RAHASIA DIBALIK PROGRAM KELUARGA BERENCANA (KB) DAN BUKTI KEGAGALANNYA MENYEJAHTERAKAN KELUARGA INDONESIA
AKUNTANSI MULTIPARADIGMA
Oleh :
Rediyanto Putra (156020301111013)
Achmad Iqbal (156020301111025)
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
Rahasia Dibalik Program Keluarga Berencana (KB) dan Bukti Kegagalannya Menyejahterakan Keluarga Indonesia
Abstrak
Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut menerapkan program Keluarga Berencana (KB) yang merujuk pada International Planned Parenthood Federation (IPPF). Program KB memiliki tujuan umum menyejahterakan dan mengatur angka kelahiran. Namun fakta menunjukkan bahwa KB tidak lain hanya kamuflase dari program PBB yakni “Codex Alimentarius”. Kasus kredit fiktif di Bank Syariah Mandiri Cabang Bogor merupakan salah satu contoh bukti bahwa kesejahteraan di Indonesia masih rendah. Artinya Program KB untuk kesejahteraan dinilai gagal dan hanya berhasil mengurangi angka pertumbuhan penduduk. Sehingga prediksi pemeluk agama Islam mengalami kenaikan hanya sebesar 0,04% per sepuluh tahun yang kalah dengan agama lain di Indonesia.
Abstract
Indonesia is one of the participating countries implementing the Family Planning (KB), which refers to the International Planned Parenthood Federation (IPPF). Family planning programs have a common goal welfare and regulate the birth rate. But the facts show that KB is nothing but camouflage of the UN program of "Codex Alimentarius". Cases of fictitious credit in Bank Syariah Mandiri Branch Bogor is one example of evidence that welfare in Indonesia is still low. That is, family planning program for the well-being deemed to have failed and only succeeded in reducing the rate of population growth. So the prediction of Muslims has increased only by 0.04% per decade were inferior to other religions in Indonesia.
Fakta-Fakta Tentang Pertumbuhan Penduduk
Sudah bukan rahasia lagi jika laju pertumbuhan penduduk di Indonesia masih relatif tinggi. Data penduduk menurut data PBB (lampiran 1) seperti yang dilangsir obengplus.com yang menunjukkan bahwa di tahun 1950 Indonesia berada dalam posisi 6 di dunia sebagai negara dengan populasi penduduk tertinggi. Kemudian ditahun 2013 Indonesia mengalami perkembangan penduduk yang terus meningkat dibanding tahun 1950, yaitu berada di posisi 4 di dunia. Data PBB tersebut semakin menambah bukti bahwa problematika Negara Indonesia sangat kompleks. Sebagai negara berkembang, kasus mengenai tingginya laju pertumbuhan penduduk juga merupakan kasus pelik yang harus diselelsaikan.
Selain Indonesia, beberapa negara yang memiliki kasus dengan pertumbuhan penduduk diantaranya China, India, dan Nigeria. PBB melalui WHO dan FAO juga gencar melakukan pertemuan demi membahas masalah pelik tentang pertumbuhan penduduk di dunia. WHO sebagai organisasi kesehatan dan FAO sebagai organisasi pangan di PBB pernah membuat forum internasional yang membahas tentang isu tersebut.
Salah satu forum internasional yang dibentuk untuk menangani masalah pertumbuhan penduduk adalah pertemuan National Association of Nutrition Professional (NANP- 2005 Conference). Dr. Rima Laibow dari Natural Solusions Foundation menyampaikan presentasi yang berjudul “Codex and Nutricide” yang menyatakan bahwa dimasa depan, mereka yang menguasai makanan akan menguasai dunia. Ia juga menyatakan bahwa pada tahun 1962 proyek bernama “Codex Alimentarius” secara global akan diimplementasikan pada 31 Desember 2009. Proyek tersebut mengakibatkan semua sapi perah didunia diharuskan diinjeksi dengan hormon pertumbuhan yang di produksi dan dimonopoli oleh perusahaan Monsantos. Menurut WHO dan FAO, jika proyek Codex itu dilanjutkan, maka ada sekitar 3 miliar jiwa meninggal.
Bukti lain mengenai usaha PBB ingin mengurangi populasi dunia hingga 80% terdapat dalam berbagai surat resmi yang dikeluarkan oleh organisasi dunia tersebut. Bahkan dalam Konferensi Perempuan Sedunia di Beijing (1997), kepala FAO menyatakan bahwa FAO akan menggunakan makanan sebagai senjata melawan masyarakat.
Dari beberapa fakta yang diuraikan diatas, maka dapat dipastikan terdapat effort yang besar oleh lembaga atau organisasi kesehatan dan pangan dunia yang secara terang-terangan memerangi populasi manusia. Selain melalui makanan seperti yang di sampaikan kepala FAO diatas, bukan tidak mungkin bahwa usaha mengurangi populasi manusia didunia juga dilakukan dari aspek lain dalam kehidupan terutama yang berhubungan secara langsung dengan laju pertumbuhan penduduk, misalnya program kelahiran anak atau PBB menyebutnya sebagai program “Kontrol Populasi”.
Tentunya untuk melakukan kontrol populasi tersebut, PBB tidak serta merta melakukan peperangan secara fisik, namun beberapa langkah awal yang mungkin dilakukan oleh PBB adalah merubah pola pikir (mind set) mengenai pertumbuhan penduduk beserta bahayanya jika hal tersebut dibiarkan. Faham mengenai bahaya pertumbuhan penduduk jika dihubungkan dengan ekonomi, ketersediaan pangan, ketersediaan lahan tempat tinggal, sampai isu mengenai perusakan lingkungan menjadi tameng kuat untuk sarana berlindung PBB yang sebetulnya sedang melaksanakan misi lain dibalik itu semua.
Keluarga Berencana (KB) Di Indonesia
Berdasarkan UU No.10 Tahun 1992 Program Keluarga Berencana adalah upaya yang dilakukan guna meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Sedangkan mnurut Depkes (1999) Program KB adalah bagian terpadu dalam pembangunan nasional yang tujuannya untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi, spiritual dan sosial budaya penduduk Indonesia agar dapat dicapai keseimbangan yang baik dengan kemampuan produksi nasional.
Dari pengertian program KB diatas dapat disimpulkan bahwa KB bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan, sumberdaya yang bermutu, serta meningkatkan kesejahteraan keluarga. Secara rasional mungkin program tersebut sangat baik jika diterapkan di Indonesia dengan latar belakang masalah kependudukan yang sangat sulit untuk diurai. Mungkin Program KB merupakan salah satu usaha pemerintah sebagai tugasnya menciptakan kesejahteraan sosial bagi para penduduknya.
Sasaran Program KB terdiri dari sararan langsung dan tidak langsung. Sasaran langsung dari program tersebut adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang bertujuan menurunkan tingkat kelahiran dengan cara penggunaan alat kontrasepsi secara berkelanjutan. Sedangkan sasaran tidak langsungnya adalah munurunkan tingkat kelahiran melalui kebijakan kependudukan yang terpadu dalam rangka mencapai keluarga yang berkualitas dan sejahtera. Inti dari sasaran tersebut adalah menurunkan tingkat kelahiran di Indonesia.
Tag line program KB adalah “Dua Anak Cukup” merupakan contoh nyata pembatasan kelahiran yang nantinya diharapkan akan menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk di Indonesia.
Seperti yang dilansir dalam portal berita sindonews.com (30 Maret 2015), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa Program KB berhasil dan sukses dilaksanakan. Pada tahun 2015, angka fertilitas total (TFR) turun dari 6,6 menjadi 2,6. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk turun dari 2% menjadi 1,4%. Fakta tersebut menunjukkan bahwa tingginya keseriusan pemerintah dalam menangani problematika di Indonesia.
Ditilik dari beberapa fakta mengenai penurunan laju pertumbuhan penduduk tersebut, bukan tidak mungkin nantinya Indonesia mengalami penurunan peringkat sebagai negara dengan pertumbuhan penduduk terbesar. Melalui semakin digalakkannya program KB dari tahun ketahun yang kemudian didukung bahwa masyarakat mulai menyadari akan pentingnya KB.
Program KB bukan merupakan program yang kemudian menjadi penyelamat massal mengenai problem kependudukan. Jika dilihat dari sejarahnya, program KB di Amerika Serikat dimulai oleh Margareth Sanger. Pada tahun 1952, dia meremikan berdirinya International Planned Parenthood Federation (IPPF). Sejak berdirinya IPPF perkumpulan mengenai keluarga berencana juga mulai didirikan diberbagai negara didunia. Sedangkan di Indonesia sendiri mulai muncul rencana penerapan program KB pada tahun 1957 dengan dibentuknya Perkumpulan Keluarga Berencana (PKB). Program KB masuk keindonesia melalui jalur urusan kesehatan bukan kependudukan pada saat itu. Namun pemerintah belum secara resmi melaksanakan program tersebut. Sampai pada tahun 1970 resmilah program KB menjadi program pemerintah dengan ditandainya pencanangan hari keluarga nasional pada 29 Juni 1970. Hingga dibentuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 1970. Dan dirubah menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sesuai Undang-undang No.52 tahun 2009.
Dari sejarah awal dimulai program tersebut, terdapat celah untuk di kritisi sehingga dapat ditemukan sebenarnya alasan dibalik program KB tersebut. Untuk dapat menemukan hal tersebut, berikut contoh kasus yang nantinya akan dijadikan bahan komparasi dengan program KB.
Menemukan Tujuan Utama Program KB
Untuk menemukan tujuan utama KB tersebut dapat dimulai dengan fakta bahwa menurut Dr. Rima Laibow dari Natural Solusions Foundation menyampaikan presentasi yang berjudul “Codex and Nutricide” bahwa akan ada proyek bernama “Codex Alimentarius”yang dimulai pada tahun 2009. Sebuah proyek yang tujuannya mengurangi populasi manusia didunia. Jika dilihat pada tahun 2009 tersebut Indonesia sendiri sedang meresmikan UU No.52 Tahun 2009 mengenai perubahan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Perubahan nama lembaga tersebut juga berimplikasi pada perubahan visi dan misi. Tugas BKKBN yang baru adalah melaksanakan pengendalian penduduk. Pembentukan lembaga baru ini mengindikasikan bahwa ada faktor yang membuat pemerintah akhirnya merubah lembaga tersebut. Bila dihubungkan dengan proyek “Codex Alimentarius”maka kemungkinan besar PBB juga memegang kendali. Karena setelah proyek tersebut resmi dilakukan pada tahun 2009, pemerintah Indonesia juga sedang melakukan perubahan lembaga yang awalnya hanya mengurusi masalah keluarga berencana kemudian berubah menjadi lembaga kependudukan dan keluarga berencana. Jadi BKKBN yang baru memiliki tugas tambahan yaitu mengenenai kependudukan.
Jika ditarik kebelakang, maka diketahui masuknya KB di Indonesia pada tahun 1957 secara informal melalui Perkumpulan Keluarga Berencana (PKB) atau Indonesian Planned Parenthood Federation (IPPF) yang namanya sama dengan badan International Planned Parenthood Federation (IPPF) maka disini terjadi bias, jika pemerintah pada saat itu tidak menganggap masalah kependudukan sebagai masalah yang serius kemudian pada masa orde baru terjadi perkembangan pesat program tersebut terutama pada tahun 1967. Tentunya ada kepentingan dalam pemberlakuan KB di Indonesia.
Berdasarkan data PBB tahun 1950-2013, Indonesia mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat sehingga naik dari 6 ditahun 1950 menjadi ke 4 ditahun 2013. Prediksi tersebut semakin menunjukkan bahwa Indonesia memang menjadi target dari program PBB yang dikenal sebagai “Kontrol Populasi”.
KB dan Kontrol Populasi merupakan saudara kembar yang mempunyai tujuan sama ingin mengurangi populasi manusia. walaupun di sebutkan jika tujuan KB secara umum adalah membentukkeluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan kelahiran anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain kelahiran tapi pencapaian kesejahteraan juga menjadi tujuan umumnya. Namun jika kita lihat realitas bagaimana kemiskinan diIndonesia maka program KB sebenarnya hanya bertujuan mengurangi penduduk indonesia. Seperti keberhasilan BKKBN yang hanya diukur dengan turunnya laju pertumbuhan tanpa mengindahkan kesejahteraan.
Program KB Dilihat Dari Kacamata Islam.
Berdasarkan Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i yang memiliki arti: "Menikahlah kamu, kemudian berketurunanlah, agar jumlah kamu menjadi banyak, karena sesungguhnya aku bangga dengan jumlahmu yang banyak atas umat-umat yang lain”. berdasarkan hadist tersebut dapat diketahui bahwa jumlah umat islam yang lebih banyak dibanding umat lain lebih disenangi Nabi Muhammad SAW. Artinya program KB yang bertujuan untuk mengurangi jumlah penduduk merupakan langkah yang sudah pasti melenceng dari Hadist Nabi tersebut.
Walaupun digadang-gadang KB merupakan program yang baik jika dikembangkan dinegara berkembang di Indonesia. Mengingat ketidak siapan Indonesia menangani masalah ekonomi dan KB merupakan salah satu program untuk memperlambat problem kemiskinan. Namun jika kemiskinan menjadi alasan di berlakukannya KB maka hal tersebut lebih menyimpang lagi dari firman Allah : “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberikan rizki kepada mereka dan juga kepadamu…” (QS. Al-Israa’:31). Firman ini semakin memperkuat Hadist Nabi seperti yang sudah dijelaskan diatas.
Dari hadist dan firman Allah tersebut, maka pemerintah dengan negara mayoritas Islam dan pemimpinnya juga Islam, maka pemberlakuan KB harus ditinjau ulang. Apalagi program KB merupakan program yang berkiblat dari Barat. Sehingga dipastikan ada tujuan dibalik itu semua. Jika alasan ekonomi yang mendorong pemerintah akhirnya menerapkan KB di Indonesia, maka harusnya pemerintah harus lebih memikirkan distribusi pemerataan penduduk. Karena banyak pulau di Indonesia yang masih mempunyai ruang cukup sehingga tidak terpusat di pulau Jawa.
Dalam Islam, ada cara selain KB untuk mengurangi laju pertumbuhan, yaitu dengan cara ‘Azl. Azl adalah mengeluarkan sperma laki-laki di luar vagina wanita dengan tujuan untuk mencegah kehamilan. Hal ini sesuai dengan Hadist Nabi Dari Jabir ra berkata : Kami melakukan ‘azl pada masa nabi SAW dimana al-Qur’an masih terus diturunkan, dan hal tersebut diketahui oleh nabi SAW tetapi beliau tidak melarangnya. (HR. Al-Bukhari).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa menurut Islam program KB tidak dianjurkan karena ada beberapa mudharat/bahaya. Seperti yang di lansir oleh tribunnews.com, bahwa dampak negatif penggunaan KB diantaranya : mual, peningkatan berat badan, gairah seks menurun, dan kemungkinan terserang kanker payudara sangat tinggi.
Untuk dapat melihat dampak program KB tidak hanya dari segi medis, berikut disajikan contoh kasus yang pada bagian akhir akan dibahas hubungannya dengan program KB di Indonesia. dan sebagai bukti kegagalannya menyejahterakan keluarga Indonesia.
KASUS KREDIT FIKTIF BANK SYARIAH MANDIRI CABANG BOGOR
Sejarah Awal Berdirinya Bank Syariah Mandiri
Bank Mandiri Syariah berdiri sejak tahun 1999, dimana pendirian Bank Mandiri Syariah ini merupakan bentuk hikmah dan berkah setelah terjadinya krisis ekonomi dan moneter tahun 1997-1998. Seperti yang telah diketahui bahwa kasus krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak Bulan Juli 1997 yang kemudian dilanjutkan dengan krisis multidimensi yang masuk dalam bagian panggung politik nasional telah memberikan berbagai macam dampak negatif yang sangat hebat terhadap kehidupan masyarakat yang tidak terkecuali dunia bisnis dan usaha. Pada saat terjadinya krisis ekonomi dan moneter tersebut industri perbankan nasional yang didominasi oleh bank-bank konvensional juga mengalami dampak krisis yang luar biasa. Atas keadaan tersebut pemerintah pada akhirnya mengambil tindakan penyelesaian melalui restrukturisasi dan rekapitalisasi terhadap beberapa bank di Indonesia.
Pada saat yang bersamaan pemerintah juga melakukan penggabungan (merger) terhadap empat bank (Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank Exim, dan Bapindo) yang kemudian menjadi satu dengan nama baru yaitu PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk pada tanggal 31 Juli 1999. Atas terjadinya merger tersebut menempatkan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk sebagai pemilik mayoritas baru dari BSB. Selanjutnya Bank Mandiri membetuk tim pengembangan perbankan syariah dengan tujuan untuk mengembangkan layanan perbankan syariah di kelompok perusahaan Bank Mandiri yang merupakan respon atas diberlakukannya UU No. 10 tahun 1998. Undang-Undang tersebut memberikan peluang kepada bank konvensional untuk memberikan pelayanan transaksi syariah (dual banking system). UU No. 10 tahun 1998 tersebut memberikan peluang yang tepat bagi PT Bank Susila Bakti untuk mengkonversikan diri dari bank konvensional menjadi bank syariah. Oleh karena itu maka tim pengembangan perbankan syariah selanjutnya segera melakukan persiapan atas sistem dan infrastruktur yang diperlukan, sehingga pada akhirnya BSB berubah menjadi PT. Bank Syariah Mandiri dengan dasar akta dari notaris Notaris: Sutjipto, SH, No. 23 tanggal 8 September 1999.
Bank Mandiri Syariah Cabang Utama Bogor adalah cabang dari Bank Mandiri Syariah yang berada di Wilayah Jawa Barat yang beralamat di Jalan Pajajaran Bogor. Kantor cabang ini memberikan berbagai macam produk dan jasa yang meliputi tabungan, giro, deposito, layanan BSM priority, pembiayaan konsumen, produk jasa, emas, haji, dan umroh. Produk kredit pun juga diberikan oleh kantor cabang ini yang meliputi pembiayaan kredit rumah dan pembiayaan griya BSM bersubsidi. Pembiayaan griya BSM adalah bentuk pembiayaan untuk jangka pendek, menengah atau panjang dalam hal pembelian rumah baik baru ataupun bekas dengan menggunakan sistem mudharabah.
Awal Terungkapnya Kasus Kredit Fiktif Bank Syariah Mandiri Bogor
Pada tahun 2013 terjadi kasus kredit fiktif yang dilakukan oleh Bank Mandiri Syariah Kantor Cabang Uatama Bogor. Badan Reserse Kriminal Mabes POLRI pada Hari Jum’at tanggal 25 Oktober 2013 mengungkapkan bagaimana kronoligi dan modus yang dilakukan dalam kasus korupsi dan pencucian uang kredit fiktif ini yang mencapai Rp 102 miliar. Kasus tersebut berawal dari adanya pengajuan kredit dari seorang pengusaha di bidang properti yaitu Iyan Permana pada tahun 2011. Pengajuan kredit tersebut terkait kredit pemilikan rumah (KPR) untuk dirinya sendiri. Namun, pada proses pengajuan tersebut terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh tiga pegawai dari BSM Bogor dan Iyan. Tersangka melakukan pembobolan uang bank melalui pembiayaan mudharabah. Sampai saai ini tersangka yang terlibat dalam kasus ini berjumlah tujuh orang yaitu M. Agustinus Masrie (Kepala Cabang Utama Bank Syariah Mandiri Bogor), Chaerulli Hermawan (Kepala Cabang Pembantu Bank Syariah Mandiri Bogor), Jhon Lopulisa (Accounting Officer Bank Syariah Mandiri Bogor), dan tiga debitur yaitu Iyan Permana, Henhen Gunawan, Rizki Ardiansyah, dan seorang notaris Sri Dewi.
Bagaimana Terjadinya Kasus Kredit Fiktif yang Menjerat Pihak-Pihak Pejabat BSM Bogor?
Kronologi kasus ini yaitu ketika Iyan Permana dibantu oleh Henhen Gunawan dan Rizky Ardiansyah melakukan pengajuan kredit fiktif tersebut. Dalam pengajuan kredit tersebut ketiga debitur ini melakukan pengajuan nama nasabah sebanyak 197 nama untuk mendapatkan kredit kepemilikan rumah pada Bank Syariah Mandiri. Iyan Permana memberikan 150 nasabah, Henhen Gunawan 21 nasabah, dan Rizky Ardiansyah mengajukan 26 nasabah. Dari 197 jumlah nama yang diajukan untuk mendapatkan kredit tersebut 153 nama nasabah merupakan fiktif. Kasus ini juga menyeret nama notaris yaitu Sri Dewi yang ikut dalam membuat akta kredit, dimana pembuatan akta tersebut tanpa diikuti kehadiran dari pihak debitur dan sertifikat tanah hanya berupa foto kopi. Rencana kredit fiktif ini dapat berjalan dengan mulus dan lancar dikarenakan adanya keterlibatan orang dalam yaitu accounting officer, kepala cabang utama dan cabang pembantu Mandiri Syariah Bogor.
Cara yang dilakukan untuk memanipulasi persyaratan kredit fiktif ini dengan berbagai macam. Tersangka melakukan manipulasi terhadap sejumlah dokumen mulai dari surat tanah sampai KTP palsu. Proses manipulasi ini dapat berjalan karena prosedur yang dilakukan untuk pengajuan kredit ini tidak melalui prosedur yang seharusnya. Contoh terjadinya manipulasi ini seperti yang dilakukan oleh para pelaku yaitu dengan meminjam KTP karyawannya atau tetangga dan orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya dan men foto copy nya. Setelah para debitur tersebut melengkapi dokumen persyratan maka kemudian langkah selanjutnya dilakukan oleh acconting officer Bank Syariah Mandiri Bogor yaitu John Lopulisa. John yang sudah mengetahui bahwa dokumen tersebut fiktif juga tidak melakukan prosedur pengecekan dengan semestinya yaitu pengecekan lapangan, hal ini dilakukan agar pengajuan kredit tersebut dapat dengan mudah dikabulkan pada tingkat kepala cabang pembantu dan cabang utama yang pihak-pihak ini telah bekerjasama atas rencana kredit fiktif ini. Ketiga pegawai BSM ini mendapatkan hadiah dari debitur berupa uang sebesar 3-4 miliar dan juga mobil.
Bagaimana Akhir Kasus Kredit Fiktif Bank Mandiri Syariah Bogor?
Kasus kredit fiktif yang terjadi pada Kantor Cabang Utama Bank Syariah Mandiri Bogor ini mengakibatkan terjadinya pencairan kredit sebesar Rp 102 miliar. Namun dana yang telah dikembalikan sebesar Rp 59 miliar sehingga masih terjadi kekurangan Rp 43 miliar yang masih belum masuk ke bank saat ini. Tersangka yang terlibat dengan kasus ini dijerat dengan pasal 63 UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan pasal 3 dan pasal 5 UU No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Khusus untuk Sri Dewi mendapatkan jeratan tambahan yaitu pasal 264 KUHP tentang pemalsuan surat autentik yang diancam dengan hukuman delapan tahun penjara. Saat ini terdapat empat tersangka yang telah ditahan oleh Mabes POLRI yaitu M. Agustinus Masrie selaku kepala cabang utama BSM Bogor, Chaerulli Hermawan selaku kepala cabang pembantu BSM Bogor, John Lopulisa selaku acconting officer BSM Bogor dan Iyan Permana selaku pengembang properti. Atas kasus tersebut Bank Syariah Mandiri Pusat telah melakukan pemecatan terhadap ketiga pegawai yaitu John Lopulisa di-PHK November 2012, Chaerulli Hermawan di-PHK 1 Desember 2012, dan Agustinus Masrie di-PHK 4 Oktober 2013.
Pihak Bank Syariah Mandiri mengatakan bahwa terjadinya pelanggaran tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh pegawai BSM cabang Bogor telah dicium sejak tahun 2012. Kasus ini mengakibatkan turunnya kualitas audit internal BSM menurut Taufik Machrus selaku Senior Vice President Corporate Secretary BSM. Pihak BSM belum bisa memastikan terjadinya kerugian yang diakibatkan kasus kredit fiktif ini. Pihak BSM menyerahkan sepenuhnya angka kerugian kasus ini. Meskipun terjadi kasus kredit fiktif namun hal ini tidak mempengaruhi angka Non Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah.
Pelanggaran Etika Bisnis pada Kasus BSM Bogor
Kasus kredit fiktif yang terjadi di Bank Syariah Mandiri Bogor merupakan kasus yang melibatkan pihak internal dan pihak eksternal dari Bank Syariah Mandiri tersebut. Pihak internal dalam hal ini adalah karyawan dan pejabat bank Syariah Mandiri Bogor yaitu accounting officer, kepala cabang utama dan kepala cabang pembantu Bogor. Sedangkan pihak eksternal yang terlibat dalam kasus ini yaitu tiga orang debitur Bank Syariah Mandiri Bogor dan satu orang notaris. Hal ini menunjukkan telah terjadinya kolusi diantara pihak internal BSM Bogor dengan pihak eksternal.
Terjadinya kolusi diantara para pelaku tersebut menyebabkan beberapa pihak mendapatkan keuntungan dan beberapa pihak mengalami kerugian. Pada kasus kredit fiktif ini jelas pihak yang diuntungkan adalah pihak pelaku yang bekerjasama untuk dapat melakukan pencairan dana pengajuan kredit mudharabah sebesar 102 miliar yaitu antaralain:
M. Agustinus Masrie (Kepala Cabang Utama BSM Bogor), Chaerulli Hermawan (Kepala Cabang Pembantu BSM Bogor), dan John Lopulisa (Accounting Officer BSM Cabang Bogor)
Tiga debitur PT. Bank Syariah Mandiri yaitu Iyan Permana (Pengusaha Property), Henhen Gunawan, dan Rizky Ardiansyah.
Notaris yaitu yang bernama Sri Dewi
Dalam kasus ini juga terdapat pihak yang dirugikan yaitu pihak Bank Syariah Mandiri. Bank Syariah Mandiri selain mengalami kerugian material dengan adanya pencairan kredit senilai 102 miliar juga mengalami krisis kepercayaan dari nasabah akan keamanan dan kenyamanan bertransaksi di Bank Syariah Mandiri. Kasus ini telah membuat image Bank Syariah Mandiri menjadi turun karena nasabah beserta dengan nasabah BSM akan menganggap bahwa moral dan etika yang dimiliki oleh para pegawai internal BSM utamanya masih rendah dengan adanya kasus kredit fiktif yang menyeret sejumlah nama pegawai beserta pejabat BSM Bogor.
Terseretnya pihak accounting officer BSM Bogor pada kasus ini menunjukkan telah terjadi pelanggaran kode etik akuntan mengenai sikap kejujuran dan integritas akuntan. Perbuatan John Lopulisa merupakan perbuatan yang dapat mencoreng nama baik akuntan sebagai pihak yang dipercaya dalam hal keuangan perusahaan. Bagaimana tidak, John dengan sengaja tidak melakukan prosedur yang semestinya terkait dengan dokumen yang diserahkan untuk pengajuan kredit. Hal ini dikarenakan agar pengajuan kredit lebih mudah dan lancar. Hal ini sengaja dilakukan oleh John karena telah bekerjasama dengan pelaku, maka dari itu jelas bahwa John dari awal telah bersikap tidak jujur dan tidak berintegritas atas pekerjaannya sebagai accounting officer.
Pelanggaran perilaku etis yang dilakukan oleh John Lopulisa selaku accounting officer BSM Bogor dapat disebabkan oleh beberapa faktor internal. Faktor internal dalam hal ini adalah faktor yang berasal dari dalam individu yang dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan perilaku etis dari seorang akuntan dan auditor. Nugrahaningsih (2005) mengatakan bahwa locus of control, lama pengalaman kerja, dan equity sensitivity secara signifikan dapat menciptakan perbedaan dalam perilaku etis akuntan dan auditor.
Locus of control menurut Reiss dan Mitra (1998) dalam Nugrahaningsih (2005) terbagi menjadi dua yaitu internal locus of control yang memandang bahwa hasil yang diperoleh, baik atau buruk merupakan tindakan, kapasitas, dan faktor-faktor yang berasal dari dalam diri mereka serta external locus of control merupakan cara pandang atas hasil yang diperoleh, baik atau buruk merupakan pengaruh faktor dari luar seperti keberuntungan, kesempatan, dan takdir. Nugrahaningsih (2005) mengatakan bahwa auditor dengan internal locus of control cenderung lebih bersikap etis dibandingkan dengan auditor dengan external locus of control. John Lopulisa yang merupakan akuntan BSM Bogor merupakan salah satu akuntan yang menggunakan external locus of control sehingga dapat berperilaku tidak etis dengan terlibat kasus kredit fiktif. John memiliki cara pandang bahwa hasil yang baik atau hasil yang buruk tersebut dikendalikan dari keadaan diluar dirinya (faktor eksternal), maka dari itu John tidak bisa mengkontrol dirinya untuk ikut serta dalam rencana pengajuan kredit fiktif ini. John telah dikendalikan oleh kesempatan yang diberikan oleh para debitur yang mengajaknya kerja sama untuk mengajukan kredit fiktif sehingga pada akhirnya John melakukan tindakan yang tidak etis dengan tidak melakukan prosedur pengajuan kredit dengan sebagaimana mestinya. Akhirnya John mendapatkan hasil yang buruk dari perbuatan yang tidak etis tersebut dengan pemecatan dirinya sebagai pegawai BSM Bogor.
Menurut Chhokar dalam Nugrahaningsih (2005) individu terbagi menjadi tiga yaitu merasa adil ketika input sama dengan output (equity sensitivities), merasa adil ketika input lebih besar dari output (individu benevolents), dan merasa adil ketika ouput lebih besar dari input (entitleds individu). individu benevolents cenderung akan berperilaku lebih etis dibandingkan dengan entitleds individu (Nugrahaningsih, 2005). John Lopulisa sebagai akuntan BSM yang ikut kerjasama dalam pengajuan kredit fiktif dikarenakan dirinya tergoda akan hadiah yang diberikan oleh debitur jika rencana tersebut berhasil. Hal ini menandakan bahwa John Lopulisa menginginkan output (hasil) dari pekerjaannya lebih besar jika dibandingkan dengan input (usaha) yang dilakukan. Hal ini menandakan bahwa John Lopulisa merupakan termasuk dalam tipe pribadi entiteld individu, dimana menurut Nugrahaningsih (2005) lebih cenderung melakukan perilaku tidak etis dan hal ini telah terbukti dengan ikut sertanya John dalam kasus kredit fiktif BSM Bogor.
Apakah Auditor Eksternal Telah Mati dalam Mendeteksi Kecurangan ?
Terjadinya kasus kredit fiktif pada BSM Bogor yang mengkaitkan pihak internal BSM terutama accounting officer memang menimbulkan pertanyaan yang sangat besar atas kehandalan laporan keuangan yang dihasilkan pihak BSM. Pencairan kredit yang telah dimulai sejak tahun 2011 pastinya telah dicatat pada laporan keuangan tahun 2011 dan diikuti tahun 2012 mengingat kasus ini baru terungkap pada tahun 2013. Lalu dimana peran auditor eksternal ketika melakukan audit pada tahun 2011 dan 2012? Menariknya lagi berdasarkan informasi dari website Bank Syariah Mandiri yang diupload tahun 2013 menyatakan bahwa Bank Syariah Mandiri mendapatkan annual report award pada katagori swasta, keuangan, dan tertutup selama 4 tahun berturut-turut mulai tahun 2009-2012. Penghargaan tersebut merupakan kerjasama antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Direktorat Jendral Pajak, Indonesia Stock Exchange, dan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Dengan kata lain atas penghargaan yang diperoleh oleh BSM ini memastikan bahwa laporan keuangan BSM yang diaudit akan memiliki opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), hal ini dibuktikan dengan laporan keuangan BSM tahun 2012. Lalu mengapa dengan opini tersebut dan penghargaan yang telah diraih ternyata di BSM terungkap kasus kredit fiktif? Pertanyaan tersebut yang harus diungkap lebih jelas dengan pemikiran yang lebih dalam.
Penyebab terjadinya ketidaksesuaian antara opini audit pada laporan keuangan dengan realitas kasus kredit fiktif pada BSM perlu diketahui dengan menghubungkan dengan faktor yang dapat mempengaruhi kualitas audit dari auditor eksternal. Dengan mengehubungkan kedua hal tersebut maka dapat diambil kesimpulan yang dapat mengungkap realitas di BSM. Nasution & Fitriany (2012) mengungkapkan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap sikap skeptisme profesional dan kemampuan auditor dalam mendeteksi terjadinya kecurangan yaitu antaralain beban kerja, pengalaman audit, dan gender memiliki pengaruh terhadap kemampuan pendeteksian kecurangan. Sedangkan ukuran KAP dan posisi auditor tidak berpengaruh terhadap kemampuan pendeteksian kecurangan.
Pernyataan Nasution & Fitriany (2012) yang mengatakan bahwa ukuran KAP tidak berpengaruh terhadap kemampuan pendeteksian kecurangan terbukti benar jika dikaitkan dengan kasus kredit fiktif BSM Bogor. Berdasarkan dengan laporan keuangan BSM tahun 2012 yang telah diaudit oleh KAP Purwanto, Suherman, & Surja yang merupakan anggota dari Ernst & Young tidak dapat mengetahui dan mendeteksi terjadinya kecurangan pada BSM Bogor yang melakukan tindakan kredit fiktif. Opini audit yang tercantum dalam laporan keuangan tersebut adalah wajar tanpa pengecualian. Hal ini menandakan bahwa ukuran KAP yang besar tidak menjamin kualitas audit yang diberikan dapat terpercaya dan terbukti benar. Karena seharusnya pihak KAP yang mengaudit laporan keuangan BSM dapat mengetahui terjadinya kredit fiktif di BSM Bogor ketika melakukan proses review atas kebenaran keberadaan kredit yang diberikan BSM. Namun pada kenyataannya pihak KAP tidak dapat mengetahui terjadinya kecurangan pada kredit yang dilakukan oleh Cabang Bogor hingga pada akhirnya opini yang diberikan adalah wajar tanpa pengecualian. Jika pihak KAP mengetahui adanya kecurangan yang terjadi atas kredit fiktif yang dilakukan oleh Cabang Bogor opini audit yang diberikan tidak akan wajar tanpa pengecualian sebelum terjadi pengusutan kasus yang lebih dalam. Pada kasus ini perlu dipertanyakan lagi mengenai kredibilitas KAP yang mengaudit Bank Syariah Mandiri.
Hasil penelitian Nasution & Fitriany (2012) yang menyatakan bahwa pengalaman kerja dan gender berpengaruh terhadap kemampuan pendeteksian kecurangan tidak dapat dikatakan benar berdasarkan kasus BSM. Pada Bank Syariah Mandiri yang melakukan audit atas laporan keuangan merupakan KAP besar yang tergabung dalam Ernst & Young Indonesia yaitu KAP Purwanto, Suherman, dan Surja. KAP tersebut dapat dipastikan telah memiliki pengalaman kerja yang tidak sedikit dalam bidang audit laporan keuangan perusahaan. Selain itu KAP tersebut dapat dikatakan seharusnya memahami proses audit secara detail terkait akun-akun dalam laporan keuangan dan bagaimana cara pembuktian angka tersebut. Namun semua argumen tersebut tidak berlaku dalam kasus ini, KAP yang mengaudit Bank Syariah Mandiri seakan-akan “buta” dan “kehilangan akal” ketika melakukan audit terkait jumlah kredit yang diberikan. Proses pembuktian akan kenyataan kredit tersebut tidak dilakukan sehingga hal tersebut terlewat dan terbebas yang pada akhirnya timbul opini wajar tanpa pengeacualian meskipun pada kenyataannya telah terjadi kredit fiktif di BSM Cabang Bogor.
Argumen yang dapat membantu KAP yang mengaudit laporan keuangan BSM agar setidaknya dapat membela diri atas hasil kerjanya adalah banyaknya beban kerja yang harus dilakukan oleh KAP tersebut ketika mengaudit laporan keuangan BSM. Beban kerja memiliki dampak negatif terhadap kemampuan dalam mendeteksi kecurangan yang terjadi (Nasution & Fitriany, 2012). Hal ini menandakan bahwa dengan beban kerja yang tinggi maka akan semakin kecil kemampuan seorang auditor dalam mendeteksi terjadinya kecurangan. Hal ini lah yang mungkin membuat KAP Purwanto, Suherman, dan Surja tidak dapat mendeteksi terjadinya kredit fiktif di BSM Cabang Bogor. Bank Syariah Mandiri merupakan Bank Syariah dengan skala yang besar di Indonesia yang memiliki banyak sekali cabang yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Atas jumlah cabang yang banyak tersebutlah menimbulkan kesulitan bagi pihak KAP yang mengaudit laporan keuangan BSM untuk membuktikan kredit satu per satu di setiap cabang yang ada. Namun meskipun demikian seharusnya pihak KAP telah memiliki cara dan trik penyelesaian masalah tersebut dengan tepat mengingat terjadinya suatu kasus terkait kondisi keuangan pada akhirnya juga akan memiliki dampak terhadap kredibilitas dari auditor eksternal dan KAP yang mengaudit laporan keuangan perusahaan tersebut.
Pada akhirnya kasus kredit fiktif yang terjadi pada Bank Syariah Mandiri Cabang Bogor ini masih menimbulkan pertanyaan besar yang dikaitkan dengan kualitas audit atas laporan keuangan BSM. Beberapa argumen dan hasil penelitian yang telah dihubungkan dan dijelaskan diatas hanya dapat memberikan sedikit dugaan atas kualitas audit atas laporan keuangan BSM. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan lain yang dapat menjawab dan memungkinkan terjadinya ketidaksesuaian antara opini audit dengan kenyataan yang terjadi.
Kelemahan Basis Akrual, Manajemen Laba, dan Perilaku Koruptif Manajemen atau Perusahaan
Kasus kredit fiktif yang terjadi di Bank Syariah Mandiri Cabang Bogor merupakan suatu kejadian yang menimbulkan suatu teka-teki besar mengenai laporan keuangan Bank Syariah Mandiri selama tahun 2011 dan 2012. Hal ini dikarenakan kasus kredit fiktif tersebut dimulai sejak tahun 2011 dan baru dapat diungkap pada Oktober 2013 dan pemecatan terhadap para pegawai Bank Syariah Mandiri baru terjadi pada akhir tahun 2012, sedangkan pada laporan keuangan tahun 2011 dan 2012 opini audit yang diberikan terhadap laporan keuangan Bank Syariah Mandiri adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Laporan keuangan dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) seharusnya memiliki kualitas yang baik dan tidak dimungkinkan terjadinya ketidakwajaran terutama kecurangan yang terjadi. Namun bagaimana bisa laporan keuangan suatu perusahaan dikatakan WTP namun sebenarnya di dalamnya terdapat kecurangan yang terjadi dan tidak diketahui. Dugaan yang tepat untuk menjelaskan kejadian ini adalah perusahaan melakukan tindakan earning management agar dapat membuat laporan keuangan yang mengandung unsur kecurangan terlihat wajar dan baik. Untuk menelaah hal tersebut harus dilakukan pembahasan satu per satu mengenai earning management dan kemungkinan keterkaitan dengan kredit fiktif di BSM Bogor. Proses penelahaan ini yang mungkin dapat menjadi dugaan selanjutnya yang dapat menjadi alasan mengapa kasus kredit fiktif ini bisa lepas dari audit yang dilakukan oleh auditor eksternal Bank Syariah Mandiri.
Manajemen laba (earning management) merupakan suatu bentuk upaya pihak manajemen untuk merubah tampilan laba dengan menggunakan metode akuntansi. Menurut Meta (2010) tindakan manajemen laba merupakan tindakan dari pihak manahemen untuk menaikkan atau menurunkan laba yang dilaporkan namun tidak mempengaruhi kenaikan atau penurunan profitabilitas jangka panjang. Secara singkat tindakan manajemen laba merupakan tindakan untuk merubah tampilan laba menjadi tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Tindakan merubah tampilan laba yang dilaporkan pastinya disebabkan oleh suatu alasan tertentu dan adanya kelemahan dari metode akuntansi yang diterapkan. Dengan demikian dapat dikatakan metode akuntansi yang diterapkan saat ini yaitu metode akrual merupakan penyebab terjadinya manajemen laba.
Metode akuntansi akrual merupakan metode dasar yang digunakan untuk pencatatan dan pengakuan transaksi, kejadian, dan keadaan yang memiliki konsekuensi terhadap kas perusahaan pada satu periode akuntansi. Transaksi, peristiwa, dan kejadian tersebut diakui dan dicatat pada saat terjadinya bukan pada saat terjadi penerimaan atau pengeluaran kas. Tujuan dari metode akrual ini adalah untuk mengakuai dan melaporkan pendapatan, beban, keuntungan dan kerugian pada periode tertentu yang merupakan refleksi dari kinerja perusahaan selama perusahaan beroperasi dan tidak diketahui kapan berhentinya. Dengan konsep pengakuan akrual tersebutlah yang membuat informasi dalam laporan keuangan menjadi kabur.
Pengaburan informasi laporan keuangan tersebut pada akhirnya menciptakan terjadinya asimetri informasi antara pihak luar perusahaan dengan pihak internal perusahaan. Hal tersebutlah yang dimanfaatkan oleh pihak manajemen untuk dapat melakukan perbuatan manajemen laba demi mencapai tujuan dan kepentingan pribadinya. Magnan & Cormier (1997:9) dalam Riduwan (2009) menyatakan bahwa manajemen laba dimotivasi oleh beberapa motivasi yaitu meminimumkan biaya politis, memaksimumkan biaya manajer, dan meminimumkan biaya keuangan. Sedangkan Watts & Zimmerman (1986) mengklasifikasikan motivasi manajemen laba kedalam tiga hipotesis yaitu political cost hypothesis, bonus plan hypothesis, dan debt covenant hypothesis. Berdasarkan berbagai motivasi tersebut manajemen laba pada dasarnya dapat dilakukan dalam beberapa pola dan tindakan sesuai dengan motivasi yang mendasarinya.
Pola-pola manajemen laba dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu menaikkan laba, menurunkan laba, atau meratakan laba. Pola manajemen laba tersebut dapat dilakukan karena adanya kelemahan inheren dalam akuntansi akrual yang menimbulkan terjadinya fleksibilitas dalam hal judgement yang dapat digunakan utuk estimasi dalam penysunan laporan keuangan. Permasalahan yang terjadi sebatas apa tindakan manajemen laba tersebut dikatakan wajar dan bukan merupakan tindakan manipulasi laba. (Djakman, 2003: 145, Schroeder dan Clark, 1998: 248) dalam Riduwan (2009) menyatakan bahwa manajemen laba bukan merupakan tindakan fraud jika pemilihan metode akuntansi yang digunakan masih dalam batasan yang diperbolehkan oleh standar akuntansi. Dengan kata lain manajemen laba dapat menjadi tindakan yang bersifat koruptif atau tidak didasarkan atas batasan pemilihan metode akuntansi yang digunakan.
Jika kasus kredit fiktif BSM Bogor dihubungkan dengan tindakan manajemen laba maka dapat dikatakan bahwa manajemen laba yang terjadi pada laporan keuangan BSM Bogor merupakan tindakan manajemen laba yang bersifat koruptif. Pada kasus kredit fiktif BSM dapat dimungkinkan pihak manajemen melakukan tindakan manajemen laba untuk menutpi terjadinya kasus kredit fiktif. Hal ini dikarenakan kasus kredit fiktif ini sudah dimulai pada tahun 2011 dan baru bisa dibuktikan kebenarannya pada tahun 2013 maka laporan keuangan 2011 dan 2012 telah dirubah tampilannya dengan melakukan manajemen laba. Tindakan manajemen laba yang dilakukan untuk merubah tampilan laporan keuangan tersebut dilandasi oleh adanya motivasi untuk mencapai keuntungan pribadi terkait tujuan tercapainya pengajuan kredit fiktif. Permasalahan selanjutnya adalah apa fungsi manajemen laba dalam kasus kredit fiktif ini.
Kredit fiktif yang terjadi pada BSM Bogor akan berdampak pada kas perusahaan. Kas perusahaan akan berkurang akibat terjadinya pencairan dana sebesar 102 miliar untuk 197 kredit yang diajukan pada tahun 2011. Saat terjadi pencairan kredit maka terjadi pencatatan akuntansi yang pertama. Setelah itu akan terjadi pencatatan selanjutnya yaitu ketika terjadi pelunasan kredit atas kredit yang telah diberikan. Permasalahan dan manipulasi akuntansi mulai terjadi pada transaksi ini. Pengajuan 197 kredit tersebut sejumlah 153 nama nasabah kredit merupakan fiktif yang ini menandakan bahwa tidak akan terjadi pelunasan atas sejumlah kredit tersebut. Untuk menutupi tidak terjadinya pelunasan 153 kredit tersebut pihak akuntansi disinilah mulai melakukan pemanipulasian dengan akuntansi metode yang telah dipilih oleh manajer (kepala cabang pembantu dan utama), sehingga meski tidak terdapat pelunasan tetap terjadi pencatatan transaksi dan laba perusahaan tetap tidak berpengaruh secara signifikan. Pada akhirnya ketika waktu penerbitan laporan keuangan perusahaan tetap dapat melaporkan laba perusahaan dalam kondisi baik dan tidak diketahui telah terjadi kerugian akibat kredit fiktif. Dalam hal ini tidak mungkin sebenarnya bagi pihak BSM pusat untuk tidak melakukan tindakan manajemen laba karena pencairan dana 102 miliar tersebut pasti akan juga mempengaruhi kondisi kas BSM pusat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jelas baik BSM Bogor atau BSM pusat dalam hal laporan keuangan dapat diindikasikan melakukan manajemen laba akibat adanya kelemahan metode akuntansi akrual. Hal ini dbuktikan dengan opini yang diberikan oleh auditor eksternal BSM yang memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian untuk laporan keuangan 2011 dan 2012 meskipun telah terjadi kredit fiktif di BSM Bogor yang dapat mempengaruhi kas BSM secara keseluruhan. Namun dalam hal ini terdapat motivasi yang mungkin bisa berbeda dari dilakukannya manajemen laba. Pihak BSM Bogor melakukan manajemen laba dengan motivasi dorongan untuk perilaku koruptif yaitu memperlancar dan menutupi terjadinya kredit fiktif yang terjadi. Sedangkan pihak BSM pusat melakukan manajemen laba adalah untuk menutupi masalah dugaan kasus kredit fiktif yang masih belum bisa dibuktikan tujuannya adalah untuk menjaga image perusahaan agar tetap dipandang memiliki kinerja yang baik. Namun menurut Mujianto dalam Riduwan (2009) mengatakan bahwa tidak ada tindakan manajemen laba yang baik semua tindakan manajemen laba selalu dilandasi oleh tujuan pribadi atau perusahaan yang dilakukan secara sengaja. Pernyataan Mujianto ini konsisten dengan apa yang disampaikan oleh IAI (2007) yang mengatakan bahwa informasi harus diarahkan untuk kebutuhan umum dari pengguna bukan untuk beberapa kepentingan dan diarahkan untuk mencapai keuntungan beberapa pihak sedangkan merugikan pihak lainnya.
Dengan demikian dapat dikatakan kasus kredit fiktif yang terjadi di BSM Cabang Bogor ini selain dikarenakan adanya motivasi dan dorongan pribadi dari para pelaku juga dikarenakan adanya kesempatan dan peluang dari kelamahan metode akuntansi akrual. Metode akuntansi akrual yang membuka peluang untuk digunakan beberapa judgement untuk estimasi penyusunan laporan keuangan memberikan kesempatan bagi para pelaku untuk memilih metode akuntansi yang dapat menyembunyikan transaksi kredit fiktif yang telah dilakukan. Hingga pada akhirnya kredit fiktif yang seharusnya mempengaruhi laba dan kas perusahaan menjadi tidak berpengaruh terhadap laba dan kas perusahaan. Dengan kata lain pada akhirnya kasus kredit fiktif ini menimbulkan tindakan manajemen laba.
Hubungan KB Dengan Data Kependudukan dan Demografi Agama Di Dunia dan Indonesia.
Berdasarkan data PBB (lampiran 1), posisi USA berada dalam posisi 3 dunia pada tahun 1950, kemudian pada tahun 1962 muncul proyek “Codex Alimentarius”sebagai program kontrol populasi oleh WHO dan FAO. Ini juga bukti bahwa ada usaha dari PBB untuk benar-benar mengurangi populasi penduduk dunia sehingga akan ada negara yang dimasa depan akan memiliki jumlah penduduk lebih banyak yakni Amerika. Pada tahun 1950 tersebut diketahui Russia yang berada satu tungkat dibawah Amerika harus turun populasinya di tahun 2013 dengan hanya berada diposisi 9. Seperti yang diketahui, Russia merupakan rival Amerika dan biasanya lebih memilih perang untuk menunjukkan kekuasaannya. Terbukti efek tersebut berdampak pada penurunan penduduk Russia dari 1950-2013. Namun bagaimana dengan negara yang memiliki penduduk yang tinggi, Amerika dengan IPPF mengenalkan program KB ke seluruh dunia. Bahkan China yang memiliki penduduk tertinggi didunia sedang gencar melaksanakan KB dengan ketentuan hanya 1 anak untuk 1 keluarga.
Di India, negara yang diprediksi menjadi negara dengan populasi tertinggi pada tahun 2050 juga tak luput ikut serta dalam menjalankan program KB seperti di Indonesia. Bahkan secara lebih frontal, program KB di India telah memakan korban jiwa seperti yang dilansir oleh aljazeera.com. prediksi populasi penduduk di berbagai negara menjadi dasar untuk penerapan program KB diseluruh dunia.
Jika dihubungkan dengan data demografi agama di Dunia, maka Indonesia, India, dan Nigeria yang memiliki pertumbuhan penduduk yang tinggi dan mayoritas beragama Islam menjadi target utama dalam kontrol populasi PBB. Berbagai masalah timbul di negara tersebut menjadi bukti jika program kependudukan erat kaitannya dengan agama.
Terjadikah Korelasi antara KB dengan Kasus Kredit Fiktif BSM Bogor?
Selain beberapa alasan dan argumen yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai penyebab terjadinya kasus kredit fiktif ini terdapat satu kemungkinan yang menarik lagi untuk dibahas. Kasus kredit fiktif BSM Bogor ini menjadi lebih menarik jika dikaitkan dengan program KB yang dilakukan oleh pemerintah saat ini sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk Indonesia. Jika diliat sejenaknya maka bisa saja terjadi korelasi antara KB dengan motivasi kredit fiktif ini yaitu terletak pada usaha untuk memaksimalkan kesejahteraan ketika dilakukannya kredit fiktif dengan menggunakan metode akuntansi akrual dan earning management. Untuk mengetahui lebih detail mengenai hubungan antara kasus BSM Bogor dengan KB maka perlu dilakukan penjabaran satu per satu mengenai dua hal yang berbeda tersebut.
KB pada dasarnya berdasarkan UU No. 10 Tahun 1992 merupakan bentuk kepedulian dan peran serta masyarakat untuk dapat menciptakan ketahanan keluarga dan peningkatan kesejahteraan melalui pendewasaan usia perkawinan dan pengaturan kelahiran. Menurut Depkes (1999) KB merupakan program pembangunan nasional yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi, spiritual dan sosial budaya penduduk Indonesia agar dapat dicapai keseimbangan yang baik dengan kemampuan produksi nasional. Berdasarkan tujuan utama program KB tersebut dapat disimpulkan bahwa KB merupakan suatu program yang berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penekanan jumlah anak.
Program KB yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga tersebut secara tidak langsung akan berdampak pada tingkat kriminalitas yang terjadi. Hubungan ini terjadi karena dengan setiap keluarga hanya memiliki maksimal dua anak maka jumlah beban tanggungan hidup keluarga akan semakin kecil. Berkurangnya jumlah beban tanggungan hidup tersebut nantinya akan dapat mengurangi minat seseorang untuk melakukan tindakan kriminal karena pendapatan yang diterima akan dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Motivasi untuk memaksimalkan kesejahteraan pun juga dapat berkurang seiring dengan menurunnya jumlah beban tanggungan keluarga.
Kasus kredit fiktif yang terjadi di Bank Syariah Mandiri dengan melibatkan tiga orang pegawai Bank Syariah Mandiri Bogor yaitu accounting officer, kepala cabang dan kepala cabang pembantu serta tiga debitur merupakan contoh tindak kriminalitas yang diakibatkan oleh adanya keinginan untuk memaksimalkan kesejahteraan pribadi. Keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan membawa para pelaku kepada tindak kriminalitas dengan melakukan pencurian terhadap kas Bank Syariah Mandiri melalui pengajuan kredit fiktif.
Pelaku kasus kredit fiktif ini melakukan tindakan kriminal dengan menggunakan prosedur akuntansi dan prosedur pengajuan kredit yang dimodifikasi sedemikian rupa agar dapat memenuhi tujuannya. Langkah awalnya adalah dengan melakukan prosedur pengajuan kredit dengan cara yang tidak semestinya yaitu melakukan pemalsuan dokumen dan prosedur pengecekan dokumen yang tidak benar. Selanjutnya ketika telah terjadi pencairan kredit pada tahun 2011 agar tidak diketahui oleh pihak lain kemungkinan accounting officer, kepala cabang pembantu, dan kepala cabang utama bekerja sama melakukan earning management untuk membuat laporan keuangan mereka nampak wajar dan tidak menunjukkan adanya transaksi yang tidak wajar.
Rentetan kejadian tersebut menandakan adanya keterkaitan antara proses akuntansi dengan tindakan kriminal yang pada dasarnya semua dimotivasi atas keinginan untuk memaksimalkan kesejahteraan pihak-pihak yang terkait dalam kasus ini. Prosedur akuntansi yang berupa metode akuntansi akrual dan judgementnya digunakan untuk cara yang dapat mempermudah terjadinya tindakan kriminal sekaligus untuk menutupi tindakan kriminal tersebut. Tertutupnya kasus kredit fiktif tersebut untuk sementara waktu menyebabkan terjadinya pencairan dana sebesar 102 miliar yang menandakan bahwa rencana pengajuan kredit fiktif tersebut telah berhasil. Dengan berhasilnya pengajuan kredit fiktif ini membawa dampak diberikannya hadiah kepada tiga pegawai Bank Syariah Mandiri oleh tiga debitur tersebut yaitu berupa uang sebesar 3-4 miliar dan mobil. Pemberian hadiah tersebutlah yang pada akhirnya menjadi simbol sebagai pencapaian peningkatan kesejahteraan dari tiga pegawai Bank Syariah Mandiri Bogor.
Berdasarkan penjelasan singkat antara rentetan kasus kredit fiktif, motivasi kesejahteraan, dan tujuan KB. Maka dapat diduga terjadinya kredit fiktif yang melibatkan pegawai BSM Bogor dan tiga debitur tersebut merupakan suatu tindak kriminal yang diakibatkan keinginan untuk memaksimalkan kesejahteraan pribadi akibat tingginya jumlah keluarga yang harus ditanggung. Singkatnya, pada kasus ini menunjukkan terjadinya hubungan antara prosedur akuntansi dengan tindakan kriminal yang didasarkan atas motivasi untuk meningkatkan kesejahteraan. Hal ini menandakan bahwa kesejahteraan yang mendorong seseorang yang paham dan memiliki kendali atas keuangan suatu perusahaan dengan menggunakan metode akuntansi akrual yang memiliki kelemahan inheren sehingga dapat membuka kesempatan menggunakan judgement untuk estimasi penyusunan laporan keuangan sebagai alat yang dapat memperlancar tindakan kriminal yang dilakukan. Atas dasar tersebutlah maka pemerintah melakukan usaha peningkatakan kesejahteraan untuk dapat mengurangi tindak kriminalitas yang terjadi dengan melakukan penekanan angka kelahiran yang harapannya adalah dapat mengurangi beban tanggungan hidup sebuah keluarga.
Program KB “Penyelamat” dari Perilaku Koruptif Earning Management atau “Pemicu” Berkembangnya Kapitalis Akuntansi?
Polemik terjadinya kasus kredit fiktif yang terjadi di Bank Syariah Mandiri Cabang Bogor ternyata memiliki keterkaitan dengan berbagai aspek yang menyangkut beberapa bidang. Berdasarkan penjelasan yang disampaikan sebelumnya ternyata dapat diperkirakan bahwa kredit fiktif yang terjadi tersebut memiliki korelasi dengan kelemahan inheren akuntansi yang menimbulkan terjadinya earning management. Earning management tersebut dilakukan dengan berdasarkan motivasi memaksimalkan kesejahteraan pribadi, dimana ternyata pemaksimalan kesejahteraan tersebut dapat muncul karena masih adanya tingkat tangguhan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi sebagai dampak dari jumlah anggota keluarga yang banyak. Berdasarkan hal tersebut menandakan bahwa KB sebagai program penekan angka kelahiran memiliki andil untuk mencegah terjadinya earning management yang disebabkan adanya pemaksimalan kesejahteraan. Secara singkat kata jika jumlah tanggungan setiap keluarga berkurang akibat dijalankannya program KB maka akan semakin kecil seseorang melakukan tindakan yang melanggar aturan seperti kredit fiktif karena dapat disimpulkan pendapatan yang diterima sudah dapat bahkan melebih kebutuhan hidup yang diperlukan.
Program KB jika diliat satu sisi dapat dianggap sebagai salah satu cara untuk mengurangi terjadinya tindakan koruptif yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk melakukan tindakan kriminal. Tujuan KB sebagai peningkat kesejahteraan ekonomi menurut Depkes (1999) menandakan bahwa Program KB dapat digunakan untuk mencegah seseorang melakukan tindakan kriminal yang didasarkan pada motivasi pemaksimalan kesejahteraan. Kredit fiktif BSM Mandiri merupakan salah bentuk yang didasarkan atas adanya motivasi untuk memaksimalkan kesejahteraan melalui metode akuntansi akrual yang memiliki kelemahan inheren, sehingga dapat membuka peluang untuk menggunakan judgement dalam estimasi penyusunan laporan keuangan. Hal tersebut pada akhirnya akan menimbulkan terjadinya tindakan earning management yang bersifat koruptif. Jika dihubungkan dengan kasus kredit fiktif BSM Bogor maka program KB akan dapat diperkirakan sebagai pencegah terjadinya kasus kredit fiktif tersebut.
Para pelaku yang melakukan tindakan kredit fiktif tersebut sebagian besar pastinya dikarenakan adanya keinginan untuk memaksimalkan kesejahteraannya. Keinginan untuk memaksimalkan kesejahteraan pribadi tersebut pastinya dikarenakan adanya tekanan dari luar dan dari dalam diri pelaku. Namun dapat diperkirakan pelaku melakukan tindakan kriminal tesebut dikarenakan adanya tekanan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tak terbatas. Kebutuhan hidup yang tak terbatas tersebut sebagian besar dikarenakan adanya pengaruh dari anggota keluarga. Semakin banyak anggota keluarga yang ditanggung oleh para pelaku maka semakin besar pula kebutuhan tak terbatas yang harus dipenuhi. Berdasarkan hal tersebut maka KB sebagai penekan angka kelahiran diperkirakan akan dapat mencegah terjadinya kebutuhan tak terbatas tersebut semakin membesar. Dengan diterapkannya program KB pada kelaurga pelaku otomatis kebutuhan tak terbatas mereka akan menurun dikarenakan jumlah anggota keluarga akan berkurang. Dengan kata lain KB telah berhasil menekan terjadinya tindakan koruptif earning management yang diterapkan di kredit fiktif BSM Bogor.
Namun disisi lain program KB dapat berdampak negatif terhadap meningkatkan penggunaan paham kapitalis akuntansi di Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena jumlah presentase pertumbuhan agama Islam di Indonesia semakin kecil jika dibandingkan dengan jumlah pertumbuhan agama lain seperti agama kristen. Hal ini dibuktikan dari data statistik BPS mengenai pertumbuhan agama Islam dari tahun 1970-2010 yang semakin menurun sebesar 0,3% yaitu dari 87,5% 1970 menjadi 87,2% pada tahun 2010. Sedangkan agama non Islam seperti katolik dan protestan yang mengalami kenaikan sebesar 0,6% selama tahun 1970-2010 untuk katolik dan 1,9% selama tahun 1970-2010 untuk protestan. Jika program KB terus diterapkan maka berdasarkan perhitungan yang dilakukan prediksi jumlah agama Islam pada tahun 2020-2050 hanya mengalami peningkatan sebesar 0,04% per 10 tahun. Sedangkan agama katolik dan protestan mengalami peningkatan yang lebih tinggi selama tahun 2020-2050 yaitu sebesar 0,13% untuk katolik per 10 tahunnya dan 0,28% untuk protestan per 10 tahunnya. Program KB diperkirakan sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan Islam menjadi lebih kecil dibandingkan agama lain dikarenakan adanya dugaan tujuan tersembunyi dari diterapkannya program KB di Indonesia mengingat program KB tersebut merupakan program yang berasal dari Barat. Tujuan tersembunyi tersebut berhubungan dengan adanya upaya untuk mengurangi jumlah umat Islam terutama di Indonesia mengingat Indonesia merupakan negara yang mayoritas Islam. Hal ini telah terbukti dari data dan perhitungan yang telah dilakukan.
Adanya penurunan pertumbuhan agama Islam yang lebih kecil dibandingkan dengan agama lain khususnya katolik dan protestan akan menjadi pemicu berkembangnya ekonomi kapitalis yang dianut dalam akuntansi. Paham kapitalis merupakan paham yang muncul dan berkembang dari pemikiran orang-orang non muslim yang hanya berhubungan dengan materi saja. Akuntansi yang ada saat ini penuh dengan nilai-nilai kapitalistik yang ditandai dengan orientasi dari laporan keuangan yaitu informasi laba dan kepuasaan investor semata. Dengan menurunnya peningkatan jumlah umat Islam maka dapat dipastikan bahwa paham kapitalisme di akuntansi semakin berkembang karena paham kapitalisme merupakan paham yang bertentangan dengan nilai Islam. Hal ini telah dibuktikan dengan terjadinya kasus kredit fiktif BSM Bogor, dimana para pelaku melakukan tindakan tersebut karena di dalam dirinya telah tertanam paham ekonomi kapitalisme yang berorientasi hanya pada keuntungan. Sehingga mereka menggunakan akuntansi dengan metode akuntansi akrual dan earning management untuk mencapai tujuan mereka.
Fakta ini tampaknya semakin membuat tidak jelas manfaat dan keburukan dari adanya program KB. Di satu sisi program KB dapat menurunkan jumlah tanggungan keluarga sehingga keinginan melakukan tindakan pemaksimalan kesejahteraan dapat menurun karena jumlah kebutuhan tak terbatas menurun seiring dengan berkurangnya tanggungan di dalam keluarga. Namun di sisi lain dengan diberlakukannya program KB yang diselipkan tujuan untuk menurunkan jumlah umat Islam akan berdampak kepada bertumbuhnya paham kapitalisme di dalam akuntansi yang pada akhirnya akan memicu penumpukan kekayaan sebesar-besarnya karena berkuasanya orang non muslim yang tidak mengenal nilai-nilai Islam untuk diterapkan di dalam ekonomi dan akuntansi.
Singkatnya, dapat dikatakan bahwa penerapan program KB di Indonesia jika dikaitkan dengan penerapan akuntansi, kecurangan akuntansi, kapitalisme akuntansi dan berkurangnya jumlah umat Islam diakibatkan tujuan KB yang tersembunyi yang dibawa dari orang barat masih bias dan tidak jelas. Maka dari itu perlu pengkaijan lebih lanjut untuk dapat menentukan apakah program KB masih dapat diterapkan atau tidak di Indonesia berdasarkan kemungkinan dan argumen diatas. Namun berdasarkan terjadinya kasus kredit fikti di BSM Bogor ini menunjukkan kepada kita bahwa sebenarnya telah terjadi efek paham akuntansi dan ekonomi kapitalisme yang dibawa oleh pemikiran orang barat, dimana pemikiran tersebut hanya berorientasi pada keuntungan materi saja. Efek kapitalisme ini dapat timbul karena semakin berkuasanya agama non Islam yang mengendalikan pemikiran-pemikiran masyarakat Indonesia termasuk masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Maka jika program KB yang berasal dari program WHO yang merupakan pemikiran non muslim dan bertentangan dengan ajaran Islam dapat dipastikan bahwa paham kapitalisme akan semakin meningkat dengan seiring berkurangnya penganut Islam di Indonesia, meski disisi lain program KB diperkirakan dapat mengurangi terjadinya tindakan koruptif karena terjadinya peningkatan kesejahteraan akibat berkurangnya jumlah tanggungan anggota keluarga.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa KB merupakan program dengan tujuan utama mengurangi populasi penduduk atau lebih tepatnya ingin mengurangi dominasi pemeluk Islam di dunia. Di Indonesia, KB memiliki tujuan diantaranya kesejahteraan dan pengurangan laju pertumbuhan penduduk. Namun berdasarkan kasus kredit fiktif yang dialami BSM Cabang Bogor menjadi salah satu bukti bahwa KB gagal untuk memperjuangkan kesejahteraan dan hanya berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk. Jika demikian, maka KB merupakan produk asing yang masuk ke Indonesia dengan membawa misi sebuah proyek besar dunia yakni proyek “Codex Alimtarius” atau proyek Kontrol Populasi bentukan WHO dan FAO.
REFRENCE
http://www.kompasiana.com/irfanmangkunegara/apakah-kasus-kredit-fiktif-bsm-mengarah-ke-accounting-fraud_552c07816ea834ee298b4567
http://yanuarfisa.blogspot.co.id/2014/11/kasus-etika-bisnis-dalam-perbankan-bank.html
http://bkkbn.go.id
http://obengplus.com/articles/2033/1/Grafik-dimana-penduduk-terbesar-di-dunia-tahun-2100-jumlah-penduduk-mencapai-11-miliar-manusia.html
http://www.muslimdaily.net/berita/internasional/meski-berjumlah-besar-muslim-di-nigeria-terkena-diskriminasi.html
https://prezi.com/h4m4nbtibwbf/nigeria/