2007 dan putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah telah berpendirian kerugian hak ditentukan dengan lima syarat yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian; c. kerugian tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak seperti yang didalilkan tidak akan dan/atau tidak lagi terjadi; 3. Bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut, maka menurut Pemerintah perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan, juga apakah terdapat kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya UndangUndang yang dimohonkan untuk diuji; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 13 4. Bahwa menurut Pemerintah tidak terdapat kerugian yang diderita oleh para Pemohon, karena secara konkrit baik dalam posita maupun petitumnya para Pemohon tidak menyebutkan bentuk kerugian konstitusional yang dideritanya atas keberlakuan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, dan para Pemohon tidak terhalang-halangi, tidak dikurangi, dihilangkan, dibatasi, dipersulit maupun dirugikan oleh karena berlakunya ketentuan a quo. Sehingga menurut Pemerintah terhadap argumentasi adanya kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon nyata-nyata tidak terbukti. Berdasarkan dalil-dalil di atas, Pemerintah berpendapat para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) dan adalah tepat jika Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI Bahwa alinea keempat Pembukaan UUD 1945, menentukan bahwa tujuan Negara RI salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Oleh karena itu hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan ketenagakerjaan harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan, dengan tetap mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerja dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 14 pekerja/buruh Indonesia untuk membangun negara Indonesia yang dicitacitakan. Bahwa dibentuknya UU Ketenagakerjaan merupakan amanat dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 33 UUD 1945 untuk mengatur lebih teknis pengaturan bidang ketenagakerjaan salah satunya pengaturan mengenai hubungan industrial. Dengan kata lain pengaturan mengenai hubungan industrial dalam UU 13/2003 merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang dalam menentukannya. Dalam UU Ketenagakerjaan diatur menganai hal-hal yang terkait dengan hubungan industrial, termasuk perlindungan pekerja/buruh, perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan, dan kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja. Salah satu bentuk perlindungan pekerja/buruh yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan adalah perlindungan dari adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ketentuan Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan secara eksplisit telah menyebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Segala upaya dimaksud adalah segala kegiatan-kegiatan yang bersifat positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya PHK. Bahwa dalam UU Ketenagakerjaan telah diatur mengenai larangan bagi pengusaha untuk melakukan PHK yang didasarkan atas suatu sebab tertentu, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi: Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terusmenerus; b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; d. pekerja/buruh menikah; e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 15 f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama; g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Bahwa salah satu larangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan, adalah karena alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/ buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Bahwa makna ketentuan a quo pada dasarnya ingin memberikan kesempatan bagi para pelaku hubungan industrial baik pengusaha dan pekerja/buruh untuk menentukan lain. Dalam arti bahwa perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama merupakan suatu bentuk kesepakatan yang dibuat oleh pelaku hubungan industrial dan mengikat bagi para pihak. Bahwa yang dimaksud dengan perjanjian kerja sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”, sedangkan dalam Pasal 1 angka 20 UU Ketenagakerjaan “Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan”, serta dalam Pasal 1 angka 21 UU Ketenagakerjaan, “Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 16 dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak”. Bahwa perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama adalah suatu kesepakatan atau perikatan, dan merupakan undangundang bagi yang mengadakannya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi, “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Bahwa dengan diaturnya frase “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan, pada dasarnya pembentuk UndangUndang mengakui bahwa sumber hukum yang berlaku dan mendasari hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh adalah perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama. Sehingga secara substansi, kewenangan untuk menentukan apakah dengan adanya pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan pekerja/buruh dapat di PHK atau tetap dapat bekerja di dalam satu perusahaan menjadi kewenangan para pihak (pengusaha dan pekerja/buruh) untuk menentukannya. Sehingga pekerja/buruh seharusnya sudah mengetahui dan dapat memperkirakan konsekuensi apabila mereka melakukan perikatan perkawinan sesama rekan sekerja yang dilakukan setelah perjanjian kerja disepakati oleh kedua belah pihak. Bahwa frasa a quo dimaksudkan untuk mengakomodir sifat dan jenis pekerjaan serta karakteristik perusahaan dalam bisnis tertentu, namun demikian dengan adanya ketentuan yang memberlakukan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama terlebih dahulu harus melalui proses pemeriksaan oleh Pemerintah, maka hal ini untuk mencegah terjadinya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pengusaha terkait permasalahan hubungan pertalian darah dan ikatan perkawinan. Dalam hal ini Pemerintah akan memeriksa substansi dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, dan apabila ditemukan hal-hal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] maka 17 Pemerintah akan memberikan koreksi, sebagai bentuk pengawasan dari Pemerintah. Sehingga diaturnya frase “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan, tidaklah bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Sehingga terhadap dalil para Pemohon tidak beralasan dan tidak berdasar. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi, dapat memberikan putusan sebagai berikut: 1) Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing); 2) Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidaktidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); 3) Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan; 4) Menyatakan ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [2 .4 ] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 13 Juni 2017, yang pada pokoknya menyampaikan keterangan sebagai berikut: A. Ketentuan UU Ketenagakerjaan Yang Dimohonkan Pengujian Terhadap UUD 1945 Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Bahwa isi ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 18 (1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: ... f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama..."; B. Hak Dan/atau Kewenangan Konstitusional para Pemohon Yang Dianggap Dirugikan Oleh Berlakunya Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan yang pada intinya sebagai berikut: Dengan diberlakukannya pasal a quo, para Pemohon merasa hak konstitusionalnya telah dilanggar. Selain itu, ketentuan pasal a quo juga bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945. Ketentuan pada Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan telah merugikan Pemohon berupa jaminan kerja dan penghidupan yang layak karena dengan diberlakukannya ketentuan a quo yang dapat menyebabkan terjadinya pemutusan kerja. Selain itu, pasal a quo juga bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 Pasal 28B ayat (1) untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan. Kerugian ini dialami secara nyata oleh salah satu Pemohon, Saudari Yekti Kurniasih. Ketentuan ini bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) dan ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan (selanjutnya disebut sebagai PP 45/1990) (vide permohonan halaman 5-7). Para Pemohon beranggapan bahwa ketentuan dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang berketentuan sebagai berikut:  Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 "(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah."  Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 "(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja." Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 19 Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, para Pemohon dalam petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon; 2. Menyatakan membatalkan sebagian Pasal 153 ayat (1) huruf f UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama" adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sejak diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi; 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini di dalam lembaran Berita Negara Republik Indonesia. C. Keterangan DPR RI Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo, DPR RI dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kedudukan Hukum (legal standing) Para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi), yang menyatakan bahwa “Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undangundang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara”. Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UndangUntuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 20 Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”. Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi; b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang a quo. Mengenai batasan kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam perkara pengujian UU a quo, maka sesungguhnya tidak ada hak dan/atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 21 kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakuknya ketentuan pasal-pasal UU a quo yang dimohonkan pengujian. Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon a quo, DPR RI memberikan penjelasan sebagai berikut: a. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan. Namun pada penjelasan legal standing para Pemohon tidak menjelaskan hak konstitusional yang dilanggar dengan diberlakukannya Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan. Para Pemohon tidak menjelaskan uraian kerugian yang dialami para Pemohon dalam permohonan a quo. Para Pemohon tidak menjelaskan secara spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi sesuai dengan parameter kerugian konstitusional yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007). b. Bahwa dalam permohonan yang diajukan, para Pemohon tidak dapat membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialami para Pemohon dengan berlakunya pasal a quo yang dimohonkan pengujian. Para Pemohon adalah pengurus dan anggota serikat pekerja yang bertindak untuk dan atas nama sendiri melalui permohonan bersama-sama merasa dengan diberlakukannya ketentuan pasal a quo dapat merugikan dirinya sebagai pekerja terhadap pengaturan mengenai diperbolehkannya dilakukan pemutusan hubungan kerja dalam hal mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan. Namun dalam permohonan setiap para Pemohon (Pemohon I - VIII) yang bertindak atas nama sendiri tidak dapat mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya dengan berlakunya pasal a quo pada setiap Pemohon I - VIII, sehingga dengan demikian para Pemohon sama sekali tidak memiliki kerugian konstitusional. Sebagaimana diuraikan dalam permohonan Pemohon sehingga permohonan menjadi samar dan kabur (obscuur libel) karena tidak ditemukan pelanggaran hak konstitusional pada setiap Pemohon I - VIII dengan diberlakukannya pasalUntuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 22 pasal a quo. Dengan tidak adanya hal tersebut, para Pemohon a quo tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi. c. Bahwa dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” (no action without legal connection). Syarat adanya kepentingan hukum juga telah digariskan dalam syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007 huruf d yang menentukan adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007. 2. Pengujian Materiil atas Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan Terhadap permohonan pengujian Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, DPR RI menyampaikan keterangan sebagai berikut. 1) Bahwa dalam pembukaan alinea ke-4 (keempat) UUD 1945 menegaskan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Republik Indonesia antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam memajukan kesejahteraan umum, negara bertanggung jawab untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 23 meningkatkan kesejahteraan sehingga hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah jaminan sekaligus hak konstitusional setiap warga negara. Hak atas pekerjaan dapat meningkatkan kesejahteraan seseorang sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak. 2) Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya supremasi hukum (A.V. Dicey) yang artinya segala upaya penegakan hukum dan penempatan hukum pada posisi tertinggi dari segalanya, serta menjadikan hukum sebagai panglima ataupun komandan dalam upaya untuk menjaga dan melindungi tingkat stabilitas dalam kehidupan suatu bangsa dan negara (Abdul Manan). 3) Bahwa dalam menyusun UU Ketenagakerjaan, pembuat UU juga telah memperhatikan standar internasional seperti Konvensi ILO dan Konvensi PBB baik yang telah maupun belum diratifikasi oleh Indonesia. Ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 Konvensi PBB mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengenai kewajiban negara untuk menjamin setiap pekerja diperlakukan secara adil dan tanpa diskriminasi di dalam semua aspek ketenagakerjaan juga telah dimasukan dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan. 4) Bahwa ketentuan dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan yang berbunyi, "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama" telah mengadopsi prinsip kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian, dimana ketentuan tersebut hanya bisa dilaksanakan apabila telah disepakati oleh kedua belah pihak melalui suatu perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. Selain itu, dalam membuat suatu aturan, perusahaan tidak diperkenankan memasukkan ketentuan yang bertentangan dengan ketentuan perusahaan hukum yang berlaku dimana tersebut berkedudukan atau berdiri. Ketentuan dalam berkontrak diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berketentuan: "Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat; 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 24 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang." 5) Bahwa perjanjian kerja merupakan bagian dari perjanjian yang dimaksudkan dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata). Sebagai bagian dari Buku III KUHPerdata maka berlaku asas-asas umum dari suatu perikatan salah satunya asas pacta sun servanda yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas pacta sun servanda menyatakan bahwa perjanjian merupakan undang-undang bagi yang membuatnya. Undang-undang merupakan bagian dari hukum dan sebagai negara hukum otomatis setiap warga negara harus menaati perjanjian yang dibuatnya karena perjanjian berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata sama dengan undang-undang bagi yang membuatnya. Perjanjian kerja juga bersifat mengikat dikarenakan merupakan hasil kesepakatan para pihak yang harusnya muncul tanpa paksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat sah perjanjian. Oleh karena itu persetujuan atau kesepakatan tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan persetujuan atau kesepakatan para pihak, yakni pihak pemberi kerja dan pihak penerima kerja. Tentunya, penerimaan maupun penolakan terhadap perjanjian maupun kontrak tersebut akan menimbulkan konsekwensi tersendiri yang berbeda-beda. 6) DPR RI berpandangan bahwa tidak benar ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan telah bertentangan dengan kebebasan membentuk sebuah keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah atas dasar kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan. Pekerja bebas melakukan perkawinan dengan siapapun yang dikehendaki dan dirasa telah cocok, namun dengan adanya ketentuan pada perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan yang melarang untuk menikah dengan sesama pekerja pada perusahaan tersebut, maka salah satu pekerja dapat mengundurkan diri karena ketentuan dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama ataupun peraturan perusahaan tersebut telah disepakati dan berlaku mengikat bagi seluruh pekerja di instansi tersebut. Sebaliknya, apabila pekerja memaksakan untuk melakukan pernikahan dengan sesama pekerja pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 25 instansi dimana ia bekerja, maka pekerja tersebut telah melakukan wanprestasi dan kepadanya dapat dikenakan sanksi tertentu sesuai dengan ketentuan perusahaan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 7) Bahwa pada dasarnya, larangan adanya ikatan perkawinan dalam satu perusahaan dimaksudkan untuk menjaga profesionalitas karyawan. Di samping itu, larangan adanya ikatan perkawinan dalam satu perusahaan juga dimaksudkan agar tidak terjadi konfik kepentingan (conflict of interest) antara suami-isteri yang bekerja dalam satu perusahaan. Konflik berkepentingan dapat terjadi ketika individu atau organisasi terlibat dalam berbagai kepentingan, sehingga dapat mempengaruhi motivasi untuk bertindak dan berbagai aktivitas lainnya. Konflik kepentingan muncul ketika seseorang pada posisi tertentu memiliki kepentingan profesional dan pribadi yang bersinggungan. Persinggungan kepentingan ini dapat menyulitkan orang tersebut untuk menjalankan tugasnya. Suatu konflik kepentingan dapat timbul bahkan jika hal tersebut tidak menimbulkan tindakan yang tidak etis atau tidak pantas. 8) Bahwa menurut Thomas Hobbes keadilan merupakan suatu penataan terhadap suatu perjanjian. Sehingga keadilan dipandang sebagai perbuatan yang telah diatur di dalam suatu perjanjian. Pekerja yang telah menandatangi suatu perjanjian atau kontrak kerja yang di dalamnya termuat suatu aturan bahwa dilarangnya terjadi suatu ikatan perkawinan harus menaati ketentuan hal yang telah disepakati. Sesuai dengan teori keadilan yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes apabila pekerja yang melanggar ketentuan yang termuat dalam suatu perjanjian yang telah disepakati dapat dikatakan melakukan perilaku yang tidak adil dan dapat berakibat pada perolehan keadilan bagi orang lain akan terganggu. 9) Bahwa hak setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah memang telah menjadi salah satu hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945. Akan tetapi, hak ini tidaklah termasuk dalam salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun menurut Pasal 28I UUD 1945 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM). Sehingga dalam keadaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 26 tertentu hak untuk membentuk keluarga dapat disimpangi. Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan merupakan salah satu bentuk pasal yang menyimpangi aturan ini. 10) Aturan penyimpangan ini tidak hanya terdapat dalam UU Ketenagakerjaan, akan tetapi juga dalam UU khusus yang mengatur perkawinan yaitu Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Pasal tersebut melarang dilangsungkannya perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya dan peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Keberadaan pasal ini menegaskan bahwa larangan untuk melangsungkan perkawinan juga dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya termasuk UU Ketenagakerjaan. 11) Bahwa terjadinya pemecatan atau pemutusan hubungan kerja antara perusahaan dengan pekerja yang melakukan pernikahan dengan sesama pekerja, yang berarti pekerja tersebut telah melanggar ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian kerja maupun perjanjian kerja bersama sehingga dapat dinyatakan telah melakukan wanprestasi atau pelanggaran kesepakatan yang telah dilakukan oleh pihak pemberi kerja dan pekerja ketika ikatan kontrak dibangun diantara para pihak, merupakan konsekwensi yang telah diatur dengan jelas menurut kesepakatan para pihak melalui perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perusahaan. Oleh karena itu tidak benar bahwa ketentuan dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. 12) Bahwa jika ada permasalahan dengan perjanjian kerja, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut UU 2/2004) sesungguhnya telah mengatur bagaimana cara/proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial diantara para pihak baik di luar pengadilan maupun dalam pengadilan. Perselisihan berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja merupakan salah satu bentuk perselisihan hubungan industrial menurut Pasal 1 angka 1 UU 2/2004. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 27 Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); 2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima; 3. Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan; 4. Menyatakan Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya pada bagian "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama" tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5. Menyatakan Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya pada bagian "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama" tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2 .5 ] Menimbang bahwa dalam perkara a quo, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) telah menyampaikan keterangan dalam persidangan pada tanggal 15 Mei 2017, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Adapun terkait permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 153 ayat (1) huruf f khususnya pada klausul yang mencantumkan kata-kata “kecuali yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama” terhadap Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 untuk dibatalkan, maka dapat kami sampaikan beberapa keterangan sebagai berikut: 1. Bahwa perkawinan antara pekerja laki-laki dan pekerja wanita dalam satu perusahaan ataupun satu instansi pemerintahan telah lama terjadi dan mengakibatkan dampak positif maupun negatif baik kepada perusahaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 28 maupun kepada pekerja itu sendiri dan pekerja lainnya sebagai bagian dari perusahaan tersebut. 2. Bahwa adapun dampak positif dari perkawinan sesama pekerja dalam satu perusahaan adalah pasangan pekerja tersebut secara emosional akan saling menguatkan hubungan keluarganya sehingga merasa aman dan tenteram karena saling melindungi. Namun demikian, selain dampak positif tersebut juga terdapat dampak negatif yang berhubungan dengan perasaan saling melindungi tersebut yang berpotensi negatif yakni dapat mengurangi bahkan menghilangkan objektivitas kerja dari hubungan kerja antara pekerja dan manajemen perusahaan. Sebagai contoh seorang Manager HRD disatu perusahaan mempekerjakan istri atau suami dari atasan kerjanya yakni General Manager disatu perusahaan sebagai Supervisor, dimana pada suatu keadaan tertentu istri atau suami atasan Manager HRD tersebut melakukan pelanggaran indisipliner atau pelanggaran lainnya yang dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Dengan kondisi tersebut, secara psikologis akan terjadi konflik bathin bagi Manager HRD tersebut untuk menegakkan aturan diperusahaannya. 3. Bahwa dengan adanya dampak negatif dan positif tersebut, maka Pemerintah mengatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pada Pasal 153 ayat (10) huruf f dengan tujuan untuk mencegah hal-hal yang negatif terjadi di lingkungan perusahaan dan membangun kondisi kerja yang baik, professional, dan berkeadilan. 4. Bahwa UUD 1945 pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28B ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Kemudian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” serta Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang juga menegaskan bahwa “Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan bathin yang satu kepada yang lain”. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa perkawinan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 29 adalah hak setiap orang yang bersifat sakral dan terdapat kewajiban bagi suami istri yang menjadikan hubungan keduanya menjadi sangat kuat dan “khusus”. 5. Bahwa pada prinsipnya perusahaan tidak melarang seseorang untuk menikah, akan tetapi apabila suami istri bekerja dalam satu perusahaan yang sama akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) dalam mengambil keputusan dalam internal perusahaan, dan juga dapat mengganggu objektifitas serta profesionalisme dalam pekerjaannya. Misalnya berkaitan dengan penilaian kinerja pekerja, dalam pengembangan karir, dalam promosi, pemberian sanksi dan sebagainya yang akan mengganggu rasa keadilan bagi pekerja lainnya yang tidak memiliki hubungan khusus sebagai suami istri dalam satu perusahaan yang jumlahnya tentu lebih banyak sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. 6. Bahwa Ketentuan yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 153 ayat (1) huruf f adalah Tidak Bertentangan Dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini bertujuan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar dalam menjaga hak setiap warga negara untuk menikah tetapi sekaligus juga untuk menjaga hak setiap orang yang bekerja guna mendapatkan perlakuan yang adil dimana kedua hal tersebut merupakan hak asasi manusia yang sama-sama diatur di dalam UUD 1945 Pasal 28J ayat (1) yang menegaskan bahwa “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara” dan ayat (2) yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyaraka demokrat is” . Berdasarkan keterangan yang dikemukakan di atas, maka APINDO berpendapat; 1. Bahwa ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang pada prinsipnya menegaskan bahwa Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 30 bahwa pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. 2. Bahwa dengan adanya pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini memberikan jaminan kondusivitas hubungan kerja sesama pekerja maupun pekerja dan manajemen perusahaan, sehingga mempengaruhi profesionalitas kerja dan memberikan keadilan baik antara pekerja itu sendiri maupun bagi perusahaan. Selanjutnya Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) telah menyampaikan keterangan tambahan dalam persidangan pada tanggal 5 Juni 2017, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. Kebiasaan Merupakan Sumber Hukum Formil 1. Bahwa ketentuan larangan mempekerjakan antara pekerja laki-laki dan pekerja wanita yang mempunyai hubungan suami/istri (ikatan perkawinan) dalam satu perusahaan ataupun satu instansi pemerintahan telah lama terjadi begitupun dengan ketentuan mempekerjakan karyawan atau pekerja/buruh yang mempunyai hubungan darah dalam satu perusahaan (pengecualian untuk perusahaan keluarga) pun telah lama terjadi dan mengakibatkan dampak positif maupun negatif baik kepada perusahaan maupun kepada pekerja itu sendiri dan pekerja lainnya sebagai bagian dari perusahaan tersebut. 2. Bahwa ketentuan ini sudah menjadi sebuah kebiasaan yang berlaku umum dalam dunia bisnis khususnya berkaitan dengan hubungan industrial. Ketentuan ini telah ada jauh sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kebiasan yang telah berlaku umum merupakan sumber hukum formil di Indonesia. Kebiasaan merupakan sumber hukum formil dengan syarat: a. Harus ada perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan berulangkali dalam hal yang sama dan diikuti oleh orang banyak/umum; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 31 b. Harus ada keyakinan hukum dari orang-orang/golongan-golongan yang berkepentingan dalam arti harus terdapat keyakinan bahwa aturanaturan yang ditimbulkan oleh kebiasaan itu mengandung/memuat halhal yang baik dan layak untuk diikuti/ditaati serta mempunyai kekuatan mengikat. 3. Bahwa kebiasaan dalam dunia bisnis ini salah satunya dapat dilihat dari adanya peraturan yang dibuat oleh Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO) pada tahun 1973 sekarang Bank Mandiri yang menegaskan tentang pernikahan antar pegawai BAPINDO yang pada prinsipnya mengatur berkenaan dengan larangan mempekerjakan pegawai yang mempunyai hubungan suami/istri. Keputusan Direksi Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO) Nomor 6 Tahun 1973 tentang Pernikahan Antar Pegawai BAPINDO (sekarang menjadi Bank Mandiri) (bukti 1). Pasal 1 “Setelah dikeluarkannya keputusan direksi ini, hubungan kerja antara Bapindo dengan salah seorang dari pegawai yang akan menikah dengan sesama pegawai Bapindo akan terputus dengan sendirinya terhitung mulai tanggal pernikahan tersebut”. Pasal 2 “Pemutusan hubungan kerja termaksud pada Pasal 1 di atas, akan berlaku atas diri pegawai yang mempunyai masa kerja yang terpendek diantara ke-2 (dua) pegawai yang menikah, kecuali apabila mereka secara tertulis menyatakan pilihan lain dari mereka berdua”. Pasal 3 “Kedua pegawai yang bersangkutan yang akan menikah, 1 (satu) bulan sebelum pernikahannya dilangsungkan, harus memberitahukan bersamasama secara tertulis kepada Bapindo tentang maksud masing-masing sehubungan dengan ketentuan Pasal 2”. II. Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) khususnya berkaitan dengan Pencegahan terhadap praktek nepotisme diperusahaan 1. Bahwa untuk mencegah terjadinya praktek nepotisme di perusahaan maka ketentuan-ketentuan berkenaan dengan larangan mempekerjakan karyawan atau pekerja/buruh yang mempunyai hubungan keluarga atau suami istri telah terjadi jauh sebelum munculnya Undang-Undang Nomor Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 32 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan tersebut dapat dilihat dari Keputusan Direksi Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO) Nomor 6 Tahun 1973 tentang Pernikahan Antar Pegawai BAPINDO (sekarang menjadi Bank Mandiri) (bukti 1). Pasal 1 “Setelah dikeluarkannya keputusan direksi ini, hubungan kerja antara Bapindo dengan salah seorang dari pegawai yang akan menikah dengan sesama pegawai Bapindo akan terputus dengan sendirinya terhitung mulai tanggal pernikahan tersebut”. Pasal 2 “Pemutusan hubungan kerja termaksud pada Pasal 1 di atas, akan berlaku atas diri pegawai yang mempunyai masa kerja yang terpendek diantara ke-2 (dua) pegawai yang menikah, kecuali apabila mereka secara tertulis menyatakan pilihan lain dari mereka berdua”. Pasal 3 “Kedua pegawai yang bersangkutan yang akan menikah, 1 (satu) bulan sebelum pernikahannya dilangsungkan, harus memberitahukan bersamasama secara tertulis kepada Bapindo tentang maksud masing-masing sehubungan dengan ketentuan Pasal 2”. 2. Bahwa Keputusan Direksi BAPINDO Nomor 6 Tahun 1973 (sekarang menjadi Bank Mandiri) tersebut menegaskan ketentuan PHK terhadap karyawan yang mempunyai hubungan pernikahan diatur sebelah pihak oleh perusahaan dalam rangka pencegahan terhadap potensi terjadinya nepotisme karena hal tersebut merupakan faktor yang sangat penting dalam dunia perbankan (sektor perbankan dan sektor keuangan). Namun demikian setelah adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya pada Pasal 153 ayat (1) huruf f maka ketentuan PHK tersebut dilakukan dengan adanya perjanjian yang ditetapkan bersama oleh kedua belah pihak yakni perusahaan dan karyawan atau pekerja/buruh diperusahaan bersangkutan yang tercantum di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. 3. Bahwa larangan mempekerjakan karyawan atau pekerja/buruh yang mempunyai ikatan darah, hubungan suami istri juga telah diterapkan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengacu pada prinsip Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang baik (Good Corporate Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 33 Governance), prinsip Kesetaraan/Equalitas, dan Tidak Diskriminatif sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Menteri BUMN Nomor SE06/MBU/2014 tentang Pencegahan Praktek Nepotisme di Badan Usaha Milik Negara (Bukti 2). 4. Bahwa mengacu pada Surat Edaran Kementerian BUMN tersebut pada poin 3 di atas, maka perusahaan-perusahaan BUMN termasuk perusahaan perbankan milik BUMN seperti Bank BNI, Bank Mandiri, Bank BRI, dan diikuti oleh perusahaan perbankan swasta lainnya tentu akan menerapkan ketentuan yang sama kedalam Peraturan Perusahaannya yang dituangkan di dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) (bukti – 3). III. Membuka Peluang Kerja bagi Kepala Keluarga Lainnya 1. Bahwa dengan adanya ketentuan larangan mempekerjakan karyawan atau Pekerja/Buruh yang mempunyai hubungan pernikahan dalam satu perusahaan yang diterapkan oleh beberapa perusahaan tertentu dengan menimbang kondisi perusahaannya masing-masing, hal ini memberikan peluang untuk membuka kesempatan kerja yang seluas-luasnya bagi pencari kerja lainnya, artinya jika dari 1.000 orang pekerja di suatu perusahaan merupakan kepala keluarga yang menghidupi beberapa istri dan anak-anaknya, maka secara tidak langsung dapat mensejahterakan 1.000 keluarga yang bersangkutan. Lain halnya apabila 1.000 pekerja tersebut bekerja di satu perusahaan dengan 200 pekerja merupakan pasangan suami istri, maka keluarga yang sejahtera melalui hubungan kerja hanya 900 keluarga saja dan secara tidak langsung menutup kesempatan bagi kepala keluarga lainnya (100 kepala keluarga) untuk memperoleh kesempatan bekerja dan meraih kesejahteraan bersama perusahaan tersebut. 2. Bahwa dengan di-PHK-nya salah satu karyawan atau pekerja/buruh yang bekerja dalam satu perusahaan baik itu suami atau istrinya, Hal ini tidak akan menutup kesempatan kerja baginya untuk bekerja di perusahaan lainnya. Kesempatan kerja di perusahaan lain tersebut akan mudah diterima oleh Karyawan atau Pekerja/Buruh yang telah di PHK tersebut dengan syarat kemampuan atau kompetensi bagus yang telah dimilikinya. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 34 Berdasarkan keterangan yang kami kemukakan di atas, maka kami berpendapat; 1. Bahwa dengan adanya frasa kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama pada Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut. Hal ini memberikan peluang kepada Perusahaan dan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Buruh di satu perusahaan untuk mengatur penata kelolaan persoalan hubungan industrial di perusahaan sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan mereka masing-masing dengan cara dirundingkan terlebih dahulu persyaratan dan mekanisme yang dikehendaki bersama yang tentunya akan dituangkan ke dalam kesepakatan bersama yakni Perjanjian Kerja dan/atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). 2. Bahwa ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang pada prinsipnya menegaskan bahwa Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan bahwa Pekerja/Buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Bahwa dengan adanya Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini memberikan jaminan kondusifitas hubungan kerja sesama pekerja maupun pekerja dan manajemen perusahaan, sehingga mempengaruhi profesionalitas kerja dan memberikan keadilan baik antara pekerja itu sendiri maupun bagi perusahaan. 4. Bahwa berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan di atas mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini untuk dapat menolak seluruh permohonan uji materi Pemohon yang telah diajukan oleh Ir. H. Jhoni Boetja, S.E. dan kawan kawan. Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Makhamah Konstitusi dalam perkara ini berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (et aequo et bono). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 35 [2 .6 ] Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Pihat Terkait APINDO mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-3 sebagai berikut: 1 Bukti PT-1 Fotokopi Lembaran Pengumuman Keputusan Direksi Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO) Nomor 6 Tahun 1973 tentang Pernikahan Antar Pegawai BAPINDO; 2 Bukti PT-2 Fotokopi Surat Edaran Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor SE-06/MBU/2014 tentang Pencegahan Praktek Nepotisme di Badan Usaha Milik Negara; 3 Bukti PT-3 Fotokopi PKB Bank BNI Tahun 2015 pada Pasal 69; [2 .7 ] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo, PT. PLN (Persero) telah menyampaikan keterangan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 12 Juni 2017, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 1. Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja karena pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 2. Aturan atau kode etik perusahaan yang mengatur hubungan perkawinan sesama pegawai berbeda-beda antar satu perusahaan dan lainnya. Di PT. PLN (Persero) pada khususnya sebagai perusahaan yang memiliki karakteristik khusus mengatur pemutusan hubungan kerja akibat ikatan perkawinana sesama pegawai dengan pertimbangan profesionalitas dan mencegah terjadinya konflik kepentingan antara pegawai yang dapat menurunkan kinerja perusahaan. Reputasi pegawai yang tidak dapat memisahkan antara ursuan pribadi dengan urusan pada pekerjaan berpengaruh negatif bagi perusahaan dan berdampak buruk bagi citra pegawai itu sendiri. 3. Bahwa latar belakang PT. PLN (Persero) dan Serikat Pekerja menyepakati pengaturan perkawinan sesama pegawai dalam Addendum Kedua Perjanjian Kerja Bersama tanggal 11 Oktober 2013 adalah sebagai berikut: a. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 36 seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Dengan demikian ikatan perkawinan adalah ikatan khusus, ikatan lahir dan batin antara suami istri yang kuat dan khusus. Dari sisi hubungan industrial, ikatan perkawinan ini mempunyai risiko yang berpotensi mengganggu dan/atau mengurangi profesionalitas hubungan kerja, antara lain: i. Dari sisi konflik kepentingan – kolusi, perlakuan yang berbeda Konflik kepentingan terjadi ketika pegawai sebagai suami dan/atau istri mempunyai posisi yang menguntungkan secara personal baik langsung atau tidak langsung dari hubungan pertalian ikatan perkawinan yang berpengaruh terhadap kepentingan bisnis perusahaan. Apabila ada pegawai yang menikah satu kantor dan keduanya memiliki jabatan atau fungsi yang strategis, maka berpotensi memunculkan konflik kepentingan. Contoh: a) Pegawai A menjabat sebagai manajer SDM, di satu sisi istrinya sedang menjalani fit & proper test untuk seleksi jabatan tertentu di kantor Pegawai A tersebut. b) Pegawai A sebagai General Manager, Pegawai B sebagai istri menjabat Pejabat Pengadaan. c) Pegawai A sebagai engineer di bidang teknologi informasi, pegawai B sebagai istri di bidang niaga, informasi keamanan data penjualan tenaga listrik dalam sistem teknologi PLN dapat digunakan untuk kepentingan pribadi dalam bidang niaga jual beli tenaga listrik. ii. Dari sisi Talent Pool Perkawinan antar pegawai dapat menimbulkan hambatan bagi perusahaan dalam membina karir pegawai yang bersangkutan. Ada jabatan yang tersedia kepada pegawai yang memiliki kualitas dan potensi untuk menduduki jabatan tersebut, namun karena formasi jabatan berpengaruh terhadap jabatan/fungsi suami/istri yang juga pegawai, maka perusahaan tidak dapat memberikan jabatan tersebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 37 kepada pegawai yang bersangkutan, sehingga perusahaan kehilangan potensi sumber daya manusia yang mempunyai kualitas yang sama atau lebih baik dari pegawai tersebut (no right man in the right place). Dengan sumber daya yang ada, perusahaan bisa lebih fokus dalam menjalankan fungsi strategic pembinaan kompetensi pegawai dibandingkan dengan menangani hal yang bersifat administrative, sehingga pegawai lebih terpantau pengembangan karirnya, keterbatasan formasi jabatan. Perusahaan akan secara profesional menempatkan pegawai sesuai kompetensinya, sehingga pegawai mendapatkan pembinaan karir tanpa terkendala dengan faktor pernikahan. Dengan demikian, terjadi harmonisasi antara kepentingan pribadi pegawai dan kepentingan perseroan secara proporsional dengan memperhatikan kondisi perseroan. iii. Permintaan/penolakan mutasi yang mengganggu profesionalisme bekerja Bagi PLN perusahaan yang proses bisnisnya terintegrasi dan berlokasi di seluruh wilayah Indonesia, mutasi pegawai adalah hal yang awam terjadi terlebih untuk kebutuhan formasi tenaga kerja. Sedari menjadi pegawai PLN, pegawai yang bersangkutan sudah mengetahui konsekuensi bekerja di PLN adalah bersedia ditempatkan di seluruh unit kerja PLN. Pertalian suami istri mengakibatkan banyaknya permintaan mutasi/ penolakan mutasi dengan alasan pribadi yaitu suami istri mutasi atau tidak ikut dimutasi. Keadaan suami istri tidak dalam satu kediaman yang sama dan tetap tidak dikehendaki dalam perkawinan, hal ini juga diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: (1) Suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-istri bersama. Kegiatan usaha/bisnis PLN tentu tidak dapat menjadi penghalang suami/istri mempunyai kediaman tetap bersama, oleh karena ikatan hubungan perkawinan lebih kuat dan khusus dari hubungan industrial, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 38 maka hal ini menjadi penghalang dalam peningkatan profesionalisme bekerja yang tentu secara linear mengganggu kinerja perusahaan. b. Faktor jenis usaha menjadi salah satu pertimbangan utama diaturnya ikatan perkawinan dalam satu perusahaan. Beberapa perusahaan dengan jenis bisnis dan transaksi dengan risiko tinggi dan sangat mengedepankan kualitas pelayanan dan profesionalitas melarang perkawinan sesama pegawai (bank, asuransi, bisnis terintegrasi, PLN, dll). Setiap perusahaan mempunyai karakteristik usaha/industri yang berbedabeda. Misal perusahaan: multinasional, bisnis terintegrasi se-Indonesia, terlokalisir di suatu daerah, kerahasiaan/kepercayaan tinggi, teknologi tinggi, dll. Sedangkan Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak mengatur kekhususan hubungan industrial masing-masing karakteristik perusahaan. Oleh karenanya Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan kesempatan kepada pengusaha dan tenaga kerja mengatur tata kerja melalui Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan/atau Perjanjian Kerja Bersama. Karakteristik usaha/bisnis PLN adalah perusahaan yang proses bisnisnya dari hulu sampai hilir dengan berbagai usaha penunjang serta lokasi kerja unit PLN yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian insan sumber daya manusia PLN merupakan bagian dari Formasi Tenaga Kerja yang harus mampu dan bersedia melaksanakan pekerjaana secara optimal dengan lokasi kerja seluruh Indonesia. Formasi tenaga kerja PLN yang dipersiapkan meningkat setiap tahunnya membutuhkan tenaga kerja yang siap dan professional untuk menjalankan bisnis ketenagalistrikan secara profesional, PLN meminimalisir resiko dari adanya potensi konflik kepentingan yang mengganggu kinerja perusahaan. Oleh karenanya adanya Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan justru memberikan kepastian hukum dan mendukung bisnis yang profesional. c. Dari sisi Legal Yuridis i. Pasal 1338 KUHPerdata Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan, semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 39 mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasanalasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan demikian masing-masing pihak diberikan kebebasan untuk menyepakati isi dari suatu perjanjian atau biasa dikenal dengan istilah asas kebebasan berkontrak. Dalam perjanjian tertuang hak dan kewajiban yang mengikat masing-masing pihak. Asas kebebasan berkontrak tersebut dimiliki oleh setiap pihak yang mempunyai kepentingan. Kepentingan-kepentingan antar pihak kemudian dituangkan dalam perjanjian yang didalamnya berisi hak dan kewajiban yang mengikat serta harus dipatuhi oleh masing-masing pihak yang menyetujuinya. Asas kebebasan berkontrak mempunyai arti bahwa pihak yang akan melakukan perjanjian/kontrak dalam keadaan bebas dan tanpa paksaan. Para pihak tidak dapat dipaksa untuk sepakat karena bertentangan dengan syarat objektif dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri. Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan, memberikan ruang bagi pengusaha dan pekerja mengatur ikatan perkawinan dalam hubungan industrial sepanjang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan/atau Perjanjian Kerja Bersama. Pasal 1 butir 14, 20, dan 21 UU Ketenagakerjaan mengatur: 14. Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. 20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. 21. Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 40 bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak. Berdasarkan aturan tersebut pengaturan pemutusan hubungan kerja karena ikatan perkawinan diperbolehkan undang-undang dengan catatan adanya kesepakatan para pihak terlebih dahulu yang dituangkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan/atau Perjanjian Kerja Bersama. Pekerja dan/atau serikat pekerja diberikan kebebasan untuk menyepakati atau tidak suatu Perjanjian Kerja dan pengusaha tidak dapat memaksa calon pekerja untuk menandatangani Perjanjian Kerja dan/atau Perjanjian Kerja Bersama. Dengan demikian, apabila pekerja sepakat kepada suatu perjanjian, maka pekerja tersebut secara sadar mematuhi dan tunduk kepada Perjanjian Kerja yang telah dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak (asas pacta sunt servanda). Hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Segala ketentuan dan kode etik yang telah diatur oleh perushaaan harus dipatuhi oleh pekerja dan pengusaha. Pekerja yang telah setuju atas Perjanjian Kerja terikat pada kewajiban dan hak yang tercantum dalam Perjanjian Kerja serta aturan-aturan perusahaan yang berlaku. ii. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan Perjanjian Kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Unsur perintah merupakan kewenangan yang dimiliki oleh pengusaha kepada pekerja agar segala tindakan yang dilakukan oleh pekerja sesuai dengan kepentingan perseroan asalkan tidak bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama dan Peraturan Perusahaan. Perintah dapat berupa menyuruh melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang tertuang dalam Perjanjian Kerja atau Peraturan Perusahaan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 41 Berdasarkan ketentuan tersebut, pengusaha dapat menerapkan aturan yang mewajibkan ataupun melarang suatu tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja perseroan serta meningkatkan pelayanan dan sikap profesional dalam bekerja. Pasal 61 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur Perjanjian Kerja berakhir apabila adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. Sesuai dalam ketentuan pasal tersebut di atas, perusahaan dapat membuat aturan dalam mengatur keadaan tertentu yang apabila terjadi dalam perusahaan dan dilakukan oleh pegawai, maka perusahaan dapat memutus hubungan kerja. iii. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan: Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Direksi berwenang untuk mengeluarkan kebijakan dan aturan-aturan dalam menjalankan kegiatan perseroan. Segala kebijakan dan aturan yang dikeluarkan oleh direksi semata-mata untuk kepentingan perseroan yang dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Oleh karenanya perusahaan dapat mengatur hal-hal yang baik untuk kepentingan bisnisnya termasuk mengatur hal-hal yang berpotensi mengganggu hubungan profesionalisme dalam bekerja termasuk pertalian ikatan perkawinan dalam pekerjaan. Pengusaha ataupun perusahaan juga perlu diberikan jaminan hukum yang layak dan adil untuk menjalankan usaha, menggerakkan perekonomian sebagimana Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 42 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. 4. Sebagaimana diuraikan di atas proses bisnis PLN merupakan proses bisnis yang memiliki kekhususan yaitu proses bisnisnya dari hulu – hilir dengan berbagai usaha penunjang dan lokasi kerja unit PLN tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian untuk menghindari adanya konflik kepentingan, menurutnya talent pool, PLN dan serikat pekerja telah mencapai kesepakatan dalam Addendum Perjanjian Kerja Bersama yaitu menerapkan Pasal 153 ayat (1) huruf f mengatur pemutusan hubungan kerja/pemberhentian sebagai pegawai terhadap pekerja/buruh mempunyai ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan. 5. Perkawinan sesama pegawai berpotensi mengganggu kepentingan dan kinerja perusahaan yang disebabkan konflik kepentingan, menurunkan sikap profesional pegawai sehingga mengakibatkan perusahaan tidak luwes/lancer dalam menentukan kebijakan, terutama kebijakan dalam pengembangan organisasi dan karir pegawai. Untuk meminimalisir risiko ini maka Pasal 153 ayat (1) huruf f justru memberikan jaminan hukum bagi pengusaha untuk menjalankan usaha dengan layak dan profesional serta jaminan bagi pekerja dalam menjalankan hubungan kerja yang profesional untuk mendapatkan penghidupan yang layak. 6. Bahwa pengaturan ikatan perkawinan sesama pegawai dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f adalah jaminan hukum bagi perusahaan dan pekerja untuk dapat membuat aturan mengenai pemutusan hubungan kerja akibat pertalian ikatan perkawinan sesama pegawai selama aturan tersebut telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan/atau Perjanjian Kerja Bersama dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja perseroan dan meminimalisir konflik kepentingan. Kesepakatan dalam bentuk Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan/atau Perjanjian Kerja Bersama adalah pemberian jaminan hukum yang layak dan adil sesuai dengan undang-undang dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bagi pengusaha dan pekerja. [2 .8 ] Menimbang bahwa para Pemohon, Presiden dan Pihak Terkait (Asosiasi Pengusaha Indonesia) masing-masing telah menyampaikan kesimpulan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 43 tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juni 2017 dan tanggal 14 Juni 2017, yang pada pokoknya menyatakan tetap dengan pendiriannya; [2 .9 ] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini; 3 . PERT I M BAN GAN H U K U M Kewenangan Mahkamah [3 .1 ] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945; [3 .2 ] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279, selanjutnya disebut UU 13/2003) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang permohonan a quo; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] mengadili 44 Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3 .3 ] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara; Dengan demikian, para Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3 .4 ] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 45 c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3 .5 ] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon sebagai berikut: [3.5.1] Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 153 ayat (1) huruf f UU 13/2003; [3.5.2] Para Pemohon mendalilkan bahwa: 1. Pemohon I sampai dengan Pemohon VII adalah pegawai PT. PLN (Persero) dan Pengurus Dewan Pimpinan Serikat Pegawai Perusahaan Listrik Negara dan Pemohon VIII adalah mantan pegawai PT. PLN (Persero), masing-masing sebagai perseorangan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK beserta penjelasannya; 2. Para Pemohon berpotensi mengalami kerugian konstitusional, bahkan banyak pekerja yang telah mengalami kerugian aktual dengan berlakunya UndangUndang a quo; 3. Dengan merujuk pada Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”, sehingga dapat dikatakan bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk memperjuangkan kepentingan diri sendiri dalam hal jaminan untuk mempertahankan pekerjaan apabila terjadi pemutusan hubungan kerja; 4. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 46 membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”; 5. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka para Pemohon mempunyai kedudukan hukum dan kepentingan konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 153 ayat (1) huruf f UU 13/2003 terhadap UUD 1945 karena menurut para Pemohon pasal tersebut mengandung materi muatan yang bersifat menghilangkan dan menyebabkan pemutusan hubungan kerja para Pemohon disebabkan terjadinya perkawinan dalam satu perusahaan, sehingga para Pemohon kehilangan jaminan kerja dan penghidupan yang layak; [3.5.3] Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dikaitkan dengan kerugian konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon, menurut Mahkamah, berdasarkan penalaran yang wajar para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo; [3 .6 ] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3 .7 ] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU 13/2003 bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut: a. Membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah adalah hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) UUD 1945. Hal itu ditegaskan pula dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sementara itu, perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU 13/2003 membawa konsekuensi bahwa pengusaha akan melakukan pelarangan adanya perkawinan sesama pekerja dalam satu perusahaan. Karena menurut Undang-Undang Perkawinan sahnya perkawinan adalah sah setelah dilakukan menurut agama berarti Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 47 norma Undang-Undang a quo juga melarang orang melakukan perintah agamanya; b. Ketentuan yang termuat dalam Pasal 153 (1) huruf f UU 13/2003 menghilangkan jaminan kerja para Pemohon dan hak atas penghidupan yang layak serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Jika perusahaan beralasan bahwa ketentuan demikian adalah penting untuk mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme, alasan itu tidak dapat diterima sebab terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah tergantung kepada mentalitas seseorang; c. Sesungguhnya, perkawinan antara sesama pegawai dalam satu perusahaan justru menguntungkan pihak perusahaan karena dapat menghemat pengeluaran perusahaan dalam hal menangggung biaya kesehatan keluarga pekerja karena perusahaan hanya akan menanggung satu orang pekerja beserta keluarga tetapi perusahaan memiliki dua orang pekerja, di mana bisa suami atau istri yang berkedudukan sebagai penanggung yang akan didaftarkan ke perusahaan yang bersangkutan. [3 .8 ] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, para Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8, yang selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara; [3 .9 ] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyerahkan keterangan tertulis ke Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Juni 2017 (sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara); [3 .1 0 ] Menimbang bahwa Presiden yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Ketenagakerjaan telah menyampaikan keterangan lisan pada Sidang Pleno tanggal 15 Mei 2017 dan telah menyerahkan keterangan tertulis ke Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi tanggal 15 Mei 2017 (sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara); [3 .1 1 ] Menimbang bahwa Pihak Terkait Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) telah menyampaikan keterangan lisan dan telah menyerahkan keterangan tertulis pada Sidang Pleno tanggal 15 Mei 2017 dan tanggal 5 Juni 2017 (sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 48 [3 .1 2 ] Menimbang bahwa Pemberi Keterangan PT. PLN (Persero) telah menyerahkan keterangan tertulis ke Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi tanggal 12 Juni 2017 (sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara); [3 .1 3 ] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, bukti surat/tulisan Pemohon, keterangan tertulis DPR, keterangan lisan dan tertulis Presiden, keterangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), dan keterangan tertulis PT. PLN (Persero), bukti surat/tulisan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), kesimpulan tertulis Pemohon, kesimpulan tertulis Presiden, dan kesimpulan tertulis Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.13.1] Bahwa Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Sejalan dengan itu, Pasal 23 ayat (1) Deklarasi HAM PBB juga menegaskan, “Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran”. Hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah bagian dari hak asasi manusia yang tergolong ke dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Berbeda halnya dengan pemenuhan terhadap hak asasi manusia yang tergolong ke dalam hak-hal sipil dan politik yang pemenuhannya justru dilakukan dengan sesedikit mungkin campur tangan negara, bahkan dalam batas-batas tertentu negara tidak boleh campur tangan, pemenuhan terhadap hakhak yang tergolong ke dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan justru membutuhkan peran aktif negara sesuai kemampuan atau sumber daya yang dimiliki oleh tiap-tiap negara. [3.13.2] Bahwa Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Oleh karena itu, terlepas dari jenis atau kategorinya, tanggung jawab negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 tersebut tetap melekat pada negara, khususnya Pemerintah. Hal itu juga berlaku terhadap hak-hak yang menjadi isu konstitusional dalam permohonan a quo, dalam hal ini khususnya hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 49 perlakuan yang layak dan adil dalam hubungan kerja serta hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Meskipun tanggung jawab untuk melindungi, memajukan, dan memenuhi hak asasi manusia itu oleh Konstitusi ditegaskan menjadi tanggung jawab negara, khususnya pemerintah, hal itu bukan berarti bahwa institusi atau orang-perorangan di luar negara tidak wajib menghormati keberadaan hak-hak tersebut. Sebab, esensi setiap hak yang dimiliki seseorang selalu menimbulkan kewajiban pada pihak atau orang lainnya untuk menghormati keberadaan hak itu. [3.13.3] Bahwa, selanjutnya, hak atas pekerjaan adalah juga berkait dengan hak terkait dengan hak kesejahteraan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999) mempertegas ketentuan yang tertuang dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tersebut. Pasal 38 ayat (1) UU 39/1999 menyatakan, “Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.” Dalam ayat (2) diatur, “Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 6 ayat (1) International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) menyatakan, “Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya sendiri secara bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang tepat guna melindungi hak tersebut”. Pertimbangan sebagaimana terurai dalam sub-paragraf [3.13.1] sampai dengan sub-paragraf [3.13.3] di atas menunjukkan bahwa kewajiban melindungi hak untuk mendapatkan pekerjaan bukan hanya menjadi kewajiban konstitusional (constitutional obligation) negara tetapi juga telah menjadi kewajiban yang lahir dari hukum internasional (international legal obligation), dalam hal ini kewajiban yang lahir dari keturutsertaan Indonesia dalam International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. Benar bahwa Konstitusi memberikan wewenang konstitusional kepada negara untuk membuat pembatasan terhadap Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 50 hak asasi manusia, namun kewenangan itu tunduk pada persyaratan yang ditentukan oleh Konstitusi, sebagaimana akan diuraikan lebih jauh dalam pertimbangan di bawah ini. [3.13.4] Bahwa apabila ketentuan yang terdapat UUD 1945, UU 39/1999, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights tersebut dikaitkan dengan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU 13/2003 yang secara a contrario berarti bahwa dalam suatu perusahaan yang mempersyaratkan pekerja/buruh tidak boleh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan dan menjadikan hal itu sebagai dasar dapat dilakukannya pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang bersangkutan, Mahkamah menilai bahwa aturan tersebut tidak sejalan dengan norma dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) UU 39/1999, Pasal 6 ayat (1) International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) yang telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, dan Pasal 23 ayat (1) Deklarasi HAM PBB sebagaimana disebutkan di atas. Pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah takdir yang tidak dapat direncanakan maupun dielakkan. Oleh karena itu, menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia, dalam hal ini hak atas pekerjaan serta hak untuk membentuk keluarga, adalah tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara konstitusional. Sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 pembatasan terhadap hak asasi manusia hanya dapat dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pembatasan sebagaimana termuat dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU 13/2003 tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain karena tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dimaksud. Demikian pula tidak ada norma-norma moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis yang terganggu oleh adanya fakta bahwa pekerja/buruh dalam satu perusahaan memiliki pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 51 [3 .1 4 ] Menimbang bahwa Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), dan PT. PLN (Persero), dalam keterangannya menyatakan memberlakukan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU 13/2003 di lingkungan internal mereka adalah dengan tujuan untuk mencegah hal-hal negatif yang terjadi di lingkungan perusahaan dan membangun kondisi kerja yang baik, profesional, dan berkeadilan, serta mencegah potensi timbulnya konflik kepentingan (conflict of interest) dalam mengambil suatu keputusan dalam internal perusahaan. Terhadap hal tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa alasan demikian tidak memenuhi syarat pembatasan konstitusional sebagaimana yang termuat dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Adapun kekhawatiran akan terjadinya hal-hal negatif di lingkungan perusahaan dan potensi timbulnya konflik kepentingan (conflict of interest) dalam mengambil suatu keputusan dalam internal perusahaan, hal tersebut dapat dicegah dengan merumuskan peraturan perusahaan yang ketat sehingga memungkinkan terbangunnya integritas pekerja/buruh yang tinggi sehingga terwujud kondisi kerja yang baik, profesional, dan berkeadilan. Adapun argumentasi yang disampaikan baik oleh Presiden maupun Pihak Terkait APINDO yang pada prinsipnya mendasarkan pada doktrin pacta sunt servanda dengan menghubungkannya dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan, “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”, menurut Mahkamah, argumentasi demikian tidak selalu relevan untuk diterapkan tanpa memperhatikan keseimbangan kedudukan para pihak yang membuat persetujuan tersebut ketika persetujuan itu dibuat. Dalam kaitan ini, telah terang kiranya bahwa antara Pengusaha dan pekerja/buruh berada dalam posisi yang tidak seimbang. Sebab pekerja/buruh adalah pihak yang berada dalam posisi yang lebih lemah karena sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan. Dengan adanya posisi yang tidak seimbang tersebut, maka dalam hal ini filosofi kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian menjadi tidak sepenuhnya terpenuhi. Berdasarkan pertimbangan demikian maka kata “telah” yang terdapat dalam rumusan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU 13/2003 tidak dengan sendirinya berarti telah terpenuhinya filosofi prinsip kebebasan berkontrak. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 52 [3 .1 5 ] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum. 4 . K ON K LU SI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4 .1 ] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; [4 .2 ] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo; [4 .3 ] Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 5 . AM AR PU T U SAN Mengadili, 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 53 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh tujuh Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Suhartoyo, Aswanto, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal tujuh, bulan Desember, tahun dua ribu tujuh belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal empat belas, bulan Desember, tahun dua ribu tujuh belas, selesai diucapkan pukul 12.26 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Suhartoyo, Aswanto, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Manahan M.P Sitompul, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Wilma Silalahi sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait/kuasanya. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. ttd. Anwar Usman Suhartoyo ttd. ttd. Aswanto Maria Farida Indrati Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 54 ttd. ttd. I Dewa Gede Palguna Wahiduddin Adams ttd. ttd. Manahan MP Sitompul Saldi Isra PANITERA PENGGANTI, ttd. Wilma Silalahi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]