Academia.eduAcademia.edu

TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

2024, FAUZI ILHMA

TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA Oleh : FAUZI ILHAM MAHASISWA MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATHLAUL ANWAR BANTEN ABSTRACT Regulation of criminal acts of pornography in the legal system in Indonesia begins with regulation of criminal acts, followed by criminal acts of pornography, and ends with regulation of criminal acts of pornography. The effectiveness of the decision of the panel of judges is the goal and result of the final examination of a case in court proceedings and decisions can be in the form of: sentences of conviction (verodeling), acquittal (vrijprak) and release (onslag van alle rechtsvervolging) for acquittal. The decision of the panel of judges3 is the statement of the judge as stated in written form and pronounced by the panel of judges in a session open to the public as a result of an examination of a criminal case. The criminal act of pornography in the Indonesian criminal law system, among other things, is regulated in the Criminal Code (KUHP) as a crime against decency which has been regulated in Articles 281 and Article 282. Specifically pornography is regulated in the Pornography Law Number 44 of 2008 which regulates regarding the criminal act of pornography which is a criminal act. Law Number 19 of 2016 Amendment to Law Number 11 of 2008 Concerning Information and Transactions (UU ITE), particularly in the use of the internet hurts pornography issues but is related to content that is against decency. There are sanctions for criminal acts of pornography, both principal and additional crimes in accordance with applicable regulations. Keywords: Pornography Crime ABSTRAK Pengaturan tindak pidana pornografi dalam sistem hukum di Indonesia diawali pada pengaturan tindak pidana, diikuti dengan tindak pidana pornografi, dan diakhiri dengan hakikat pengaturan tindak pidana pornografi. Efektifitas sebuah Putusan majelis hakim adalah goal dan hasil pemeriksaan akhir sebuah perkara di persidangan Pengadilan dan putusan bisa berupa : vonis pemidanaan (verodeling), bebas demi hukum (vrijprak) dan lepas (onslag van alle rechtsvervolging) untuk terdakwa. Putusan majelis hakim3 adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh majelis hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara pidana.1 Tindak pidana pornografi dalam sistem hukum pidana Indonesia antara lain diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai kejahatan terhadap kesusilaan yang telah diatur dalam Pasal 281 dan Pasal 282. Secara khusus pornografi diatur dalam Undang-Undang Pornografi Nomor 44 Tahun 2008 yang mengatur tentang tindak pidana pornografi yang merupakan tindak pidana kejahatan. UndangUndang Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi (UU ITE), khususnya dalam penggunaan internet menyinggung masalah pornografi tapi terkait pada muatan yang melanggar kesusilaan. Terdapat sanksi terhadap tindak pidana pornografi baik pidana pokok maupun pidana tambahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kata Kunci: Tindak Pidana Pornografi2 1 Dr.Firman Adi Chandra, EFEKTIFITAS PUTUSAN PADA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM JABATAN, Hal:105 2 Martini, PENGATURAN TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA I. Pendahuluan Perkembangan ilmu pengetahuan memberikan kemudahan bagi manusia dalam melakukan kegiatannya dengan mengembangkan teknologi. Segala macam kegiatan manusia telah dimudahkan oleh teknologi yang terus berkembang pesat. Melihat umat manusia dalam mengambil manfaat dari teknologi terkhusus internet dalam berbagai aspek antara lain; bidang bisnis, bidang pemerintahan, bidang pendidikan, dan bahkan manusia bisa menggantungkan diri kepada internet untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya. Internet menanamkan bibit kenyataan baru dalam kehidupan yang mana internet mampu mengakses segala macam informasi tanpa terpaut waktu dan batas jarak. Fenomena ini menyebabkan transformasitransformasi sosial, budaya, maupun ekonomi. Bergama dampak baik dan kebermanfaatan internet ini tidak bisa dipandang hanya memberikan kemudahan saja bagi manusia, dalam realitas yang ada internet juga telah mewujudkan berbagai macam kejahatan baru, ahli hukum mengklasifikasikan dengan istilah cyber crime.3 Keberadaan manfaat dari internet juga dibersamai dengan muatan negatif dalam kehidupan masyarakat. Salah satu efek tidak baik yang muncul dari pemanfaatan internet antara lain mudahnya seseorang untuk menyebar luaskan konten yang mengandung pornografi melalui jaringan internet. Bertambah banyaknya penggunaan internet tidak hanya memanjakan manusia untuk memudahkan berbagai macam kepentingannya, namun juga menimbulkan kerugian apabila terdapat penyalahgunaan. Pengguna internet kini semakin mudah terpengaruhi dan terpapar pornografi karena penyebarannya yang cepat.4 3 Sutan Remy Syahdeini, Kejahatan Dan Tindak Pidana Komputer (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), p. 2. Haleemah Bukoola Adebayo, ‘Trajectories of University of Ibadan Udergraduates “Exposure to Cyber Pornography”’, Journal of Social, Behavior, and Health Science, 12.1 (2018), p. 14. 4 Istilah yang tepat untuk fenomena penyebaran video porno melalui internet disebut dengan cyber pornography, dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berpancasila tentu hal ini menjadi persoalan yang tidak bisa dianggap wajar apabila tidak ingin merusak moral, ekonomi dan budaya bangsa.5 Keresahan mengenai beberapa bentuk cybercrime, salah satunya cyber pornography, memberi perhatian lebih kepada berbagai kelompok masyarakat, cyber pornography merupakan sebuah kejahatan dalam jaringan komputer terkhusus dalam hal ini adalah tindakan pornografi. Melalui internet, muatan tentang pornografi mudah untuk diekspresikan secara digital sebagai bentuk kepuasan seksual melalui dunia maya, beberapa faktor yang menyebabkan keresahan pornografi di internet ini adalah tersedianya jaringan yang cepat, dan mudahnya penyebarluasan konten. Dengan demikian video porno yang diunggah dalam situs internet mudah sekali untuk ditampilkan, didistribusikan, dan diakses semua kalangan.6 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), Cyber pornography dikategorikan sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan, KUHP memberikan gambaran pemahaman mengenai pidana ini secara eksplisit pada Pasal 282. Lebih khusus mengenai upaya memberantas serta mencegah penyebarluasan video porno melalui internet telah berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah dirubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi 5 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cyber Crime Di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), p. 2. 6 Feri Suliant, CyberPorn-Bisnis Atau Kriminal (Jakarta: Elek Media Komputindo, 2010), p. 4. Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE). Pemahaman mengenai pornografi pun telah jelas disebutkan dalam Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) yaitu, “pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai media bentuk komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”. Penyebarluasan konten pornografi di internet merupakan perbuatan yang tidak pantas dilakukan, pernyataan tersebut dapat dipahami melalui Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE, dua muatan ketentuan tersebut menegaskan larangan berbuat menyebarluaskan hal-hal yang berkaitan dengan asusila seperti cyber pornography karena mudahnya penyebaran.7 Kejahatan pornografi (cyber pornography) tentu bertolak belakang dengan norma dasar bangsa Indonesia yakni pancasila, yang memiliki tujuan utama mencerdaskan kehidupan bangsa.8 Beberapa ahli dalam kajian serta riset yang telah dilakukan, menemukan bahwasanya video porno yang diserap oleh manusia menyebabkan berbagai masalah seperti gangguan otak, perubahan hormon, dan kejiwaan seseorang. Terkhusus dampaknya bagi anak-anak yang belum bisa menyaring informasi dari internet dengan baik. Kedudukan internet saat ini bagaikan pisau bermata dua, apabila dimanfaatkan dengan baik kita bisa mengakses pengetahuan yang tak terbatas banyaknya, dan apabila penggunanya tidak hati-hati maka akan 7 Walter DeKesredy, ‘Critical Criminological Understandings of Adult Pornography and Woman Abuse: New Progressive Directions in Research and Theory’, International Journal for Crime, Justice and Social Democracy, 4.4 (2015), p. 6. 8 Yudi Latif, Negara ParipurnaHistoritas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Kompas Media, 2011), p. 41. menjerumuskannya dalam pikiran negatif akibat mengakses konten yang tidak pantas tersebut. Dalam hukum, sisi negatif dari internet ini juga merupakan sarana terbaik untuk melaksanakan perbuatan melawan hukum.9 Penyebarluasan konten yang tak mengenal batas ruang dan waktu di dunia maya, selain tidak sesuai dengan norma kesopanan, kesusilaan agama, dan merusak tatanan moral masyarakat. Lebih dari itu, kegiatan penindakan pidana cyber pornography ini perlu memperhatikan perlindungan hukum kepada korban, dimana korban pornografi pastinya mengalami penerimaan negatif di masyarakat beserta kerugian yang ia terima walaupun korban telah berlaku baik dan tidak melakukan perbuatan tersebut. Penelitian ini penulis menelaah peraturan-undangan dapat memberi kepastian hukum mengenai tindak pidana penyebarluasan video porno. Kemudian Penulis akan menganalisa bagaimana perlindungan hukum terhadap korban cyber porn apabila ditinjau dari hak untuk dilupakan (rights to be forgotten) yang diamanatkan secara implisit dalam UU ITE. Pentingnya penelitian ini untuk dikaji mendalam adalah untuk menyadarkan kita akan kewajiban Negara dalam melindungi segenap bangsanya. Walaupun berbagai kebijakan hukum telah mengatur secara komprehensif mengenai penyebarluasan video porno, namun ternyata kenyataan yang ada masih meresahkan dan meraja rela. Oleh karena itu dalam permasalahan ini memerlukan tindakan tegas agar kejahatan tidak terus berkembang. Pada Penelitian ini penulis juga akan mengkaji mengenai kedudukan korban tindak pidana cyber pornography di Indonesia dengan membandingkan hakhak korban pada kebijakan negara lain. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, artikel ini menganalisa pengaturran tindak pidana pornografi dalam sistem hukum 9 Ahmad Ramli, Cyber Law Dan HAKI Dalam System Hukum Indonesia (Bandung: Refika Anditama, 2004), p. 14. Indonesia dan kedudukan serta hak korban cyber pornography ditinjau dai prinsip rights to be forgotten. II. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum yuridis normatif merupakan metode yang mengacu pada peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang berlaku dan norma hukum yang berlaku pada masyarakat.10 Jenis bahan hukum yang digunakan adalah sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi kepustakaan. Data yang diperoleh penelitian melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi dan hasil penelitian. III. Hasil Penelitian dan Pembahasan Penyebaran konten pornografi adalah masalah universal yang dialami tiap negara di berbagai belahan dunia, terutama Indonesia yang memegang erat ideologi Pancasila. Meskipun begitu pornografi di beberapa belahan dunia seperti Amerika Serikat dan Eropa pada hanya membatasi pornografi kepada anak. Berbeda halnya dengan Indonesia dalam KUHP yang melarang penuh pornografi. Dalam pandangan hidup seorang warga negara Indonesia pornografi diklasifikasikan sebagai fenomena yang bertentangan dengan pandangan hidupnya sehingga menolak pornografi dalam bentuk apapun. 11 Sisi buruk dari pornografi dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan kepada perempuan baik secara fisik maupun visual. Pelaku industri pornografi mengeksploitasi tubuh perempuan, seksualitas, bahkan anak untuk kepentingan bisnisnya. Tak jarang kepentingan pebisnis industri pornografi melangsungkan kepentingannya dengan ancaman, 10 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.105 Indra Apriadi, ‘Laporan Akhir Penulisan Karya Ilmiah Tentang Implementasi Regulasi Pornografi Di Indonesia’, Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia. Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2010, p. 2. 11 pemaksaan, penipuan, bahkan dengan menyalahgunakan kekuasaan. Kelancaran industri pornografi kini dimudahkan dengan kehadiran perkembangan teknologi informasi yang pesat. Akses media pornografi di Indonesia cukup mudah, bahkan Indonesia dapat dimasukkan dalam 5 (lima) teratas di daftar pengakses situs pornografi secara global. Dampak paling mengenaskan dengan adanya penyebarluasan pornografi, salah satunya terhadap perkembangan mora anak, anak-anak belum memiliki kemampuan yang cukup untuk memahami sisi buruk pornografi. Berdasarkan temuan empiris penegakan hukum di Indonesia, lembaga penegak hukum Indonesia belum sepenuhnya memahami apa itu cyber pornography. Pernyataan tersebut berakibat para penegak hukum hanya terikat pada upaya-upaya yang dapat dilakukan secara konvensional untuk memenuhi tuntutan peraturan daripada memenuhi kesejahteraan dan keadilan di masyarakat.12 Penegakan hukum sangat kaku dan formal, lepas dari nilai-nilai hukum yang berlaku dalam masyarakat, terutama untuk pornografi. Dalam Pengertian pornografi UU Pornografi Indonesia pun tidak memberikan definisi yang tegas mengenai pornografi. Pornografi dinyatakan sebagai penerbitan materi yang melanggar kesusilaan dengan menggunakan berbagai media. Definisi ini tidak memberikan pemahaman pornografi yang pasti sehingga menciptakan ruang atau celah hukum sebagai kebebasan untuk interpretasi dari apa yang disebut pornografi. Pandangan serupa mengenai definisi yang tidak pasti tentang cyber pornography dapat dilihat dari pernyataan yang mendefinisikan sebagai setiap gambar yang menggambarkan anak atau orang dewasa yang diunggah di internet.13 Tidak mengherankan jika kondisi tersebut memunculkan pandangan yang berlawanan bahwa cyber pornography hanyalah aspek penting dari kebebasan berekspresi. Perumusan yang tidak pasti mengena pornografi di dunia maya berimplikasi pada pemahaman penegakan hukum kejahatan ini yang belum sepenuhnya utuh dan seringkali dianggap sebagai ketidakpastian hukum. Akan tetapi penjelasan tersebut tidak tepat apabila disimpulkan bahwa penegak hukum terjebak pada hukum yang rentan sebagai akibat dari definisi yang tidak pasti dan pemahaman yang terbatas tentang cyber pornography. Regulasi atau ketentuan 12 Krismiyarsi, ‘Criminal Law Enforcement of Cyberporn/Cybersex in Order to Fighting Crime in Indonesia’, International Journal Bussiness, Economi, an Law, 8.4 (2015), p. 96. 13 MA Saulawa, ‘Cyber Pornography: Analysis Of the Legal Framework’, Global Journal of Politics and Law Research Faculty of Law, 3 (2015), p. 44. hukum mengenai penegakan tindak pidana pornografi maupun cyber pornography akan disampaikan pada penulisan ini menjadi beberapa bagian, mulai dari KUHP sampai dengan undang-undang yang berkaitan. IV. Pengaturan dalam UU Pornografi Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) memberikan definisi konkrit, bahwa pornografi adalah. “…. gambar, sketsa ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”. Mengenai batasan dan juga larangan segala bentuk perbuatan yang mengandung pornografi, dinyatakan dalam Pasal 4 UU Pornografi yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan sampai dengan paling lama 12 tahun, seta pidana denda setidaknya Rp 250.000.000,00. Dalam Pasal 4 tersebut secara tersurat disampaikan bahwa “Setiap orang dilarang untuk memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewa, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; f. pornografi anak” Kemudian lebih khusus lagi diatur unsur-unsur tindak pidana pornografi telah dirangkum sebagaimana tabel dibawah ini: Pasal Perbuatan yang dipidana Memproduksi, membuat, memperbanyak, Pasal 30 menggandakan, menyebar luaskan, menyiarkan, mengekspor, mengimpor, menawarkan, memperjual belikan, menyewakan, dan menyediakan pornografi Pasal 31 Menyediakan jasa pornografi Pasal 32 Melibatkan anak pada pornografi Pasal 33 Meminjamkan dan mengunduh konten pornografi Mendengarkan pornografi, Pasal 34 mempertontonkan pornografi, memanfaatkan pornografi, dan kepemilikan pornografi Pasal 35 Mendanai atau membiayai pornografi Pengaturan dalam UU ITE V. Istilah pornografi maupun cyber pornography secara umum pada dasarnya tidak tercantum dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam regulasi UU ITE yang dimaksudkan penulis untuk bahasan cyber pornography adalah katakata muatan yang melanggar kesusilaan. Pada pasal 27 ayat (1) UU ITE, berbunyi “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Terhadap perbuatan tersebut, pelanggaran berkaitan dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE diancam dengan pidana penjara dan/atau denda, pidana penjara maksimum selama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda maksimum sejumlah Rp 1 milyar. VI. Kedudukan dan hak korban cyber pornography 1. Konsepsi Right to be Forgotten Cyber pornography di Indonesia sangat bertentangan dengan kesopanan, kesusilaan, adab, dan pandangan hidup masyarakat Indonesia. Namun ternyata selain perlu menindak pelaku penyebaran muatan pornografi di internet, tidak kalah penting untuk melaksanakan menyelenggarakan perlindungan korban dari perbuatan cyber pornography. Perlindungan kepada korban ini dipandang penting guna memberikan dukungan korban yang memperoleh stigma negatif di masyarakat. Dampak kemajuan teknologi komunikasi, meskipun kita dimanjakan pada kemudahan yang diberikan, secara tidak langsung juga memudahkan komentar-komentar negatif kepada korban cyber pornography yang dapat mengganggu kondisi kejiwaannya. Kepentingan mengenai posisi korban akibat dari perbuatan pidana seringkali memperoleh perhatian yang kurang menguntungkan, terlebih apabila mengingat korban adalah seorang yang dalam kasusnya menerima kerugian berupa penderitaan akibat dari ketidakadilan. Secara langsung kondisi ini menempatkan korban kejahatan sebagai akibat suatu peristiwa sebagai bulanbulanan dalam proses pencarian keadilan. Selama berlakunya hukum nasional Indonesia, permasalahan kompleks tentang pemberian kepastian hukum untuk korban sebenarnya sudah memiliki regulasi hukum sendiri walaupun parsial dan bersifat sederhana. Keadaan korban tidak secara nyata mendapat tempat dalam proses peradilan pidana, hal ini disebabkan oleh penganutan prinsip sistem peradilan pidana hingga saat ini berlaku berdasarkan prinsip retributive justice (keadilan retributif). Sengketa dirampungkan oleh penegak hukum semata-mata untuk mendaratkan hukuman kepada pelaku kejahatan, dan mengabaikan sisi pemulihan kerugian yang diterima korban kejahatan.14 Terjadinya pengabaian kepentingan dan hak korban pada tataran hukum pidana Indonesia membawa konsekwensi terabaikan pula kepentingan dan hak korban pada mekanisme pencarian keadilan selama penegakan hukum di sistem peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana, korban, tidak lain hanya diberi kedudukan sebagai seorang saksi, jelas disini bahwa untuk menyuarakan kebenaran dari suatu peristiwa yang dialaminya sendiri tidak mungkin disampaikan dengan cukup jelas, terlebih apabilia korban mendapatkan ancaman dari pihak asing. 14 Hukum dan pemahaman mengenai hak adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, adanya pengaturan hukum pada hakekatnya ialah pengaturan mengenai hakhak yang melekat pada diri 14 Natangsa Surbakti, ‘Mediasi Penal Sebagai Terobosan Alternatif Perlindungan Hak Korban Tindak Pidana’, Jurnal Ilmu Hukum, 14.1 (2011), p. 90. setiap manusia. Pemakaian istilah hukum dan hak dalam bahasa latin adalah sama yaitu menggunakan istilah ius (latin), droit (Perancis), dan recht (Belanda). Namun hanya penggunaan istilahnya terbagi menjadi subjective recht untuk menyebutkan hak, dan objective recht untuk menyebutkan hukum. Berdasarkan pengertian tersebut, hak memiliki penafsiran sebagai suatu hal yang melekat pada diri manusia kaitannya dengan kebutuhan eksistensi dan kebutuhan fisik.15 Rights to be forgotten atau hak untuk dilupakan pada hakekatnya adalah sesuatu yang bertalian dengan eksistensi atau keberadaan diri. Pengakuan tentang hak untuk dilupakan tidak ditemukan secara konkrit karena belum diatur secara tersurat dalam UUD 1945. Namun kajian tentang rights to be forgotten di Indonesia dapat dilakukan dengan pendekatan hak asasi manusia, terlebih berkaitan dengan pengakuan diri dan perlindungan hukum 16 Pemahaman mengenai rights to be forgotten atau hak untuk dilupakan di Indonesia tidak dapat dikesampingkan dari privacy rights (hak privasi) dalam pemanfaatan teknologi informasi, misalnya hak pribadi terhadap perlindungan data di internet merupakan salah satu bentuk dari privacy rights. Pemahaman mengenai hak pribadi dapat dikonstruksikan dengan uraian sebagai berikut:17 A. Hak pribadi adalah kebebasan untuk melangsungkan kehidupan pribadi tanpa gangguan maupun ancaman B. hak pribadi adalah kebebasan untuk berkomunikasi dengan rasa aman dan tanpa merasa sedang diawasi C. Hak pribadi adalah kebebasan atau kewenangan untuk melakukan pengawasan kehidupan maupun data pribadi seseorang. Eksistensi mengenai hak privasi menjadi perhatian dalam dunia hukum dan hak asasi manusia, seorang hakim di Amerika Serikat, Thomas Cooley, menyebutnya dengan kata the 15 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), p. 165. Hwian Christianto, ‘Konsep Hak Untuk Dilupakan Sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn Berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik’, Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 32.2 (2020), p. 184 17 Rizky P.P. Karo Karo., ‘Perlindungan Hukum Atas Privasi Dan Data Pribadi Masyarakat’, Hukumonline.Com, 2019, p. 1 . 16 right to be alone 18 Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948 (DUHAM 1948) secara khusus memberi ketentuan bahwasanya setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu 19 Pemahaman mengenai ketentuan Pasal 3 DUHAM 1948 ini diinterpretasikan sebagai pengakuan kebutuhan diri, kebebasan, dan keselamatan manusia adalah hak privasi yang harus dipenuhi. Bilamana kebutuhan tersebut dikaitkan dengan jaminan kemanusiaan, makan dapat dipahami bahwa kebutuhan diri dan keselamatan merupakan kebutuhan substansi, kebebasan merupakan pemenuhan kebutuhan eksistensi. Berdasarkan penjelasan tersebut disimpulkan bahwa adanya hak privasi telah terpikirkan sejak dahulu dalam DUHAM 1948. VII. KESIMPULAN Tindak pidana pornografi sejatinya memiliki payung hukum yang jelas di Indonesia, antara lain KUHP, UU Pornografi, UU ITE, UU Pers, UU Penyiaran, UU Perlindungan Anak, UU Perfilman, PP Lembaga Sensor Film. Namun belum ada peraturan perundangundangan yang mengatur secara komprehensil untuk kasus cyber pornography. Paradigma hak untuk dilupakan bagi korban pornografi utamanya cyber pornography adalah salah satu wujud privasi rights didalamnya mencakup hak pribadi seseorang atas perlindungan dari muatan tidak relevan di dunia maya. Indonesia memasukkan doktrin tentang hak untuk dilupakan dalam Pasal 26 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU ITE. Walaupun pengadopsian konsep hak untuk dilupakan berbeda penerapannya dengan kasus-kasus pornografi di Eropa dan Amerika, namun Pasal 26 UU ITE tersebut cukup untuk menjadi tonggak awal untuk melindungi kepentingan orang yang dirugikan oleh muatan elektronik terutama menyangkut cyber pornografi. Untuk memberikan kepastian hukum yang lebih bagi warga negaranya, Indonesia perlu segera merancang Peraturan Pemerintah mengenai mekanisme penghapusan data elektronik, sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 26 ayat (5) UU ITE. VIII. 18 DAFTAR PUSTAKA Ridha Aditya Nugraha, ‘Perlindungan Data Pribadi Dan Privasi Penumpang Maskapai Penerbangan Pada Era Big Data’, Jurnal Mimbar Hukum, 30.2 (2020), p. 263. 19 Ignatius Bagus Susilo, Kompilasi Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia Berikut Ratifikasinya Dalam Peraturan Perundangundangan Di Indonesia (Surabaya: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, 2003), p. 3. - Dr.Firman Adi Chandra EFEKTIFITAS PUTUSAN PADA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM JABATAN - Martini PENGATURAN TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA - ARINI FERYA PUTRI Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pornografi dan Penerapan Prinsip Right to be Forgotten di Indonesia - Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Kitab UndangUndang Hukum Pidana Undang - Undang – Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi - Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik - Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film - Arief, Barda Nawawi. 2006. Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cyber Crime Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. - Latif, Yudi. 2011. Negara ParipurnaHistoritas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Kompas Media. - Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. - Marzuki, Peter Mahmud. 2014. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Jakarta: Kencana. - McLeod, Ian. 1996. Legal Method, Palgrave Macmillan, Hampshire. - Ramli, A. (2004) Cyber Law dan HAKI Dalam System Hukum Indonesia. Bandung: Refika Anditama - Suliant, Feri. 2010. CyberPorn-Bisnis Atau Kriminal. Jakarta: Elek Media Komputindo - Syahdeini, Sutan Remy. 2009. Kejahatan Dan Tindak Pidana Komputer. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. - Wacks, Raymond. 2012. Privacy and Media Freedom. Croydon: Oxford University Press - Adebayo, Haleemah Bukoola. 2018. “Trajectories of University of Ibadan Udergraduates ‘Exposure to Cyber Pornography.’” Journal of Social, Behavior, and Health Science 12(1). - Apriadi, Indra. 2010. “Laporan Akhir Penulisan Karya Ilmiah Tentang Implementasi Regulasi Pornografi Di Indonesia.” Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia. Badan Pembinaan Hukum Nasional. - Christianto, Hwian. 2020. “Konsep Hak Untuk Dilupakan Sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn Berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik.” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 32(2). doi: 10.22146/jmh.51110.