Academia.eduAcademia.edu

Memberi Makan Anak Sekolah

Abstract

Menyeimbangkan keterjangkauan, kesesuaian budaya, dan nilai gizi adalah hal yang rumit (Kirkpatrick & Kubena, 2013) untuk isu kualitas makanan dalam program ini terutama di Negara-negara berpenghasilan menengah. Keterjangkauan yang beralaskan argumen keterbatasan anggaran seringkali berujung pada keputusan membatasi bahan-bahan berkualitas tinggi, sehingga lebih mengandalkan makanan olahan yang lebih murah namun kurang bergizi (Gillespie & Contreras, 2011) seperti yang dihadapi di Amerika.

Memberi Makan Anak Sekolah Oleh Shohibul Anshor Siregar Di Finlandia program ini didanai secara nasonal. Pemerintah kota beroleh tanggungjawab mengelola pada tingkat lokal, memastikan makanan tunduk pada pedoman gizi nasional (Badan Pendidikan Nasional Finlandia, 2023). Finlanda menekanan secara kuat pemakaian bahan-bahan segar produk lokal, nutrisi seimbang, dan mementingkan keterlibatan siswa dalam pengembangan menu (Kultturriculture, 2015). Program makan siang dikhususkan untuk semua siswa pendidikan pra-sekolah dasar, dasar, dan menengah (Badan Pendidikan Nasional Finlandia, 2023). Amerika menerapkan Program Makan Siang Sekolah Nasional (NSLP) dengan menyediakan pendanaan federal berdasarkan kelayakan siswa penerima manfaat (gratis, potongan harga, atau harga penuh). Masing-masing sekolah memutuskan partisipasi dan menu sesuai pedoman yang dibuat secara federal (USDA, n.d.). Tetapi program makan siang gratis atau dengan potongan harga berdasarkan kelayakan pendapatan keluarga siswa penerima manfaat mencuatkan masalah lain di Amerika. Stigma sebagai penerima manfaat program ternyata dapat menghalangi partisipasi (History Channel, 2020). Selain itu ketergantungan yang lebih besar pada makanan olahan karena keterbatasan dana cukup menonjol dalam kebijakan Amerika. Upaya terbaru negeri itu untuk meningkatkan standar gizi jelas terlihat, namun tantangannya masih cukup rumit (Civil Eats, 2023). Analisis atas hasil-hasil penelitian tentang program makan siang di kedua negara umumnya menunjukkan apresiasi atas pentingnya mempertahankan dampak positif terhadap kesejahteraan siswa, prestasi akademis, dan pengembangan kebiasaan makan sehat (Kiuru et al., 2007), khususnya potensi manfaat nutrisional untuk mendukung pembelajaran. Tentu masih ada kekhawatiran terutama dari segi efektivitas optimum program dan implementasi yang tidak merata (James et al., 2012). Program ini memiliki sejarah panjang, dimulai pada abad ke-19 (Haddad dkk., 2013). Program ini bertujuan untuk mengatasi kerawanan pangan, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan siswa, dan mendorong kebiasaan makan yang sehat (Bellows et al., 2020; WHO, 2023). Makanan di sekolah seyogyanya dapat diandalkan sebagai sumber nutrisi penting bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah (Bellows et al., 2020) yang juga berdampak positif pada kehadiran, konsentrasi, dan kinerja akademik (James et al., 2012; Kiuru et al., 2007), mendorong kebiasaan makan sehat, sehingga memengaruhi pola makan seumur hidup (WHO, 2023). Sebagaimana telah ditunjukkan di atas, masalah pembiayaan, kualitas makanan, logistik dan partisipasi siswa adalah masalah umum program ini di seluruh negara. Mendanai program berskala besar memerlukan sumber daya yang juga besar (Gillespie & Contreras, 2011), dan analisis efektivitas alokasi biaya ini sangat penting untuk menunjukkan manfaat jangka panjang (Hanson & Wolfe, 2020). Dana publik terbatas selalu dihadapkan pada prioritas yang bersaing sesuai urgensi pemenuhan kebutuhan mendesak lainnya berdasarkan berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan politik, seperti layanan kesehatan atau infrastruktur. Studi Center on Budget and Policy Priorities (CBPP) di Amerika menunjukkan bahwa program makan siang gratis dapat mengurangi biaya layanan kesehatan yang terkait dengan kelaparan anak (Hanson & Wolfe, 2020), manfaat jangka panjang program dalam hal peningkatan taraf kesehatan dan peningkatan kehadiran di sekolah. Lalu apa tantangan khas di Indonesia? Setidaknya tiga permasalahan menonjol, yakni pembiayaan, kualitas makanan dan logistik. Meskipun manfaat program ini tidak dapat disangkal, beban finansialnya berat. Performance pemerintahan yang boros dan koruptif tidak saja selalu menyebabkan pola pengeluaran yang tidak efisien karena budaya anti transparansi dan kompromi hukum di bawah kendali kepentingan politik. Sebuah studi pada tahun 2023 yang dilakukan oleh Bank Dunia (“Pembiayaan Makanan Sekolah: Tinjauan Pengalaman Negara”) mengeksplorasi berbagai model pendanaan, di antaranya kemitraan pemerintah-swasta. Menjajaki kemitraan pemerintah-swasta, apalagi untuk negara dengan indeks persepsi korupsi yang buruk, hal ini lazimnya akan menjadi salah satu sumber kriminalitas subversif “terlindungi”, mungkin dapat menjadi salah satu peluang solusi. Untuk Indonesia, bermitra dengan koperasi yang bergerak dalam sektor pertanian untuk memanfaatkan sumber daya dan keahlian mereka cukup potensil. Jika kemitraan pemerintah-swasta, terutama untuk negara dengan indeks persepsi korupsi yang buruk, lazimnya amat potensil menjadi salah satu sumber kriminalitas subversif “terlindungi” yang menambah peluang sektor baru korupsi terstruktur, sistimatis dan massif, bagaimana strategi lain? Tidak ada jawaban hukum, politik dan budaya untuk masalah ini. Namun bermitra dengan koperasi yang bergerak dalam sektor pertanian (Gillespie & Contreras, 2011) untuk memanfaatkan sumber daya mereka mungkin cukup potensil. Pelibatan koperasi secara sungguh-sungguh belum pernah menjadi pola yang diapresiasi dalam partisipasi pembangunan di Indonesia sejak merdeka 1945. Jika koperasi kelak juga akan dilibatkan dalam korupsi, mungkin masih jauh lebih aman tinimbang risiko korupsional oligarki sebagaimana telah menjadi praktik nasional sepanjang usia republik. Dapat saja diandaikan keterlibatan aktif komunitas yang tak terbatas hanya, misalnya, pada komite sekolah, yang tentu sangat membantu mengeliminasi penyimpangan anggaran. Tetapi Indonesia sadar bahwa pengelolaan dana desa selama ini adalah contoh buruk yang dapat dijadikan pelajaran berharga tentang kegagalan mengamankan dana publik meski dengan pelibatan hampir semua lembaga penegakan hukum dan pengawasan kritis lainnya yang secara bersama, akhirnya, suka atau tidak, menerima status kelumpuhannya tanpa alasan masuk akal sama sekali. Menyeimbangkan keterjangkauan, kesesuaian budaya, dan nilai gizi adalah hal yang rumit (Kirkpatrick & Kubena, 2013) untuk isu kualitas makanan dalam program ini terutama di Negara-negara berpenghasilan menengah. Keterjangkauan yang beralaskan argumen keterbatasan anggaran seringkali berujung pada keputusan membatasi bahan-bahan berkualitas tinggi, sehingga lebih mengandalkan makanan olahan yang lebih murah namun kurang bergizi (Gillespie & Contreras, 2011) seperti yang dihadapi di Amerika. Keberagaman budaya harus dipertimbangkan dengan tak hanya menyediakan makanan yang familier dan menarik, tetapi Indonesa sangat ingin memastikannya halal bahan baku, halal proses dan halal ditinjau dari pelibatan petugas (FAO, 2023). Konsep makanan berstatus halalan tahyyiba juga menyangkut nilai gizi agar tak terjebak dalam kesia-siaan. Masalah struktural di daerah tertentu sering mencerminkan perbedaan mendasar dalam hal kekurangan gizi yang juga harus diperhitungkan melebihi kepastian pendefinisian tentang, misalnya, masalah defisiensi mikronutrien (zat besi, vitamin A). Makanan sekolah harus mengatasi kekurangan ini, meski sulit dilakukan dengan anggaran terbatas (Bellows et al., 2020). Permasalahan logistik untuk keamanan pangan akan selamanya menjadi kisah memalukan bagi Indonesia. Kebun sawitnya sangat luas di tengah rakyat kekurangan gizi yang massif, seolah kebun sawit bukan komoditas yang berhubungan dengan gizi. Kolaborasi dengan FAO untuk mengembangkan rantai pasokan pangan efisien yang memanfaatkan sumber daya lokal bila memungkinkan (FAO, 2023), rasanya seolah rekomendasi yang benar, tetapi percayalah bahwa hal itu bukan solusi utama. Tak mungkin lupa bahwa negara agraris ini diperebutkan 6 negara penjajah sejak abad 16 bukan karena mereka melihat di sini ada hanya emas dan sumberdaya mineral lainnya yang kini menjadi ajang korupsi besar-besaran generasi Indonesa merdeka. Keadaan in adalah tamparan keras bagi siapa saja yang pernah menjadi Presiden di Indonesia setelah Soeharto yang pernah mengamankan pangan bangsa dan yang untuk itu FAO memberi apresiasi. Belajar dari model relatif sukses di negara lain, tak hanya negara-negara berpenghasilan tinggi, Indonesia perlu menyesuaikan program dengan konteks lokal (Civil Eats, 2023; Badan Pendidikan Nasional Finlandia, 2023). Berinvestasi pada infrastruktur sekolah, termasuk fasilitas dapur dan staf terlatih, untuk memastikan penanganan dan persiapan makanan yang tepat (Haddad et al., 2013) sangat krusial. Barangkali, ditilik dari berbagai sisi, dan di tengah keterbatasan anggaran yang serius, ketimbang memprogramkan makan siang gratis, rasa-rasanya Prabowo-Gibran lebih baik memikirkan bagaimana memberi pekerjaan bagi semua pengangguran. Masalah stunting dan malnutrition berakar pada problem ekonomi keluarga. Diasumsikan, keluarga dengan penghasilan tetap, apalagi dalam jumlah jauh di atas angka kemiskinan yang dipergunakan Indonesia selama ini, dengan sendirinya amat berpotensi mengatasi stunting dan malnutrisi secara mandiri dan tanpa harus dikomandoi. Semua kepala keluarga tahu kebutuhan gizi anaknya. Hanya saja mereka terpaksa menyerah kepada keadaan, karena pekerjaan tidak tersedia buat mereka. Penulis dosen FISIP UMSU. Ketua Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik PW Muhammadyah Sumatera Utara. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisatif & Swadaya (‘nBASIS).