Academia.eduAcademia.edu

asam lemak bebas

I.

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Minyak goreng merupakan media yang digunakan manusia dalam proses masak-memasak. Minyak goreng memiliki peranan yaitu dapat memengaruhi penampakan, cita rasa, dan tekstur makanan agar lebih menarik dari makanan yang diolah dengan cara lain . Di Indonesia, minyak goreng yang umum digunakan adalah minyak goreng yang berasal dari nabati seperti minyak kelapa sawit. Minyak kelapa sawit yang beredar dipasaran bermacam-macam jenis serta mutunya. Misalnya saja minyak goreng sawit yang dalam proses pemurniannya hanya sekali disebut minyak curah memilki mutu yang rendah sedangkan minyak goreng sawit yang mengalami dua kali atau lebih proses pemurnian memiliki mutu yang baik. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya mutu dalam suatu minyak goreng dapat dilihat dari kandungan asam lemak bebas di dalamnya. Kandungan asam lemak bebas pada minyak goreng merupakan salah satu contoh senyawa yang dapat  bersifat berbahaya khususnya bagi tubuh apabila tersebut terlalu sering untuk dikonsumsi. Asam lemak bebas adalah suatu asam yang dibebaskan pada proses hidrolisis lemak. Asam lemak bebas pada suatu bahan pangan akan terbentuk karena  adanya proses pemanasan bahan pangan pada suhu tinggi yang dapat meningkatkan konsentrasi dari asam lemak bebas dan meningkatkan jumlah asam lemak bebas yang terbentuk apabila proses tersebut semakin lama dilakukan sehingga merugikan mutu dan kandungan gizi bahan pangan tersebut. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perlu untuk dilakukannya praktikum analisa asam lemak bebas agar kita dapat mengetahui mutu dari minyak goreng yang digunakan. I.2. Tujuan dan Kegunaan Tujuan yang ingin dicapai pada praktikum ini adalah sebagai berikut: Untuk mengetahui cara pengujian asam lemak bebas pada bahan pangan Untuk mengetahui kandungan (%) asam lemak bebas yang terdapat pada beberapa jenis minyak Untuk mengetahui minyak jenis mana yang baik untuk digunakan. Kegunaan dari praktikum ini adalah agar kita dapat mengetahui cara menghitung kandungan asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak dan kita mampu menambah pengetahuan kita mengenai minyak goreng yang baik dan yang tidak baik digunakan serta agar penerapannya dalam penelitian atau praktikum lainnya dalam laboratorium sudah bisa dilakukan sendiri serta praktikum ini TINJAUAN PUSTAKA I.1. Minyak Sawit Minyak sawit yang digunakan sebagai produk pangan dihasilkan dari minyak kelapa sawit maupun minyak inti sawit yang melalui proses fraksinasi, rafinasi, hidrogenasi. Produksi CPO (Crude Palm Oil) diindonesia sebagian besar difraksinasi sehingga dihasilkan fraksi olein cair dan fraksi stearin padat. Fraksi olein tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik sebagai bahan baku untuk minyak makan. Minyak kelapa sawit biasanya digunakan dalam bentuk minyak goreng, margarin, butter, vanaspati. Sebagai bahan pangan, minyak kelapa sawit mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan minyak goreng lainnya, antara lain mengandung karoten yang diketahui berfungsi sebagai anti kanker dan tokoferol sebagai sumber vitamin E. Disamping itu, kandungan asam linoleat dan linolenatnya rendah sehingga minyak goreng yang terbuat dari minyak kelapa sawit sebagai minyak goreng yang bersifat awet dan makanan yang digoreng dengan minyak sawit tidak cepat tengik (Fauzi, 2002). Ada dua dasar hidrolisis katalis didalam minyak sawit. Pertama, hidrolisis enzimatik yakni pada saat lemak aktif memecahkan enzim, sebagian besar lipoid yang ada didalam buah sawit. Aktifitasnya menghasilkan formasi FFA dipercepat bila mesocarp buah sawit pecah atau memar. Kedua adalah hidrolisis katalis secara spontan yang dipengaruhi oleh kandungan FFA yang ada didalam buah sawit dan telah berkembang yang berhubungan dengan suhu dan waktu. Free fatty acid (asam lemak bebas) dalam minyak produksi adalah untuk menilai kadar asam lemak bebas dalam minyak dengan melarutkan lemak tersebut dalam pelarut organik yang sesuai dan menetralisasi larutan tersebut dengan alkali dengan menggunakan indikator phenolpthalein (Angga, 2012). Minyak sawit mempunyai komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh dengan proporsi yang seimbang. Komposisi asam lemak minyak sawit terdiri dari sekitar 40% asam oleat (asam lemak tidak jenuh tunggal), 10% asam linoleat (asam lemak tidak jenuh ganda), 44% asam palmitat (asam lemak jenuh) dan 4,5% asam stearat (asam lemak jenuh). Jadi secara umum, minyak sawit mempunyai komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh dengan proporsi yang seimbang. Karena kondisi inilah (Tabel 15) maka minyak sawit tidak menempati posisi yang spesial (khusus) dan tidak bisa dikaregorisasikan sebanyak minyak jenuh atau pun minyak tidak jenuh. Secara fisik, minyak sawit bersifat semi-solid, dan bisa difraksinasi untuk mendapatkan berbagai jenis minyak; baik minyak yang lebih jenuh maupun minyak yang lebih tidak jenuh, yang secara ideal bisa diaplikasikan untuk keperluan tertentu (Hariyadi, 2014). Tabel komposisi asam lemak pada minyak sawit menurut Hariyadi (2014) adalah sebagai berikut: Tabel 16. Komposisi asam lemak pada minyak sawit Asam lemak*) Asam lemak % terhadap asam lemak total Kisaran Rata-rata Asam laurat (C12:0) 0.1 – 1.0 0.2 Asam miristat (C14:0) 0.9 0 1.5 1.1 Asam palmitat (C16:0) 41.8 – 45.8 44.0 Asam palmitoleat C16:1 0.1 – 0.3 0.1 Asam stearate (C18:0) 4.2 – 5.1 4.5 Asam oleat (C18:1) 37.3 – 40.8 39.2 Asam linoleiat (C18:2) 9.1 – 11.0 10.1 Asam linolenat (C18:3) 0.0 – 0.6 0.4 Asam arakidonat (C20:0) 0.2 – 0.7 0.4 *) asam lemak dinyatakan dengan notasi Cm:n, dimana m adalah panjang rantai karbon, dan n adalah jumlah ikatan rangkap. Standar mutu minyak goreng kelapa sawit telah dirumuskan dan ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) yaitu SNI 7709:2012. SNI menetapkan bahwa standar mutu minyak goreng sawit adalah sebagai berikut: Tabel 17. SNI 7709:2012 tentang Standar Mutu Minyak Goreng Sawit KRITERIA UJI SATUAN SYARAT Keadaan Bau Warna Rasa Merah/kuning Maks. 5,0/50 Normal Kadar air dan bahan menguap % b/b Maks 0.1 Asam lemak bebas (dihitung sebagai asam palmitat) % b/b Maks 0.30 Bahan Makanan Tambahan Sesuai SNI. 022-M dan Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/88 Cemaran Logam : - besi (Fe) - tembaga (Cu) - raksa (Hg) - timbal (Pb) - timah (Sn) Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg Maks 1.5 Maks 0.1 Maks 0.1 Maks 0,1 Maks 40.0/250.0)* Arsen (As) % b/b Maks 0.1 Angka Peroksida % mg 02/gr Maks 1 Catatan *pengamilan contoh dipabrik Sumber : Standar Nasional Indonesia, 2012. II.2. Minyak Curah Minyak curah berasal dari bahan baku CPO (Crude Palm Oil) yang bermutu rendah, sehingga untuk diproduksi menjadi minyak goreng yang berkualitas tinggi akan membutuhkan biaya produksi yang mahal, sehingga minyak ini diproduksi menjadi minyak goreng curah. Minyak goreng ini biasanya ditujukan untuk konsumsi rakyat biasa dengan harga yang terjangkau oleh pendapatan penduduk yang miskin. Minyak goreng ini biasanya dari pabrik dijual dengan ukuran tangki dengan kapasitas 10 dan 20 ton. Minyak goreng ini di pasar tradisional biasanya dapat diperoleh dalam bentuk drum dan kemudian ditimbang dalam plastik dengan berat sesuai permintaan konsumen (Anonim, 2014). Minyak goreng curah bermutu rendah karena mengalami penyaringan sederhana sehingga warnanya tidak jernih. Selain itu, minyak goreng curah umumnya mengandung asam lemak jenuh yang lebih tinggi. Asam lemak jenuh akan meningkatkan kolesterol dalam darah yang dapat membahayakan kesehatan. Minyak goreng curah akan mengalami penurunan kualitas jauh lebih cepat daripada minyak goreng berkualitas bagus karena adanya proses oksidasi. Minyak bermutu tinggi mengalami proses penyaringan dua bahkan sampai tiga kali, sehingga harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan minyak goreng curah (Dewi, 2012). Minyak goreng curah biasanya memiliki warna yang lebih keruh. Minyak goreng curah ini tidak digunakan berulang-ulang kali, sampai berwarna coklat pekat hingga kehitam-hitaman. Karena pemakaian berulang-ulang pada minyak makan, sangat tidak baik bagi kesehatan. Selain itu minyak goreng yang sering digunakan secara berkali-kali sampai minyaknya berubah warna menjadi hitam, kondisi ini tidak membahayakan kesehatan hanya membuat nilai gizi makanan yang digoreng menjadi turun dan mempengaruhi rasa. Vitamin A dan D dalam makanan itu sudah hancur (Bundakata, 2007). Perbedaan mendasar dari minyak kelapa sawit kemasan dengan minyak kelapa sawit curah adalah pada proses  pemurnian, penyulingan, penghilangan bau. Setelah kelapa sawit berubah menjadi CPO, maka proses selanjutnya adalah mengolah CPO menjadi minyak goreng sawit Secara garis besar proses pengolahan CPO menjadi minyak goreng sawit, terdiri dari dua tahap yaitu tahap pemurnian (refinery) dan pemisahan (fractionation) untuk mendapatkan fraksi bahan padat (stearin) dan bahan cair (olein) dari minyak sawit. Tahap pemurnian terdiri dari penghilangan gum (degumming). Minyak lalu disaring dan dijernihkan (bleaching). Setelah itu penghilangan bau. Sehingga sebagai produk akhirnya minyak kelapa sawit kemasan memiliki warna yang lebih  bening dari minyak curah dan kandungan asam lemak bebasnya sedikiT (Qurrota, 2013) II.3. Asam Lemak Bebas Asam lemak bebas diperoleh dari proses hidrolisa, yaitu penguraian lemak atau trigliserida oleh molekul air yang menghasilkan gliserol dan asam lemak bebas. Kerusakan minyak atau lemak dapat juga diakibatkan oleh proses oksidasi, yaitu terjadinya kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak, yang biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Selanjutnya, terurainya asam-asam lemak disertai dengan hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-asam lemak bebas. Asam lemak bebas yang dihasilkan oleh proses hidrolisa dan oksidasi biasanya bergabung dengan lemak netral dan pada konsentrasi sampai 15%, belum menghasilkan rasa yang tidak disenangii. Lemak dengan kadar asam lemak bebas lebih dari 1%, jika dicicipi akan terasa membentuk film pada permukaan lidah dan tidak berbau tengik, namun intensitasnya tidak bertambah dengan bertambahnya jumlah asam lemak bebas (Ketaren, 1986). Penentuan asam lemak dapat dipergunakan untuk mengetahui kualitas dari minyak atau lemak, hal ini dikarenakan bilangan asam dapat dipergunakan untuk mengukur dan mengetahui jumlah asam lemak bebas dalam suatu bahan atau sampel. Semakin besar angka asam maka dapat diartikan kandungan asam lemak bebas dalam sampel semakin tinggi, besarnya asam lemak bebas yang terkandung dalam sampel dapat diakibatkan dari proses hidrolisis ataupun karena proses  pengolahan yang kurang baik. (Julisti, 2010) Tim penulis (1997) memaparkan factor-faktor yang menyebabkan peningkatan kadar ALB yang relatif tinggi dalam minyak sawit antara lain : pemanenan buah sawit yang tidak tepat waktu keterlambatan dalam pengumpulan dan pengangkutan buah penumpukan buah yang terlalu lama proses hidrolisa selama pemprosesan di pabrik Peningkatan kadar ALB juga dapat terjadi pada proses hidrolisa di pabrik. Pada proses tersebut terjadi penguraian kimiawi yang dibantu oleh air dan berlansung pada kondisi suhu tertentu. Air panas dan uap air pada suhu tertentu merupakan bahan oembantu dalam proses pengolahan. Akan tetapi, proses pengolahan yang kurang cermat mengakibatkan efek samping yang tidak diinginkan, mutu minyak menurun sebab air pada kondisi suhu tertentu bukan membantu proses pengolahan tetapi malah menurunkan mutu minyak. Untuk itu, setelah akhir proses pengolahan minyak sawit dilakukan pengeringan dengan suhu 90oC. Sebagai ukuran standar mutu dalam perdagangan untuk ALB ditetapkan sebesar 5% (Darnoko D. S, 2003) Minyak goreng memiliki kandungan asam lemak bebas yang berbeda beda. Hal ini dapat terjadi karena  proses dari pembuatan masing-masing minyak tidaklah sama. Sebagai indikator  besar kecilnya kandungan asam lemak bebas yang terdapat pada minyak adalah  berdasarkan jumlah NaOH yang diperlukan untuk titrasi. Sebelum memasuki  proses titrasi,minyak dicampur terlebih dahulu dengan etanol netral. Tujuanya adalah agar asam lemak bebas dapat terikat pada etanol sehingga lebih mudah terdeteksi oleh NaOH saat titrasi. Etanol bersifat asam dan NaOH bersifat basa. Penambahan indikator PP adalah untuk mengetahui tingkat equivalen larutan tersebut atau larutan menjadi netral (Qurrota, 2013). Penentuan asam lemak bebas dapat dilakukan dengan metode titrasi asam basa. Prinsip dari titrasi asam basa yaitu Analisis jumlah asam lemak bebas dalam suatu sampel ekuivalen dengan jumlah basa (NaOH) yang ditambahkan dalam titrasi yang ditandai dengan berubahnya warna sampel menjadi warna merah jambu (Maligan, 2014) II.4. Alkohol Netral Fungsi penambahan alkohol adalah untuk melarutkan lemak atau minyak dalam sampel agar dapat bereaksi dengan basa alkali. Alkohol digunakan untuk melarutkan minyak, sehingga konsentrasi alkohol (etanol) yang digunakan berada di kisaran 95-96%. Etanol 95% merupakan pelarut lemak yang baik. Fungsi pemanasan (refluks) saat percobaan adalah agar reaksi antara alkohol dan minyak tersebut bereaksi dengan cepat, sehingga pada saat titrasi diharapkan alkohol (etanol) larut seutuhnya (Himka, 2011). Alkohol netral panas digunakan sebagai pelarut netral supaya tidak memengaruhi pH karena titrasi ini merupakan titrasi asam basa. Alkohol dipanaskan untuk meningkatkan kelarutan asam lemak (Indah, 2013). Pelarut alkohol digunakan dalam analisis kadar asam lemak bebas karena alkohol merupakan pelarut asam lemak bebas dan dapat memberhentikan kerja enzim lipase sebelum titrasi. Alkohol akan melarutkan asam lemak yang bersifat asam agar dapat bereaksi dengan larutan KOH yang bersifat basa sehingga terjadi reaksi sesuai dengan prinsip titrasi asam-basa. Senyawa yang dapat terekstrak oleh alhohol hanya asam lemak bebas yang dapat terlarut dalam pelarut atau dengan kata lain asam lemak bebas yang terekstrak merupakan asam lemak bebas yang mempunyai tingkat kepolaran yang sama dengan pelarut (Firmansyah, 2014). II.5. Indikator PP (phenolphtealin) Fenolftalein adalah indikator titrasi yang lain yang sering digunakan dan fenolftalein ini merupakan bentuk asam lemah yang lain. Pada kasus ini, asam lemah tidak berwarna dan ion-nya berwarna merah muda terang. Penambahan ion hidrogen berlebih menggeser posisi kesetimbangan ke arah kiri dan mengubah indikator menjadi tak berwarna. Penambahan ion hidroksida menghilangkan ion hidrogen dari kesetimbangan yang mengarah ke kanan untuk menggantikannya. Mengubah indikator menjadi merah muda. Setengah tingkat terjadi pada pH 9,3. Karena pencampuran warna merah muda dan tak berwarna menghasilkan warna merah muda yang pucat, hal ini sulit untuk mendeteksinya dengan akurat. Indikator ini banyak digunakan karena harganya murah. Indikator PP tidak berwarna dalam bentuk HIn (asam) dan berwarna merah jambu dalam bentuk In– (basa) (Cahyati, 2012). II.6. NaOH (Natrium Hidroksida) Natrium hidroksida (NaOH), juga dikenal sebagai alkali kaustik soda. Natriom Hidroksida (NaOH) juga merupakan kaustik logam dasar. Natrium hidroksida adalah basa yang umum di laboratorium kimia. Natrium hidroksida (NaOH) banyak digunakan di banyak industri, terutama sebagai basa kuat kimia dasar dalam pembuatan pulp dan kertas, tekstil, air minum, sabun dan deterjen dan sebagai pembersih drain (Faiz, 2011). Titrasi dilakukan menggunakan NaOH 0,1 N sampai terbentuk warna merah jambu yang tidak hilang dalam 30 detik. Penggunaan NaOH berfungsi untuk mengukur beberapa besar asam lemak yang bebas dari minyak. Basa NaOH mampu menghidrolisis minyak menjadi gliserol dan asam lemak (Hadi, 2012). METODE PRAKTIKUM III.1. Waktu dan Tempat Praktikum Aplikasi Teknik Laboratorium Analisis Asam Lemak Bebas dilaksanakan pada hari Rabu, 26 November 2014 pukul 09.50-12.00 WITA di Laboratorium Kimia Analisa dan Pengawasan Mutu Pangan, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar. III.2. Alat dan Bahan Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut : erlenmeyer 250 ml hot plate pipet volume batang pengaduk biuret digital Adapun bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut: minyak curah minyak sawit alkohol netral indikator PP (phenolphthalein) larutan NaOH 0,1 N III.3. Prosedur Praktikum Adapun prosedur praktikum ini adalah sebagai berikut: Sampel ditimbang sebanyak 5 gram Sampel dimasukkan dalam Erlenmeyer dan ditambahkan 50 mL alcohol netral Dipanaskan hingga mendidih Setelah sampel dingin ditambahkan dengan 2 mL indikator PP dan dititrasi dengan larutan 0,1 N NaOH yang telah distandarisasi sampai warna merah jambu tercapai dan tidak hilang selama 30 detik. HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Hasil Hasil yang diperoleh dari praktikum ini adalah sebagai berikut: Tabel 18. Hasil praktikum uji asam lemak No Kelompok % FFA Minyak curah Minyak sawit 1 I 0,332 % 0,163 % 2 II 0,353 % 0,163 % 3 III 0,286 % 0,247 % 4 IV 0,201 % 0,199 % 5 V 0,399 % 0,337 % Sumber: Data Sekunder Praktikum Aplikasi Teknik Laboratorium, 2014. IV.2. Pembahasan Minyak sawit adalah salah satu bahan yang digunakan dalam praktikum ini. Minyak sawit merupakan minyak nabati yang dibuat melalui proses fraksinasi, rafinasi dan hidrogenasi. Di dalam minyak sawit terdapat 40% asam oleat, 10% asam linoleat, 44% asam palmitat dan 4,5% asam stearat. Kandungan asam lemak linoleat yang rendah pada minyak kelapa sawit membuat minyak sawit lebih tahan lama dan tidak berbau tengik. Hal ini sesuai dengan pernyaraan Fauzi (2010) yang menyatakan bahwa minyak kelapa sawit pada pembuatannya melalui proses fraksinasi, rafinasi, hidrogenasi. Kandungan asam linoleat dan linolenatnya rendah sehingga minyak goreng yang terbuat dari minyak kelapa sawit sebagai minyak goreng yang bersifat awet dan makanan yang digoreng dengan minyak sawit tidak cepat tengik dan didukung oleh pernyataan Hariyadi (2014) bahwa minyak sawit mempunyai komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh dengan proporsi yang seimbang. Komposisi asam lemak minyak sawit terdiri dari sekitar 40% asam oleat (asam lemak tidak jenuh tunggal), 10% asam linoleat (asam lemak tidak jenuh ganda), 44% asam palmitat (asam lemak jenuh) dan 4,5% asam stearat (asam lemak jenuh). Bahan lain yang digunakan dalam praktikum ini adalah minyak curah. Minyak curah merupakan minyak yang juga berasal dari minyak nabati, namun pada proses pembuatannya hanya melalui penyaringan yang sederhana, hal itu membuat mutu dari minyak curah ini kurang baik. Selain itu, minyak goreng curah juga mengandung asam lemak jenuh yang lebih tinggi dan pada penggunaannya, minyak curah tidak baik digunakan berkali-kali karena tidak baik bagi kesehatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dewi (2012) yang menyatakan bahwa minyak goreng curah bermutu rendah karena mengalami penyaringan sederhana sehingga warnanya tidak jernih. Selain itu, minyak goreng curah umumnya mengandung asam lemak jenuh yang lebih tinggi dan didukung oleh pernyataan Bundakata (2007) bahwa minyak goreng curah ini tidak digunakan berulang-ulang kali, sampai berwarna coklat pekat hingga kehitam-hitaman. Karena pemakaian berulang-ulang pada minyak makan, sangat tidak baik bagi kesehatan. Selain itu minyak goreng yang sering digunakan secara berkali-kali sampai minyaknya berubah warna menjadi hitam, kondisi ini tidak membahayakan kesehatan hanya membuat nilai gizi makanan yang digoreng menjadi turun dan mempengaruhi rasa. Vitamin A dan D dalam makanan itu sudah hancur. Praktikum analisa asam lemak bebas ini menggunakan minyak sawit dan minyak curah sebagai bahan yang akan dianalisa. Dari hasil praktikum didapatkan hasil bahwa kandungan asam lemak bebas (%FFA) pada minyak curah lebih tinggi dibandingkan dengan minyak sawit. Kandungan asam lemak bebas pada minyak curah yaitu 0,332% sedangkan minyak sawit yaitu 0,163%. Kandungan asam lemak bebas menunjukkan mutu dari suatu minyak goreng sesuai dengan SNI 7709:2012 tentang standar mutu minyak goreng yang telah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Indonesia (BSNI), dimana batas maksimum kandungan ALB pada minyak goreng adalah 0,3%. Tingginya kandungan ALB pada minyak curah menandakan bahwa mutu minyak curah rendah disebabkan karena pada proses pembuatan minyak curah yang mengalami penyaringan sederhana atau bahkan hanya mengalami satu kali penyaringan berbeda dengan minyak kelapa sawit yang bermerk yang melalui tiga tahapan penyaringan. Proses penyaringan pada pembuatan minyak goreng berpengaruh terhadap asam lemak bebas karena pada minyak goreng hanya dilakukan satukali penyaringan masih tersisa paritkel-partikel atau serabut yang berukuran kecil yang tidak bisa hilang jika hanya satu kali penyaringan saja karena berat jenisnya sama dengan minyak sawit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Qurrota (2013) yang menyatakan bahwa perbedaan mendasar dari minyak kelapa sawit kemasan dengan minyak kelapa sawit curah adalah pada proses  pemurnian, penyulingan, penghilangan bau. Pada pengujian asam lemak bebas ini dilakukan pengujian pada lima sampel minyak goreng sawit dengan merek yang berbeda. Dari hasil pengujian, didapatkan kandungan free fatty acid (FFA) yang berbeda tiap sampelnya. Sampel yang kandungan asam lemak bebasnya tinggi adalah sampel minyak goreng yang diujikan oleh kelompok V, yaitu 0,337% dan yang paling rendah adalah sampel yang diujikan oleh kelompok I dan II yaitu 0,163%. Adanya persamaan kandungan ALB pada sampel kelompok I dan II adalah karena menggunakan minyak kelapa sawit dengan merek yang sama. Begitupula dengan pengujian kadar ALB pada lima sampel minyak curah, hasilnya berbeda-beda tiap kelompok, kelompok V adalah yang paling tinggi ALB nya sedangkan kelompok IV adalah yang paling rendah. Perbedaan kadar ALB tiap sampel dipengaruhi oleh jumlah NaOH yang dibutuhkan dalam proses titrasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Qarrota (2013) yang menyatakan bahwa minyak goreng memiliki kandungan asam lemak bebas yang berbeda beda. Hal ini dapat terjadi karena  proses dari pembuatan masing-masing minyak tidaklah sama. Sebagai indikator  besar kecilnya kandungan asam lemak bebas yang terdapat pada minyak adalah  berdasarkan jumlah NaOH yang diperlukan untuk titrasi. Asam lemak bebas merupakan asam lemak yang terbentuk dari proses hidrolisis dan oksidasi. Kandungan asam lemak bebas pada minyak goreng merupakan parameter dari mutu suatu minyak goreng. Penentuan asam lemak bebas dapat dilakukan dengan metode titrasi basa (NaOH). Pada prinsipnya, metode ini menganalisis asam lemak bebas berdasarkan dengan jumlah NaOH yang digunakan dalam titrasi hingga membentuk warna sampel menjadi merha jambu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Maligan (2014) yang menyatakan bahwa prinsip dari titrasi asam basa yaitu Analisis jumlah asam lemak bebas dalam suatu sampel ekuivalen dengan jumlah basa (NaOH) yang ditambahkan dalam titrasi yang ditandai dengan berubahnya warna sampel menjadi warna merah jambu. Lemak merupakan golongan lipida yang bersifat non polar dan hanya dapat larut dalam larutan organik. Pada praktikum ini, digunakan alkohol netral sebagai pelarut organiknya. Alkohol digunakan agar dapat melarutkan lemak sehingga sampel dapat bereaksi dengan NaOH. Sebelum dititrasi, dilakukan pemasan agar minyak dan alkohol dapat bereaksi dengan cepat agar alkohol dapat larut seutuhnya. Hal ini sesuai dengan penyataan Himka (2011) yang menyatakan bahwa fungsi penambahan alkohol adalah untuk melarutkan lemak atau minyak dalam sampel agar dapat bereaksi dengan basa alkali. Fungsi pemanasan (refluks) saat percobaan adalah agar reaksi antara alkohol dan minyak tersebut bereaksi dengan cepat, sehingga pada saat titrasi diharapkan alkohol (etanol) larut seutuhnya. Indikator PP (phenolphthalein) merupakan senyawa organik yang juga digunakan dalam pengujian asam lemak bebas sebelum sampel dititrasi dengan NaOH. Indikator pp merupakan asam lemah yang tidak berwarna. Pada larutan asam atau netral, indikator PP tidak berwarna sedangkan saat bercampur dengan zat yang bersifat basa seperti NaOH maka akan mengubah warna larutan menjadi merah jambu. Dalam hal ini penambahan ion hidroksida menghilangkan ion hydrogen dari kesetimbangan yang mengarah ke kanan sehingga mengubah indikator menjadi merah jambu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cahyati (2012) yang menyatakan bahwa fenolftalein adalah bentuk asam lemah. Pada kasus ini, asam lemah tidak berwarna dan ion-nya berwarna merah muda terang. Penambahan ion hidrogen berlebih menggeser posisi kesetimbangan ke arah kiri dan mengubah indikator menjadi tak berwarna. Penambahan ion hidroksida menghilangkan ion hidrogen dari kesetimbangan yang mengarah ke kanan untuk menggantikannya. Mengubah indikator menjadi merah jamb. Setengah tingkat terjadi pada pH 9,3. Karena pencampuran warna merah muda dan tak berwarna menghasilkan warna merah muda yang pucat. NaOH (Natrium hidroksida) merupakan larutan basa yang digunakan pada proses akhir pengujian asam lemak bebas. Pada tahapan ini, NaOH 0,1 N diteteskan pada larutan minyak hingga membentuk warna merah jambu. Jumlah volume yang digunakan untuk menitrasi larutan minyak dan alkohol digunakan dalam proses penentuan asam lemak bebas. Penggunaan NaOH berfungsi untuk mengukur beberapa besar asam lemak yang bebas dari minyak karena NaOH mampu menghidrolisis minyak menjadi gliserol dan asam lemak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hadi (2012) yang menyatakan bahawa Titrasi dilakukan menggunakan NaOH 0,1 N sampai terbentuk warna merah jambu yang tidak hilang dalam 30 detik. Penggunaan NaOH berfungsi untuk mengukur beberapa besar asam lemak yang bebas dari minyak. Basa NaOH mampu menghidrolisis minyak menjadi gliserol dan asam lemak. PENUTUP V.1. Kesimpulan Kesimpulan yang didapatkan dari hasil praktikum ini adalah sebagai berikut: Pengujian asam lemak bebas pada bahan pangan dapat dilakukan dengan metode titrasi, yaitu pada tahap pertama sampel ditambahkan dengan alkohol netral, dipanaskan, kemudian ditambahkan indikator PP dan dititrasi dengan NaOH 0,1 N hingga berwarna merah jambu. Dari dari volume NaOH yang digunakan pada titrasi dihitunglah ALB sampel dengan rumus: Kandungan asam lemak bebas pada minyak goreng sawit adalah 0,163% sedangkan pada minya curah yaitu 0,163%. Berdasarkan kandungan asam lemak bebas, minyak yang baik digunakan adalah minyak goreng kelapa sawit. V.2. Saran Saran untuk praktikum ini adalah agar teliti pada saat melakukan titrasi dan juga diharapkan berhati-hati. Serta sebelum memulai praktikum sebaiknya alat dan bahan yang ddibutuhkan sudah tersedia. Pada saat melakukan analisa asam lemak bebas ini, praktikan juga diharapkan agar tidak bermain didalam laboratorium agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. DAFTAR PUSTAKA Angga, Gery. 2012. Laboratorium. http://www.scribd.com/doc/103138808/ Dasar-Teory-PALM-OIL. Diakses pada tanggal 28 November 2014. Makassar. Badan Standar Nasional Indonesia. SNI 7709:2012. Syarat Mutu Minyak Goreng Kelapa Sawit. Dewan Standar Nasional: Jakarta. Bundakata, 2007. Minyak Goreng Curah dan Kemasan. http://bundakata. blogspot.com/2012/06/minyak-gorengcurahdankemasan.html. Diakses pada tanggal 19 Oktober 2012, Makassar. Darnoko D. S. 2003. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit Dan Produk Turunannya. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan Dewi, Mega Twilana Indah. 2012. Peningkatan Mutu Minyak Goreng Curah Menggunakan Adsorben Bentonit Teraktivasi. http://www.scribd.com/doc/ 118556336/PENINGKATAN-MUTU-MINYAK-GORENG-CURAH-MENG GUNAKAN-ADSORBEN-BENTONIT-TERAKTIVASI-BULK-COOKING-OIL-QUALITY-IMPROVEMENT-USING-ADSORBENT-ACTIVATED-BENTONI# download. Diakses pada tanggal 28 November 2014. Makassar Fauzi, Y.dkk. 2002. Kelapa Sawit. Edisi Revisi. Cetakan XIV. Penebar Swadaya. Jakarta. Hadi, Danang K. 2012. Analisa Lipida Gizi.  http://danang-kurang-kerjaan. blogspot.com/2012/10/analisa-lipida-gizi_7635.html. Diakses pada tanggal 28 November 2014. Makassar. Himka. 2011. Kimia Organik. http://himka1polban.wordpress.com/laporan/kimia-organik/89-2/. Diakses pada tanggal 19 Oktober 2012. Makassar. Hariyadi, Purwiyanto. 2014. Buku Mengenal Saeit Dengan Beberapa Karakter. http://www.gapki.or.id/assets/upload/Buku%20Mengenal%20Minyak%20Sawit%20Dengan%20Beberapa%20Karakter%20Unggulnya-GAPKI.pdf. GAPKI. Diakses pada tanggal 4 Desember 2014. Makassar Maligan, Mahar J. Analisis Lemak dan Minyak. 2014. http://maharajay.lecture. ub.ac.id/files/2014/02/Analisis-Lemak-Minyak1.pdf. Diakses pada tanggal 28 November 2014. Makassar Julisti, Bertha, 2010. Penentuan Angka Penyabunan dan Asam Lemak Bebas (FFA). http://btagallery.blogspot.com/2010/02/blog-post_4540.html. Diakses pada tanggal 28 November 2014. Makassar. Ketaren, S. , 1986. Pengantar teknologi minyak dan lemak pangan. Universitas Indonesia, Jakarta. Mustaqim, Mohammad Nizam. 2012. Minyak# Definisi dan Penyabunan. http://nizamora.blogspot.com/2012/10/minyakdefinisi-dan-penyabunan. html. Diakses pada tanggal 28 November 2014. Makassar. Tseng, Y. C., R. Moreira, and X. Sun. 1996. Total Frying-use Time Effects on Soybeanoil Deterioration and on Tortilla Chips Quality. International Journal of Food Science and Technology. 31: 287-294. Tim Penulis PS. 1997. Kelapa Sawit: Usaha Budidaya, Pemanfaatan Hasil, dan Aspek Pemasaran.Jakarta: Penebar Swadaya. Qurrota, Hilma. 2013. Kerusakan Minyak. https://www.academia.edu/8072515/ Laporan_Praktikum_Kimia_Pangan_1_-_Kerusakan_Minyak. Di akses pada tanggal 08 Desember 2014. Makassar LAMPIRAN Hasil Perhitungan Asam Lemak Bebas Minyak Curah Dik : mL NaOH = 0,65 mL N NaOH = 0,1 N BM asam lemak = 269 gr Hasil Perhitungan Asam Lemak Bebas Minyak Sawit Dik : mL NaOH = 0,32 mL N NaOH = 0,1 N BM asam lemak = 269 gr Mangoensoekardjo. S. 2003. Manajemen Aagrobisnis Kelapa Sawit. Yogyakarta: UGM-Press.