MAKALAH UJIAN AKHIR SEMESTER
‘MONSTER’ DAN FEMINISME PSIKOANALISIS
UAS PENGANTAR TEORI KRITIS
DISUSUN OLEH:
REZA E. SULISTYA
1106085642
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
I. Pedahuluan
Industri perfilman layar lebar merupakan salah satu industri media yang paling
berkembang belakangan ini, kita tidak perlu repot-repot mencari bukti mengenai betapa
besarnya industri ini kerena dengan kasat mata dapat terlihat begitu banyaknya filmfilm yang beredar di sekitar kita dari mulai bioskop, penjual DVD di toko pinggir jalan,
bahkan sampai penjualan di Internet. Besarnya industri perfilman layar lebar juga
menjadi berkah bagi banyak orang sehingga mereka menggantungkan hidupnya dari
aksi legal maupun non-legal peredaran film-film tersebut.
Kepopuleran media ini di berbagai kalangan sudah menarik perhatian berbagai
banyak pihak untuk mempelajari dan menganalisa pengaruh dari film-film tersebut
terhadap khalayaknya. Salah satu yang paling gencar diperhatikan adalah bagaimana
media ini bukan hanya sekedar menjadi media penyebar informasi tetapi juga sudah
menjadi media yang mendikte kesadaran masayarakat akan berbagai kecenderungan
yang terjadi di ruang lingkup sosial sehari-hari.
McQuail (1994:14) mengatakan bahwa ada semacam pengaruh yang menyatu
dan mendorong kecenderungan sejarah film menuju ke penerapannya yang bersifat
didaktik-propagandis, atau dengan kata lain bersifat manipulatif. Hal ini dapat terlihat
dengan banyaknya film yang berhasil merubah kesadaran masyarakat secara luas, dan
keberadaan film-film tersebut yang memang ditujukan untuk tujuan propaganda seperti
Triumph of the Will (1934), The Birth of a Nation (1915), atau Ivan the terrible part I
(1944). Kecenderungan dari film-film tersebut adalah unsur ‘cita-cita’ yang terdapat di
dalamnya dan digunakan untuk membangun kesadaran palsu pada khalayaknya.
Dari sudut pandang lain ‘fungsi’ propaganda yang terdapat pada film atau media
lainnya dapat menjadi suatu kekuatan yang tersembunyi bagi beberapa kalangan
tertentu. Film sebagai salah satu media yang digemari secara luar biasa oleh banyak
kalangan pada dasarnya mempunyai kelebihan sebagai media penyebaran informasi
karena khalayaknya yang luas, banyak, dan beragam. Dengan kemampuan yang
mumpuni dan teknologi yang mutakhir dapat tercipta sebuah film yang menghibur dan
mengedukasi masyarakat luas dalam waktu yang hampir bersamaan. Manfaat dari
kegunaan film sebagai media informasi sangat terasa bagi sebagaian kalangan yang
merasa berada dalam posisi minoritas di masyarakat. Film dapat membantu pergerakan
yang memicu tumbuhnya kesadaran atau mengedukasi masyarakat luas tentang suatu
nilai yang sebelumnya tidak disadari oleh masyarakat tersebut. Dengan kemampuan
pembuatan film yang baik, fungsi ‘propaganda’ dalam film secara diam-diam dapat
digunakan oleh kelompok minoritas untuk menyusupkan nilai-nilai tertentu ke
masyarakat yang belum memiliki kesadaran akan suatu kepentingan dari kelompok
tersebut.
Kelompok minoritas baik disadari keberadaannya oleh masyarakat maupun
tidak, tentunya memiliki nilai dan pandangan yang berbeda dengan kelompok
masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu tahap sosialisai kemungkinan besar
menjadi tahap yang paling sulit bagi beberapa kelompok minoritas karena terdapat
perbedaan cara pandang mengenai suatu masalah tertentu dengan masyarakat pada
umumnya. Tahap sosialisai merupakan tahap yang palin sensitif dalam pergerakan
kaum minoritas, karena reaksi yang ditimbulkan tidak dapat diprediksi dan yang paling
parah dapat berupa penolakan terhadap eksistensi kelompok tersebut.
Bagi sebagian kelompok mioritas, tahap sosialisasi menjadi tahap yang
membutuhkan perencanaan yang matang. Penyebaaran nilai-nilai baru kepada
masyarakat sering dianggap sebagai pandangan yang menyesatkan karena bertentangan
dengan ketentuan yang berlaku. Karena hal tersebut maka pergerakan kelompok
minoritas biasanya tidak terlalu mencolok pada awalnya, pilihan tersebut diambil agar
keberadaan kelompok minoritas tersebut tidak terlalu menarik pertatian kelompok
apatis-ekstrimis yang bersebrangan nilai dengan mereka. Media sosialisai yang dipilih
biasanya mempunyai kelebihan yang berbeda dengan jenis media lainnya. Film sebagai
media yang paling sering digunakan sebagai media sosialisai masyarakat dipilih bukan
karena media ini dapat menjangkau masyarakat secara luas, namun lebih menekankan
kepada kemampuan film mendistraksi kesadaran khalayaknya tanpa disadari. Sensasi
yang dirasakan dua indra (pendengaran dan pengelihatan) dalam menikmati sajian
hiburan dari media ini rasanya menjadi kelebihan tersendiri, seolah dapat menurunkan
kesadaran khalayaknya, sehingga membuat individu-individu penikmat media ini lebih
terbuka terhadap pesan-pesan yang ditangkap oleh indranya dan tidak terlalu apatis
terhadap sesuatu yang berbeda. Prespektif setiap orang sangat menentukan keberhasilan
diterima/tidaknya pesan ini, namun keberhasilan mengemas pesan-pesan tersebut ke
dalam suatu bentuk hiburan yang digemari masyarakat banyak dirasa akan sangat
membantu tercapainya keberhasilan tersebut.
Keberhasilan kaum minoritas dalam menembus dan membuka kesadaran
masyarakat luas tidak lepas dari kemampuan mereka untuk mengemas pesan-pesan
sosialisai mereka kedalam bentuk yang menarik. Tentunya dapat di ingat bahwa kaum
minoritas sepeti kaum gay, kulit hitam, dan feminis berhasil mendapatkan pengakuan
dan hak yang sama seperti masyarakat pada umumnya. Keberhasilan tersebut didapat
melalui kerja keras dan dengan pergerakan yang konstan sehingga nilai-nilai yang
mereka perjuangkan dapat tertanam dalam kesadaran seluruh lapisan masyarakat.
Pergerakan kaum feminis contohnya yang sampai saat ini dirasa berhasil
membuat masyarakat lebih sadar akan pentingnya keberadaan wanita di masyarakat
serta perlahan-lahan mengangkat derajat wanita ke persamaan yang lebih tinggi di mata
ekonomi, sosial, dan politk dibanding masa-masa sebelumnya yang dimana kaum pria
lebih cenderung mengsubordinasikan wanita.
Keberhasilan pergerakan feminisme yang dimulai dari dua abad yang lalu tidak
serta merta membuat kedudukan pria dan wanita sederajat. Namun keberhasilan dalam
mencapai titik yang lebih tinggi dalam setiap perjuangan edukasi dan sosialisasi yang
dilakukanlah yang membuat mereka mendapat posisi yang lebih baik dihadapan para
pria seperti sekarang ini kendati masih terdapat banyaknya ketidakadilan yang belum
terselesaikan. Tingginya kesadaran akan feminisme bukan tidak mungkin melahirkan
sebuah karya seni yang memang ditujukan untuk mengedukasi masyarakat yang belum
sadar, baik hal tersebut memamg dibuat dengan tujuan utama untuk ‘menyadarkan’
masyarakat atau memang sebuah ide cerita murni dari inspirasi.
Film yang dilahirkan dan memiliki latar belakang feminisme memang sudah ada
berbagai macam judul. Tetapi ada sebuh film yang sangat menarik menurut saya yang
berjudul Leon: The Professional. Film tersebut berkisah tentang seorang pembunuh
bayaran yang harus bertanggung jawab terhadap keberadaan anak gadis berumur
duabelas tahun yang ia selamatkan dari pembunuhan. Di dalam film ini saya rasa tidak
terlalu banyak perjuangan feminis dalam seorang anak gadis berumur duabelas tahun
yang keluarganya baru saja dibunuh, namun yang menarik bagi saya adalah bagaimana
Teori Psikoanalitik Freud yang pernah mengupas kecenderungan seksual anak yang
nantinya menentukan prilaku/sudut pandang dalam melihat lawan jenisnya. Bekerja
dalam menjelaskan prilaku anak gadis tersebut dalam film ini. Teori Psikoanalitik ini
sendiri sudah menjadi salah satu teori pendukung yang paling penting dalam pergerakan
feminisme, karena menjelaskan tentang bagaimana sebuah prilaku/sudut pandang dalam
berinteraksi dengan lawan jenis ditentukan.
Film bergenre action ini juga tidak mendapat sedikit respon baik dari pecinta
film genre ini yang nyatanya bermayoritaskan kaum pria. Hal ini dilatarbelakangi oleh
kemahiran sutradaranya dalam membungkus pesan kedalam cerita yang menarik untuk
disuguhkan kepada khalayaknya, sehingga kaum pria yang menikmati film tersebut
dapat lebih terbuka dalam menerima informasi tentang perjalanan prilaku/sudut
pandang wanita terhadap lawan jenisnya saat berada dalam masa kanak-kanak. Di
harapkan nantinya makalah ini dapat menjelaskan bagaimana prilaku tokoh utama
wanita dalam film ini dari sudut pandang psikoanalisis sehingga dapat pula
meningkatkan kesadaran feminisme di masyarakat.
II. Leon: The Professional
Film garapan sutradara Luc Besson yang ber-genre action ini berkisah tentang
seorang pembunuh bayaran yang bernama Leon (Jean Reno). Diceritakan bahwa Leon
bertemu dengan seorang gadis berumur duabelas tahun bernama Mathilda (Natalie
Portman) yang merupakan anak dari salah satu keluarga yang tinggal bertetangga
dengannya. Pada suatu hari saat keluarganya sedang di bantai oleh kawanan polisi yang
dipimpin oleh Stansfield (Gary Oldman), Mathilda yang sedang berjalan pulang melihat
kejadian tersebut memutuskan untuk meminta perlindungan kepada Leon yang tinggal
dekat dari rumahnya. Melihat kejadian tersebut Leon yang bimbang karena takut
idientitasnya terbongkar pada akhirnya memutuskan untuk menolong Mathilda untuk
mengungsi sementara dari rumahnya.
Pertolongan yang diberikan Leon kepada Mathilda pada akhirnya membawa
masalah yang berkepanjangan bagi pembunuh bayaran tersebut. Mathilda yang
kemudian mengetahui idientitas Leon sebagai pembunuh bayaran kemudian memohon
kepada pria tersebut untuk mengajarkan dirinya bagaimana menjadi pembunuh bayaran
profesional untuk membalaskan dendamnya kepada orang-orang yang membunuh
keluarganya. Leon yang awalnya menolak hak tersebut kemudian terpakasa meng-iyakan permintaan Mathilda karena gadis tersebut membahayakan idientitasnya.
Tinggal bersama Leon kemudian membuat Mathilda yang mempunyai latar
belakang hubungan yang tidak harmonis dengan keluarganya menjadi kian tertarik
dengan sosok pembunuh bayaran tersebut. Mathilda yang pada awalnya mempunyai
kecenderungan kasar, perlahan-lahan belajar mengapresiasi nilai-nilai kehidupan
bersama Leon lewat interaksi yang dilakukan sehari-hari. Mathilda pun kemudian
menganggap Leon sebagai sosok pria yang ia cintai dan berandai-andai bahwa mereka
adalah sepasang kekasih.
Setelah menjalani keseharian bersama Leon semakin hari Mathilda merasa
semakin tertarik dengan pria yang bersifat kebapakan tersebut, namun Leon yang sudah
terbiasa hidup sendiri tidak terlalu mengacuhkan keberadaan gadis yang tinggal di
sekitarnya itu. Leon yang sudah lama hidup sendiri sebagai pembunuh bayaran merasa
kaku tinggal dengan gadis yang baru mau memasuki masa puber tersebut, terlebih lagi
gadis itu selalu mengatakan bahwa dia mencintai Leon dan kadang bertingakah feminim
kepada Leon yang sudah lama tidak berinteraksi dengan lawan jenis. Dari sudut
pandangnya, Leon menganggap Mathilda sebagai murid dan anak kecil yang harus ia
lindungi, namun tanpa disadari Mathilda memberi pengaruh kepada dirinya karena ia
sudah lama tidak berinteraksi dengan orang yang terdekatnya. Mathildan yang merasa
sering diacuhkan oleh Leon kemudian mengancam akan bunuh diri apabila pria tersebut
tidak menginginkan keberadaan dirinya.
Leon yang pada awalnya menganggap bahwa hal tersebut hanya gertakan pada
akhirnya menyadari bahwa Mathilda sedang bersikap serius dan bersiap untuk
mengahabisi nyawanya sendiri, sehingga Leon harus mengalah dan menjauhkan anak
tersebut dari ajalnya.
Potongan cerita tersebut bukan merupakan cerita utama dari film ini. Cerita
tersebut dapat dikatakan sebagai cerita pendamping dari cerita utama yang digunakan
bagi film beralur lambat ini. Yang membuatnya menarik adalah cerita pendamping
tersebut ternyata layak untuk mendapatkan perhatian yang cukup besar, karena dirasa
bukan cerita yang sering disuguhkan dalam film-film aksi lainnya. Penonton pria yang
menonton film ini seakan dihibur oleh cerita kehidupan kedua tokoh utamanya, selain
itu di film ini juga dapat diperlihatkan bahwa laki-laki yang paling dingin sekalipun
masih membutuhkan perhatian dari wanita dalam hidupnya.
Film yang dikhususkan untuk penonton dewasa ini terlihat sangat memikat
dengan adegan-adegan laga yang disuguhkan oleh Jean Reno sebagai seorang
pembunuh profesional dan karakter Mathilda yang diperankan oleh Natalie Portman
juga dinilai berhasil menghasi cerita film action ini menjadi lebih menarik dan tidak
monoton.
Dalam film ini penonton diajak untuk menikmati suguhan film laga yang
berkelas yang disajikan dengan cerita yang unik sehingga tidak terasa membosankan.
Karakter Leon yang kaku dipadukan dengan semangat keceriaan masa muda yang ada
dalam diri Mathilda membuat perpaduan dialog yang mengisi hampir seluruh film ini
menjadi sangat menghibur. Namun yang menjadi perhatian utama adalah bagaimana
kedua karakter utama yang berbeda latar belakang tersebut saling membuka diri mereka
untuk menerima keberadaan orang baru dalam hidup mereka. Mathilda yang tidak
nyaman tinggal bersama keluarganya yang disfungsional merasa menemukan sosok
yang diidamkannya dalam diri Leon yang bersahaja. Leon dirasa memenuhi fungsi
keluarga yang selama ini tidak ditemukan Mathilda dalam kehidupannya yang belum
terhitung lama dan dipenuhi oleh kekerasan. Bersama Leon, Mathilda menemukan
potongan kehidupannya yang telah hilang dan merasa bahwa lelaki tersebut adalah
sosok pria yang ia tunggu.
Perasaan dan pengalaman yang dirasakan oleh Mathilda yang baru berusia
duabelas tahun tersebutlah yang menjadi pusat perhatian dalam makalah ini.
Penggambaran rasa cintanya terhadap Leon yang menyelamatkan dirinya yang menjadi
objek menarik untuk dibahas karena Mathilda sebelumnya mempunyai pengalaman
yyang buruk bersama keluarganya yang terdahulu, terutama dengan ayahnya yang kerap
melakukan kekerasan kepada dirinya, sehingga menyebakan prilaku Mathilda menjadi
apatis dalam menghadapi kehidupannya sehari-hari.
III. Feminisme Psikoanalitik
Feminisme yang pertama kali muncul adalah feminisme liberal pada abad ke 18
dan 19 dan terus berkembang sampai hari ini. Melalui sejarah yang panjang tersebut
pergerakan tokoh feminis liberal telah dan terus berusaha untuk fokus mengeliminasi
pembawahan wanita. Perjalanan panjang dari sejarahnya menjadi catatan tentang
bagaimana feminisme tersebut dapat dengan baik beradaptasi dan terus berganti dengan
banyaknya permasalahan yang mendera kaum wanita.
Mary Wollstonecraft (1759-1799) merepresentasikan permulaan dari pergerakan
feminisme liberal. Dia menulis A Vindication of the Rights of Woman dimana ia
membuat pernyataan bahwa wanita membutuhkan pendidikan sebagaimana pria
sehingga mereka dapat berkembang menjadi manusia yang memiliki moral dan dapat
memanfaatkan sumberdaya yang mereka punya untuk kebaikan diri mereka. Kemudian
pada abad ke 19 John Stuart Mill dan Harriet Taylor menulis tentang bagaimana wanita
perlu terlibat dalam lingkungan sosial. Selama Harriet Taylor mengajak dan
menghimbau para wanita untuk bekerja diluar dan meinggalkan kebiasaan mereka
mengurus rumah tangga dan anak, John sang suami percaya bahwa wanita harus
dianggap setara baik secara rasional dan memiliki kemerdekaan sipil dan kesempatan
ekonomi seperti pria. Melalui pemikiran mereka pasangan suami istri ini mendukung
pergerakan pembebasan hak wanita.
Pergerakan pembebasan hak wanita di AS merasakan kesulitan pada awal
pergerakan ini karena para suffragis (tokoh pergerakan kemerdekan perempuan) ingin
bersatu dengan gerakan pembebasan kulit hitam. Suffragis pada masa itu lebih sering
mengorbankan kepentingan mereka demi fokus untuk mencapai tujuan pembebasan isu
rasial saja. Setelah beberapa puluh tahun bersusah payah pada akhirnya wanita
mandapatkan hak pilihnya pada 1920 saat amandemen ke 19 disahkan.
Setelah amandemen ke 19 disahkan pergerakan feminisme liberal sempat
terhenti sampai tahun 1960an, ketika muculnya pergerakan hak sipil dimulai dengan
menyadari bahwa sama seperti diskriminasi rasial, diskriminasi gender juga ada yang
dan dilestarikan dalam sistem tersebut. Kelompok seperti National Organization for
Women, the National Women’s Political Caucus, dan Women’s Equity Action League
dibangun untuk memajukan hak-hak wanita. Pemimpin pertama NOW, Betty Friedan
adalah seorang penulis dan aktifis feminis terkemuka yang memegang kepemimpinan
penting dalam pergerakan feminisme liberal. Dia menulis beberapa buku penting seperti
The Feminime Mystique, The Second Stage, dan The Fountain of Age. Buku-buku
tersebut dirasa sangat berpengaruh dan menunjukkan kemajuan dalam pemikiran
feminis liberal dari tahun 1960an sampai sekarang. Dengan banyaknya hasil pemikiran
dalam buku ini dan feminisme liberal, puncak sesungguhnya adalah dengan mendukung
pembentukan manusia yang ideal melalui androgini. Androgini adalah kondisi dimana
wanita dan pria mengembangkan diri mereka dengan mengadopsi perilaku feminis dan
maskulin untuk menjadi manusia yang lebih sempurna.
Tidak mengejutkan juga bila ternyata terdapat beberapa kritik mengenai
feminisme liberal. Kritik yang pertama menyatakan bahwa feminsme liberal terlalu
berfokus kepada penciptaan wanita menjadi sosok seperti laki-laki yang ternyata malah
mencemarkan kepentingan peran wanita tradisional. Kritik lain yang menyerang
feminsme liberal karena feminisme liberal terlalu menekankan kepada rasionalitas
diatas segi emosional padahal manusia membutuhkan keduanya. Kritik ini juga
mempertanyakan fokus feminisme liberal pada individu bukan pada komunitas. Kritik
historis dari feminisme liberal berfokus kepada masa lalu yang cenderung rasis,
mengutamakan kelas, dan kecenderungan heteroseksual.
Feminisme liberal percaya bahwa filsafat mereka secara meyakinkan menjawab
setiap kritik tersebut, dan kalaupun feminisme liberal pernah rasis, mementingkan kelas,
dan terlalu heteroseksual, feminisme liberal telah melewati masalah-masalah tersebut.
Psikoanalitik dan feminis gender mempercayai bahwa cara wanita dalam
berperan tertanam jauh dalam psikis wanita. Bagi feminis psikoanalitik, manusia yang
ideal adalah orang yang dapat menyatukan perlakuan feminis dan maskulin.
Akar dari feminsme psikoanalitik: Sigmund Freud
Sigmund Freud lahir di Freiberg yang sekarang berada di Republik Ceko pada 6
Mei 1856. Freud mengembangkan psikoanalisis sebagai metode untuk menganalisa
konflik di alam bawah sadar manusia dan hubungannya dengan mimpi atau fantasi
seseorang. Teorinya yang membahas tentang seksualitas anak, libido, dan ego menjadi
salah satu konsep yang penting pada abad ke duapuluh.
Pada saat ia berumur empat tahun keluarganya pindah ke Vienna, kota yang
menjadi saksi perjalanan hampir seluruh karir dan pencapaian selama hidupnya. Dia
menerima gelar medis pada 1881 dan menikah pada tahun tersebut juga. Pernikahannya
menghasilkan enam anak. Setelah lulus Freud segera membuka praktik pribadi dan
mulai mengobati berbagai gangguan psikologis. Menyadari bahwa dirinya adalah
seorang ilmuan dan bukan merupakan dokter, menjadikannya terus berusaha untuk
memahami perjalanan manusia menuju pengetahuan dan pengalaman.
Bertentangan dengan kerpercayaan masa lalu bawa anak-anak belum dapat
dikatakan sebagai objek berkelamin, Freud berpendapat bahwa anak-anak sebenarnya
dapat dinyatakan sebagai objek yang berkelamin dan menurutnya anak-anak merasakan
beberapa tahap perkembangan seksual (oral, anal, phallic, dan kelamin), melalui
tahapan tersebut anak-anak mengetahui dan merasakan potensi dan peran seksual, hal
tersebut yang nantinya dapat menentukan keberhasilan perkembangan seksual pada
anak yang juga berhubungan dengan pembentukan perilaku serta kepribadiannya.
Teori Freudian mengajukan pendapat bahwa anak laki-laki mendambakan figur
seksual ibunya, belum menyadari bahwa masih ada figur seksual lainnya, anak tersebut
awalnya mengembangkan persaingan dengan sang ayah untuk memperbutkan sang ibu,
ia kemudian berasumsi bahwa ibunya (wanita) sudah dikebiri oleh ayah mereka
dikarenakan adanya persamaan bentuk genital dengan miliknya, dan asumsi dasar
tersebut membuat mereka takut akan terjadinya hal serupa kepada diri mereka, yang
pada akhirnya mendorong mereka untuk memilih tidak berkompetisi dengan sang ayah
dan lebih memilih berperilaku menggunakan kehendaknya, serta perlahan lepas dari
ibunya. Anak laki-laki tersebut antinya akan membangun superego, yang merupakan
penerapan nilai-nilai, patriarki, dan kesadaran sosial yang ditemukan pada ayahnya
kepada dirinya sendiri.
Pada anak perempuan ketertarikan pertama kali juga dirasakan kepada sang ibu.
Anak perempuan kemudian menyadari bahwa genitalnya berbeda dengan laki-laki dan
sama seperti ibunya. Hal ini yang kemudian membangun keirian terhadap alat genital
yang tidak dimilikinya. Setelah ‘bosan’ dengan figur ibunya, anak perempuan tersebut
kemudian mendekat kepada ayahnya untuk mengatasi kekurangannya. Anak perempuan
tersebut kemudian mencoba mengambil posisi ibu. Partama-tama anak tersebut akan
menginginkan alat kelamin ayahnya, kemudian menginginkan sesuatu yang lebih
berharga lagi: seorang bayi.
Keirian akan keberadaan penis menurut Freud mendorong prilaku wanita ke arah
pemalu, jual mahal, narsisme, dan berbagai macam prilaku yang bertentangan dengan
keberadan superego laki-laki, yang mana mengembangkan perilaku mereka sebagai
orang biasa. Freud menyimpulkan bahwa anak perempuan akan mengalami masa yang
lebih sulit untuk melewati fase Oedipus complex karena adanya perlakuan berbeda
terhadap gender selama masa perkembanganya. Kemudian ketiadaan penis pada
perempuan lah yang menyebabkan kekuasaannya dalam hubungan seksual dikendalikan
oleh ‘ketakutan’ pria akan pengkebirian yang melatarbelakangi keinginan mereka untuk
lebih beradab. Hal in yang mendorong pria menjadi sosok yang patuh pada peraturan,
yang mana ‘kepala’nya dapat selalu mengontrol ‘hati’.
Dalam teori Freud akan lebih sulit bagi wanita untuk mencapai seksualitas
normal dibandingkan dengan pria, hal ini tidak lain karena wanita harus berhenti
mencintai sosok ibu mereka dan mulai mencintai sosok ayah mereka. Perpindahan objek
yang dicintai tersebut membutuhkan kesadaran dari wanita tersebut untuk memperoleh
kenikmatan seksual dari ‘sisi feminim’ vagina, bukan ‘maskulinitas’ klitoris. Freud
kemudian menambahkan sebelum masa phallic atau ereksi seksual, gadis mempunyai
sasaran seksual aktif. Seperti anak laki-laki, gadis tersebut menginginkan kenikmatan
seksual ibunya, namun menggunakan klitoris mereka. Bila gadis tersebut berhasil
melalui masa phallic, maka gadis itu akan memasuki masa kosong tanpa keinginan
seksual sampai muncul kembali pada mesa pubertas, yang mana pada masa ini ida
sudah tidak mencari kenikmatan aktif, melainkan menggunakannya secara pasif dalam
masturbasi atau foreplay sebelum berhubungan seksual. Tapi karena kenikmatan pasif
tidak mudah untuk dirangsang menyebabkan selalu ada kemungkinan bagi gadis
tersebut untuk menarik diri dari prilaku seksual aktif, atau mungkin bosan dengan
kenikmatan yang pasif sekaligus.
Konsekuensi jangka panjang yang buruk dari keirian akan keberadaan penis dan
penolakan terhadap ibunya dapat membawa gadis tersebut kedalam tekanan. Freud
berpikir bahwa kesulitan yang dialami gadis tersebut dalam melalui fase Oedipus
complex membebaninya dengan perlakuan yang diarahkan kepadanya seakan dia bukan
anak dengan jenis kelamin yang diinginkan. Pertama-tama mereka akan menjadi narsis
karena beralih dari sasaran seksual aktif ke pasif. Menurut Freud kemudian, gadis
tersebut tidak akan terlalu banyak mencintai dari pada dicintai. Maksudnya adalah
semakin gadis tersebut merasa dirinya cantik semakin dia berharap untuk dicintai.
Kedua, gadis tersebut akan bersikap angkuh. Sebagai kepuasan pengganti dari
ketidakadaan penis, gadis tersebut berfokus kepada penampilan fisiknya secara total,
pemikirannya mengatakan bahwa terlihat cantik secara umum akan memberikan
kepuasan tersendiri sebagai ganti dari kepuasan yang tidak akan pernah dia rasakan.
Dan pada akhirnya gadis tersebut menjadi korban dari rasa malu yang berlebihan.
Menurut Freud sangat tidak wajar bagi para gadis untuk merasa malu dengan pandangan
yang merendahkan tubuh mereka.
Menurut Freud narsisme, keangkuhan, dan rasa malu yang dirasakan oleh para
wanita semua sama buruknya, oleh karena itu dia menyatakan bahwa ‘kecacatan’ wanita
tersebut tidaklah sebanding dengan pandangan yang merendahkan kedudukan wanita
sebagai gender. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ketakutan anak lakilaki akan pengkebirian membuat mereka dapat menyelesaikan fase Oedipus complex
secara sukses, karena didorong oleh keinginan menjadi seperti ayah mereka.
Sebaliknya, karena anak perempuan tidak memiliki ketakutan tersebut (karena nothing
to lose) sehingga mereka melalui fase Oedipus complex dengan lebih lambat. Karena
selamanya kebal dari tuntutan ayah mereka, seharusnya mereka tidak lebih patuh dari
pria dalam urusan menekan superego. Freud berpendapat bahwa inferioritas moral
wanita bersumber pada ketiadaan penis pada diri mereka. Karena mereka tidak takut
dikebiri seperti anak laki-laki, jadi tidak memotivasi mereka untuk lebih mematuhi
‘kepala’ dari pada ‘hati’.
Pandangan Umum Terhadap Feminisme Psikoanalisis
Chris Weedon menjelaskan terlepas dari banyaknya kritik yang menghujuam
para Freudian lama akan pengembangan psikososial, penjelasan akan penerapan
psikoanalisis Freud yang diterapkan oleh para Freudian baru juga tidak menyelesaikan
apa yang disebut sebagai problema utama dalam teori Freud, yaitu bagaimana anak
mengkontruksikan laki-laki dengan maskulinitas dan perempuan pada feminitas,
sebagaimana lingkungan sosial mendefinisikannya.
Weeton mengatakan bahwa apabila subjektifitas, secara tidak berhubungan
terproduksi oleh institusi sosial dan terus terposes. Maka tidak ada alasan yang benar-
benar masuk akal megenai mengapa kita masih ‘menganggap’ ‘hubugan secara gender’
begitu penting dibandingkan dengan berbagai jenis ‘hubungan’ lain yang kita dapat
melalui lingkungan sosial kita. Mungkin dalam sejarah kita dapat melihat penjelasan
dan alasan yang spesifik untuk hal ini, namun hal tersebut sama sekali tidak absolut.
Lebih jauh ia mengatakan, bahwa bila kita secara spesifik peduli mengenai pertanyaan
akan identitas seksual, maka psikoanalisis itu sendiri harus dapat dilihat sebagai suatu
jalan diantara berbagai cara lainnya yang menjustifikasi (melakukan pembenaran)
norma patriarkis dalam perbedaan gender.
Menelaah hasil observasi Weedon, feminis psikoanalisis belakangan ini lebih
merasakan interpretasi Jaques Lacan akan Freud sangat bermanfaat. Lacan berpendapat
bahwa anatomi tubuh manusia tidak mentakdirkan jalan hidup suatu gender, melainkan
struktur bahasanya. Seperti apa yang ditekankan berulang kali oleh Weedon bahwa apa
yang menbentuk personlitas seksual seseorang adalah bagaimana hal tersebut terbentuk
dan terasah dari keseharian mereka, dan hal tersebut berarti bahwa ‘bahasa’ sebagai
suatu simbol keseharian adalah media yang ‘mentakdirkan’ idealisme dari apa yang
disebut pantas dan tidak pantas. Apabila bahasa bisa dirubah, maka feminisme pun
mempunyai kesempatan.
IV. Analisis
Pada bagian awal permulaan film ini penonton akan langsung diajak melihat
suguhan laga memikat dari aksi sang pembunuh bayaran. Leon yang awalnya terlihat
berbincang dengan rekan kerjanya yaitu Tony mengenai seseorang yang ada di dalam
foto. Di scene selanjutnya orang yang ada di dalam foto tersebut terlihat memaski
sebuah gedung diiringi oleh beberapa pengawalnya. Setelah selesai berkencan dengan
teman wanitanya, pria tersebut mendapat panggilan dari anak buahnya yang berjaga
diluar dan mengatakan bahwa ada seorang pria yang ingin menemui pria itu. pria
tersebut pada awalnya tidak perduli akan panggilan itu kemudian menyadari adanya
bahaya karena mendengar suara tembakan dari telepon. Dari sini lah aksi Leon sebagai
seorang pembunuh bayaran profesional dimulai, sendirian menerobos masuk ke tempat
yang penuh pengawalan ketat orang-orang bersenjata lengkap Leon berhasil menghabisi
mereka satu persatu hingga hanya si pria di dalam foto yang tersisa terakhir untuk
dihabisi. Penysupan yang dilakukan oleh Leon membuat pria tersebut berada dalam
kepanikan, anak buahnya yang habis dibasmi Leon membuatnya tidak menyadari
keberadaan Leon yang sudah siap membunuhnya dari belakang. Namun ternyata Leon
tidak membunuh orang tersebut melainkan memerintahkan orang tersebut menelepon ke
nomor yang sudah disiapkan, setelah pria tersebut mendapat pesan yang disampaikan
oleh orang yang berbicara dengannya ditelepon Leon pun menghilang dibalik
kegelapan. Dari potongan scene tersebut dapat terlihat bahwa Leon adalah pribadi yang
dingin dan tangguh layaknya pembawaan seorang pembunuh profesional yang biasanya
dicitrakan dalam film-film aksi.
Setelah menyelesaikan misinya Leon yang langsung pulang ke rumah dan
kemudian berjumpa Mathilda yang sedang merokok di samping tangga. Walau belum
saling mengenal Mathilda memberanikan diri untuk menyapa Leon. Leon sesaat
kemudian menyadari bahwa ada bekas luka memar di wajah Mathilda, namun ketika
ditanya apa yang menyebabkan dirinya terluka Mathilda hanya terdiam dan mengatakan
bahwa
dirinya
terjatuh.
Setelah
Leon
memasuki
rumahnya
lelaki
tersebut
menyempatkan untuk mengintip keributan di lorong apartemennya melalui lubang
kunci. Saat itu ia melihat ayah Mathilda beradu argumen dengan dua anggota polisi
mengenai kualitas barang yang mereka dapatkan dari ayah Mathilda. Kedua polisi itu
adalah Stansfield dan Malky, mereka kemudian berjanji untuk kembali besok siang
untuk menanyakan kembali barang mereka. Setelah kedua polisi itu pergi, Leon
kemudian melihat Mathilda dipukul oleh ayahnya yang frustasi dengan alasan karena
gadis itu merokok dan membangkang.
Mathilda yang diceritakan hidup bersama empat orang anggota keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu tiri, kakak perempuan, dan adik laki-lakinya. Kehidupan Mathilda
terlihat tidak bahagia karena selalu bertengkar dengan anggota keluarganya. Satusatunya anggota keluarga yang dekat dengan dirinya hanyalah adik laki-lakinya.
Sebaliknya, Leon yang sudah melewati masa mudanya menghabiskan waktu hidupnya
sendirian ditemani tanaman kesayangannya dan melewati kesehariannya dengan disiplin
berolahraga untuk menjaga kebugaran dalam menjalankan profesinya.
Kehidupan Mathilda memperlihatkan bahwa fungsi dual parenting di dalam
keluarganya tidak berjalan sebagai mana mestinya. Peran kedua orang tua Mathilda
dalam membesarkan anak-anaknya tidak terlihat dalam film ini. Ibu Mathilda yang
merupakan ibu tirinya terlihat sebagai figur wanita yang jarang berada dirumah,
sementara ayah Mathilda sering terlihat berprilaku kasar kepada anak-anaknya. Menurut
Freud dalam dual parenting peran orang tua sangat mempengaruhi perilaku/sudut
pandang anak dimasa depan dalam memandang gender. Perilaku Mathida yang sering
membangkang dan keras kepala kemungkinan besar ditimbulkan oleh subordinasi yang
dijalankan oleh peran ayahnya di dalam rumah tangga mereka. Perilaku anak gadis
seusia Mathilda memang sepertinya telah melewati fase Oedipus complex, namun yang
menjadi faktor penting dalam kasus ini ialah bahwa Mathilda juga tidak melihat
ayahnya sebagai sosok yang ia cintai. Maka dari itu perilaku Mathilda cenderung tidak
mengindahkan nilai-nilai kekeluargaan serta tidak mencerminkan perilaku anak gadis
seusianya.
Kecenderungan anak perempuan pada fase Oedipus complex memang tidak
memandang ayah mereka sebagai sosok yang ditakuti sehingga pada dasarnya anak
gadis tidak terlalu patuh dalam memenuhi peran mereka menjadi individu yang mandiri
atau mempunyai keinginan menjadi seperti sosok ayah mereka. Justru sebaliknya anak
gadis yang memasuki masa tersebut lebih berusaha mencari kasih sayang ayahnya dan
berharap menggantikan peran ibunya. Mathilda yang kerap mengalami kekerasan dari
ayahnya menjadikan dirinya tidak simpatik terhadap sosok tersebut, terlebih lagi
ayahnya tidak terlihat memberikan penghargaan dan kasih sayang kepada Mathilda,
sehingga gadis tersebut melalui masa Oedipus complex tanpa mengetahui kedudukan
dan peran yang jelas dalam gender yang pada awal film ini digambarkan Mathilda
sebagai sosok yang pemberani.
Perilaku Mathilda yang pembangkan juga kemungkinan didorong oleh perilaku
kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya. Menurut Freud anak gadis memang
mempunyai kecenderungan untuk tidak patuh dan mandiri tetapi sikap tersebut
seharusnya digantikan oleh sikap yang mencari perhatian serta kasih sayang. Namun
dalam kasus Mathilda, anak tersebut lebih terdorong untuk melakukan pembangkangan
karena sosok ayahnya merupakan sosok yang kasar sehingga Mathilda malah cenderung
mengembangkan egonya untuk melawan eksistensi sosok ayahnya.
Peran ibu tiri Mathilda yang sedikit dalam film ini (yang kemudian mati dibunuh
oleh kawanan Stan) tidak dapat dipersalahkan dalam kecenderungan yang salah dalam
perkembangan Mathilda. Mathilda tidak menunjukan keirian akan posisi ibunya yang
mungkin dikarenakan presepsi gadis tersebut yang melihat ayahnya sebagai sosok yang
terlalu dominan dan tidak ideal dalam rumah tangga mereka.
Setelah transaksi yang tidak berjalan lancar antara ayah Mathilda dan Stan
keluarga Mathilda mengalami pembantaian dimana hanya Mathilda seorang yang
berhasil lolos dari kejadian tersebut berkat pertolongan Leon yang menyembunyikan
Mathilda untuk sementara. Secara tidak sengaja kedok Leon sebagai seorang pembunuh
bayaran pun akhirnya terbongkar. Mathilda yang menaruh dendam terhadap kawanan
Stan karena telah membunuh adik laki-laki yang ia sayangi berniat menyewa Leon
untuk membunuh kawanan tersebut, namun apa daya Leon menolak tawaran tersebut.
Tidak habis akal Mathilda memaksa Leon untuk mengangkatnya sebagai murid agar
dilatih menjadi pembunuh bayaran profesional. Leon yang awalnya menolak tawaran
tersebut karena sudah biasa bekerja sendirian pada akhirnya terpaksa menuruti
keinginan Mathilda karena gadis itu membongkar tempat persembunyian Leon.
Kehidupan sehari-hari Leon dan Mathilda dipenuhi dengan berbagai macam
aktifitas. Dari mulai latihan dasar untuk menjadi seorang pembunuh profesional sampai
mencuci baju kotor semuanya dilakukan Mathilda demi membalas hutang budinya
kepada Leon. Keduanya terlihat nyaman satu sama lain, hal ini terlihat dari kegiatan
mereka yang menyempatkan bermain disela-sela kesibukan mereka untuk saling
mengenal satu sama lain. Leon yang selama ini hidup sendiri tentu merasa senang
menemukan teman di sela-sela aktivitasnya, Leon bahkan tidak segan juga untuk
menegur Mathilda apa bila gadis itu membuat kesalahan dan sesekali bercanda
dengannya. Image yang dibangun Leon secara tidak sadar tersebut menarik perhatian
Mathilda untuk mengenal Leon lebih dekat, Mathilda yang jarang merasakan kasih
sayang dan perhatian dari ayah kandungnya secara tiba-tiba kehidupannya berubah
sejak bertemu dengan Leon yang berkepribadian polos, lucu, dan disiplin sekaligus. Hal
ini dapat terlihat dari bagaimana Leon menghibur Mathilda saat gadis itu kehilangan
adiknya, melarang Mathilda merokok, bahkan sampai memaksa gadis tersebut minum
susu.
Hal-hal kecil dan mendetil yang sering diperhatikan oleh Leon sehari-hari
membuat Mathilda semakin merasa bahwa kini ada sosok yang memberikan dia
perhatian, menggantikan peran yang tidak pernah dilakukan ayahnya. Pembawaan Leon
yang lugu menguatkan firasat Mathilda bahwa pria tersebut tidak menolak
keberadaannya. Menurut Freud masa-masa dimana seorang anak perempuan
mendambakan (fungsi) seorang ayah adalah bagian dari fase Oedipus complex, pada
kasus di film ini, Mathilda tampaknya baru memasuki tahap ini, tapi bagaimanapun juga
tahap yang terjadi pada Mathilda ini tidak dapat dikatakan terlambat hanya karena gadis
ini baru mengalaminya pada usia duabelas tahun. Freud yang berpendapat bahwa fase
ini dimulai ketika anak perempuan beralih ketertarikan dari ibu ke ayahnya dengan
membandingkan alat genital mereka. Fase yang dimaksudkan freud tersebut secara
harfiah kemungkinannya besar pernah terjadi, namun yang menjadi penekanan saya
adalah bahwa fase tersebut hanyalah start point dari perjalanan dimana nantinya gadis
tersebut menyadari perbedaan peran ayah dan ibu mereka dalam sistem sosial.
Pendapat saya adalah bahwa fase Oedipus complex yang terjadi pada Mathilda
saat tinggal bersama Leon merupakan sebuah fase yang tertunda, kesalahan tersebut
tidak bisa dilimpahkan kepada Mathilda yang memang baru saja mengalaminya.,
melainkan kesalahan yang terdapat pada peran ayahnya yang kerap melakukan
kekerasan sehingga malah membentuk Mathilda menjadi seorang pembangkang dan
mempunyai kecenderungan bersikap seperti anak laki-laki. Menurut saya Mathilda
adalah korban dari pengasuhan dual parenting yang tidak berfungsi sebagaimana
mestinya karena pada akhirnya gadis tersebut berhasil melewati fase tersebut. Hal
tersebut juga didukung dengan perubahan perilaku Mathilda yang dengan cepat
mengembangkan perilaku narsis dan genit saat bersama Leon, perilaku narsis dan mulai
memperhatikan penampilan menurut Freud merupakan pertanda bahwa seorang anak
perempuan berhasil melalui masa Oedipus complex.
Mathilda yang sangat menikmati hari-harinya bersama Leon kian menganggap
pria tersebut sebagai pria idalamannya. Leon yang menyelamatkan hidup Mathilda kini
seakan menjadi malaikat kehidupan bagi gadis tersebut. Mathilda kemudian secara tibatiba mengungkapkan kebahagiaan hidup yang ia jalani bersama Leon dengan
mengatakan bahwa ia mencintai pria tersebut. Leon yang tidak mengindahkan perkataan
gadis muda tersebut pada awalnya, kemudian pada akhirnya dibuat kepikiran oleh
perkataan gadis tersebut. Dalam cerita ini Leon yang sudah lama hidup sendirian
kemudian memutuskan untuk bertemu Tony, pertemuan keduanya membahas mengenai
pengangkatan Mathilda menjadi ahli waris kekayaan Leon apabila pria tersebut tewas
saat bekerja. Rupa-rupanya dalam film ini diceritakan bahwa Leon sudah mulai
mengangap baik keberadaan Mathilda di sekitarnya dan berpikir bahwa gadis tersebut
adalah anak yang perlu dia lindungi. Kesendiran yang selama ini mengurung Leon
hilang dengan kedatangan Mathilda yang diasuhnya secara tidak sengaja, namun hal
yang sama tidak berlaku pada Mathilda yang pada saat itu baru saja melalui fase
Oedipus complex-nya yang tertunda dan memasuki masa puber sekaligus.
Umur duabelas tahun merupakan waktu umum dimana seorang anak memasuki
masa pubernya. Hal yang sama juga terjadi pada Mathilda, gadis muda yang kemudian
menyatakan cintanya kepada Leon dan mengaku kepada orang lain bahwa mereka
berdua adalah sepasang kekasih. Yang terjadi dalam film ini bila dilihat dari kaca mata
psikoanalisis bisa jadi merupakan suatu bentuk kasus Oedipus complex yang
berkepanjangan. Meskipun berhasil melalui fase Oedipus complex, gadis tersebut
sekarang sudah memasuki fase pubertas dimana mulai dapat merasakan lagi adanya
rangsangan seksual serta menjadi masa-masa dimana para anak perempuan untuk mulai
genit kepada lawan jenisnya. Menurut saya apa yang terjadi pada Mathilda adalah
kesalahan dalam menempatkan emosi dalam hubungannya dengan Leon. Leon yang
membantu Mathilda melewati masa Oedipus complex ternyata harus merasakan
‘Oedipus complex’ yang lebih rumit karena Mathilda juga sudah mulai memasuki masa
puber dimana sudah mulai muncul kecenderungan Mathilda menyukai lawan jenis
secara seksual.
Pada tahap ini yang perlu diingat adalah bahwa Mathilda melewati masa
Oedipus complex disaat memasuki masa pubernya, karena Mathilda sudah berumur
duabelas tahun dan sudah memandang pria sebagai lawan jenis maka keberhasilannya
melalui fase Oediepus complex akan langsung didorong oleh hasratnya masa puber
dengan tujuan menemukan objek untuk dicintai yang mana dalam hal ini sosok tersebut
ada di dalam diri Leon. Leon yang mengisi fungsi ayah saat mengasuh Mathilda
meninggalkan kesan yang baik bagi anak tersebut, Mathilda yang berusia duabelas
tahun untuk pertama kali menemui sosok dari fungsi ayah yang dia impikan dalam diri
Leon. Mathilda yang baru memasuki masa puber mengambil image Leon sebagai lawan
jenis yang baik, kemudian dia juga menyadari bahwa dirinya dan Leon tidak terikat oleh
suatu hubungan keluarga (dapat menikah), berbeda dengan Leon yang melihat gadis
tersebut sebagai anak. Didasari oleh pemikiran tersebut maka Mathilda berkesimpulan
bahwa Leon merupakan sosok ideal bagi dirinya dan mulai menyukain Leon sebagai
lawan jenis.
Disini saya ingin berpendapat bahwa rasa cinta yang dirasakan oleh Mathilda
kepada Leon bukan merupakan fase Oedipus complex yang tidak terselesaikan, yang
terjadi adalah kesalahan Mathilda dalam menempatkan emosinya karena keberadaan
Leon yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya. Kesalahan ini memang menyebarkan
kesalah pahaman bagi beberapa orang, namun bukan suatu kecacatan yang terjadi
seumur hidup. Faktor kemunculan Leon yang tiba-tiba lah yang mengubah jalan hidup
Mathilda, dapat dibayangkan apa bila Mathilda tidak tumbuh bersama Leon
kemungkinan gadis itu akan terus berprilaku pembangkang dan mengedepankan
egonya, justru dengan kemunculan Leon lah Mathilda dapat mengembangkan perilaku
alami gender seusianya. Perasaan Mathilda kepada Leon sendiri menurut saya tidak
lebih dari sebuah kesalahpahaman belaka, perasaan yang kerap kali muncul pada masa
puber yang biasanya akrab dengan sebutan cinta monyet hanyalah sebuah fase menuju
kedewasaan sesungguhnya. Jadi apa yang sedang dirasakan Mathilda kepada Leon
sekarang hanyalah sebuah fase dimana gadis tersebut ‘belajar’ mencari lawan jenis yang
ideal, dan seiring waktu akan terus berubah sehingga tidak layak kiranya bila disebut
dengan Oedipus complex yang berkepanjangan.
Mathilda yang kemudian kembali mengunjungi rumahnya diwaktu senggang
menemukan uang yang disembunyiakn oleh ayahnya selain itu tanpa disangka dia juga
mengetahui lokasi keberadaan Stan yang juga merupakan seorang anggota DEA.
Sekembalinya kerumah, Leon yang terluka saat menjalankan misinya diminta kembali
untuk membalaskan dendam Mathilda kepada para polisi tersebut. Uang yang
ditemukan Mathilda dirumahnya yang digunakan sebagai pembayaran di tolak oleh
Leon karena merasa bahwa misi itu sudah terlalu berat. Mathilda yang mencoba
memahami keadaan Leon, kemudian meminta izin dari pria tersebut untuk menyewakan
senjatanya, namun Leon menolak. Penolakan Leon atas bantuan yang diminta Mathilda
membuat gadis tersebut sakit hari karena sikap Leon yang begitu dingin dan tidak
mengerti perasaan Mathilda yang dirundung kesedihan dan dendam akan kematian
adiknya. Leon kemudian mengatakan bahwa lebih baik bagi Mathilda untuk melupakan
kejadian tersebut, sekap Leon yang dingin tersebut ditanggapi kesedihan oleh Mathilda,
gadis tersebut kemudian mengancam bunih diri apa bila Leon tidak lagi perduli
kepadanya. Leon yang mengira Mathilda hanya menggertak kemudian ditantang
Mathilda untuk membuktikannnya dengan taruhan yang mengharuskan Leon untuk
perduli dan mencintai Mathilda selama sisa hidupnya atau membiarkan gadis itu mati.
Leon yang merasa tidak tega melihat gadis tersebut mati kemudian memilih untuk
menyelamatkannya dari letusan senjata api yang hampir merengut nyawa gadis tersebut.
Keinginan Mathilda untuk dicintai Leon sampai pada tahap ini sepenuhnya
menurut saya masih merupakan kesalahan penempatan emosi yang dialami oleh gadis
itu. Fakta bahwa di dalam film tersebut Mathilda mencari kasih sayang dari kesedihan
yang dia rasakan atas kematian adiknya merupakan suatu fenomena yang wajar,
terutama untuk seorang anak gadis yang baru memasuki masa remajanya. Yang
menjadikan cerita ini menarik tentu saja bagaimana Mathilda memposiskan dirinya
mempunyai ‘nilai tawar’ kepada Leon yang nothing to lose akan keputusan Mathilda
untuk mengakhiri hidupnya. Keberanian Mathilda yang mengancam bunuh diri
memposiskan dirinya secara tidak langsung sebagai subjek dewasa di hadapan Leon
yang sudah lama tidak berurusan dengan ‘perasaan’. Sebagaimana pendapat Freud
mengenai keinginan anak perempuan untuk menggantikan posisi ibu di depan sosok
ayah mereka, Mathilda pada akhirnya pun merasa demikian namun tujuan sebenarnya
bukan mendapatkan posisi ibu tetapi lebih tepat bila dikatakan mencari pengakuan akan
kasih sayang yang selama ini tidak didapatkan oleh gadis itu selama fase Oedipus
complex-nya saat bersama keluarganya. Dalam cerita di film ini Leon yang berperan
sebagai sosok yang mengisi fungsi ayah pada kehidupan baru Mathilda digambarkan
sebagai pria yang baru belajar kembali bagaimana cara berhubungan dengan orangorang terdekat, setelah sebelumnya terbiasa sendiri dan independen. Permohonan
Mathilda untuk diperhatikan oleh Leon sebenarnya secara tidak langsung juga
mempengaruhi Leon yang berlatar belakang penyendiri dan dingin, sehingga
perbincangan tersebut secara tidak langsung menjadi pengakuan keduanya untuk
membuka diri mereka kepada orang lain setelah sebelumnya keduanya cenderung tidak
dapat cocok bersosialisasi dengan kehidupan disekitarnya baik karena pilihan sendiri
atau karena orang di sekelilingnya..
Saya memilih mengakhiri analisa sampai tahap ini karena sudah mendekati
ending dari film ini sendiri. Saya juga tidak tertarik untuk membahas ending film ini
karena sudah menjadi kehormatan/kenikmatan bagi masing-masing orang untuk
menyimpulkan pesan yang didapat dari konsumsi media yang mereka lakukan.
Diharapkan analisis tersebut dapat membantu penonton film ini dalam mengerti situasi
yang terjadi di dalamnya mengenai ‘percintaan’ seorang pembunuh profesional dan
seorang gadis berusia duabelas tahun. Selain itu dihapkan penonton mendapatkan
innformasi yang berharga mengenai dual parenting yang baik serta memberi pesan
moral akan pentingnya keluarga yang menjaga fungsi afeksi bagi perkembangan anakanak mereka di masa depan dalam memandang dan bertindak kepada lawan jenis.
V. Penutup
Industri film yang telah memiliki banyak penggemar sudah menjelma menjadi
salah satu kekuatan media yang sering dipergunakan dalam mempengaruhi dan
memberi informasi kepada khalayaknya. Pengaruh media dalam kesadaran masyarakat
tentu tidak sedikit terutama bagi media yang banyak digemari seperti film. Setelah
beberapa kali digunakan dalam kepentingan penguasa sudah saatnya fungsi perfilman
dikembalikan pada asalnya sebagai media informasi dan edukasi yang dapat menghibur
bagi semua golongan.
Penggunaan media film dalam tahap sosialisasi nilai dari sebuah kelompok
minoritas dapat dianggap sebagai salah satu pemenuhan fungsi media yang bermanfaat.
Dalam makalah ini saya ingin mencoba menjelaskan pesan yang terdapat pada film
Leon: The Professional yang mempunyai nilai-nilai feminisme. Secara disengaja atau
tidak film ini langsung atau tidak langsung berupaya mengedukasi masyarakat tentang
bagaimana peran gender ditentukan oleh keluarga yang mempunyai peran penting di
dalamnya.
Dalam film ini Mathilda yang menjadi sorotan utama merasakan pengalaman
yang buruk bersama keluarganya, sebelum kemudian merasakan indahnya proses
menjadi dewasa bersama Leon sang pembunuh profesional yang justru memenuhi
fungsi keluarga yang dibutuhkan oleh anak tersebut. Penjalasan dan analisa saya
mengenai bagaimana proses pembentukan pandangan dan tingkah dalam gender yang
dialami oleh Mathilda saya harap dapat memberi informasi yang berguna mengenai
dasar pembentukan cara pandang dan perilaku terhadap gender secara luas di
masyarakat sehingga penindasan gender secara nyata dapat berkurang. Saya juga
berharap pembaca dapat mengerti bahwa peran wanita dalam dual parenting tidak bisa
menjadi sosok yang terus bertanggung jawab kepada kegagalan anak dalam melalui
masa Oedipus complex sehingga menyadarkan kaum pria untuk lebih bertanggung
jawab dalam urusan mengembangkan prilaku gender anak dimasa depan sehingga
pandangan feminis dapat terus terpelihara dan menjaga hak-hak wanita seutuhnya.
Daftar Pustaka
Buku:
Tong, Rosmarie. 2009. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction.
Colorado: Westview Press.
Film:
Leon: the Professional
Link:
http://www.rogerebert.com/reviews/the-professional-1994
http://variety.com/1994/film/reviews/the-professional-1200438505/
http://www.biography.com/people/sigmund-freud-9302400