Berkunjung ke Dunia Khayal Goenawan Mohamad
Syakieb Sungkar
[email protected]
Batu-batu di trotoar ini
memang tak akan bisa jadi roti,
cahaya salju di kejauhan itu
juga tak akan jadi firman
Tapi misalkan kita di Sarajevo:
Di dekat museum itu kita akan takzim
membersihkan diri: “Biarkan aku mati
Dalam warna kirmizi”.
Lalu aku pergi
kau pergi, berangkat, tak memucat
seperti awal pagi
di warna kirmizi1
Gambar 1 - Goenawan Mohamad, "Moon Over Bourbon Street", 2018.
1
Goenawan Mohamad (1998). Misalkan Kita di Sarajevo. Jakarta: Kalam, h. 15.
1
Seseorang berkepala tikus dan bertubuh manusia sedang berdiri di bawah sinar bulan tosca
dengan langit myrtle gelap. Kepala tikus itu berwarna putih dengan sedikit nuansa merah muda,
membuat kontras dengan topi burnt sienna yang dipakainya dan jubah yang besar hitam. Apa
yang dipikirkan oleh si "manusia-tikus" itu, membuat kita ingin tahu. Sedang apa ia
sebenarnya? Beruntung saya mendapatkan clue dari judul lukisan itu, "Moon Over Bourbon
Street". Sebuah lagu Sting yang diterbitkan tahun 1985. Cerita tentang orang yang berjalan di
bawah cahaya bulan.
Now I can never show my face at noon
And you'll only see me walking by the light of the moon
The brim of my hat hides the eye of a beast
Mengapa ia menyembunyikan wajahnya dengan topi dan tidak ingin menunjukkannya di siang
hari, lirik lagu itu pun sebuah misteri. Barangkali si "manusia-tikus" mempunyai persoalan
dengan cinta seorang gadis.
She walks everyday through the streets of New Orleans
She's innocent and young from a family of means
I have stood many times outside her window at night
To struggle with my instinct in the pale moonlight
How could I be this way when I pray to God above
I must love what I destroy and destroy the thing I love
Lukisan itu mungkin sebuah tafsir atas lagu Sting yang menurut perkiraan saya sudah
didengarnya berulang-ulang melalui Youtube. Apa yang menggerakkan orang untuk melukis
atau membuat puisi? sebuah peristiwa? bacaan? lagu? jatuh cinta? kesedihan? kenangan?
kegembiraan? ternyata ada banyak jawabnya. Bagaimana kalau mendengar lagu Sting yang
syahdu dan pelukis masuk ke dalam suasana dan ingin menuangkannya ke dalam lukisan? Saya
merasa lukisan itu sudah mendapatkan suasana yang diinginkannya. Sepotong kesepian dari
manusia yang tidak sanggup bertemu orang yang dicintainya, dan hanya memandanginya
melalui jendela. Pemilihan kombinasi warna tosca pada rembulan dan myrtle pada langit terasa
2
mempesona. Dan mengapa Goenawan Mohamad memilih manusia-tikus yang berdiri di bawah
rembulan, biarlah menjadi misteri untuk para pemirsa.
Subyek tidak perlu digambarkan seutuhnya, tidak harus dimengerti sepenuhnya. Semua yang
menggoda dan mengundang pertanyaan dalam lukisan biarlah menjadi enigma. Dalam
kebenaran kita tak dapat mendedahkan semua teka-teki. Paul Cezanne mengatakan, “apa yang
saya coba sampaikan kepadamu adalah misteri, yang terjalin dalam keberadaan kita di dunia,
sebuah sumber sensasi yang tidak pernah habis.” Francis Bacon pun demikian, “tugas seniman
adalah memperbanyak misteri”.2 “Sebuah lukisan membutuhkan sedikit misteri, beberapa
ketidakjelasan, beberapa fantasi. Ketika kita selalu membuat maksud menjadi sangat jelas,
maka kita akan menjadi orang yang membosankan,” demikian kata Edgar Degas.3 Perihal
enigma ini, Goenawan pernah menekankannya ketika membahas teori estetika Adorno,
Adorno: “Semua karya seni – dan keseluruhan seni – bersifat enigmatik; sejak zaman kuno ini
yang dirasa mengganggu teori kesenian….” Sifat enigmatik ini selalu diusahakan untuk
dipecahkan, tapi tiap usaha menjelas-jelaskan sebuah karya seni pada akhirnya sama dengan
usaha mendominasi. Tiap jawaban yang menghentikan pertanyaan-pertanyaan akan berarti
menghabisi apa yang “nonidentikal”, yang berbeda, tak bisa dirumuskan. Memutuskan bahwa
sang “makna” bisa (telah) ditemukan adalah ketakaburan yang berasal dari zaman
Pencerahan. Pemberian makna secara final itu palsu. Enigma karya seni berkelindan dengan
kebenaran yang dibawa karya itu.4
Manusia berkepala binatang merupakan topik kesukaan Goenawan Mohamad sejak awal. Kita
dapat melihat dalam karyanya yang lain, “Di Masa Pandemi” (2021). Seekor burung dengan
paruh hitam mengkilap, memakai jas hijau lumut dan dasi merah. Background yang gelap
dengan sentuhan garis horison memberikan suasana murung pada burung yang rapi. Kalau kita
melihat karya ini secara langsung, dengan pencahayaan yang baik, akan terasa efek kejut
kepada pemirsa. Saya kurang percaya dengan foto dari sebuah lukisan, saya menyarankan
untuk melihat karya ini on the spot, datang saja ke Salihara atau galeri Nadi, tempat pameran
“Di Muka Jendela: Enigma” itu sedang berlangsung. Foto tidak bisa menangkap seluruh nuansa
yang ada dalam karya. Ada perasaan yang berbeda ketika kita berjumpa dengan karya seni,
2
Yim, Gino (3 Maret 2019). Art and the Artist. medium.com
The Art Story (2021). Edgar Degas.
4
Goenawan Mohamad (2021). Rupa, Kata, Obyek, dan yang Grotesk. Jakarta: Gang Kabel, h. 554.
3
3
ketimbang sekedar melihat image-nya dalam buku atau kumpulan foto pada smartphone. Cara
melukis “manusia-binatang” ini juga terasa lebih berkembang dari 2 tahun sebelumnya, ketika
ia melukis “Si Rangka” (2019) dan dipamerkan di Museum Dan Tanah Liat, Yogyakarta.5
Si Rangka (2019)
Di Masa Pandemi (2021)
Gambar 2 – Perbandingan Manusia-Burung 2019 dan 2021.
Kiranya kita dapat menduga dari mana ide manusia-burung ini berasal, tak jauh dari karya
seniman yang ia kagumi, Max Ernst (1891 – 1976). Bagi Max Ernst, penggunaan elemenelemen yang tidak berhubungan satu sama lain merupakan gagasan sentral dari karyakaryanya. Ernst terinspirasi dari kumpulan benda-benda terbuang yang teronggok di tempat
sampah: tangan boneka yang terlepas, gulungan selotip bekas, rumbai benang wool, roda gigi
– semua itu membentuk kolase dalam satu frame - yang di kemudian hari diwujudkannya dalam
karya “Fruit of Long Experience” (1919).6 Ernst menggunakan istilah “industri” dan
5
6
Goenawan Mohamad (2019). Binatang. Yogyakarta: Museum Dan Tanah Liat, h. 85.
Bischoff, Ulrich. Max Ernst. Koln: Taschen, h. 14
4
“anatomi”, di mana industri mengacu pada bagian-bagian mekanik yang dikumpulkan menjadi
suatu kolase, dan anatomi dimaknai sebagai pembedahan atas organ-organ. Ketika
penggabungan kembali (industri) atas “anatomi” menggunakan metode ecriture automatique,
di mana Andre Breton menyebutnya sebagai penyusunan atau “penulisan otomatik elemenelemen yang tercetus melalui pemikiran alam bawah sadar”, maka akan dihasilkan sebuah
kenaifan sepele (lighthearted naivety), susunan yang salah tempat, seperti manusia berkepala
burung itu.7
Gambar 3 – Max Ernst, “Birds; also: Birds, Fish-Snake and Scarecrow”, 1921.
Penggunaan warna burnt umber dan abu-abu hitam pada latar “Di Masa Pandemi”, myrtle
gelap pada "Moon Over the Bourbon Street", menunjukkan pada kepribadian Goenawan yang
tidak cheerful. Preferensinya pada yang muram, murung, solitude, tercermin pada puisi dan
warna busana yang dikenakannya sehari-hari, cenderung polos, beige, gelap. Akan menjadi
7
Bischoff, 73
5
pemberitaan nasional kalau Goenawan tiba-tiba datang ke Salihara dengan memakai baju
bercorak kembang warna-warni. Warna kirmizi (merah menyala) yang disebutkan dua kali
dalam puisi “Misalkan Kita di Sarajevo” seperti yang ditulis pada awal makalah ini, adalah
sebuah khayalan, suatu imajinasi yang dipergunakan demi menghidupkan bunyi puisi, tidak
diterapkan dalam hidup sehari-hari pelukis ini. Saya rasa di Indonesia cuma pelukis Zaini yang
intens menggunakan warna-warna seperti itu.
Gambar 4 – Zaini, “Perdu”, 1975.
Di situlah uniknya karya-karya Goenawan yang membuatnya berbeda dibandingkan seniman
lain di zaman kini, ada keselarasan antara pemilihan warna, suasana yang diciptakan, dengan
kesukaan dan kepribadian pelukisnya. Karena warna yang sesuai dengan kepribadian akan
memberikan dopamine, suasana yang menciptakan rasa bahagia.8 Kemudian muncul
pertanyaan mengapa tiba-tiba ada kotak ukiran pada bagian kanan si manusia-tikus ini.
Jawabnya adalah pada komposisi. Goenawan bukanlah jenis pelukis yang sudah memikirkan
komposisi sedari awal. Meskipun sebelum melukis ia sudah memiliki gagasan akan membuat
8
Rosenbloom, Tova (2006). Color Preferences of High and Low Sensatiin Seekers. Creativity Research Journal.
Vol. 18, No. 2. Lawrence Erlbaum Associates, h. 234.
6
apa, tetapi ia tidak memberikan rancangan detail bagaimana komposisi masing-masing elemen
dari karyanya kelak. Kita bisa membandingkan bagaimana S. Sudjojono secara ekstrem telah
memikirkan hal yang sekecil-kecilnya sebelum ia menghadapi kanvas. Kita dapat melihat
bagaimana sketsa dan hasil lukisan tidak banyak berbeda.
Sketsa
Lukisan
Gambar 5 – S. Sudjojono, “Danau Ketenangan” (1980).
Bagi Goenawan ia memulai melukis dari bagian agak ke bawah atau samping kiri, bukan dari
tengah. Soal kekosongan nantinya urusan belakangan, bisa diisi dengan sesuatu, yang cocok
dengan tema, atau bertentangan, sebuah jukstaposisi, bahkan yang tidak ada hubungan sama
sekali. Mungkin juga suatu teks. Karena pada akhirnya ia akan menghadapi kanvas yang
kosong pada bagian atas yang biasanya ia isi dengan awan, atau di bagian kanan yang kemudian
diisi dengan ornamen ukir-ukiran seperti karya "Moon Over Bourbon Street" tadi. Saya rasa
itulah kelemahan lukisan Goenawan, tidak memikirkan komposisi sedari awal. Semuanya
diserahkan pada improvisasi di lapangan. Melukis menurutnya penuh dengan ketakterdugaan,
apa yang kita rancang seringkali meleset. Ia selalu menghadapi dialektika dalam kanvas:
“Agaknya membuat gambar/lukisan adalah mencoba menyambut yang tak terduga-duga dalam
fenomena.”9
Namun persoalan komposisi ini jarang terjadi pada karya drawingnya. Terlihat karya
“L’Accordeoniste”, sangat apik. Sebuah karya yang bersumberkan lagu dan puisi Edith Piaf.10
Akordion itu terasa hidup, ia bergerak. Demikian pula dengan “Erotika”. Hal yang sama terjadi
9
Goenawan Mohamad (2021). Di Muka Jendela: 80 Tahun Goenawan Mohamad. Jakarta: Salihara, h. 96.
Di Muka Jendela, 94
10
7
pada drawing ikan AXP: tulisan AXP itu membuat komposisi menjadi pas. Tak perlu
dikatakan, teori akademis bersandar pada “Della Pittura” dari Leon Battista Alberti (14041472), karena di sanalah kita pertama kali membaca bahwa tujuan melukis dimaksudkan untuk
menceritakan kembali sejarah dan mitos yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Alkitab atau
dongeng klasik. Namun orang di masa itu juga percaya pada Simonides (556-468 SM) yang
mengatakan bahwa lukisan harus dilihat sebagai “puisi sunyi” dan puisi sebagai “gambar yang
berbicara.” Leonardo da Vinci (1452-1519) tidak mau kalah, ia berusaha mengangkat lukisan
di atas puisi, mengolok-oloknya dan menyebut puisi sebagai “lukisan untuk orang buta.”
Gambar 6 – Goenawan Mohamad, “L’Accordeoniste” (2021).
Walau para akademisi ketika itu menjadikan pemikiran da Vinci sebagai doktrin, namun
mereka mencari potongan-potongan lain dari masa lalu dan menemukan sebuah esai, Ars
Poetica (Seni Puisi) yang ditulis oleh penyair Latin, Horace (65 – 8 SM), yang menghasilkan
frasa ut pictura poesis (lukisan juga puisi). Mereka juga mengadopsi Poetics dari Aristoteles
(384-322 SM), di mana, pada bagian tentang “obyek imitasi”, Aristoteles mengatakan bahwa
penyair, seperti pelukis, meniru-niru tindakan atau perilaku manusia dan membuatnya lebih
8
baik atau lebih buruk dari rata-rata. Sebuah pernyataan yang diartikan bahwa tubuh manusia
dalam tindakannya mencerminkan gambaran tentang jiwa manusia, suatu pemikiran yang
diterima dengan sangat baik di seluruh Eropa pada abad 16. Itulah kiranya yang membedakan
antara puisi, drawing dan lukisan. Bahwa lukisan itu setahap lebih tinggi dari drawing.11
Gambar 7 – Goenawan Mohamad, “Erotika”.
Karena potongan-potongan pendapat itu dikumpulkan dan disuling selama bertahun-tahun,
mereka dibakukan menjadi sebuah teori yang diformalkan pada Drawing Academy oleh
Ludovico Dolce (1508-1568). Formalisasi paradigma ut pictura poesis ini menghasilkan lima
prinsip yang menjadi pegangan akademi selama hampir 300 tahun. Yaitu prinsip instruksi dan
kesenangan, imitasi, rekaan, kepantasan, dan ekspresi. Prinsip instruksi dan kesenangan
didasarkan pada permintaan kelas borjuasi Eropa yang mendambakan lukisan sebagai bagian
hedonisme dari masyarakat kelas tinggi ketika itu. Prinsip itu kemudian ditinggalkan seiring
dengan kejatuhan aristokrasi itu sendiri. Prinsip imitasi maksudnya, melukis harus mirip, tidak
mesti dengan menggunakan model manusia hidup, meniru patung klasik juga boleh. Prinsip
rekaan lebih dititikberatkan pada komposisi, ketika cerita-cerita klasik diterjemahkan ke dalam
lukisan. Ada pengaturan bagaimana seharusnya kita melukis manusia, binatang dan
pemandangan. Prinsip kepantasan maksudnya lukisan harus pas, gesture harus sesuai, dan tidak
11
Young, Dennis (2002). Painting and Its Paradigm. Dalhousie University Art Gallery, h. 4.
9
boleh berlebihan. Prinsip ekspresi masih terkait dengan prinsip sebelumnya, bahwa selain
gesture maka ekspresi wajah harus mencerminkan apa yang diinginkan pelukis.12
Gambar 8 – Goenawan Mohamad, “Sang Aktor” (2021).
Walaupun ukuran-ukuran Ludovice Dolce terasa usang untuk senirupa modern (bagaimana
menilai karya Basquiat dan Dubuffet dengan kriteria seperti itu?), tetapi lebih ‘lumayan’
ketimbang tidak punya pegangan sama sekali. Lukisan “Sang Aktor” adalah lukisan yang
memenuhi prinsip ke-dua, ke-empat dan ke-lima dari Ludovico Dolce, yaitu kemiripan, gesture
dan ekspresi. Slamet Rahardjo yang sedang berdiri dengan wajah terkesima dan posisi tangan
yang bersedekap, bagus sekali. Ada background jajaran genjang berwarna oker yang
menyarankan sebuah panggung. Namun komposisi perlu diperbaiki yaitu ditambahkan
kembang agar sedikit berwarna. Bayangan yang jatuh menyamping lebih menonjolkan kesan
12
Young, 5
10
ruang pada lukisan. Anatomi juga pas. Saya kira lukisan ini tidak meniru dari foto mana pun,
lebih banyak diambil dari imajinasi. Lukisan “Sang Aktor” menunjukkan Goenawan pandai
melukis, walau baru ditekuninya beberapa tahun terakhir. Pencapaian yang sama saya dapati
pada karya “Sitor” dan “Djoko Pekik”. Tidak semua wajah mengacu pada seseorang yang ada
di dunia ini. Banyak karya yang betul-betul dari dunia antah-berantah, seperti pada karya
“Orang Tak Bertanah Air”, “Patung Kayu”, dan “Kuda Sembrani Den Kisot”. Saya kira hal ini
hanya sekedar alih media dari khayalan pada drawing ke lukisan, bukan sebuah transformasi
yang berbeda seperti yang digambarkan Ludovico Dolce di atas.
Gambar 9 – Goenawan Mohamad, “Perempuan dan Tanah”, 2019.
Atau barangkali saya salah, bahwa orang dan makhluk antah-berantah itu muncul dari apa yang
ia baca selama ini. Dari sana muncul imajinasi seperti “Orang Tak Bertanah Air” itu sebetulnya
adalah sebuah fiksi yang didasarkan pada realitas bahwa banyak imigran dari Afrika yang ingin
menetap di Eropa namun ditolak. Karena Eropa sekarang sudah penuh dengan imigran hitam
yang pengangguran, suka protes dan bikin kacau. Penolakan itu tidak membuat imigran
11
kembali ke kampungnya tetapi tetap tinggal di Eropa dengan status stateless. Demikian pula
dengan “Kuda Sembrani Den Kisot” adalah ‘realisasi’ dari fiksi bahwa cerita Don Qixote
menciptakan suatu realitas, yaitu sebuah lukisan. Dengan itu maka kita akan mendapatkan
suatu pencerahan atas gagasan alternatif dari mythos yang Paul Ricoeur katakan sebagai busur
operasi, gerakan kompleks yang berasal dari kultur yang dipahami sebagai symbolic order,
yang kemudian masuk ke dalam bentuk baku dalam karya seperti Don Qixote. Dan kemudian
dikenalkan kembali ke dalam medan kultural dari kesadaran pembaca yang cara beradanya di
dunia telah diubah oleh bacaan-bacaannya. Sebuah fiksi pada akhirnya menjadi realitas13
Hal sama terjadi pada “Perempuan dan Tanah”, seorang perempuan sendirian pada tanah datar
tanpa pohon. Ada bukit merah di belakangnya, dan sebuah garis putih tegak yang kita tidak
tahu apa maksudnya. Terasa suasana kosong di sana. Absurd. Namun seperti yang ditulis
Bambang Bujono pada majalah Tempo, “Pada gambar-gambar dan lukisan Goenawan
Mohamad, misalnya, terutama pada figur manusia, kadang kita melihat anatomi yang terasa
janggal.”14 Perempuan ini tanpa lengan, sehingga lebih mirip vas kembang ketimbang sosok
tubuh. Bagaimanapun, sebagaimana Ricoeur, dunia fiksi mempunyai aturan-aturannya sendiri,
dan logikanya sendiri, yang berbeda dengan realitas. Kita hanya menikmati suasana dan
kombinasi warna merah, kuning, putih dan burnt sienna, disertai background abu-abu yang
dibuat gelap - sebagaimana kebiasaan Goenawan.
Gambar 10 – Goenawan Mohamad, “Black Lives Matter”, 2020.
13
Ricoeur, Paul (1984). Time and Narrative, vol. 1. transl. Kathleen McLaughlin dan David Pellauer. Chicago:
The University of Chicago Press, h. 57.
14
Bambang Bujono. Yang Bukan Pelukis, Ambil Bagian: Pameran Gambar dan Lukisan GM. Tempo, 9-15
Agustus 2021. h. 50.
12
“Black Lives Matter” merupakan salah satu karya terbaik dalam pameran ini. Yesus yang kurus
terbaring dengan cawan di belakang kepalanya. Karya ini tak terlepas dari kekagumannya
ketika ia berkunjung ke Museum Seni Rupa di Basel. Di sana ia menjumpai karya Hans
Holbein, “The Body of the Dead Christ in the Tomb” (1521-1522).15 Yesus yang terkurung
pada laci sempit dalam karya Holbein mendapat ruang yang lebih lega pada karya Goenawan.
Tetapi hal itu tidak menghilangkan suasana wingit pada lukisan. Badan yang kurus dengan
wajah yang celong tergambar dengan baik. Tubuh itu terhampar pada altar. Memandangi
lukisan ini tiba-tiba saya teringat penggalan dari sepotong puisi,
ke paras pertama. Ada angin dan api lampu.
Wajah itu pun hanya putih, seakan puru,
dan mungkin Maut
tak akan tahu mengapa ruang
dan dinding bergeming, mengapa
lorong ini tak melepaskan dosa,
mengapa yang padam
tak ditinggalkan.16
Daftar Pustaka
[1] Bambang Bujono. Yang Bukan Pelukis, Ambil Bagian: Pameran Gambar dan Lukisan GM.
Tempo, 9-15 Agustus 2021.
[2] Bischoff, Ulrich. Max Ernst. Koln: Taschen.
[3] Goenawan Mohamad (1998). Misalkan Kita di Sarajevo. Jakarta: Kalam.
[4] Goenawan Mohamad (2011). 70 Puisi. Jakarta: Tempo & PT Grafiti.
[5] Goenawan Mohamad (2019). Binatang. Yogyakarta: Museum Dan Tanah Liat.
15
Rupa, 473
diambil dari potongan sajak “Mezbah”. Goenawan Mohamad (2011). 70 Puisi. Jakarta: Tempo & PT Grafiti, h.
117.
16
13
[6] Goenawan Mohamad (2021). Di Muka Jendela: 80 Tahun Goenawan Mohamad. Jakarta:
Salihara.
[7] Goenawan Mohamad (2021). Rupa, Kata, Obyek, dan yang Grotesk. Jakarta: Gang Kabel.
[8] Ricoeur, Paul (1984). Time and Narrative, vol. 1. transl. Kathleen McLaughlin dan David
Pellauer. Chicago: The University of Chicago Press.
[9] Rosenbloom, Tova (2006). Color Preferences of High and Low Sensatiin Seekers.
Creativity Research Journal. Vol. 18, No. 2. Lawrence Erlbaum Associates.
[10] The Art Story (2021). Edgar Degas.
[11] Yim, Gino (3 Maret 2019). Art and the Artist. medium.com
[12] Young, Dennis (2002). Painting and Its Paradigm. Dalhousie University Art Gallery.
14