Academia.eduAcademia.edu

DINASTI ABBASIYAH

2017

According to the text, it is telling the history of Abbasiyah Dynasti.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pada tahun 661 M bani Umayyah berdiri dengan membentuk tradisi dan sistem pemerintahan Islam yang baru. Pemilihan khalifah tidak lagi menggunakan sistem pemilihan secara demokratis yang telah dikembangkan pada masa kekhalifahan Khulafaurasyidin. Abu Su’ud, Islamologi: Sejarah, Ajaran dan Peranannyadalam Peradaban Umat Manusia (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), 66. Pemilihan khalifah dilakukan secara turun-temurun yang dikenal dengan daulah Islamiyah atau disebut juga dengan monarchiheridetis (kerajaan turun-menurun). Sistem pemerintahan yang demokratis dilakukan secara paksa ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk setia kepada anaknya, Yazid. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 42. Dalam proses pemerintahan bani Umayyah, perebutan kekuasaan oleh Muawiyah terhadap khalifah Ali sangatlah kuat. Kecurigaan yang kerap muncul terhadap intrik istana yang kemungkinan terjadinya perlawanan terhadap khalifah dimasa itu. Muawiyyah menerapkan sistem pemerintahan Persia di Byzantium yaitu monarchi. Istilah khalifah tetap digunakan oleh Muawiyah, namun dia menintrepretasi kekhalifahan tersebut dengan sebutan “khalifah Allah” yang artinya penguasa yang diangkat oleh Allah. Seiring berjalannya waktu, dinasti Umayyah kian meredup. Kejayaan dari sisi politik dan terseret arus duniawi menagantarkan dinasti Umayyah ke akhir masa kejayaannya. Berbagai faktor yang muncul dalam kemunduran kekhalifahan Umayyah karena adanya ketidakpuasan yang dirasakan kekhalifahan ini, sehingga beberapa daerah menyatakan berpisah diri dan bersikap oposisi. Salah satu gerakan yang bersikap oposisi adalah Abdullah bin Abbas. Dengan adanya gerakan yang dilakukan oleh Abbas, ia bertujuan untuk memngembalikan posisi kekhalifan Ali dengan menarik semua dukungan kaum Syi’ah untuk melakukan perlawanan terhadap kekhalifahan Umayyah. Setelah jatuhnya kekhalifahan Umayyah, Abbas berusaha mencari titik terang kembali dengan memberikan toleransi kepada kegiatan keluarga Syi’ah yang didahului oleh saudara-saudara bani Abbas. Su’ud, Islamologi, 71-72. Rumusan Masalah Bagaimana sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah? Siapa tokoh yang mempengaruhi dinasti Abbasiyah? Bagaimana masa kejayaan dinasti Abbasiyah? Apa faktor yang menyebabkan dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran? BAB II PEMBAHASAN Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah Setelah jatuhnya dinasti Umayyah, perjalanan kebudayaan Islam dimulai kembali dengan berdirinya dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah lahir dari keturunan al-Abbas, yaitu Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas. Kepemimpinan ini bermula dengan adanya pendapat bahwa bani Hasyim dan keturunannya cakap menjadi penerus kekhalifahan untuk memimpin umat setalah Rasulullah saw wafat. Namun pendapat ini ditentang bahwa kekhalifahan adalah milik kaum muslim dan mereka yang berhak memberi jabatan itu kepadanya. Dari segi garis keturunan, golongan Alawiyyin lebih dekat dengan Rasulullah saw karena dilihat dari garis keturunan Fatimah sebagai putri Rasulullah saw dan Sayyidina Ali adalah sepupu sekaligus menantu Rasulullah saw. Ahmad Syalaby, Sejarah Kebudayaan Islam, 3 (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 1-2. Perjalanan bani Abbas dimulai ketika terjadi oposisi dan pemberontakan terhadap dinasti Umayyah. Pemisahan keamiran dari kekhalifahan Umayyah membawa dampak besar terhadap bani Abbas dengan membawa dukungan kaum Syi’ah, yaitu pengikut Ali ke atas singgasana kekhalifahan untuk melawan kekhalifahan Umayyah. Kekecewaan yang muncul dari berbagai pihak amir, penduduk non-Arab dan terpuruknya dinasti Umayyah mengakibatkan beberapa kekacauan, di antaranya penindasan terus-menerus terhadap pengikut bani Hasyim dan Ali serta merendahkan kaum muslimin non-Arab dan pelanggaran hak asasi manusia secara eksplisit. Dari beberapa kekacauan tersebut maka bani Hasyim membawa beberapa pasukan rahasia yang masih memiliki garis keturunan Rasulullah saw untuk menyerang dinasti Umayyah ketika itu. Diantaranya adalah golongan Alawiyyin, golongan Abbasiyah dan golongan keturunan bangsa Persia yang dipimpin oleh Abu Muslim al-Khurasany. Dengan memusatkan gerakan ini di Khurasan, maka dinasti Abbasiyah lahir dengan diangkatnya Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas pada tahun 132-136 H/750-754 M. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Prenada Media, 2004), 47-48. Khalifah yang Mempengaruhi Dinasti Abbasiyah Abdullah bin al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas Beliau adalah khalifah pertama dinsati Abbasiyah. Beliau dilahirkan di Hamimah pada tahun 104 H. Ibunya bernama Rabtah binti Ubaidullah al-Haritsi. Ayahnya bernama Muhammad bin Ali bin al-Abbas. Ia dilantik menjadi khalifah pada tanggal 3 Rai’ul Awal 132 H, di Kufah. Beliau diberi gelar al-Saffah yang berarti pengalir darah dan pengecam siapa saja yang menentang. Al-Saffah ditarjihkan oleh ahli sejarah sebagai pengancam dan mengalirkan darah bagi pihak yang menetang khususnya Bani Umayyah dan pendukungnya. Abu al-Abbas adala seseorang yang bermoral tinggi dan mempunyai loyalitas serta disegani, berpikiran luas, pemalu dan baik adabnya. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3 (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997), 44-45. Abdullah bin al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas memusatkan pemerintahan dinasti Abbasiyah di Kufah selama empat tahun (750-754 M). Pusat pemerintahan dinasti Abbasiyah berada di tiga tempat yang sangat berpengaruh saat dengan peran dinasti Abbasiyah kala itu. Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurrasan. Humaimah merupakan kota kecil yang dihuni oleh keluarga bani Hasyim baik dari kalangan pendukung Ali maupun bani Abbas. Kufah merupakan kota yang dihuni oleh golongan Syi’ah (pendukung Ali bin Abi Thalib) yang selalu ditindas oleh bani Umayyah. Sedangkan Khurrasan adalah kota yang penduduknya mempunyai keberanian yang sangat tinggi, tidak tergoda nafsu dan sangat percaya diri. Dari ketiga kota itulah Abbasiyah mengharapkan dukungan. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1977), 87. Sementara itu, Abbas memilih Kufah dan Khurasan sebagai basis utama gerakan dakwah, mengingat kedua kota tersebut memiliki kualitas yang dapat membantu pemberontakan dinasti Umayyah. Ada beberapa alasan Abbas memilih Kufah dan Khurasan sebagai pusat utama gerakan dakwah, diantaranya: Mayoritas penentang dinasti Umayyah berasal dari penduduk Kufah Khurasan berada di sebelah timur pusat kekhalifahan. Ketika itu di Khurasan terjadi konflik kesukuan di kalangan orang Arab (suku Qays dan suku Yamani). Penduduk Khurasan adalah negeri yang baru menyatakan keislamannya. Kufah dipilih menjadi pusat gerakan dakwah, sedangkan Khurasan dijadikan medan pergerakan dakwah. Qasim A. Ibrahim, Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam (Jakarta: Zaman, 2014), 325-326. Abbas memulai propaganda ini melalui tiga tahap. Pertama, menyebarkan ide-ide baru tentang hak kekhalifahan kepada penduduk setempat dengan menentang kekuasaan dinasti Umayyah. Kedua, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Abbas membentuk pusat pemerintahan yaitu Hammimah, Kufah dan Khurasan. Kota Kufah dan Khurasan terpilih menjadi pusat pemerintahan utama propaganda ini karena dinilai tepat untuk memberontak dinasti Umayyah. Ketiga, memadukan ide-ide orang Arab asli dan non-Arab. Abdullah Manshur, “Perkembangan Politik dan Ilmu Pengetahuan Pada Dinasti Abbasiyah.” Artikel. (Online). http://jim.stimednp.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/Perkembangan-Politik-dan-Ilmu-Pengetahuan-pada-Dinasti-Abbasiyah.pdf, diakses 9 Oktober 2015. Selama Abdullah bin al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas memimpin gerakan ini, pemberontakan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Propaganda diluncurkan ke pelosok Negara yakni ke tempat di mana golongan-golongan Arab dan non Arab ditindas yang awal mulanya adalah pengikut Umayyah. Setelah propaganda dilaksanakan, pada tahun 126 H, Imam Muhammad meninggal dan digantikan oleh anaknya Ibrahim. Kemudian muncul pemuda berdarah Persia muncul dan turut bergabung dengan gerakan rahasia ini yang dikenal cerdas dan berani, pemuda tersebut bernama Abu Muslim al-Khurasany. Sejak saat itulah gerakan rahasia ini melakukan propaganda secara terang-terangan dan mengubah strategi pertempuran terhadap dinasti Umayyah. Hingga pada akhirnya pada bulan Dzulhijjah 132 H, khalifah terakhir dinasti Umayyah, Marwan, terbunuh di Fusthath Mesir. Dengan terbunuhnya Marwan dan berakhirnya dinasti Umayyah maka berdirilah dinasti Abbasiyah. W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, terj. Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), 186. Abu Ja’far al-Manshur Khalifah kedua setelah Abdullah bin Abbas adalah Abu Ja’far Manshur. Beliau lahir di Humaimah tahun 101 H dan memimpin pemerintahan dinasti Abbasiyah selama 22 tahun. Model pemerintahannya yang keras merupakan titik awal kejayaan dinasti Abbasiyah. Pada periode ini Abu Ja’far al-Manshur memulai kebijakan baru dengan memindahkan ibukota ke Baghdad. Alasan al-Manshur memindahkan ibukota ke Baghdad adalah jalur trasnportasi yang strategis. Sungai Trigis bisa dilayari sampai Baghdad dan juga terdapat sebuah saluran pelayaran ke Eufrat, sehingga barang-barang juga bias diangkut mengaliri sungai Tigris dan Eufrat dengan perahu-perahu kecil. Ibid., 103. Di bidang administrasi pemerintahan disusun dengan baik serta keamanan diperketat guna mengantisipasi gerakan sparatis dan pemberontakan. Perluasan daerah kekuasan dinasti Abbasiyah terdiri dari beberapa kota di Asia diantaranya kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Sicilia, selat Bosporus, Daylarni di laut Kaspia Kaukus serta India. Dasar-dasar kebijakan yang diletakkan oleh al-Abbas dan Abu Ja’far al-Manshur menjadi langkah awal puncak keemasan dinasti Abbasiyah. Su’ud, Islamologi, 74-76. Abu Abdullah Muhammad al-Mahdi bin al-Manshur Beliau memliki nama panjang Muhammad al-Mahdi bin al-Manshur bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas. Lahir di Humaimah pada tahun 126 H. Al-Mahdi dilantik menjadi khalifah ketiga pada tahun 158 H. ia menggantikan ayah al-Manshur. Di masa pemerintahannya dia mengubah semua sistem pemerintahan dari sifat keras yang ditetapkan oleh ayah menjadi sifat moderat dan rendah hati. Ia mengembalikan harta kekayaan yang disita oleh ayahnya kepada pemiliknya dan membebaskan para tawanan Syi’ah serta memerangi kaum kafir. Beliau melakukan pembangunan gedung-gedung di sepanjang jalan menuju Mekkah dan melakukan ekspansi masjid di Madinah. Pada tahun 161 H terjadi pemberontakan yang akhirnya para pemberontak dikalahkan dan diampuni. Ali, Kebudayaan Arab, 91-92. Musa al-Hadi bin Muhammad al-Mahdi bin Abu Ja’far al-Manshur Khalifah keempat setelah khalifah al-Mahdi ini tidak menampakan sistem pemerintahan yang baik. Dia tidak melaksanakan wasiat yang diberikan oleh al-Mahdi bahwa penerus kekhalifan setelahnya adalah Harun al-Rashid, namun ia mengangkat anaknya yang masih kecil sebagai penggantinya nanti dan mengucilkan Harun al-Rashid. Masa pemerintahan khalifah al-Hadi hanya berlangsung selama 1 tahun 1 bulan 20 hari dan meninggal 170 H dan jabatan kekhalifahan tetap jatuh ke tangan Harun al-Rashid. Ibid., 93. Abu Ja’far Harun al-Rashid Harun al-Rashid dilahirkan pada tahun 145 H. Ibunya bernama Khaizuran, bekas hamba sahaya yang juga ibunda al-Hadi. Ia diasuh oleh ayahnya agar menjadi pribadi yang kuat dan berjiwa toleransi. Harun al-Rashid dilantik sebagai Amir di Saifah pada tahun 163 H dan pada tahun 164 H beliau dilantik untuk memerintah seluruh wilayah Anbar dan negeri-negeri di Afrika Utara. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan, 107. Harun al-Rashid memberikan wewenang untuk mengelola keuangan dan penyelenggaraan keadilan kepada pejabat lainnya. Menurutnya, khalifah adalah pemimpin yang aktif atas segalanya termasuk kekayaan. Beliau termasuk seorang yang begitu garang untuk mensejahterahkan rakyatnya. Dengan berjalan menyusuri jalanan di Baghdad untuk memberikan keadilan dan meringankan penderitaan rakyatnya. “Harun Al-Rashid.” Jurnal Hunafa, (Online), Vol. 3, No. 1, Tahun 2006. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=153812&val=5919&title=HARUN%20AR-RASYID, diakses 12 Desember 2015. Abdullah Muhammad al-Amin bin Harun al-Rashid Beliau adalah anak dari Harun al-Rashid dan Zubaidah, yaitu sepupu Harun dan dari keturunan Abbasiyah. Kemudian al-Makmun berasal darin keturunan Persia karena dilahirkan dari ibu berdarah Persia yaitu Marajil. Khalifah al-Amin memerintah atas Irak dan saudaranya, al-Makmun diberi bagian untuk memerintah atas Khurasan dan al-Qasim atas Arabia. Namun terjadi perselisihan antara al-Amin dan al-Makmun atas wasiat pengangkatan putra mahkota. Bahwa al-Makmun meneruskan pengangkatan al-Qasim (saudaranya) sebagai putra mahkota atau tidak mengangkatnya. Hal ini ditentang oleh al-Amin karena ia ingin mengangkat anaknya, Musa, menjadi putra mahkota. Namun hal itu ditolak oleh al-Amkmun karean dianggap telah menyalahi wasiat ayahnya. Kemudian terjadi perebutan kekuasaan khalifah antara al-Amin dan al-Makmun dan dimenangkan oleh al-Makmun pada tahun 198 H. Al-Amin dianggap kurang serius dalam memegang kendali pemerintahan dan lemah. Ali, Kebudayaan Arab, 94-95. Al-Ma’mun bin Harun al-Rashid Abdullah Abu al-Abbas al-Ma’mun dilahirkan pada tahun 170 H pada malam kebangkitan pamannya, al-Hadi. Putera al-Amin ini memiliki ibu yang telah merdeka yang bernama Marajil. Ia diangkat sebagai putera mahkota pertama karena ia berusia lebih tua dari pada saudara tirinya, Musa. Selain itu dia lebih cerdas dan lebih pintar menyelesaikan segala masalah. Pelantikan putera mahkota terhadap al-Ma’mun adalah wasiat dari pada Harun al-Rashid setelah al-Amin. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan, 129. Pada masa kekhalifahan al-Ma’mun ia memusatkan perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan. Di Bait al-Hikmah berbagai ilmu pengetahuan asing dan memerintahkannya untuk dibeli dan dikumpulkan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Sehingga pada masanya muncul filosof yang agung yaitu al-Kindi, al-Hajaj bin Yusuf bin Matr yang telah menterjemahkan beberapa buah buku untuk al-Ma’mun yakni buku karya Euclides dan buku Ptolemy. Ibid., 137. Al-Watsiq Al-Watsiq dilahirkan pada tahun 196 H. Ibunya keturunan Roma bernama Qaratis. Sifat-sifat al-Watsiq mengikuti pamannya, al-Ma’mun. ia memiliki keprobadian yang luhur, cerdas dan berpikiran jauh dalam mengurus segala perkara. Al-Watsiq diangkat menjadi khalifah pada tahun 227 H setelah ayahnya (al-Musta’shim) meninggal. Kemudian Ahmad Syalabi dalam bukunya Sejarah dan Kebudayaan Islam menjelaskan bahwa menurut Ibn Tabatiba khalifah al-Watsiq merupakan khalifah Abbasiyah terkemuka, fasih, cerdas dan juga seorang penyair. Ia mempelajari model kepemimpinan pamannya al-Ma’mun tentang gerak-gerik dan ketenangannya dalam menghadapi suatu masalah. Ibid., 151. Masa Kejayaan Dinasti Abbasiyah Bidang Militer Di masa kejayaan dinasti Abbasiyah, para khalifah yang memerintah di awal periode merombak semua tatanan pemerintahan. Seperti perpindahan ibukota ke Bagdad yang dilakukan oleh al-Manshur untuk mempermudah pelayaran perdagangan dengan menggunakan kapal-kapal kecil di sungai Trigis. Komposisi ketentaraan pada awal periode mulai berubah. Kemenangan militer yang diraih adalah berkat adanya pasukan yang dikerahkan dari Khurassan dan selama setengah abad tentara militer terus bersandar pada tentara Khurassan. Kemudian pada tahun 820 H, Jendral Tahir dilantik menjadi gubernur otonom sehingga pasokan pasukan dari Khurassan terhenti sehingga para khalifah tergerak untuk mengambil orang-orang berbagai suku Turki. Orang-orang Turki adalah pejuang yang tangguh dan sebagian dari mereka adalah prajurit berkuda. Pada abad ke-9 mereka menjadi bagian utama ketentaraan dinasti Abbasiyah dan kekuatannya diperhatankan dalam permasalahan politik. Watt, Kejayaan Islam, 103. Bidang Perekonomian Perekonomian dinasti Abbasiyah mengalami peningkatan sejak pemerintahan dipegang oleh khalifah al-Mahdi. Perwkonomian meningkat dengan membangun irigasi untuk mengahsilkan pertanian yang beripat ganda dari masa sebelumnya. Su’ud, Islamologi, 76. Industri-industri lokal mulai berkembang seperti industri tekstil di beberapa daerah yang memiliki ciri khas tersendiri. Sebagai khalifah yang memiliki latar belakang sebagai saudagar Mekah, mereka memiliki berbagai macam cara untuk mengembangkan perekonomian saat itu. Para khalifah juga memanfaatkan tawanan Cina yang tertawan dalam pertempuran Asia Tenggara tahun 751 M sebagai ahli teknologi dan membangun industri baru ini yaitu industri kertas. Kertas menggantikan papirus sehingga buku-buku menjadi murah dan dari sinilah kesusastraan mulai berkembang. Watt, Kejayaan Islam, 105-106. Bidang Agama Pada masa dinasti Abbasiyah ada tiga pemahaman tentang agama, yaitu Sunni, Syi’ah dan Mu’tazilah. Ketiga aliran ini berkembang secara dominan dan menguasai kebijakan-kebijakan para khalifah. Pemahaman Sunni berkembang di masa awal periode kekhalifahan dinasti Abbasiyah, yaitu Abdullah al-Saffah. Pengaruh Syi’ah muncul ketika dinasti Abbasiyah dipimpin oleh al-Ma’mun. ketika di Marw, al-Ma’mun terpengaruh aliran Syi’ah dan ia berkeinginan untuk mengalihkan kekhalifahan kepada pemiliknya yang sah, yakni Imam Ali al-Rida. Namun keputusannya diberontak oleh golongan Abbasiyah secara terbuka dan Imam Ali al-Rida memberitahu khalifah untuk berangkat ke Bagdad. Sesampainya di kota Tus, Imam Ali al-Rida sakit dan meninggal di sana. Selain Syi’ah, mazhab theologi yang mempengaruhi pemikiran al-Ma’mun adalah aliran Mu’tazilah. Berkat dorongan dari salah satu hakimnya yang menganut aliran Mu’tazilah, maka pada tahun 827 M ia mendeklarasikan pernyataan penting tentang penciptaan al-Qur’an. Pada waktu yang sama, ia juga mendirikan lembaga mihnah. Lembaga mihnah adalah lembaga yang semacam inkuisisi untuk menguji dan menyeleksi orang-orang yang menentang ajaran Mu’tazilah. Aliran ini terus berkembang hingga kekhalifahan al-Musta’sim, al-Watsiq dan al-Mutawakkil. Namun pada masa kekhalifahan al-Mutawakkil, ia menentang rasionalisme dan mengembalikan dominasi Mu’tazilah dengan mengembalikan dan mengembangkan ajaran Sunni. Tragedy ini berlangsung selama 15 tahun. Ahda Bina Aflanto, Dinasti Abbasiyah: Kebangkitan Sunni dan Perkembangan Filsafat, Sains dan Tasawuf, (Online), https://www.academia.edu/10889893/Dinasti_Abbasiyah_Kebangkitan_Sunni_dan_Perkembangan_Filsafat_Sains_serta_Tasawuf, diakses 19 Desember 2015. Bidang Ilmu Pengetahuan Jatuhnya politik Abbasiyah tidak menyurutkan semangat para pakar Islam dinasti Abbasiyah. Adanya pengaruh dari berbagai negara seperti Persia, Byzantium dan Yunani sejak dinasti Umayyah, ilmu pengetahuan terus menunjukkan perkembangan yang baik. Gerakan besar-besaran yang dikembangkan oleh Abu Ja’far al-Manshur di Baghdad untuk merangsang para ulama dan para ahli dari berbagai daerah datang dan tinggal di kota Baghdad. Su’ud, Islamologi, 56-57. Kemudian lembaga-lembaga pendidikan yang terdiri dari maktab/kutub dan tingkat pendalaman, menunjukkan puncak kejayaan Islam saat pemerintahan Abbasiyah. Sejak kebangkitan awal Islam berdirilah perpustakaan dan akademi sebagai tempat kitab-kitab dan tempat untuk membaca, menulis dan berdiskusi. Kejayaan Islam ilmu pengetahuan juga dipengaruhi oleh asimilasi antar bangsa Arab dan gerakan penerjemahan yang berlangsung selama tiga fase. Yatim, Peradaban Islam, 54-55. Ilmu Tafsir Ilmu tafsir merupakan ilmu untuk memahami al-Qur’an dengan cara tertentu. Memahami al-Qur’an tidak cukup menegrti bahasanya akan tetapi diperlukan keseimbangan pengetahuan para pembaca. Ulama yang pertama kali menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan hadis atau atsar dan atau asbabunuzul adalah Sahabat Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan Ubay bin Ka’ab. Ilmu Hadis Hadis adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Dalam peleastarian pengembangan hadis ini terjadi pada dua periode besar, yakni masa Mutaqaddimin dan Masa Mutaakhirin. Ulama hadis pada saat ini adalah Imam Bukhori, Imam Muslim, ImamMajah, Abu Daud, al-Trmidzi dan al-Nasa’i. Ilmu Kalam Ilmu kalam lahir karena adanya beberapa faktor, yaitu untuk membela Islam dalam bentuk filsafat dan karena semua permasalahan agama telah bergeser. Ulama yang berkecimpung dalam bidang ini seperti Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi. Ilmu Tasawuf Ilmu tasawuf merupakan ilmu yang tumbuh dan matang pada masa dinasti Abbasiyah. Ia merupakan ajaran berbentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah swt secara utuh, meninggalkan kesenangan dunia. Ulama tasawuf yang lahir pada masa ini adalah al-Qusyairy, Syahabuddin dan Imam al-Ghazali. Ilmu Bahasa Ilmu bahasa tumbuh dan berkembang pada masa dinasti Abbasiyah. Ilmu bahasa menjadi sangat popular dan menjadi bahasa internasional kala itu. Dalam mendalami ilmu bahasa memerluakan suatu ilmu yang menyeluruh, seperti ilmu nahwu, sharaf ma’ani, bayani, bad’i, arudh, qamus dan insya’. Kota yang terkenal dengan pusat pertumbuhan dan kegiatan ilmu bahasa ini adalah Basrah dan Kufah. Adapun ulama termasyhur pada masa dinasti Abbasiyyah meliputi Sibawaihi, Muaz al-Harro, al-Kasai dan Abu Usman al-Maziny, Ilmu Fiqh Masa dinasti Abbasiyah adalah masa keemasan Islam di mana para ahli hukum (fuqaha’) terkenal lahir dan dikenal hingga saat ini. Para fuqaha’ pada masa Abbasiyah terbagi menjadi dua aliran, yakni ahli hadis dan ahli ra’y. Ahli hadis aliran yang mengarang fiqh berdasarkan hadis. Ulama yang masuk dalam aliran ini adalah Imam Malik, Imam al-Shafi’i dan Imam Hanbali. Sedangkan ahli ra’y aliran yang mempergunakan akal dan logika dalam menggali sebuah hukum. Ulama yang masuk dalam kategori aliran ini adalah Imam Abu Hanifah serta fuqaha’’ Irak. Lihat, Musyrifah, Islam Klasik, 73. Dengan lahirnya kedua aliran ini, maka timbulah pertentangan antara keduanya mengenai sumber tempat pengambilan hukum seperti sunnah, menetapan sumber hukum dengan menggunakan logika, ijma’ dan taklif yang dibina dari dua asa yaitu nahi dan munkar. Pertentangan ahli hadist dan ahli ra’y yang pada akhirnya melahirkan ilmu baru yang dikenal dengan ushul fiqh. Setelah adanya kaidah-kaidah ushuliyah, para fuqaha’ ternama lahir dengan memberi sumbangsih yang dianut oleh masyarakat hingga sekarang. Semua pemikiran mereka dibukukan untuk menjadi pedoman para qodhi dalam memutuskan hukum atas suatu perkara secara benar dan tepat. Para fuqaha’ ternama yang lahir di masa dinasti Abbasiyyah ini meliputi Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Shafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Kitab yang dikodifikasikan oleh para fuqaha’ tersebut salah satunya adalah kitab al-Muwattha’ karangan Imam Malik, fiqh al-Akbar karangan Imam Abu Hanifah, kitab al-Um karangan Imam al-Shafi’i, dan musnad al-Hadis karangan Imam Ahmad bin Hanbal. Ilmu pengetahuan lain yang berkembang di masa dinasti Abbasiyah antara lain Ilmu kedokteran, ilmu astronomi, ilmu filsafat, ilmu kimia, ilmu sejarah dan bumi (geografi), ilmu matematika, ilmu kimia dan ilmu optik. Abdullah Manshur, “Perkembangan Politik dan Ilmu Pengetahuan Pada Dinasti Abbasiyah.” Artikel. (Online). http://jim.stimednp.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/Perkembangan-Politik-dan-Ilmu-Pengetahuan-pada-Dinasti-Abbasiyah.pdf, diakses 9 Oktober 2015. Ilmu Kedokteran Ilmuan muslim terkenal dalam bidang ilmu kedokteran adalah al-Razi, yaitu tokoh pertama yang membedakan penyakit cacar dan measles dan Ibn Sina (Aviceena) yang dikenal sebagai seorang filosof yang menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Ilmu Astronomi Dalam bidang ilmu astronomi terdapat al-Fazari sebagai astronom Islam pertama kali yang menyusun astrolobe. Disamping itu dikenal juga al-Fargani, yang menulis ringkasan ilmu astronomi. Ilmu Optika dan Ilmu Kimia Dalam ilmu Optika terdapat Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythami (Alhazen). Dalam bidang ilmu kimia terkenal nama Jabir al-Hayyan yang mempunyai pendapat bahwa logam, timah, besi dapat diubah menjadi emas dan perak jika mencampurkan suatu zat tertentu. Ilmu Matematika dan Ilmu Filsafat Di bidang ilmu matematika terkenal nama Muhammad bin Musa al-Khawarizmi, seoran ilmuan muslim yang menciptakan istilah aljabar. Sedangkan tokoh terkenal di bidang ilmu filsafat antara lain al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Yatim, Peradaban Islam, 57-58. Kemunduran Dinasti Abbasiyah Setelah melewati beberapa periode dari bangkitnya dinasti Abbasiyah pasca terbunuhnya Marwan hingga permasalahan kekuasaan dan politik yang memperburuk sistem pemerintahan dinasti Abbasiyah. Pada akhir perjalanan dinasti Abbasiyah muncul kerajaan-kerajaan kecil di sekitar wilayah kekuasaan dinasti Abbasiyah dan melepaskan diri dari pemerintahan Abbasiyah. Hancurnya dinasti Abbasiyah dapat dilihat dari dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal Adanya persaingan tidak sehat antara bangsa yang terhimpun oleh dinasti Abasiyah, terutama Arab, Persia dan Turki, Adanya perselisihan antar kelompok yang mengakibatkan peperangan Munculnya dinasti-dinasti kecil akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan Terdapat penurunan tingkat perekonomian sebagai akibat pemberontakkan politik. Su’ud, Islamologi, 81. Para pemimpin yang terlalu berfoya-foya dengan kekuasan dan harta mereka sehingga lalai dalam melaksanakan tugas pemerintahan, yaitu telantarannya rakyat fakir dan miskin. Ibid., 77. Faktor eksternal Berlangsungnya perang salib yang berkepanjangan. Ibid., 81. Datangnya pasukan Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan (656 H/1258 M). Abdullah Manshur, Perkembangan Politik dan Ilmu Pengetahuan Pada Dinasti Abbasiyah, (Online), http://jim.stimednp.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/Perkembangan-Politik-dan-Ilmu-Pengetahuan-pada-Dinasti-Abbasiyah.pdf, diakses pada 19 Desember 2015. Latar belakang datangnya pasukan Mongol dan Tartar disebabkan adanya kelompok Assasin yang didirikan oleh Hasan ibn Sabah (1256 M) di pegunungan Alamut, Iraq. Kelompok Assasin ini adalah sekte anak cabang Syi’ah Isma’iliyah dari dinasti Fathimiyyah. Kelompok ini sangat menggangu wilayah Persia dan sekitarnya. Setelah beberapa kali peperangan, pusat pemerintahan kelompok ini dapat ditaklukan di tangan Hulagu cucu Chengis Khan di Alamut. Setelah mengahncurkan kelompok Assasin di Alamut, Hulagu beralih ke Bagdad dan mengepung Bagdad selam dua bulan. Hingga terjadi perjanjian antara Hulagu dan khalifah dinasti Abbasiyah . namun perundingan damai itu gagal dan khalifah itu menyerah dan khalifah dibunuh oleh Hulagu. Pembantainan missal ini menelan korban sebanyak 800.000 orang. Hulagu berhasil merampas pusat-pusat kekuasaan (pemerintahan) maupun pusat ilmu, yaitu perpustakaan di Baghdad. Al-Musta’shim dibunuh dan semua buku-buku yang terkumpul di baitul Hikmah di bakar dan dibuang di Tigris. Mufrodi, Kawasan Arab, 107. BAB III PENUTUP Kesimpulan Dari pembahasan tentang perjalanan dinasti Abbasiyah dapat disimpulkan bahwa sejak runtuhnya dinasti Umayyah di tangan Abdullah al-Saffah, yaitu salah seorang keturunan bani Hasyim yang melakukan oposisi dan memberontak keluarga bani Umayyah, dinasti Abbasiyah adalah masa di mana Islam mengalami puncak kejayaan yang luar biasa. Kejayaan Islam pada masa dinasti Abbasiyah dapat dilihat dari berbagai bidang dan salah satunya adalah bidang ilmu pengetahuan. Pada periode awal kekhalifahan dinasti Abbasiyah ini, perombakkan tatanan administrasi pemerintahan dilakukan pada masa Abu Ja’far al-Manshur hingga al-Ma’shum. Namun, setelah ketujuh khalifah pada periode awal ini berlalu kemunduran mulai tampak pada pemerintahan al-Watsiq dan 27 khalifah selanjutnya. Hal ini disebabkan lengahnya kepemimpinan mereka dan beberapa intrik politik yang terjadi di dinasti Abbasiyah, baik secara internal maupun eksternal. Sehingga kejayaan dinasti Abbasiyah dapat dilihat pada awal periode pertama dan kedua yaitu pada tahun 132 H/750 M-334 H/946 M). DAFTAR PUSTAKA Ibrahim, Qasim A. Saleh, Muhammad A. Buku Pintar Sejarah Islam. Jakarta: Zaman, 2014. Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos, 1977. Su’ud, Abu. Islamologi: Sejarah, Ajaran dan Peranannyadalam Peradaban Umat Manusia. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003. Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Prenada Media, 2004. Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997. _________, Sejarah Kebudayaan Islam 3. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993. Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, terj. Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2013. Abdullah Manshur, “Perkembangan Politik dan Ilmu Pengetahuan Pada Dinasti Abbasiyah.”Artikel. (Online). http://jim.stimednp.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/Perkembangan-Politik-dan-Ilmu-Pengetahuan-pada-Dinasti-Abbasiyah.pdf, diakses 9 Oktober 2015. “Harun Al-Rashid.” Jurnal Hunafa, (Online), Vol. 3, No. 1, Tahun 2006. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=153812&val=5919&title=HARUN%20AR-RASYID, diakses 12 Desember 2015. Ahda Bina Aflanto, Dinasti Abbasiyah: Kebangkitan Sunni dan Perkembangan Filsafat, Sains dan Tasawuf, (Online), https://www.academia.edu/10889893/Dinasti_Abbasiyah_Kebangkitan_Sunni_dan_Perkembangan_Filsafat_Sains_serta_Tasawuf, diakses 19 Desember 2015. 18