FILOSOFI KEPELATIHAN
PERBEDAAN KONSEP STRUKTUR KEILMUAN OLAHRAGA (SPORT EDUCATION, PHYSICAL EDUCATION, SPORT SCIENCE )
DI BUAT OLEH
MUHAMMAD DAFFA DZAKY MUHADZDZIB
15602241049
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
PENDIDIKAN KEPELATIHAN SEPAKBOLA 2015
Ilmu Keolahragaan sebagai suatu disiplin ilmu, diakui dan dibina secara formal di Indonesia masih relatif belum lama yaitu sejak tahun 1999 ketika Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional membentuk Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan sebagai Komisi Disiplin Ilmu ke 13, di samping 12 Komisi Disiplin Ilmu lain yang sudah sejak lama dibina melalui Konsorsium Ilmu. Sebelum dibentuk Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan, secara formal keberadaannya dimasukkan di dalam lingkup Ilmu Pendidikan yang dibina melalui Konsorsium Ilmu Pendidikan. Dengan masih mudanya Ilmu Keolahragaan sebagai Disiplin Ilmu di Indonesia, maka masih diperlukan usaha keras para ilmuwan keolahragaan untuk mempertajam kajian ilmiahnya dan mempertegas wilayah kajiannya agar memperoleh pengakuan secara luas dapat disejajarkan dengan disiplin ilmu lain yang sudah lebih dulu berkembangan. Pendalaman mengenai dimensi kajian dan struktur ilmu keolahragaan perlu dilakukan oleh para dosen dan mahasiswa di lembaga pendidikan tinggi keolahragaan yang pada dasarnya merupakan ujung tombak pengembangan ilmu keolahragaan. Belajar dari negara-negara lain yang sudah lebih dahulu mengakui eksistensi ilmu keolahragaan sebagai disiplin ilmu dengan terminologi penamaannya masing-masing yang beragam, dapat ditemukan yang sudah sedemikian komprehensif dan mendalam. Fenomena manusia yang melakukan aktivitas fisik dalam rangka pembentukan dan pendidikan yang sekarang dikenal di Indonesia sebagai olahraga telah lama dikaji secara ilmiah di berbagai negara di seluruh dunia. Perkembangan kajian di berbagai negara cukup bervariasi, baik ditinjau dari segi fokus dan tema kajian maupun tingkat kepesatan kemajuannya. Melalui ilmuwan keolahragaan yang dimiliki, ada negara-negara yang sudah mampu melakukan kajian secara intensif dan mendalam , tetapi banyak juga yang masih terbelakang. Kajian ilmiah secara intensif terhadap fenomena keolahragaan umumnya lebih mampu dilakukan oleh negara-negara yang telah memiliki budaya ilmiah yang baik. Dimensi Kajian Ilmu Keolahraga Sport Science, 2 Hasil kajian tentang keolahragaan telah disusun dalam struktur keilmuan sebagai suatu disiplin akademik atau disiplin ilmu. Dengan obyek material dan formal yang sama, ternyata struktur keilmuan yang dibuat dan terminologi disiplin ilmunya cenderung beragam di setiap negara. Hal ini dipengaruhi oleh dasar pengelompokan disiplin ilmu yang digunakan, dan tentu juga dipengaruhi oleh faktor kebahasaan khususnya kosa kata dalam bahasa yang dipakai oleh setiap negara.
PHYSICAL EDUCATION
Pada abad 18 muncul istilah Physical Culture yang digunakan untuk menamai kajian tentang ilmu dan seni latihan tubuh, atau pemeliharaan dan pengembangan fisik yang sistematik. Buku berjudul Physical Culture telah ditulis oleh Charles Wesley Emerson yang edisi ke 9 nya diterbitkan di Boston pada tahun 1904. Pada abad 19 muncul istilah Physical Training yang digunakan di Amerika dalam latihan militer, untuk menamai program latihan dan aktivitas fisik yang dirancang untuk meningkatkan perkembangan dan kondisi fisik, serta keterampilan gerak. Selanjutnya masih pada abad 19 muncul istilah Physical Education yang digunakan di perguruan tinggi di Amerika Serikat. Istilah ini kemudian semakin populer dan digunakan sampai saat ini disamping istilah-istilah lain yang muncul. Dalam perkembangannya, muncul pemikiran bahwa istilah Physical Education sebagai nama suatu disiplin akademik tidak logis dan perlu dicari nama lain yang lebih tepat. Hal ini diungkapkan oleh Rosalind Cassidy dan Thomas D. Wood pada tahun 1927 dalam bukunya yang berjudul The New Physical Education, dan diungkapkan kembali pada tahun 1938 dalam bukunya yang berjudul New Directions in Physical Education.Pada tahun 1935 S.C. Staley menulis buku berjudul The Dimensi Kajian Ilmu Keolahraga Sport Science, 3 Curriculum in Sport, dan pada tahun 1939 menulis buku lagi berjudul Sport Education. Buku-buku tersebut menandai adanya istilah baru yaitu Sport. Pada tahun 1971 dalam Convensi Detroit dibuat pernyataan bahwa agar memperoleh status yang lebih baik di dalam kurikulum sekolah, nama Physical Education harus diganti. Pernyataan tersebut mendapat sambutan positif secara luas karena memang dirasakan bahwa nama Physical Education tidak sesuai lagi dengan keluasan spektrum bidang studi dan keragaman layanan profesional yang dapat dilakukan. Pada tahun 1973 American Academy of Physical Education melakukan kajian mendalam untuk mencari nama baru, dan memunculkan beberapa alternatif nama yaitu:
1) Kinesiology
2) Kinetics
3) Physical Education and Sport
4) Physical Education and Dance
5) Movement Art and Sciences.
Dari 5 alternatif tersebut, nama Movement Art and Sciences dinilai paling tepat untuk dipilih. Pemikiran lain yang menonjol adalah oleh Prof. Dr. Herbert Haag, M.S. dari Jerman yang mengembangkan konsep Sport Sciences, dan oleh Prof. Dr. K. Rijsdorp dari Belanda yang mengembangkan konsep Gymnologie, serta oleh Claude Bouchard, PhD. dari Kanada yang mengembangkan konsep Physical Activity Sciences. Kajian atas konsepkonsep keilmuan yang dihasilkan para ahli tersebut menunjukkan adanya keberagaman struktur dan sistematika yang dibuatnya. Namun karena pada hakekatnya obyek kajiannya adalah sama, maka kesemuanya dapat ditarik benang merah dengan alur yang sejalan, tidak saling bertentangan, dan justru dapat saling melengkapi. Sementara itu, kajian mengenai fenomena keolahragaan di Indonesia cenderung mengikuti perkembangan yang terjadi secara internasional. Hasil kajian yang ditulis para ahli dari negara-negara maju diadopsi dan digunakan sebagai referensi pengembangan kajian. Dalam hal terminologi untuk menamai bidang studi keolahragaan yang digunakan di Indonesia juga mengalami perkembangan. Mula-mula digunakan nama Gerak Badan, kemudian berturut-turut berubah menjadi Pendidikan Jasmani, Pendidikan Olahraga, Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Sedangkan istilah yang digunakan untuk menamai disiplin akademik atau disiplin ilmunya adalah Ilmu Keolahragaan. Untuk sampai pada tahap diakuinya Ilmu Keolahragaan sebagai disiplin ilmu telah melalui perjuangan dan jalan panjang, yang berujung pada diselenggarakannya Seminar dan Lokakarya Nasional Ilmu Keolahragaan di Surabaya pada tahun 1998. Dalam forum yang dihadiri oleh para ilmuwan keolahragaan dan juga para ilmuwan disiplin ilmu lain yang relevan, telah dicanangkan deklarasi yang mengukuhkan eksistensi Dimensi Kajian Ilmu Keolahraga . Berdasarkan hasil Seminar dan Lokakarya tersebut yang ditindaklanjuti dengan pembentukan dan berfungsinya Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan, maka dapat dihasilkan dokumen dalam bentuk buku yang berjudul Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya. Dokumen ini dapat digunakan sebagai acuan pengembangan selanjutnya.
SPORT SCIENCE
Melakukan sains dalam konteks olahraga' adalah salah satu definisi sains olahraga. Diperdebatkan ilmuwan terbesar yang serius untuk belajar olahraga, Pemenang Nobel A. V. Hill, melakukannya dalam uraian ini - 'Keluhan telah diajukan kepada saya - "mengapa menyelidiki atletik, mengapa tidak mempelajari proses industri atau penyakit?" Jawabannya ada dua. (1) Proses atletik sederhana dan terukur, dan dilaksanakan dengan maksimal oleh kekuatan manusia: industri tidak; dan (2) atlet sendiri, berada dalam kondisi kesehatan dan keseimbangan dinamis, dapat bereksperimen tanpa bahaya dan dapat mengulangi penampilan mereka lagi dan lagi '(1927). Hanya sebagian kecil atlet kelas atas yang siap menawarkan diri mereka sebagai subyek eksperimen dengan cara yang diimplikasikan Hill, tapi ini adalah minoritas yang tak ternilai harganya. Dengan bantuan mereka, banyak yang telah dipelajari tentang tubuh manusia yang tampil pada batasnya.
Namun, ini bukan pendekatan yang akan disukai oleh Dewan Olahraga, badan-badan olahraga khusus, atau mayoritas olahragawan kelas atas. Organisasi yang mendanai sebagian besar penelitian sains olahraga mencari dukungan dan layanan untuk program pelatihan mereka yang sedang berlangsung. Pendekatan sains olahraga ini jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menghasilkan hasil yang secara fundamental menerangi, namun jelas ini bermanfaat secara substansial untuk tujuan rancangannya. Dua pendekatan yang baru saja dicatat mewakili perbedaan tujuan, tapi mereka tidak mengatakan apapun tentang isi sains yang terlibat. Namun, kinerja olahraga melibatkan keseluruhan orang, dan studi menyeluruhnya harus memperhitungkan tidak hanya tentang tubuh, tetapi juga pikiran olahragawan, dan aspek sosial olahraga itu sendiri. Jadi ilmu olahraga adalah istilah amplop, yang mencakup setidaknya disiplin berikut ini: (i) Fisiologi kinerja olahraga; (ii) Biomekanik Gerakan Olah Raga; (iii) Psikologi Olah Raga; (iv) Sosiologi Olah Raga.
Selanjutnya, antara dan turunan dari empat aliran utama ini adalah sub-disiplin, banyak di antaranya memiliki kepentingan praktis yang besar. Dengan demikian, nutrisi olahraga menggabungkan aspek yang relevan dari fisiologi dan psikologi; Pembelajaran keterampilan dipelajari dengan menggabungkan teknik dari psikologi, biomekanik, dan fisiologi neuromuskuler; Sementara fisioterapi olahraga dan podiatri (studi terapeutik tentang kaki dan gaya berjalan) adalah contoh disiplin ilmu yang terkait dengan pengobatan yang sangat memperhatikan berbagai aspek sains olahraga. Bidang studi penting lainnya, menjembatani pengobatan dan sains, menyangkut pengaruh obat pada kinerja - apakah mereka sengaja diambil untuk mencoba dan meningkatkannya: ini bisa disebut 'farmakologi olahraga', walaupun istilah tersebut jarang digunakan. . Sebuah penyebutan terakhir, dengan penekanan yang sangat berbeda, harus berupa analisis kecocokan; Ini adalah rekaman gerakan dan kejadian terperinci dalam sebuah kontes, untuk membantu evaluasi taktik atau permintaan fisik.
Ilmu keolahraga pada dasarnya mempunyai akar pada pengetahuan yang melingkupi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat multi dimensi. Hidup dan kehidupan manusia selalu berada dalam dimensi kelahiran, pertumbuhan-perkembangan, dan kematian; dimensi fisikal, mental, dan emosional; dimensi biologis, personal, dan behavioral ; dimensi individual dan sosial; dimensi ruang dan waktu; dimensi natural, humanitis, dan kultural. Ilmu keolahragaan mengkaji fenomena keolahragaan, dan yang berolahraga adalah manusia, karena itu ilmu keolahragaan memiliki dimensi kajian yang sangat kompleks sejalan dengan kompleksnya keberadaan manusia. Ilmu Keolahragaan berkembang dari ilmu-ilmu pendahulu yang mengkaji tentang manusia dalam berbagai dimensinya, melalui pemfokusan kajian pada manusia yang melakukan aktivitas olahraga, olahraga yang dilakukan, dan segala seluk-beluk yang menyertainya. Ilmu Keolahragaan dapat diartikan sebagai pengetahuan yang sistematis dan terorganisasi tentang fenomena keolahragaan yang dibangun melalui sistem penelitian ilmiah. Sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri pada hakekatnya Ilmu Keolahragaan dapat didukung dengan kajian ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Kajian ontologis dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang apa sebenarnya yang menjadi obyek studi ilmu keolahragaan yang dianggap unik dan tidak dikaji oleh disiplin ilmu lain. Kajian epistemologis dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana cara dan sistem kajian yang dipergunakan untuk mengembangkan ilmu keolahragaan. Sedangkan kajian aksiologis dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang apa sebenarnya nilai-nilai yang diberikan oleh ilmu keolahragaan bagi kemaslahatan hidup umat manusia. Kajian ontologis dapat menunjukkan bahwa studi ilmu keolahragaan memiliki obyek material yaitu gerak manusia (human movement) dan obyek material yaitu gerak manusia dalam rangka pembentukan dan pendidikan. Dengan obyek studi tersebut kajian ilmu keolahragaan Dimensi Kajian Ilmu Keolahraga Sport Science, Vol. 01 No. 01 5 menjadi sangat kompleks karena di dalam obyek studi itu terkandung dimensi biologis, psikologis, budaya, dan antropologis. Sementara itu, gerak manusia dalam rangka pembentukan dan pendidikan telah menjelma dalam spektrum aktivitas jasmani yang luas, yang meliputi: play, games, physical education and health, sport, dance, recreation and leisure. Kajian ilmu keolahragaan menjadi semakin kompleks ketika berbagai aktivitas jasmani tersebut berkorelasi dan berinteraksi dengan aspek-aspek sosial, budaya, ekonomi, ideologi, politik, hukum, keamanan, dan ketahanan bangsa. Kajian epistemologis dapat menunjukkan bahwa ilmu keolahragaan dapat dikembangkan melalui beberapa pendekatan kajian dan metode penelitian. Ada 4 pendekatan kajian yang dapat digunakan yaitu pendekatan:
1) multi-disiplin
2) inter-disiplin
3) lintas-disiplin
4) trans-disiplin.
. Pendekatan multi-disiplin merupakan pendekatan dimana berbagai disiplin ilmu dengan perspektifnya masing-masing tanpa kesatuan konsep mengkaji fenomena keolahragaan.
Pendekatan interdisiplin merupakan pendekatan dimana dua atau lebih disiplin ilmu berinteraksi dalam bentuk komunikasi ide atau konsep yang kemudian dipadukan untuk mengkaji fenomena keolahragaan.
Pendekatan lintasdisiplin merupakan pendekatan dimana aspek-aspek yang ada dalam fenomena keolahragaan menjadi pusat orientasi penyusunan konsep secara terpadu dengan menggunakan teori-teori beberapa disiplin ilmu yang relevan. Dengan pendekatan lintas disiplin, batas-batas disiplin ilmu sumbernya menjadi tersamar atau tidak tampak..
Pendekatan transdisiplin merupakan pendekatan yang relatif baru dalam pengembangan ilmu, yaitu pendekatan dimana suatu disiplin ilmu dikembangkan dengan menggunakan metode, teknik, atau cara-cara yang telah lazim digunakan oleh disiplin ilmu lain. Dari aspek metodologis dalam penelitian keolahragaan dapat digunakan 3 pendekatan yaitu pendekatan:
1) positivistik-empirik
2) fenomenologis
3) hermeneutik.
1. Pendekatan positivistik-empirik menekankan pada data empirik hasil observasi dengan menggunakan instrumen tertentu, dan dalam posisi terpisah antara peneliti dengan obyek yang diteliti.
2. Pendekatan fenomenologis menekankan pada pengungkapan fenomena empirik melalui pengamatan langsung yang kemudian ditafsirkan dan diberi makna.
3. Pendekatan hermeneutik menekankan pada pemaparan pengetahuan berdasarkan pemahaman dan penafsiran atas obyek kajian dengan menggunakan teori yang sudah ada.
Kajian aksiologis dapat menunjukkan bahwa ilmu keolahragaan dan aplikasinya dalam bentuk aktivitas keolahragaan ternyata memiliki nilainilai positif berkenaan dengan realitas kehidupan individu maupun masyarakat luas secara universal. Disamping nilai-nilai pembentukan dan pendidikan sebagai nilai-nilai utama, nilai survival bagi kehidupan umat manusia merupakan nilai yang lebih esensial. Nilai-nilai lain sebagai nilai ikutannya adalah berpotensi untuk memberikan sumbangan dalam membentuk kehidupan masyarakat dan umat manusia dalam kebersamaan tanpa mamandang perbedaan suku, ras, bangsa, agama, dan budaya. Dalam skala yang lebih bersifat sektoral, memiliki nilai-nilai dapat menyumbang terbentuknya dinamika kehidupan sosial, budaya, ekonomi, ideologi, politik, hukum, keamanan, dan ketahanan bangsa.
SPORT EDUCATION
adalah pendidikan jasmani dan olahraga yang dilaksanakan sebagai bagian proses pendidikan yang teratur dan berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan, kepribadian, keterampilan, kesehatan, dan kebugaran jasmani.
Pendidikan olahraga bertujuan untuk melahirkan sosok warga yang sportif, jujur, sehat. Bukan untuk melahirkan sosok warga yang bringas, sadis, brutal. Juga bukan untuk menciptakan sarana bisnis bagi spekulan, pejudi. Para pelatih asing hanya sebatas untuk melatih, membina pelatih nasional. Dalam olahraga sepakbola misalnya dipercayai bila ke dalam tim kesebelasannya dipasangkan satu dua pemain sepakbola asing, maka tim kesebelasannya itu akan memiliki kualitas (harga tawar) bermain yang tinggi. Pemakaian pemain asing di dalam persepakbolaan ini, merupakan penyimpangan dari tujuan pendidikan olahraga. Sepakbola, sports seharusnya (Das Sollen) mendidik kita bersikap sportif, demokratis, jauh dari aksi kekerasan, tawuran, kerusuhan, keresahan, jauh dari aksi premanisme, jauh dari judi dan politik uang .
Pendidikan olahraga adalah kurikulum dan model pengajaran yang dirancang untuk memberikan keakraban. Pendidikan olahraga memiliki implikasi kurikuler yang penting yang tidak dapat dilengkapi dengan mudah ke dalam program multiaktivitas singkat. Pendidikan olahraga juga memiliki implikasi intruksi yang penting, hal itu adalah pengalaman terbaiknya melalui kombinasi intruksi langsung, kerja kelompok kecil kooperatif dan pengajaran sebaya, bukan dengan mengandalkan pengajaran pengajar khusus. Pendidikan olahraga memiliki enam fitur utama yang berasal dari bagaimana olahraga dilakukan dalam konteks komunitas dan interschool, fitur ini adalah afiliasi musim, kompetisi formal, acara puncak, pencatatan dan perayaan. Musim unit dalam pendidikan olahraga sering dua sampai tiga kali lebih banyak daripada unit pendidikan fisik typicah. asumsi operasional di sini adalah bahwa kurang lebih atau bahwa aktivitas demam yang disalurkan ke hasil yang lebih mendalam menghasilkan hasil pendidikan yang lebih baik daripada yang dapat direalisasikan dalam format aktivitas beberapa unit yang lebih khas. Mahasiswa afiliasi menjadi anggota tim pada awal musim dan mempertahankan afiliasi tim mereka selama musim pertandingan. rencana siswa, latihan, dan kompilasi sebagai tim. fitur ini juga berasal dari bukti yang menunjukkan bahwa banyak makna sosial yang berasal dari pengalaman olahraga serta sebagian besar pertumbuhan pribadi yang sering dikaitkan dengan pengalaman olahraga positif dilepaskan secara intim ke berafiliasi dengan kelompok yang bertahan.
REFRENSI :
Dimensi kajian ilmu olahraga Sport Science, Vol. 01 No. 01 1 DIMENSI KAJIAN ILMU KEOLAHRAGA Sugiyanto Prodi Ilmu Keolahragaan, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Pengertian pendidikan olahraga , universitas begeri jakarta 2 desember 2015
What is Sport Education and How Does it Work , Daryl Siedentop
Pages 18-20 | Published online: 22 Feb 2013
Kent, M. (1994). The Oxford dictionary of sports science and medicine. Oxford University Press.
Dirix, K. et al. (1988). The Olympic book of sports medicine. Blackwell, Oxford, 10 oct 2017