HUKUM KETENAGAKERJAAN
PERSELISIHAN KEPENTINGAN DALAM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
SITI NURONI-UIN MATARAM
A.Latar Belakang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Manusia sebagai mahluk social (zoon politicon) dalam pergaulan hidupnya di dalam
masyarakat merupakan hal yang wajar bila terjadi banyak perbedaan-perbedaan,seperti
perbedaan kepentingan dan pandangan terhadap sesuatu.Dampak dari hal tersebut adalah
munculnya konflik .
Menurut Ronny Hanitijo,konflik adalah situasi (keadaan)dimana dua atau lebih pihak-pihak
memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan dimana
tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain akan kebenaran tujuannya masing-masing.
Jika dilihat dari pengertian konflik diatas,dapat ditarik unsur-unsurnya:
Adanya dua orang atau lebih
Para pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing
Dimana keinginan mereka tersebut tidak dapat dipersatukan
Tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain akan kebenaran tujuannya masingmasing.
Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan buruh atau serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak,perselisihan kepentingan,perselisihan pemutusan
hubungan kerja,dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan.Perselisihan
hubungan industrial sebenarnya sejak lama akrab dengan hubungan ketenagakerjaan di
Indonesia. 1Tetapi ini bukan satu-satunya masalah yang dialami oleh Indonesia saja,karena
ini Dan perselisihan hubungan industrial tidak hanya terjadi di negara berkembang namun
juga di negara maju.
1
Wijaya,W.(2019).Hubungan Industrial dan Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan.hal.57.
Perselisihan hubungan industrial biasanya terkait kepentingan antara pekerja dengan
pengusaha yang berpeluang menimbulkan perbedaan pendapat.Perselisihan di bidang
hubungan industrial dapat terjadi karena belum adanya hak yang telah ditetapkan dan
tertuang di dalam perjanjian kerja.peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun
peraturan perundang-undangan.
Perselisihan hubungan industrial akan berpotensi adanya tindakan atau aksi-aksi pemogokan
kerja dan demonstrasi buruh. Biasanya hal tersebut terjadi dikarenakan ketidakpuasan
terhadap kebijaksanaan yang diambil pengusaha. Majikan berusaha untuk memberikan
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menurut pertimbangannya sudah baik dan bakal diterima
oleh buruh, namun dari pihak buruh mempunyai pemikiran lain.Hal demikian selalu menjadi
awal dari perselisihan hubungan industrial sangat populer di Indonesia bahkan di seluruh
dunia dari tahun ke tahun. Perselisihan hubungan industrial sekarang menjadi perhatian serius
pemerintah.Masalah yang dialami kedua belah pihak secara umum berkisar pada masalahmasalah:
ٞ pengupahan,
ٞ jaminan sosial,
ٞ perilaku penugasan yang kadang-kadang dirasakan kurang sesuai dengan kepribadian,
ٞ daya kerja dan kemampuan yang dirasakan kurang sesuai dengan pekerjaan yang
diembannya,
ٞ adanya masalah pribadi.
Apabila perselisihan-perselisihan di atas terus berlangsung, maka kedua belah pihak, baik
buruh maupun pengusaha, akan sama-sama menghadapi resiko kerugian. Sehingga jalan
keluar terbaik untuk mengurangi resiko kerugian tersebut adalah dengan meminimalkan
konflik. 2 Pemahaman ini harus ditanamkan pada diri pengusaha dan buruh, karena konflik
sama dengan rugi.
2
Apipuddin, A. (2019). RECHTSVINDING METHOD OF JUDGES IN FILLING LEGAL EMPTY "STUDY OF
APPROACHES IN LEGAL DISCOVERY". Al-IHKAM Jurnal Hukum Keluarga Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas
Syariah IAIN Mataram, 11(2), 135–152. https://doi.org/10.20414/alihkam.v11i2.2166
Pemerintah yang berada di tengah-tengah atau sebagai jembatan antara majikan pengusaha
dan buruh, sebenarnya tidak mungkin menghendaki terjadinya perselisihan di antara kedua
belah pihak, karena dengan adanya perselisihan tersebut yang mengalami kerugian tidak
hanya dari pihak pengusaha dan atau pihak buruh saja, namun juga pihak pemerintah. Oleh
karena itu pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah hubungan industrial, pemerintah
turut terlibat dalam menyelesaikannya. Salah satu upaya pemerintah dengan mengeluarkan
peraturan perundangan yang mengatur mengenai penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, antara lain dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU No. 2-2004), Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di
Perusahaan Swasta (UU No. 12-1964), UU No. 13-2003.3
B.Perselisihan Kepentingan
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak
adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
Di dalam hubungan industrial selalu terdapat perbedaan kepentingan. Masalah kepentingan
menjadi semakin marak setelah adanya serikat buruh yang bertugas memperjuangkan
kepentingan-kepentingan buruh. Contoh tuntutan buruh terkait kepentingan adalah tuntutan
waktu kerja yang lebih baik dalam syarat kerja. Menurut Imam Supomo perselisihan
kepentingan terjadi karena ketidaksesuaian paham dalam perubahan syarat-syarat kerja dan
atau keadaan perburuhan.48Kadang kita sulit untuk membedakan antara perselisihan
kepentingan dan perselisihan hak. Kalau kita lebih mencermati lagi perselisihan hak objek
sengketanya adalah tidak dipenuhinya hak atau pelanggaran hukum yang sudah ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian
kerja bersama. Sedangkan, perselisihan kepentingan objek sengketanya adalah karena tidak
adanya kesesuaian pendapat menyangkut pembuatan hukum atau perubahan hukum terhadap
3
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja
bersama. 4 Dalam hukum perjanjian para pihak pasti memiliki suatu kepentingan untuk
membuat sebuah perjanjian. Hal ini merupakan kewajaran jika para pihak ingin merubah
substansi yang sudah disepakati. Oleh karena itu jika tidak tercapai kesepakatan sedapat
mungkin konflik kepentingan harus dihindari. Konflik di atas merupakan konflik intern yang
timbul karena adanya kepentingan dari para pihak. Pada akhirnya jika konflik tersebut
dibiarkan
berlarut-larut
akan
menghambat
produktivitas
perusahaan.
Dalam
perkembangannya buruh sebagai pribadi atau secara kolektif (organisasi buruh) dapat
menjadi para pihak dalam perselisihan hak atau perselisihan kepentingan.
C.Penyebab Perselisihan Kepentingan
Beberapa faktor yang dapat memicu perselisihan kepentingan dalam hukum ketenagakerjaan
adalah ketidakpuasan pekerja terhadap kondisi kerja, tuntutan kenaikan upah, dan pengaturan
jam kerja yang dianggap tidak adil. Hal-hal ini menjadi sumber utama perselisihan karena
keduanya bersifat dinamis dan sering berubah sesuai dengan kondisi ekonomi dan sosial yang
mempengaruhi tenaga kerja dan perusahaan.
1.Perbedaan dalam Tuntutan Upah
Perbedaan antara tuntutan upah yang diajukan oleh pekerja dan kemampuan atau keinginan
pengusaha untuk memenuhi tuntutan tersebut merupakan salah satu penyebab paling umum
terjadinya perselisihan kepentingan. Ketika inflasi meningkat atau biaya hidup semakin
tinggi, pekerja biasanya mengharapkan penyesuaian upah agar bisa memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Di sisi lain, pengusaha mungkin ingin menekan biaya tenaga kerja demi
meningkatkan daya saing atau menjaga keuntungan perusahaan. Hal ini sering menimbulkan
perdebatan panjang yang tidak mudah untuk diselesaikan secara cepat.
Upah minimum sering menjadi titik awal perselisihan, terutama ketika pekerja merasa bahwa
kenaikan upah minimum regional (UMR) tidak cukup untuk mengimbangi kenaikan biaya
hidup. Pekerja, terutama mereka yang bekerja di sektor-sektor padat karya, sering kali
memperjuangkan kenaikan upah yang lebih signifikan melalui serikat pekerja atau
perundingan kolektif. Bagi pengusaha, kenaikan upah minimum yang terlalu tinggi bisa
4
Darsono,A.(2018).Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.hal.103.
berdampak pada penurunan profitabilitas dan bahkan mendorong perusahaan untuk
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).5
2.Kondisi Kerja dan Kesehatan serta Keselamatan di Tempat Kerja
Perselisihan juga sering kali terjadi terkait dengan kondisi kerja yang dianggap tidak
memenuhi standar kesehatan dan keselamatan kerja yang layak. Pekerja biasanya menuntut
perbaikan dalam hal perlindungan keselamatan di tempat kerja, fasilitas kesehatan, dan
perlindungan dari risiko-risiko kerja yang dapat membahayakan keselamatan fisik mereka. Di
sisi lain, pengusaha mungkin merasa bahwa investasi dalam peningkatan fasilitas
keselamatan dan kesehatan kerja adalah beban biaya yang besar, terutama bagi perusahaan
kecil dan menengah yang memiliki keterbatasan sumber daya. 6Standar keselamatan kerja di
Indonesia telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi penerapan dan
pengawasannya sering kali menjadi masalah. Pekerja di sektor konstruksi, manufaktur, dan
pertambangan, misalnya, sering kali menghadapi risiko tinggi kecelakaan kerja. Tuntutan
pekerja untuk mendapatkan peralatan keselamatan yang lebih baik, pelatihan keselamatan,
dan pengawasan yang lebih ketat dari pihak perusahaan sering kali menjadi pemicu
perselisihan kepentingan, terutama ketika pengusaha tidak merespons tuntutan ini dengan
baik.7
3.Jam Kerja dan Kebijakan Lembur
Jam kerja yang panjang dan kebijakan lembur yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum
juga menjadi sumber perselisihan. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, jam kerja normal adalah 40 jam per minggu, dan pekerjaan lembur harus
dibayar dengan kompensasi yang sesuai. 8 Namun, dalam praktiknya, banyak perusahaan yang
menetapkan jam kerja yang lebih panjang tanpa memberikan kompensasi yang layak
5
Santoso,B.(2020).”Dinamika Upah Minimum dan Tantangan Serikat Pekerja di Indonesia”.hal.33
Sudrajat,R.(2018).”Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Sektor Industri Manufaktur:Tantangan dan
Solusi”.hal.22
7
Saragih,H.(2021).Kebijakan Lembur dan Jam Kerja:Studi Kasus di Rektor Retail.hal.54
8
Pasal 77,Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
6
terutama di sektor manufaktur dan retail. Hal ini sering kali memicu protes dari pekerja, yang
merasa dieksploitasi dan tidak diberi hak yang seharusnya mereka dapatkan.9
Selain itu, kebijakan lembur yang tidak adil, seperti penetapan lembur secara sepihak oleh
pengusaha tanpa persetujuan pekerja atau pembayaran upah lembur yang di bawah standar,
juga menjadi sumber konflik. Bagi pekerja, lembur sering kali menjadi beban tambahan yang
mengganggu keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi, terutama jika jam
lembur tersebut tidak diimbangi dengan pembayaran yang setimpal.
4.Perubahan Teknologi dan Restrukturisasi Perusahaan
Dengan kemajuan teknologi yang cepat, banyak perusahaan yang melakukan restrukturisasi
untuk meningkatkan efisiensi. Pekerja sering kali merasa khawatir bahwa restrukturisasi ini
akan mengancam pekerjaan mereka, terutama dengan adanya otomatisasi yang dapat
mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja manusia. Tuntutan pekerja untuk mendapatkan
pelatihan ulang atau program jaminan pekerjaan sering kali bertentangan dengan keinginan
pengusaha untuk mengurangi biaya dan meningkatkan produktivitas melalui teknologi. 10
Di sektor manufaktur dan industri lainnya, digitalisasi dan otomatisasi sering kali mengarah
pada pengurangan jumlah tenaga kerja atau perubahan dalam keterampilan yang dibutuhkan.
Ketika perusahaan beralih ke teknologi baru, pekerja mungkin merasa tertinggal atau tidak
dipersiapkan untuk menghadapi perubahan tersebut. Ketegangan ini sering kali memicu
perselisihan kepentingan, terutama jika tidak ada program yang memadai dari perusahaan
untuk membantu pekerja beradaptasi dengan perubahan tersebut.
C. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Sengketa Perburuhan
Berdasarkan UU No. 2-2004, penyelesaian sengketa perburuhan diselesaiakan melalui 6
(enam) lembaga penyelesaian sengketa, yaitu:
9
Masnun, M. T., & Apipuddin, A. (2020). REKOGNISI FATWA DALAM PLURALISME HUKUM KELUARGA ISLAM
INDONESIA “KAJIAN HUKUM ISLAM SUSTAINABLE”. ADHKI: JOURNAL OF ISLAMIC FAMILY LAW, 2(1), 1–23.
https://doi.org/10.37876/adhki.v2i1.31
10
Lalu Husni,Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Diluar Pengadilan.hal.32
1.Perundingan Bipartit
Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Bipartit
merupakan langkah pertama yang wajib dilaksanakan dalam penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
11
Penyelesaian sebagaimana dimaksud bertujuan untuk tercapainya
musyawarah mufakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 2-2004. Penyelesaian
ditingkat bipartit atau biasa disebut dengan negosiasi lebih efektif dibandingkan penyelesaian
perselisihan yang lainnya, karena semua sengketa hubungan industrial dapat diselesaiakan
melalui bipartit.
Hal yang perlu diperhatikan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara
bipartit, antara lain:
¯ Mengembangkan sikap kerja kekerabatan, maksudnya posisi pengusaha dan pekerja
berada dalam satu tempat yang sama.
¯ Jangan ada campur tangan pihak lain dalam melakukan perundingan. Penyelesaian
perselisihan melalui bipartit ini memiliki jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
dimulainya perundingan, sedangkan apabila jangka waktu terlampau atau para pihak tidak
mencapai mufakat maka perundingan dinyatakan gagal. Ketentuan perundingan setidaktidaknya harus memuat risalah perundingan antara lain nama lengkap dan alamat para pihak,
tanggal dan tempat perundingan, pokok masalah, pendapat para pihak, kesimpulan atau hasil
perundingan, serta tanda tangan para pihak. Hasil perundingan bipartit jika berhasil dibuatkan
perjanjian bersama. Perjanjian bersama wajib didaftarkan pada pengadilan hubungan
industrial yang berwenang secara kompetensi relatif dimana perjanjian bersama itu dibuat.
2. Mediasi
Apabila dalam upaya bipartit tidak terjadi kesepakatan antara pihak bersengketa atau gagal
maka pemerintah memfasilitasi penyelesaian perselisihan dengan menyediakan tenaga
mediator dalam jalur penyelesaian mediasi. Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang
11
Kurniawan,D.(2019).Reksturisasi dan Pemberdayaan Tenaga Kerja di Era Digital.hal.78
atau lebih mediator yang netral.12 Pemerintah dapat mengangkat seorang mediator yang
bertugas sebagai penengah dalam menyelesaikan sengketa antara buruh dan pengusaha.
Seorang mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan
dalam Pasal 9 UU No. 2-2004.
Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri
untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis
kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Mediasi dapat dikatakan sebagai salah
satu upaya dari para pihak, sebelum sampai ke pengadilan. Prosedur mediasi diatur dalam
Pasal 8 sampai dengan Pasal 16 UU No. 2-2004. Apabila telah tercapai kesepakatan
penyelesaian perselisihan melalui mediator tersebut dibuatkan “perjanjian bersama” yang
ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan
maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis, jika anjuran tertulis diterima maka dibuatkan
perjanjian bersama yang kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial, apabila
anjuran tertulis tidak diterima, maka salah satu pihak mengajukan ke Pengadilan Hubungan
Industrial.
3. Konsiliasi
Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja atau perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator
adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh
menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada
para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan.13
12
13
Amriani,Nurnaningsih,2011.Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan.hal.69
Abdul,Rachmad Budiono,Hukum Perburuhan,hal.72
Dari pengertian di atas maka jelas bahwa konsiliator adalah bukan pegawai yang bertugas di
instansi ketenagakerjaan. Dilihat dari pengertian di atas lagi, alasan mengapa konsiliator tidak
diberikan wewenang untuk menyelesaikan perselisihan hak saat ini masih menjadi
pertanyaan. Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang
namanya terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten atau kota. Konsiliator jumlahnya masih sangat sedikit di Indonesia. Di Kota
Malang hanya terdapat satu konsiliator. Padahal Kota Malang nota benenya adalah kota
terbesar kedua setelah Surabaya di Jawa Timur. Untuk diangkat menjadi seorang konsiliator
sebagaimana dimaksud di atas harus memenuhi syarat, sebagai berikut:
A. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
B. Warga negara Indonesia;
C. Berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
D. Pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S.1);
E. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
F. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
G. Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurangkurangnya 5 (lima) tahun;
H. Menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan; dan
I. Syarat lain yang ditetapkan oleh menteri.
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja konsiliator harus sudah mengadakan
penelitian tentang duduk perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus
sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama. Jika tercapai kesepakatan melalui konsiliasi, maka
dibuat perjanjian bersama dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial. Jika tidak
tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka
konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis. Dalam hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu
pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian
perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Dalam menjalankan tugasnya konsiliator
berhak menerima honorarium atas jasanya.
4. Arbitrase
Arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu
perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan,
di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang
berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya
mengikat para pihak dan bersifat final dan mengikat.14 Arbiter adalah seorang atau lebih yang
dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri untuk
memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.Untuk memudahkan kita dalam
memahami arbitrase, maka pengertian arbitrase di atas dapat ditarik unsur-unsurnya:
1. arbitrase hanya dapat menyelesaikan 2 (dua) sengketa perburuhan, yakni
perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu
perusahaan,
2. arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan hubungan industrial,
3. adanya kesepakatan tertulis oleh pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka
untuk diputus oleh pihak ketiga yang disebut arbiter dan putusannya bersifat final dan
mengikat.
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU No. 30-1999) yang berlaku di bidang sengketa
bisnis.
Arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam UU No. 2-2004 ini merupakan pengaturan
khusus. Hal ini sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat legi generalis, yaitu ketentuan
yang bersifat khusus mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum. Pengaturan tentang
upaya arbitrase dalam sengketa perburuhan diatur dalam Pasal 29-54 UU No. 2-2004.Jika
para pihak sudah bersepakat untuk menyelesaikan perkara secara arbitrase, maka para pihak
14
Muhammad Syarif,2002.Prinsip Keadilan dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di
Indonesia.hal.107
yang bersengketa berhak untuk memilih arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh
menteri. 15
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan upaya
perdamaian. Apabila perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat
akta perdamaian yang didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri. Apabila upaya perdamaian gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang
arbitrase. Arbiter wajib menyelesaikan sengketa dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja sejak ditandatanganinya kesepakatan penunjukan dirinya. Pemeriksaan
perselisihan oleh arbiter pada umumnya dilakukan secara tertutup kecuali para pihak
menghendaki lain.Dalam persidangan untuk menjamin keadilan pada persidangan arbitrase
para pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian
masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya.
Pengajuan bukti ada batasan waktunya, karena arbiter Cuma diberi waktu selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja, maka pengajuan bukti berlangsung singkat.
Perselisihan hubungan industrial yang telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat
diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Ini dikarenakan putusan arbitrase disamakan
dengan putusan dalam pengadilan hubungan industrial karena bersifat final dan mengikat.
Perbedaanya adalah dalam hal terjadi hal demikian para pihak dapat mengajukan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung.Batasan waktu untuk mengajukan peninjauan kembali
adalah 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbitrase. Kelemahan
penyelesaian melalui arbitrase adalah para pihak dibebani biaya-biaya yang timbul khususnya
pemanggilan saksi dansaksi ahli, sedangkan di dalam mediasi dan konsiliasi biaya-biaya
tersebut ditanggung oleh negara.
15
Fahrurrozi, Apipuddin, & Heru Sunardi. (2022). PENYELESAIAN KASUS KDRT MENGGUNAKAN RESTORATIF
JUSTICE PERSPEKTIF MAQASHID SYARI’AH (Studi Kasus di Kepolisian Resort Kota Mataram). Al-IHKAM Jurnal
Hukum Keluarga Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Mataram, 14(2), 201–222.
https://doi.org/10.20414/alihkam.v14i2.6929
DAFTAR PUSTAKA
Apipuddin, A. (2019). RECHTSVINDING METHOD OF JUDGES IN FILLING LEGAL EMPTY
"STUDY OF APPROACHES IN LEGAL DISCOVERY". Al-IHKAM Jurnal Hukum Keluarga Jurusan
Ahwal
Al-Syakhshiyyah
Fakultas
Syariah
IAIN
Mataram,
11(2),
135–152.
https://doi.org/10.20414/alihkam.v11i2.2166
Wijaya,W.(2019).Hubungan
Industrial
dan
Penyelesaian
Perselisihan
Ketenagakerjaan.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,hal.57.
Santoso,B.(2020).”Dinamika
Upah
Minimum
dan
Tantangan
Serikat
Pekerja
di
Indonesia”,Jurnal Ketenagakerjaan Indonesia,9(1),hal.33.
Fahrurrozi, Apipuddin, & Heru Sunardi. (2022). PENYELESAIAN KASUS KDRT MENGGUNAKAN
RESTORATIF JUSTICE PERSPEKTIF MAQASHID SYARI’AH (Studi Kasus di Kepolisian Resort Kota
Mataram). Al-IHKAM Jurnal Hukum Keluarga Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah
IAIN Mataram, 14(2), 201–222. https://doi.org/10.20414/alihkam.v14i2.6929
Lalu Husni,Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Diluar
Pengadilan,Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2005.
Saragih,H.(2021).Kebijakan
Lembur
dan
Jam
Kerja:Studi
Kasus
di
Rektor
Retail.Surabaya:Pustaka Pelajar,hal.54.
Masnun, M. T., & Apipuddin, A. (2020). REKOGNISI FATWA DALAM PLURALISME HUKUM
KELUARGA ISLAM INDONESIA “KAJIAN HUKUM ISLAM SUSTAINABLE”. ADHKI: JOURNAL OF
ISLAMIC FAMILY LAW, 2(1), 1–23https://doi.org/10.37876/adhki.v2i1.31