Academia.eduAcademia.edu

Menapak Sejarah dan Kritik Sastra Bali Modern

Menapak Sejarah dan Kritik Sastra Bali Modern I Made Sujaya* Judul buku : Tonggak Baru Sastra Bali Modern Penulis : I Nyoman Darma Putra Tebal : 212 (termasuk index) Penerbit : Pustaka Larasan Tahun terbit : 2010 (2000) T atkala pertama kali terbit tahun 2000, buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern karya I Nyoman Darma Putra mendapat sambutan hangat. Buku ini dianggap penting, tidak saja karena mengisi kekosongan literatur mengenai sejarah dan kajian sastra Bali modern (SBM), tetapi karena keberhasilannya mematahkan pendapat lama mengenai awal kelahiran SBM. Sebelumnya, muncul semacam mitos bahwa SBM lahir pada tahun 1930-an, ditandai dengan terbitnya novel Nemoe Karma karya I Wayan Gobiah yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1931. Pendapat ini dikemukakan I Gusti Ngurah Bagus tahun 1969 dalam makalah “Situasi Sastra Bali Modern dan Masalahnya”. Sesudahnya, pendapat Ngurah Bagus ini diikuti para cendekiawan dan peneliti SBM tanpa repot-repot memeriksa lagi kesahihan pendapat tersebut. Bahkan, klaim ini seolah-olah telah menjadi mitos dalam dunia SBM. ____________ * I Made Sujaya adalah Mahasiswa Program Pascasarjana S2 Linguistik, Konsentrasi Wacana Sastra. 186 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 02, Oktober 2011 Menapak Sejarah dan Kritik Sastra Bali Modern Akan tetapi, melalui ketekunan mengumpulkan data, Darma Putra meruntuhkan mitos mengenai awal kelahiran SBM itu. Penelitian Darma Putra menemukan fakta bahwa sebelum Nemoe Karma yakni pada tahun 1910-an, sudah muncul karya SBM dalam bentuk cerpen. Darma Putra menunjukkan bukti cerpen-cerpen I Made Pasek dan Mas Nitisastro. Cerpen-cerpen I Made Pasek dimuat dalam buku Catur Perenidâ, Tjakepan kaping doeâ pâpeladjahan sang mâmanah maoeroek mâmaos aksarâ Belanda yang terbit tahun 1913 di Semarang-Brukerj en Boekhandel H.A. Benjamins. Karya-karya Mas Nitisastro termuat dalam buku Warna Sari, Batjaan Hoeroef Belanda yang terbit tahun 1925 di Weltevreden. Kedua buku ini menggunakan bahasa Bali huruf Latin (waktu itu, huruf Latin dikenal sebagai huruf Belanda). Untuk meyakinkan orang mengenai pendapatnya itu, Darma Putra pun menyertakan cerpen-cerpen karya I Made Pasek dan Mas Nitisastro dalam bukunya. Kesangsian mengenai kualitas karya kedua pengarang itu pun dipatahkannya dengan memberikan ulasan sepintas mengenai mutu karya I Made Pasek dan Mas Nitisastro. Menurut Darma Putra, ada dua catatan yang menyebabkan cerpen-cerpen I Made Pasek dan Mas Nitisastro layak dianggap sebagai pelopor SBM. Pertama, evolusi di bidang isi yakni dari karya yang mereproduksi dongeng ke karyakarya baru yang mengangkat tema-tema kontemporer. Kedua, evolusi dalam hal bentuk, yakni dari cerpen pendek ke cerpen yang relatif panjang dengan alur kilas balik dan teknik penceritaan bervariasi. Oleh karena itu, buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern memang berhasil menancapkan tonggak baru sejarah kelahiran sastra Bali modern. Tak hanya itu, buku ini juga menepis pendapat yang menyebut SBM sebagai ‘karya blasteran’ yang dipengaruhi sastra Indonesia modern. Pada JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 02, Oktober 2011 187 I Made Sujaya awalnya justru SBM berkembang sendiri tanpa banyak pengaruh dari sastra Indonesia modern. Kalau predikat ‘karya blasteran’ dengan pengaruh dominan dari sastra Indonesia modern diberikan pada karya-karya SBM pasca1970-an, barangkali masih bisa diterima. Pasalnya, mulai saat itulah banyak pengarang SBM adalah juga pengarang sastra Indonesia modern atau menerjemahkan karya sastra Indonesia modern ke dalam SBM atau sebaliknya. Seabad Sastra Bali Modern Sepuluh tahun setelah terbitnya cetakan I, buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern diterbitkan lagi cetakan II yang dilabeli sebagai edisi baru. Penyebutan edisi baru tampaknya dikarenakan adanya tambahan tulisan mengenai perkembangan SBM sejak tahun 2000 (manakala buku cetakan I terbit) hingga tahun 2010. Tambahan tulisan yang mencapai 40% itu berupa catatan mengenai rangsangan hadiah sastra Rancage dalam memacu perkembangan SBM, lengkap dengan datar penerima untuk sastra Bali sejak tahun 1998-2010. Turut disinggung pula peranan terkini Bali Post dalam menumbuhkan gairah SBM melalui lembaran khusus bahasa Bali saban hari Minggu Bali Orti, karya monumental Nyoman Manda berupa antologi puisi setebal 3654 halaman, generasi baru wanita sastrawan Bali modern, ihwal terjemahan sastra Indonesia modern ke dalam SBM, wafatnya sastrawan gaek SBM, I Made Sanggra, wawancara ‘telanjang’ dengan sastrawan SBM I Made Suarsa serta kajian ringkas karya-karya mutakhir. Jika Tonggak Baru Sastra Bali Modern cetakan I diterbitkan Duta Wacana University Press dan Program Studi Kajian Budaya Unud, edisi terbaru diterbitkan Pustaka Larasan. Cover edisi baru juga lebih menarik karena memuat foto I Made Pasek dan para sastrawan Bali penerima hadiah sastra Rancage. Isi buku juga menjadi lebih segar karena 188 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 02, Oktober 2011 Menapak Sejarah dan Kritik Sastra Bali Modern dilengkapi dengan foto-foto pendukung tulisan. Kendati pun memancangkan tonggak kelahiran SBM pada tahun 1910-an, Darma Putra tampaknya tak menyadari bahwa edisi terbaru Tonggak Baru Sastra Bali Modern terbit pada saat SBM mencapai usia seabad. Tak sedikit pun Darma Putra menyinggung mengenai momentum seabad SBM itu di dalam bukunya. Menggugat Sejarah Sastra Jika diselami, Tonggak Baru Sastra Bali Modern sejatinya merupakan upaya Darma Putra untuk menggugat penulisan sejarah sastra di Indonesia yang berkembang menjadi mitos. Sekali seorang atau sejumlah peneliti atau intelektual berwibawa menyebut karya atau pengarang tertentu sebagai tonggak kelahiran sastra tertentu, peneliti atau intelektual berikutnya cenderung mengamini dan mengekorinya tanpa sikap kritis untuk berupaya memeriksa sendiri kesahihan data dan fakta pendukung pendapat tersebut. Dalam jagat sastra Indonesia modern, gugatan terhadap penulisan sejarah sastra Indonesia modern juga muncul tahun 2000-an. Jakob Sumardjo dalam buku Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Galang Press, 2004) dan Maman S Mahayana dalam buku 9 Jawaban Sastra Indonesia Sebuah Orientasi Kritik (Bening Publishing, 2005) mempertanyakan kesahihan klaim mengenai awal kelahiran sastra Indonesia modern ditandai oleh terbitnya novel Merari Siregar Azab dan Sengsara Seorang Gadis (1919). Penelusuran lebih kritis menunjukkan sastra Indonesia modern sudah mulai ditulis pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada masa itu sudah muncul cerpen-cerpen berbahasa Melayu Rendah yang dimuat di surat kabar dan majalah. Sayangnya, karya-karya berbahasa Melayu Rendah itu diabaikan dalam penulisan sejarah sastra Indonesia modern. Padahal secara kuantitas, keberadaan sastra JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 02, Oktober 2011 189 I Made Sujaya Melayu Rendah sangat melimpah, melebihi jumlah karyakarya sastra Indonesia modern terbitan penerbit resmi pemerintah, Balai Pustaka atau pun terbitan penerbit swasta berwibawa seperti Pujangga Baru. Pengabaian karya-karya sastra Melayu Rendah tampaknya dikarenakan politik pelabelan yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan menyebut karya-karya itu disebut sebagai ‘bacaan liar’. Oleh karena itu, penulisan sejarah sastra Indonesia modern dicurigai kental dengan pengaruh politik kolonial. Oleh karena itu, buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern karya Darma Putra dapat disejajarkan dengan karya-karya peneliti sastra di tingkat nasional itu. Hanya saja, objek dan ruang lingkup kajiannya berbeda. Namun, berbeda dengan sastra Indonesia modern, klaim Nemoe Karma sebagai tonggak kelahiran SBM sejak 1969 hingga 2000 bukan karena pengaruh politik kolonial lantaran melihat novel itu diterbitkan penerbit resmi pemerintah Hindia Belanda, Balai Pustaka. Munculnya klaim Nemoe Karma itu tampaknya lebih karena memang belum ditemukan karya SBM sebelum Nemoe Karma hingga akhirnya Darma Putra menemukan karya-karya I Made Pasek dan Mas Nitisastro. Dalam dunia penelitian hal semacam ini tentu lumrah. Memperkokoh Tonggak Meski menggunakan judul Tonggak Baru SBM, buku Darma Putra pada kenyataannya hanya memuat satu makalah yang diperkaya lagi mengenai karya-karya SBM sebelum Nemoe Karma dilengkapi dengan lampiran cerpen-cerpen karya I Made Pasek dan Mas Nitisastro. Pembaca belum mendapat informasi yang lengkap mengenai sosok I Made Pasek dan Mas Nitisastro yang dinobatkan Darma Putra sebagai pelopor SBM. Kajian terhadap karya-karya kedua 190 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 02, Oktober 2011 Menapak Sejarah dan Kritik Sastra Bali Modern pengarang itu pun baru dilakukan sepintas, belum secara mendalam. Edisi terbaru Tonggak Baru Sastra Bali Modern seyogyanya bisa memperkokoh tonggak itu dengan menampilkan biograi yang relatif lengkap mengenai I Made Pasek dan Mas Nitisastro. Begitu juga kajian lebih mendalam mengenai karya-karya mereka. Fakta bahwa SBM diawali dengan cerpen, seperti halnya kelahiran sastra Indonesia modern, merupakan hal yang menarik untuk ditelaah lebih jauh. Memang, tidak mudah untuk menulis biograi lebih lengkap mengenai I Made Pasek dan Mas Nitisastro karena terbatasnya data dan informasi yang bisa didapat. Namun, seperti diceritakan Darma Putra dalam pengantar edisi baru, usaha untuk mengungkap sosok I Made Pasek sudah dilakukannya. Bahkan, saat dilakukan seminar mengenai kepeloporan I Made Pasek dalam SBM di Buleleng, 18 Oktober 2008, Darma Putra menyumbangkan makalah mengenai datar karya I Made Pasek yang didapatnya dari katalog perpustakaan asing (melalui internet). Yang tak kalah penting tentu saja kajian mendalam mengenai karya-karya I Made Pasek dan Mas Nitisastro. Pengungkapan mengenai kualitas karya kedua pengarang ini secara mendalam tidak saja akan memberikan gambaran yang lebih utuh mengenai karya-karya awal SBM, tetapi juga memperkokoh tonggak kelahiran SBM yang dipancangkan Darma Putra. Bagian penting yang perlu digali dalam karya-karya awal SBM ini misalnya, apa yang memengaruhi munculnya tema-tema kontemporer dalam cerpen-cerpen I Made Pasek dan Mas Nitisastro. Sejauh mana tema-tema itu bertemali dengan dinamika sosial budaya masyarakat Bali pada masa itu? Terlebih lagi, jika disimak, karya-karya I Made Pasek mengungkap awal bergeraknya modernisasi di Bali. Salah JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 02, Oktober 2011 191 I Made Sujaya satu cerpennya, “Ajam Mapaloe” misalnya tak semata mengungkap pentingnya pendidikan bagi masyarakat Bali tetapi juga menyelipkan gagasan kesamaan kesempatan memeroleh pendidikan bagi perempuan Bali. Kendati begitu, Tonggak Baru Sastra Bali Modern tetap merupakan merupakan karya terpenting dalam jejak kajian SBM. Tidak saja karena Tonggak Baru Sastra Bali Modern mampu memancangkan tonggak baru kelahiran SBM tetapi karya ini juga kaya dengan data dan informasi mengenai perjalanan SBM sejak awal kelahiran hingga perkembangan terkini. Ini memang keunggulan seorang Darma Putra yang memiliki latar belakang sebagai seorang wartawan. Karyakarya Darma Putra mengenai sastra Indonesia modern atau pun kajian mengenai wanita dan media di Bali selalu melimpah dengan data dan menunjukkan seorang peneliti yang tekun dan sabar mengumpulkan data sekecil apa pun. Ini yang membuat karya-karya Darma Putra banyak diacu para peneliti sesudahnya. Urgensi Tonggak Baru Sastra Bali Modern juga ditunjukkan dengan hadirnya kritik terhadap sejumlah karya SBM mutakhir. Selama ini kritik SBM terbilang sangat minim. Padahal, pertumbuhan SBM sepuluh tahun terakhir sangat pesat. Namun, kita tetap memendam harapan akan lahir sebuah buku atau penelitian yang mengungkap sejarah SBM yang lebih lengkap dan mendalam sejak awal kelahiran hingga kini. Usia seabad sebetulnya sudah cukup untuk lahirnya buku sejarah SBM yang memadai. Harapan semacam ini pernah diungkapkan IDK Raka Kusuma, sastrawan Indonesia modern sekaligus SBM yang meraih hadiah sastra Rancage tahun 2002. Membandingkan dengan sastra Sunda modern serta sastra Jawa modern, Raka Kusuma menyebut sejarah SBM masih malintihan (tinjauan sepintas), belum masorohan (kajian utuh). 192 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 02, Oktober 2011 Menapak Sejarah dan Kritik Sastra Bali Modern Darma Putra tentu sangat mungkin mengisi harapan ini. Jika hal itu dilakukan, tidak saja ‘tonggak baru’ SBM yang dipancangkan Darma Putra tetapi sebuah ‘tonggak yang lebih kokoh’ mengenai SBM. Kita tunggu saja. JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 02, Oktober 2011 193