JURNAL NYANADASSANA: JURNAL PENELITIAN,
PENDIDIKAN, SOSIAL, DAN KEAGAMAAN
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2023
ISSN : 2964-3562 | DOI : http://doi.org/10.59291/jnd.v2i1.29
https://journal.stabkertarajasa.ac.id/jnd/
The Concept of Beauty Implied in Nikāya
Konsep Kecantikan yang Tersirat dalam Nikāya
Jayanti Endarini1, Amba Pali2, Dipa Paramita Dewi3, Widiyono4, Tri Saputra Medhacitto5,
Wasiman Dhammamitto6
Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra, Semarang, Indonesia
1
4
[email protected];
[email protected];
[email protected];
[email protected];
[email protected];
[email protected]
ARTICLE HISTORY
Submitted:
03 April 2023
Accepted:
18 April 2023
Published:
26 Juni 2023
ABSTRACT
Abstract: This Tipitaka study is motivated by the many perceptions of the notion and
understanding of beauty, giving rise to various beauty standards that make people attached and
compete to achieve the set beauty standards. The purpose of this study is to analyze how the
concept of beauty in general is and how the concept of beauty is in the Buddhist Dhamma. implied
in the nikāya. Analysis of beauty in the Buddha Dhamma is found in several suttas in the nikāya.
The concept of beauty is not only limited to one meaning but rather to the breadth of the diversity
of concepts and understandings. The research method used is literature by collecting library
materials that are coherent with the object of discussion. The collected data will be processed
by: a) editing, namely re-checking the data obtained; b) organizing, namely organizing the data
obtained; and c) discovery of research results, namely conducting further analysis of the results
of organizing data. In addition, the writing team also used a synthesizer checklist consisting of
an introduction, continuation, and ending synthetic; by considering the elements of text, context,
and discourse. After carrying out these methods, the writing team will analyze the data that has
been obtained so as to produce a scientific work. The results of this study show that the current
beauty standards are influenced by local culture and the role of the mass media. The role of the
standard of beauty is what makes people obsessed with wanting to achieve it. Meanwhile, the
Buddhist view of beauty is divided into two, namely, outer beauty and inner beauty and Buddhism
is not a religion that is anti-beauty. However, the Buddha taught not to be attached to the beauty
that exists
Keywords: Beauty, Culture, Mass Media, Buddhism about Beauty.
Abstrak: Kajian Tipitaka ini dilatarbelakangi banyaknya persepsi akan pengertian dan
pemahaman beauty sehingga menimbulkan berbagai standar kecantikan yang membuat orangorang memiliki kelekatan dan berlomba untuk mencapai standar kecantikan yang
ditetapkan.Tujuan kajian ini adalah untuk menganalisis bagaimana konsep beauty secara umum
dan bagaimana konsep beauty dalam Buddha Dhamma yang tersirat di dalam nikāya. Analisi
kecantikan dalam Buddha Dhamma terdapat dalam beberapa sutta dalam nikāya. Konsep beauty
tidak hanya sebatas satu pengertian saja tetapi lebih kepada luasnya keberagaman konsep dan
pemahaman. Metode penelitian yang digunakan adalah kepustakaan dengan mengumpulkan
bahan-bahan pustaka yang koheren dengan objek pembahasan. Data yang dikumpulkan akan
diproses dengan cara: a) editing, yaitu memeriksa kembali data yang diperoleh; b) organizing,
yaitu mengorganisir data-data yang diperoleh; dan c) penemuan hasil penelitian, yaitu melakukan
analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data. Selain itu, tim penulis juga menggunakan
synthesizee cheklist yang terdiri dari sintetis pendahuluan, lanjutan, dan akhir; dengan
mempertimbangan unsur teks, konteks, dan wacana. Setelah melakukan metode-metode tersebut
maka tim penulis akan menganalisis data-data yang telah diperoleh sehingga menghasilkan suatu
karya ilmiah. Hasil penelitian ini bahwa standar kecantikan yang ada pada saat ini dipengaruhi
oleh kebudayaan setempat dan peran media massa. Peran standar kecantikan itulah yang
membuat orang terobsesi ingin meraihnya. Sedangkan pandangan Agama Buddha mengenai
kecantikan dibedakan menjadi dua yaitu, outer beauty dan inner beauty dan agama Buddha
bukanlah agama yang anti dengan keindahan. Namun, Buddha mengajarkan agar tidak melekat
pada keindahan yang ada.
Kata Kunci: Kecantikan, Budaya, Media Massa, Agama Buddha tentang Kecantikan.
Jayanti Endarini, Amba Pali, Dipa Paranimita Dewi, Widiyono, Tri Saputra Medhacitto, Wasiman Dhammamitto
|kecantikan, Budaya, Media Massa, Agama Buddha tentang Kecantikan.
Halaman | 13
JURNAL NYANADASSANA: JURNAL PENELITIAN,
PENDIDIKAN, SOSIAL, DAN KEAGAMAAN
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2023
ISSN : 2964-3562 | DOI : http://doi.org/10.59291/jnd.v2i1.29
https://journal.stabkertarajasa.ac.id/jnd/
CITATION
Endarini, Jayanti, dkk. (2023). The Concept of Beauty Implied in Nikāya Konsep Kecantikan
yang Tersirat dalam Nikāya. Jurnal Nyanadasana: Jurnal Penelitian, Pendidikan, Sosial, dan
Keagamaan, 2 (1), 13-24. DOI: http://doi.org/10.59291/jnd.v2i1.29
PENDAHULUAN
Bagi setiap perempuan maupun laki-laki, kecantikan dan ketampanan memiliki peran yang
penting terutama pada bagian fisik. Kecantikan dan ketampanan menjadi hal yang menarik bagi setiap
orang. Sifat dasar seseorang adalah ingin diperhatikan dan dianggap oleh orang lain. Hal tersebut
membuat semua orang berkeinginan untuk memperindah fisiknya dengan berbagai cara, agar
memperoleh perhatian dari orang lain. Menurut Nikmah (2016:167) mengatakan bahwa semenjak dini
perempuan diajarkan untuk selalu menganggap bahwa penampilan fisiknya itu adalah salah satu faktor
penting supaya bisa menumbuhkan rasa bangga dan kepercayaan diri. Sekarang ini, pernyataan menurut
Nikmah tidak hanya berlaku bagi perempuan saja, tetapi juga berlaku bagi laki laki. Indonesia memiliki
iklan terkait dengan perawatan wajah yang cenderung menampilkan representasi maskulinitas
tradisional dengan menuntut laki-laki untuk tampil layaknya laki-laki urban, yaitu tubuh atletis, rambut
yang tertata, wajah yang terawat, pakaian yang sesuai model, peralatan komunikasi mutakhir, dan
kepemilikan alat transportasi yang “jantan” (Fahrimal & Husna, 2020: 20 -32). Contohnya adalah
Garnier Men yang menggunakan Joe Taslim dan Chico Jeriko sebagai model iklannya, dimana kedua
aktor ini terlihat sedang balapan motor di jalanan. Iklan tersebut menunjukkan bahwa laki-laki yang
aktif di luar ruangan atau di jalanan juga perlu merawat kulit wajah mereka. Iklan produk “whitening”
dari Garnier Men ini menggunakan dua aktor tersebut karena mereka menampilkan citra maskulin,
urban, metropolis, dan metroseksual (H. C. K. Sari, 2020: 33).
Setiap orang memiliki persepsi yang beragam mengenai kecantikan dan ketampanan. Persepsi
yang beragam membuat setiap daerah memiliki standar kecantikan dan ketampanannya masing- masing.
Standar tersebut dipengaruhi oleh budaya atau cultures yang ada di dalam masyarakat. Kasiyan dalam
Worotitjan (2014:3) menyampaikan bahwa dalam masyarakat umum, perempuan dikatakan cantik itu
tidak hanya berdasarkan nilai atau bentuk dari wajahnya saja, tetapi juga identik dengan kulit yang putih,
mulus, dan kencang, serta bentuk tubuh yang menonjolkan lekukan dan kemontokan dari bagian tubuh
tertentu. Pandangan tersebut membuat orang-orang berlomba-lomba untuk mencapai standar kecantikan
yang telah ditentukan.
Standar kecantikan dan ketampanan tidak hanya berasal dari tradisi dan budaya masyarakat,
tetapi juga dipengaruhi oleh media massa. Media menggambarkan standar kecantikan maupun
ketampanan dengan cara pandang yang provokatif dengan mendefinisikannya sebagai sesuatu yang
ideal. Muzayin Nazaruddin dalam Marlianti (2012:69) bahwa di Media Jurnalisme dan budaya populer
mengungkapkan konsep cantik menurut media “cantik adalah kurus, langsing, putih, berambut lurus
hitam panjang, modis, dan selalu menjaga penampilan, serta rutin melakukan perawatan tubuh agar awet
muda. Hal tersebut membuat orang-orang terobsesi dengan standar yang dianggap ideal.
Pengaruh budaya dan media massa membuat orang terobsesi mengubah fisik dengan berbagai
cara agar sesuai dengan standar kecantikan dan ketampanan yang telah ditentukan. Obsesi tersebut
membuat orang-orang yang semula memiliki rambut ikal akan meluruskan rambut, yang semula
memiliki kulit gelap akan memutihkan kulit, yang semula memiliki berat badan berlebih akan
melangsingkan badan, dan ketidaksempurnaan tubuh lainnya akan berusaha diubah agar memiliki
standar fisik yang ideal. Hal tersebut membuat orang-orang memiliki gaya hidup yang mewah dan boros
serta tidak memperdulikan latar belakang finansial yang dimiliki. Fenomena-fenomena tersebut,
menjadi hal penting bagaimana seseorang memahami konsep beauty dan menjadi diri sendiri dengan
Jayanti Endarini, Amba Pali, Dipa Paranimita Dewi, Widiyono, Tri Saputra Medhacitto, Wasiman Dhammamitto
|kecantikan, Budaya, Media Massa, Agama Buddha tentang Kecantikan.
Halaman | 14
JURNAL NYANADASSANA: JURNAL PENELITIAN,
PENDIDIKAN, SOSIAL, DAN KEAGAMAAN
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2023
ISSN : 2964-3562 | DOI : http://doi.org/10.59291/jnd.v2i1.29
https://journal.stabkertarajasa.ac.id/jnd/
cantik apa adanya agar tidak terjerumus dan terjebak dengan standar-standar kecantikan yang membawa
pengaruh buruk.
METODE PENELITIAN
Analisis pembahasan kajian ini menggunakan synthesize checklist yang terdiri dari sintesis
pendahuluan, lanjutan dan akhir; dengan mempertimbangkan unsur teks, konteks, dan wacana (Mestika
Zed, 2008: 71,76-77). Komponen analisis kajian ini menghasilkan poin-poin penting yang dapat menjadi
tiga unsur yaitu, teks, konteks, dan wacana. Keterkaitan antara ketiga unsur menjadi satu kesatuan yang
menghasilkan pemahaman terhadap The Concept Of Beauty yang tersirat dalam Nikāya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
The Concept Of Beauty
Beauty atau kecantikan adalah sesuatu yang identik dengan seorang perempuan. Kecantikan
diartikan sebagai sesuatu yang memiliki keindahan sehingga enak dipandang. Namun, kecantikan sangat
sulit didefinisikan, karena kecantikan berasal dari dalam diri dan tergantung persepsi individu yang
merasakannya. Cantik di mata seseorang belum tentu cantik di mata orang lain. Memiliki kecantikan
merupakan keinginan setiap orang, tidak terkecuali untuk laki-laki. Orang-orang beranggapan bahwa
paras yang cantik dan tampan adalah suatu hal yang penting dan dianggap sebagai suatu keharusan.
Pemahaman akan kecantikan dan ketampanan setiap orang pasti berbeda, sesuai dengan persepsi dan
budaya masyarakat setempat. Konsep kecantikan dalam budaya yang berbeda melahirkan pemahaman
dan standar kecantikannya masing-masing.
Keberagaman budaya dalam masyarakat menghadirkan banyaknya tradisi kecantikan di dunia.
Tradisi-tradisi kecantikan dapat ditemukan dalam berbagai daerah, seperti di negara Myanmar dengan
tradisi “Giraffe” atau “leher panjang”. Tradisi ini berasal dari Myanmar dengan kepercayaan bahwa
perempuan dianggap cantik jika memakai sebanyak banyaknya cincin besar pada leher sehingga leher
menjadi lebih panjang hingga memasuki usia dewasa. Tradisi ini hampir sama seperti di Thailand, di
mana perempuan akan memakai kuningan yang dipasang pada leher, semakin banyak kuningan yang
dipasang maka leher akan semakin panjang dan dianggap sebagai perempuan yang sangat cantik dan
elegan. Di Ethiopia, perempuan yang telah memasuki usia dewasa akan memakai cakram kayu pada
bibir agar bibir menjadi lebih lebar. Hal ini menandakan bahwa perempuan tidak lagi menjadi anakanak, melainkan menjadi seorang perempuan dewasa yang cantik dengan bibir lebar. Semakin lebar
cakram yang dipakai, maka akan semakin cantik dan menarik. Budaya Maori, New Zealand perempuan
membuat tato pada dagu atau bagian wajah lain dengan nama “Ta Moko Tatoos” yang menjadi simbol
kecantikan bagi seorang perempuan. Negara Korea, China, dan Jepang perempuan akan memutihkan
kulit tubuhnya karena memiliki kulit yang putih merupakan ciri kecantikan seorang perempuan. Budaya
di Mauritania, Afrika membuat tubuh seorang perempuan menjadi penuh dengan lemak, semakin
banyak lemak yang ada di tubuh maka akan semakin cantik bahkan stretch Ambapali: The Concept Of
Beauty yang Tersirat dalam Nikāya 3 marks pada tubuh menjadi daya tarik tersendiri. Indonesia juga
merupakan salah satu negara yang memiliki beragam budaya kecantikan dalam masyarakat. Salah
satunya adalah tradisi kecantikan di Suku Dayak, Kalimantan yang beranggapan bahwa seseorang cantik
ketika memiliki telinga yang panjang. Tradisi ini disebut sebagai “Telingaan Aruu” atau “telinga
panjang”, di mana perempuan Suku Dayak sengaja membuat telinganya panjang menjuntai dengan
anting pemberat. Banyak budaya kecantikan yang beragam di seluruh dunia, meskipun begitu hal inilah
yang menjadi keunikan tersendiri karena beauty tidak hanya berarti satu pengertian tetapi lebih kepada
luasnya keberagaman konsep dan pemahaman.
Jayanti Endarini, Amba Pali, Dipa Paranimita Dewi, Widiyono, Tri Saputra Medhacitto, Wasiman Dhammamitto
|kecantikan, Budaya, Media Massa, Agama Buddha tentang Kecantikan.
Halaman | 15
JURNAL NYANADASSANA: JURNAL PENELITIAN,
PENDIDIKAN, SOSIAL, DAN KEAGAMAAN
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2023
ISSN : 2964-3562 | DOI : http://doi.org/10.59291/jnd.v2i1.29
https://journal.stabkertarajasa.ac.id/jnd/
Media Massa Memengaruhi Konsep tentang Beauty
Standar-standar kecantikan yang tercipta di dalam masyarakat tidak hanya terpengaruh oleh
budaya setempat saja tetapi juga dipengaruhi oleh peran media massa yaitu televisi. Saat ini banyak
iklan-iklan di televisi yang menampilkan suatu produk kecantikan dengan memakai model yang
memiliki kulit yang putih, tidak memiliki noda serta jerawat di wajah, tubuh langsing, berambut lurus,
gigi putih, dan memiliki tubuh yang tinggi. Iklan pada produk kecantikan tersebut menawarkan apabila
ingin memperoleh tubuh yang indah maka harus menggunakan produk tersebut. Promosi yang dilakukan
oleh produk kecantikan membuat orang-orang berpandangan bahwa seseorang yang dianggap cantik
adalah mereka yang memiliki tubuh yang langsing, berkulit putih bebas dari jerawat, berambut hitam
panjang, memiliki gigi putih, dan memiliki tubuh yang tinggi. Konsep kecantikan yang berkembang saat
ini membuat adanya stereotype baru bahwa perempuan cantik selalu identik dengan konsep kecantikan
tersebut, hal ini membuat perempuan selalu berusaha keras merombak penampilannya agar masyarakat
menilai cantik dan akan selalu berusaha untuk menyesuaikan bentuk tubuh mereka dengan apa kata
sosial budaya masyarakat mengenai konsep kecantikan tersebut (Hidajadi, 2000). Banyak orang yang
berlomba melakukan perubahan pada dirinya agar diterima di masyarakat sekitar dan mendapat
perhatian dari orang lain.
Namun, pada dasarnya setiap orang itu memiliki keunikannya masing-masing sehingga tidak
bisa disamaratakan. Di mana setiap orang ada yang memiliki rambut hitam panjang, ada yang memiliki
rambut ikal ataupun keriting. Setiap orang pun juga memiliki warna kulit yang berbeda-beda di mana
ada yang memiliki warna kulit kuning langsat, hitam, putih, maupun coklat. Tidak hanya itu setiap orang
pun memiliki bentuk tubuh yang berbeda-beda di mana ada yang memiliki tubuh yang tinggi dan ada
juga yang pendek ada yang kurus ada pula yang gemuk. Begitu banyak keunikan yang dimiliki oleh
setiap orang, tetapi pada saat orang-orang tersebut tidak mampu menerima dirinya sendiri dan pada saat
mendapat tawaran yang dapat mengubah bentuk fisiknya maka mereka akan melakukan berbagai cara
untuk mendapatkannya.
Ketika seseorang tidak mampu menerima dirinya dan mereka terobsesi dengan standar
kecantikan yang dilakukan oleh iklan maka mereka akan berusaha dengan berbagai hal untuk mengikuti
standar kecantikan yang ada. Tidak jarang ada orang yang melakukan operasi plastik untuk dapat terlihat
lebih cantik, ada pula yang membeli produk kecantikan tersebut dengan jumlah yang banyak dan tanpa
memikirkan dampak yang akan terjadi pada dirinya. Banyak kasus yang terjadi karena penggunaan
produk kecantikan tanpa melihat komposisi pada produk tersebut membuat orang yang memakainya
terkena penyakit kulit seperti jerawat pada wajah semakin banyak, kulit wajah semakin kusam dan
bahkan ada yang terkena kanker kulit akibat penggunaan produk kecantikan tanpa memperhatikan
komposisi bahan yang ada.
The Concept of Beauty yang Tersirat dalam Nikāya
1. Digha Nikayā
Sakkapañha Sutta, Digha Nikayā menceritakan tentang kisah Sakka yang memuja keindahan
Buddha, dhamma, sangha. Dikatakan bahwa pada saat itu Timbarau menyapa cahaya matahari yang
indah dan ia menghormati cahaya tersebut dengan semestinya, dan dilahirkannya seorang gadis yang
cantik, dan ia mengatakan siapakah yang menyebabkan semua kegembiraan hatiku. Menyenangkan
bagaikan angin yang sejuk bagi ia yang berkeringat, bagaikan air yang sejuk untuk ia yang kehausan,
dan ia menyukai kecantikan yang memancar bagikan dhamma bagi para Arahat (Walshe, 2009:
315). Kutipan sutta tersebut menggambarkan bahwa pada saat Buddha masih hidup banyak orang
yang memuji keindahan seseorang dari parasnya. Hal ini dapat dilihat dari di mana pada saat
Jayanti Endarini, Amba Pali, Dipa Paranimita Dewi, Widiyono, Tri Saputra Medhacitto, Wasiman Dhammamitto
|kecantikan, Budaya, Media Massa, Agama Buddha tentang Kecantikan.
Halaman | 17
JURNAL NYANADASSANA: JURNAL PENELITIAN,
PENDIDIKAN, SOSIAL, DAN KEAGAMAAN
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2023
ISSN : 2964-3562 | DOI : http://doi.org/10.59291/jnd.v2i1.29
https://journal.stabkertarajasa.ac.id/jnd/
seseorang melahirkan seorang gadis yang cantik maka mereka akan menyukai kecantikan pada diri
tersebut. Hal-hal seperti inipun terjadi pada saat ini di mana banyak orang yang menganggap orang
itu berharga pada saat mereka memiliki tubuh yang indah, langsing, putih, wangi, dan wajah tanpa
jerawat. Hal lain berbanding terbalik apabila terdapat seorang perempuan yang memiliki tubuh yang
gemuk, hitam, rambut keriting, dan wajah banyak jerawat maka orang- orang akan berpandangan
bahwa orang itu tidak menarik dan tidak indah. Bahkan banyak kasus pembulian akibat seseorang
memiliki tubuh yang tidak sesuai dengan standar kecantikan yang telah dibuat oleh masyarakat.
Padahal sesungguhnya keindahan itu tidak berasal dari standar yang telah ditetapkan oleh orang lain
tetapi kecantikan itu berasal dari dalam diri seseorang di mana apabila mereka memiliki moral yang
baik memiliki sopan santun maka orang itu akan dianggap menarik oleh orang lain.
Mahāsudassana Sutta menjabarkan tentang perempuan dianggap sebagai sebuah pusaka bagi
seorang raja. Perempuan yang memiliki keindahan melampaui seorang manusia dan menyerupai
kecantikan seorang dewa adalah sesuatu yang menjadi harta berharga. Perempuan yang
digambarkan dalam sutta ini adalah perempuan yang elok, rupawan, menarik, dengan kulit seperti
bunga teratai, memiliki tubuh yang tidak terlalu tinggi, tidak terlalu pendek, tidak terlalu gemuk,
dan tidak terlalu kurus. Aroma tubuhnya berbau cendana dan mulutnya berbau teratai, serta
melakukan apapun keinginan raja dengan gaya memikat. kutipan sutta tersebut menggambarkan
bahwa perempuan yang dipandang dan dihargai oleh orang lain adalah mereka yang sesuai dengan
standar yang telah dibuat oleh masyarakat. Hal seperti ini juga terjadi tidak hanya pada saat zaman
Buddha saja tetapi saat ini kasus seperti itu masih banyak dijumpai. Ketika seseorang mengagumi
dan menjadikan kecantikan perempuan sebagai pusaka dan melekatnya maka akan menimbulkan
penderitaan. Hendaknya seseorang berusaha untuk melepaskan keduniawian yang menyebabkan
kelekatan.
Lakkhaṇa Sutta, Digha Nikāya menjelaskan 32 tanda-tanda manusia luar biasa. Lakkhaṇa Sutta
menunjukan bahwa pada saat Buddha masih hidup beliau memiliki ciri khas yaitu 32 tanda manusia
agung dan apa yang dimilikinya akan mendapat pandangan yang baik dari orang lain dan dikagumi
oleh banyak orang. Tidak hanya keindahan secara fisik saja tetapi keindahan secara batiniah yang
membuat Buddha dikagumi oleh banyak orang dan makhluk lainnya.
Digha Nikaya juga membahas mengenai inner beauty yang dijelaskan dalam Cakkavatti
Sihanada Sutta dalam syair yang mengungkapkan keindahan seorang bhikkhu. Keindahan yang
dimiliki oleh seorang bhikkhu bukan karena ia memiliki kulit yang putih, tubuh langsing, gigi putih,
dan badan tinggi. Namun, keindahan yang dimiliki oleh bhikkhu adalah ketika mereka
mempraktekkan perbuatan benar, melaksanakan disiplin vinaya, sempurna perilaku dan kebiasaan,
melihat bahaya dalam kesalahan terkecil, dan melatih diri pada peraturan yang diterima. Ketika
seseorang memiliki sikap yang sedemikian rupa maka aura keindahan orang tersebut akan muncul
dengan sendirinya. Keindahan yang dimiliki oleh bhikkhu bukan karena produk kecantikan tetapi
karena batin dan moral yang baik. Seseorang yang mempraktekkan ajaran Buddha, memiliki
perbuatan baik dari pikiran, ucapan, dan tindakan yang benar maka orang itu akan mendapat
perhatian dari orang lain. Perhatian yang didapatkan bukan karena ia memiliki wajah yang bersih
tanpa jerawat atau tubuh yang langsing tetapi mereka akan mendapat pandangan karena tingkah
lakunya yang sopan dan santun serta penuh perhatian.
2. Majjhima Nikayā
Mahādukkhakkhandha Sutta dijelaskan bahwa kecantikan dan keindahan seorang perempuan
pada akhirnya akan membawa pada bahaya dan penderitaan. Sutta ini menjelaskan tentang
gambaran bentuk materi yang diibaratkan seorang seorang gadis dari kasta ksatria atau kasta
brahmana atau perumah-tangga, berusia lima belas atau enam belas tahun, tidak terlalu tinggi dan
Jayanti Endarini, Amba Pali, Dipa Paranimita Dewi, Widiyono, Tri Saputra Medhacitto, Wasiman Dhammamitto
|kecantikan, Budaya, Media Massa, Agama Buddha tentang Kecantikan.
Halaman | 18
JURNAL NYANADASSANA: JURNAL PENELITIAN,
PENDIDIKAN, SOSIAL, DAN KEAGAMAAN
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2023
ISSN : 2964-3562 | DOI : http://doi.org/10.59291/jnd.v2i1.29
https://journal.stabkertarajasa.ac.id/jnd/
tidak terlalu pendek, tidak terlalu kurus juga tidak terlalu gemuk, kulitnya tidak terlalu gelap juga
tidak terlalu cerah dan kecantikan serta kemenarikannya sedang berada pada puncaknya sehingga
menjadi suatu bentuk materi yang nikmat dan indah. Namun, pada akhirnya akan mengalami
kematian, dan kecantikan jasmani juga akan hilang menjadi hal menjijikan bersamaan dengan
teurainya tubuh akibat kematian. Untuk membebaskan diri dari akibat berbahaya dengan adanya
kelekatan terhadap suatu bentuk materi maka seseorang harus melenyapkan keinginan dan nafsu
akan bentuk materi.
3. Samyutta Nikayā
Sujāta Sutta, Samyutta Nikayā menjelaskan tentang Yang Mulia Sujāta yang memiliki kedua
keindahan yaitu, keindahan secara fisik dan secara spiritual. Keindahan secara fisik yang dimiliki
Sujāta yaitu, memiliki wajah yang tampan, berpenampilan menarik, menyenangkan untuk dilihat,
dan memiliki kulit yang indah. Keindahan secara spiritual yaitu, ia yang memiliki pengetahuan luas,
memiliki tujuan tertinggi dari kehidupan suci yang dicari oleh orang-orang yang meninggalkan
kehidupan rumah tangga (Boddhi, 2010:780). Sutta ini mengajarkan bahwa keindahan secara fisik
tidak bermanfaat tanpa diimbangi dengan pengetahuan yang luas dan moralitas yang baik. Namun,
yang dapat dilihat di kehidupan saat ini ketika seseorang memiliki fisik yang indah tampan atau
kecantikan di dalam tubuhnya maka ia akan menyombongkan apa yang ia punya. Kesombongan itu
terkadang membuat ia lupa dan akan menghina orang lain yang memiliki fisik atau wajah yang tidak
sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh masyarakat. Rasa sombong yang ia miliki akan
membuatnya lupa bahwa tubuh ini tidak kekal dan tubuh ini akan mengalami perubahan di mana
yang pada awalnya ia memiliki kulit yang mulus, badan yang langsing suatu saat seiring berjalanya
waktu tubuh akan berubah kulit yang dulunya indah akan berubah menjadi keriput rambut yang
awalnya hitam akan berubah menjadi putih, dan ketika ia tidak menerima perubahan itu maka akan
membuat mereka menderita. Untuk itu hendaknya keindahan fisik juga harus diimbangi dengan
keindahan secara spiritual atau batin.
4. Anguttara Nikayā
Mallika Sutta, Anguttara Nikāya membahas mengenai adanya perbedaan setiap perempuan, di
mana ada perempuan yang berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan ketika di lihat, ada
juga yang miskin, melarat, serta tidak berpengaruh. Ada juga perempuan yang berpenampilan buruk,
cacat, dan tidak menyenangkan dilihat, tetapi kaya dan banyak harta. Perempuan yang
berpenampilan baik, menarik dan anggun yang memiliki kecantikan luar biasa tetapi miskin serta
tidak berpengaruh. Ada juga perempuan yang dengan penampilan baik, menarik, anggun, memiliki
kecantikan luar biasa, kaya, banyak harta, dan berpengaruh terhadap orang lain (Bodhi, 2012: 254).
Sutta ini mengajarkan bahwa terkadang perempuan ataupun laki-laki terlahir dengan kondisi dengan
penampilan yang buruk, memiliki tubuh yang cacat, tidak menyenangkan untuk dilihat, dan terlahir
di keluarga yang miskin, ada juga seseorang yang terlahir di keluarga yang kaya dengan penampilan
yang menarik, tidak cacat dan dipandang oleh orang lain. Perbedaan-perbedaan yang ada tersebut
membuat seseorang terkadang menyalahkan orang tuanya ataupun orang lain karena mereka
menganggap bahwa kondisi yang ia alami karena perbuatan dari orang tuanya. Tetapi ketika disadari
seseorang terlahir cantik ataupun buruk lahir di keluarga yang miskin ataupun kaya merupakan
dampak dari apa yang telah dilakukan di masa lalunya. Hasil dari perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang tidak hanya terlihat ketika sudah meninggal saja tetapi pada saat ia hidup dengan
moralitas, memiliki sopan santun, ramah, peduli dengan orang lain maka orang tersebut akan
dihargai. Sebagai contoh ketika menjadi seorang bhikkhu atau seorang bhikkhuni maka ketika
berjalan, duduk, makan ketika ada orang yang lewat maka orang-orang tersebut akan memberikan
penghormatan kepada bhikkhu dan bhikkhuni. Berbeda ketika seseorang melihat gadis yang seksi
Jayanti Endarini, Amba Pali, Dipa Paranimita Dewi, Widiyono, Tri Saputra Medhacitto, Wasiman Dhammamitto
|kecantikan, Budaya, Media Massa, Agama Buddha tentang Kecantikan.
Halaman | 19
JURNAL NYANADASSANA: JURNAL PENELITIAN,
PENDIDIKAN, SOSIAL, DAN KEAGAMAAN
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2023
ISSN : 2964-3562 | DOI : http://doi.org/10.59291/jnd.v2i1.29
https://journal.stabkertarajasa.ac.id/jnd/
dengan pakaian yang terbuka maka pandangan orang orang akan orang itu akan berbeda. Hal ini
menunjukan bahwa orang yang bermoral lebih disegani dan dipandang baik oleh orang lain
dibandingkan dengan seseorang yang memiliki fisik yang menarik tetapi tidak memiliki moralitas
yang baik.
5. Khuddaka Nikayā
Vimalā Sutta, Therigatha, Vimala Sutta merupakan sutta yang menceritakan tentang Vimala
seorang mantan pelacur di mana ia disanjung dan dipuji banyak orang karena memiliki penampilan,
yang cantik, karena tubuh yang awet muda. Kecantikan itulah yang membuatnya menjadi sombong
dan merendahkan orang lain. Vimalā mengatakan bahwa orang-orang dimabukan oleh
penampilanku, sosokku, kecantikan yang dimiliki, kemasyhuran, dan karena kemudaanku, di sini
aku merendahkan perempuan lain (Sujato & Jessica Walton, 2020: 22). Kutipan kisah dari Vimalā
Sutta menunjukkan bahwa seseorang akan mendapat perhatian dari orang lain karena memiliki
wajah yang cantik, tubuh yang indah, dan wajah awet muda. Seseorang yang memiliki kecantikan
yang luar biasa tersebut akan memiliki rasa sombong dan bahkan merendahkan orang lain ataupun
wanita lain. Hal-hal seperti ini juga terjadi pada saat ini di mana banyak orang yang menggunakan
kecantikannya untuk menggoda orang lain dan mereka akan menyombongkan dirinya atas
kecantikan yang ia miliki. Seseorang yang mengagungkan kecantikan yang ia miliki akan
melupakan bahwa kecantikan ini suatu saat akan pudar, tubuh akan menjadi tua, wajah akan menjadi
keriput dan ketika seseorang tidak mampu menerima perubahan yang ada maka orang tersebut akan
menderita. Sīhā sutta, Therigatha menjelaskan ketika seseorang memiliki perhatian yang tidak
benar, memiliki kelekatan terhadap keinginan indria, dikuasai oleh kekotoran batin dan mengejar
persepsi keindahan maka timbullah penderitaan dan tidak memperoleh ketenangan batin.
Dhammapada, Syair:147, Dhammapada syair 147 menggambarkan bahwa kecantikan
seseorang menjadi suatu hal yang berharga.
“Lihatlah tubuh yang indah ini, banyak orang menganggapnya sangat berharga dan dirawat
dengan sungguh-sungguh; tetapi sesungguhnya tubuh ini tidaklah kekal, penuh luka, ditopang oleh
sekumpulan tulang dan mudah sekali diserang penyakit.”
Dhammapada syair 147 menggambarkan bahwa ketika seseorang memiliki tubuh yang indah
maka akan dianggap berharga oleh orang lain. Hal seperti ini juga terjadi di kehidupan saat ini di
mana ketika seseorang memiliki tubuh yang ideal dengan kulit putih tanpa jerawat, tinggi dan
langsing maka orang itu akan dipuji dan diperhatikan oleh orang lain. Berbeda dengan ketika
terdapat orang yang tidak memiliki tubuh yang indah seperti memiliki kulit hitam berjerawat, badan
gemuk, pendek, dan rambut keriting maka orang itu akan dianggap remeh oleh orang lain dan
bahkan orang tersebut akan mendapatkan ejekan dari orang lain. Kedua hal ini menunjukan bahwa
orang-orang akan memandang orang lain itu dari fisiknya, maka ketika terdapat seseorang yang
memiliki fisik kurang menarik maka orang tersebut tidak mau melihatnya.
Namun, ketika seseorang menyadari bahwa tubuh ini tidak kekal dan penuh dengan penyakit
maka, orang yang memiliki pandangan tersebut tidak menderita. Seseorang yang tidak mampu
menerima perubahan yang ada di dalam diri maka orang tersebut akan merasa menderita. Usaha
yang hendaknya dilakukan untuk memperbaiki diri pada saat tubuh menjadi gemuk maka orangorang akan melakukan diet ketat tanpa pengawasan dari dokter. Usaha yang dilakukan secara
berlebihan dan tanpa pengawasan dari para ahli akan berdampak buruk pada kesehatan seseorang.
Contoh lain yang dilakukan untuk memperbaiki tubuh yaitu ketika terlahir dengan rambut yang
tidak lurus maka orang-orang akan meluruskan rambut dengan cara melakukan keratin rambut,
rebonding maupun smoothing. Perbuatan merubah fisik terkadang membuat seseorang tidak
Jayanti Endarini, Amba Pali, Dipa Paranimita Dewi, Widiyono, Tri Saputra Medhacitto, Wasiman Dhammamitto
|kecantikan, Budaya, Media Massa, Agama Buddha tentang Kecantikan.
Halaman | 20
JURNAL NYANADASSANA: JURNAL PENELITIAN,
PENDIDIKAN, SOSIAL, DAN KEAGAMAAN
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2023
ISSN : 2964-3562 | DOI : http://doi.org/10.59291/jnd.v2i1.29
https://journal.stabkertarajasa.ac.id/jnd/
memikirkan aspek kesehatan dan juga ekonominya, sehingga dengan apa yang dilakukan bisa
menyebabkan seseorang itu mengalami penyakit yang membahayakan tubuh.Selain itu ketika
seseorang menuruti gaya hidup sedangkan ekonomi masih sulit maka akan membuat orang tersebut
melakukan banyak cara agar bisa menuruti gaya hidupnya. Hal yang dilakukan yaitu dengan cara
meminjam uang dari orang lain atau bahkan ada yang melakukan tindakan pencurian.
Ratana Sutta, Sutta Nipata berisikan mengenai pujian-pujian terhadap permata-permata
Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ratana Sutta menjelaskan bahwa pohon yang berbunga pada bulan
pertama musim panas, seperti halnya ajaran tertinggi yang menuju ke Nibbana ini diajarkan.
Permata yang tak ternila di dalam sangha dengan kedamaian semoga ada kedamaian (Saddhatissa
1999:50). Syair yang terdapat di Ratana Sutta menggambarkan bagaimana murid Buddha yang
mengagumi keindahan pepohonan pada saat awal dari musim panas dikatakan penuh dengan bunga
yang indah. Era modern seperti saat ini ketika seseorang merasa penat dengan aktivitas sehari-hari
maka mereka akan mencari cara lain seperti berlibur ke gunung ke pantai atau pun ke tempat lainnya
yang bernuansa dengan alam. Alasan yang ketika seseorang mendapat pemandangan yang indah
maka permasalahan lainnya akan hilang. Hal-hal seperti ini apabila selalu diikuti maka orang itu
akan menjadi boros dan hanya memikirkan kesenangan sementara saja.
Cūḷaka, Theragatha, menceritakan seorang Bhikkhu yang mengagumi keindahan alam.
Kekaguman yang dimiliki oleh bhikkhu tersebut bukan menjadi kelekatan dalam dirinya tetapi
hanya sebagai kekaguman saja. Kekaguman yang Culaka kagumi yaitu ia mengagumi merak-merak
yang berkicau dengan jambul dan ekor yang indah, dengan warna leher yang biru dan wajah yang
menawan, lagu yang merdu berasal dari kicauan burung merak, bumi yang dipenuhi dengan rumput
dan embun serta langit yang dipenuhi dengan awan yang indah (Sujano & Jessica Walton 2017: 52).
Kutipan sutta tersebut juga sering terjadi di era modern saat ini di mana pada saat akhir pekan atau
pada saat liburan akan banyak orang yang pergi berlibur ke alam ataupun pergi ke kebun binatang
untuk melihat binatang yang ada di kebun tersebut. Kebiasaan liburan yang mereka lakukan ini
dengan alasan untuk mencari hiburan di sela-sela kegiatan sehari-hari. Tanpa mereka sadari kegiatan
tersebut bisa merusak lingkungan sekitar di mana pada saat berlibur mereka tidak membuang
sampah pada tempatnya tetapi membuang dengan sembarangan, dan mereka akan menjadi boros
dengan membeli oleh-oleh yang ada didaerah tempat berlibur.
Agama Buddha tentang Beauty
Banyak orang yang beranggapan bahwa agama Buddha adalah agama yang anti keindahan.
Namun pada dasarnya, agama Buddha bukanlah agama yang anti pada keindahan namun pada kelekatan
yang muncul bersamaan dengan keindahan tersebut. Keindahan menurut Buddhis tidak sepenuhnya
ditolak, keindahan diterima dengan baik dan keindahan bukan merupakan penyebab penderitaan.
Penyebab timbulnya penderitaan adalah adanya kelekatan terhadap keindahan itu sendiri. Buddha
Dhamma memandang bahwa keindahan itu sebagai aniccā, dukkha, anatta. Keindahan adalah aniccā,
keindahan bersifat tidak kekal dan pasti mengalami perubahan. Keindahan ibarat usia dan penuaan yang
awalnya cantik maka lama kelamaan akan pudar dan hilang seperti sebuah kolam yang dipenuhi dengan
bunga teratai yang mekar dengan kesegaran memenuhi sekelilingnya, tapi jika hujan es datang maka
semua keindahan pada kolam akan musnah (Mahaparinirvana Sutta, bagian 19:167). Keindahan juga
bersifat tidak memuaskan (dukkhā), dan keindahan merupakan bukan diri (anatta) (Medhācitto,
2019:123). Hal ini dapat dilihat dari sutta-sutta di mana pada saat itu siswa Buddha mengagumi
keindahan alam dan Buddha juga menggunakan syair-syair dalam menyampaikan ajarannya kepada
siswanya.
Jayanti Endarini, Amba Pali, Dipa Paranimita Dewi, Widiyono, Tri Saputra Medhacitto, Wasiman Dhammamitto
|kecantikan, Budaya, Media Massa, Agama Buddha tentang Kecantikan.
Halaman | 21
JURNAL NYANADASSANA: JURNAL PENELITIAN,
PENDIDIKAN, SOSIAL, DAN KEAGAMAAN
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2023
ISSN : 2964-3562 | DOI : http://doi.org/10.59291/jnd.v2i1.29
https://journal.stabkertarajasa.ac.id/jnd/
Agama Buddha mengajarkan bahwa tidak boleh terlalu melekat pada keindahan yang
menyebabkan adanya nafsu indera dan penderitaan. Ketika tubuh kita sudah melekat pada keindahan
yang menyebabkan nafsu indria maka ketika tubuh tidak mendapatkan kepuasan tersebut akan menjadi
menderita. Tetapi ketika keindahan tersebut tidak membawa pada kelekatan pada napsu indra maka
Buddha tidak akan melarang. Seperti di dalam Theragatha di mana banyak arahat yang mengagumi
keindahan alam tetapi mereka tidak melekatinya sebagai sesuatu yang indah maka tidak memengaruhi
kualitas batin mereka. Keindahan di dalam agama Buddha lebih ditekankan pada keindahan spiritual, di
mana seseorang memiliki keindahan batin. Ketika seseorang selalu mengembangkan hal-hal baik maka
dikatakan ia memiliki keindahan batin. Buddha menjelaskan bahwa kecantikan moral adalah kecantikan
yang paling dihormati. Jika seseorang cemburu, mementingkan dirinya sendiri atau tidak jujur, mereka
tidak menarik terlepas dari kefasihan berbicara atau sifat-sifat baik mereka. Tapi orang yang dibersihkan
dari hal-hal seperti itu dan bebas dari kebencian, dialah yang benar-benar cantik (Dhammapada. 2623). Mātugāmasaṃyutta, Saṃyutta nikayā menjelaskan jika seseorang tidak memiliki keindahan dan
kecantikan fisik namun memiliki kekuatan moral dan perbuatan yang baik maka orang-orang akan
menyukainya dan menerimanya serta akan memperoleh kelahiran di alam surga. Brahmajàla Sutta,
Digha nikayā menjelaskan mengenai bab moralitas yaitu dengan mempraktikkan sila (latihan moral)
yaitu (1) tidak membunuh dan menyakiti makhluk lain, tanpa tongkat atau pedang, cermat, penuh belas
kasih, bergerak demi kesejahteraan semua makhluk hidup. (2) Tidak mengambil barang yang tidak
diberikan, hidup murni, menerima apa yang diberikan, menunggu apa yang diberikan, tanpa mencuri.
(3) tidak melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari ketidaksucian, hidup jauh dari praktik
kehidupan sosial hubungan seksual. (4) tidak berkata hal yang tidak benar, menghindari ucapan salah,
berdamai dengan menjauhi ucapan salah, seorang pembicara kebenaran, seorang yang dapat diandalkan,
dapat dipercaya, dapat dijadikan tempat bergantung, bukan seorang penipu dunia. Mengatakan apa yang
tanpa cela, indah di telinga, menyenangkan, menyentuh hati, sopan, indah, dan menarik bagi banyak
orang. menghindari gosip, berbicara di saat yang tepat, apa yang benar dan langsung pada pokok
persoalan tentang Dhamma dan disiplin. (5) serta menghindarkan diri dari makanan dan minuman yang
menyebabkan lemahnya kesadaran, memilih kehidupan tanpa rumah serta menghindari berpenghidupan
yang salah, demikianlah kesempurnaan dalam moralitas. Mahàparinibbàna Sutta menjelaskan ada lima
keuntungan dari seseorang yang bermoralitas baik dan yang berhasil dalam moralitas. Kelima
keuntungan dapat diperoleh para perumah tangga yaitu karena penuh perhatian terhadap tugas-tugasnya,
ia memperoleh keuntungan dan kekayaan, memperoleh reputasi baik karena moralitasnya dan perbuatan
baiknya, tenang dan percaya diri untuk menghadapi situasi apapun, meninggal dunia dengan tenang dan
tidak bingung, setelah meninggal dunia, saat hancurnya jasmani, ia muncul di alam yang baik, di surga.
Ini adalah lima keuntungan dari seseorang yang bermoral baik, dan yang berhasil dalam moralitas.
Buddhis tidak menghindari objek-objek keindahan dan tidak melarikan diri darinya, namun berusaha
untuk menahan diri agar tidak menjadikan keindahan itu sebagai penyebab rasa suka dan rasa tidak suka
(kelekatan) yang kuat dan individual. Meskipun Buddha tidak menganjurkan untuk mempercantik diri,
namun memiliki tubuh yang sehat adalah satu hal yang penting. Buddha mengatakan bahwa yang
tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan (Māgandiya Sutta, Majjhima nikayā). Tubuh sehat
adalah suatu keuntungan besar yang dilakukan dengan merawat tubuh sebagai upaya menunjang
kehidupan. Perawatan terhadap tubuh tidak perlu perawatan yang mahal dan makan makanan mewah.
Perawatan tubuh cukup dilakukan dengan mengkonsumsi makanan dan minuman sesuai kebutuhan dan
tidak berlebihan. Anguttara nikayā kelompok 3 menjelaskan tentang perenungan makanan oleh para
Bhikkhu, bahwasanya penerapan praktik makan secukupnya bertujuan untuk mendukung dan
memelihara tubuh, serta menghindari bahaya bukan untuk kesenangan, kemabukan, atau bahkan
kecantikan dan kemenarikan tubuh.
Jayanti Endarini, Amba Pali, Dipa Paranimita Dewi, Widiyono, Tri Saputra Medhacitto, Wasiman Dhammamitto
|kecantikan, Budaya, Media Massa, Agama Buddha tentang Kecantikan.
Halaman | 22
JURNAL NYANADASSANA: JURNAL PENELITIAN,
PENDIDIKAN, SOSIAL, DAN KEAGAMAAN
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2023
ISSN : 2964-3562 | DOI : http://doi.org/10.59291/jnd.v2i1.29
https://journal.stabkertarajasa.ac.id/jnd/
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Konsep beauty di dalam agama Buddha dibagi menjadi dua yaitu outer beauty dan inner beauty
atau kecantikan secara fisik dan kecantikan dari dalam. Konsep kecantikan yang ada pada saat ini terjadi
karena standar yang dibuat oleh suatu budaya maupun melalui media massa. Standar- standar itulah
yang membuat orang-orang berlomba untuk mencari kepuasan dan menjadi ideal sesuai dengan standar
kecantikan yang ada. Dalam mencapai standar tersebut mereka melakukan berbagai cara agar terlihat
cantik dan menjadi pusat perhatian dari orang lain. Hal-hal yang dilakukan untuk menjadi cantik tak
jarang menyakiti diri sendiri dan juga membuat mereka menjadi boros karena membeli produk
kecantikan yang ada tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi. Tetapi pada dasarnya kecantikan
bukan dilihat dari fisiknya saja tetapi dilihat dari perilakunya, moral, dan batinnya. Ketika seseorang
memiliki perilaku yang baik, moral yang baik maka aura kecantikan akan muncul dan orang-orang akan
mengaguminya. Memiliki moral yang baik dan berhasil dalam moralitas akan membawa manfaat dan
keuntungan yang besar. Agama Buddha juga menganjurkan untuk berlatih meditasi, meditasi dapat
dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi kelekatan-kelekatan yang muncul pada tubuh dengan
perhatian dan konsentrasi penuh. Satipaṭṭhāna Sutta, Majjhima Nikayā menjelaskan tentang perenungan
terhadap jasmani yang pada dasarnya adalah sesuatu yang bukan diri (anatta), tidak kekal (anicca), dan
pasti mengalami perubahan. Perenungan-perenungan jasmani yang menjijikan, perenungan mayat dan
tanah pekuburan yang menjijikan menjadi sebuah perenungan bahwa jasmani seindah atau seburuk
apapun hendaknya tidak dilekati karena hanya akan membawa penderitaan. Kelekatan yang muncul
bersamaan dengan adanya keindahan akan membawa pada penderitaan. Hal ini membuat perlunya
kesadaran agar tidak melekat pada sesuatu yang dianggap cantik dan tidak terjebak pada konsep yang
terkonstruksi oleh kultur. Meskipun Buddha tidak menganjurkan untuk mempercantik diri, namun
memiliki tubuh yang sehat adalah satu hal yang penting, dan yang tertinggi dari segala perolehan adalah
kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Bhikkhu Bodhi. 2017. The Suttanipāta: An Ancient Collection of the Buddha’s Discourses.
Boston: Wisdom Publications.
Bhikkhu Bodhi. 2015. Anguttara Nikāya: Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha. Jakarta Barat:
DhammaCitta Press.
Bhikkhu Ňāņamoli dan Bhikkhu Bodhi. 1995. The Middle Length Discourses of the Buddha. Jakarta
Barat: DhammaCitta Press.
Walshe, Maurice. 1995. The Long Discourses of The Buddha: A Translation of the Dīgha Nikāya.
Jakarta Barat: DhammaCitta Press.
Walton, Jessica. Bhikkhu Sujato. 2017. Verses of the Senior Monk A New Translation of the Theragatha
by Bhikku Sujato Jessica Wlton. Jakarta Barat: DhammaCitta Press.
Fahrimal,E., & Husna, A. 2020. Rekonstruksi Maskulinitas dalam Kerangka Kapitalisme. Avant Garde:
Jurnal Ilmu Komunikasi, 8(01), 20-32.
Hidajadi, M. (2000). Tubuh: Sejarah Perkembangan dan Berbagai Masalah. Jurnal Perempuan.
Marlianti, N., & Suryani, A. 2012. Representasi Tubuh Perempuan Dalam Rubrik Kecantikan di
Majalah Femina Edisi Mei 2011. Jurnal Komunikologi. Vol.9, No.2.
Medhācitto, Tri Saputra. 2019. Solusi dari Beberapa Masalah Sosial dalam Kajian Sosiologi Buddhis.
Semarang: CV. Bintang Kreasi.
Nikmah, K. 2016. Perubahan Konsep Kecantikan Menurut Iklan Kosmetik di Majalah Femina Tahun
1977-1995. e-journal Pendidikan Sejarah, Vol. 4, No.1.
Jayanti Endarini, Amba Pali, Dipa Paranimita Dewi, Widiyono, Tri Saputra Medhacitto, Wasiman Dhammamitto
|kecantikan, Budaya, Media Massa, Agama Buddha tentang Kecantikan.
Halaman | 23
JURNAL NYANADASSANA: JURNAL PENELITIAN,
PENDIDIKAN, SOSIAL, DAN KEAGAMAAN
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2023
ISSN : 2964-3562 | DOI : http://doi.org/10.59291/jnd.v2i1.29
https://journal.stabkertarajasa.ac.id/jnd/
Sari, H. C. K. 2020. RepresentasiMaskulinitas dalam: Iklan Garnier Men Versi Joe Taslim dan Chico
Jeriko. Jurnal Ilmiah Sarasvati, 2(1), 33.
Eco, Umberto. 2004. History of Beauty. New York: Rizzoli, translate by Alstarir McEwen. Jena,
Yeremias. 2014. Dari Pengalaman Estetis ke Sikap Estetis dan Etis. Atma Jaya Catholic
University.
Quo, Metta Muliani, Ernawati. Konsep Keindahan Plato, Thomas Aquinas, Dan Agustinus Dalam
Reportoar Jazz Music Man. 202. Universitas Universal. Surajiyo. 2015. Keindahan Seni dalam
Perspektif Filsafat. Vol 2. Universitas Indraprasta PGRI.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Euron, Paolo. 2017. Beauty and Aesthetic Experience in Theravadā Buddhism. Contemporary
Buddhism An Interdisciplinary Journal.
Cooper, David E. 2017. Chapter 9 Buddhism, Beauty and Virtue.
Ven. Dhammavihari. 2011. Buddhist Essays I Five Titles. Sri Lanka: Buddhist Publication Society.
Fiori, Francesco. 2022. Beauty Standars In Different Cultures. Diakses pada 14 Desember 2022 dari
https://whyttmagazine.com/all/beauty-standards-in-different-cultures.
Sanders, Emma. 2022. Different Culture’s Definitions Of Beauty. Diakses pada 14 Desember 2022 dari
https://erietigertimes.com/1907/world/different-cultures definitions-of-beauty/.
Sunaina. 2021. How Culture Influences Beauty. Diaksespada 14 Desember 2022 dari
https://www.drsunaina.com/2021/04/01/how-culture-influences-beauty
Jayanti Endarini, Amba Pali, Dipa Paranimita Dewi, Widiyono, Tri Saputra Medhacitto, Wasiman Dhammamitto
|kecantikan, Budaya, Media Massa, Agama Buddha tentang Kecantikan.
Halaman | 24