Academia.eduAcademia.edu

Askep Acute Kidney Injury dan Gagal Ginjal Kronis

w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m Page 6 AKI pascarenal I. Obstruksi ureter -Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi eksternal II. Obstruksi leher kandung kemih -Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah III. Obstruksi uretra -Striktur, katup kongenital, fimosis Klasifikasi AKI ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 2. (Rusli, 2007). Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007 Kategori Peningkatan kadar SCr Penurunan LFG Kriteria UO Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, >6 jam Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, >12 jam Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, >24 jam w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m Page 7 Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 Bulan 2.1.2 Patofisiologi Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular seperti yang terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini: Gambar 1. Patofisiologi AKI (Bonventre, 2008) Patofisiologi dari AKI dapat dibagi menjadi komponen mikrovaskular dan tubular, bentuk lebih lanjutnya dapat dibagi menjadi proglomerular dan komponen pembuluh medulla ginjal terluar. Pada AKI, terdapat peningkatan vasokonstriksi dan penurunan vasodilatasi pada respon yang menunjukkan ginjal post iskemik. Dengan peningkatan endhotelial dan kerusakan sel otot polos pembuluh, terdapat peningkatan adhesi leukosit endothelial yang menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksi pembuluh dengan aktivasi leukosit dan berpotensi terjadi inflamasi. Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti oleh w w w . s a k t y a i r l a n g g a . w o r d p r e s s . c o m Page 8 apoptosis dan nekrosis, obstruksi intratubular, dan kembali terjadi kebocoran filtrate glomerulus melalui membrane polos dasar. Sebagai tambahan, sel-sel tubulus menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori, sehingga mempengaruhi vascular untuk meningkatkan kerjasama vascular. Mekanisme positif feedback kemudian terjadi sebagai hasil kerjasama vascular untuk menurunkan pengiriman oksigen ke tubulus, sehingga menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori meningkatkan vasokonstriksi dan interaksi endothelial-leukosit (Bonventre, 2008). Pendekatan Diagnosis 1. Pemeriksaan Klinis Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna. AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut.

PANDUAN MAHASISWA KEPERAWATAN KUMPULAN ASUHAN KEPERAWATAN (Askep Acute Kidney Injury dan Gagal Ginjal Kronis) 2012 t yG a iGr lAa .nW g gO a .RwDo P r dRpEr Se S s s. .Cc O o mM W W W . S A K T wY wA wI R. sLaAk N Page 1 Acute Kidney Injury(AKI) Definisi AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48 jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 mol/L) atau meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam (Molitoris et al, 2007). Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan (Eric Scott, 2008). Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Brady et al, 2005). Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI “klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease atau AoCKD). Dahulu, hal di atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien (Mehta et al, 2003) Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI www.saktyairlangga.wordpress.com Page 2 menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4)penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja (Rusli, 2007). Klasifikasi Etiologi Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi etiologi AKI (Sinto, 2010) www.saktyairlangga.wordpress.com Page 3 AKI Prarenal I. Hipovolemia - Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular - Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi - usus - Kehilangan darah - Kehilangan cairan ke luar tubuh - Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran - kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit - (luka bakar) II. Penurunan curah jantung - Penyebab miokard: infark, kardiomiopati - Penyebab perikard: tamponade - Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal - Aritmia - Penyebab katup jantung III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik - Penurunan resistensi vaskular perifer - Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan - (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi) - Vasokonstriksi ginjal - Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus, - amphotericin B - Hipoperfusi ginjal lokal - Stenosis a.renalis, hipertensi maligna www.saktyairlangga.wordpress.com Page 4 IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal - Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen AKI Renal I. Obstruksi renovaskular - Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, - diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis, - kompresi) II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal - Glomerulonefritis, vaskulitis III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN) - Iskemia (serupa AKI prarenal) - Toksin - Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, - pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis, - asam urat, oksalat, mieloma) IV. Nefritis interstitial - Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri, - viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis), - idiopatik V. Obstruksi dan deposisi intratubular - Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamida VI. Rejeksi alograf ginjal www.saktyairlangga.wordpress.com Page 5 I. Obstruksi ureter AKI pascarenal - Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi eksternal II. Obstruksi leher kandung kemih - Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah III. Obstruksi uretra - Striktur, katup kongenital, fimosis Klasifikasi AKI ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 2. (Rusli, 2007). Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007 Kategori Peningkatan kadar SCr Penurunan LFG Kriteria UO Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, >6 jam Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, >12 jam Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, >24 jam www.saktyairlangga.wordpress.com Page 6 Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 Bulan 2.1.2 Patofisiologi Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular seperti yang terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini: Gambar 1. Patofisiologi AKI (Bonventre, 2008) Patofisiologi dari AKI dapat dibagi menjadi komponen mikrovaskular dan tubular, bentuk lebih lanjutnya dapat dibagi menjadi proglomerular dan komponen pembuluh medulla ginjal terluar. Pada AKI, terdapat peningkatan vasokonstriksi dan penurunan vasodilatasi pada respon yang menunjukkan ginjal post iskemik. Dengan peningkatan endhotelial dan kerusakan sel otot polos pembuluh, terdapat peningkatan adhesi leukosit endothelial yang menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksi pembuluh dengan aktivasi leukosit dan berpotensi terjadi inflamasi. Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti oleh www.saktyairlangga.wordpress.com Page 7 apoptosis dan nekrosis, obstruksi intratubular, dan kembali terjadi kebocoran filtrate glomerulus melalui membrane polos dasar. Sebagai tambahan, sel-sel tubulus menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori, sehingga mempengaruhi vascular untuk meningkatkan kerjasama vascular. Mekanisme positif feedback kemudian terjadi sebagai hasil kerjasama vascular untuk menurunkan pengiriman oksigen ke tubulus, sehingga menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori meningkatkan vasokonstriksi dan interaksi endothelial-leukosit (Bonventre, 2008). Pendekatan Diagnosis 1. Pemeriksaan Klinis Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna. AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan www.saktyairlangga.wordpress.com Page 8 disfungsi saraf otonom (Sinto, 2010). 2. Pemeriksaan Penunjang Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown” granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial (Schrier et al, 2004). Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 3. Kelainan analisis urin (Sinto, 2010) www.saktyairlangga.wordpress.com Page 9 Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi. Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain (Brady, 2005). Penatalaksanaan 1. Terapi nutrisi Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah dimodifikasi oleh Sutarjo seperti pada tabel berikut: Tabel 4. Kebutuhan nutrisi klien dengan AKI (Sutarjo, 2008) www.saktyairlangga.wordpress.com Page 10 2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah: (Mohani, 2008) a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam www.saktyairlangga.wordpress.com Page 11 keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu. b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam). Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 16 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas (Robert, 2010). Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien (Sja’bani, 2008). Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG www.saktyairlangga.wordpress.com Page 12 dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur. Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal (Sinto, 2010). 3. Dialisis Menurut Workeneh (2012), indikasi dialisis pada pasien dengan AKI adalah sebagai berikut: 1. Ekspansi volume yang tidak dapat dikelola dengan diuretik 2. Refrakter terhadap terapi medis hiperkalemia 3. Koreksi parah gangguan asam-basa yang refrakter terhadap terapi medis 4. Parah azotemia (BUN> 80-100) 5. Uremia www.saktyairlangga.wordpress.com Page 13 2.1.7 Komplikasi dan Penatalaksanan Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5. Penatalaksanaan Komplikasi AKI (Sinto, 2010) Teori Asuhan Keperawatan AKI 1. Fokus Pengkajian (Efendy, 2008) Sistem Pernafasan (B1) a. Gejala : nafas pendek b. Tanda : Takipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, kusmaul, nafas amonia, batuk produktif dengan sputum kental merah muda( edema paru ). Sistem Kardiovaskuler (B2) Tanda : hipotensi/hipertensi (termasuk hipertensi maligna,eklampsia, hipertensi akibat kehamilan), disritmia jantung, nadi lemah/halus, hipotensi ortostatik(hipovalemia), DVI, nadi kuat, hipervolemia, edema jaringan umum (termasuk area periorbital mata kaki sakrum), pucat, kecenderungan perdarahan. www.saktyairlangga.wordpress.com Page 14 Sistem Persyarafan (B3) a. Gejala : Sakit kepala penglihatan kabur. Kram otot/kejang, sindrom “kaki Gelisah”. b. Tanda :Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidak seimbangan elektrolit/ asama basa, kejang, faskikulasi otot, aktifitas kejang. Sistem Perkemihan (B4) a. Gejala : Perubahan pola berkemih, peningkatan frekuensi, poliuria 2-6 liters / day (kegagalan dini), atau penurunan frekuensi/oliguria 12-21 hari (fase akhir), disuria, ragu-ragu, dorongan, dan retensi (inflamasi/obstruksi, infeksi), abdomen kembung diare atau konstipasi, riwayat HPB, batu/kalkuli b. Tanda : Perubahan warna urine contoh kuning pekat,merah, coklat, berawan. Oliguri (biasanya 12-21 hari) poliuri (2-6 liter/hari). Sistem Pencernaan (B5) a. Gejala : Peningkatan berat badan (edema) ,penurunan berat badan (dehidrasi), mual , muntah, anoreksia, nyeri uluhati. b. Tanda : Perubahan turgor kulit/kelembaban, edema (umum, bagian bawah). 2. Diagnosa Keperawatan Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien AKI adalah: 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat. 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O. 3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah. www.saktyairlangga.wordpress.com Page 15 4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi melalui alkalosis respiratorik. 5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun. 3. Intervensi 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat Tujuan : Penurunan curah jantung tidak terjadi Kriteria hasil : Mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler Intervensi: a. Auskultasi bunyi jantung dan paru R/ Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur b. Kaji adanya hipertensi R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal) c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10) R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan Tujuan Kriteria tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O : Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output Intervensi: a. Monitor status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan www.saktyairlangga.wordpress.com Page 16 haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital b. Batasi masukan cairan R/ Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan R/ Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan e. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran R/Untuk mengetahui keseimbangan input dan output 3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat Kriteria hasil : Menunjukan BB stabil Intervensi: a. Awasi konsumsi makanan / cairan R/ Mengidentifikasi kekurangan nutrisi b. Perhatikan adanya mual dan muntah R/ Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi c. Berikan makanan TKTP R/ Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan R/ Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial e. Berikan perawatan mulut sering www.saktyairlangga.wordpress.com Page 17 R/ Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan 4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik Tujuan : Pola nafas kembali normal / stabil Intervensi: a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles R/ Menyatakan adanya pengumpulan sekret b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam R/ Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2 c. Atur posisi senyaman mungkin R/ Mencegah terjadinya sesak nafas d. Batasi untuk beraktivitas R/ Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia 5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga Kriteria hasil : - Mempertahankan kulit utuh - Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit Intervensi: a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan R/ Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi. www.saktyairlangga.wordpress.com Page 18 b.Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa R/ Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan c. Inspeksi area tergantung terhadap udem R/ Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek d. Ubah posisi sesering mungkin R/ Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia e. Berikan perawatan kulit R/ Mengurangi pengeringan , robekan kulit f. Pertahankan linen kering R/ Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis R/ Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar R/ Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit Gagal Ginjal Kronik Definisi CKD Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) pada tahun 2009, mendefenisikan gagal ginjal kronis sebagai suatu kerusakan ginjal dimana nilai dari GFR nya kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 selama tiga bulan atau lebih. Dimana yang mendasari etiologi yaitu kerusakan massa www.saktyairlangga.wordpress.com Page 19 ginjal dengan sklerosa yang irreversibel dan hilangnya nephrons ke arah suatu kemunduran nilai dari GFR. Dalam CKD juga terdapat kondisi Acute On CKD (AoCKD). Perbedaan antara acute on CKD dengan AKI ada lima kondisi yaitu : 1. Pada AKI kondisi umum ginjal masih bagus, sedangkan pada AoCKD kondisi ginjal umumnya sudah rusak 2. Pada AKI sebelumnya telah disertai dengan penyakit akut baik pra-renal, renal maupun post-renal, sedangkan pada AoCKD tidak ada. 3. Pada AoCKD selalu diawali dengan penyakit kronis, sedangkan AKI tidak 4. Pada AoCKD ada gejala klinis khas seperti anemia, peningkatan kadar fosfat dalam darah dan tekanan darah tinggi, sedangkan pada AKI tidak ada. 5. AKI sifatnya reversible, sedangkan AoCKD sifatnya irreversible. Klasifikasi Menurut KDOQI, ada 5 tingkatan atau stage dari CKD seperti yang ditunjukkan oleh table 6 dibawah ini : (The Renal Association, 2010) Tabel 6 KDOQI stages of kidney diseases www.saktyairlangga.wordpress.com Page 20 Suffixes: p suffix:tambahan p pada tiap tingkatan (misal 3Ap, 4p) menunjukkan adanya proteinuria T - : tambahan T pada tiap tingkatan (misalnya 3AT) mengindikasikan bahwa pasien telah menjalani transplantasi ginjal. D -: tambahan D pada tingkatan/stage ke 5 (misalnya. 5D) mengindikasikan bahwa pasien sedang menjalani Dialisis. Etiologi Menurut Arora (2012) penyebab Chronic Kidney Disease adalah sebagai berikut : 1. Diabetes Mellitus 2. Hipertensi 3. Penyakit glomerular (primer atau sekunder) 4. Penyakit tunulointerstisial 5. Obstruksi saluran kemih Penyakit pembuluh darah yang dapat menyebabkan Chronic Kidney Disease adalah sebagai berikut : 1. Renal artery stenosis 2. Pola cytoplasmic antineutrophil cytoplasmic antibody ( C-ANCA)- vaskulitis positif dan pola perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody ( C-ANCA)vaskulitis positif 3. Antineutrophil cytoplasmic antibody ( ANCA)- vaskulitis negatif 4. Atheroemboli 5. Hipertensi nefrosklerosis 6. Trombosis vena ginjal www.saktyairlangga.wordpress.com Page 21 7. Acute kidney injury (AKI) yang tidak tertangani Penyakit glomerulus primer yang dapat menyebabkan Chronic Kidney Disease adalah sebagai berikut : 1. Membranous nephropathy 2. Immunoglobulin A (IgA) nephropathy 3. Glomerulosclerosis fokal dan segmental 4. Perubahan penyakit yang minimal 5. Membranoproliferative glomerulonephritis Progresifitas cepat glomerulonefritis sekunder disebakan oleh penyakit glomerulus meliputi : 1. Diabetes Mellitus 2. Sistemik lupus eritematosus 3. Rheumatoid arthritis 4. Penyakit campuran jaringan ikat 5. Scleroderma 6. Sindrom Goodpasture 7. Wegener granulomatosis 8. Postinfectious glomerulonephritis 9. Endocarditis 10. Hepatitis B dan C 11. Sifilis 12. Human immunodeficiency virus (HIV) 13. Infeksi parasit 14. Penggunaan Heroin 15. Emas 16. Penisilamin www.saktyairlangga.wordpress.com Page 22 17. Amiloidosis 18. Light chain deposition disease 19. Neoplasia 20. Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP) 21. Hemolytic-uremic syndrome (HUS) 22. Henoch Schonlein purpura 23. Alport syndrome 24. Refluks nefropati Penyebab penyakit tubulointerstitial meliputi: 1. Obat-obatan (misalnya sulfa, allopurinol) 2. Infeksi (virus, bakteri, parasit) 3. Sjögren syndrome 4. Hipokalemia kronis 5. Hiperkalsemia kronis 6. Sarkoidosis 7. Multiple myeloma cast nephropathy 8. Logam berat 9. Radiasi nefritis 10. Polikistik ginjal 11. Cystinosis Obstruksi saluran kemih dapat disebabkan oleh salah satu dari berikut ini: 1. Urolitiasis 2. Benign prostatic hypertrophy 3. Tumor 4. Retroperitoneal fibrosis 5. Striktur uretra www.saktyairlangga.wordpress.com Page 23 6. Neurogenic bladder Manifestasi Klinik Ada beberapa manifestasi klinik gagal gagal ginjal kronik : ( Schrier, 2003) 1. Gangguan keseimbangan elektrolit : hipernatremia, huiperkalemia 2. Asidosis metabolic (ditemukan jika LFG<25%) 3. Gangguan metabolism karbohidrat dan lemak 4. Anemia normokrom mormositer 5. Hipertensi 6. Gangguan neurologi 7. Osteodistrofi ginjal 8. Gangguan pertumbuhan 9. Gangguan perdarahan Gambar 3. Gejala CKD (Schrier, 20030 Patofisiologi Perjalanan penyakit dari CKD akan digambarkan dalam bagan berikut ini: (Novoa et al, 2010) www.saktyairlangga.wordpress.com Page 24 Gambar 4. Hipertensif nefropathy www.saktyairlangga.wordpress.com Page 25 Gambar 5. Diabetic Nefropathy www.saktyairlangga.wordpress.com Page 26 Gambar 6. Nefropaty kronik akibat Renal Mass Reduction (RMR) www.saktyairlangga.wordpress.com Page 27 Gambar 7. Nefropaty akibat ureteral obstruction www.saktyairlangga.wordpress.com Page 28 Gambar 8. Mekanisme CKD Pemeriksaan Diagnostik a. Laboratorium 1. LED: meninggi, yang diperberat oleh adanya anemia, dan hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosi yang rendah. 2. Ureum dan kreatinin: meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan kreatinin kurang lebih 20:1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang: ureum lebih kecil dari kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun. 3. Hiponatremi: umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya dieresis. 4. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin www.saktyairlangga.wordpress.com Page 29 D3 pada GGK. 5. Phosphat alkaline meninggi akibat gangguan metabolism tulang, terutama isoenzim fosfatase lindi tulang 6. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan gangguan metabolism dan diet rendah protein. 7. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal ginjal (resitensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer). 8. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolism lemak, disebabkan peninggian hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase. 9. Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang menurun, BE menurun, HCO3 menurun, PCO2 menurun, semuanya disebabkan retensi asam-asam organic pada gagal ginjal. b. Pemeriksaan lain 1. Foto polos abdomen: untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa. 2. IVP (Intra Vena pielografi): untuk menilai system pelviokalises dan ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu, misalnya usia lanjut, diabetes mellitus, dan nefropati asam urat. 3. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginajl, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih, dan prostat. 4. Renogram, untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan (vascular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal. 5. EKG, untuk melihat kemungkina hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia). www.saktyairlangga.wordpress.com Page 30 Penatalaksanaan 1. Stage 1 dan 2 Pada CKD stage 1 fungsi ginjal sebenarnya normal tapi terdapat beberapa tanda adanya kelainan pada ginjal. CKD stage 2 ditandai dengan menurunnya sebagian fungsi ginjal, GFR 60-89mls/min/1.73m2 Pengkajian Awal pada CKD stage 1+2: Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi resiko peningkatan kelainan ginjal pada klien, dan untuk mengurangi resiko terkait. Yang perlu dikaji adalah a. Hematuria b. Proteinuria Jika pengkajian pertama menemukan adanya peningkatan kreatinin maka penting bagi kita untuk memastikan kestabilan nilainya. Ulangi test 14 hari berikutnya. Managemen CKD stage 1+2 : Dalam 12 bulan pencapaian yang harus didapat adalah : a. Kreatinin : perubahan signifikan pada eGFR telah ditentukan sebagai shortterm eGFR fall >15% atau [creatinine] meningkat >20%; atau yang terbaru berdasar NICE guideline adnya kehilangan GFR 1y dari 5ml/min, atau kehilangan dalam 5y dari 10ml/min. b. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage) c. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50. d. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga teratur dan gaya hidup. www.saktyairlangga.wordpress.com Page 31 2. Stage 3 Dalam CKD stage 3 ini nilai eGFR 30-60%: eGFR 45-59 (3A) atau 30-44 (3B). Pengkajian awal CKD stage 3 a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi, memeriksa adanya pembesaran kandung kemih b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis obat ketika GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug. c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya kelainan ginjal yang progresif d. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada sistem ginjal Manajemen CKD stage 3 Dalam 6 sampai 12 bulan targetnya adalah : a. Creatinine and K :pertimbangkan turunnya nilai eGFR yang tib-tiba >25% sebagai ARF. NICE menyarankan untuk meminta advis dari specialist ketika GFR turun lebih 1y dari 5ml/min, atau 5y dari 10ml/min. b. Hb – bila di bawah 110 g/l, terapi spesifik perlu dilakukan. Hb turun secara progresif mengindikasikan turunnya GFR. c. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage) d. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50. e. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga teratur dan gaya hidup. f. Immunization - influenza dan pneumococcal g. Medication review – review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan www.saktyairlangga.wordpress.com Page 32 untuk mencegah nephrotoxic drugs 3. Stage 4+5 Tanda CKD stage4 adalah adanya penurunan fungsi ginjal yang parah, 15-30% (eGFR 15-29ml/min/1.73m2). Tanda CKD stage 5 adalah adanya penurunan fungsi ginjal yang sangat parah (endstage atau ESRF/ESRD), <15% (eGFR kurang dari 15 ml/min). Pengkajian awal CKD stage 4 a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi, memeriksa adanya pembesaran kandung kemih b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis obat ketika GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug. c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya kelainan ginjal yang progresif d. Tes darah : Ca, PO4, Hb e. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada sistem ginjal f. Persiapan pelaksanaan TPG atau Terapi Pengganti Ginjal Manajemen CKD stage 4 dan 5 Dalam 3 bulan : a. Kretainin dan K : waspadai hiperkalemia b. Hb : Hb rendah, waspadai penyebab lain selain ginjal c. Ca dan PO4 : obat oral phospat seringkali dibutuhkan d. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi klien dengan tekanan darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage) e. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120- 129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50. f. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga www.saktyairlangga.wordpress.com Page 33 teratur dan gaya hidup. g. Immunization - influenza dan pneumococcal, dan imunisasi Hepatitis B jika transplantasi ginjal akan dilakukan h. Medication review – review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan untuk mencegah nephrotoxic drugs i. Jika klien osteoporosis: jangan menggunakan bisphosphonates karena bisa mengarah ke renal osteodystrophy. j. Tindakan Terapi Pengganti Ginjal (TPG) atau Renal Replacement Theraphy Gambar 9. CKD stages Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Theraphy) Pada penderita Gagal Ginjal Kronis stadium terminal dengan fungsi ginjal yang tersisa di bawah 10-15% maka ginjal tidak dapat memengeluarkan zat-zat sisa metabolisme, mengatur keseimbangan asam-basa, dan fungsi ginjal yang lain sehingga memerlukan penanganan yang disebut Terapi Pengganti Ginjal atau Renal Replacement Therapy (RRT). Berikut adalah macam RRT secara umum (Phillip et al, 2005) Gambar 10. RRT Modalities (Phillip et al, 2005) www.saktyairlangga.wordpress.com Page 34 Terapi Pengganti Ginjal yang secara umum digunakan saat ini ada dua pilihan yaitu Dialisis dan Transpalantasi Ginjal. Dialisis sendiri ada dua metode yaitu Hemodialisis dan Peritoneal Dialisis (Wijaya, 2010). Menurut Philip et al (2005), indikasi dan kontraindikasi dari RRT ini adalah seperti yang ditunjukkan dalam table berikut : Tabel 6. Indikasi dan kontraindikasi RRT (Philip et al, 2005) www.saktyairlangga.wordpress.com Page 35 1. Hemodialisis Hemodialisis merupakan suatu membrane atau selaput semi permiabel. Membran ini dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut membrane yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membrane semi permiabel. Terapi hemodialisa merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisasisa membrane atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, membrane, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membrane semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Brunner & Suddarth, 2001). Kandungan cairan dialisat adalah macam-macam garam/elektrolit/zat antara lain: 1. NaCl/sodium klorida 2. CaCl/kalium klorida 3. MgCl2/magnesium klorida 4. NaC2H3O2 3H2O/acetat atau NaHCO3/bikarbonat 5. KCl/potassium klorida, tidak selalu terdapat pada dialisat. 6. Dextrose www.saktyairlangga.wordpress.com Page 36 Gambar 11. Mekanisme Hemodialisis (Mehta et al, 2003) Gambar 12. Ilustrasi Hemodialisis (Davis, 2005) www.saktyairlangga.wordpress.com Page 37 Gambar 13. Akses pembuluh darah untuk HD (Davis, 2005) Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal terminal atau tahap akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal (Wijayakusuma, 2008). Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan toksin. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala (Brunner & Suddarth, 2001). Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan www.saktyairlangga.wordpress.com Page 38 pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan (Brunner & Suddarth, 2001). Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia dan antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik (Brunner & Suddarth, 2001). Indikasi, Kontraindikasi dan Komplikasi Terapi Hemodialisis Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis adalah laju filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari 5 mL/menit, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah : a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata b. K serum > 6 mEq/L c. Ureum darah > 200 mg/Dl d. pH darah < 7,1 e. Anuria berkepanjangan ( > 5 hari ) f. Fluid overloaded (Shardjono dkk, 2001). Menurut Rayner (2002) indikasi akut hemodialisis adalah : INDIKASI KARAKTERISTIK www.saktyairlangga.wordpress.com Page 39 1. Uremia 1. lemah, asteriksis, kejang, mual & muntah, perikarditis, kesadaran turun K+ > 6,5 mmol/L 2. Hiperkalemia 2. K+ 5,5-6,5 mmol/L + kelainan EKG 3. Kelebihan cairan 3. kelebihan cairan, resisten diuretika ; terutama edema paru 4. Asidosis metabolik 4. pH tetap < 7,2 walau sudah terapi bikarbonat / tidak bisa terapi bikarbonat karena kelebihan cairan Menurut Rayner (2002) kontaindikasi dari hemodialisis adalah : Absolut • Relatif Tidak ada akses vaskuler (pembuluh • Akses vaskuler sulit darah tidak dapat diakses) • Fobia jarum • Gagal jantung • Kelainan pembekuan darah Menurut Al-hilali (2009), walaupun hemodialisa sangat penting untuk menggantikan www.saktyairlangga.wordpress.com Page 40 fungsi ginjal yang rusak tetapi hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum berupa hipertensi (20-30% dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan muntah (515% dari dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-5% dialisis), sakit tulang belakang(2-5% dialysis), 5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari dialisis) dan demam pada anakanak (<1% dari dialisis). Sedangkan komplikasi serius yang paling sering terjadi adalah sindrom disequilibrium, arrhythmia, tamponade jantung, perdarahan intrakaranial, hemolisis dan emboli paru. 2. Peritoneal Dialisis Peritoneal Dialisis merupakan dialisis yang berlangsung di dalam rongga perut. Cairan dialisis (dialisat) dimasukkan ke dalam rongga perut melalui kateter two way (disebut Tenckhoff Catheter) yang lembut dan didiamkan dalam beberapa waktu(disebut dwell time). Darah dengan cairan dialisis dibatasi oleh membran peritonium yang berfungsi sebagai media pertukaran zat. Ketika cairan dialisis (dialisat) berada di rongga peritonium maka terjadi pertukaran zat. Zat yang masih berguna akan terserap kembali dalam darah sedangkan zat yang tidak berguna dan kelebihan air akan terserap ke dalam cairan dialisis melalui proses ultrafiltrasi (Wijaya 2010). www.saktyairlangga.wordpress.com Page 41 Gambar 14. Ilustrasi Peritoneal dialysis (Davis, 2005) Menurut Wijaya (2010) Peritonal Dialisis dilakukan setiap hari dan cairan dialisis harus senantiasa berada di rongga perut agar terjadi pembersihan darah scara adekuat. Metode Peritoneal Dialisis: 1. Continous Ambulatory Peritoneal Dialisys (CAPD). CAPD dilakukan sementara pasien aktif melakukan aktivitas sehari-hari, dilakukan 3-6 kali perhari dengan jumlah cairan dialisis sebanyak 2 liter tiap satu putaran. Cairan dialisis berada dalam rongga peritoneium selama 4-6 jam. 2. Continous Cyclic Peritonel Dialisys (CCPD). CCPD dilakuakn dengan memakai bantuan mesin ketika pasien sedang tidur. Mesin secara otomatis akan melakukan penukaran cairan dialisis sebanyak 4-8 kali pada malam hari selama 8-12 jam ketika pasien tidur. Komplikasi Peritonal Dialisis: 1. Peritonitis 2. Peningkatan kadar glukosa 3. Kekurangan vitamin dan mineral Keuntungan Peritonal Dialisis : 1. Pasien diajar mandiri dalam dialisis sehingga lebih percaya diri. 2. Waktu lebih bebas, dapat dilakukan dirumah atau di tempat kerja. 3. Tidak terjadi lonjakan penurunan tekanan darah yang drastis separti pada hemodialisis sehingga lebih cocok bagi pasien dengan gangguan fungsi jantung. 4. Tahan lama asalkan dilakukan dengan benar sesuai petunjuk serta dilakukan secra higienis Kontraindikasi Peritonal Dialisis (Rayner, 2002) www.saktyairlangga.wordpress.com Page 42 Absolut • Hilangnya fungsi peritoneal sehingga Relatif • Adanya graft aorta di abdomen yang baru klirens tidak memadai • Ada perlekatan • Shunt ventriculoperitoneal • Adanya hernia yang tidak dapat • Tidak tahan terhadap adanya cairan di abdomen dioperasi • Adanya stoma di dinding abdomen • Massa otot yang besar • Kebocoran cairan lewat diafragma • Obesitas morbid • Pasien tidak dapat melakukan • Malnutrisi berat penggantian cairan sendiri. • Infeksi kulit • Penyakit usus 3. Transplantasi Ginjal Menurut The Indonesian Diatrans Kidney Foundation (2010) Transplantasi ginjal adalah suatu metode terapi dengan cara operasi dimana seseorang yang mengalami gagal ginjal menerima ginjal yang sehat dari pendonor yang masih hidup atau yang telah meninggal, untuk menganbil alih fungsi ginjalnya yang sudah tidak berfungsi lagi. Kedua ginjal yag lama tidak dibuang dan tetap pada tempat yang semula, kecuali kedua ginjalnya mengalami infeksi atau tekanan darah tinggi. Ada dua jenis transplantasi ginjal: orang-orang yang berasal dari donor hidup dan orang-orang yang berasal dari berhubungan donor yang telah meninggal (non-living donor atau cadaver). Pemeriksaan untuk memastikan kecocokan ginjal 1. Tes kecocokan golongan darah (blood Type Matching). Tes ini untuk melihat apakah golongan darah pasien dan pendonor sejenis. 2. Tes kecocokan jaringan (Tissue Matching). Tes ini untuk melihat kesamaan dari protein yang dinamakan HLA (Human Leucocyte Antigen yang ada dalam darah dan www.saktyairlangga.wordpress.com Page 43 jaringan antara donor dan penerima donor. (recipient) Kecocokan 100 persen antara donor dan recipent sulit untuk dicapai kecuali kembar. Untuk itu dicari kompabilitas yang setinggi mungkin. Donor dan recipient dikatakan memiliki compatibilitas yang terbaik apabila terdapat kesamaan pada 6 set antigen, diikuti selanjutnya dengan 5 set antigen, 4 set antigen dan seterusnya. Namun saat ini dengan perkembangan obat – obatan obat anti-rejeksi atau imunosupresan memungkinkan dilakukannya transplantasi meskipun tidak terdapat kecocokan jaringan (zero antigen match). Atas dasar tersebut kecocokan jaringan dapat dianggap sebagai keuntungan (benefit) namun bukan sebagai prasyarat untuk kesuksesan transplantantasi ginjal. 3. Uji Cocok Silang (Crossmatching). Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi adanya antibodi dalam tubuh recipient yang dapat merusak HLA. Hasil tes positif menunjukkan adanya antibodi didalam darah recipient sehingga sebuah operasi transplantasi ginjal tidak mungkin untuk dilakukan. Sebaliknya hasil tes negatif menunjukkan tidak adanya respon negatif dari tubuh recipient sehingga operasi dapat dilakukan. Terjadinya penolakan tubuh terhadap ginjal yang baru mungkin saja terjadi. Sistem pertahanan tubuh mungkin saja mengenali jaringan di ginjal yang baru sebagai benda asing yang masuk di dalam tubuh serta melakukan reaksi yang negatif terhadap ginjal yang baru. Untuk mencegah terjadinya reaksi penolakan ini, pasien perlu mengonsumsi obat-obatan diantaranya obat anti-rejeksi atau imunosupresan segera sesudah menjalani transplantasi ginjal. Obat-obat imunosupresan bekerja dengan jalan menekan sistem imun tubuh sehingga mengurangi risiko terjadinya reaksi penolakan tubuh terhadap ginjal cangkokan. Berkurangnya sistem imun dalam tubuh akibat obat immunosupresan akan menyebabkan tubuh lebih rentan terhdapa infeksi. Untuk itu pasien akan diberikan juga obat – obat antibactierial, antiviral dan antifungal. www.saktyairlangga.wordpress.com Page 44 Tindakan yang diperlukan pascatransplantasi ginjal Selain mengkonsumsi obat –obatan yang diberikan oleh dokter seumur hidupnya, pasien juga diharuskan secara berkala memeriksakan ginjalnya. Diet tinggi protein bagi pasien pasca transplantasi juga perlu dijalani. Pasien yang sebelumnya menjalani dialisis akan merasakan bahwa diet pasca transplant tidak akan seketat seperti saat dialisis. Semua terapi ada kelemahan dan kelebihan masing-masing. Berikut perbandingan antara HD, RRT dan PD menurut Mehta et al (2005): Gambar 15. Perbandingan antara CRRT, IHD dan PD (Mehta et al, 2003) www.saktyairlangga.wordpress.com Page 45 ASUHAN KEPERAWATAN Teori Keperawatan CKD Fokus Pengkajian (Efendy, 2008) 1. Sistem Pernafasan (B1) Gejala : nafas pendek Tanda : Takipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, kusmaul, nafas amonia, batuk produktif dengan sputum kental merah muda( edema paru ). 2. Sistem Kardiovaskuler (B2) Tanda : hipotensi/hipertensi (termasuk hipertensi maligna,eklampsia, hipertensi akibat kehamilan), disritmia jantung, nadi lemah/halus, hipotensi ortostatik(hipovalemia), DVI, nadi kuat, hipervolemia, edema jaringan umum (termasuk area periorbital mata kaki sakrum), pucat, kecenderungan perdarahan. 3. Sistem Persyarafan (B3) Gejala : Sakit kepala penglihatan kabur. Kram otot/kejang, sindrom “kaki Gelisah”. Tanda : Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidak seimbangan elektrolit/ asama basa, kejang, faskikulasi otot, aktifitas kejang. 4. Sistem Perkemihan (B4) Gejala : Perubahan pola berkemih, peningkatan frekuensi, poliuria (kegagalan dini), atau penurunan frekuensi/oliguria (fase akhir), disuria, ragu-ragu, dorongan, dan retensi (inflamasi/obstruksi, infeksi), abdomen kembung diare atau konstipasi, riwayat HPB, batu/kalkuli www.saktyairlangga.wordpress.com Page 46 Tanda : Perubahan warna urine contoh kuning pekat,merah, coklat, berawan. Oliguri (biasanya 12-21 hari) poliuri (2-6 liter/hari). 5. Sistem Pencernaan (B5) Gejala : Peningkatan berat badan (edema) ,penurunan berat badan (dehidrasi), mual , muntah, anoreksia, nyeri uluhati. Tanda : Perubahan turgor kulit/kelembaban, edema (umum, bagian bawah). Diagnosa Keperawatan Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien CKD adalah: 1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urin, diet berlebihan dan retensi cairan dan natrium 2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membran mukosa mulut 3. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisis 4. PK Anemia Asuhan Keperawatan 1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urin, diet berlebihan dan retensi cairan dan natrium Tujuan : Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan Kriteria Hasil : dalam waktu 3x24 jam pasien akan : a. Menunjukkan perubahan berat badan b. Mempertahankan pembatasan diet dan cairan c. Menunjukkan turgor kulit normal tanpa edema Intervensi : 1. Batasi masukan cairan www.saktyairlangga.wordpress.com Page 47 2. Identifikasi sumber potensial cairan : a. Medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan : oral, intravena b. Makanan 3. Monitor status cairan a. Timbang berat badan harian b. Keseimbangan masukan dan haluaran c. Turgor kulit dan adanya edema d. Distensi vena leher e. Tekanan darah, denyut dan irama nadi 4. Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan Rasional : 1. Mempertahankan pembatasan diet dan cairan 2. Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi 3. Pengkajian merupakan dasar dan data dasar berkelanjutan untuk memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi 4. Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan 2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membran mukosa mulut Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat Kriteria Hasil : a. Pasien melaporkan peningkatan nafsu makan b. Pasien menunjukkan turgor kulit yang normal Intervensi : 1. Monitor status nutrisi 2. Tambahkan diet TKTP 3. Tingkatkan masukan protein 4. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan www.saktyairlangga.wordpress.com Page 48 Rasional : 1. Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi 2. Pola diet dapat dipertimbangkan dalam menyusun menu 3. Protein diberikan untuk mencapai keseimbangan nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan penyembuhan 4. Meminimalkan faktor tidak menyenangkan dan menimbulkan anoreksia 3. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisis Tujuan : Pasien berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi Kriteria Hasil : Dalam 3x24 jam pasien akan a. Melaporkan peningkatan rasa sejahtera b. Berpartisipasi dalam meningkatkan tingkat aktivitas dan latihan c. Melakukan istirahat dan aktivitas secara bergantian d. Berpartisipasi dalam aktivitas perawatan mandiri yang dipilih Intervensi : 1. Cegah faktor yang menimbulkan keletihan 2. Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat ditoleransi 3. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat 4. anjurkan untuk istirahat setelah melakukan dialisis Rasional : 1. Menyediakan informasi tentang indikasi tingkat keletihan 2. Meningkatkan aktivitas ringan/sedang dan memperbaiki harga diri 3. Mendorong latihan dan aktivitas dalam batas-batas yang dapat ditoleransi dan istirahat yang adekuat 4. Istirahat yang adekuat dianjurkan setelah dialisis yang bagi banyak pasien sangat melelahkan www.saktyairlangga.wordpress.com Page 49 4. PK Anemia Tujuan : Pasien tidak menunjukkan gejala anemia Kriteria Hasil : Dalam 3x24 jam pasien menunjukkan : a. Warna kulit pasien normal b. Nilai hematologi dalam batas yang diterima c. Tidak mengalami perdarahan Intervensi : 1. Instruksikan pasien bagaimana untuk mencegah perdarahan (menghindari olahraga yang berat dan anjurkan pemakaian sikat gigi yang lembut) 2. Berikan terapi komponen darah sesuai indikasi 3. Berikan medikasi sesuai resep mencakup suplemen besi, asam folat, Epogen maupun multivitamin 4. Hindari pengambilan spesimen darah yang tidak perlu 5. Pantau hitung sel darah merah dan kadar hematokrit sesuai indikasi Rasional : 1. Perdarahan dapat memperburuk anemia 2. Terapi komponen darah mungkin diperlukan 3. Sel darah merah membutuhkan zat besi, asam folat dan vitamin untuk produksinya.Epogen menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah 4. Anemia dicetuskan oleh pengambilan sejumlah spesimen 5. Untuk mengetahui tingkat keparahan dan untuk memantau perkembangan anemia setelah dilakukan intervensi Kasus Ny. A usia 65 tahun mengeluh sulit berkemih dan sakit pinggang sebelah kanan, disertai lemah, mual, sakit kepala, nafsu makan akhir-akhir ini berkurang, dan penurunan berat badan yang cukup drastis. Ny. A menceritakan bahwa ia pernah menderita urolithiasis atau batu www.saktyairlangga.wordpress.com Page 50 ginjal sekitar 1 tahun yang lalu. Ny. A mengeluhkan edema di sekitar mata, ekstremitas pucat dan edema, Ny. A mengatakan tangan dan kakinya terasa dingin, sehingga terasa sangat lemah untuk digerakkan. Nafasnya pun pendek dan cepat, sekitar 28 x/menit. Ny. A mengeluhkan kencingnya sedikit sekali, diperkirakan produksi urin tidak sampai 300ml dan terjadi lebih dari 1 bulan, urin berwarna coklat seperti teh. TD 130/ 90 mmHg. Nadi 110 x/ menit, suhu Badan 36,2 C. Ny.A telah memeriksakan diri ke RSP Unair, dengan hasil ureum urin meningkat, BUN dan kreatinin meningkat, serta dokter mendiagnosa Ny. A mengalami kegagalan ginjal akut. Pengkajian Anamnesa, meliputi : 1. Identitas pasien Nama : Ny. A Umur : 65 tahun Berat badan : 45 kg Tinggi badan : 160 cm Alamat : Surabaya Pekerjaan : Ibu rumah tangga 2. Riwayat sakit dan kesehatan 2.1 Keluhan utama Klien mengeluh sulit berkemih dan sakit pinggang sebelah kanan. 2.2 Riwayat penyakit sekarang Ny. A mengatakan sulit berkemih, sakit pinggang sebelah kanan, lemah, mual, sakit kepala, nafsu .makan akhir-akhir ini berkurang, dan penurunan berat badan yang cukup drastis www.saktyairlangga.wordpress.com Page 51 2.3 Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi dan nyeri dada. Serta pernah memiliki riwayat urolithiasis. 2.4 Riwayat keluarga Adanya riwayat hipertensi. 2.4 Riwayat psikososial Klien merasa stress, tak ada kekuatan, ansietas dan takut. 3. Pemeriksaan fisik Review Of System (ROS) a. B1(BREATH) Napas pendek, dispnea, RR : 28x/menit. Pada pemeriksaan perkusi : redup b. B2(BLOOD) Nadi lemah dan cepat, hipotensi ortostatik yang menunjukkan hipovolemia, pucat, TD : 130/90, nadi : 110x/menit, Hb : 5 g/dl, CRT: 4 detik. c. B3(BRAIN) Stress, ansietas, takut, penurunan kesadaran, bicara agak melantur. d. B4(BLADDER) Oliguria (produksi urine 300cc/24 jam), adanya rasa nyeri saat buang air kecil dan kandung kemih yang menegang. e. B5(BOWEL) Antropomeri : BB = 45kg, TB = 160 cm Biochemical : Hb= 5 g/dl, creatin = 65 µmol/l, albumin = 60 g/dl Clinis : Pucat, nafsu makan menurun, mual dan muntah, pucat, turgor jelek dan edema Diet : Makan 2x sehari, porsi makan tidak pernah habis. f. B6(BONE) www.saktyairlangga.wordpress.com Page 52 Klien mengalami kelemahan serta edema ekstremitas 4. Pemeriksaan diagnostik a. Urin Warna : secara abnormal warna urin kotor, kecoklatan seperti teh menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin. Volume urin: kurang dari 300 ml/ 24 jam Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat Osmolatas : kurang dari 350 m0sm/ kg menunjukkan kerusakan ginjal tubular dan resiko urin / serum sering 1:1 Protein: derajat tinggi proteinuria (3-41) secara kuat menunjukkan kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada Klirens kreatinin: agak menurun Natrium : lebih besar dari 40 mEg / l karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium b. Darah HT: menurun karena adanya anemia. Hb 5 gr/ dl BUN/ kreatinin : 65 µmol/l GDA: asidosis metabolic, pH 6 Albumin = 60 g/dl Natrium serum: 125 mEq/L Kalium : 6,0 mEq/L c. Osmolalitas Serum 350 mOsm/ kg d. Pelogram Letrograd Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter www.saktyairlangga.wordpress.com Page 53 e. Ultrasonografi ginjal Ginjal berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm dan tidak ada masa kista obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas f. Endoskopi ginjal, nefroskopi Tidak terdapat pulvis ginjal, keluar batu dan pengangkutan tumor selektif g. EKG Tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi Analisa Data Data DS: DO:- TD 130/90 mmHg - Nadi perifer teraba dan cepat Etiologi Masalah Sindrom uremik Penurunan curah jantung ↓ tidak Asidosis metabolic ↓ Hipertensi sitemik ↓ Beban kerja jantung ↑ ↓ Curah jantung ↓ www.saktyairlangga.wordpress.com Page 54 Aliran darah ginjal ↓ Gangguan keseimbangan DO: Natrium 125 mEq/ L ↓ cairan dan elektrolit (normal= 135-145 mEq/ L Destruksi struktur ginjal DS:- (mmol/L)) - ↓ Kalium 6,0 mEq/ L (normal 3,5 – 5 ↓ Penyerapan elektrolit di mEq/L) - GFR ↓ Ureum: 202,32 mg/dl tubulus terganggu (normal: 20-40 mg/dl) ↓ Penumpukan toksik uremia, hiponatremia, dan hiperkalemia DS: - klien mengatakan mual, tidak nafsu makan Sindrom uremik Perubahan nutrisi kurang dari ↓ kebutuhan tubuh DO: - porsi makan sedikit dan Ureum pada saluran cerna tidak pernah habis, hanya 3 ↓ sendok makan. - Mata cowong Peradangan mukosa saluran cerna ↓ Stomatitis, ulkus lambung Mual, muntah ↓ anoreksia www.saktyairlangga.wordpress.com Page 55 DS: - klien mengeluh nafas Sindrom uremik Gangguan pola nafas tidak terasa seperti sesak ↓ efektif DO:- RR 28 x/menit Asidosis metabolic ↓ Hb↓ ↓ Distribusi O2 ↓ ↓ Sesak DS: RAAS ↑ DO:- nadi tidak teraba Gangguan perfusi jaringan ↓ - CRT >2 detik= 4 detik - Ekstremitas pucat, basah, dan dingin Pelepasan Angiotensin II ↓ Vasokonstriksi pembuluh darah ↓ nadi cepat-lemah , pucat, akral dingin, basah www.saktyairlangga.wordpress.com Page 56 DS:- klien mengatakan lemah Sindroma uremik DO:- klien berbaring ditempat ↓ tidur - Intoleransi aktivitas Ureum pada jaringan otot Kebutuhan klien sebagian besar dibantu oleh keluarga. ↓ Oksigenasi otot ↓ ↓ Restless leg sindrom ↓ Letargi (kelemahan) Diagnosa Keperawatan 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat. 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O. 3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah. 4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi melalui alkalosis respiratorik. 5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun. 6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan. Intervensi 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat Tujuan: Penurunan curah jantung tidak terjadi www.saktyairlangga.wordpress.com Page 57 Kriteria hasil : Mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler Intervensi: a. Auskultasi bunyi jantung dan paru Rasional: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur. b. Kaji adanya hipertensi Rasional: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal) c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10) Rasional: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas Rasional: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O) Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan Kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output Intervensi: a. Batasi masukan cairan Rasional: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi b. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan Rasional: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan www.saktyairlangga.wordpress.com Page 58 c. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran Rasional: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output 3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat. Kriteria hasil: menunjukan BB stabil Intervensi: a. Awasi konsumsi makanan / cairan Rasional: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi b. Perhatikan adanya mual dan muntah Rasional: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi c. Berikan makanan sedikit tapi sering Rasional: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan Rasional: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek social e. Berikan perawatan mulut sering Rasional: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan 4. Perubahan pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik Tujuan : Pola nafas kembali normal / stabil Kriteria hasil : RR dalam rentang normal: 16-20 x/menit Intervensi www.saktyairlangga.wordpress.com Page 59 a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles Rasional: Menyatakan adanya pengumpulan secret b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam Rasional: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2 c. Atur posisi senyaman mungkin Rasional: Mencegah terjadinya sesak nafas d. Batasi untuk beraktivitas Rasional: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia 5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga setelah dilakukan perawatan 2X24 jam Criteria hasil : - Mempertahankan kulit utuh - Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit Intervensi: a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan Rasional: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi. b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa Rasional: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan c. Inspeksi area tergantung terhadap edema Rasional: Jaringan edema lebih cenderung rusak d. Ubah posisi sesering mungkin Rasional: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk www.saktyairlangga.wordpress.com Page 60 untuk menurunkan iskemia e. Berikan perawatan kulit Rasional: Mengurangi pengeringan , robekan kulit f. Pertahankan linen kering R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis Rasional: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar Rasional: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit 6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan Tujuan : Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi setelah perawatan 2x 24 jam Kriteria hasil : a. Klien kooperatif b. Klien dapat miring ke kanan dan ke kiri c. Klien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti makan dan minum Intervensi : a) Pantau pasien untuk melakukan aktivitas b) Kaji faktor yang menyebabkan keletihan c) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat d) Pertahankan status nutrisi yang adekuat www.saktyairlangga.wordpress.com Page 61 PENUTUP 4.1 Kesimpulan AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48 jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 mol/L) atau meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam (Molitoris et al, 2007). Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan (Eric Scott, 2008). Penyakit ginjal kronik adalah suatu keadaan yang ditandai dengan adanya kerusakan ginjal yang terjadi lebih daeri 3 bulan berupa kelainan structural atau fungsional dengna penurunan laju filtrasi glomerulus dengan etiologi yang bermacam-macam, disertai kelainan komposisi darah atau urin dan kelainan dalam tes pencitraan. Secara laboratorik dinyatakan penyakit ginjal kronik apabila pemeriksaan klirens kreatinin <15mg/dl (NKF-DOQI, 1997) www.saktyairlangga.wordpress.com Page 62 DAFTAR PUSTAKA Arora, Pradeep. 2012. Chronic Kidney Disease. Diakses dari http:// emedicine.medscape.com/ article/238798 pada tanggal 2 Juni 2012 American Journal of Kidney Disease. 2006. Hemodialysis Guidelines. Diakses dari http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/pdf/12-50-0210_JAG_DCP_Guidelines HD_Oct06_SectionA_ofC.pdf pada tanggal 12 Mei 2012 Astiawanti, Prima. 2008. Perbedaan Pola Gangguan Hemostasis Antara Penyakit Ginjal Kronik Prehemodialisis Dengan Diabetes Mellitus dan Non Diabetes Mellitus. Diakses dari http://www.pernefri.org/1-kamus-ginjal.php pada tanggal 12 Mei 2012. Bonventre, Joseph, MD, PhD. Pathophysiology of Cy. Nephrology rounds (2007), Volume 6 Issue 7. Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrison’s principle of internal medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53. Efendy F.2008. Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Akut. Diakses dari http://indonesiannursing.com/2008/07/asuhan-keperawatan-gagal-ginjal-akut/ pada tanggal 14 Mei 2012 jam 18.27 Effendi, Ferri. 2008. Asuhan Keperawatan Acute kidney http://indonesiannursing.com/2008/07/asuhan-keperawatan-gagal-ginjal-akut/. injury. Diakses tanggal 1 Mei 2012 Hadi, Sjahfiri. 1996. Penatalaksaan Acute kidney injury. Dexa Media, No. 4, Vol.9, Oktober-Desember 1996. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/94962734.pdf. Diakses tanggal 1 Mei 2012 Hudak dan Gallo.1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC www.saktyairlangga.wordpress.com Page 63 J. M Lopez Novoa et al. Common Pathophysioogical Mechanism Of Chronic Kidney Disease : Therapeutic Perspectives. Pharmacology & therapeutic 128 (2010) 61-81 Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification: time for change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87. Mohani CI. Diuretika pada kasus dengan oligouria. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.9-10. Molitoris BA, Levin A, Warnock DG, et al; Acute Kidney Injury Network. Improving outcomes from acute kidney injury. J Am Soc Nephrol. 2007;18(7): 1992-1994. National Kidney Foundation. 2010. About CKD Guide. Diakses dari http://www.kidney.org/atoz/atozcopy.cfm?pdflink=AboutCKDGuidePatFam.pdf pada tanggal 12 Mei 2012. National Kidney Foundation. NKF-DOQI clinical practice guidelines for dyalisis adequaly. Am J Kidney Dis. 1997:567-5136. Noer, Muhammad Sjaifullah, Ninik Soemyarso. 2012. Acute kidney injury . http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pd f=&html=07110-jlqk257.htm diakses 1 Mei 2012 jam 8.00 Philip O’Reilly, MD, Ashita Tolwani, MD. Renal Replacement Therapy III:IHD, CRRT, SLED. Crit Care Clin 21 (2005) 367– 378 Roesli R. Kriteria “RIFLE” cara yang mudah dan terpercaya untuk menegakkan diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi. 2007;7(1):18-24. Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure: definitions, diagnosis, pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest.2004;114:5-14. Schrier RW. Renal and Electrolyte Disorders. 6th edition. Lippincolt Williams and Willkins;2003 Scott, Eric. 2008. Identifying Acute Kidney Injury In High Risk Patients. AGE Health www.saktyairlangga.wordpress.com Page 64 MR Publication : Scotland Sinto, Robert, Ginova Nainggolan. 2010. Acute Kidney Injury :Pendekatan Klinis dan Tata Laksana. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 6p Nomor : 2 Pebruari 2010 Sja’bani M. Penggunaan manitol: dampaknya pada ginjal. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.21-22. Sutarjo B. Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.53-9. The Indonesian Diatrans Kidney Foundation (2010). Transpalntasi. Diakses dari http://www.ygdi.org/_kidneydiseases.php?view=_transplantasi_detail&id=3 Wijaya, Ari M., (2010). Terapi Pengganti Ginjal atau Renal Replacement Terapy. Diakses dari http://www.infodokterku.com diakses pada tanggal15 Mei 2012 Workeneh, Biruh T. (2012). Acute Renal Failure. Diakses dari http://www./emedicine.medscape.com/article/243492 pada tanggal 3 Juni 2012 www.saktyairlangga.wordpress.com Page 65 Lampiran WOC GGK Faktor yang dapat berubah: Faktor yang tidak dapat di ubah: - - Genetic Usia > 60 th Gangguan metabolic Hipertensi Gangguan pembuluh darah ginjal Gangguan imunologis Infeksi Gangguan tubulus primer Obstruksi traktus urinarius Kelainan konginetal Penurunan aliran darah di ginjal GFR Fungsi nefron banyak yang hilang Gagal ginjal akut Gangguan pada fungsi ginjal Ekskresi Regulasi cairan elektrolit Retensi cairan dan elekttrolit fungsi ekskresi ureum dan nitrogen non protein Kelebihan volume cairan Uremia Pada uretral Beban kerja jantung Pada kulit Pruritus MK: gangguan proses pikir MK: kelebihan volume MK: gangguan intregitas kulit CO Perfusi jaringan MK: penurunan perfusi jaringan www.saktyairlangga.wordpress.com Page 66 Keseimbangan asam basa Retensi substansi Kegagalan/penuruna n reabsorbsi HCO3& sekresi H+ pada tubulus ginjal Glukosa Kegagalan/ reabso rbsi glukosa Asidosis metabolic Glukosaria MK: gangguan keseimbangan asam basa Perfusi jaringan Iritasi lambung PK anemia Proteinuria Kelebihan volume cairan Produksi asam Hematomesis melena Kegagalan/ reabsorbsi protein Fosfat Retensi fosfat oleh ginjal konsentrasi fosfat serum Edema uremia Perdarahan Protein pengikatan fosfat dengan kalium dalam plasma konsentrasi Ca+ Merangsang hormone paratiroid Nausea, vormit Hiperparatiroidisme Risiko gangguan nutrisi inadekuat Pelepasan Ca dalam tulang Kadar glukosa Demineralisasi tulang energy untuk otak Tulang rawan cedera Pusing Risiko cedera Risiko cedera www.saktyairlangga.wordpress.com Page 67 Hormonal Eritroprotein Rennin sekresi ertroprotein Jaringan ginjal iskemik Pembentukan RBC tergganggu Sekresi rennin Pembentukan angiotensi II Kadar NL Hipertansi PK anemia Oksihemoglobin Suplai O2 Suplai O2 di otak Gangguan perfusi jaringan Intoleransi aktivitas Gangguan proses pikir www.saktyairlangga.wordpress.com Page 68 Lampiran WOC AKI AKI Prarenal AKI Pasca renal AKI Renal ) Perubahan rasio retensi vascular ginjal sistemik Penyakit mikrovaskuler ginjal Obstruksi renovaskuler hipovolemia Penurunan transport O2 Obstruksi leher vesika urinaria Nefritis interstisial Pe↓nan curah jantung hipoperfusi ginjal Obstruksi ureter Obstruksi uretra MK: Gangguan perfusi jaringan Obstruksi dan deposisi intratubular Rejeksi alograf ginjal Iskemia atau nefrotoksin AKI MK: 69 -Kurang Pengetahuan -Ansietas Mikrovaskuler Tubular Kerusakan/ hilangnya polaritas Peningkatan endhotelial RAAS ↑ Adhesi leukosit endhotel meningkat Retensi Na + H2O Angiotensin II Vasokonstriksi pembuluh darah Aktivasi system koagulasi MK: Resiko Hipertermia MK: Kelebihan volume cairan Apoptosis nekrosis Obstruksi intratubuler Edema, CRT ↑, RR>, nadi cepat-lemah , pucat, akral dingin, basah Obstruksi pembuluh inflamasi Edema Dilatasi pelviokalises MK: Gangguan perfusi jaringan Kebocoran filtrat pe↓nan daya reabsorbsi tubular MK: Nyeri Akut 70 Oliguri Retensi cairan interstisial ↑ dan pH ↓ Fase diuresis ginjal Ekskresi kalium menurun MK: Gangguan pola eliminasi urin Peningkatan metabolit pada jaringan otot Peningkatan metabolit pada gastrointestinal Urin hipotonis Edema paru, asidosis metabolik MK: Gangguan pola nafas tidak efektif Pengeluaran cairan tubuh berlebih dehidrasi MK: Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit Hiperkalemi MK: Defisit volume cairan Kelelahan, kram otot ↑ MK: Intoleransi aktivitas Peningkatan ureum dalam saluran cerna Peradangan mukosa saluran cerna Ulkus lambung MK: Resiko Tinggi Kejang, Resti Aritmia Perubahan konduksi elektrikal jantung Mual, muntah Anoreksia MK: Penurunan Curah Jantung 71 MK: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Penatalaksanaan Terapi nutrisi Terapi farmakologi Furosemid Manitol Dosis >250mg/kgBB/4jam Dosis max 1gr/hari Dopamin Dosis rendah (o,5-3 μg/kgBB/menit) Dosis semakin meningkat pe↑an dosis lebih lanjut nefrotoksik toksisitas Me↓kan aliran darah Mual, muntah Iskemia jaringan MK: -Nutrisi Kurang dari kebutuhan Iskemia miokard, tachiaritmia MK: penurunan curah jantung vasokonstriksi MK: gangguan perfusi jaringan nekrosis -Defisit volume cairan oliguri MK: ggn eliminasi urin 72 KOMPLIKASI AKI Kelebihan cairan intravaskulair hiponatremia hiperkalemia Edema MK: Kelebihan volume cairan MK: -Gangguan keseimbangan elektrolit -Penurunan curah jantung -Resiko Aritmia Asidosis metabolik hiperphosphate mia RR ↑ Sirkulasi darah buruk hipokalsemia Merangsang hormone paratiroid Sesak MK: Gangguan pola nafas hiperurisemia Asam urat tinggi Nyeri persendian MK: Gangguan perfusi jaringan Pengambilan kalsium tulang MK: -Nyeri Akut -Intoleransi Aktivitas MK: -Nyeri akut -Resiko cedera 73 74