i
TARI BEDHAYA LULUH
PERSPEKTIF W IRAGA, W IRAM A , W IRASA
SKRIPSI
Oleh
Kingkin A yu Bondan Banowati
NIM 11134155
FAKULTA S SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA
SURA KARTA
2015
ii
TARI BEDHAYA LULUH
PERSPEKTIF W IRAGA, W IRAM A , W IRASA
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna mencapai derajat sarjana S1
Program Studi Seni Tari
Jurusan Seni Tari
Oleh
Kingkin A yu Bondan Banowati
NIM 11134155
FAKULTA S SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA
SURA KARTA
2015
iii
Skripsi Berjudul
T ARI BEDHAYA LULUH
PERSPEKTIF WIRAGA, WIRAMA DAN WIRASA
dipersiapkan dan disusun oleh:
Kingkin Ayu Bondan Banowati
NIM. 11134155
Telah dipertahanlqin dihadapan dewan penguji skripsi
pada tangga129 Januari 2015
S~an
Dewan Penguji
Ketua Penguji,
~
Penguji Utama,
Drs. Supriyanto, M.Sn
Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat mencapai derajat sarjana Sl
pada Institut Seni Indonesia (lSI) 5urakarta
Surakarta, 4 Februari 2015
Dekan Fakultas Seni Pertunjukan
Soe
M.H=
iv
PERSEM BA HA N
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
J ur usan t ar i I nst it ut Seni I ndonesia Surakar t a
Bapak Suyant o dan I bu Tr ihandayani yang t ersayang dan
selalu ada unt uk saya
Anggoro Kr isna dan Himawan Arya yang kusayangi
Keluar ga besar Git o W iyono yang kusayangi
Alf iansyah yang selalu member i dukungan
M OTTO
Buat lah orang t uamu bangga dengan kemampuanmu
sendir i, j angan pernah menginginkan kemampuan orang
lain.
Selalu melangkah kedepan dan selalu berbuat yang
t er baik.
v
PERNYATA A N
Yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama
: Kingkin Ayu Bondan Banowati
Tempat, Tgl Lahir
: Klaten, 16 Maret 1993
NIM
: 11134155
Program Studi
: S1 Seni Tari
Fakultas
: Seni Pertunjukan
Alamat
: Bulurejo, Nangsri, Manisrenggo, Klaten
Menyatakan bahwa:
1. Skripsi saya dengan judul “ Tari Bedhaya Luluh Perspektif
W iraga, W irama, W irasa” adalah benar-benar hasil karya cipta
sendiri, saya buat sesuai ketentuan yg berlaku, dan bukan jiplakan
(plagiasi).
2. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan saya menyetujui karya
tersebut dipublikasikan dalam media yang dikelola oleh ISI
Surakarta untuk kepentingan akademik sesuai dengan UndangUndang Hak Cipta Republik Indonesia.
Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya
dengan penuh rasa tanggung jawab atas segla akibat hukum.
Surakarta,
Januari 2015
Penulis
Kingkin Ayu Bondan Banowati
NIM. 11134155
vi
ABSTRA K
TARI BEDHAYA LULUH PERSPEKTIF W IRAGA, W IRAMA,
W IRASA (Kingkin Ayu Bondan Banowati, 2015). Skripsi S1, Jurusan Seni
Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Tari Bedhaya Luluh yang ditarikan oleh delapan belas penari putri
merupakan tari bedhaya garapan baru, tetapi pola garapnya tidak
meninggalkan tata aturan tari bedhaya pada umumnya. Gerak tari, pola
lantai hingga rias dan buasana masih berpijak pada tari bedhaya tradisi
Yogyakarta. Tari Bedhaya Luluh disusun oleh Siti Sutiyah untuk
memperingati ulang tahun Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta
Mardawa yang ke 50 tahun. Penelitian ini mencakup bentuk sajian serta
konsep-konsep tari yang digunakan dalam tari Bedhaya Luluh. Konsep
wiraga, wirama dan wirasa sebagai konsepsi tari jawa, sebagai dasar dalam
penggarapan tari Bedhaya Luluh. Disamping itu mengungkapkan isi tari
Bedhaya Luluh dicapai dengan konsep sawiji, gerget, sengguh dan ora
mingkuh. Pada tari Bedhaya Luluh yang ditarikan oleh 18 orang penari
menggambarkan manusia yaitu satu kelompok (9 orang) adalah manusia
itu sendiri dan kelompok yang lain (9 orang) adalah bayangan dari
manusia. Penelitian menggunakan pendekatan etnokoreologi tari yang
dimana didalamnya mengupas tentang tekstual dan kontekstual seni
pertunjukan.
Kata kunci: wiraga, wirama, wirasa
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr, wb.
Alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidah-Nya sehingga skripsi dengan judul “ Tari Bedhaya Luluh
Perspektif W iraga, W irama, W irasa“ dapat diselesaikan. Penyelesaian
skripsi ini merupakan syarat untuk mencapai gelar sarjana pada Institut
Seni Indonesia Surakarta. Skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa
bimbingan, bantuan dan arahan serta dorongan dari berbagai pihak.
Saya ucapkan terimakasih yang sebesar-sebasarnya kepada I
Nyoman Putra Adnyana, S.Kar, M.Hum selaku Ketua Jurusan Tari
Fakultas Seni Pertunjukan Institut seni Indonesia Surakarta yang telah
memberikan masukan-masukan yang sangat berharga dalam skripsi ini.
Drs. Supriyanto, M.Sn selaku pembimbing Tugas Akhir yang dengan
sabar telah membimbing, selalu memberi motivasi, mengoreksi dan
membantu dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih pula kepada F.
Hari Mulyatno, S.Kar, M.Hum sebagai penguji utama dan Hadi Subagyo,
S.Kar, M.Hum sebagai ketua penguji.
Ucapan
terimakasih
saya
sampaikan
pula
kepada
H.
Dwi
Wahyudiarto, S.Kar, M.Hum selaku Penasehat Akademik yang memberi
dorongan dan nasehat dalam penyusunan skripsi ini. Wahyu Santoso
Prabowo, S.Kar, M.Hum yang selalu memberi masukan dan informasi
viii
untuk penyusunan skripsi ini serta memberi dorongan semangat sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
Siti Sutiyah, S.Sn dan Muchlas Hidayat, S.Sn selaku narasumber
yang meluangkan waktu dan memberikan banyak bantuan serta
informasi sehingga skripsi ini dapat disusun dan terselesaikan. Ayah dan
ibu serta saudara-saudara ku yang selalu memberi doa, dukungan dan
semangat selama penyusunan skripsi ini hingga selesai. Alfiansyah yang
selalu memberi dorongan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
Teman-teman Cupumanik, Kawuryansih, Tantri, Reza, Weni, Heni dan
Udiarti yang selalu menerima keluh kesah dan selalu memberi semangat.
Kritik dan saran sangat penulis harapkan agar menjadi lebih baik
untuk kedepannya. Semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini dapat
memberikan manfaat yang besar bagi dunia ilmu pengetahuan dan dapat
menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.
Wassalamualaikum, wr. wb
Surakarta, Januari 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
ii
HALAMAN PENGESAHAN
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN
iv
HALAMAN PERNYATAAN
v
ABSTRAK
vi
KATA PENGANTAR
vii
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR GAMBAR
xi
BAB I PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
6
C. Tujuan dan Manfaat
7
D. Tinjauan Pustaka
8
E. Landasan Teori
9
F. Metode Penelitian
12
1. Pegumpulan Data
12
2. Analisis Data
15
G. Sistematika Penulisan
BAB II BENTUK SAJIAN TARI BEDHAYA LULUH
A. Latar Belakang Tari Bedhaya Luluh
16
18
18
x
B. Penari Bedhaya Luluh
20
C. Urutan Sajian Bedhaya Luluh
23
D. Deskripsi Gerak Tari Bedhaya Luluh
31
E. Rias dan Busana Bedhaya Luluh
37
BAB III KONSEP KOREOGRAFI TARI BEDHAYA LULUH
55
A. Dasar Konsep Tari
55
B. Kaidah Baku atau Pathokan Baku
60
C. Kaidah Tidak Baku atau Pathokan Tidak Baku
68
D. Pola Irama dan Ritme Gerak Tari
69
E. Pola Lantai Kaitannya dengan Gerak Tari Bedhaya Luluh
73
F. Musik Tari Bedhaya Luluh
89
G. Isi dan Norma Tari Bedhaya Luluh
101
BAB IV PENUTUP
107
A. Kesimpulan
107
DAFTAR ACUAN
109
Daftar Pustaka
109
Diskografi
110
Narasumber
111
Glosarium
112
Lampiran-Lampiran
114
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Posisi Penari Bedhaya
21
Gambar 2 : Posisi Penari dalam Bedhaya Luluh
22
Gambar 3 : Alis Menjangan Ranggah
40
Gambar 4 : Rias Wajah Menggunakan Paes Ageng
41
Gambar 5 : Sanggul dengan Krakab
42
Gambar 6 : Ceplok Jebehan
43
Gambar 7 : Cunduk Mentul
44
Gambar 8 : Centung
44
Gambar 9 : Cunduk Jungkat
45
Gambar 10 : Ron Sumping
46
Gambar 11 : Giwang
46
Gambar 12 : Pemakaian Perhiasan
47
Gambar 13 : Kalung Susun Tiga
48
Gambar 14 : Kelat Bahu
49
Gambar 15 : Gelang Tangan
49
Gambar 16 : Kain untuk Bagian Atas
50
Gambar 17 : Kain Bagian Bawah
51
Gambar 18 : Sampur yang digunakan dalam Tari Bedhaya Luluh
52
Gambar 19 : Pending
53
Gambar 20 : Keris
54
xii
Gambar 21 : Sikap Badan Tegap (ndegeg)
60
Gambar 22 : Sikap Kaki Pupu Mlumah, Dhengkul Megar
dan Suku Malang
62
Gambar 23 : Posisi Mendhak
63
Gambar 24 : Jarak Tangan dengan Tubuh
64
Gambar 25 : Posisi Tangan saat ditekuk tampak depan
65
Gambar 26 : Pandangan Mata untuk Tari Putri
67
1
BA B I
PENDA HULUAN
A . Latar Belakang
Tari bedhaya adalah tari yang hidup dan tumbuh di dalam
lingkungan keraton. Bedhaya merupakan bentuk tarian sakral di Keraton,
khususnya di Jawa. Tarian ini hanya dipentaskan pada acara-acara resmi
Keraton. Melihat penyajiannya bedhaya merupakan bentuk drama tari
tradisional, hal ini dapat dilihat dari penyajian yang memiliki cerita dan
penokohan (Purwolelono, 2007: 1). Menurut W edha Pradangga pengertian
bedhaya adalah jajar-jajar sarwi beksa sarta tinabuhan gangsa Lokananta
(gendhing kemanak) binarung ing kidung sekar kawi utawi sekar ageng, yang
artinya adalah menari dalam posisi berbaris dengan iringan gamelan
Lokananta (gendhing kemanak) dibarengi dengan puisi metris sekar kawi
atau sekar ageng (Prabowo, 2007: 41). Di Surakarta tari bedhaya mulai keluar
dari tembok Keraton pada masa pemerintahan Paku Buwana XII yaitu
tahun 1970 (Prabowo, wawancara, 31 Oktober 2014).
Tari bedhaya adalah salah satu bentuk tari kelompok yang biasanya
ditarikan oleh 9 orang penari putri. Tari bedhaya sampai sekarang masih
dilestarikan di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Tari bedhaya pada
umumnya ditarikan oleh sembilan orang penari putri, akan tetapi di
2
keraton Yogyakarta terdapat tari bedhaya yang ditarikan oleh enam penari
yaitu Bedhaya Manten atau Bedhaya Wiwaha Sangaskara. Selain itu ada
juga bedhaya yang ditarikan oleh tujuh orang penari putri yaitu tari
Bedhaya Sapta. Kedua tari bedhaya tersebut diciptakan oleh Hamengku
Buwana IX, yang ditata menurut tata aturan yang berlaku dalam tari
bedhaya. Tari bedhaya di Yogyakarta keluar dari tembok Keraton pada
tahun 1918, dengan berdirinya Kridha Beksa Wirama yang dipelopori oleh
Gusti Pangeran Haryo Tedjo Kusumo. Kridha Beksa Wirama adalah
sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang tari gaya Yogyakarta
(Sutiyah, wawancara, 1 November 2014). Kridha Beksa Wirama adalah
organisasi yang memperkenalkan tari keraton Yogyakarta ke masyarakat
sehingga tari keraton dapat berkembang di masyarakat.
Setelah bedhaya dikenal oleh masyarakat, maka munculah tari bedhaya
garapan baru yang disusun oleh para koreografer tari tradisi. Para
koreografer menyusun bedhaya dengan kreativitas dan pengembangan
mereka masing-masing. Bedhaya Luluh adalah salah satu bentuk tari
garapan bedhaya yang berada di luar lingkungan Keraton. Tari Bedhaya
Luluh menggambarkan peristiwa bersatunya dua tubuh organisasi yang
sama-sama bergerak dibidang seni tari gaya Yogyakarta. Organisasi tari
Jawa yang dinamakan Mardawa Budaya dan organisasi Pamulangan
Beksa Ngayogyakarta menjadi satu organisasi yang diberi nama Yayasan
3
Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa atau YPBSM. Maka dari itu, untuk
memeriahkan ulang tahun emas YPBSM pada tahun 2012 disusunlah tari
Bedhaya Luluh.
Tari Bedhaya Luluh bersumber dari gerak tari putri gaya
Yogyakarta. Gerak yang digunakan adalah gerak-gerak tari klasik gaya
Yogyakarta, antara lain nggurda, pendhapan, lampah sekar, encot-encot dan
thinthing yang biasa digunakan dalam tari putri gaya Yogyakarta.
Rangkain gerak Bedhaya Luluh dilakukan dengan mbanyu mili seperti
bedhaya pada umumnya. Gawang atau tata rakit pokok yang digunakan
dalam tari bedhaya adalah
gawang motor mabur, gawang blumbangan,
gawang jejer wayang, gawang urut kacang, dan gawang tiga-tiga (Prabowo,
1990: 115). Begitu juga dengan rakit yang digunakan dalam tari Bedhaya
Luluh, tidak berbeda jauh dengan tari bedhaya pada umumnya. Gawang
yang banyak digunakan dalam tari Bedhaya Luluh adalah gawang motor
mabur (garuda nglayang), rakit tiga-tiga, blumbangan (mandala), dan sapit
urang. Tata rakit dalam tari Bedhaya Luluh ini terkadang membentuk dua
rakit terkadang menjadi satu rakit. Walaupun tari Bedhaya Luluh adalah
tari garapan baru, tetapi tarian ini tetap menggunakan prinsip-prinsip
yang berlaku di dalam tari bedhaya tradisi.
Susunan gendhing tari Bedhaya Luluh antara lain Gendhing
Kemanakan Luluh pl. pathet nem, Ladrang Gumolong minggah Ayak-Ayakan,
4
dan Gendhing Ketawang Manunggal (Melati, 2012: 176). Seperti bedhaya gaya
Yogyakarta pada umumnya, saat penari sila dilakukan maos kandha oleh
seorang pemaos kandha. Isi dari kandha tersebut menceritakan tentang
perjalanan Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa atau yang
sering disebut dengan YPBSM.
Rias dan busana tari Bedhaya Luluh menggunakan rias dan busana
gaya Yogyakarta. Rias wajah menggunakan paes ageng gaya Yogyakarta
yang identik dengan prodo emas, sedangkan busananya menggunakan
dodot kampuh alit serta keris sebagai propertinya. Dengan bunga dibagian
kepala dan dominasi warna emas yang menjadi ciri khas gaya Yogyakarta.
Tari Bedhaya Luluh disusun oleh Siti Sutiyah pada tahun 2012.
Dipentaskan pertama kali dalam rangka memperingati ulang tahun
Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa pada bulan Juni 2012.
Karya tari ini sudah ditayangkan di stasiun televisi daerah Yogyakarta
yaitu TVRI Yogyakarta dan Jogja TV. Di perlukan waktu dua bulan untuk
penyusunan tari Bedhaya Luluh ini.
Seperti bedhaya-bedhaya tradisi lainnya, struktur tari Bedhaya Luluh
dimulai dengan kapang-kapang dari pinggir panggung menuju tengah
panggung lalu menari ditengah panggung dan selesai dengan kapangkapang menuju sisi panggung yang lainnya. Hal yang menarik dalam
sajian tari Bedhaya Luluh adalah ditarikan oleh 18 orang penari putri,
5
tetapi tetap menjadi satu kesatuan utuh dengan pola gerak yang digarap
sesuai dengan jumlah penari dan tema garapnya. Demikian juga rakit tari
bedhaya pada umumnya atau pada umumnya disebut dengan pola lantai
bedhaya ini pada rakit tertentu digunakan dua rakit. Penggunaan rakit ini
menjadi tidak biasa pada sebuah bentuk tari bedhaya. Namun demikian
sajiannya tetap menarik untuk ditonton. Dari pola gerak, jumlah penari,
dan rakit yang ditampilkan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Karena
koreografer mempunyai ide tersendiri dan kreatifitas tersendiri dalam
menyusun tari Bedhaya Luluh dengan jumlah penari bedhaya yang tidak
biasa, yaitu 18 orang penari.
Berkenaan dengan latar belakang cerita dan proses penciptaannya
maka keberadaan Bedhaya Luluh dalam sebuah pertunjukan mempunyai
keunikan tertentu. Untuk mewujudkan tari bedhaya sebagai seorang
koreografer harus memahami tentang tata aturan penyusunan tari bedhaya
dan teknik gerak tari putri. Selain itu, karakter pertunjukan tari bedhaya
yang agung dengan sifat keputri-putrian yang lembut dan halus akan
tampak jelas dalam sajian tari bedhaya. Peneliti sangat tergelitik untuk
mengkaji lebih dalam tentang tari Bedhaya Luluh yang hubungannya
dengan gerak tari bedhaya sebagai tari kelompok. Hal ini sangat penting
mendasari pemaknaan peniliti untuk melihat tari bedhaya yang ditarikan
6
oleh 18 orang penari putri akan mengalami perubahan-perubahan dalam
proses perilaku apabila ditarikan oleh 9 orang penari.
B. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan judul yang diajukan peneliti hanya terfokus pada
analisa wiraga, wirama, wirasa pada tari Bedhaya Luluh. Sebagai bahan
pendukung, tidak menutup kemungkinan adanya pemaparan tentang
permasalahan di sekitarnya. Harapannya supaya dapat menjawab
pertanyaan tentang analisa konsep koreografi tari Bedhaya Luluh.
Maka dari itu untuk memperjelas dan memudahkan arah penelitian,
peneliti mencoba menentukan perumusan masalah. Perumusan tersebut
difokuskan dalam dua permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana bentuk sajian tari Bedhaya Luluh?
2. Bagaimana penerapan wiraga, wirama, wirasa dalam tari Bedhaya
Luluh?
C. Tujuan dan Manfaat
Pemaknaan terhadap proses penciptaan tari Bedhaya Luluh tidak
akan lepas dengan tujuan yang ingin dicapai. Diharapkan bahwa
penelitian ini dapat dipahami sebagai dasar pijakan guna memberikan
7
arah yang semakin jelas, bagaimana latar belakang penciptaan tari
Bedhaya Luluh. Dengan demikian tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memaparkan bentuk sajian tari Bedhaya Luluh
2. Mengetahui dan memaparkan wiraga, wirama, wirasa dalam tari
Bedhaya Luluh.
Dari latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian akan
menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang diharapkan dapat memberi
manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang tari Yogyakarta.
Selain itu juga dapat memberi informasi tentang latar belakang konsep
yang digunakan dalam penciptaan tari Bedhaya Luluh.
D. Tinjauan Pustaka
Peninjauan pustaka yang terkait dalam penelitian adalah upaya
untuk membuktikan bahwa hasil dari penelitian ini merupakan penulisan
yang orisinal. Tidak meniru penelitian, skripsi maupun tesis pihak lain.
Pustaka penting yang sampai saat ini terkait dengan obyek penelitian
adalah sebagai berikut.
8
Skripsi yang berjudul “ Koreografi Tari Bedhaya Luluh Karya Siti
Sutiyah” 2014 oleh Indah Kurnia Anisafitri.Skripsi ini menjelaskan tentang
komponen-komponen tari Bedhaya Luluh secara keseluruhan. Mulai dari
tata gerak, tata busana dan tata rakit Bedhaya Luluh. Penelitian ini tidak
memuat tentang wiraga, wirama, wirasa dalam tari Bedhaya Luluh.
Penelitian berjudul “ Potret Eksistensi Tari Klasik Bedhaya Luluh
sebagai Pendidikan Karakter Bangsa”
2012 oleh Fajar Wijanarko.
Penelitian ini membahas tentang pendidikan karakter yang terdapat pada
Bedhaya Luluh, mulai dari eksistensi, konsep pendidikan, dan bentuk
aplikatif dari Bedhaya Luluh. Penelitian tidak membahas tentang wiraga,
wirama, wirasa dalam tari Bedhaya Luluh dan bentuk sajian Bedhaya
Luluh.
Penelitian berjudul “ Studi Analisis Konsep Estetis Koregrafis Tari
Bedhaya Lambangsari” 1982 oleh Bambang Pudjaswara. Penelitian ini
membahas tentang keselarasan gerak dalam tari Bedhaya Lambangsari,
yang dilihat dari segi estetisnya. Ketentuan-ketentuan normative gerak
bedhaya juga diungkapkan dalam penelitian ini. Penelitian ini tidak
membahas tentang wiraga, wirama, wirasa tari Bedhaya Luluh dan bentuk
sajiannya.
Dari beberapa penelitian yang disebutkan, tidak ada yang meneliti
tentang wiraga, wirama, wirasa dalam tari Bedhaya Luluh dan bentuk sajian
9
tari Bedhaya Luluh. Jadi penelitian yang berjudul Analisis Konsep
Koreografi Tari Bedhaya Luluh orisinil dan tidak meniru penelitian atau
buku apapun.
E. Landasan Teori
Dalam
penyusunan
tari
Bedhaya
Luluh,
koreografer
dapat
menghasilkan sebuah bentuk sajian tari.Bentuk yang dimaksud adalah
rangkaian tari mulai dari gerak, pola lantai, musik tari dan rias busana.
Seperti yang dikatakan Suzane K. Langer dalam bukunya yang berjudul
“ Problematika Seni” yang diterjemahkan oleh FX. Widaryanto, bahwa:
Bentuk dalam pengertian paling abstrak berarti struktur, artikulasi,
sebuah hasil kesatuan secara menyeluruh dari suatu hubungan
berbagai factor yang saling bergayutan, atau lebih tepatnya dimana
keseluruhan aspek bisa dirakit (1988: 15-16)
Struktur yang dimaksud adalah gerak, pola lantai, dan penari pada
tari Bedhaya Luluh. Maksud dari artikulasi disini adalah kejelasan. Bukan
hanya kejelasan suara pada musik tari terutama pada bagian kandha,
namun
juga
kejelasan
dalam
bergerak.
Semua
hal
itu
saling
berkesinambungan dan menjadi sebuah bentuk sajian. Oleh sebab itu
penelitian ini berdasar pada bentuk tari sebagai sebuah teks budaya.
Pemberlakuan teks tari sebagai teks budaya meliputi masa lampau
dengan latar belakang kemunculan tari dengan struktur bentuk dan gaya
10
yang terjadi. Untuk membahas konsep koreografi Bedhaya Luluh, maka
harus diketahui apakah tari itu menurut konsepsi jawa, dan bagaimana
kedudukan musik atau karawitan di dalamnya? Sehubungan dengan hal
itu perlu diungkapkan pendapat tokoh tari gaya Yogyakarta yaitu BPH.
Suryadiningrat sebagai berikut:
“ ...ingkang kawastanan djoged inggih punika ebahing sadaya sarandoening
badan, kasarengan oengeling gangsa, katata pikantoek wiramaning
gendhing, djoemboehing pasemoen, kaliyan pikadjenging djoget.”
(Suryadiningrat, 1934: 3)
“ ...yang dimaksud tari adalah gerak seluruh anggota badan, yang
diiringi dengan musik (gamelan) dikoordinasikan menurut irama
gamelan, kesesuaian dengan sifat pembawaan tari serta maksud
tarinya” (Suryadiningrat, 1934: 3)
Dengan
demikian
secara
konsepsional
yang
dimaksud
tari
senantiasa harus berpijak pada 3 aspek yaitu wiraga, wirama dan wirasa.
W iraga berkaitan dengan gerak tari, wirama menyangkut dengan irama
musik dan gerak, serta wirasa bersangkut paut dengan isi dari tari itu
sendiri. Selain itu digunakan konsep joged mataram dalam menganalisis
konsep koreografi tari gaya Yogyakarta. Seperti yang ada dalam buku
dengan judul “ Tari Klasik Gaya Yogyakarta” ditulis oleh Fred Wibowo.
Pada bukunya, Fred Wibowo mengatakan bahwa tari klasik gaya
Yogyakarta
atau disebut juga Joged Mataram memiliki hakikat yang
dikenal dengan sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh. Keempat hal
tersebut memiliki makna filosofis tersendiri.
11
Hal ini juga diterapkan oleh Siti Sutiyah dalam penyusunan tari
Bedhaya Luluh. Siti Sutiyah masih berpegang teguh pada konsep joged
mataram, hal ini terlihat pada garapan tari Bedhaya Luluh yang masih
memperhatikan pola gerak, gendhing maupun pola lantai bedhaya tradisi.
Koreografer sangat memperhatikan wiraga, wirama dan wirasa. Dalam
penyusunan
Bedhaya
Luluh
juga
disiapkan
materi-materi
untuk
menyusun Bedhaya Luluh dan sangat memepertimbangkan garapannya,
melampaui bedhaya keraton atau tidak. Dalam penyusunan tari Bedhaya
Luluh, koreografer tidak mau melampaui aturan-aturan yang ada di
keraton (Siti Sutiyah, wawancara, 20 Oktober 2014).
F. M etode Penelitian
Penelitian yang berjudul Tari Bedhaya Luluh Perspektif W iraga,
W irama, W irasa menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan etnokoreologi tari yang mana didalamnya mengupas tentang
tekstual dan kontekstual seni pertunjukan. Ada dua tahap yang harus
dilakukan dalam penelitian kualitatif yaitu tahap pengumpulan data yang
terdiri dari wawancara, studi pustaka dan observasi. Tahap kedua adalah
tahap pengolahan data yang dilakukan dengan memilih data yang sesuai
dengan fakta-fakta yang ada di lapangan.
1.
Tahap Pengumpulan Data
12
Pada tahap pengumpulan data, diperoleh dari data tidak tertulis
maupun data tertulis. Peneliti akan memulai dengan wawancara pada
narasumber yang bersangkutan, dilanjutkan dengan studi pustaka dan
observasi.
a.
Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan informasi tertulis atau
gambar baik video
maupun
foto
mengenai obyek,
serta untuk
memecahkan pemasalahan dan mendukung penelitian. Salah satu tempat
untuk mendapatkan sumber tertulis adalah Perpustakaan ISI Surakarta
baik Perpustakaan Jurusan Tari maupun Perpustakaan Pusat. Buku “ Tari
Klasik Gaya Yogyakarta” oleh Fred Wibowo. Buku ini menjelaskan
tentang konsep-konsep tari klasik gaya Yogyakarta yang memiliki filosofi
tersendiri. Selain itu ada satu buku yang didapatkan dari koreografer
langsung yaitu buku berjudul “ Melacak Jejak, Meniti Harapan” disusun
oleh Anastasia Melati dan Kuswarsantyo Condroadono. Buku ini berisi
tentang perjalanan YPBSM dan pengalaman beberapa anak didik dari
Rama Sas.
13
Selain itu juga berisi tentang sinopsis dan serat kandha dari tari
Bedhaya Luluh. Peneliti juga membaca jurnal berjudul “ Tari Klana Alus
Sri Suwela Gaya Yogyakarta Perspektif Joged Mataram” . Jurnal ini
sebagai acuan penulis dalam meniliti konsep koreografi. Selain buku
peneliti menggunakan video tari Bedhaya Luluh yang didapat dari TVRI
Yogyakarta dan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta untuk
mengamati bentuk sajian tari Bedhaya Luluh.
Selain buku referensi peneliti juga menggunakan buku metodologi
sebagai pendukung penulisan penelitian.Buku Metodologi Penelitian
Kualitatif ditulis oleh Lexy J. Moleong, berisi tentang pengertian
penelitian
kualitatif
samapai
pembuatan
rancangan
proposal
penelitian.Buku Memahami Penelitian Kualitatif yang ditulis oleh
Sugiyono, membahas tentang penelitian kualitatif secara mendalam serta
langkah-langkah penelitian dan metode penyusunan penelitian. Dari
sumber-sumber tersebut diambil data yang terkait dengan obyek
penelitian, kemudian disusun menjadi sebuah tulisan yang dapat
digunakan untuk membahas masalah yang diteliti.
b.
W awancara
Wawancara
dilakukan
langsung
dengan
narasumber
untuk
mendapatkan informasi yang faktual. Wawancara difokuskan proses
penciptaan tari Bedhaya Luluh dan bentuk sajian tari Bedhaya
14
Luluh.Wawancara tidak dilakukan secara sistematis, tetapi dilakukan
dengan obrolan santai. Diharapkan dengan cara ini dapat diperoleh
informasi yang lebih tentang obyek. Alat bantu yang digunakan adalah
HP untuk merekam percakapan, alat tulis untuk mencatat hal-hal penting.
Wawancara dilakukan dengan koreografer tari Bedhaya Luluh yaitu
Siti Sutiyah. Dari wawancara tersebut diperoleh informasi tentang sejarah
bedhaya di Yogyakarta, ide-ide dalam penyusunan tari Bedhaya Luluh,
bentuk sajian, dan maksud pembuatan tari Bedhaya Luluh. Selain dengan
koreografer tari Bedhaya Luluh, wawancara juga dilakukan dengan
Wahyu Santosa Prabowo. Dari wawancara tersebut dapat memperoleh
informasi tentang sejarah bedhaya di Surakarta dan garap gendhing
Bedhaya Luluh melalui vidio.
c.
Observasi
Pengumpulan data selain dilakukan dengan studi pustaka dan
wawancara juga melalui pengamatan atau obsevasi. Pengamatan ini
dilakukan melalui video pertunjukan Bedhaya Luluh untuk memperoleh
data guna melengkapi dan mendukung data-data yang didapat dari
sumber-sumber tertulis, karena pertunjukan Bedhaya Luluh telah berlalu
dan kemungkinan untuk dipentaskan kembali sangat kecil. Video
diperoleh dari TVRI Yogyakarta dan dinas kebudayaan Daerah Istimewa
15
Yogyakarta. Pengambilan gambar dilakukan saat ulang tahun emas
YPBSM yaitu tahun 2012.
2.
Analisis Data
Setelah memperoleh data, selanjutanya akan dilakukan pengolahan
data dengan cara menyeleksi dan memilah-milahkan data sesuai dengan
konteksnya. Hal ini dilakukan untuk mendukung pembahasan dalam
penelitian dan benar-benar relevan dengan fakta sehingga dapat
digunakan
sebagai
pemecahan
masalah.
Teori
digunakan
untuk
memecahkan permasalahan yang diangkat. Penjelasan tentang proses
penciptaan tari Bedhaya Luluh dan bentuk sajian tari Bedhaya Luluh
diungkapkan secara diskriptif. Hasil analisis data tersebut akan disajikan
dalam bentuklaporan penelitian.
G. Sistematika Penulisan
BAB I :
Pada bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat peneletian, tinjauan pustaka,
landasan teori, metode penelitian meliputi tahap
pengumpulan data yaitu: observasi lapangan, wawancara,
16
dan study pustaka, serta tahap pengolahan data,
sistematika penulisan.
BAB II :
Dalam bab ini berisi tentang bentuk sajian tari bedhaya
luluh. Pembahasan dimulai dari latar belakang Bedhaya
Luluh, penari dalam tari Bedhaya Luluh, urutan sajian serta
rias dan busana tari Bedhaya Luluh.
BAB III :
Bab ini berisi tentang konsep wiraga, wirama, wirasa dalam
tari Bedhaya Luluh. Pembahasan dimulai dari pola baku
dan tidak baku dalm tari, pola irama dan ritme gerak, pola
lantai Bedhaya Luluh dan Musik tari Bedhaya Luluh, Isi
dan Norma Bedhaya Luluh
BAB IV :
Penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.
Daftar Pustaka
Glosarium
Lampiran-Lampiran
17
BA B II
BENTUK SA JIAN TA RI BEDHAYA LULUH
A.
Latar Belakang Tari Bedhaya Luluh
Tari Bedhaya Luluh disusun untuk memeperingati hari ulang tahun
Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa yang ke 50 tahun. Dalam
tari Bedhaya Luluh menceritakan tentang perjalanan YPBSM yang
mengalami pasang surut dan konflik-konflik yang terjadi di dalam sebuah
organisasi. Ide penyusunan tari Bedhaya Luluh ini berasal dari
terbentuknya Yayasan Pamulangan Beksa Saminta Mardawa atau YPBSM
(Sutiyah, wawancara, 20 Oktober 2014).
Yayasan Pamulangan Beksa Saminta Mardawa terbentuk dari dua
organisasi yang berjalan dalam bidang seni tari gaya Yogyakarta. Kedua
organisasi tersebut adalah Mardawa Budaya dan Pamulangan Beksa
Ngayogyakarta. Mardawa Budaya terbentuk tahun 1962 , organisasi ini
mengajarkan tari klasik gaya Yogyakarta. Mardawa Budaya bukanlah
organisasi yang bergerak dengan aturan-aturan atau struktur yang
sistematis seperti pendidikan formal pada umumnya. Setelah berjalan 10
tahun, munculah ide untuk membentuk suatu bentuk organisasi
pendidikan tari non formal yang lebih sestimatis, tertib dan terstruktur
layaknya pendidikan formal. Tahun 1976 dibentuklah organisasi yang
18
diberi nama Pamulangan Beksa Ngayogyokarta. Kedua organisasi ini
berjalan beriringan selama 10 tahun. Untuk mengefektifkan kegiatan
dalam organisasi tersebut, maka kedua organisasi tersebut diubah
menjadi satu organisasi yang kemudian diberi nama Yayasan Pamulangan
Beksa Mardawa Budaya. Tahun 1996 pendiri yayasan yang bernama
Rama Saminta Mardawa meninggal dunia, untuk mengenang jasa beliau
maka nama beliau digunakan sebagai nama yayasan. Sejak saat itu nama
Yayasan Pamulangan Beksa Mardawa Budaya diubah menjadi Yayasan
Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa. Dari sini lah muncul ide untuk
menyusun sebuah tari berbentuk bedhaya yang menceritakan perjalanan
Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa.
Dinamakan Bedhaya Luluh
karena tari ini menggambarkan
bersatunya dua organisasi. Kata luluh berarti menjadi satu, oleh karena itu
tema dari tari ini adalah kemanunggalan. Menurut penyusun tari Bedhaya
Luluh yaitu Siti Sutiyah, luluh bisa diartikan luas bukan hanya luluh
dalam arti menjadi satu. Akan tetapi luluh bisa juga diartikan meredanya
amarah seseorang. Dalam kata luluh mengandung sebuah keikhlasan,
karena untuk menjadi satu atau manunggal diperlukan keikhlasan. Tanpa
adanya keikhlasan tidak akan terjadi kesatuan tersebut (wawancara, 20
Oktober 2014).
B. Penari dalam Bedhaya Luluh
19
Penari bedhaya memiliki nama dalam posisinya masing-masing. Pada
bedhaya di Surakarta posisi-posisi itu disebut dengan endel ajeg, batak,
gulu, dhadha, apit ngarep, apit mburi, endel weton, apit meneng, dan buncit.
Tidak berbeda jauh dengan penari bedhaya di Surakarta, penari bedhaya di
Yogyakarta juga mempunyai sebutan yaitu endel, batak, jangga, dhadha, apit
ngajeng, apit wingking, endel wedalan ngajeng, endel wedalan wingking, dan
bunthil. Posisi tersebut mempunyai makna dan peran masing-masing.
Posisi tersebut menggambarkan perwujudan manusia, yaitu kepala
(batak), leher (gulu/jangga), tangan kanan (apit ngarep/apit ngajeng), tangan
kiri (apit mburi/apit wingking) , kakikanan (endel weton/endel wedalan
ngajeng), kaki kiri(apit meneng/endel wedalan wingking), hawa nafsu (endel
ajeg/endel
pajeg)
dan
organ
seks
(buncit/bunthil).
Siti
Sutiyah
mengungkapkan bahwa pemilihan posisi penari sangat ditentukan oleh
postur tubuh dan kemampuan penari (wawancara, 1 November 2014).
Siti Sutiyah juga menerapkan posisi tersebut dalam tari Bedhaya
Luluh. Walaupun penari Bedhaya luluh berjumlah 18 (delapanbelas)
orang, tetapi posisi dalam Bedhaya Luluh tetap mengacu bedhaya pada
umumnya yang berjumlah 9 orang penari. Dalam benak Siti Sutiyah,
Bedhaya Luluh ini hanya 9 orang penari. Siti Sutiyah mengolahnya
dengan gerakan agar nampak tetap menjadi satu kesatuan. Menurut Siti
Sutiyah salah satunya adalah bayangan dari satu kelompok. Walaupun
20
pada
prakteknya
yang
menempati
posisi
bayangan
bergantian
(wawancara, 1-11-2014).
Dalam tari bedhaya, yang paling berperan adalah batak dan endel
pajeg. Keduanya menggambarkan kepala dan hawa nafsu manusia. Begitu
juga dalam Bedhaya Luluh, batak dan endel pajeg sangat berperan. Ada dua
batak dan dua endel pajeg dalam Bedhaya Luluh. Mereka adalah
penggambaran dari masing-masing organisasi yang kemudian menjadi
satu digambarkan dengan gerakan berputar bertukar posisi.
9
5
4
3
7
8
2
1
6
Gambar 1. posisi penari bedhaya
Keterangan:
1 : endel pajeg
2 : batak
3 : jangga
4 : dhadha
5 : bunthil
6 : apit ngajeng
7 : endel wedalan ngajeng
21
8 : apit wingking
9 : endel wedalan wingking
9a
8a
9b
8b
5a
4a
3a
2a
1a
5b
4b
3b
2b
1b
7a
6a
7b
6b
Gambar 2. posisi penari dalam Bedhaya Luluh
Keterangan:
1a dan 1b : endel pajeg
2a dan 2b : batak
3a dan 3b : jangga
4a dan 4b : dhadha
5a dan 5b : bunthil
6a dan 6b : apit ngajeng
7a dan 7b : endel wedalan ngajeng
8a dan 8b : apit wingking
9a dan 9b : endel wedalan wingking
22
Kedua kelompok penari bedhaya dalam tari Bedhaya Luluh ini
mewakili kedua organisasi. Satu kelompok mewakili organisasi Mardawa
Budaya dan kelompok yang lainnya mewakili organisasi Pamulangan
Beksa Ngayogyakarta. Akan tetapi dalam penyajiannya bukan berarti
kedua kelompok ini menari sendiri-sendiri. Kedua kelompok penari ini
menari dalam satu kesatuan berbentuk tari bedhaya. Kedua kelompok ini
menari dalam satu kesatuan sajian untuk menggambarkan bersatunya
kedua organisasi tersebut. Sesuai dengan tema yang diusung, yaitu
kemanunggalan.
C. Urutan Sajian Bedhaya Luluh
Tari bedhaya mencakup tiga unsur yang saling melengkapi yaitu:
unsur tari yang mencakup gerak dan pola lantai yang banyak
menggunakan posisi berbaris, unsur karawitan yang menunjuk garap
gendhing kemanak, dan yang terakhir unsur kidung yang menggunakan
sekar kawi (Prabowo, 1990:114).
Bedhaya Luluh juga menerapkan ketiga hal tersebut. Tari Bedhaya
Luluh ditampilkan pada sebuah panggung berbentuk proscenium saat
ulang tahun emas YPBSM. Pengrawit berada di bagian belakang
panggung dan posisinya lebih tinggi daripada panggung bagian depan.
Penari memasuki panggung dari sisi kiri panggung dengan kapang-
23
kapang menuju ke tengah panggung. Mereka menari ditengah panggung
dan diakhiri dengan kapang-kapang menuju sisi kanan panggung. Musik
tari diawali dan diakhiri dengan gati ladrang soran irama tanggung,
gendhing gati ini terdapat suara trompet dan tambur.
Tari Bedhaya Luluh dapat dibagi menurut bagian dari musik
tarinya, yaitu setiap pegantian gendhing. Dalam tari Bedhaya Luluh ada
beberapa perubahan gendhing, yaitu pertama memasuki panggung
dengan gati sapto, kandha sampai bawa, lalu berubah menjadi gendhing
kemanakan luluh, selanjutnya menjadi ladrang gumolong, kemudian berubah
menjadi ayak-ayak dan srepegan, masuk ke ketawang manunggal “ reprepan” , yang terakhir adalah gati sapto. Maka dalam tari Bedhaya Luluh
ada 5 (lima bagian).
a.
Bagian Pertama
Bagian pertama adalah kapang-kapang majeng hingga duduk sila
panggung diiringi dengan gendhing gati sapta. Kapang-kapang dari sisi kiri
panggung menuju sisi tengah panggung. Saat kapang-kapang, tangan kiri
memegang sampur (ngolong) dan tangan kanan ngithing. Pola lantai yang
dipakai adalah gawang motor mabur (garuda nglayang) dengan 18 orang
penari. Setelah sampai tengah panggung, kemudian sila panggung.
24
Suasana yang timbul adalah agung, gagah dengan suara terompet yang
mendominasi musik tari bagian kapang-kapang. Pada saat penari sudah
bersila, gendhing berhenti dan kandhapun disuarakan. Kandha adalah
sebuah narasi yang dibacakan oleh pewaos kandha yang menceritakan
suatu yang telah terjadi, sedang terjadi dan peristiwa sebelumnya. Dalam
kandha tersebut menceritakan tentang Yayasan Pamulangan Beksa
Sasminta Mardawa yang terbentuk dari dua tubuh organisasi dan sudah
berumur 50 tahun. Kandha tersebut adalah sebagai berikut:
Sabetbyar wauta, anenggih ingkang pinurweng kandha, lelangen beksa
bedhaya, katengeran asma bedhaya luluh, pinangka tepa palupi,
manunggaling
Mardawa Budaya kalawan
Pamulangan
Beksa
Ngayogyakarta, ingkang wus luluh, wonten ing Yayasan Pamulangan
Beksa Sasminta Mardawa, ing Ngayogyakarta Hadiningrat. W ondene
wigatining hudyana, hanenggih jangkep seket warsa, anggenya nggegulang
budaya.
W auta, para dyah ingkang ambegsa, dhasar maksih kenya taruna,
sulistya ingkang warna, baut wiraganing beksa, yen sinawang saking
mandrawa, tuhu pantes tinengahing bawa swara (Melati, 2012: 178).
Alkisah, untuk mengawali sebuah cerita aadalah tari bedhaya
yang begitu indah, yang diberi nama Bedhaya Luluh, sebagai suri
tauladan wujudan menyatunya Mardawa Budaya dengan
Pamulangan Beksa Ngayogyakarta yang sudah menjadi satu
keutuhan tak terpisahkan, dibawah payung Yayasan Pamulangan
Beksa Sasminta Mardawa, di Ngaygyakarta Hadiningrat. Tujuan
digelarnya Bedhaya Luluh adalah untuk memperingati lima puluh
tahun dalam pelestarian dan pengembangan budaya.
Syahdan, para gadis cantik yang akan menari bedhaya ini masih
muda belia dan berparas cantik, luwes dan terampil dalam menari,
apabila dipandang dari kejauhan begitu pantas berada ditengahtengah lantunan tembang.
25
Dari kandha tersebut jelas menyebutkan bahwa Mardawa Budaya
dan Pamulangan Beksa Ngayogyakarta telah menjadi satu dan bernama
Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa yang telah berusia 50
tahun. Saat kandha disuarakan, penari tetap duduk sila. Pada bagian ini
menceritakan tentang tarian yang akan dibawakan yaitu Bedhaya Luluh.
b.
Bagian Kedua
Bagian kedua diawali dengan bawa. Lalu masuk gendhing
kemanakan luluh, saat gong buka penari kelompok satu melakukan gerakan
sembahan dengan pacak gulu. Setelah itu berdiri, gerakan pertama adalah
panggel ngregem udhet. Saat kelompok pertama berdiri, kelompok kedua
masih tetap sila. Kelompok kedua melakukan sembahan saat kelompok
pertama melakukan gerakan kedua yaitu gudawa asta, disambung dengan
pendapan minger nengen. Kelompok satu melakukan gerakan ulap-ulap
nyatok, lalu ngancap menuju ke belakang membentuk pola lantai yang
kedua. Menghadap ke kiri, ngeneti mancat kiri, pendapan maju, lalu sendi
nglerek. Kelompok kedua melakukan gerak ukel kiri, ngembat, lalu seleh
kiri, nglayang kemudian nyembah. Setelah itu berdiri, gerakannya adalah
panggel ngregem udhet. Kelompok kedua tetap menghadap ke depan.
Gerakan selanjutnya antara kelompok pertama dan kedua sama
yaitu nggurdha sebanyak tiga kali. Saat nggurdha apit ngajeng dan apit
26
wingking nyolongi, yaitu bergeser ke kiri. Setelah itu pola lantai ajengajengan atau berhadapan, gerakannya adalah jangkung miling. Endel pajeg,
apit ngajeng dan apit wingking melakukan gerakan jangkung miling dengan
jengkeng. Gerakan selanjutnya adalah lampah semang. Saat gerakan
lampah semang endel pajeg, apit ngajeng dan apit wingking mlebet lajur atau
masuk ke barisan. Gerakan dalam pola lantai ini adalah impang ngewer
udhet dan pendhapan nyatok. Pada bagian ini menggambarkan tentang
eksistensinya Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa.
c.
Bagian Ketiga
Dari gending kemanakan luluh berubah menjadi ladrang gumolong.
Gerakannya adalah ngundhuh sekar sedangkan endel pajeg, apit ngajeng dan
apit wingking gerakannya adalah kicat ngundhuh sekar, lalu ngancap. Endel
pajeg, apit ngajeng dan apit wingking ngancap maju, sedangkan yang lain
ngancap mundur, lalu minger nengen. Gerakan selanjutnya adalah ukel
seduwo lalu ngancap membentuk pola lantai tiga-tiga. Pada pola lantai atau
rakit tiga-tiga gerakannya adalah ukel tawing mayuk jinjit. Lalu tinting
kanan membentuk rakit enem-enem, gerakannya adalah encot-encot.
Kemudian tinting kiri dan berhadapan. Gerakan pada pola lantai ini
adalah ngenceng encot dan mayuk jinjit. Setelah gerakan tersebut, masuk
gending ayak-ayak perangan. Gerakan perangan yaitu mendhet dhuwung
27
(mengambil keris) lalu pendapan menghadap kanan. Kemudian trisik
ubengan kembali ke tempat semula atau wangsul papan setelah itu sudukan.
Gerakan selanjutnya adalah encot-encot yang dilanjutkan dengan sudukan.
Setelah
gerakan
sudukan,
selanjutnya
adalah
gerakan
pendapan,
membentuk satu baris adu sikut lalu trisik dan nyamber kanan.
Saat nyamber kanan membentuk pola lantai atau tata rakit dan
gerakannya adalah sudukan. Setelah itu menghadap ke kiri dan saling
membelakangi lalu encot-encot kemudian memasukkan keris. Setelah
memasukkan keris, nyamber kiri membentuk rakit gelar. Selanjutnya
kelompok
pertama
membentuk
rakit
tiga-tiga,
kelompok
kedua
membentuk lingkaran. Menggambarkan tekat dan semangat Yayasan
Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa dalam melestarikan budaya Jawa
agar tidak terlindas oleh budaya asing. Saat perangan menggambarkan
adanya sebuah konflik dalam organisasi dimana konflik-konflik tersebut
pada akhirnya membangun organisasi kedepannya.
d.
Bagian Keempat
Masuk gendhing ketawang manunggal rep kandha. Kelompok pertama
gerakannya adalah bangomate, setelah itu pendapan maju. Kelompok kedua
jengkeng dengan gerakan ukel tawing. Kelompok pertama lampah sekar lalu
ngancap kanan dan memebentuk pola lantai. Kelompok dua berdiri lalu
28
membentuk pola lantai lingkaran, bergabung dengan kelompok pertama.
Gerakan selanjutnya dilakukan secara bersama-sama. Gerakannya adalah
seduwo ngewas lalu ngancap kiri kemudian membentuk rakit sudut. Endel
pajeg, batak dan jangga melakukan gerakan lampah semang , penari yang lain
jengkeng. Setelah itu ngancap kanan, membentuk pola lantai.
Endel pajeg dan batak sampir sonder (sampir sampur) berputar, yang lain
puspito kamarukan sepisan lalu jengkeng. Saat yang lain jengkeng, endel
pajeg dan batak kengser tumapng tali. Kemudian semua mancat kiri lalu
ngancap membentuk rakit tiga-tiga. Gerakan selanjutnya adalah kicat
mandhe, dilanjutkan dengan tinting kanan dan encot-encot, lalu tinting kiri
membentuk rakit lajur. Bagian keempat menggambarkan tentang cita-cita
dan harapan serta suka cita para siswa Yayasan Pamulangan Beksa
Sasminta Mardawa menyambut ulang tahun emas yayasan tersebut.
e.
Bagian Kelima
Bagian terakhir ini hampir sama dengan bagian pertama. Pada
bagian ini gerakannya adalah ukel jengkeng , setelah itu gerakan nglayang
lalu nyembah. Kemudian berdiri dan kapang-kapang mundur. Saat kapangkapang mundur diiringi dengan gendhing gati sapta. Pola lantai terakhir
sama seperti pola lantai awal, yaitu gawang motor mabur atau garuda
nglayang. Kapang-kapang dari tengah panggung menuju kanan panggung.
29
D. Deskripsi Gerak Tari Bedhaya Luluh
30
No
La .........pah Btu. I
IrillKJln
G
KelolBpok I
Keto.pok 1
G....
G..bar
Goal
~
>- Gc:ndhing Ga1i Sapto
PclogNem
~
"...
f
•
~
1
2
Kapang-kapang
Sila panggung rakit ing
';'" ~ ~
~
~
tenph
I
~
h
1
...
..
.•.
't
,
~
r 'O>'
.• .
4
..
0-. C)oI) .) ..
1
Suwuk
JA
1, 1.
• Lagon Jugag Pclog N\.-m
· Kandha
- Gendhing LuJuh
Kemanak KaWJWJtan
AI
Bub Celuk Ndhawah
Ketawang Kendhang I
K(.-manakan
Nyembah
Ndodhok,
jumeneng
pangge\
ngrcgcm
udhet
S . Gudawa ISla
minggah.
pendapan
mingcr
3
4
t. b.
t t,
b\ t
Sila
panggung
~.
11
2
3
~'t
b.
l~
bl
Nyembah,
jengkcng
1,
l~
~I\
,14 1t
,~
~
nense"
I
t
kJ 1'f sL
t
~
~
~
~
~
f~
~.,
"'~
1..
().-t
31
~: •. ~
,:~.
-;1-:
t
A, t ~ l, ;
.:;....;.: o·~
!
:~
t
+i
:l!. t:1_
ppt • •
: - . :·f i
t~
~
~ .,
~
~T"
9
Lampah semaag
- Endcl & apit ml~
lajur
2
11
:: ;
.T
j::
+
/ 1c
. . tOf{f-'/
i-
I
~
1
•
,
,
+-< ...: .-<
...c
t
~
to<
•
4-<
t'
y~
1.~ 1.
~ ' : ~(-' . )
1"
f
l- ~
c- .,'). :
n;!; tr ;+ : :
a. ) ~( . .' t~,
,
A4
-::. '!"f: .:-. .~
.-J
l'
J
.A~
...-0
.-0'
32
10
Impana ngewer udbct,
pendapan nyatok
2
13
. ~-4,
•.,+-4, ~ . ~.c
%
. ",-<
4
,
' 4 , "-<
II
«
t-<
. ~
.<c .+-'
•
•
• . to-( 7
II
Pendapan nyalok
14
,(,..-0"
.-4+<l .(..-0 ' ''..-0
~
.s
'4
(~
•• ~
I
••...0
•
Mingph Ladrana Gumolong
12
- Lajur ngundhuh stkar
- Endcl. apit cl cndcl
wedaJan (1.6.7\,8,9 kicat
ngundbuh !cw,
npocap
• Endel, apit cl endel
wedalan (1 16,7 8,9)
. ngancap m&jeng.
sanesipun ngancap
mundur mi J ncns.en
13 Ukel seduwo, ngancap. raldt
tiga-tiga
14 tJkel tawi. mayuk jinjit
3
f ' t'
~:'
:\~
~.:
1:'
t
t~
i~
t~
).t2
»,
1,
;,
" 1,
f1, 11
;.
! .~
1~
1~
...~
~
c:.-o
.,
33
IS
TintinJ tcnaen rakit cnem-
4
enem. encot-encot. tintina
n~
kiwa. ajeng..jenpn.
cncot. mayuk jlnjit
r,...
T
...0
•
16
Of
..-0
-
r
t
•
.-.
~
• 1,1'
t. t'
1-
-
,
s,...-
....• ....
4 ....0..
Ndhawah ayak-ayak
Peranpn
Mendhet dbu~
pcndapIn.
nengen.
trisilt ubmpn wangsuI
pepell. suduka
mi.,
~
17
Encot-encot. sudubn.
pendapan I pris. &ben sikad.
trisik. nyamber lCnaen
18
Tala tabt. suduIaan. minger
naiwa. UftItar-unpurut.
,!
encoc-cncot. nyarunsken
kens
,,1
,
>-+
I-
+<
l~
l"
,1
l'
,,1
1"
~1
f
,l
(
lib
f
,
~
I
...0
34
22 Seduwo ngewas, npncap
kiwa, rakit sudut
23
24
Endel, batak &. jangga (1,2,3)
lampah semang, sanesipun
jengkeng. NIJIIIIC8P tengcn,
tata rakit
- Endet cl batak (1,2)
sampir sander mubeng,
sanesipun puspito
kamarukan sepisan lajeng
jengkeng
- Ende\ &. batak (1 ,2)
kengscr tumpang tali
4
2
6
7
I
\
'0-..
ilf
\
70... '~
,
i' l'"
~a
I
~
4-<
h.
1~
•
b, 1.. 1
i
35
Scdava manc:al ~1wa:
n~
-"
nakit tip-riga
8
b1 l b 1I
.2
1
1 b 1 1
s
S
'1
3
Q
0'1. ;:0.1, .S5
. ~ " t i:>1 .. ,,,1,,
enoot<nccc..
.'!\tIns ktwa rakit laJur
_7 "I tnting ~
2
L
110
1,
6(. 6.
1, 1, 1. l'i 1~
1"
6, b'( bt;
36
(Melati, 2012: 187194)
E.
Rias dan Busana Bedhaya Luluh
Saat ini banyak ditemui berbagai macam pakaian bedhaya. Bukan
hanya
dodot
ageng
dengan
sanggul
dan
cunduk
mentul
sebagai
aksesorisnya. Busana bedhaya berkembang sesuai perkembangan zaman
dan sesuai dengan kebutuhan. Begitu juga dengan rias dan busana bedhaya
di keraton Yogyakarta. Busana bedhaya di Yogyakarta mengalami
beberapa kali perubahan. Busana bedhaya yang awalnya berbentuk kampuh
ageng dan paes ageng, mulai berubah menjadi mekak dan paes ageng.
Bergantinya masa pemerintahan, berpengaruh pula pada busana bedhaya
yang berada di keraton Yogyakarta. Setelah mekak dan paes ageng, muncul
pula busana bedhaya dengan baju dan paes ageng. Terakhir adalah
37
menggunakan baju tanpa lengan dan menggunakan jamang dengan bulubulu.
Busana-busana
bedhaya
tersebut
menjadi
patokan
bagi
para
koreografer yang menyusun bedhaya di luar keraton Yogyakarta. Ada juga
koreografer yang mengkombinasi busana bedhaya menurut kreativitasnya
masing-masing. Busana yang digunakan untuk tari bedhaya di luar keraton
tidak sama persis dengan busana bedhaya yang ada di dalam tembok
keraton. Pemilihan busana bedhaya juga dipengaruhi beberapa teknik
penggunaan antara lain kepraktisan, ekonomi, etika, budaya dan
penghayatan (Supriyanto, 2012: 155-156)
Kepraktisan yang dimaksud adalah waktu yang diperlukan saat
pemakaian busana. Misalnya pemakaian busana bedhaya menggunakan
baju dan jamang lebih cepat dari pada menggunakan busana berbentuk
kampuh dan paes ageng yang memerlukan waktu kurang lebih 3 jam.
Ekonomi maksudnya adalah bila menggunakan jamang dan baju maka
peralatan
ini
bisa
digunakan
berkali-kali,
sehingga
tidak
perlu
mengeluarkan biaya lagi. Hal ini tidak terjadi pada busana kampuh dan
paes ageng. Prada emas yang digunakan tidak dapat digunakan lagi saat
pementasan berikutnya, begitu juga dengan paes yang digunakan untuk
merias wajah penari dan daun pepaya yang diberi prada emas digunakan
untuk sumping hanya bisa digunakan satu kali. Jadi pengeluaran untuk
busana berbentuk kampuh dan dodot lebih banyak. Etika yang dimaksud
38
adalah saat penggunaan busana, bila busana berbentuk baju dan jamang
tidak bermasalah jika tempat rias terbuka. Namun bila busana berbentuk
kampuh, maka saat penggunakan busana ini memerlukan tempat yang
tertutup.
Karena
penggunaannya
sangat
rumit
selain
itu
saat
menggunakan kampuh harus membuka baju sehingga jika digunakan di
tempat terbuka sangat tidak mungkin. Yang keempat adalah budaya,
dilihat dari sisi budaya pakaian berbentuk baju dan jamang bulu-bulu
memberi kesan adanya pengaruh budaya barat, sedangkan paes ageng dan
kampuh lebih berpijak pada budaya jawa. Terakhir adalah penghayatan,
busana yang berbentuk baju dan jamang yang mempunyai pengaruh
budaya barat lebih profan. Namun busana dengan kampuh dan paes ageng
terasa lebih sakral (Supriyanto, 2012: 157). Beberapa faktor tersebut
menjadi pertimbangan koreografer dalam memilih busana untuk bedhaya
karyanya.
Rias dan busana dalam Bedhaya Luluh juga berpijak dari beberapa
hal tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh koreografer, bahwa dia tidak
mau melampaui batasan-batasan yang ada di keraton. Maka rias dan
busana yang digunakan dalam tari Bedhaya Luluh juga berpijak pada
bedhaya keraton. Tari Bedhaya Luluh menggunakan busana kampuh alit
dan paes ageng. Hanya saja tidak menggunakan buntal dan sumping dari
daun pepaya. sumping yang digunakan adalah ron sumping yang terbuat
dari logam. Make up atau rias wajah bagian mata menggunakan sipatan
39
dan pada bagian alis menggunakan alis menjangan ranggah, yaitu alis yang
bercabang.
Gambar 3. Alis menjangan ranggah
Paes ageng yang digunakan bukan paes yang digambar, akan tetapi
menggunakan paes yang langsung ditempel. Hal ini dimaksudkan agar
lebih praktis dalam penggunaannya. Walaupun paes yang langsung
ditempel, namun bentuknya tetap sama seperti paes yang digambar
langsung pada wajah. Paes tempel yang digunakan sudah beserta prada
emas.
40
Gambar 4. Rias wajah menggunakan paes ageng (foto : Angga)
Bagian sanggul menggunakan bunga melati yang dinamakan krakab.
Biasanya dalam tari bedhaya di keraton, krakab yang digunakan terbuat
dari melati asli. Tari Bedhaya Luluh ini menggunakan krakab yang terbuat
dari melati palsu supaya bisa digunakan kembali. Begitu juga dengan
bunga yang dinamakan ceplok jebehan. Bunga ceplok jebehan yang
digunakan satu warna yaitu warna merah. Bunga ceplok jebehan ini
41
dipasang di kanan dan kiri sanggul, serta satu bunga di tengah-tengah
sanggul.
Gambar 5. Sanggul dengan krakab (foto: Kingkin)
42
Gambar 6. Ceplok jebehan (foto: kingkin)
Perhiasan yang digunakan pada bagian kepala adalah cunduk
mentul sebanyak lima buah, centung, sariayu, ron sumping dan giwang.
Semua perhiasan tersebut berwarna kuning emas. Cunduk mentul
digunakan menghadap belakang, begitu juga dengan sariayu. Pemakaian
perhiasan ini hampir sama dengan bedhaya di Yogyakarta.
43
Gambar 7. Cunduk mentul (foto: Kingkin)
Gambar 8. Centung
(foto: Kingkin)
44
Gambar 9. Cunduk jungkat (foto: Kingkin)
45
Gambar 10. Ron sumping (foto: Kingkin)
Gambar 11. Giwang (foto: Kingkin)
Gambar 12. Pemakaian perhiasan (foto: Angga)
46
Penggunaan cunduk mentul tidak menghadap depan, akan tetapi
menghadap belakang. Begitu juga dengan penggunaan cunduk jungkat
yang juga menghadap belakang. Untuk pemakaian ron sumping dan
giwang sama seperti penggunaan pada umumnya. Pemakaian perhiasan
seperti cunduk mentul dan cunduk jungkat menghadap belakang memiliki
maksud tertentu yaitu sebagai gambaran manusia bahwa manusia hidup
jangan tampak manis di depan saja, akan tetapi juga harus manis di
belakang juga jumbuh lahir dan batin (Sutiyah, wawancara, 1 November
2014).
Perhisan yang berada dibagian badan adalah kalung susun tiga, kelat
bahu, dan gelang. Perhiasan ini juga berwarna kuning emas. Kelat bahu
tidak terbuat dari kulit, akan tetapi terbuat dari logam. Begitu juga dengan
gelang yang digunakan dalam tari Bedhaya Luluh ini. Tidak terbuat dari
bahan yang elastis, akan tetapi terbuat dari logam pula.
47
Gambar 13. Kalung susun tiga (foto: Kingkin)
Gambar 14. Kelat bahu (foto: Kingkin)
48
Gambar 15. Gelang tangan (foto: Kingkin)
Untuk busana kampuh menggunakan kain dengan corak garuda dan
berwarna emas. Latar kain untuk bagian atas berwarna hitam. Kain
bagian bawah bercorak parang gurda dengan warna latar kain putih.
Penggunaan busana kampuh tidak menggunakan seredan. Kain diwiru
putri seperti memakai kain biasa.
49
Gambar 16. Kain untuk bagian atas (foto: Kingkin)
Kain yang digunakan untuk bagian atas demgan motif garuda dan
prodo emas. Prodo emas sendiri menggambrkan kejayaan dan kekayaan.
Maksudnya adalah menggambarkan kejayaan Yayasan Pamulangan
Beksa Sasminta Mardawa.
50
Gambar 17. Kain bagian bawah (foto: Kingkin)
Sampur yang digunakan berwarna hijau polos pada bagian
tengahnya, sedangkan bagian ujungnya bercorak cinde dengan warna
merah. Sampur yang digunakan berbeda dengan tari bedhaya di
Yogyakarta yang pada umumnya menggunakan sampur cinde. Warna
hijau pada sampur yang digunakan dalam busana Bedhaya Luluh
berbahan sifon. Pemilihan warna hijau melambangkan sebuah kesuburan.
Alasan penggunaan sampur motif gendhala giri adalah agar warna kostum
tidak mati dan tidak terlalu ramai. Motif cinde sudah diwakilkan pada
ujung kain sampur.
51
Gambar 18. Sampur yang digunakan dalam tari Bedhaya luluh
(foto: Kingkin)
Pada bagian perut setelah pemakaian sampur, digunakan pending.
Pending yang digunakan bukan terbuat dari kain. Akan tetapi terbuat dari
alumunium dan berwarna kuning emas. Pada bagian depan bercorak
garuda. Pending juga digunakan pada tari bedhaya di Yogyakarta. Tari
Bedhaya Luluh juga menggunakan keris. Keris yang digunakan tidak
terbuat dari besi, akan tetapi terbuat dari kulit dan berwarna hitam.
Sarung keris terbuat dari kayu. Keris yang digunakan ukurannya kecil.
52
Gambar 19. Pending (foto: Kingkin)
53
Gambar 20. Keris (foto: Kingkin)
54
BA B III
KONSEP W IRAGA, W IRAM A DAN W IRASA
DALAM TA RI BEDHA YA LULUH
A.
Dasar Konsep Tari
Konsep koreografi yang dimaksud adalah pemikiran-pemikiran
yang diterapkan guna mewujudkan suatu bentuk dan gaya dalam
susunan tari (Pudjaswara, 1982: 96). Secara konsepsional ada tiga aspek
yang terdapat dalam tari yaitu wiraga, wirama dan wirasa. W iraga adalah
konsep gerak, wirama adalah konsep irama dan wirasa adalah konsep
penjiwaan. Selain itu juga terdapat aturan-aturan dan kaidah yang
terangkum dalam patokan baku dan tidak baku. Unsur-unsur tersebut
selalu ada dalam setiap tari tradisi gaya Yogyakarta. Tari dikatakan indah
apabila ketiga unsur tersebut terdapat dalam tarian tersebut. Dalam tari
gaya Yogyakarta penari harus bisa menerapkan ketiga unsur tersebut.
W iraga berkaitan dengan gerak dalam suatu tari, baik itu rangkaian
ragam gerak maupun sikap gerak (Supriyanto, 2012: 4). W iraga dalam tari
merupakan aturan-aturan atau kaidah yang harus ditaati dalam
melakukan gerak. Gerak tari dikatakan indah apabila dilakukan oleh
penari secara optimal dan menerapkan aturan-aturan yang ada. Kaidah
dan aturan-aturan dalam tari Yogyakarta dapat dikelompokan menjadi
dua yaitu patokan baku dan patokan tidak baku yang nanti dijelaskan di
55
bagian berikutnya. Pada tari Bedhaya Luluh wiraga dapat dilihat melalui
ragam gerak atau motif gerak yang terdapat pada Bedhaya Luluh. Bukan
hanya motif gerak, wiraga juga dilihat dari sikap penari yang baik. Sikap
penari yang baik
dapat dilihat melalui kaidah-kaidah yang terdapat
dalam tari gaya Yogyakarta.
W irama berkaitan dengan irama, bukan hanya irama gendhing atau
musik tarinya, namun juga irama dan ritme gerak. Seluruh gerak harus
dilakukan selaras dengan wiramanya. Tari Bedhaya Luluh menggunakan
ladrang gati sapto untuk maju kapang-kapang menuju tempat pentas.
Gendhing gati sapto yang dibarengi terompet dan tambur atau drum dengan
irama lancar memiliki kesan semangat, tegas, agung dan berwibawa.
Dibagian kedua gendhing kemanakan luluh dengan irama dadi memiliki
kesan lembut, wingit dan agung. Kemudian dilanjutkan dengan gendhing
ladrang gumolong dengan irama dua atau tanggung memiliki kesan
kebersamaan dan persatuan serta kegembiraan. Hal ini terlihat pada
cakepan gerongan yang terdapat pada gendhing ladrang gumolong. Dibagian
lain juga terdapat gendhing ayak-ayak yang memiliki irama lembut
dilanjutkan dengan tempo cepat pada srepegan memiliki kesan keras dan
tegas. Dibagian akhir adalah ketawang manunggal dengan irama dua atau
tanggung yang memiliki kesan lembut dan berwibawa tetapi tegas.
Kepekaan irama gendhing dan irama gerak yang dilakukan oleh
penari Bedhaya Luluh tersebut akan memiliki kesan pantes, luwes dan
56
resik. Pantes yang dimaksud adalah serasi sesuai dengan proporsinya, baik
itu pantes dalam melakukan gerak-gerak tari putri dan pantes kaitannya
dengan perwatakan atau karakter tertentu. Luwes yang dimaksud adalah
nampak wajar, tidak kaku, enak dilihat, mengalir sesuai irama
gendhingnya. Kesan resik seorang penari dapat mengontrol dengan cermat
gerak yang dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku serta
memiliki kepekaan irama gendhing dan irama geraknya. Irama dan ritme
gerak dalam tari Bedhaya Luluh dijelaskan dalam sub bab pola irama dan
ritme gerak tari Bedhaya Luluh.
W irasa berkaitan dengan isi dari tari yang dibawakan. W irasa dapat
dilihat melalui sawiji, greget, sengguh dan ora mingkuh. Dengan
menerapkan keempat konsep joged mataram tersebut maka penari bisa
menyampaikan isi tari yang dibawakan. Konsep joged mataram dapat
dijabarkan sebagai berikut
a. Sawiji
Sawiji adalah konsentrasi dari seorang penari. maksud
dari
konsentrasi disini adalah dimana penari membawakan dirinya sebagai
peran yang ditarikan bukan sebagai dirinya pribadi. Sehingga karakter
yang dibawakan dapat muncul dalam dirinya (Supriyanto, 2012: 8). Sawiji
dalam tari Bedhaya Luluh dapat dilihat dari penari memasuki pentas
hingga keluar pentas. Para penari sudah tidak memikirkan hafalan,
57
mereka terlihat sudah menyatu dalam tarian tersebut. Gerakan dan musik
tari terlihat menyatu dan seirama. Sehingga penari terlihat sudah menjadi
satu (nyawiji) dengan tari Bedhaya Luluh.
b. Greget
Greget adalah rasa semangat yang ada dalam diri penari saat diatas
pentas (Supriyanto, 2012: 8). Greget timbul dari diri penari dengan
keinginan penari itu sendiri. Greget dalam tari Bedhaya Luluh bukan
berarti semangat yang berlebihan. Penari harus bisa menekan rasa
semangat tersebut karena tarian berbentuk bedhaya. Greget dapat dilihat
saat penari bergerak diatas pentas. Penari Bedhaya Luluh melakukan
gerak dengan sungguh-sungguh.
c. Sengguh
Sengguh adalah rasa percaya diri seorang penari saat membawakan
sebuah tari. Sengguh disini bukan berarti sombong, akan tetapi penari
harus bisa percaya diri dengan tari yang dibawakan sehingga rasa yang
akan disampaikan bisa ditangkap oleh penonton (Supriyanto, 2012: 8).
Dalam tari Bedhaya Luluh sengguh dapat dilihat saat penari melakukan
gerak dengan yakin. Mereka bergerak menurut kata hati mereka sendiri,
walaupun jumlah penari lebih dari satu akan tetapi mereka bisa
menyatukan rasa tari yang dibawakan.
58
d. Ora M ingkuh
Ora mingkuh adalah pantang mundur atau berani menghadapi
kesukaran apa saja saat pentas. Misalnya apabila penari sedang
mengalami
kurang
enak
badan,
maka
penari
harus
tetap
menarikandengan kaidah yang berlaku (Supriyanto, 2012: 8-9). Dalam tari
Bedhaya Luluh terlihat keteguhan untuk menyatukan prinsip-prinsip agar
menjadi satu organisasi. Penari juga terlihat teguh dan pantang mundur
dalam menghadapi rintangan dan tantangan saat membawakan tari
Bedhaya Luluh diatas pentas.
Selain itu wirasa dalam Bedhaya Luluh juga dilihat dari kemegahan
ditunjukan melalui busana yang serba emas, jumlah penari, selain itu
kebajikan dan kebesaran batin seorang penari dalam membawakan tari
Bedhaya Luluh. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat Soemarsaid
Murtono bahwa kultur kemegahan kesenian di keraton Yogyakarta
dtunjukan melalui kelimpahan harta yang melimpah, pameran pusaka,
kekayaan batin Sultan atau kebesaran raja, hiasan-hiasan dan pameran
tata busana kesenian serta sumber-sumber kekayaan yang melimpah
(Murtono, 1985: 86)
B.
Kaidah Baku atau Pathokan Baku
59
Kaidah baku atau pathokan baku adalah aturan pada tari gaya
Yogyakarta yang harus ditaati oleh penari putra maupun putri. Pathokan
baku tersebut meliputi sikap badan (deg), sikap dan gerak kaki, mendhak,
gerak leher, gerak cethik, pandangan mata (pandengan).
1. Sikap badan atau deg adalah ketika menari, sikap badan penari
harus selalu tegap atau dalam bahasa jawa disebut ndegèg . Untuk
mencapai sikap yang dimaksud adalah bahu tulang belakang
berdiri tegak dan bahu membuka, dada dibusungkan atau
disebut juga dada mungal, serta perut dikempiskan (bukan berarti
menahan nafas). Sikap badan seperti ini akan baik dilihat saat
penari menyajikan sebuah tarian diatas pentas. Penari harus bisa
bertahan dengan sikap tersebut dari awal masuk panggung
hingga keluar panggung atau berakhirnya tarian (Supriyanto,
2012: 9)
60
Gambar 21. Sikap badan tegap ( ndegèg). (foto: Kingkin)
2. Sikap dan gerak kaki dibagi menjadi dua yaitu bagian tungkai
atas dan jari-jari kaki. Ketentuan posisi kaki bagian tungkai atas
adalah pupu mlumah atau tungkai atas terentang, dengkul megar
atau lutut terbuka dan suku malang atau kaki melintang. Pada
61
bagian jari-jari kaki nylekenthing atau jari-jari kaki diangkat. Jarak
kedua kaki tidak terlalu lebar untuk tari putri. Jika diukur lebar
kaki selebar satu gengaman tangan (Supriyanto, 2012: 9)
Gambar 22. Sikap kaki pupu mlumah, dhengkul megar dan suku malang.
(foto: Kingkin)
62
3. Mendhak adalah posisi tungkai merendah. Posisi mendhak harus
dilakukan dengan tungkai terbuka. Posisi ini tidak terlalu rendah
dan tidak tinggi. Mendhak tergantung pada tinggi badan penari.
Terutama untuk penari bedhaya, karena ini adalah tarian
kelompok dengan tinggi badan yang berbeda maka ukuran
mendhak disesuaikan dengan tinggi badan masing-masing penari.
Sehingga saat menari tinggi badan penari terlihat sama. Pusat
gerak saat mendhak bukanlah pada tungkai ataupun tekukan
lutut namun pada cethik (Supriyanto, 2012: 9)
63
Gambar 23. Posisi mendhak (foto: Kingkin)
4. Sikap tangan yaitu jarak tangan dengan tubuh. Untuk tari putri
jarak tangan dengan tubuh selebar satu penthangan dan tidak
tinggi. Tinggi penthangan setinggi cethik. Saat tangan ditekuk
membentuk sudut siku-siku. Gerak tangan dipusatkan pada
pergelangan tangan (Supriyanto, 2012: 9-10)
64
Gambar 24. Jarak tangan dengan tubuh. (foto: Kingkin)
65
Gambar 25. Posisi tangan saat ditekuk tampak depan. (foto: Kingkin)
5. Pacak gulu atau gerak leher dipusatkan pada persendian kepala.
Dalam tari gaya Yogyakarta ada empat macam gerak leher yaitu:
pacak gulu baku kanan dan kiri, tolehan kanan dan kiri, coklekan
kanan dan kiri, dan gedheg . Untuk tari putri pacak gulu gedheg
66
tidak digunakan, karena gedheg digunakan untuk tari putra gagah
(Supriyanto, 10: 2012)
6. Gerak cethik atau pangkal tungkai atas merupakan bagian yang
sangat penting dalam melakukan gerak tari. Karena gerak tubuh
sebenarnya berpusat pada cethik (Supriyanto, 10: 2012)
7. Pandangan mata atau pandengan dalam tari tradisi adalah arah
pandangan kedepan menurut arah hadap muka, kelopak mata
harus terbuka (Supriyanto, 2012: 10). Untuk tari putri jarak
pandangan 2,5 kali tinggi badan dan mengarah ke bawah. Mata
tidak boleh sering berkedip dan bola mata tidak boleh melirik ke
kanan maupun ke kiri. Ini akan menimbulkan kesan kurang
konsentrasi pada penari. Pada tari Bedhaya Luluh juga
diterapkan hal tersebut. Terlihat saat pertunjukan berlangsung.
Pandangan mata penari tetap pada kaidah yang ditentukan dan
tidak melirik kemana-mana.
67
Gambar 26. Pandangan mata untuk tari putri. (foto: Kingkin)
C. Kaidah Tidak Baku atau Pathokan Tidak Baku
Selain kaidah baku atau pathokan baku, dalam tari tradisi juga
terdapat kaidah tidak baku atau pathokan tidak baku. Kaidah tidak baku
ini juga disebut dengan pathokan penyesuaian diri. Ada tiga pathokan
68
tidak baku yaitu luwes, patut dan resik. Luwes adalah sifat dimana penari
saat melakukan gerak tari tidak terlihat kaku dan tegang. Sehingga gerak
yang dilakukan mengalir dan tidak ada kesan dipaksakan. Penari akan
terlihat luwes dengan berlatih secara rutin. Patut yaitu keserasian dan
kesesuaian. Maksudnya adalah penari diperbolehkan melakukan ragam
gerak yang menyimpang asalkan sesuai dengan tari yang akan
dibawakan. Penerapan ragam gerak menyimpang diperuntukan bagi
penari yang mempunyai kekurangan fisik misalnya badannya terlalu kecil
sehingga posisi tangan disesuaikan dengan tubuhnya agar dapat terlihat
pantas atau patut. Apabila fisik penari sudah standart maka cukup
menerapkan patokan baku saja. Resik yang dimaksud adalah bersih dalam
melakukan gerak. Penari harus menguasai tiga macam kepekaan irama
agar dapat melakukan gerak dengan resik yaitu kepekaan irama gendhing,
irama gerak dan irama jarak. Selain itu penari juga harus menguasai
teknik-teknik gerak dengan baik agar gerak yang dilakukan tidak
berlebihan ataupun tidak kurang atau disebut dengan gerak yang resik
atau bersih (Supriyanto, 2012: 10).
D.
Pola Irama dan Ritme Gerak Tari
Dalam tari Bedhaya Luluh yang memiliki ragam gerak atau motif
gerak yang tidak jauh berbeda dengan ragam gerak bedhaya pada
69
umumnya. Ragam gerak yang digunakan dalam tari Bedhaya Luluh
antara lain sembahan, gudawa asta, ulap-ulap nyatok, nggurdha, jungkung
miling, lampah semang, impang ngewer udhet, kicat ngunduh sekar, ukel seduwo,
ukel tawing, encot-encot, bangomate, lampah sekar, dan kicat mandhe. Selain
ragam gerak tersebut, terdapat pula gerak penghubung antara gerak yang
satu dengan yang lain disebut sendi. Gerak
penghubung atau sendi
tersebut antara lain pendapan, kengser, tinting, trisig, nglereg seleh asta,
pendhapan, nyamber dan ngancap. Dalam setiap pergantian gerak, sendi
yang digunakan harus bisa menyatu dengan gerak selanjutnya. Pemilihan
sendi juga untuk mendukung pola lantai. Apabila pola lantai yang akan
dibentuk oleh penari jaraknya jauh dari tempatnya berdiri, maka sendi
yang akan digunakan anatara lain trisig, ngancap, nyamber dan lampah
semang . Gerak-gerak tersebut dilakukan dengan irama dan ritme gerak
yang selaras dengan irama dan ritme musik tarinya. Ada beberapa pola
irama dan ritme gerak tari yaitu ganggeng kanyut, prenjak tinaji, banyak
slulup, dan kebo manggah.
1. Pola irama gerak tari ganggeng kanyut biasa digunakan untuk tari
bedhaya, tari srimpi dan tari putra alus luruh gaya Surakarta.
Akhir dari gerak yang dilakukan selalu membelakangi pukulan
balungan yaitu pada akhir gatra suatu lagu. Gerak yang dilakukan
lebih mengalir, halus dan terlihat lebih lembut.
70
2. Pola prenjak tinaji adalah akhir dari motif gerak harus tepat pada
pukulan balungan. Pola irama ini biasanya dilakukan untuk putra
alus lanyap gaya Surakarta. Geraknya terlihat lebih tegas daripada
pola irama ganggeng kanyut.
3. Banyak slulup adalah pola irama gerak yang diterapkan untuk tari
gagah dugangan gaya Surakarta. Akhir motif gerak dilakukan
sedikit mendahului pukulan balungan.
4. Pola irama gerak kebo manggah biasanya digunakan untuk tari
gagah karakter raksasa. Pada prinsipnya akhir motif gerak
dilakukan tepat pada pukulan balungan pada akhir gatra dari musik
tari (Pudjaswara, 1982: 86)
Dari uraian diatas pola irama gerak prenjak tinaji yang mendekati
pola irama gerak yang digunakan dalam tari Bedhaya Luluh. Hal ini bisa
dilihat saat akhir dari ragam gerak tari Bedhaya Luluh selalu tepat
pukulan balungan. Pada dasarnya tari gaya Yogyakarta baik putra
maupun putri tidak ada pola yang membelakangi pukulan balungan
(ganggeng kanyut) atau biasa disebut gandhul. Pola irama gerak tari gaya
Yogyakarta akhir motif geraknya selalu dilakukan tepat pada pukulan
balungan pada akhir gatra dari gendhing atau biasa disebut midak irama.
Begitu juga dengan pola irama yang terdapat pada tari Bedhaya Luluh
71
yang akhir motif geraknya selalu midak irama. Tempo dalam setiap
ketukan selalu sama atau konsisten, dalam bahasa jawa disebut ajeg .
Irama gerak berbeda dengan ritme gerak. Ritme gerak berhubungan
dengan ketukan-ketukan yang digunakan dalam setiap gerak tari.
Ketukan-ketukan yang berirama ini bisa bersifat dinamis maupun datar.
Ketukan-ketukan dalam gerak tari dilakukan dengan tenggang waktu
tertentu atau disebut juga tempo (Pudjaswara, 1982: 88).
Ritme gerak dalam Bedhaya Luluh menggunakan ritme gerak yang
datar. Hal ini dapat dilihat dari bentuk tari putri yang bersifat halus,
lembut, runtut dan teratur. Setiap ketukan dalam geraknya pun berjarak
sama atau selalu ajeg. Alma M. Hawkins dalam bukunya Creating Through
Dance membagi ritme gerak menjadi dua macam yaitu even rhythm dan
uneven rhythm. Even rhythm adalah gerak datar atau ajeg, setiap ketukan
dilakukan sama dan berulang. Tempo gerak yang digunakan cenderung
lambat. Uneven rhythm adalah ritme gerak yang tidak rata, setiap
ketukannya tidak sama atau tidak ajeg dan lebih bervariasi. Uneven rhythm
lebih bersifat ritmis, geraknya lebih dinamis karena ketukan yang
digunakan tidak ajeg. Bedhaya Luluh lebih mengarah pada even rhythm.
Karena sifat geraknya yang lemah gemulai, halus, dan lembut serta jarak
setiap ketukannya sama membuat ritme gerak dari tarian ini datar.
72
E.
Pola Lantai Kaitannya dengan Gerak Tari Bedhaya Luluh
Pola lantai yang digunakan dalam tari Bedhaya Luluh berpijak dari
pola lantai bedhaya tradisi pada umumnya. Hal ini dikarenakan
koreografer ingin tetap mematuhi tata aturan pola lantai dalam tari
bedhaya tradisi walaupun dengan 18 orang penari. Pada tari bedhaya tradisi
sering diawali dengan pola lantai atau rakit lajur dan berakhir dengan
rakit tiga-tiga. Begitu juga dengan tata rakit atau pola lantai dalam tari
Bedhaya Luluh. Pola lantai atau tata rakit tari Bedhaya Luluh dimulai
dengan rakit lajur dan diakhiri dengan rakit tiga-tiga. Adanya dua peran
dalam satu posisi yang membedakan Bedhaya Luluh dengan bedhaya
tradisi pada umumnya. Penempatan posisi penari pada rakit lajur tidak
jauh berbeda dengan bedhaya pada umumnya.
Pemilihan sendi disesuaikan dengan pola lantai yang akan dicapai.
Bila pola lantai yang akan dicapai oleh penari jauh maka sendi yang
dipakai adalah sendi bergerak, seperti kengser, ngancap, trisig dan nyamber.
Jika pola lantai tidak berubah tempat maka sendi yang dipakai sendi
ditempat.
73
1.
Rakit Lajur
9a
8a
9b
8b
5a
4a
3a
2a
1a
5b
4b
3b
2b
1b
7a
6a
7b
6b
Tata rakit lajur tersebut mempunyai tata urutan yaitu: 1a dan 1b
adalah endhel pajeg, 2a dan 2b adalah batak, 3a dan 3b adalah jangga, 4a dan
4b adalah dhadha, 5a dan 5b adalah bunthil, 6a dan 6b adalah apit ngajeng,
7a dan 7b adalah endhel wedalan ngajeng, 8a dan 8b adalah apit wingking, 9a
dan 9b adalah endhel wedalan wingking. Untuk menuju pola lantai awal
seperti pada gambar, digunakan gerak kapang-kapang dari dalam
panggung menuju tengah panggung. Pada posisi rakit lajur hanya
kelompok pertama yaitu yang berawarna putih yang bergerak. Gerak
yang dilakukan adalah sembah, jumeneng ngregem udhet.
74
2.
Rakit Lajur
9a
5a
5b
4a
4b
8a
3a
2
7a
6a
9b
8b
3b
2b
7b
6b
1a
1b
Tata rakit tersebut masih berbentuk rakit lajur. Bentuk rakit lajur
kedua ini dilakukan dengan proses ngancap. Yang berpindah tempat
adalah kelompok satu atau yang berwarnah putih. Untuk kelompok
kedua atau yang berwarna hitam tetap ditempat. Saat pola lantai ini,
kelompok kedua baru berdiri.
75
3.
Rakit iring-iringan
9a
5a
4a
3a
8a
2a
1a
6a
7a
9b
5b
4b
3b
7b
8b
2b
1b
6b
Saat pola lantai atau rakit iring-iringan dicapai dengan apit wingking
dan apit ngajeng nyolongi, yaitu dengan kengser ke kiri. Gerakannya adalah
jungkung miling. Apit dan endel duduk jengkeng, sedangkan yang lain tetap
berdiri. Setelah pola lantai tersebut, endel dan apit masuk lajur, dan
membentuk pola lantai dibawah ini.
76
4.
Rakit
8a
9a
5a
7a
1a
4a
3a
2a
7b
1b
4b
3b
2b
6a
8b
9b
5b
6b
Gerak yang dilakukan pada pola lantai ini adalah impang ngewer
udhet dan pendhapan nyatok. Setelah pola lantai tersebut penari kembali
membentuk rakit lajur seperti pola lantai ke dua.
77
5. Rakit Lajur
9a
5a
5b
4a
4b
8a
3a
2a
7a
6a
9b
8b
3b
2b
7b
6b
1a
1b
Untuk proses pola lantai atau rakit lajur, gerakannya adalah kicat
ngundhuh sekar setelah itu ngancap. Endhel pajeg, apit ngajeng, apit wingking,
endhel wedalan ngajeng dan endhel wedalan wingking ngancap ke depan,
sedangkan yang lain ngancap mundur. Pola lantai atau rakit ini sama
dengan rakit lajur yang kedua. Pada pola lantai ini, dilakukan gerak ukel
seduwo.
78
6.
Rakit Tiga-Tiga
9a
4a
8a
5a
3a
6a
7a
2a
1a
9b
4b
8b
5b
3b
6b
7b
2b
1b
Untuk menuju pola lantai tiga-tiga digunakan gerak ngancap sebagai
transisinya. Dari pola lantai pertama sampai rakit tiga-tiga ini adalah pola
lantai baku dalam tari bedhaya tradisi. Pola lantai selalu berurutan seperti
yang sudah dijelaskan. Untuk pola lantai selanjutnya adalah rakit gelar.
Rakit gelar dalam bedhaya tradisi tidak selalu sama, hal ini tergantung
kreativitas dari koreografer dari tarian tersebut. Dalam Bedhaya Luluh
rakit gelar dimulai dengan rakit enem-enem. Untuk menuju rakit enem-enem
digunakan gerak thinthing.
79
7.
Rakit enem-enem
3a
9a
5a
3b
6a
7a
2a
5b
8a
2b
6b
7b
4a
4b
8b
9b
1a
1b
Pada pola lantai enem-enem sudah masuk bagian perangan dan mulai
menggunakan keris. Setelah ambil keris, trisig ubungan dan kembali ke
tempat semula. Gerakan pada bagian perangan adalah sudukan atau
tusukan keris. Pola lantai berikutnya masih termasuk dalam rakit gelar dan
masih perangan.
80
8.
rakit gelar
3b
9b
3a
7a
6b
6a
2b
5b
5a
7b
9a
4b
2a
4a
1b
1a
8b
8a
Pada pola lantai tersebut, penari saling adu siku. Gerakannnya
adalah sudukan, pendapan lalu nyamber kanan untuk membentuk pola
lantai selanjutnya yang masih termasuk dalam rakit gelar.
81
9.
Rakit gelar
8a
9a
8b
7b
2a
1a
4a
5a
4b
5b
6a
7a
6b
9b
3b
3a
1b
2b
Pada pola lantai ini gerakannya adalah sudukan. Setelah itu saling
membelakangi dan memasukkan keris. Lalu nyamber kiri. Selanjutnya ada
dua bentuk pola lantai yang menjadi satu antara kelompok satu dan dua.
82
10.
rakit tiga-tiga ing tengah
8b
4b
7b
9a
4a
8a
5a
3a
6a
7a
2a
1a
6b
3b
2b
5b
9b
1b
Pada pola lantai ini penari bagian luar duduk atau jengkeng,
gerakannya hanya ukel tawing. Penari yang ditengah berdiri, geraknya
adalah bangomate dan pendapan maju. Setelah itu lampah sekar dan ngancap
kanan membentuk pola lantai berikutnya. Penari bagian luar berdiri saat
penari yang berada ditengah mulai ngancap. Tata rakit berikutnya adalah
lingkaran atau blumbangan. Ada dua garis yang membentuk lingkaran.
83
11.
Rakit mandala
8b
4b
7b
8a
4a
6a
5b
6b
9a
1a
2a
9b
5a
3b
7a
2b
3a
1b
Pada pola lantai lingkaran atau rakut mandala ini gerakannya adalah
seduwo ngewas lalu ngancap kiri dan membentuk pola lantai selanjutnya
yaitu rakit sudut.
84
12.
Rakit Sudut
3b
1b
7a
6b
2b
8a
4b
8b
1b
9b
2
3a
3b
2b
5a
1a
4a
9a
7b
2a
6a
5b
1a
3a
Pada pola lantai sudut atau rakit sudut ini batak, jangga dan endhel
pajeg melakukan gerak lampah semang sedangkan yang lain jengkeng.
Lampah semang ini dilakukan zig-zag yaitu melewati penari yang
jengkeng. Setelah lampah semang, ngancap kanan dan menbentuk pola
lantai selanjutnya.
85
13.
4b
3b
5b
3a
1a
1b
2a
2b
8b
5a
8a
9b
6b
6a
9a
7a
4a
7b
Batak dan endhel sampir sampur dan berputar. Yang lain gerak puspita
kamarukan sekali lalu jengkeng . Endel dan batak kengser tumpang tali, saling
bertukar tempat. Dibawah ini posisi endel dan batak saat kengser tumpang
tali. Ini adalah pola lantai terakhir dalam rakit gelar.
1a
2a
1b
2b
86
14.
Rakit Tiga-Tiga
9b
4b
8b
5b
3b
6b
7b
2b
1b
9a
4a
8a
5a
3a
6a
7a
2a
1a
Setelah rakit gelar, pola lantai kembali seperti awal masuk, dimulai
dari rakit tiga-tiga. Untuk menuju pola lantai tiga-tiga ini dengan gerak
ngancap. Pada pola lantai ini geraknya adalah kicat mandhe. Setelah rakit
tiga-tiga menuju rakit lajur. Sebelum itu gerakannya adalah thinting kanan
encot-encot kemudian thinthing kiri. Mulai dari rakit tiga-tiga ini sampai
rakit lajur yang terakhir juga merupakan tata rakit atau pola lantai baku
dalam bedhaya tradisi. Bedhaya tradisi selalu berakhir dengan pola lantai
lajur atau rakit lajur.
87
15.
Rakit lajur
9b
9a
5b
5a
4b
4a
8b
8a
3b
2b
1b
3a
2a
1a
7b
6b
7a
6a
Pola lantai rakit lajur tersebut dicapai dengan thinthing dan encotencot. Saat akan membentuk rakit lajur yang terakhir, penari saling
bertukar tempat dan posisinya sama seperti rakit lajur pada awal
pertunjukan.
88
16.
Rakit lajur
9a
8a
9b
8b
5a
4a
3a
2a
1a
5b
4b
3b
2b
1b
7a
6a
7b
6b
Pada pola lantai terakhir yaitu pola lantai rakit lajur dilakukan gerak
sembahan. Rangkaian geraknya adalah ukel jengkeng, nglayang dan
terakhir sembahan. Setelah sembahan, penari berdiri lalu kapang-kapang
menuju luar panggung diiringi dengan gendhing gati sapta.
F.
M usik Tari Bedhaya Luluh
Kedudukan musik dalam tari adalah sebagai iringan ritmis gerak
tarinya dan sebagai ilustrasi suasana pendukung tarinya (Hadi, 2003: 88).
Dalam tari bedhaya musik tari sebagai suasana pendukung melalui tari
yang dapat dilihat melalu sindenan dalam tari bedhaya tersebut. Susunan
89
musik tari pada bedhaya tradisi di keraton Yogyakarta pada umumnya
lagon dilakukan dua kali yaitu sebelum gendhing gati dan setelah gendhing
gati jadi penyajiannya relatif lama. Pada tari Bedhaya Luluh susunan
gendhingnya tidak jauh berbeda dengan susunan gendhing bedhaya tradisi
keraton Yogyakarta (Muchlas, wawancara, 12 Desember 2014). Musik tari
Bedhaya Luluh
sedikit disingkat karena permintaan
koreografer,
alasannya adalah untuk mempersingkat waktu karena rangkaian acara
saat perayaan ulang tahun YPBSM sangat banyak dan untuk mengurangi
kejenuhan pada penonton. Jika lagon pada bedhaya tradisi pada umumnya
di Yogyakarta dilakukan sebelum gendhing gati, sebelum kandha pertama,
sebelum gati mundur dan setelah gati mundur. Lagon pertama biasanya
utuh atau disebut dengan lagon wetah. Dalam susunan gendhing tari
Bedhaya Luluh lagon dilakukan dua kali yaitu sebelum gendhing gati maju
dan setelah gendhing gati mundur.
Gendhing gati sapto yang pertama dan terakhir pada Bedhaya Luluh
digunakan untuk mengiringi kapang-kapang maju menuju tempat pentas
dan kapang-kapang mundur meninggalkan tempat pentas. Setelah itu kandha
dalam kandha menceritakan isi dari tari tersebut, hal itu dapat dilihat dari
kandha yang berbunyi sebagai berikut:
… lelangen beksa bedhaya, katengeran asma bedhaya luluh, pinangka tepa
palupi, manunggaling Mardawa Budaya kalawan Pamulangan Beksa
Ngayogyakarta, ingkang wus luluh, wonten ing Yayasan Pamulangan
Beksa Sasminta Mardawa…
90
…yang diberi nama Bedhaya Luluh, sebagai suri tauladan wujudan
menyatunya Mardawa Budaya dengan Pamulangan Beksa
Ngayogyakarta yang sudah menjadi satu keutuhan tak terpisahkan,
dibawah payung Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa…
Dalam kandha tersebut jelas diceritakan bahwa tari tersebut diberi
nama Bedhaya Luluh dan menceritakan tentang bersatunya Mardawa
Budaya dan Pamulangan Beksa Ngayogyakarta dan debri nama Yayasan
Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa. Saat kandha penari duduk sila
panggung. Setelah kandha terdapat bawa sekar kemudian masuk gendhing
kemanakan luluh. Suasana yang timbul adalah agung dengan suara
kemanak. Dalam kandha menceritakan perjalanan Yayasan Pamulangan
Beksa Sasminta Mardawa dengan sindenan sebagai berikut:
Apan sampun seket warsa yuswa,
nadyan dereng kraos lungse,
Jejer wiyata luhung
Telah mencapai usia lima puluh tahun
Meskipun belum terasa tua
Eksistensinya sebagai pendidikan budi pekerti yaitu melalui
pendidikan tari
Setelah
kemanakan
luluh
masuk
ladrang
gumolong.
Ladrang
gumolong menggambarkan tekat YPBSM untuk melestarikan kebudayaan
jawa. Hal ini dapat dilihat dalam sindenan sebagai berikut:
Anggung gumregut marsudi
Pangundining reh budaya
Tarlenmuhung angleluri
Tekat dan semangat yang membara
Dalam pelestarian dan pengembangan budaya
Tiada lain senantiasa melestarikan
91
Setelah
ladrang
gumolong
masuk
ayak-ayak
srepeg
untuk
mengiringi perangan. Setelah perangan masuk gendhing ketawang
manunggal. Dalam gendhing ketawang manunggal terdapat rep kandha.
Dalam rep kandha menceritakan manunggaling kawula gusti dalam bentuk
rakit tiga-tiga. Hal itu tampak dalam kandha sebagai berikut:
Anenggih punika, hingkang kapirsa hing hudyana, nenggih tata rakit tigatiga, pinangka cihna manunggaling kawula gusti sarta bawana, minangka
pralambang kasampurnaning gesang…
Inilah yang tampak dalam pola lantai tiga-tiga sebagai perwujudan
simbol manunggaling kawula gusti dan jagat raya, sebagai lambing
kesempurnaan hidup…
Musik tari untuk Bedhaya Luluh adalah laras pelog pathet nem.
Susunan gendhingnya adalah sebagai berikut:
1. Lagon penunggul dilakukan oleh koor putra, dilanjutkan
dengan gandhing gati sapta berbentu ladrang untuk mengiringi
kapang-kapang majeng. Dalam gendhing gati sapta ini, selain
gamelan ada juga alat musik lain yaitu terompet dan tambur.
Tambur adalah alat musik yang mirip dengan senardrum.
2. Setelah gendhing gati sapta dilanjutkan dengan kandha dan bawa
sekar. Saat kandha dan bawa sekar, penari duduk sila panggung.
3. Dilanjutkan dengan gendhing kemanakan luluh. Saat gendhing
kemanakan luluh ini penari mulai menari diawali dengan
sembahan pada gong 1. Setelah itu dilanjutkan dengan ladrang
gumolong, minggah ayak-ayak.
92
4. Setelah itu masuk srepeg untuk mengiringi perangan. Setelah
perangan
penari
diiringi
dengan
gendhing
ketawang
manunggal pada saat ini disisipi dengan kandha rep-repan.
Selanjutnya adalah gendhing gati sapta untuk mengiringi
kapang-kapang mundur dan yang terakhir adalah lagon jugag
Notasi dan sindhenan dalam tari Bedhaya Luluh:
3. Kandha
Sabetbyar wauta, anenggih i ngkang pinur weng kandha, lelangen beksa
bedhaya, katenger an asma bedhaya luluh, pinangka tepa palupi, manunggaling
Mar dawa Budaya kalawan Pamulangan Beksa Ngayogyakar ta, ingkang wus luluh
wonten ing Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mar dawa i ng Ngayogyakar t a
Hadiningr at. Wondene wi gatining hudyana, hanenggih jangkep seket war sa,
anggenya nggegul ang budaya.
Wauta, par a dyah ingkang ar sa ambegsa, dhasar maksih kenya taruna,
sulistya i ngkang warna, baut wir aganing beksa, yen sinawang saking mandr awa,
tuhu pantes tinengahing bawa sw ar a.
93
".
....
6
5
i
6
Ka - wur- si- ta
i
1\
- nu
1
-
1
~
---
-
ya
123
1
di -bya
1
@
rna - ne
~
,.'
6
1
57 .
6
ii i
5
6
23
-
dar
6
'1
Ka-wur Ka-lu
1
2
1
~
si
-
ii
.i
,
I
nar- di
3
i
A
1
6
3 -....i3 ,i
i
-
-Nu - ra
-
A-pan sam
1
1
1
2
1
1
Nawung
Nadyan
made
-
- di
5
2
3
5
.3 1
23 3
su-jan-ma su-di-bya
pun
sa-kat warsa yus-wa
2
6
ta
6
bu
ga
6
2
-
pam
Pa-nga-jab
2
23, i
,1
Wa-ra- na
3
ta
@
1
j
-
lu - sa
3
f.
ii ,i
3
'----'
su -
5. GeDdbiDq Lul.ub, pl..oea
2
i
nar-di
wi-
.2.
12 3
ta
na
3
5
6
Na-wung rna
-
iii
'--'
:'Ju- jan - ma
ga
21
23
1
ra
6
"--'
ra ~
wa-
ii
i
3
6
1
~
reng
2
1
ya
kra
3
1
3
.2. .1
,
@
23. 2
dar - ma
- nit
-
lung- se
os
94
2
3
3
6
~
Je
-
jer
wi-ya - ta
7
6
,5
.7, 6
5
3
5,
6
5
6
3
5
@
5
6,
ngen
2
3
3
2
3
,
~ru
2
1
7i
1
2
sa
ya
6
2
rna -
?
6
1
1
2
-
5
6
2
6
i
1
3
.2 1
ran
rna
dir
qa
2
-
sa
1a
1
3 i
i
ngu ha
1
23, 2
ngu -rna
-
3
®
ra
3
i
5
yek- ti
3
,
3
nges- thi
tu -tug
1
hunq
Ia
Nges- thi
i
junq
Eng-gih
lu-ngld -lng
6
-
nun
Iu
Nglu- luh
5
21 6
1
eu
,g
6
Go-tra
-
6
gu
1
-
3
ji
...,
Eng-gih
1
Ga- ga
.3
2
ja- Iu
2
6
1
6
mat
ta
6
6
-
~an
1
2
Ji
5
6
6
5
1
1
-
yu
3
i
lun
@
2 2
Ra
ras
Ra
ras
j
95
6
6
5
1
5-
5
Runq-rum-
2
5
6
3
.5 5
.6 6
Den
wi
6
,6
-~
8ek
!
(;
.3
5
5
6
5
5a:5 -
min
ta
-
tarn
an
5
3
®
3
2
3
5
-
- Pol
-
flU
5
7
5
'l'Ie
5
3
5
myllng
3
6
5
3
5
-
lat
6
./
ar
mar
'-
ruk
ar -
kol
6
sa
Wu
5
3
2
3
'---.J
rum
5
5
nan
3
Den
6
6
ri -
,~
6
1
jng
Res-mi
2
5
6
ing
6
5
6
ya -
na
-
na
ya
,7
- wa
da
-
-
wa
~
qen
?
ton
5
6
67 5
6
-
dhing
ngu -
,.)
3
2
3
1
-
wa
ma -
nu
gar
-
ni
®
1
2
3
2
'---------'
pu - tra
-
ha - ra
@
1
"
~
T~.
s.
.6 6
eng-ge
J..dzoaDIJ
Lck. CihDoloaa
2
3
:2
2
1
3 :2
i
6
i
j
5
6
5
3
5
6S 3
'----'
Anggung gu- mre
-
gu t mar
s-a
-
mek-tenq
A-pan wus
2
-
!5U
-
di
kar -ya
96
5
5
6
7
6
7
,
6
5
Pa - ngu
2
3
~
1
2
.
1
1
i~ ,
O-l a h
2
3
2
i
i
. ~
,
-
2
i
j
i
,1
Da-ra-pon
Nggegulang
6
5
3
1
3
1
6
'-----A'
Ni-ngan
da-ni
-
ngle
-
j,
2
1
,
- tan
7
6
3
.5
.7 6
3
3
ri
nget - i
2
@
i,
6
lu -
ngid
war -
si
6
bu -
lu -
.IM-l
da
5
6
'----"
me -
6
3
5
5
2,
2
hu
5
j
2
da-ya
ket
1
2
bu -
nq~
wu s se -
3
3
SIU
le-la
Jangke p
~
har-gyan
j
3
6
a
3
5
,
5
mu- hung
-
pa
3
~ung
3
--------
Tar -len
Hing
2
5
reh
3
1
6
6
'----'
mi-tra
1
3
3
6
di-ninq
pra
Mrih
3
5
2
3
5
65 3
,
ka -
1u - lun
1u - hur
da-ya
5
3
36 •5
3,
\....J
2
2
2
Ing -kang
bu-da - ya
man-ca
Tu - Ius
i-k1as- inq
na-la
2
3
1 2
------..
3
rna - rna
Lu- mak- swenq j ro
6
5
~
-
3
5
3
5
5
6
5
3
'--J
nqun
mar -
ta - ni
tyas
a
-
we -ning
97
,
2
2
3
1
3
i
i i 3 i
i
.@
1
2
j
.2 i 2i
l'.at1ng ngre-pi rengqa '11,1- mo- long ing
, . .,
~r
1
~
kar,~
.yak-.yak : (1l1ibu keclaa)
1 2 3 2
1
Ma-dhep
ma
!a- ' -
n t~b
. ... . . .
7.
6
~
1 2 3
yeq ma- nung-qal karsit
.
....
,2 1 21 6
'
..
~
.2.6 .2.6 .2.6 .2.6 . 6. 6656 2353 2121
2321 2321 65.2 3565 66.7 5676 767. 7656
123~.5
235~
5323
5653 5653 55.2
356~
3232 6535 3232 6535 2454 5654 2132 l~
.~12
l~
a.
.~12
1~
IE!D!f
~6i;
6265 3123 5653 5653
5235 3235 3235 2454
21~
9. It!. IIpppcIBl
Anenqqih punHa,
tl.ga-tiqa,
hingkang
kapirsa ing hudyana,
pinangka cihna manungga lng
kawu14
nenggih
t~a
raid
gU,tl ,arta baw4na,
minanqxa pralambanq kasampurnaninq qesanq. inqkanq jinanqka. numusinq
qe:sanQin'1 pamu anClon bek:::a
udya,
!5Al5mlnta
sarta manun99A axen tekad,
ngr@mbaka
4r
mardawa, n9genya mang9010nqake
nqleluri
kabudayan luhur.
angambar ing saindenqing bawana,
UU'ih
98
1
1
1
i
1
2
1
i
.6 6
ii i
-------.J
Ing
pam
~
-
bu
-di
Ri- wus - nya 1u2
6
1
6
6
6i 6
Pra wa-dya
luh
3
~/'I
1
i , .i
i
mi
su -
sa- e 2
1
j
i i
i
6
5
~
ka
6
j
i
6
®
j
-
i
wi
kap
ti
5
4
5
5
.6 4
56 5
Sung pi-sung -sung wur-ya-ning wardaya
Pin-dha ma - nung -sa
6
5
6
2
1
. i "i - -j' i
'---'
Ra - me
ru - ma -
Ye- ku
nya -ta
5
1
6
5
6
Karya
5
6
5
~
7
5
7
sam
2
Ie -
6
5
6
5
tang -guh
Ka-san
to -san
4
4
6
5
mang-ke
sa -
-pur - na - ne
2
3
i
1
Tanggap
5
'---J
gang
Gesang ing
6
6
'---'
@
4
6
1
i
la-wan gustine
j
1
j
2
'-----.-J
i
la-ngen
lu - hung
bu-di
1u - hur
6
4
ta-ya sa
dhireng pri
®
2
4
S
2
'---'
-
1
yel< - ti
-
ba
di
1
99
6
2
1
1
6
3
2
2
3
'----"
-
Ha m
-
a
1
bek
3
.1
6.
-
kia
2
2,
3
1
1
3
-
ra
dar
La
-
ras
lu
-
-
3
3
2
Lak-sa
-
reh
na
6
5
. dri- ya
5
6
5
p
4
2
4
5
,
'-----.J
-
Rat
Den
2
2
rna - gut.
rna
jum
3
5
2
5
63 2
5
, - - - -.'
-
ras ru
E-ling
mr i ng hyang
6
5
6
1
1
1
2
U-..---.J
-
tu
Ti - ti
pur -
1
2
,1
2
@
1,
6
-
na
5
3
2
5
.6
53, 2
-
ruh res
5
3
2
5,
3
ius
rna
na
n i ng
tri
-
pa
ti
wi - dh i
ma-h a
2
,
Ta- tas
ta - man
rna
Ri-na -
5
dha -ya
pra
3
- bu h
ru s
ra
2
5
2
ka-u -
3
2
®
6
1
na
2
2
- nya
tin
arn- be -
2,
2
6
ra - ga
~
Ning i ng
2
6
2
2
1
5
1
Di
2
5
wan ba -
2
2
2
3
ha-n u -~a
h ir
1
5
®
2
2
3
'-----.J
-
1
nung - gal
gi -
a
100
(Melati, 2012: 178-186)
G. Isi dan Norma Tari Bedhaya Luluh
Bedhaya Luluh disusun oleh Siti Sutiyah dan dipentaskan pertama
kali dalam rangka ualang tahun YPBSM yang ke 50 pada tahun 2012.
Bedhaya Luluh terakhir dipentaskan pada tanggal 27 Juni 2014 di Concert
Hall taman Budaya Yogyakarta dalam rangka rekonstruksi beksan dan
karya maestro yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Ide penggarapan Bedhaya Luluh muncul dari cerita
101
bersatunya Mardawa Budaya dan Pamulangan Beksa Ngayogyakarta
yang kemudian diberi nama Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta
Mardawa. Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa bergerak
dalam
bidang
pendidikan
dan
pergelaran.
Pendidikan
tari
diselenggarakan secara sistematis, mulai dari anak-anak hingga dewasa.
Di bidang pergelaran bergerak dalam pementasan-pementasan karya tari
didalam maupun luar negeri.
Kata luluh diambil karena tema dari tarian ini yaitu kemanunggalan.
Luluh berarti menjadi satu, bukan hanya sekedar dua menjadi satu tetapi
melebur dalam arti prinsip dan pemikiran-pemikran yang sama. Dalam
tari Bedhaya Luluh menceritakan bersatunya dua organisasi tersebut serta
perjalanannya dalam bidang seni tari Jawa setelah menjadi yayasan
selama 50 tahun.
Penari dalam bedhaya tradisi pada umumnya adalah sembilan orang
penari putri dengan peran yang berbeda-beda. Posisi tersebut mempunyai
makna dan peran masing-masing. Menurut Brongtodiningrat angka
sembilan tersebut menggambarkan tentang lubang dalam tubuh manusia
yaitu dua lubang mata, dua lubang hidung, dua lubang telinga, satu
lubang mulut, satu lubang kemaluan dan satu lubang dubur (Pudjaswara,
1982: 41). Selain itu juga ada pendapat lain tentang angka sembilan pada
jumlah penari bedhaya, posisi tersebut menggambarkan perwujudan
manusia, yaitu kepala (batak), leher (gulu/jangga), tangan kanan (apit
102
ngarep/apit ngajeng), tangan kiri (apit mburi/apit wingking) , kaki kanan (endel
weton/endel wedalan ngajeng), kaki kiri (apit meneng/endel wedalan wingking),
hawa nafsu (endel ajeg/endel pajeg) dan organ seks (buncit/bunthil) yang
terlihat didalam pola lantai rakit lajur (Sutiyah, wawancara, 1 November
2014).
Selain pengertian diatas lambang sembilan sangat berarti bagi
masyarakat Jawa, sehingga semuanya dilestarikan didalam lingkungan
kaum ningrat Jawa.
Khususnya simbol nilai sembilan ini berperanan
penting didalam upacara-upacara besar di Keraton Yogyakarta.
Jumlah
putri pengiring yang membawa ampilan Dalem ada sembilan orang
dengan jumlah ampilannya sembilan macam. Lambang nilai sembilan
juga dianggap sebagai penggambaran tentang jumlah wali (wali sanga)
didalam agama Islam Jawa (Bambang Pujasworo, 1982 : 46).
Siti Sutiyah sebagai penata tari Bedhaya Luluh menggambarkan
angka sembilan sebagai penggambaran tubuh manusia. Peran dan posisi
penari pada tari Bedhaya Luluh menjadi dua kali lipat, tetapi kedudukan
tetap sama dengan peran dan kedudukan pada penari bedhaya pada
umumnya. Batak dan endhel pajeg berperan penting dalam tarian ini. Batak
dan endhel merupakan simbol akal pikiran dan nafsu manusia. Didalam
rakit gelar tari bedhaya endhel pajeg dan batak merupakan hal yang penting
dan memegang peranan yang baku, sedangkan ketujuh penari yang lain
bersifat konfiguratif.
Dalam tari bedhaya yang
bersifat tematis, maka
103
penggambaran
ceritanya
digambarkan endhel pajeg
diletakan
pada
bagian
ini.
Selanjutnya
berusaha untuk menaklukan batak.
Namun
akhirnya diantara keduanya tiada satupun yang kalah dan yang menang,
tetapi keduanya akan tampak bersatu menjadi loro-loroning atunggal.
Loro-loroning atunggal merupakan kesatuan tunggal dari kedua sifat
yang kontradiktif atau berlawanan. Sifat-sifat tersebut pada hakekatnya
adalah suatu keadaan yang kodrati. Semua yang ada di dunia ini pada
dasarnya diatur adanya sifat yang serba dua yaitu: baik dan buruk, benar
dan salah, keras dan lembut, hitam dan putih, tinggi dan rendah, lurus
dan lengkung, halus dan kasar , mikro dan makro dan sebagainya. Dalam
alam semesta kedua sifat itu saling menekan saling menguasai dan saling
mempengaruhi. Sehubungan dengan itu konflik-konflik endhel pajeg dan
batak hingga mencapai loro-loroning atunggal disajikan secara simbolisasi
dari dua sifat yang berlawanan dan kemanunggalannya.
Pada rakit gelar Bedhaya Luluh batak dan endhel pajeg luluh menjadi
satu yang disimbolkan dengan gerak kengser tumpang tali. Dalam tari
Bedhaya
Luluh
gerak
tersebut
menyimbolkan
bersatunya
kedua
organisasi dalam satu payung yayasan. Luluh disini bisa juga berarti
luluhnya pikiran manusia dan keinginan hati manusia itu sendiri. Dimana
pikiran dan keinginan hati berjalan beriringan. Jadi antara pikiran dan
keinginan hati tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah atau bisa
juga disebut dengan loro-loroning atunggal.
104
Makna tiga tari bedhaya dapat dilihat dalam komposisi rakit tiga-tiga
sebelum rakit gelar. Formasi itu nampaknya mempunyai hubungan
Tryaksara sebagai
lambang kesuburan Tri Murti dalam konsep agama
Hindu. Seluruh proses bedhaya sejak awal sampai akhir disertai lambang
kehidupan dalam pengertian totalitas sebagai wujud yang mulai lahir
proses kehidupan itu senantiasa terkait tiga demensi waktu dilam suatu
wadah yang tunggal yaitu lahir, hidup, dan mati (purwa, madya, wusana).
Ketiganya adalah telu-teluning atunggal dalam kesempurnaan dari seluruh
proses hidup. Demikian pula mati merupakan puncak kesempurnaan,
yang didalam filsafat Jawa dikatakan Sampurna kuwi kang wus mati
(Bambang Pujasworo, 1984 :36).
Atas dasar pemahaman itu, manusia
selalu sadar alam kesesuaian jangkah dan jangka, sehingga yang hanya
tinggi kualitasnya saja yang berhasil. Namun proses purwa – madya –
wasana yang juga berarti laku sekaligus lakon itu terjadi secara lambat
tetapi pasti. Segala sesuatunya seperti bergerak sendiri-sendiri tetapi
hakekatnya dalam keserampakan
terpadu. Begitu juga tari Bedhaya
Luluh yang menggunakan rakit tiga-tiga dalam pola garapnya. Konsep
telu-teluning atunggal masih diterapkan dalm tari Bedhaya Luluh. Maksud
dan pesan yang disampaikanpun tidak jauh berbeda dengan makna dari
rakit tiga-tiga itu sendiri.
Pada
bagian
perangan
keris
dalam
tari
Bedhaya
Luluh,
menggambarkan tentang perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi
105
yang telah menjadi satu. Sebuah organisasi pasti ada konflik didalamnya,
akan tetapi konflik tersebut bertujuan untuk kemajuan organisasi tersebut.
Perjuangan untuk menyatukan dua organisasi menjadi satu organisasi
yaitu Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa. Peperangan
tersebut juga bisa digambarkan sebagai peperangan antara pikiran dan
keinginan hati manusia. Saat manusia itu bisa mengendalikan dan
menyelaraskan antara hati dan pikiran maka pikiran dan hati itu akan
bersatu.
Walaupun tari Bedhaya Luluh ditarikan oleh 18 orang penari, tetapi
pada dasarnya mereka hanya sembilan orang, sedangkan sembilan orang
penari yang lain adalah sebuah bayangan. Seperti halnya manusia yang
selalu diikuti oleh bayangannya sendiri dan tidak dapat terpisahkan.
Banyak nilai yang disampaikan dalam tari Bedhaya Luluh selain cerita
bersatunya dua organisasi yang luluh dan menjadi sebuah yayasan.
Segi etika dan norma yang diterapkan di dalam kehidupan seharihari dari lingkungan masyarakat dimana tari bedhaya tersebut tumbuh
dan berkembang, tidak dapat diabaikan didalam penyususnan tari bedhaya
gaya Yogyakarta. Etika yang dimaksud berupa etika praktis, artinya yang
menyangkut tata susila, dan tindakan baik buruk didalam kehidupan
sehari-hari masyarakat jawa. Kemudian yang dimaksud dengan norma
adalah segala tata aturan tradisi baik itu berupa aturan tertulis maupun
lesan, yang diterapkan demi terwujudnya pola tingkah laku
dan
106
pelaksanaan tata susila masyarakat Jawa. Walaupun keduanya secara
teoritis berbeda, akan tetapi dalam pratek hidup sehari-hari antara norma
dan etika tetap merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Oleh sebab itu norma dan etika
akan dihayati sebagai
suatu
kenyataan tunggal, yang secara bersama-sama akan membentuk suatu
pola tingkah laku manusia dan masyarakat Jawa. Selain itu terdapat pula
sikap susila yang diterapkan oleh masyarakat Jawa. Sikap susila terhadap
alam diwujudkan melalui tingkah laku atau tindakan yang selaras dengan
dunianya, salah satunya
dengan pelestarian alam dan pemeliharaan
lingkungan hidup. Dengan demikian tingkah laku orang Jawa dianjurkan
untuk penuh rasa susila, penuh tatakrama, penuh rasa hormat, berbudi,
halus, sopan, dan sebagainya.
Penggarapan tari Bedhaya Luluh juga berdasarkan etika dan norma
yang berlaku pada bedhaya tradisi pada umumnya. Tari Bedhaya Luluh
masih penuh dengan rasa susila, tata krama, rasa hormat, berbudi, halus,
sopan dan sebagainya terlihat dalam gerak-gerak dan aturan-aturan yang
terdapat dalam tari Bedhaya Luluh. Aturan dan norma serta etika masih
dipegang teguh dalam penyusunan tari Bedhaya Luluh, dimana gerak,
pola lantai dan musik tarinya masih memegang prinsip-prinsip tari
bedhaya tradisi pada umumnya.
107
BA B IV
Penutup
A . Kesimpulan
Tari Bedhaya Luluh disusun oleh Siti Sutiyah pada tahun 2012 untuk
merayakan ulang tahun emas YPBSM. Tari Bedhaya Luluh yang ditarikan
oleh 18 orang penari putri menceritakan tentang bersatunya Mardawa
Budaya dengan Pamulangan Beksa Ngayogyakarta yang kemudian diberi
nama Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa atau YPBSM. Posisi
penari sama dengan penari bedhaya pada umumnya, yaitu batak, endhel
pajeg, jangga, dhadha, bunthil, apit ngajeng, apit wingking, endhel wedalan
ngajeng dan endhel wedalan wingking. Rias Bedhaya Luluh menggunakan
paes ageng sedangkan busananya menggunakan kampuh alit dengan sampur
gendholo giri berwarna hijau. Tari Bedhaya Luluh diawali dan diakhiri
dengan kapang-kapang menuju tempat pentas menggunakan gendhing gati
sapto. Tari Bedhaya Luluh tetap menggunakan gerak-gerak klasik tari
putri gaya Yogyakarta.
Pengkajian dasar-dasar konsep koreografi tari Bedhaya Luluh telah
diuraikan secara utuh. Pengertian utuh disini dapat diimplementasikan
melalui struktur gerak pelaksanaan teknik menari serta penjiwaan dalam
membawakan sebuah bentuk tari. Secara konseptual kehadiran bentuk
tari Bedhaya Luluh dapat dilihat dari wiraga, wirama dan wirasa yang
108
semuanya dijiwai oleh filosofi joged mataram yang terdiri dari sawiji,
greget, sengguh dan ora mingkuh. W iraga dimana didalamnya terdapat
kaidah-kaidah yang berlaku dalam melakukan gerak tari. Kaidah-kaidah
tersebut dibagi menjadi dua yaitu kaidah baku dan tidak baku, dimana
kaidah-kaidah tersebut harus diterapkan oleh penari Bedhaya Luluh.
W irama dalam tari Bedhaya Luluh dapat dilihat melalui gendhing tarinya
sedangkan pola irama geraknya menggunakan prenjak tinaji.
Ritme gerak tari Bedhaya Luluh adalah datar karena jarak setiap
ketukan sama atau ajeg. W irasa merupakan aspek penjiwaan tari.
Penjiwaan tari tidak lepas dari wiraga, wirama dan wirasa yang nantinya
akan dijiwai oleh sawiji, greget, sengguh dan ora mingkuh, yang harus
diterapkan penari agar bisa menyampaikan pesan yang dibawakan oleh
penari. Pesan yang dibawakan oleh penari bukan hanya cerita tentang
Mardawa Budaya dan Pamulangan Beksa Ngayogyakarta yang luluh
menjadi satu, akan tetapi juga tentang bagaimana manusia harus bisa
menyelaraskan pikiran dan keinginan hati manusia itu sendiri. Hal ini
dapat dilihat pada pola baku gerak tari, pola lantai, urutan gerak, musik
tari, tata rias dan busana serta pola tata hubungan yang melatar belakangi
suatu genre tari.
109
DA FTA R A CUA N
Kepustakaan
Anisa, Indah Kurnia. “ Analisis Koreografi Tari Bedhaya Luluh Karya Siti
Sutiyah” , skripsi S1 Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2014.
Dewi, Nora Kustantina. Religio Magis Dan Makna Simbolis Tari Bedhaya
Ketawang, Surakarta: Jurusan Tari Sekolah Tinggi Seni Indonesia,
2002.
Gie, The Liang. Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan), Yogyakarta: Karya,
1976.
Hadi, Y Sumandyo. Aspek-Aspek Dasar Koreografi Kelompok, Yogyakarta:
eLKAPHI, 2003.
Langer, Suzanne K. Problematika Seni. Terj. FX. Widaryanto. Bandung:
ASTI, 1988.
Murtono, Soemarsaid. Usaha Bina Negara Masa Lampau, Jakarta: Yayasan
Obor, 1985.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1984.
Prabowo, Wahyu S. dkk. Sejarah Tari Jejak Langkah Tari Di Pura
Mangkunegaran, Surakarta: ISI Press, 2007.
Pudjaswara, Bambang. “ Studi Analisa Konsep Estetis Koreografis Tari
Bedhaya Lambangsari” skripsi S1 ASTI Yogyakarta, 1982.
Rahayu, Nanuk. “ Bedhaya Kaduk Manis Dalam Ritual Perkawinan
Agung Di Keraton Surakarta.” Tesis S2 Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada, 1994.
Sedyawati, Edi. Pertumbuhan Seni Pertunjukan Indonesia. Jakarta: Sinar
Harapan, 1981.
Sutiyah, Siti. “ Sinopsis Tari Bedhaya Luluh” dalam Ed. Anastasia Melati
dan Kuswarsantyo Condroradono, Melacak Jejak, Meniti Harapan.
Yogyakarta: Basonta Printing Station, 2012, 176-194.
110
Sugiyono.Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta CV, 2012.
Supanggah, Rahayu. Bothekan Karawitan II: Garap, Surakarta: ISI Press,
2003.
Supriyanto. “ Kontribusi Busana Terhadap Estetika Tari Bedhaya” , Greget
Jogedd Jogja (Januari 2012a): 151-163.
--------------. “ Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta Perspektif Joged
Mataram” , Joged Jurnal Seni Tari 3, No 1 (Mei 2012b): 1-13.
Suryadiningrat. Babad Lan Mekaring Djoged Djawa, Yogyakarta: Kol
Buning, 1934.
Waridi. Seni dalam Berbagai W acana, Surakarta: Program Pasca Sarjana STSI
Surakarta, 2003.
Wibowo, Fred. Tari Klasik Gaya Yogyakarta, Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 2002.
Wijanarko, Fajar. “ Potret Eksistensi Tari Klasik Bedhaya Luluh sebagai
Pendidikan Karakter Bangsa” , Penelitian Universitas Gadjah
Mada, 2012.
Diskografi
Dinas Keduyaan DIY, Rekonstruksi Beksan dan Karya Maestro, Produksi
Dinas Kebudayaan DIY, Yogyakarta, 2014.
TVRI, Joged, Produksi TVRI Yogyakarta, Yogyakarta, 2012.
Narasumber
Siti
Sutiyah (69 tahun), Koreografer Bedhaya
Pujokusuman MG I/ 348, Yogyakarta.
Luluh,
nDalem
111
Muchlas Hidayat (29 tahun), Guru SMK N 1 Kasihan Bantul, Banyubening
1, Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul.
Wahyu Santosa Prabowo (62 tahun), Dosen ISI Surakarta, Perumahan
Mojosongo Pratama blok B no. 9, Jebres, Surakarta.
112
GLOSA RIUM
Ageng
: Besar
Ajeg
: Tetap, selalu sama
Alit
: Kecil
Apit
: Nama posisi penari bedhaya yang berada di depan
dan belakang batak.
Batak
: Nama posisi penari yang berperan penting dalam tari
bedhaya.
Bedhaya
: (1) nama salah satu genre tari; (2) salah satu tari yang
menjadi sakti raja.
Buntil
: Nama posisi penari dalam tari bedhaya yang berada paling
belakang dari barisan.
Dhadha
: Nama posisi penari bedhaya yang berada sebelum buntil
Endhel
: Nama posisi penari yang berada di depan dan di belakang
gulu, serta yang berada di samping kiri batak.
Jumbuh
: Sesuai, selaras
Jumeneng
: Berdiri
Kampuh
: Salah satu tata busana menggunakan kain yang dililitkan ke
tubuh.
Mandala
: Sebutan lain untuk lingkaran
Maos
: Membaca
Mekak
: Nama busana untuk tari tradisi Jawa
Meneng
: Diam
Ngajeng
: Depan
Nyolongi
: Gerak berbeda yang dilakukan penari tertentu, misalnya apit
kengser yang lain diam
Rakit
: Sebutan pola lantai untuk tari bedhaya
Rep
: Lirih
batak
113
Ron
: Daun
Sudukan
: Tusukan
114
LAM PIRAN-LA M PIRA N
115
gambar posisi penari saat sila (foto: Hadi)
Gambar saat rakit lajur, kelompok 1 berdiri (foto: Hadi)
116
Gambar rakit ajeng-ajenga (foto: Hadi)
Gambar rakit tiga-tiga (foto: Hadi)
117
Saat penari menari bersamaan (foto: Hadi)
Gambar saat penari membentuk lingkaran (foto: Hadi)
118
BIODA TA
Nama
: Kingkin Ayu Bondan BAnowati
NIM
: 11134155
Tempat, Tanggal Lahir
: Klaten, 16 Maret 1993
Alamat
: Bulurejo, Nangsri, Manisrenggo, Klaten
Riwayat Pendidikan
1. TK Pertiwi Nangsri lulus tahun 1999
2. SD N 2 Nangsri, lulus tahun 2005
3. SMP N 1 Kalasan, lulus tahun 2008
4. SMA N 1 Jogonalan, lulus tahun 2011