Academia.eduAcademia.edu

DISTRIBUSI SPASIAL FAUNA KRUSTASEA

Perairan Kepulauan Matasiri berada diantara dua kondisi yang berpengaruh besar, yaitu daratan Pulau Kalimantan (mainland) dan Selat Makassar. Kedua pengaruh tersebut menyebabkan adanya perbedaan karakteristik habitat di perairan

DISTRIBUSI SPASIAL FAUNA KRUSTASEA DI PERAIRAN KEPULAUAN MATASIRI KALIMANTAN SELATAN Nirmalasari Idha Wijaya, S.Pi, M.Si.1) Dra. Rianta Pratiwi, M.Sc. 2) 1) Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur, email: [email protected] 2) Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI, Jakarta, email: [email protected] ABSTRACT Perairan Kepulauan Matasiri berada diantara dua kondisi yang berpengaruh besar, yaitu daratan Pulau Kalimantan (mainland) dan Selat Makassar. Kedua pengaruh tersebut menyebabkan adanya perbedaan karakteristik habitat di perairan Kepulauan Matasiri, yang berdampak pada perbedaan distribusi spasial fauna krustasea. Metode penelitian yang digunakan metode deskriptif. Data krustasea yang dikumpulkan berupa data kelimpahan dan jenis-jenis krustasea, data fisik kimia perairan (meliputi data salinitas, suhu, kedalaman, kecerahan, TSS, oksigen terlarut, pH, Phospat, nitrogen, dan silikat). Pengumpulan data biologi dengan metode sapuan menggunakan alat tangkap trawl demersal pada 4 stasiun. Analisis data menggunakan metode statitik multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA) dan Analisis Korelasi (Corresponden Analysis, CA). Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa habitat dapat dikelompokan menjadi tiga karakter, yaitu kelompok habitat dekat estuaria (st trawl 1 dan 4), kelompok habitat sebelah utara Kep. Matasiri (st trawl 2) dan kelompok habitat sebelah selatan Kep. Matasiri (st trawl 3). Kelimpahan krustasea sangat dipengaruhi oleh parameter salinitas, kecerahan, dan bathymetri. Sedangkan hasil analisis CA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan distribusi spasial jenis krustasea. Beberapa famili krustasea seperti Pagurus dan Dromiidae hanya ditemukan di sta trawl 4, sedangkan famili Alpheidae, Parthenopidae, dan Podophthalmidae hanya dapat ditemukan di stasiun 3. Hal ini menunjukkan perbedaan karakteristik habitat mempengaruhi kelimpahan jenis krustasea tertentu. Kata kunci: krustasea, kelimpahan, karakteristik habitat, distribusi spasial 2 ABSTRACT The waters of Matasiri Islands located between the two condition that giving a great impact, namely the mainland of Kalimantan and the Makassar Strait. Both impact cause the differences of habitat characteristics of Matasiri Islands waters, which affects the differences of spatial distribution of crustacean. The research used descriptive method. Data collect of crustaceans including the abundance and the types of crustaceans. Data of oceanography including salinity, temperature, depth, brightness, TSS, dissolved oxygen, pH, phosphate, nitrogen, and silicate). The collection of crustaseans used a sweep method, using demersal trawl gear on the 4 stations. Analysis of data using multivariable statitik method based on Principal Component Analysis (PCA) and Corresponden Analysis (CA). The result of PCA showed that the habitat can be grouped into three characters, namely the habitat near the estuary (trawl 1 and 4 station), the habitat of north Matasiri Islands (trawl 2 station) and the habitats of south Matasiri Islands (trawl 3 station). The abundance of crustaceans was greatly influenced by salinity, brightness, and bathymetry. The results of CA showed that there are differences in the spatial distribution of crustacean species. Some families of crustaceans such as Pagurus and Dromiidae only found in trawl 4 station, while the family of Alpheidae, Parthenopidae, and Podophthalmidae only found at station 3. This suggests that the differences of habitat characteristics affecting the presence of crustaceans. Key words: crustacea, abundance, habitat characteristics, spatial distribution PENDAHULUAN Penelitian dilakukan di perairan Kepulauan Matasiri, yang terletak di sebelah selatan Pulau Kalimantan. Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau 3 besar di Indonesia yang memiliki banyak sungai besar yang bermuara ke Laut Jawa, terutama Kalimantan bagian selatan. Salah sungai yang mengalir dan bermuara ke Laut Jawa adalah Sungai Barito. Sungai ini memasok aliran air tawar beserta muatannya yang diperkirakan berton-ton jumlahnya ke laut, sehingga setidaknya akan mempengaruhi Perairan Kalimantan Selatan. Selain pengaruh dari daratan Kalimantan, kemungkinan besar juga perairan ini terpengaruh oleh Selat Makasar yang berada di sebelah Timur, terutama perairan di pulau-pulau kecil yang berada di Kalimantan Selatan, antara lain Pulau Marabatuan dan Kepulauan Matasiri. Pulau Matasiri termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Pulau Sembilan, Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan. Luas area Pulau Matasiri adalah 2 700 ha yang terdiri dari 2 desa/kampung dengan penduduk sebanyak 1202 jiwa (BPS Kota Baru 2009). Kondisi Pulau Matasiri dikelilingi oleh bukitbukit dan memiliki pantai terdiri dari pantai pasir (hanya sedikit) dan pantai berbatu yang sangat luas, sehingga sangat sulit mendapatkan reef flat yang ditumbuhi oleh seagrass atau lamun. Kondisi perairan Kepulauan Matasiri yang dipengaruhi oleh daratan melalui Sungai Barito dan pengaruh dari Selat Makassar memunculkan dugaan bahwa karakter habitat perairan laut di Kepulauan Matasiri beragam, dan hal tersebut akan mempengaruhi kelimpahan dan biodiversitas pada masing-masing lokasi. Pemahaman akan pengaruh kondisi lingkungan terhadap keberadaan dan kelimpahan fauna krustasea akan membantu dalam menentukan kebijakan pengelolaan krustasea di wilayah tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh karakteristik habitat terhadap keanekaragaman dan keberadaan fauna krustasea di perairan Kalimantan Selatan, khususnya di Kepulauan Matasiri. METODOLOGI Lokasi Sampling Sampling dilakukan di 4 lokasi di perairan laut sekitar Kepulauan Matasiri. Letak stasiun sampling disajikan pada Gambar 1. 4 Gambar 1. Stasiun Sampling Trawl Perairan Kepulauan Matasiri, November 2010 Pengumpulan Data Penelitian menggunakan Kapal Penelitian Baruna Jaya VIII. Pengambilan data dilaksanakan mulai tanggal 19 Nopember 2010 sampai dengan 1 Desember 2010. Pengumpulan sampel krustasea dilakukan dengan metode sapuan (menggunakan alat tangkap trawl). Trawl yang digunakan merupakan trawl demersal (bottom trawl) yang memiliki lebar bukaan mulut 22 meter, lengkungan bukaan mulut 2/3, dan panjang tali 130 meter. Sampling dengan trawl dilakukan pada empat lokasi. Kondisi masingmasing stasiun dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1) stasiun trawl 1 dan stasiun trawl 2 terletak di sebelah utara Kepulauan Matasiri, dimana pengaruh dari daratan Pulau Kalimantan (mainland) melalui sungai Barito diduga lebih besar dibanding pengaruh arus dari Selat Makassar; 2) stasiun trawl 3, yang terletak di sebelah selatan Kepulauan Matasiri, diduga sebaliknya yaitu pengaruh arus dari Selat Makassar lebih besar dibanding pengaruh dari mainland; 5 3) stasiun trawl 4 yang terletak dekat dengan Muara Sungai Barito (estuari), diduga lebih banyak dipengaruhi oleh daratan. Sampel dimasukan ke dalam botol contoh dan diawetkan dengan alkohol 70%, kemudian dihitung jumlah individunya dan diidentifikasi menggunakan buku acuan dari SAKAI 1976; Ng. PETER et al. 2008; RAHAYU & SETYADI 2009; LOVETT 1981; HOLTHUIS 1955; BURUKOVSKII 1982. Pengumpulan data fisik kimia oseanografi meliputi data salinitas, suhu, kedalaman, kecerahan, TSS, Oksigen Terlarut, pH, Phospat, nitrogen, dan silikat. Data fisika osenaografi diakuisisi secara real time menggunakan SBE-911Plus CTD dari Seabird Electronic Inc. yang terpasang di Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Untuk kualitas air dan stratifikasi. CTD juga dilengkapi dengan water sampler (Rosette Sampler) untuk mengambil sample air yang digunakan dalam analisis kimia. Data batimetry diakuisisi dengan menggunakan single beam echosounder Simrad EA 500. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan program xlstat44, untuk menghitung kepadatan dan keanekaragaman krustasea, karakteristik habitat (Principal Component Analysis, PCA), dan distribusi spasial krustasea (Corresponden Analysis, CA). Kepadatan Krustasea Kepadatan biota, didefinisikan sebagai banyaknya individu per luas daerah pengambilan contoh (Brower & Zar 1977), yang dihitung dengan persamaan berikut: D = kepadatan biota ke- i (ind/m2), = total individu jenis ke- i yang tertangkap, dan A = luas area koleksi (m2) A = 79.200 meter2 ,8 /jam x 1 jam 6 Keanekaragaman Keanekaragaman krustasea yang berada di perairan estuari dihitung dengan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Shannon-Wiener (Krebs 1989). Η ' = − ∑ pi log 2 pi Karakteristik Perairan Kalimantan Selatan Pengelompokan stasiun-stasiun penelitian berdasarkan lingkungan perairan dan sedimen digunakan pendekatan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA). PCA merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan menyajikan informasi maksimum suatu matriks data ke dalam bentuk grafik. Matriks data tersebut terdiri dari stasiun penelitian sebagai individu statistik (matriks baris) serta karakter fisika-kimia air dan sedimen sebagai variabel kuantitatif (matriks kolom). Karena data-data tersebut tidak mempunyai unit pengukuran dan ragam yang sama, maka data-data ini dinormalisasikan lebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian. Dengan demikian nilai PCA tidak direalisasikan dari nilai-nilai parameter inisial, melainkan dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linier nilai-nilai parameter inisial (Lagendre & Lagendre 1983). PCA pada prinsipnya menggunakan pengukuran jarak Euclidiean (jumlah kuadrat perbedaan karakteristik fisika-kimia air dan sedimen antar stasiun yang berkoresponden) pada data. Jarak euclidiean didasarkan pada rumus sebagai berikut: , i-i’ = 2 baris; j = karakteristik fisika-kimia air dan sedimen dari 1 hingga p Semakin kecil jarak euclidean antara dua stasiun, maka semakin mirip karakteristik parameter lingkungan dari kedua stasiun tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin besar jarak euclidean antara kedua substasiun, semakin berbeda karakteristik biofisika-kimia perairan dua stasiun tersebut. 7 Sebaran Spasial Krustasea Kaitannya dengan Karakteristik Perairan Evaluasi kuantitatif terhadap sebaran krustasea antar stasiun pengamatan dan kaitannya terhadap karakteristik fisika-kimia sedimen dilakukan dengan menggunakan Analisis Faktorial Korespondensi atau CA (Correspondence Analysis). Analisis Koresponden ini bertujuan untuk mencari hubungan yang erat antara modalitas dari dua karakter atau variabel pada variabel matrik data kontingensi serta mencari hubungan yang erat antara seluruh modalitas karakter dan kemiripan antar individu berdasarkan konfigurasi pada tabel atau matrik data disjongtif lengkap (Bengen 2000). Analisis ini merupakan salah satu bentuk analisis stastistik multivariabel atau analisis multidimensi yang didasarkan pada matriks data i baris (stasiun penelitian) dan j kolom (jenis). Kelimpahan krustasea menurut modalitas dari tiap klasifikasi tersebut, yang ditemukan pada tiap stasiun penelitian terdapat pada baris ke-i dan kolom ke-j. Dengan demikian, matriks data yang digunakan merupakan tabel kontingensi stasiun penelitian dengan modalitas jenis. Dalam tabel kontingensi, i dan j mempunyai peranan yang simetrik yakni membandingkan unsur-unsur i (untuk tiap j) sama dengan membandingkan hukum probabilitas bersyarat yang diestimasi dari nij/ni (untuk masing-masing nij/ni), dimana ni= jumlah i yang memiliki semua karakter j, dan nj= jumlah jawaban karakter j. Selanjutnya pengukuran kemiripan antara dua unsur I1 dan I2 dari I dilakukan melalui 2 pengukuran jarak khi-kuadrat (X ) dengan rumus: , HASIL Kepadatan individu Krustasea yang diperoleh di perairan Kepulauan Matasiri seluruhnya 67 jenis dari 14 famili. Ke-empat belas famili tersebut adalah Portunidae, Leucosiidae, Majidae, Dromiidae, Scyllaridae, Squillidae, Penaeidae, Xanthidae, 8 Callapidae, Euryplacidae, Podophthalmidae, Parthenopidae, Paguridae, dan Alpheidae. Jumlah individu krustasea yang ditemukan pada masing-masing stasiun berbeda-beda, diduga dipengaruhi oleh perbedaan kondisi lingkungan perairan. Kepadatan individu pada masing-masing stasiun disajikan pada Tabel 1. Kepadatan krustasea pada lokasi trawl menunjukkan bahwa stasiun trawl 3 memiliki kepadatan sebanyak 115 individu/m2 dan merupakan lokasi yang paling tinggi kepadatannya. Sedangkan stasiun trawl 4 paling rendah kepadatannya, yaitu 11 individu/ha atau hanya sekitar 10% dari kepadatan stasiun trawl 3. Tabel 1 Jumlah dan kepadatan krustasea di perairan Kepulauan Matasiri. Parameter Trawl 1 Trawl 2 Trawl 3 Trawl 4 Jumlah Individu 197 309 915 91 Jumlah Jenis 20 25 33 27 Kepadatan (ind/ha) 25 39 115 11 Penaeidae (udang-udangan) memiliki kepadatan individu paling tinggi dibanding famili lainnya, dan ditemukan melimpah di semua stasiun. Portunidae (kepiting) memiliki kepadatan tertinggi kedua setelah Penaeidae, namun Portunidae hanya ditemukan pada stasiun trawl 1 dan 2. Gambar 2 menyajikan grafik kepadatan individu krustasea pada masing-masing famili. 1000 jumlah individu 800 600 400 200 0 trawl 1 trawl 2 trawl 3 stasiun trawl 4 Xanthidae Squillidae Scyllaridae Portunidae Podophthalmidae Penaeidae Parthenopidae Paguridae Majidae Leucosiidae Euryplacidae Dromiidae Callapidae Alpheidae Gambar 2. Jumlah individu pada beberapa famili krustasea di Perairan Kepulauan Matasiri 9 Keanekaragaman Kondisi suatu lingkungan perairan dapat ditentukan melalui nilai keanekaragaman. Lardicci et al. (1997) mengemukakan bahwa dengan menentukan nilai keanekaragaman kita dapat menentukan tingkat stress atau tekanan yang diterima oleh lingkungan. Tabel 4. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) Indeks Trawl 1 Trawl 2 Trawl 3 Trawl 4 Keanekaragaman (H') 1.57 1.90 3.08 3.74 Keseragaman (E) 0.36 0.41 0.61 0.79 Dominansi (C) 0.62 0.50 0.19 0.13 Stirn (1981) dalam Basmi (2000) menjelaskan antara nilai Indeks Shannon (H') dengan stabilitas komunitas biota, yaitu bila H' < 3 maka komunitas biota dinyatakan tidak stabil, bila H' berkisar antara 3-9 maka stabilitas komunitas biota adalah moderat (sedang) sedangkan bila H' > 9 maka stabilitas komunitas biota bersangkutan berada dalam kondisi prima (Stabil). Dahuri et al. (2004) menambahkan bahwa nilai keanekaragaman yang berada di bawah 3.32 tergolong rendah dan penyebaran individu tiap spesies rendah dan stabilitas komunitas rendah. Secara keseluruhan, keanekaragaman komunitas krustasea di lokasi penelitian cenderung rendah, hanya di stasiun trawl 4 yang masuk kategori sedang, dengan nilai H = 3.74. Karakteristik stasiun penelitian Karakteristik stasiun trawl, dilihat dari parameter biofisik dan kimia lingkungan, yang dianalisis dengan menggunakan analisis statistik multivariable, berdasarkan pada PCA. Parameter fisik dan kimia lingkungan,yang terdiri atas suhu, salinitas, pH air, kecerahan, kedalaman, oksigen terlarut (Dissolved Oksigen, DO), Total Suspended Solid (TSS), Klorofil, PO4, NO3, SiO4, ditempatkan sebagai variable statistik aktif; stasiun penelitian sebagai individu statistik; sedangkan parameter biologi lingkungan, yang terdiri atas kepadatan 10 krustasea dan keanekaragaman ditempatkan sebagai variabel statistik tambahan (additional variable). Hasil PCA terhadap parameter lingkungan pada matriks korelasi menunjukkan bahwa informasi penting yang menggambarkan korelasi antar parameter, terpusat pada dua sumbu utama (F1 dan F2). Kualitas informasi yang disajikan oleh kedua sumbu tersebut masing-masing sebesar 49% dan 34%, sehingga ragam karakteristik stasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik dan kimia lingkungan, dapat dijelaskan melalui dua sumbu utama sebesar 83% dari ragam total (Gambar 3). Correlations circle on axes 1 and 2 (83% ) Biplot on axes 1 and 2 (83% ) 3 1.5 traw l 2 2 DO D 0.5 -- axe 2 (34% ) --> -- axis 2 (34% ) --> 1 pH TSS Klo Suh Si P 0 Sal -0.5 Limpah Bathy N -1 -1.5 -1.5 HE cerah 1 TSS Klo Suh 0 DO D traw l 1 pH P Si traw l 4 Sal HE Limpah Ncerah Bathy -1 -2 -3 traw l 3 -4 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 -4 -- axis 1 (49% ) --> a) Diagram lingkaran korelasi antara -2 0 2 4 -- axe 1 (49% ) --> b) Diagram representasi distribusi parameter biofisik kimia lingkungan stasiun penelitian berdasarkan dengan kelimpahan krustasea pada parameter biofisik kimia lingkungan sumbu F1 dan F2 pada sumbu F1 dan F2 Gambar 3 Grafik Analisis Komponen Utama karakteristik stasiun penelitian. Diagram lingkaran korelasi perpotongan sumbu F1 dan F2 (Gambar 3a), memperlihatkan adanya korelasi positif antara parameter pH, silikat dan phospat yang berkontribusi membentuk sumbu F1 positif. Sebaliknya parameter suhu, TSS, klorofil, dan salinitas berkontribusi membentuk sumbu F1 negatif. Sedangkan parameter DO membentuk sumbu F2 positif. Parameter kecerahan, bathymetri, dan nitrogen membentuk sumbu F2 negatif. 11 Diagram representasi substasiun penelitian dalam kaitannya dengan parameter biofisik dan kimia lingkungan pada perpotongan sumbu F1 dan F2 (Gambar 3b), memperlihatkan adanya tiga kelompok stasiun, yaitu: 1) kelompok stasiun trawl 1 dan stasiun trawl 4, yang dicirikan oleh pH, phospat, dan silikat yang tinggi, sedangkan salinitas rendah; 2) stasiun trawl 2 yang dicirikan oleh klorofil, TSS, suhu, dan DO yang tinggi, sedangkan salinitas, kecerahan dan bathymetri rendah; 3) stasiun trawl 3 yang dicirikan oleh kecerahan, salinitas dan bathymetri yang tinggi, sedangkan pH, phospat, dan silikat rendah. Hasil PCA secara keseluruhan menunjukkan adanya karakteristik yang berbeda antar stasiun tempat dilakukan sampling trawl. Sebaran Spasial Jenis-jenis Krustasea di Perairan Kepulauan Matasiri Kajian distribusi spasial tiap jenis krustasea dilakukan melalui Analisa Faktorial Koresponden (Coresspondence Analysis, CA) terhadap jenis krustasea pada stasiun trawl 1, 2, 3, dan 4. Hasil analisa CA memperlihatkan bahwa informasi utama mengenai distribusi spasial jenis krustasea terhadap stasiun pada penelitian ini, terpusat pada dua sumbu utama (F1 dan F2), dengan tingkat penjelasan sebesar 89%. Masing-masing sumbu memberikan penjelasan sebesar 58% dan 31%. Diagram profil jenis krustasea dan stasiun penelitian pada perpotongan sumbu F1 dan F2 (Gambar 4) memperlihatkan terbentuknya empat kelompok asosiasi, yaitu: Kelompok pertama, merupakan kelompok asosiasi antara stasiun trawl 1, stasiun trawl 2, dan stasiun trawl 3, dengan krustasea dari famili Penaeidae, Squillidae, Scyllaridae, Xanthidae, Leucosiidae, dan Majidae. Merujuk pada karakteristik parameter fisik kimia habitat di stasiun trawl 1 dan 2 (Gambar 3), maka kelompok ini dicirikan oleh klorofil, TSS, suhu, DO, pH, phospat, dan silikat yang tinggi. 12 Row profiles and Column profiles on axes 1 and 2 (89% ) 2 Paguridae 1.5 -- axis 2 (31% ) --> 1 traw l 4 Dromiidae Majidae 0.5 Alpheidae Parthenopidae Podophthalmidae traw l 3 Portunidae 0 Xanthidae Squillidae traw l 1 Penaeidae Leucosiidae Scyllaridae traw l 2 -0.5 Callapidae -1 Euryplacidae -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 -- axis 1 (58% ) --> Gambar 4 Diagram profil jenis krustasea dan stasiun penelitian pada perpotongan sumbu faktorial F1 dan F2 Kelompok berikutnya adalah stasiun trawl 3 yang berasosiasi dengan krustasea famili Portunidae, Parthenopidae, Podopthalmidae, dan Alpheidae. Kelompok ini berkontribusi menyusun sumbu F1 negatif. Parameter fisik kimia yang menjadi penciri dari kelompok ini adalah bathymetri yang dalam, kecerahan dan salinitas yang tinggi. Stasiun trawl 4 berasosiasi dengan krustasea dari famili Dromiidae, dan Paguridae. Kelompok ini menyusun sumbu F2 positif. Parameter fisik kimia yang menjadi penciri kelompok ini adalah pH, phospat, dan silikat yang tinggi, serta salinitas yang rendah. Selanjutnya, stasiun trawl 2 yang berasosiasi dengan famili Callapidae dan Euryplacidae, menyusun sumbu faktorial F2 negatif. Parameter fisik kimia yang menjadi penciri kelompok ini adalah klorofil, TSS, dan suhu yang tinggi. Stasiun trawl 1 dan stasiun trawl 4, memiliki karakteristik hampir sama (Gambar 2), yaitu pH, phospat, dan silikat yang tinggi, sedangkan salinitas rendah. Letak stasiun relatif lebih dekat dengan Sungai Barito yang membawa aliran air tawar dan sedimen, sehingga kondisi perairan menjadi lebih tawar dan kandungan nutrien menjadi tinggi dibandingkan stasiun yang lainnya. 13 Kepadatan krustasea di kedua stasiun tersebut lebih rendah dibandingkan stasiun trawl 2 dan stasiun trawl 3 yang letaknya lebih jauh dari daratan. Namun hasil analisis keanekaragaman menunjukkan bahwa keanekaragaman fauna krustasea di stasiun ini justru lebih tinggi. Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa perairan di lokasi tersebut sangat sesuai untuk kehidupan bagi banyak jenis biota laut, termasuk krustasea. Banyaknya jenis biota yang dapat hidup di lokasi tersebut, menyebabkan tingginya persaingan antar jenis untuk memperoleh ruang dan pakan, akibatnya jumlah individu yang bisa bertahan hidup menjadi lebih sedikit (indeks dominansi rendah). Oleh karena itu kepadatan individu krustasea di stasiun trawl 1 dan 4 menjadi sangat rendah. Kepadatan individu di stasiun trawl 3 paling tinggi dibanding stasiun lainnya. Stasiun ini dicirikan dengan parameter kecerahan, nitrogen, dan salinitas yang tinggi, sedangkan bathymetri dan sedimen paling dalam. Kondisi nitrogen dan sedimen yang tinggi ini dapat terjadi karena wilayah ini merupakan tempat pertemuan arus dari Selat Makassar dan arus air tawar dari daratan Kalimantan. Sehingga terjadi penumpukan sedimen dan nitrogen yang berasal dari daratan. Sedimen yang dalam dan nitrogen ini diduga merupakan kondisi yang disukai oleh krustasea, karena menyediakan makanan alami lebih baik. Kecerahan yang tinggi menyebabkan produktivitas fitoplankton di wilayah ini menjadi tinggi. Fitoplankton juga menjadi indikator, bahwa kondisi perairan subur, sehingga kepadatan biota menjadi tinggi. Secara spasial, individu krustasea dari famili Parthenopidae, Podopthalmidae, dan Alpheidae hanya ditemukan di stasiun trawl 3. Hal ini menunjukkan bahwa famili ini hanya menyukai kondisi perairan yang jauh dari pengaruh daratan. Sedangkan krustasea yang hanya ditemukan di stasiun trawl 4 yang banyak terpengaruh dari daratan, adalah famili Dromiidae dan Paguridae. Selebihnya, famili krustase yang lain ditemukan pada semua stasiun. Berdasarkan kenyataan ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pengaruh air tawar dapat mempengaruhi keberadaan fauna krustasea. 14 KESIMPULAN Pengaruh daratan dapat mempengaruhi keberadaan fauna krustasea di Perairan Kepulauan Matasiri. Stasiun trawl 1 dan stasiun trawl 4 yang banyak mendapat pengaruh dari daratan, memiliki karakteristik hampir sama, yaitu pH, phospat, dan silikat yang tinggi, sedangkan salinitas rendah. Fauna krustasea yang hanya ditemukan di wilayah ini adalah famili Dromiidae dan Paguridae. Stasiun trawl 3 yang banyak dipengaruhi arus dari Selat Makassar memiliki karakteristik kecerahan, salinitas, dan nitrogen yang tinggi, serta bathymetri yang dalam. Fauna yang secara khusus ditemukan di stasiun 3 adalah Parthenopidae, Podopthalmidae, dan Alpheidae. PUSTAKA Basmi HJ. 2000. Planktonologi: Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor. Bengen DG. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor Burukovskii, R.N. 1982. Key to Shrimps and Lobsters. Oxonian Press PVT LTD. New Delhi, India. 174. Brower JE., JH Zar, CN. Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Edisi Ketiga. Wm C. Brown Publishers. United States of Amerika. Hall, D.N.F. 1962. Observation on The Taxonomy and Biology of Some IndoWest Pasific Penaeidae (Crustacea-Decapoda). Field. Publication Colonial off London 17:176-229. Holthuis, L.B. 1955. The Recent Genera of the Caridean and Stenopodideae Shrimps (Class crustacea, Order Decapoda Supersection Natantia) with Keys for Their Determination. Rijksmuseum van Natuurlijke Historie, Leiden, Netherlands. 157. Kim, Won and L.G. Abele. The Snapping Shrimp Genus Alpheus from the Eastern Pacific (Decapoda: Caridea: Alpheidae). Smithsonian Institution Press. Washington, D.C. 454. Krebs C. J. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row. New York.Lovett, D.L. 1981. A Guide to The Shrimps, Prawns, Lobsters, and Crabs of Malaysia And Singapore. Faculty of Fisheries and Marine Science, University Pertanian Malaysia. Selangor. 156. 15 Lardicci C. Rossi F dan Castelli A. 1997. Analysis of Makrozoobenthic Community Structure after Severe Dystrophic Crises in a Mediterranean Coastal Lagoon. Marine Pollution Bulentin Vol. 34 No. 7 pp: 536 – 547. Ng. Peter K.L., W.L. Keng, K.K.P. Lim. 2008. Private Lives an Expose of Singapore’s Mangroves. The Raffles Museum of Biodiversity Research. Singapore. 249. Odum E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Jilid 3. Penerjemah Samingan T. Gajah Mada University Press. Jogjakarta. Rahayu, D.L., G. Setyadi. 2009. Mangrove Estuary Crabs of The Mimika Region, Papua, Indonesia. PT Freeport Indonesia-LIPI. Papua. 154. Sakai, T. 1976. Crabs of Japan and The Adjacent Seas Plates. Kodarian LTD. Japan. 773.