Academia.eduAcademia.edu

HUKUM KETENAGAKERJAAN SITI NURONI

HUKUM KETENAGAKERJAAN PERSELISIHAN KEPENTINGAN DALAM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SITI NURONI-UIN MATARAM A.Latar Belakang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Manusia sebagai mahluk social (zoon politicon) dalam pergaulan hidupnya di dalam masyarakat merupakan hal yang wajar bila terjadi banyak perbedaan-perbedaan,seperti perbedaan kepentingan dan pandangan terhadap sesuatu.Dampak dari hal tersebut adalah munculnya konflik . Menurut Ronny Hanitijo,konflik adalah situasi (keadaan)dimana dua atau lebih pihak-pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain akan kebenaran tujuannya masing-masing. Jika dilihat dari pengertian konflik diatas,dapat ditarik unsur-unsurnya:  Adanya dua orang atau lebih  Para pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing  Dimana keinginan mereka tersebut tidak dapat dipersatukan  Tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain akan kebenaran tujuannya masingmasing. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,perselisihan kepentingan,perselisihan pemutusan hubungan kerja,dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan.Perselisihan hubungan industrial sebenarnya sejak lama akrab dengan hubungan ketenagakerjaan di Indonesia. 1Tetapi ini bukan satu-satunya masalah yang dialami oleh Indonesia saja,karena ini Dan perselisihan hubungan industrial tidak hanya terjadi di negara berkembang namun juga di negara maju. 1 Wijaya,W.(2019).Hubungan Industrial dan Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan.hal.57. Perselisihan hubungan industrial biasanya terkait kepentingan antara pekerja dengan pengusaha yang berpeluang menimbulkan perbedaan pendapat.Perselisihan di bidang hubungan industrial dapat terjadi karena belum adanya hak yang telah ditetapkan dan tertuang di dalam perjanjian kerja.peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan. Perselisihan hubungan industrial akan berpotensi adanya tindakan atau aksi-aksi pemogokan kerja dan demonstrasi buruh. Biasanya hal tersebut terjadi dikarenakan ketidakpuasan terhadap kebijaksanaan yang diambil pengusaha. Majikan berusaha untuk memberikan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menurut pertimbangannya sudah baik dan bakal diterima oleh buruh, namun dari pihak buruh mempunyai pemikiran lain.Hal demikian selalu menjadi awal dari perselisihan hubungan industrial sangat populer di Indonesia bahkan di seluruh dunia dari tahun ke tahun. Perselisihan hubungan industrial sekarang menjadi perhatian serius pemerintah.Masalah yang dialami kedua belah pihak secara umum berkisar pada masalahmasalah: ٞ pengupahan, ٞ jaminan sosial, ٞ perilaku penugasan yang kadang-kadang dirasakan kurang sesuai dengan kepribadian, ٞ daya kerja dan kemampuan yang dirasakan kurang sesuai dengan pekerjaan yang diembannya, ٞ adanya masalah pribadi. Apabila perselisihan-perselisihan di atas terus berlangsung, maka kedua belah pihak, baik buruh maupun pengusaha, akan sama-sama menghadapi resiko kerugian. Sehingga jalan keluar terbaik untuk mengurangi resiko kerugian tersebut adalah dengan meminimalkan konflik. 2 Pemahaman ini harus ditanamkan pada diri pengusaha dan buruh, karena konflik sama dengan rugi. 2 Apipuddin, A. (2019). RECHTSVINDING METHOD OF JUDGES IN FILLING LEGAL EMPTY "STUDY OF APPROACHES IN LEGAL DISCOVERY". Al-IHKAM Jurnal Hukum Keluarga Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Mataram, 11(2), 135–152. https://doi.org/10.20414/alihkam.v11i2.2166 Pemerintah yang berada di tengah-tengah atau sebagai jembatan antara majikan pengusaha dan buruh, sebenarnya tidak mungkin menghendaki terjadinya perselisihan di antara kedua belah pihak, karena dengan adanya perselisihan tersebut yang mengalami kerugian tidak hanya dari pihak pengusaha dan atau pihak buruh saja, namun juga pihak pemerintah. Oleh karena itu pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah hubungan industrial, pemerintah turut terlibat dalam menyelesaikannya. Salah satu upaya pemerintah dengan mengeluarkan peraturan perundangan yang mengatur mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial, antara lain dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU No. 2-2004), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (UU No. 12-1964), UU No. 13-2003.3 B.Perselisihan Kepentingan Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Di dalam hubungan industrial selalu terdapat perbedaan kepentingan. Masalah kepentingan menjadi semakin marak setelah adanya serikat buruh yang bertugas memperjuangkan kepentingan-kepentingan buruh. Contoh tuntutan buruh terkait kepentingan adalah tuntutan waktu kerja yang lebih baik dalam syarat kerja. Menurut Imam Supomo perselisihan kepentingan terjadi karena ketidaksesuaian paham dalam perubahan syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan.48Kadang kita sulit untuk membedakan antara perselisihan kepentingan dan perselisihan hak. Kalau kita lebih mencermati lagi perselisihan hak objek sengketanya adalah tidak dipenuhinya hak atau pelanggaran hukum yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. Sedangkan, perselisihan kepentingan objek sengketanya adalah karena tidak adanya kesesuaian pendapat menyangkut pembuatan hukum atau perubahan hukum terhadap 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. 4 Dalam hukum perjanjian para pihak pasti memiliki suatu kepentingan untuk membuat sebuah perjanjian. Hal ini merupakan kewajaran jika para pihak ingin merubah substansi yang sudah disepakati. Oleh karena itu jika tidak tercapai kesepakatan sedapat mungkin konflik kepentingan harus dihindari. Konflik di atas merupakan konflik intern yang timbul karena adanya kepentingan dari para pihak. Pada akhirnya jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut akan menghambat produktivitas perusahaan. Dalam perkembangannya buruh sebagai pribadi atau secara kolektif (organisasi buruh) dapat menjadi para pihak dalam perselisihan hak atau perselisihan kepentingan. C.Penyebab Perselisihan Kepentingan Beberapa faktor yang dapat memicu perselisihan kepentingan dalam hukum ketenagakerjaan adalah ketidakpuasan pekerja terhadap kondisi kerja, tuntutan kenaikan upah, dan pengaturan jam kerja yang dianggap tidak adil. Hal-hal ini menjadi sumber utama perselisihan karena keduanya bersifat dinamis dan sering berubah sesuai dengan kondisi ekonomi dan sosial yang mempengaruhi tenaga kerja dan perusahaan. 1.Perbedaan dalam Tuntutan Upah Perbedaan antara tuntutan upah yang diajukan oleh pekerja dan kemampuan atau keinginan pengusaha untuk memenuhi tuntutan tersebut merupakan salah satu penyebab paling umum terjadinya perselisihan kepentingan. Ketika inflasi meningkat atau biaya hidup semakin tinggi, pekerja biasanya mengharapkan penyesuaian upah agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain, pengusaha mungkin ingin menekan biaya tenaga kerja demi meningkatkan daya saing atau menjaga keuntungan perusahaan. Hal ini sering menimbulkan perdebatan panjang yang tidak mudah untuk diselesaikan secara cepat. Upah minimum sering menjadi titik awal perselisihan, terutama ketika pekerja merasa bahwa kenaikan upah minimum regional (UMR) tidak cukup untuk mengimbangi kenaikan biaya hidup. Pekerja, terutama mereka yang bekerja di sektor-sektor padat karya, sering kali memperjuangkan kenaikan upah yang lebih signifikan melalui serikat pekerja atau perundingan kolektif. Bagi pengusaha, kenaikan upah minimum yang terlalu tinggi bisa 4 Darsono,A.(2018).Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.hal.103. berdampak pada penurunan profitabilitas dan bahkan mendorong perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).5 2.Kondisi Kerja dan Kesehatan serta Keselamatan di Tempat Kerja Perselisihan juga sering kali terjadi terkait dengan kondisi kerja yang dianggap tidak memenuhi standar kesehatan dan keselamatan kerja yang layak. Pekerja biasanya menuntut perbaikan dalam hal perlindungan keselamatan di tempat kerja, fasilitas kesehatan, dan perlindungan dari risiko-risiko kerja yang dapat membahayakan keselamatan fisik mereka. Di sisi lain, pengusaha mungkin merasa bahwa investasi dalam peningkatan fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja adalah beban biaya yang besar, terutama bagi perusahaan kecil dan menengah yang memiliki keterbatasan sumber daya. 6Standar keselamatan kerja di Indonesia telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi penerapan dan pengawasannya sering kali menjadi masalah. Pekerja di sektor konstruksi, manufaktur, dan pertambangan, misalnya, sering kali menghadapi risiko tinggi kecelakaan kerja. Tuntutan pekerja untuk mendapatkan peralatan keselamatan yang lebih baik, pelatihan keselamatan, dan pengawasan yang lebih ketat dari pihak perusahaan sering kali menjadi pemicu perselisihan kepentingan, terutama ketika pengusaha tidak merespons tuntutan ini dengan baik.7 3.Jam Kerja dan Kebijakan Lembur Jam kerja yang panjang dan kebijakan lembur yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum juga menjadi sumber perselisihan. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, jam kerja normal adalah 40 jam per minggu, dan pekerjaan lembur harus dibayar dengan kompensasi yang sesuai. 8 Namun, dalam praktiknya, banyak perusahaan yang menetapkan jam kerja yang lebih panjang tanpa memberikan kompensasi yang layak 5 Santoso,B.(2020).”Dinamika Upah Minimum dan Tantangan Serikat Pekerja di Indonesia”.hal.33 Sudrajat,R.(2018).”Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Sektor Industri Manufaktur:Tantangan dan Solusi”.hal.22 7 Saragih,H.(2021).Kebijakan Lembur dan Jam Kerja:Studi Kasus di Rektor Retail.hal.54 8 Pasal 77,Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 6 terutama di sektor manufaktur dan retail. Hal ini sering kali memicu protes dari pekerja, yang merasa dieksploitasi dan tidak diberi hak yang seharusnya mereka dapatkan.9 Selain itu, kebijakan lembur yang tidak adil, seperti penetapan lembur secara sepihak oleh pengusaha tanpa persetujuan pekerja atau pembayaran upah lembur yang di bawah standar, juga menjadi sumber konflik. Bagi pekerja, lembur sering kali menjadi beban tambahan yang mengganggu keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi, terutama jika jam lembur tersebut tidak diimbangi dengan pembayaran yang setimpal. 4.Perubahan Teknologi dan Restrukturisasi Perusahaan Dengan kemajuan teknologi yang cepat, banyak perusahaan yang melakukan restrukturisasi untuk meningkatkan efisiensi. Pekerja sering kali merasa khawatir bahwa restrukturisasi ini akan mengancam pekerjaan mereka, terutama dengan adanya otomatisasi yang dapat mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja manusia. Tuntutan pekerja untuk mendapatkan pelatihan ulang atau program jaminan pekerjaan sering kali bertentangan dengan keinginan pengusaha untuk mengurangi biaya dan meningkatkan produktivitas melalui teknologi. 10 Di sektor manufaktur dan industri lainnya, digitalisasi dan otomatisasi sering kali mengarah pada pengurangan jumlah tenaga kerja atau perubahan dalam keterampilan yang dibutuhkan. Ketika perusahaan beralih ke teknologi baru, pekerja mungkin merasa tertinggal atau tidak dipersiapkan untuk menghadapi perubahan tersebut. Ketegangan ini sering kali memicu perselisihan kepentingan, terutama jika tidak ada program yang memadai dari perusahaan untuk membantu pekerja beradaptasi dengan perubahan tersebut. C. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Sengketa Perburuhan Berdasarkan UU No. 2-2004, penyelesaian sengketa perburuhan diselesaiakan melalui 6 (enam) lembaga penyelesaian sengketa, yaitu: 9 Masnun, M. T., & Apipuddin, A. (2020). REKOGNISI FATWA DALAM PLURALISME HUKUM KELUARGA ISLAM INDONESIA “KAJIAN HUKUM ISLAM SUSTAINABLE”. ADHKI: JOURNAL OF ISLAMIC FAMILY LAW, 2(1), 1–23. https://doi.org/10.37876/adhki.v2i1.31 10 Lalu Husni,Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Diluar Pengadilan.hal.32 1.Perundingan Bipartit Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Bipartit merupakan langkah pertama yang wajib dilaksanakan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 11 Penyelesaian sebagaimana dimaksud bertujuan untuk tercapainya musyawarah mufakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 2-2004. Penyelesaian ditingkat bipartit atau biasa disebut dengan negosiasi lebih efektif dibandingkan penyelesaian perselisihan yang lainnya, karena semua sengketa hubungan industrial dapat diselesaiakan melalui bipartit. Hal yang perlu diperhatikan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara bipartit, antara lain: ¯ Mengembangkan sikap kerja kekerabatan, maksudnya posisi pengusaha dan pekerja berada dalam satu tempat yang sama. ¯ Jangan ada campur tangan pihak lain dalam melakukan perundingan. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit ini memiliki jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dimulainya perundingan, sedangkan apabila jangka waktu terlampau atau para pihak tidak mencapai mufakat maka perundingan dinyatakan gagal. Ketentuan perundingan setidaktidaknya harus memuat risalah perundingan antara lain nama lengkap dan alamat para pihak, tanggal dan tempat perundingan, pokok masalah, pendapat para pihak, kesimpulan atau hasil perundingan, serta tanda tangan para pihak. Hasil perundingan bipartit jika berhasil dibuatkan perjanjian bersama. Perjanjian bersama wajib didaftarkan pada pengadilan hubungan industrial yang berwenang secara kompetensi relatif dimana perjanjian bersama itu dibuat. 2. Mediasi Apabila dalam upaya bipartit tidak terjadi kesepakatan antara pihak bersengketa atau gagal maka pemerintah memfasilitasi penyelesaian perselisihan dengan menyediakan tenaga mediator dalam jalur penyelesaian mediasi. Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang 11 Kurniawan,D.(2019).Reksturisasi dan Pemberdayaan Tenaga Kerja di Era Digital.hal.78 atau lebih mediator yang netral.12 Pemerintah dapat mengangkat seorang mediator yang bertugas sebagai penengah dalam menyelesaikan sengketa antara buruh dan pengusaha. Seorang mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 UU No. 2-2004. Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Mediasi dapat dikatakan sebagai salah satu upaya dari para pihak, sebelum sampai ke pengadilan. Prosedur mediasi diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 16 UU No. 2-2004. Apabila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui mediator tersebut dibuatkan “perjanjian bersama” yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis, jika anjuran tertulis diterima maka dibuatkan perjanjian bersama yang kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial, apabila anjuran tertulis tidak diterima, maka salah satu pihak mengajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. 3. Konsiliasi Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.13 12 13 Amriani,Nurnaningsih,2011.Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan.hal.69 Abdul,Rachmad Budiono,Hukum Perburuhan,hal.72 Dari pengertian di atas maka jelas bahwa konsiliator adalah bukan pegawai yang bertugas di instansi ketenagakerjaan. Dilihat dari pengertian di atas lagi, alasan mengapa konsiliator tidak diberikan wewenang untuk menyelesaikan perselisihan hak saat ini masih menjadi pertanyaan. Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang namanya terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten atau kota. Konsiliator jumlahnya masih sangat sedikit di Indonesia. Di Kota Malang hanya terdapat satu konsiliator. Padahal Kota Malang nota benenya adalah kota terbesar kedua setelah Surabaya di Jawa Timur. Untuk diangkat menjadi seorang konsiliator sebagaimana dimaksud di atas harus memenuhi syarat, sebagai berikut: A. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; B. Warga negara Indonesia; C. Berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun; D. Pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S.1); E. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter; F. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; G. Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurangkurangnya 5 (lima) tahun; H. Menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan; dan I. Syarat lain yang ditetapkan oleh menteri. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama. Jika tercapai kesepakatan melalui konsiliasi, maka dibuat perjanjian bersama dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial. Jika tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis. Dalam hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Dalam menjalankan tugasnya konsiliator berhak menerima honorarium atas jasanya. 4. Arbitrase Arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final dan mengikat.14 Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.Untuk memudahkan kita dalam memahami arbitrase, maka pengertian arbitrase di atas dapat ditarik unsur-unsurnya: 1. arbitrase hanya dapat menyelesaikan 2 (dua) sengketa perburuhan, yakni perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan, 2. arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan hubungan industrial, 3. adanya kesepakatan tertulis oleh pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka untuk diputus oleh pihak ketiga yang disebut arbiter dan putusannya bersifat final dan mengikat. Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU No. 30-1999) yang berlaku di bidang sengketa bisnis. Arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam UU No. 2-2004 ini merupakan pengaturan khusus. Hal ini sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat legi generalis, yaitu ketentuan yang bersifat khusus mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum. Pengaturan tentang upaya arbitrase dalam sengketa perburuhan diatur dalam Pasal 29-54 UU No. 2-2004.Jika para pihak sudah bersepakat untuk menyelesaikan perkara secara arbitrase, maka para pihak 14 Muhammad Syarif,2002.Prinsip Keadilan dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia.hal.107 yang bersengketa berhak untuk memilih arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri. 15 Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan upaya perdamaian. Apabila perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat akta perdamaian yang didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri. Apabila upaya perdamaian gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase. Arbiter wajib menyelesaikan sengketa dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditandatanganinya kesepakatan penunjukan dirinya. Pemeriksaan perselisihan oleh arbiter pada umumnya dilakukan secara tertutup kecuali para pihak menghendaki lain.Dalam persidangan untuk menjamin keadilan pada persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya. Pengajuan bukti ada batasan waktunya, karena arbiter Cuma diberi waktu selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja, maka pengajuan bukti berlangsung singkat. Perselisihan hubungan industrial yang telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Ini dikarenakan putusan arbitrase disamakan dengan putusan dalam pengadilan hubungan industrial karena bersifat final dan mengikat. Perbedaanya adalah dalam hal terjadi hal demikian para pihak dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.Batasan waktu untuk mengajukan peninjauan kembali adalah 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbitrase. Kelemahan penyelesaian melalui arbitrase adalah para pihak dibebani biaya-biaya yang timbul khususnya pemanggilan saksi dansaksi ahli, sedangkan di dalam mediasi dan konsiliasi biaya-biaya tersebut ditanggung oleh negara. 15 Fahrurrozi, Apipuddin, & Heru Sunardi. (2022). PENYELESAIAN KASUS KDRT MENGGUNAKAN RESTORATIF JUSTICE PERSPEKTIF MAQASHID SYARI’AH (Studi Kasus di Kepolisian Resort Kota Mataram). Al-IHKAM Jurnal Hukum Keluarga Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Mataram, 14(2), 201–222. https://doi.org/10.20414/alihkam.v14i2.6929 DAFTAR PUSTAKA Apipuddin, A. (2019). RECHTSVINDING METHOD OF JUDGES IN FILLING LEGAL EMPTY "STUDY OF APPROACHES IN LEGAL DISCOVERY". Al-IHKAM Jurnal Hukum Keluarga Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Mataram, 11(2), 135–152. https://doi.org/10.20414/alihkam.v11i2.2166 Wijaya,W.(2019).Hubungan Industrial dan Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,hal.57. Santoso,B.(2020).”Dinamika Upah Minimum dan Tantangan Serikat Pekerja di Indonesia”,Jurnal Ketenagakerjaan Indonesia,9(1),hal.33. Fahrurrozi, Apipuddin, & Heru Sunardi. (2022). PENYELESAIAN KASUS KDRT MENGGUNAKAN RESTORATIF JUSTICE PERSPEKTIF MAQASHID SYARI’AH (Studi Kasus di Kepolisian Resort Kota Mataram). Al-IHKAM Jurnal Hukum Keluarga Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Mataram, 14(2), 201–222. https://doi.org/10.20414/alihkam.v14i2.6929 Lalu Husni,Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Diluar Pengadilan,Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2005. Saragih,H.(2021).Kebijakan Lembur dan Jam Kerja:Studi Kasus di Rektor Retail.Surabaya:Pustaka Pelajar,hal.54. Masnun, M. T., & Apipuddin, A. (2020). REKOGNISI FATWA DALAM PLURALISME HUKUM KELUARGA ISLAM INDONESIA “KAJIAN HUKUM ISLAM SUSTAINABLE”. ADHKI: JOURNAL OF ISLAMIC FAMILY LAW, 2(1), 1–23https://doi.org/10.37876/adhki.v2i1.31