Academia.eduAcademia.edu

Politik Ung di Negara Demokrasi Baru

Abstract

Dampak politik uang mempunyai konsekuensi nyata terhadap tatanan dan kesehatan demokrasi yang dapat diukur dari ketahanannya terhadap praktik-praktik korosif itu (Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, 2018). Ketika politik uang sudah mengakar, munculnya kekerasan yang disponsori negara (Erica Chenoweth dan Stephan Haggard, 2014) lazim memperagakan negara menjadi agen kekerasan langsung dan struktural terhadap warganya. Membangun kembali dan mempertahankan pemerintahan demokratis setelah terjadinya kekerasan selalu memerlukan reformasi efektif yang tak selalu mudah (Francis Fukuyama, 2004).

Politik Uang Di Negara Demokrasi Baru Oleh Shohibul Anshor Siregar Di negara-negara demokrasi baru, bentuk-bentuk kekerasan yang berkaitan dengan fenomena politik uang, pengaruh finansial lazim terlalu mempengaruhi proses dan hasil politik yang tak terbatas pada pemilu saja. Masuknya uang ke dalam politik mampu mendistorsi cita-cita demokrasi dengan akibat langsung pembusukan institusi dan prinsip-prinsip demokrasi (Larry Diamond, 2017). Erosi demokrasi ini semakin parah dengan penerimaan budaya terhadap praktik-praktik buruk ini, yang menurut Galtung adalah bentuk kekerasan budaya yang melegitimasi kesenjangan struktural. Dampak politik uang mempunyai konsekuensi nyata terhadap tatanan dan kesehatan demokrasi yang dapat diukur dari ketahanannya terhadap praktikpraktik korosif itu (Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, 2018). Ketika politik uang sudah mengakar, munculnya kekerasan yang disponsori negara (Erica Chenoweth dan Stephan Haggard, 2014) lazim memperagakan negara menjadi agen kekerasan langsung dan struktural terhadap warganya. Membangun kembali dan mempertahankan pemerintahan demokratis setelah terjadinya kekerasan selalu memerlukan reformasi efektif yang tak selalu mudah (Francis Fukuyama, 2004). Interaksi bentuk-bentuk kekerasan tidak langsung, seperti kekerasan struktural dan budaya, dengan kekerasan langsung dalam politik uang, menghadirkan tantangan signifikan terhadap integritas negara-negara demokrasi baru. Jaringan kekerasan (network of violence) selain rumit juga memiliki sifat buruk yang beragam yang dapat menembus struktur sosial dan norma budaya (Johan Galtung, 1969; 1990). Teori segitiga kekerasan (triagle of violences theory) mengasumsikan bahwa kekerasan selalu terwujud dalam tiga bentuk, yakni kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan budaya. Kekerasan yang satu dengan yang lain memiliki keterkaitan yang seolah tak ingin difahami. Orang kebanyakan lazim hanya akan lebih banyak mempersoalkan jenis kekerasan langsung, dan seandainya pun diberantas seketika, penderitaan yang dialami oleh rakyat kebanyakan tidak berkurang secara kuantitatif maupun kuantitatif. Sedangkan akarnya sendiri, kekerasan tak langsung (struktural dan budaya), selalu terlalu rumit untuk menjadi telaahan bagi orang kebanyakan. Lagi pula, pihak yang bertaggung jawab atas keberadaan berbagai bentuk kekerasan struktural dan kekerasan budaya yang mewadahi dan melanggengkan kekerasan langsung itu selalu terhijab dari sorotan karena efektivitas pengaruh kekuasaan untuk memastikan keberuntungan dari berbagai bentuk kekerasan struktural dan kekerasan budaya itu. Kekerasan langsung adalah bentuk yang paling terlihat, mencakup kerugian fisik dan psikologis yang ditimbulkan oleh pelaku yang dapat diidentifikasi dengan begitu mudah. Namun, kekerasan struktural lebih berbahaya, tertanam dalam kerangka politik dan ekonomi yang merugikan kelompok terluas di dalam masyarakat, sehingga menyebabkan ketidaksetaraan kesempatan hidup dan penindasan sistemik. Kekerasan budaya, yang adalah sudut ketiga dari segitiga kekerasan ini, mencakup norma-norma dan ideologi masyarakat yang karena keberlangsungan sosial kekerasan itu sendiri akhirnya menumbuhkan sikap permissiveness (nrimo dalam ketakberdayaan) sehingga secara budaya membenarkan dan melanggengkan kekerasan langsung dan struktural, yang seringkali terjadi melalui legitimasi para pihak yang dipandang memiliki otoritas dalam melakukan artikulasi khususnya berdasarkan kacamata agama, bahasa, dan seni. Galtung merekomendasikan perluasan definisi kekerasan untuk pemahaman komprehensif mengenai penyebab dan akibatnya. Bukan hanya kekerasan fisik, melainkan, harusnya, mencakup kekerasan langsung (kerusakan fisik), kekerasan struktural (kerusakan tidak langsung yang disebabkan oleh struktur sosial yang tidak adil), dan kekerasan budaya (norma masyarakat yang melegitimasi kekerasan). Setiap bentuk kekerasan mempengaruhi dan memperkuat bentuk kekerasan lainnya, sehingga pada dasarnya secara terusmenerus menciptakan jaringan kekerasan yang amat kompleks. Kemiskinan dan kekerasan bertaut erat dalam pandangan Galtung yang mengeksplorasi hubungan antara keduanya. Kemiskinan, sebagai salah satu bentuk kekerasan struktural, selalu dapat dan atau berujung pada kondisi tertentu yang justru menumbuhkan, kalau bukan hanya keputusasaan, juga akumulasi perasaan kebencian, yang kemudian berkontribusi sangat penting terhadap ledakan kekerasan langsung. Karena itu kebijakan yang menekankan perlunya mengatasi kemiskinan sebagai akar penyebab kekerasan adalah keniscayaan. Hanyalah karena kekayaannya yang luar biasa hingga negeri ini silih berganti dijajah Portugis (1509-1595), Spanyol (1521-1692), Belanda (1602-1942), Perancis (1806-1811), Inggris (1811-1816), dan Jepang (1942-1945). Indonesia merdeka sejak tahun 1945. Lalu apa bedanya kelangsungan hidup rakyat di bawah pemerintahan Merdeka yang berdaulat? Kekayaan alamnya tetap tak dapat memberi kesejahteraan. Padahal para pendiri bangsa secara tegas menukilkan pada Pembukaan UUD 1945 bahwa motivasi utama merdeka dengan pemerintahan berdaulat adalah memastikan terhapusnya penjajahan di seluruh dunia, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan proaktif mempromosikan tata dunia yang lebih adil. Antara dassollen dan das sein begitu lebar jurang ternganga. Makroekonomi konstitusi tak pernah dibangun secara berkesungguhan. Jika hingga hari ini keamanan pangan, misalnya, tetap menjadi masalah serius di negeri super agraris ini, pertanyaan tertuju pada pencarian jawaban atas bagaimana cara merdeka, berdaulat dan mengurus rakyat sendiri oleh pemerintahan sendiri dan dengan memanfaatkan secara tepat kekayaan sumberdaya tersedia. Di sinilah amat diperlukan penjelasan kritis berdasar kajian politik dan budaya serta sejarah. Empat faktor utama segera terlihat sebagai penyebab. Pertama, akibat terlalu lama dijajah oleh bangsa asing, sindrom inlanderitas menjadi penyakit utama. Simptomanya adalah ketakmampuan untuk memahami diri dan cita-cita serta misi bangsa sendiri. Ada rasa rendah diri yang parah, sehingga jika para elit hanya mampu menggantungkan peran komprador sebagai cita-cita tertingginya, hal itu memang masuk akal. Kedua, terlalu tunduk pada dikte asing (bangsa, negara, lembaga atau korporasi) yang tak selalu menguntungkan dalam jangka panjang. Bisa saja pemerintahan dapat sangat tergiur dengan bantuan asing atau semacamnya yang dengan tanpa kritis hingga tak berusaha untuk melihat secara menyeluruh agenda yang bukan tak bertujuan eksploitatif di baliknya. Mahathir Mohammad berhasil terpilih kembali menjadi Perdana Menteri setelah sekian lama pensiun. Tema kampanyenya antara lain kedaulatan perekonomian dan secara terang-terangan menyorot kerugian negaranya atas pola kerjasama ekonomi di bawah arahan proyek ambisius Xi Jinping One Belt One Road (OBOR) yang belakangan berubah nama menjadi Belt and Road Inisiative (BRI). Menuntut pola kerjasama agar tak mereplikasi penderitaan dan nasib yang sama dengan berbagai negara yang ditimpa masalah di balik jeratan loan to own ala BRI, menjadi tuntutan diplomasi serius Mahathir Mohammad kepada Xi Jinping atas nama keadilan, kesetaraan dan kebaikan untuk semua. Tanyalah serius, dengan negara manakah Indonesia potensil berperang 50, 40, 30, 20, 10, 5 tahun ke depan atau tahun depan sehingga menganggap begitu mendesak untuk membeli alutsista yang dipandang sebagai peralatan tempur terbaru dan terbaik untuk negeri ini (meski pun itu barang bekas dan yang sudah pernah ditolak oleh Indonesia walau akan dihibahkan waktu itu)? Ketiga, penjajahan oleh bangsa sendiri. Penjajahan tak berdefinisi tunggal. Ketika Omnibus Law Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) disahkan, kritik ditujukan tak hanya pada proses pembahasan tertutup, cepatnya pengesahan, dan ketidakpastian hukum karena pasal-pasal yang terlalu padat dan tumpang tindih berpotensi menimbulkan multitafsir di kemudian hari. Tetapi juga pada kecurigaan pada potensi melemahkan kesejahteraan buruh terutama terkait dengan pengaturan jam kerja, pengecualian cuti, upah minimum, kemudahan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang pada akhirnya dikhawatirkan buruh akan kehilangan hak-haknya dan semakin rentan terhadap eksploitasi. Juga dikhawatirkan dapat memperlebar kesenjangan antara pengusaha dan buruh dan pemosisian lebih kuat buruh sebagai komoditas belaka. Keempat, akses dan distribusi. Tempohari penjajah hanya menginginkan adanya pengakuan dan pengesahan tertentu atas “hak eksploitasi” terhadap sumberdaya. Selebihnya bukan urusannya dan segalanya benar-benar disubordinasikan di bawah kepentingan perolehan agregat keuntungan yang dapat dibawa ke negerinya. Situasi itu tak berakhir saat kemerdekaan. Rempang hanyalah salah satu dari ratusan contoh terbesar yang terjadi sepanjang Indonesia merdeka yang menunjukkan bahwa pengelolaan kekayaan sumberdaya ekonomi tidak dikendalikan sesuai kehendak konstitusi. Memang tidak ada otomatisasi dampak keparahan kemiskinan atas berbagai bentuk kekerasan. Tetapi kondisi yang menantang keadilan ini lazim dicapai hanya sebagai hasil pengkondisian budaya ditambah kebijakan sekuritisasi yang mengekang setiap potensi perlawanan. Kebijakan seperti ini telah ada sepanjang sejarah. Jika ada hal baru, hanyalah versi dan penyesuaian untuk memastikan efektivitas pembungkaman atas setiap potensi ledakan kekerasan. Kekerasan, kemiskinan, dan perdamaian mempunyai dampak yang signifikan terhadap penelitian perdamaian dan bidang terkait. Segitiga kekerasan telah menjadi alat yang banyak digunakan untuk menganalisis kekerasan dalam berbagai konteks, termasuk negara-negara demokrasi baru dan konflik antarpribadi. Senada dengan Galtung, Pierre Bourdieu (1977, 1980, 1984, 1989) dan Richard Jenkins (1998, 2001) menjelaskan bagaimana struktur sosial dan budaya dapat mereproduksi ketidakadilan dan kekerasan dengan menggunakan konsep "habitus" untuk menggambarkan bagaimana individu menginternalisasi norma dan nilai masyarakat, yang kemudian mempengaruhi perilaku dan tindakan mereka. Kekerasan struktural sering kali tersembunyi dan dinormalisasi, sehingga sulit untuk dikenali dan ditantang. Hal ini karena kekerasan tersebut tertanam dalam struktur sosial dan budaya yang dianggap "alami" dan "benar". Jika demokrasi bekerja baik, semua bentuk kekerasan itu dapat diselesaikan dengan damai.