Academia.eduAcademia.edu

MAKALAH akustik

Auditorium merupakan tempat untuk menampilkan pertunjukan pentas seni seperti teater, opera, dan musik. Pertunjukan yang bisa dinikmati dengan nyaman, atau sebaliknya antara lain tergantung atas kualitas akustik ruang. Perancang interior ikut berperan dalam mempengaruhi sukses tidaknya suatu pertunjukan yaitu dalam menciptakan kualitas karakter akustik. Ketika mendesain auditorium, perancang perlu memikirkan faktor-faktor estetika bunyi pada akustik. Kriteria akustik yang baik dalam suatu auditorium utamanya dipengaruhi oleh bentuk denah dan dimensi ruang, di mana keduanya dapat menciptakan parameter akustik yang bersifat objektif dan subjektif.

Abstrak Auditorium merupakan tempat untuk menampilkan pertunjukan pentas seni seperti teater, opera, dan musik. Pertunjukan yang bisa dinikmati dengan nyaman, atau sebaliknya antara lain tergantung atas kualitas akustik ruang. Perancang interior ikut berperan dalam mempengaruhi sukses tidaknya suatu pertunjukan yaitu dalam menciptakan kualitas karakter akustik. Ketika mendesain auditorium, perancang perlu memikirkan faktor-faktor estetika bunyi pada akustik. Kriteria akustik yang baik dalam suatu auditorium utamanya dipengaruhi oleh bentuk denah dan dimensi ruang, di mana keduanya dapat menciptakan parameter akustik yang bersifat objektif dan subjektif. Bioskop merupakan salah satu bangunan yang merupakan pengembangan dari auditorium namun tetap mengacu pada konsep akustik yang sama. Pengaturan tata letak dan bahan dari tempat duduk penonton, jalur pandang yang bebas,serta bentuk dan sifat bahan finishing pada bidang (reflektif atau absorbtif ) yang melingkupi auditorium merupakan elemen penting yang perlu mendapat perhatian. Kata kunci : elemen interior, karakter akustik,biosop dan auditorium. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Permasalahan Indera pendengaran merupakan alat komunikasi manusia terpenting kedua setelah penglihatan. Indera penglihatan atau mata dapat dipejamkan untuk menghindari pandangan yang tidak menyenangkan sedangkan telinga selalu terbuka bagi semua bunyi yang ada, sehingga perlu dipikirkan untuk mengurangi atau mencegah semaksimal mungkin bunyi yang kurang menyenangkan. Prinsip utama desain akustik ruang dalam adalah memperkuat atau mengarahkan bunyi yang berguna serta menghilangkan atau memperlemah bunyi yang tidak berguna untuk pendengaran manusia. Dengan demikian, dalam mendesain interior tempat-tempat berkumpul yang berfungsi untuk menampung orang banyak seperti gedung pertunjukan, gedung bioskop, gedung parlemen, gedung sidang, perlu memperhatikan karakter masing-masing akustiknya. Dalam merancang interior gedung bioskop yang menyajikan pertunjukan film, desain akustiknya diarahkan untuk dapat memberi kepuasan kepada setiap penonton yang berada dalam ruang. Penonton dapat mendengar dengan jelas setiap artikulasi percakapan aktor sehingga nuansa dan efek dramatis yang berusaha ditampilkan dapat ditangkap dan dicerna. Tetapi dalam gedung auditorium yang menyajikan pertunjukan musik, artikulasi musiknya dan mimik aktor bukan merupakan hal yang utama, karena yang terpenting adalah setiap penonton yang berada dalam ruang dapat mendengar dan menikmati harmoni irama musik tersebut dengan baik. Akustik yang baik dalam gedung auditorium dipengaruhi oleh faktor-faktor objektif dan subjektif. Desain yang mempengaruhi kualitas karakter akustik adalah dimensi, dimana dipengaruhi oleh kapasitas maksimum penonton dan bentuk yang diciptakan oleh lantai, dinding dan plafon, serta sifat bidang penutup interior yang absorbtif atau reflektif. Bentuk dan dimensi ruang dalam ternyata merupakan unsur-unsur yang paling penting untuk dapat memperkaya karakter akustik suatu ruang, yaitu dalam menghasilkan pantulan bunyi yang berguna bagi karakter akustik suatu auditorium. Sebenarnya tidak ada rumus akustik yang paling ideal sebab suksesnya suatu pertunjukan akan menampilkan keunikan karakter akustik pada auditorium tempat pertunjukan itu berlangsung. Karakter akustik dapat disesuaikan dengan kebutuhan pertunjukan pada saat itu, dengan cara memodifikasi desain interiornya. Hal ini untuk mengantisipasi kebutuhan masa kini akan ruang multiguna dengan desain akustik yang dapat disesuaikan secara praktis, karena penggunaan tunggal suatu ruang sudah jarang diminati. Pada problema akustik yang kompleks, solusinya tidak mudah serta membutuhkan kerjasama dengan para pakar akustik. Namun, dengan mengetahui prinsip - prinsip akustik auditorium yang sederhana, maka hal ini dapat memberi keyakinan bagi para perancang untuk tidak melakukan kesalahan yang fatal dalam mendesain interior sebuah gedung auditorium. 1.2 Batasan Permasalahan Permasalahan kebisingan menjadi halyang biasa diindonesia, tingkat kebisingan di Negara ini merupakan kebisingan yang semakin parah setiap tahunnya. Kebisingan dikota-kota besar dengan jumlah kendaraan yang semakin meningkat sehingga menyebabkan ketidaknyamanan dalam beraktivitas. Permasalahan-permasalahan kebisingan yang terjadi di bioskop ini biasanya terlalu banyak sehingga memerlukan pembatasan sehingga mempermudah dalam penyelesaikan permasalahanya. Adapun batasan permasalahan yang akan dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah kebisingan yang akan dibahas dalam gedung ini adalah kebisingan dari dalam bangunan, untuk kebisingan dari luar gedung akan diperhatikan tingkat gambungan dari sumber tersebut, selain itu permasalahan ini akan dibahas sehingga menemukan suatu pemecahan permasalahan tetapi bukan merencakan akustik untuk Gedung Bioskop Margo Platinum XXI. 1.3 Tujuan Penelitian Kualitas akustik bioskop merupakan permasalahan yang paling penting dari sebuah bioskop. Sehingga tujuan pembahasan asalah akustik pada Gedung Bioskop Margo Platinum XXI adalah untuk : Mengetahui sumber-sumber yang potensial menyebabkan terjadinya kebisingan pada gedung ini Mengetahui berapa besar kebisingan yang terjadi pada ruangan tersebut Mengetahui kualitas akustik yang dimiliki Mengetahui langkah-langkah penanganan permasalahan akustik dan juga bahan-bahan yang dapat berfungsi sebagai akustik 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari makalah ini adalah sebagai bahan perbandingan mengenai kualitas dan kriteria akustik sebuah bioskop yang baik . Hal ini nantinya bisa digunakan sebagai bahan referensi untuk merancang bioskop yang baik. BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengertian Akustik Akustik ( dari bahasa Yunani akouein = mendengar) adalah ilmu terapan yang dimaksudkan untuk memanjakan indra pendengaran Anda di suatu ruang tertutup terutama yang relatif besar.Arsitek Romawi dari abad ke 1 Marcus Pollio sudah mulai melakukan pengamatan cermat tentang gema dan interferensi (getaran-getaran suara asli dan getaran pantulan yang saling menghilangkan) dari suatu ruangan. Namun baru pada tahun 1856 akustik ini mulai dibangun sebagai suatu ilmu oleh Joseph Henry dan akhirnya dikembangkan penuh oleh Wallace Sabine di tahun 1900. Keduanya adalah fisikawan Amerika. Namun sayangnya kecenderungan sampai saat ini dinegara kita nampaknya menunjukan bahwa kecuali pada ruangan ruangan khusus seperti untuk ruang konsert, studio rekaman atau panggung teater, rancangan akustik umumnya diabaikan. Padahal di ruang manapun , bagi orang-orang yang indra pendengarannya sensitif, berada diruang yang berakustik buruk merupakan siksaan 2.2 Perkembangan Akustik Auditorium Untuk dapat mengenal akustik dengan baik, berikut diuraikan sejarah perkembangannya yang berawal dari desain bangunan umum bangsa Yunani. Dahulu perkembangan akustik ruang berasal dari kebutuhan akan perlakuan bunyi pada bangunan umum, mulai dari perkembangan teater Yunani klasik dan Romawi, gereja Gothic dan Baroque, gedung opera abad ke-19 serta gedung pertunjukan abad ke-20. Dalam membangun tempat-tempat pertemuan umum, bangsa Yunani telah mempelajari dasar-dasar akustik ruang dengan mengarahkan bunyi yang dikehendaki dan mengurangi bunyi yang mengganggu. Bangunan-bangunan Yunani yang perlu diperhatikan akustiknya seperti arena gladiator, tempat pertandingan, dan olah raga Bentuk denah teater Yunani antara lain berupa semi-circular atau semi-elliptical dengan panggung melingkar di tengah dan tempat duduk penonton mengelilingi panggung sedangkan di belakang panggung merupakan bangunan yang berfungsi sebagai ruang ganti, ruang istirahat, ruang pelayanan (service) dan sebagainya. Bangsa Yunani berusaha untuk mendapatkan kenyamanan garis pandang sekaligus pendengaran yang baik dengan cara pengaturan tempat duduk yang bertingkat-tingkat. Maksud dan tujuan pengaturan ini agar penonton dapat sedekat mungkin dengan panggung, sehingga dialog dapat didengar dan ekspresi muka aktor dapat terlihat. Contoh teater yang masih ada sampai saat ini antara lain teater berbentuk semi-elliptical di Herodes Atticus-Athena, yang bentuknya didesain dengan menggunakan banyak permukaan pantul di sekeliling panggung untuk memperkuat intensitas bunyi asli. Pada perkembangan selanjutnya, bangsa Romawi memotong lingkaran panggung menjadi setengah lingkaran, sehingga penonton menjadi lebih dekat dengan sumber bunyi. Teater Romawi memperlihatkan tempat duduk yang bertingkat-tingkat lebih curam dibandingkan dengan teater Yunani. Belakang panggung diberi latar belakang dan ornamen, berfungsi untuk memantulkan bunyi dari panggung agar intensitas bunyi langsung menjadi bertambah kuat. Contoh teater Romawi yang megah antara lain Colloseum di Roma juga teater di Orange, Perancis yang dibangun abad ke-50 SM. Setelah kerajaan Romawi jatuh, satu-satunya bangunan umum yang dibangun selama abad pertengahan adalah gereja. Pada abad pertengahan, drama yang berkembang berasal dari gereja katolik dengan karakteristik liturgis, kadang-kadang diiringi dengan koor yang berfungsi juga untuk mengiringi misa (kebaktian). Ruang-ruang di katedral biasanya tertutup sepenuhnya dengan volume sangat besar, sehingga waktu dengung (reverberation time) dapat mencapai sekitar 8 detik. Akustik pada bangunan ini dengan waktu dengung (reverberation time) yang panjang diperuntukkan bagi musik organ dan koor gereja. Pada jaman Renaissance dan sesudahnya, bentuk terbuka teater Romawi berkembang menjadi teater tertutup di Itali, sehingga bunyi dapat dipantulkan berulang kali melalui dinding dan plafon, daripada diserap oleh udara terbuka. Contohnya pada Teatro Olimpico di Vicenza (1585) yang dirancang oleh Palladio dan diselesaikan oleh Scamozzi. Teater ini menjadi awal mula yang penting dari sejarah perkembangan teater modern. Kemudian, bentuk denah berkembang menjadi bentuk U atau bentuk telur. Tempat duduk di dalam kotak mengelilingi panggung secara berhadap-hadapan, dan berkembang menjadi opera house. Contoh desain awal antara lain Teatro di Tor di Nona (1671) serta Opera House di Bayreuth-Jerman (1748) yang mempertunjukkan music khusus karya Wagner. Pengaturan tempat duduk seperti ini dipertahankan terus sampai abad ke-19. Pada abad ke-19 beberapa nama yang menaruh perhatian terhadap akustik muncul, diantaranya Lord Rayleigh dengan bukunya berjudul “The Theory of Sound”. Sebelum abad ke-20, W.C. Sabine dari Univeristas Harvard telah merintis perancangan akustik ruang, dengan teorinya ”Reverberation Time” (waktu dengung). Mulai saat itu, ilmu akustik menjadi maju dengan pesat. Pada abad ke-20 (1927) Walter Gropius mendesain “The Total Theatre” yang mengambil inspirasi dari teater Yunani. Denahnya berbentuk oval dengan tempat duduk penonton melingkari panggung. Selain itu masih banyak lagi desain-desain auditorium dengan kapasitas penonton lebih dari 2.000 orang, yang tentunya membutuhkan desain akustik serius, seperti “The Boston Symphony Hall” dengan kapasitas 2.600 tempat duduk (Legoh, 1993). 2.3 Dasar – Dasar Akustik Gelombang Suara Gelombang suara adalah getaran/osilasi yang terjadi akibat fenomena tekanan, regangan, perubahan posisi partikel, dan perubahan kecepatan partikel dari medium pengantar gelombang suara itu sendiri (udara, air/cairan atau juga benda padat). Getaran/osilasi itu sendiri, terjadi pada sumber suaranya, misalnya snar gitar dan juga body gitar itu sendiri. Gelombang suara itu sendiri harus merambat melalui medium (atau juga kombinasi medium2 dengan jenis berbeda, misalnya udara dan tembok atau kaca jendela). Gelombang suara yang merambat di udara (umumnya) merupakan penyebab terjadinya sensasi pendengaran pada telinga manusia. Seperti efek domino, pergerakan gelombang terjadi dengan cara perpindahan energi yang terdapat pada gelombang tersebut dari satu partikel ke satu partikel dekat lainnya pada suatu medium. Kecepatan rambat gelombang bergantung pada kerapatan massa mediumnya. Di udara, gelombang suara merambat dengan kecepatan kira-kira 340 m/s. Pada medium rambat zat cair dan padat, kecepatan rambat gelombang suara menjadi lebih cepat yaitu 1500 m/s di dalam air dan 5000 m/s di dalam besi. Parameter gelombang suara. Penyimpangan tekanan medium dari kondisi seimbangnya yang terjadi akibat adanya propagasi gelombang suara. Diukur dalam satuan Pascal (Pa). Parameter ini dipersepsikan oleh telinga manusia sebagai Jumlah osilasi partikel medium yang terjadi dalam setiap detik. Diukur dalam satuan cps (cycle per second) atau Hertz (Hz). Perbandingan antara jarak tempuh gelombang dengan waktu yang diperlukannya. Diukur dalam satuan meter/sekon (m/s) atau meter/detik (m/dt). Intensitas Suara Gelombang suara pada umumnya menyebar dengan arah persebaran spheris / bola, atau menyebar ke segala arah dengan merata, kecuali pada kondisi-kondisi tertentu yang disebabkan oleh atenuasi lingkungan. Intensitas suara menggambarkan kerapatan energy suara persatuan uas persebaran. Pada sumber dengan propagasi gelombang bidang (satu dimensi), penghitungan Intensitas (I) menggunakan rumus berikut : Untuk sumber titik dengan propagasi gelombang bola, intensitas suara dapat dihitung menggunakan rumus : Dimana : prms = tekanan akustik RMS, Pa c0 = kecepatan rambat gelombang di udara, m/s ρ          = rapat masa medium rambat g/m3 2.4 Parameter Akustik Ruang Kriteria yang biasa dipakai untuk mengukur kualitas akustik ruang auditorium adalah parameter subjektif dan objektif. Parameter subjektif lebih banyak ditentukan oleh persepsi individu, berupa penilaian terhadap seorang pembicara oleh pendengar dengan nilai indeks antara 0 sampai 10. Parameter subjektif meliputi intimacy, spaciousness atau envelopment, fullness, dan overal impressions yang biasanya dipakai untuk akustik teater dan concert hall (Legoh, 1993). Paramater ini memiliki banyak kelemahan karena persepsi masing-masing individu dapat memberikan penilaian yang berbedabeda sesuai dengan latar belakang individu, sehingga diperlukan metoda pengukuran yang lebih objektif dan bersifat analitis seperti bising latar belakang (background noise), distribusi Tingkat Tekanan Bunyi (TTB), RT (Reverberation Time), EDT (Early Decay Time), D50 (Deutlichkeit), C50, C80 (Clarity), dan TS (Centre Time). Tingkat Bising Latar Belakang (Background Noise Level) Dalam setiap ruangan, dirasakan atau tidak, akan selalu ada suara. Hal ini menjadi dasar pengertian tentang adanya bising latar belakang (background noise). Bising latar belakang dapat didefinisikan sebagai suara yang berasal bukan dari sumber suarautama atau suara yang tidak diinginkan. Dalam suatu ruangan tertutup seperti auditorium maka bising latar belakang dihasilkan oleh peralatan mekanikal atauelektrikal di dalam ruang seperti pendingin udara (air conditioning), kipas angin, dan seterusnya. Demikian pula, kebisingan yang datang dari luar ruangan, seperti bising lalu lintas di jalan raya, bising di area parkir kendaraan, dan seterusnya. Bising latar belakang tidak dapat sepenuhnya dihilangkan, akan tetapi dapat dikurangi atau diturunkan melalui serangkaian perlakuan akustik terhadap ruangan. Besaran bising latar belakang ruang dapat diketahui melalui pengukuran Tingkat Tekanan Bunyi (TTB) di dalam ruangan pada rentang frekuensi tengah pita oktaf antara 63 Hz sampai dengan 8 kHz, dimana hasil pengukuran digunakan untuk menentukan kriteria kebisingan ruang dengan cara memetakannya pada kurva kriteria kebisingan (Noise Criteria – NC). Distribusi Tingkat Tekanan Bunyi (TTB) Salah satu tujuan dalam mendesain ruang auditorium adalah mencapai suatu tingkat kejelasan yang tinggi sehingga diharapkan agar setiap pendengar pada semua posisi menerima tingkat tekanan bunyi yang sama. Suara yang dipancarkan oleh pembicara atau pemusik diupayakan dapat menyebar merata dalam auditorium, agar para pendengar dengan posisi yang berbeda-beda dalam auditorium tersebut memiliki penangkapan dan pemahaman yang sama akan informasi yang disampaikan oleh pembicara maupun pemusik. Syarat agar pendengar dapat menangkap informasi yang disampaikan meskipun dalam posisi berbeda adalah selisih antara tingkat tekanan bunyi terjauh dan terdekat tidak lebih dari 6 dB. Jika dalam suatu ruangan yang relatif kecil di mana sumber bunyi dengan tingkat suara yang normal telah mampu menjangkau pendengar terjauh, maka hampir dapat dipastikan bahwa distribusi tingkat tekanan bunyi dalam ruangan tersebut telah merata. Respon Impuls Ruang a. Waktu Dengung (Reverberation Time) Parameter yang sangat berpengaruh dalam desain akustik auditorium adalah waktu dengung (Reverberation Time). Hingga saat ini, waktu dengung tetap dianggap sebagai kriteria paling penting dalam menentukan kualitas akustik suatu auditorium. Dalam geometri akustik disebutkan bahwa bunyi juga mengalami pantulan jika mengenai permukaan yang keras, tegar, dan rata, seperti plesteran, batu bata, beton, atau kaca. Selain bunyi langsung, akan muncul pula bunyi yang berasal dari pantulan tersebut. Bunyi yang berkepanjangan akibat pemantulan permukaan yang berulang-ulang ini disebut dengung. Waktu dengung adalah waktu yang dibutuhkan suatu energi suara untuk meluruh hingga sebesar sepersatujuta dari energi awalnya, yaitu sebesar 60 dB. Sabine (1993) mendefinisikan waktu dengung yaitu waktu lamanya terjadi dengung di dalam ruangan yang masih dapat didengar. Dalam perkembangannya, waktu dengung tidak hanya didasarkan pada peluruhan 60 dB saja, tetapi juga pada pengaruh suara langsung dan pantulan awal (EDT) atau peluruhan-peluruhan yang terjadi kurang dari 60 dB, seperti 15 dB (RT15), 20 dB (RT20), dan 30 dB (RT30). Waktu dengung (Reverberation Time) sangat menentukan dalam mengukur tingkat kejelasan speech. Auditorium yang memiliki waktu dengung terlalu panjang akan menyebabkan penurunan speech inteligibility, karena suara langsung masih sangat dipengaruhi oleh suara pantulnya. Sedangkan auditorium dengan waktu dengung terlalu pendek akan mengesankan ruangan tersebut “mati”. b. EDT (Early Decay Time) EDT atau Early Decay Time yang diperkenalkan oleh V. Jordan yaitu perhitungan waktu dengung (RT) yang didasarkan pada pengaruh bunyi awal yaitu bunyi langsung dan pantulan-pantulan awal yaitu waktu yang diperlukan Tingkat Tekanan Bunyi (TTB) untuk meluruh sebesar 10 dB. Pengukuran EDT disarankan untuk menghitung parameter subjektif seperti reverberance, clarity, dan impression. c. Definition atau Deutlichkeit ( a time window of 50 ms), D50 Definition merupakan kemampuan pendengar membedakan suara dari masing-masing instrumen dalam sebuah pertunjukan musik dalam kondisi transien, nada dasar dan harmoniknya mulai membentuk sehingga kemungkinan terjadi variasi spektrum. Definition juga merupakan kriteria dalam penentuan kejelasan pembicaraan dalam suatu ruangan dengan cara memanfaatkan konsep perbandingan energi yang termanfaatkan dengan energi suara total dalam ruangan. D50 merupakan rasio antara energi yang diterima pada 50 ms pertama dengan total energi yang diterima. Durasi 50 ms disebut juga batas kejelasan speech yang dapat diterima. Semakin besar nilai D50 maka semakin baik pula tingkat kejelasan pembicaraan, karena semakin banyak energi suara yang termanfaatkan dalam waktu 50 ms. Inteligibilitas atau kejelasan yang baik didapatkan untuk harga D50 >0%. Adapun kategori penilaian bagi speech intelligibility berdasarkan D50 dapat diukur seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Kategori penilaian Speech Intelligibility berdasarkan D50 D50(%) SI (%) Kategori 0- 20 0-60 Sangat buruk 20-30 60-80 Buruk 30-45 80-90 Cukup/sedang 45-70 90-97,5 Bagus 70-80 97,5-100 Sangat bagus d. Clarity atau Klarheitsmass (C50 ; C80) Clarity diukur dengan membandingkan antara energi suara yang termanfaatkan (yang datang sekitar 0.05 – 0.08 detik pertama setelah suara langsung) dengan suara pantulan yang datang setelahnya, dengan mengacu pada asumsi bahwa suara yang ditangkap pendengar dalam percakapan adalah antara 50-80 ms dan suara yang datang sesudahnya dianggap suara yang merusak. Semakin tinggi nilai C50, maka semakin pendek waktu dengung, demikian pula sebaliknya. Tingkat kejelasan pembicaraan akan bernilai baik jika C50 lebih kecil atau sama dengan -2 dB. C80 merupakan rasio dalam dB antara energi yang diterima pada 80 ms pertama dari signal yang diterima dan energi yang diterima sesudahnya. Batas ini ditujukan untuk kejelasan pada musik. Nilai C80 adalah nilai parameter yang terukur lebih dari 80 ms, semakin tinggi nilai C80 maka suara akan semakin tidak bagus. e. TS (Centre Time) TS merupakan waktu tengah antara suara datang (direct) dan suara pantul (early to late), semakin tinggi nilai TS maka kejernihan suara akan semakin buruk.TS merupakan sebuah titik dimana energi diterima sebelum titik ini seimbang dengan energi yang diterima sesudah titik tersebut. TS sebagai pengukur sejauh mana kejelasan sebuah suara diterima oleh pendengar, di mana semakin rendah nilai TS semakin jelas suara yang diterima. Menurut Ribeiro (2002), parameter objektif berupa respon impuls ruang yang meliputi waktu dengung (Reverberation Time), waktu peluruhan (Early Decay Time), D50 (Definition), C50, C80 (Clarity) dan TS (Centre Time) memiliki standar besaran optimum tertentu yang perlu diperhatikan, pada Tabel 2. Nilai Optimum Parameter Akustik Objektif Ruang Auditorium Accoustical Parameters Conference Music Reverberation Time (RTmid,s) 0.85<Rtmid<1.30 1.30<RTmid<1.83 Early Decay Time (EDT,s) 0.648<EDTmid≤0.81 1.04<EDTmid≤1.76 Definition (D,%) ≥65 - Clarity (C50, C80, dB) C50>6 -2<C80<4 Centre Time (TS, ms) <80 <80 Parameter Subjektif Parameter subjektif (berupa intimacy) merupakan impresi dalam kualitas bunyi yang seolah-olah sumber bunyi berada di dekat pendengar, atau disebut pula “presence”.Spaciousness atau envelopment merupakan kriteria bunyi yang seolah-olah meliputi seluruh ruang dengan merata. Sedangkan fullness of tone merupakan karakter yang mudah dikenali dalam musik, berkaitan dengan kualitas bunyi yang dihasilkan oleh instrumen musik secara memuaskan, kualitasnya sangat ditentukan oleh waktu dengung.Overal impression merupakan penilaian rata-rata dari semua parameter yang penting. Kondisi akustik suatu pertunjukan perlu disesuaikan dengan karakter kebutuhan akustik bagi suatu pertunjukan. Untuk ruang yang tidakterlalu besar, sampai dengan 2.800 m2, perlakuan akustiknya tidak begitu berbeda.Namun, untuk ruang yang lebih besar, pilihan waktu dengung yang tepat perlu dikompromikan. Apabila auditorium tidak dilengkapi oleh sistem pengeras suaraelektronik (elektro-akustik ), sebaiknya jumlah penonton dibatasi sampai 1.000 orang. Bila ruang dilengkapi dengan sistem pengeras suara elektronik, maka karakter akustikyang diinginkan dapat diatur dengan mudah, disesuaikan dengan waktu dengung yang tepat untuk kebutuhan tertentu. Sistem tersebut dapat dipakai untuk mengubah dan menyesuaikan kondisi akustik yang dibutuhkan. 2.5 Tata suara dan Akustik pada Bioskop Film adalah media audio-visual, maka suara atau audio haruslah mendapat porsi 50% dari film tersebut. Sejak ditetapkannya standar sound untuk film pada tahun 1930 oleh The Academy of Motion Picture Arts and Sciences, film seperti mendapat nafas baru. Para pembuat filmpun mulai memikirkan bagaimana instalasi suara pada bioskop. Mereka tidak hanya berkutat pada bagimana merekam suara pada filmnya, tetapi juga bagaimana suara pada film itu akan terdengar oleh penonton di dalam bioskop. Setelah itu, berturut-turut teknologi suara untuk bioskop semakin berkembang. Dari 4 channel, bertambah menjadi 6 channel. Tidak berhenti di 6 channel, tahun 1970, lahirlah teknologi suara Dolby’s A Type yang pertama kali dipraktekkan pada film ‘Clockwork Orange’.   Teknologi Dolby yang digunakan sekarang ini adalah teknologi Dolby Digital di mana suara surround sudah bisa dinikmati dengan total di sekeliling bioskop. Dolby Digital 5.1 Channel Surround adalah yang paling umum digunakan. Terdapat 5 speaker dan 1 subwoofer yang dipasang. .1 channel menandakan subwoofer yang digunakan untuk menghasilkan low-frequency Effect (LFE). Pemasangangannya kurang lebih seperti di bawah ini, 2 channel dipasang di kiri kanan depan, 1 channel di tengah depan, 2 channel surround di kanan dan kiri, juga 1 channel LFE. Standardnya, speaker kanan dan kiri depan bersudut 30° dari speaker depan, dan speaker surround yang ada di kanan kiri membentuk sudut 120°. Prinsip dasar peletakan speaker yang digunakan untuk menghasilkan aliran suara yang konsisten di semua tempat dalam bioskop kurang lebih seperti di bawah ini. Speaker yang ada di belakang layar diletakkan mengarah ke bagian ruangan yang terletak 2/3 kedalaman ruangan. Sedangkan tinggi speaker berada di 1/3 dari tinggi ruangan. Speaker surround terdekat dari layar, minimal berjarak 1/3 dari kedalaman ruangan.  tampak atas tampak samping Gedung konser pada umumnya tidak memiliki surround sound, karena suara dari arah yang berbeda dengan panggung akan menimbulkan gangguan dalam menikmati bunyi. Oleh karena itu, penonton konser lebih suka tempat duduk yang dekat dengan panggung. Berbeda dengan gedung bioskop, surround sound justru merupakan elemen penting untuk membuat susasana spasial dalam ruangan yang tentunya tidak bertabrakan dengan suara dari speaker yang ada di depan. Dikatakan bahwa total energi yang berasal dari surround speaker haruslah mengimbangi speaker yang ada di depan. Posisi speaker harus diarahkan ke arah yang berlawanan dari tempat speaker berasal sehingga speaker dapat menghasilkan minimum perbedaan kekuatan antara dinding dan kursi penonton sebesar -3 dB. Suara yang dihasilkan dari surround speaker tidak boleh terdengar sama dengan suara yang berasal dari speaker depan. Maka dari itu, waktu delay dari speaker surround terhadap speaker yang ada di depan biasanya adalah 1 ms untuk jarak 340 mm. Berarti, suatu ruangan bioskop dengan panjang 34 m akan mempunyai waktu delay sebesar 100 ms atau 1/10 s. Selain teknologi suara, baik tidaknya akustik ruangan bioskop sangat mempengaruhi terdengarnya suara dari film. George Augspurger seorang ahli akustik mengatakan bahwa dalam akustik ada 3R yang harus diperhatikan 1.Room resonance (resonansi ruang) 2.Early reflections (refleksi) 3.Reverberation time (waktu dengung) Absorpsi merupakan hal terpenting dalam objektif perancangan sebuah bioskop. Berbeda dengan gedung konser di mana suara harus dipantulkan sebanyak mungkin, maka pada gedung bioskop suara justru harus diserap sebanyak mungkin. Pada gedung bioskop, pantulan suara harus diminimalisasi. Penyerapan suara biasanya disiasati dengan pemasangan kain tirai pada dinding samping kiri dan kanan, serta dinding pada bagian belakang. Selain itu bahan jok dan sandaran kursi harus dipilih yang tidak menyerap suara, tetapi tetap membuat penonton nyaman. Prinsipnya, dalam keadaan kosong atau diduduki, diusahakan agar tingkat penyerapan suara sama. Waktu dengung adalah rentang waktu antara saat bunyi terdengar hingga melenyap. Gedung bioskop dianggap baik ketika memiliki waktu dengung sekitar 1,1 detik. Kebanyakan pemasangan tirai pada dinding berhasil mengabsorpsi suara dengan frekuensi tinggi, tetapi kurang memperhatikan frekuensi rendah. Oleh Karena itu, diberlakukan prinsip 1/4 λ. Bahan penyerap suara yang digunakan harus diletakkan sejauh 1/4 λ dari frekuensi terendah yang diserap. Pada contoh di bawah ini, jika frekuensi terendahnya adalah 42 Hz, maka bahan penyerap suara sebaiknya diletakkan pada jarak 2 meter dari dinding. Untuk materialnya, dapat digunakan rock wool (fibreglass) yang dikatakan merupakan material dengan kemampuan absorpsi yang cukup tinggi. Material ini dikatakan dapat membuat sebuah ruangan hampir mendekati ruangan anechoic, dengan harga yang cukup murah. Hal yang harus diperhatikan lainnya adalah penghitungan Critical Distance atau Jarak kritis. Jarak kritis merupakan batas jarak di mana suara langsung yang berasal dari speaker dan suara pantul memiliki energi yang sama. Jarak kritis ini berbeda-beda di segala frekuensi. Semakin tinggi tingkat absorpsi suara di ruangan tersebut, maka semakin jauh pulalah jarak kritisnya. Desain ruangan akustik yang baik diusahakan memiliki Critical Distance sejauh mungkin dari sumber suara. Selain itu, ada standard kenyamanan sistem audio yang disebut THX. Speakernya sistem satelit, artinya speakernya tersebar di seluruh ruang bioskop itu. Untuk mendapatkan efek suara optimal sistem akustiknya juga harus mendukung. Jadi aliran suara bagi penonton yang duduk di depan maupun di belakang bisa merata. Selain itu Di Indonesia sendiri, bioskop yang sudah mendapat akreditasi THX adalah Blitz Megaplex dan The Premiere. THX pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Holman dari LucasFIlm. Eksperimen ini dibuat dikarenakan George Lucas yang menginginkan Star Wars (1983) ditayangkan di bioskop-bioskop dengan standar kenyaman menonton yang cukup baik. THX menyatakan standar kualitas bangku penonton, jumlah air-conditioning, sistem teknologi (surround) dan tata letak (akustik) speaker. Sekarang ini, Holman yang juga merupakan pengajar di University of Southern California sedang mengembangkan teknologi 10.2 channel surround sound. Sistem 10.2 ini menggunakan 12 speaker di 10 lokasi pemasangan dan 2 subwoofers untuk menciptakan kualitas suara yang dikatakan ada di luar batas imajinasi kita. BAB III TINJAUAN STUDI KASUS Akustik Bioskop Margo Platinum XXI Alamat :Margo City 2 st fl, Jl. Raya Margonda no.358. Depok, Jawa Barat Jumlah Studio : 4 Buah Jumlah Seat row : 10 baris Bentuk Ruang : Rectangular Sistem Audio : Surround sound Pengamatan kami lakukan di salah satu studio yaitu studio 4 dengan kapasitas 200 orang dan ukuran studio 15 x 7 x 6. Studio ini berbentuk persegi panjang dengan denah seperti ini. Sumber suara terdapat dari 8 speaker di bagian samping ,4 di bagian belakang dan 2 di bagian depan. Hal ini menghasilkan efek surround sound sehingga memberikan kesan lebih “nyata” Posisi speaker diarahkan ke arah yang berlawanan dari tempat speaker berasal sehingga speaker dapat menghasilkan minimum perbedaan kekuatan antara dinding dan kursi penonton sebesar -3 dB. Waktu delay dari speaker surround terhadap speaker yang ada di depan biasanya adalah 1 ms untuk jarak 340 mm. Maka waktu delay di bioskop ini dengan jarak 1500 mm adalah +/- 29,4 ms Untuk mengukur kualitas akustik ini,penulis memilih untuk menggunakan penilaian semiobjektif dengan software Audacity,penghitungan RT dan penilaian sbujektif dikarenakan terbatasnya peralatan yang dimiliki. 3.1 Penilaian semiobjektif Shift 1 detik Beginilah hasil penggambaran frekuensi suara dalam bioskop dalam shift 1 detik. Terlihat tidak begitu banyak noise yang terjadi terlepas dari kondisi alat perekam yang tidak terlalu baik. 3.2 Penilaian Subjektif 1.Liveness Tingkat Liveness dalam ruangan ini sudah cukup baik mengingat ini adalah bioskop yang memang memerlukan liveness yang cukup tinggi. 2. Intimacy Waktu tunda 29,4 ms memberikan Intimacy yang cukup baik walaupun tentu saja masih bisa diperbaiki dengan pengturan elemen interior yang ada. 3. Fullness vs Clarity Fullness dan Clarity dalam ruangan ini tergolong baik. Kejelasan akustik yang didukung oleh speaker di sekeliling menghasilkan kualitas yang baik. 4. Warmth vs Brilliance Waktu dengung yang merata baik pada frekuensi rendah maupun rtinggi menyebabkan bioskop ini memiliki Warmth and brilliance yang cocok untuk segala jenis suara namun tidak menonjol. 5. Blend dan Ensemble Berbagai suara dalam bioskop ini sudah dapat “blend” dan tidak bertabrakan karena material interior yang ada kebanyakan bersifat menyerap suara. 3.3 Waktu Dengung Waktu dengung dapat dihitung dengan menggunakan rumus Reverberation Time (RT) = 0,161 . V detik A + x .V dimana, A total = ∑ S . a Keterangan: RT = waktu dengung, dalam detik. V = volume ruang, dalam m3. A = jumlah total penyerapan (absorpsi) bunyi dalam ruang oleh bahan dan permukaan ruang dalam, dalam m2 sabins / sabins x = koefisien serap bunyi oleh udara. S = luas bidang bahan, dalam m2 a = koefisien absorpsi bahan Material yang digunakan dalam bioskop ini adalah Kita gunakan frekuensi 500 hz sebagai acuan a.Dinding : a = 180 + 84 = 264 m2 S.a = 264*0.35 = 92.4 b.Lantai : a = 49 + 8 = 57 m2 S.a = 57*0.06 = 3.42 c.Kursi : a = 200*0.5 = 100 m2 S.a = 100* 0.88 = 88 d. Ceiling : a = 15.7 = 105 m2 S.a = 105*0.04 = 4.2 Maka Waktu dengung ruangan bioskop adalah 0,161 x (15*7*6) detik (92.4+3.42+88+4.2) + .(15*7*6) = 101,43 188,02 BAB IV SARAN PERBAIKAN DAN PENYEMPURNAAN Secara umum kualitas akustik dari bioskop ini sudah cukup baik,namun perlu diperhatikan juga masalah kualitas speaker yang digunakan agar dapt menghasilkan kualitas suara yang baik juga. Selain itu material sekat antar studio hendaknya dipilih dari bahan yang kedap suara agar suara dari studio sebelah tidak mengganggu kenyamanan. BAB V KESIMPULAN Faktor akustik seringkali terlupakan dalam pembangunan berbagai ruangan namun adakalanya akustik tersebut akan menjadi bagian yang sangat krusial seperti di auditorium dan bioskop. Bioskop Margo Platinum XXI sudah memberikan kualitas akustik yang cukup baik untuk bioskop sekelasnya walaupun masih banyak perbaikan yang bisa dilakukan terutama dari sumber suara yaitu speaker. DAFTAR PUSTAKA Beranek, L.L. 1962. Music, Acoustic, and Architecture. The United States of America :John Viley & Sons Inc. Neubauer, Reinhard O., Prediction of reverberation time in rectangular rooms with non uniformly distributed absorption using a new formula,Ingolstadt, 2000. Prasetio, L. 1993. Akustik Lingkungan. Jakarta : Erlangga. Sabine, W.C. 1993. Design for Good Acoustics.Collected Papers on Acoustics, Trade ClothISBN 0-9321 Peninsula Publishing, Los Altos,U.S. Situs Internet -http://jokosarwono.wordpress.com/2009/04/06/karakteristik-akustik-dalam-desain-akustika-ruangan/ (Dosen Teknik fisika itb) -http://uncletivo.wordpress.com/ -Slide “Fundamental Of Accoustics ISVR6030” - Prof Victor F. Humphrey PAGE \* MERGEFORMAT 1