Academia.eduAcademia.edu

PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

Nama: Vanessa gleni NIM: 02011181621034 HUKUM KONSTITUSI “A” PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA Pengertian Pemilihan Umum Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Undang-undang Politik 2003, UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, hal 35. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD RI 1945) menentukan : “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Mana kedaulatan sama dengan makna kekuasaan tertinggi, yaitu kekuasaan yang dalam taraf terakhir dan tertinggi wewenang membuat keputusan. Tidak ada satu pasalpun yang menentukan bahwa negara Republik Indonesia adalah suatu negara demokrasi. Namun, karena implementasi kedaulatan rakyat itu tidak lain adalah demokrasi, maka secara implesit dapatlah dikatakan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara demokrasi. Hal yang demikian wujudnya adalah, manakala negara atau pemerintah menghadapi masalah besar, yang bersifat nasional, baik di bidang kenegaraan, hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya ekonomi, agama “ semua orang warga negara diundang untuk berkumpul disuatu tempat guna membicarakan, merembuk, serta membuat suatu keputusan.” ini adalah prinsipnya. Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan dan Pelaksanaan Pemilihan umum di  Indonesia,( Yogyakarta: UGM 2010),hlm.72 Teori dan Sistem Pemilihan Umum Pemilihan umum adalah merupakan institusi pokok pemerintahanperwakilan yang demokratis, karena dalam suatu negara demokrasi, wewenang pemerintah hanya diperoleh atas persetujuan dari mereka yang diperintah. Mekanisme utama untuk mengimplementasikan persetujuan tersebut menjadi wewenang pemerintah adalah melalui pelaksanaan pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil, khususnya untuk memilih presiden / kepala daerah. Bahkan dinegara yang tidak menjunjung tinggi demokrasi sekalipun, pemilihan umum diadakan untuk memberi corak legitimasi kekuasaan (otoritas) Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan dan Pelaksanaan Pemilihan umum di  Indonesia,( Yogyakarta: UGM 2010),hlm.72 sesuai arti yang terkandung didalamnya sudah menjamin terselenggaranya pemilihan umum yang demokratis, akan tetapi yang diperlukan adalah meningkatkan kualitas pemilihan umum dari pemilihan umum ke pemilihan umum, sehingga pemilihan umum yang diadakan semakin lama semakin baik. Dengan demikian, pemilihan umum yang demokratis haruslah diselenggarakan dalam suasana keterbukaan, adanya kebebasan berpendapat dan berserikat, atau dengan perkataan lain pemilihan umum yang demokratis harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1.Sebagai aktualiasi dari prinsip keterwakilan politik. 2.Aturan permainan yang fair. 3.Dihargainya nilai-nilai kebebasan. 4.Diselenggarakan oleh lembaga yang netral atau mencerminkan berbagai kekuatan politik secara proporsional. 5.Tiadanya intimidasi. 6.Adanya kesadaran rakyat tentang hak politiknya dalam pemilihan umum. 7.Mekanisme pelaporan hasilnya dapat dipertanggungkawabkan secara moral dan hukum. Dalam hubungan yang demikian, maka pemilihan umum sangat erat kaitannya dengan sistem pemilihan umum (electoral system). Akan tetapi, berkaitan dengan electoral systemtersebut harus dibedakan antara electoral laws dengan electoral process. Didalam ilmu kepemiluan yang disebut dengan electoral laws adalah proses pembentukan pemerintahan melalui pilihan sistem pemilihan umum yang diartikulasikan kedalam suara, dan kemudian suara tersebut diterjemahkan kedalam pembagian kewenangan pemerintahan diantara partai politik yang bersaing. Pemilihan umum sebagai salah satu dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis, tentunya dengan sendirinya akan membawa konsekuensi adanya berbagai sistem pemilihan umum yang berbeda satu sama lain berdasarkan sudut pandang terhadap rakyat, sehingga pemilihan umum dibedakan atas 2 (dua) macam: Sistem Pemilihan Mekanis. Sistem pemilihan mekanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu-individu yang sama. Individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih aktif dan memandang rakyat (korps) pemilih sebagai suatu massa individu-individu yang masing-masing mengeluarkan satu suara (suara dirinya sendiri) dalam setiap pemilihan. Menurut sistem pemilihan umum mekanis, partai-partai yang mengorganisir pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem be party, multy party, atau uny party, sehingga partai politik merupakan bahagian yang tak terpisahkan dari sistem ini.Sejalan dengan pandangan tersebut, Jean Blondel mengemukakan dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada 2 (dua) prinsip pokok, yaitu: Pertama, single member constituency(satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik). Kedua, multy member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional). Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indinesia, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila (Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama, 1994 hlm.244. ) Sistem distrik (single member constituency). Sistem ini merupakan system pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang tercakup) mempunyai satu wakil dalam parlemen. Didalam sistem ini, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (single member constituency) atas dasar pluralitas. Kondisi pluralitas terjadi. Kondisi pluralitas dapat terjadi apabila sejumlah partai atau calon mampu memperoleh suara yang lebih banyak atau besar dibandingkan dengan saingannya yang terkuat, sekalipun tidak berarti bahwa partai atau calon tersebut memperoleh suara paling banyak dibandingkan dengan kombinasi suara lawan-lawannya. Secara umum, sistem distrik memiliki prosedur pemilihan yangmemaksimalkan perwujudan kedaulatan rakyat. Pemilihan anggota badan perwakilan lebih banyak ditentukan oleh pemilih, bukan partai yang menentukan calonnya, melainkan rakyat. Partai politik yang menjadi cantolan seorang calon anggota badan perwakilan lebih banyak berperan sebagai fasilitator daripada penentu kebijakan, sehingga asfek representasinya lebih kuat. Abdul Bari Azed, op.cit, hlm. 132. Sistem pemilihan umum di Indonesia Semua pemilihan umum tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum melainkan berlangsung dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum itu sendiri. dari pemilihan umum-pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia. Di tahun 1955, Indonesia menggunakan sistem proporsional. Jumlah anggota DPR ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah penduduk. Tiap 300.000 penduduk diwakili oleh 1 anggota DPR. Menggunakan stelsel daftar mengikat dan stelsel daftar bebas. Pemilih dapat memberikan suaranya kepada calon yang ada di dalam daftar (ini merupakan ciri dari sistem distrik) dan bisa juga diberikan kepada partai. Suara yang diberikan calon akan diperhitungkan sebagai perolehan suara calon yang bersangkutan, sedangkan yang diberikan kepada partai, oleh partai akan diberikan kepada calon sesuai nomor urut. Seseorang secara perorangan, tanpa melalui partai juga dapat menjadi pesrta pemilihan umum.Calon yang terpilih adalah yang memperoleh suara sesuai BPPD (Bilangan Pembagi Pemilih Daftar). Apabila tidak ada calon yang memperoleh suara sesuai BPPD, suara yang diberikan kepada partai akan menentukan. Calon dengan nomor urut teratas akan diberi oleh suara partai, namun prioritas akan diberkan kepada calon yang memperoleh suara melampaui setengah BPPD.Kursi yang tidak habis dalam pembagian di daerah pemilihan akan dibagi di tingkat pusat dengan menjumlahkan sisa-sisa suara dari daerah-daerah pemilihan yang tidak terkonversi menjadi kursi. Miriam Budiarjo.Op.Cit. Hal. 486 Di tahun pemilihan umum 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999 Indonesia menggunakan sistem proporsional dengan stelsel daftar tertutup. Pemilih memberikan suara hanya kepada partai , dan partai akan memberikan suaranya kepada calon dengan nomor urut teratas. Suara akan diberikan kepada urutan berikutnya bila calon dengan nomor urut teratas sudah kebagian suara cukup untuk kuota 1 kursi. Untuk pemilihan umum anggota DPR Daerah, pemilihannya adalah untuk wilayah Provinsi; sedangkan untuk DPRD 1 daerah pemilihannya adalah satu provinsi yang bersangkutan; dan untuk DPRD II daerah pemilihannya wilayah Dati II yang bersangkutan. Namun ada sedikit warna sistem Distrik didalamnya, karena setiap kabupaten diberi satu kursi anggota DPR untuk mewakili daeraah tersebut. Pada prmilihan tahun-tahun ini setiap anggota DPR mewakili 400.000 penduduk. Miriam Budiarjo.Op.Cit. Hal 467 Di tahun 2004 ada satu lembaga baru didalam lembaga lagislatif yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Untuk pemilihan umum anggota DPD dugunakan sistem Distrik tetapi dengan wakil banyak (4 kursi untuk setiap provinsi). Daerah pemilihannya adalah wilayah provinsi pesertanya adalah individu. Karena setiap provinsi atau daerah pemilihan mempunyai 4 jatah kursi, dan suara dari kontestan yang kalah tidak bisa dipindahkan atau dialihkan (non transverable vote) maka sistem yang digunakan disini dapat disebut sistem Distrik dengan wakil banyak (block vote). Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan sistem proporsional dengan stelsel daftar terbuka sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada calon yang dipilih dalam hal ini pemilih memberikan suaranya kepada partai , calon yang berada pada urutan teratas mempunyai peluang besar untuk terpilih Karenna suara pemilih yang diberikan kepada partai menjadi hak calon yang berada di urutan teratas. Jadi ada kemiripan sistem yang digunakan pada pemilihan umum 2004 dengan pemilihan umum 1995. Bedanya, pada pemilihan umum 1995 ada prioritas untuk memberikan suara partai kepada calon yang memperoleh suara lebih dari setengah BPPD. Miriam Budiarjo.Op.Cit. Hal 467 Ada warna sistem distrik dalam penghitungan perolehan kursi DPR dan DPRD pada pemilihan umum 2004, yaitu perolehan suatu partai disebuah daerah pemilihan yang tidak cukup untuk satu BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) tidak bisa ditambahkan keperolehan partai di daerah pemilihan lain misalnya untuk ditambahkan agar cukup untuk satu kursi, ini adalah ciri sistem distrik. Dari sudut pandang gender, pemilihan umum 2004 secara tegas memberi peluang lebih besar secara afirmatif bagi peran perempuan. Pasal 65 UU No 12/2003 menyatakan bahwa setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR dan DPRD dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % untuk setiap daerah pemilihan. Ini adalah kemajuan yang lain lagi yang ada pada pemilihn umum 2004. Juga ada upaya untuk kembali menyederhanakan atau mengurangi jumlah partai melalui cara yang bukan paksaan. Hal ini tampak pada prosedur seleksi parta-partai yang akan menjadi peserta pemilihan umum. Ada sejumlah syarat baik administrative maupun subtansial yang harus dipenuhi oleh setiap partai untuk bisa menjadi peserta pemilihan umum, antara lain ditentukannya electoral threshold dengan memperoleh sekurang Ibid. Hal. 488-kurangnya 3% jumlah kursi anggota legislative pusat, memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi di DPRD kabupaten / kota yang tersebar disetenag jumlah kabupaten / kota Indonesia. Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau 5% dari perolehan suara sah secara nasional. Ibid. Hal. 488 DAFTAR PUSTAKA http://www.pengertianahli.com/2013/12/pengertian-pemilihan-umum-pemilu.html https://muhammadazzikra15.blogspot.co.id/2016/03/teori-pemilu.html http://abiwinata.blogspot.co.id/2011/05/sistem-pemilihan-umum.html https://ridahelfridapasaribu.wordpress.com/2015/05/27/sistem-pemilu-di-indonesia/