Academia.eduAcademia.edu

Berkunjung ke Dunia Khayal Goenawan Mohamad

2021, Dekonstruksi

Ketika menginjak usia 80 tahun, Goenawan Mohamad membuat 50 lukisan cat minyak dan 200 sketsa untuk dipamerkan secara besar-besaran. Melihat karya rupa Goenawan, kita diajak memasuki dunia fiksi yang mempunyai aturan-aturan dan logikanya sendiri, yang berbeda dengan realitas. Dengan itu kita menikmati suasana dan kombinasi warna yang khas, yang bersesuaian dengan kepribadian pelukisnya. Tidak semua subyek dalam karya-karya yang dipamerkan digambarkan seutuhnya, dan tidak harus dimengerti sepenuhnya. Semua yang menggoda dan mengundang pertanyaan dalam lukisan biarlah menjadi enigma. Dalam kebenaran kita tak dapat mendedahkan semua teka-teki. Sebuah lukisan membutuhkan sedikit misteri, beberapa ketidakjelasan, beberapa fantasi.

Berkunjung ke Dunia Khayal Goenawan Mohamad Syakieb Sungkar [email protected] Batu-batu di trotoar ini memang tak akan bisa jadi roti, cahaya salju di kejauhan itu juga tak akan jadi firman Tapi misalkan kita di Sarajevo: Di dekat museum itu kita akan takzim membersihkan diri: “Biarkan aku mati Dalam warna kirmizi”. Lalu aku pergi kau pergi, berangkat, tak memucat seperti awal pagi di warna kirmizi1 Gambar 1 - Goenawan Mohamad, "Moon Over Bourbon Street", 2018. 1 Goenawan Mohamad (1998). Misalkan Kita di Sarajevo. Jakarta: Kalam, h. 15. 1 Seseorang berkepala tikus dan bertubuh manusia sedang berdiri di bawah sinar bulan tosca dengan langit myrtle gelap. Kepala tikus itu berwarna putih dengan sedikit nuansa merah muda, membuat kontras dengan topi burnt sienna yang dipakainya dan jubah yang besar hitam. Apa yang dipikirkan oleh si "manusia-tikus" itu, membuat kita ingin tahu. Sedang apa ia sebenarnya? Beruntung saya mendapatkan clue dari judul lukisan itu, "Moon Over Bourbon Street". Sebuah lagu Sting yang diterbitkan tahun 1985. Cerita tentang orang yang berjalan di bawah cahaya bulan. Now I can never show my face at noon And you'll only see me walking by the light of the moon The brim of my hat hides the eye of a beast Mengapa ia menyembunyikan wajahnya dengan topi dan tidak ingin menunjukkannya di siang hari, lirik lagu itu pun sebuah misteri. Barangkali si "manusia-tikus" mempunyai persoalan dengan cinta seorang gadis. She walks everyday through the streets of New Orleans She's innocent and young from a family of means I have stood many times outside her window at night To struggle with my instinct in the pale moonlight How could I be this way when I pray to God above I must love what I destroy and destroy the thing I love Lukisan itu mungkin sebuah tafsir atas lagu Sting yang menurut perkiraan saya sudah didengarnya berulang-ulang melalui Youtube. Apa yang menggerakkan orang untuk melukis atau membuat puisi? sebuah peristiwa? bacaan? lagu? jatuh cinta? kesedihan? kenangan? kegembiraan? ternyata ada banyak jawabnya. Bagaimana kalau mendengar lagu Sting yang syahdu dan pelukis masuk ke dalam suasana dan ingin menuangkannya ke dalam lukisan? Saya merasa lukisan itu sudah mendapatkan suasana yang diinginkannya. Sepotong kesepian dari manusia yang tidak sanggup bertemu orang yang dicintainya, dan hanya memandanginya melalui jendela. Pemilihan kombinasi warna tosca pada rembulan dan myrtle pada langit terasa 2 mempesona. Dan mengapa Goenawan Mohamad memilih manusia-tikus yang berdiri di bawah rembulan, biarlah menjadi misteri untuk para pemirsa. Subyek tidak perlu digambarkan seutuhnya, tidak harus dimengerti sepenuhnya. Semua yang menggoda dan mengundang pertanyaan dalam lukisan biarlah menjadi enigma. Dalam kebenaran kita tak dapat mendedahkan semua teka-teki. Paul Cezanne mengatakan, “apa yang saya coba sampaikan kepadamu adalah misteri, yang terjalin dalam keberadaan kita di dunia, sebuah sumber sensasi yang tidak pernah habis.” Francis Bacon pun demikian, “tugas seniman adalah memperbanyak misteri”.2 “Sebuah lukisan membutuhkan sedikit misteri, beberapa ketidakjelasan, beberapa fantasi. Ketika kita selalu membuat maksud menjadi sangat jelas, maka kita akan menjadi orang yang membosankan,” demikian kata Edgar Degas.3 Perihal enigma ini, Goenawan pernah menekankannya ketika membahas teori estetika Adorno, Adorno: “Semua karya seni – dan keseluruhan seni – bersifat enigmatik; sejak zaman kuno ini yang dirasa mengganggu teori kesenian….” Sifat enigmatik ini selalu diusahakan untuk dipecahkan, tapi tiap usaha menjelas-jelaskan sebuah karya seni pada akhirnya sama dengan usaha mendominasi. Tiap jawaban yang menghentikan pertanyaan-pertanyaan akan berarti menghabisi apa yang “nonidentikal”, yang berbeda, tak bisa dirumuskan. Memutuskan bahwa sang “makna” bisa (telah) ditemukan adalah ketakaburan yang berasal dari zaman Pencerahan. Pemberian makna secara final itu palsu. Enigma karya seni berkelindan dengan kebenaran yang dibawa karya itu.4 Manusia berkepala binatang merupakan topik kesukaan Goenawan Mohamad sejak awal. Kita dapat melihat dalam karyanya yang lain, “Di Masa Pandemi” (2021). Seekor burung dengan paruh hitam mengkilap, memakai jas hijau lumut dan dasi merah. Background yang gelap dengan sentuhan garis horison memberikan suasana murung pada burung yang rapi. Kalau kita melihat karya ini secara langsung, dengan pencahayaan yang baik, akan terasa efek kejut kepada pemirsa. Saya kurang percaya dengan foto dari sebuah lukisan, saya menyarankan untuk melihat karya ini on the spot, datang saja ke Salihara atau galeri Nadi, tempat pameran “Di Muka Jendela: Enigma” itu sedang berlangsung. Foto tidak bisa menangkap seluruh nuansa yang ada dalam karya. Ada perasaan yang berbeda ketika kita berjumpa dengan karya seni, 2 Yim, Gino (3 Maret 2019). Art and the Artist. medium.com The Art Story (2021). Edgar Degas. 4 Goenawan Mohamad (2021). Rupa, Kata, Obyek, dan yang Grotesk. Jakarta: Gang Kabel, h. 554. 3 3 ketimbang sekedar melihat image-nya dalam buku atau kumpulan foto pada smartphone. Cara melukis “manusia-binatang” ini juga terasa lebih berkembang dari 2 tahun sebelumnya, ketika ia melukis “Si Rangka” (2019) dan dipamerkan di Museum Dan Tanah Liat, Yogyakarta.5 Si Rangka (2019) Di Masa Pandemi (2021) Gambar 2 – Perbandingan Manusia-Burung 2019 dan 2021. Kiranya kita dapat menduga dari mana ide manusia-burung ini berasal, tak jauh dari karya seniman yang ia kagumi, Max Ernst (1891 – 1976). Bagi Max Ernst, penggunaan elemenelemen yang tidak berhubungan satu sama lain merupakan gagasan sentral dari karyakaryanya. Ernst terinspirasi dari kumpulan benda-benda terbuang yang teronggok di tempat sampah: tangan boneka yang terlepas, gulungan selotip bekas, rumbai benang wool, roda gigi – semua itu membentuk kolase dalam satu frame - yang di kemudian hari diwujudkannya dalam karya “Fruit of Long Experience” (1919).6 Ernst menggunakan istilah “industri” dan 5 6 Goenawan Mohamad (2019). Binatang. Yogyakarta: Museum Dan Tanah Liat, h. 85. Bischoff, Ulrich. Max Ernst. Koln: Taschen, h. 14 4 “anatomi”, di mana industri mengacu pada bagian-bagian mekanik yang dikumpulkan menjadi suatu kolase, dan anatomi dimaknai sebagai pembedahan atas organ-organ. Ketika penggabungan kembali (industri) atas “anatomi” menggunakan metode ecriture automatique, di mana Andre Breton menyebutnya sebagai penyusunan atau “penulisan otomatik elemenelemen yang tercetus melalui pemikiran alam bawah sadar”, maka akan dihasilkan sebuah kenaifan sepele (lighthearted naivety), susunan yang salah tempat, seperti manusia berkepala burung itu.7 Gambar 3 – Max Ernst, “Birds; also: Birds, Fish-Snake and Scarecrow”, 1921. Penggunaan warna burnt umber dan abu-abu hitam pada latar “Di Masa Pandemi”, myrtle gelap pada "Moon Over the Bourbon Street", menunjukkan pada kepribadian Goenawan yang tidak cheerful. Preferensinya pada yang muram, murung, solitude, tercermin pada puisi dan warna busana yang dikenakannya sehari-hari, cenderung polos, beige, gelap. Akan menjadi 7 Bischoff, 73 5 pemberitaan nasional kalau Goenawan tiba-tiba datang ke Salihara dengan memakai baju bercorak kembang warna-warni. Warna kirmizi (merah menyala) yang disebutkan dua kali dalam puisi “Misalkan Kita di Sarajevo” seperti yang ditulis pada awal makalah ini, adalah sebuah khayalan, suatu imajinasi yang dipergunakan demi menghidupkan bunyi puisi, tidak diterapkan dalam hidup sehari-hari pelukis ini. Saya rasa di Indonesia cuma pelukis Zaini yang intens menggunakan warna-warna seperti itu. Gambar 4 – Zaini, “Perdu”, 1975. Di situlah uniknya karya-karya Goenawan yang membuatnya berbeda dibandingkan seniman lain di zaman kini, ada keselarasan antara pemilihan warna, suasana yang diciptakan, dengan kesukaan dan kepribadian pelukisnya. Karena warna yang sesuai dengan kepribadian akan memberikan dopamine, suasana yang menciptakan rasa bahagia.8 Kemudian muncul pertanyaan mengapa tiba-tiba ada kotak ukiran pada bagian kanan si manusia-tikus ini. Jawabnya adalah pada komposisi. Goenawan bukanlah jenis pelukis yang sudah memikirkan komposisi sedari awal. Meskipun sebelum melukis ia sudah memiliki gagasan akan membuat 8 Rosenbloom, Tova (2006). Color Preferences of High and Low Sensatiin Seekers. Creativity Research Journal. Vol. 18, No. 2. Lawrence Erlbaum Associates, h. 234. 6 apa, tetapi ia tidak memberikan rancangan detail bagaimana komposisi masing-masing elemen dari karyanya kelak. Kita bisa membandingkan bagaimana S. Sudjojono secara ekstrem telah memikirkan hal yang sekecil-kecilnya sebelum ia menghadapi kanvas. Kita dapat melihat bagaimana sketsa dan hasil lukisan tidak banyak berbeda. Sketsa Lukisan Gambar 5 – S. Sudjojono, “Danau Ketenangan” (1980). Bagi Goenawan ia memulai melukis dari bagian agak ke bawah atau samping kiri, bukan dari tengah. Soal kekosongan nantinya urusan belakangan, bisa diisi dengan sesuatu, yang cocok dengan tema, atau bertentangan, sebuah jukstaposisi, bahkan yang tidak ada hubungan sama sekali. Mungkin juga suatu teks. Karena pada akhirnya ia akan menghadapi kanvas yang kosong pada bagian atas yang biasanya ia isi dengan awan, atau di bagian kanan yang kemudian diisi dengan ornamen ukir-ukiran seperti karya "Moon Over Bourbon Street" tadi. Saya rasa itulah kelemahan lukisan Goenawan, tidak memikirkan komposisi sedari awal. Semuanya diserahkan pada improvisasi di lapangan. Melukis menurutnya penuh dengan ketakterdugaan, apa yang kita rancang seringkali meleset. Ia selalu menghadapi dialektika dalam kanvas: “Agaknya membuat gambar/lukisan adalah mencoba menyambut yang tak terduga-duga dalam fenomena.”9 Namun persoalan komposisi ini jarang terjadi pada karya drawingnya. Terlihat karya “L’Accordeoniste”, sangat apik. Sebuah karya yang bersumberkan lagu dan puisi Edith Piaf.10 Akordion itu terasa hidup, ia bergerak. Demikian pula dengan “Erotika”. Hal yang sama terjadi 9 Goenawan Mohamad (2021). Di Muka Jendela: 80 Tahun Goenawan Mohamad. Jakarta: Salihara, h. 96. Di Muka Jendela, 94 10 7 pada drawing ikan AXP: tulisan AXP itu membuat komposisi menjadi pas. Tak perlu dikatakan, teori akademis bersandar pada “Della Pittura” dari Leon Battista Alberti (14041472), karena di sanalah kita pertama kali membaca bahwa tujuan melukis dimaksudkan untuk menceritakan kembali sejarah dan mitos yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Alkitab atau dongeng klasik. Namun orang di masa itu juga percaya pada Simonides (556-468 SM) yang mengatakan bahwa lukisan harus dilihat sebagai “puisi sunyi” dan puisi sebagai “gambar yang berbicara.” Leonardo da Vinci (1452-1519) tidak mau kalah, ia berusaha mengangkat lukisan di atas puisi, mengolok-oloknya dan menyebut puisi sebagai “lukisan untuk orang buta.” Gambar 6 – Goenawan Mohamad, “L’Accordeoniste” (2021). Walau para akademisi ketika itu menjadikan pemikiran da Vinci sebagai doktrin, namun mereka mencari potongan-potongan lain dari masa lalu dan menemukan sebuah esai, Ars Poetica (Seni Puisi) yang ditulis oleh penyair Latin, Horace (65 – 8 SM), yang menghasilkan frasa ut pictura poesis (lukisan juga puisi). Mereka juga mengadopsi Poetics dari Aristoteles (384-322 SM), di mana, pada bagian tentang “obyek imitasi”, Aristoteles mengatakan bahwa penyair, seperti pelukis, meniru-niru tindakan atau perilaku manusia dan membuatnya lebih 8 baik atau lebih buruk dari rata-rata. Sebuah pernyataan yang diartikan bahwa tubuh manusia dalam tindakannya mencerminkan gambaran tentang jiwa manusia, suatu pemikiran yang diterima dengan sangat baik di seluruh Eropa pada abad 16. Itulah kiranya yang membedakan antara puisi, drawing dan lukisan. Bahwa lukisan itu setahap lebih tinggi dari drawing.11 Gambar 7 – Goenawan Mohamad, “Erotika”. Karena potongan-potongan pendapat itu dikumpulkan dan disuling selama bertahun-tahun, mereka dibakukan menjadi sebuah teori yang diformalkan pada Drawing Academy oleh Ludovico Dolce (1508-1568). Formalisasi paradigma ut pictura poesis ini menghasilkan lima prinsip yang menjadi pegangan akademi selama hampir 300 tahun. Yaitu prinsip instruksi dan kesenangan, imitasi, rekaan, kepantasan, dan ekspresi. Prinsip instruksi dan kesenangan didasarkan pada permintaan kelas borjuasi Eropa yang mendambakan lukisan sebagai bagian hedonisme dari masyarakat kelas tinggi ketika itu. Prinsip itu kemudian ditinggalkan seiring dengan kejatuhan aristokrasi itu sendiri. Prinsip imitasi maksudnya, melukis harus mirip, tidak mesti dengan menggunakan model manusia hidup, meniru patung klasik juga boleh. Prinsip rekaan lebih dititikberatkan pada komposisi, ketika cerita-cerita klasik diterjemahkan ke dalam lukisan. Ada pengaturan bagaimana seharusnya kita melukis manusia, binatang dan pemandangan. Prinsip kepantasan maksudnya lukisan harus pas, gesture harus sesuai, dan tidak 11 Young, Dennis (2002). Painting and Its Paradigm. Dalhousie University Art Gallery, h. 4. 9 boleh berlebihan. Prinsip ekspresi masih terkait dengan prinsip sebelumnya, bahwa selain gesture maka ekspresi wajah harus mencerminkan apa yang diinginkan pelukis.12 Gambar 8 – Goenawan Mohamad, “Sang Aktor” (2021). Walaupun ukuran-ukuran Ludovice Dolce terasa usang untuk senirupa modern (bagaimana menilai karya Basquiat dan Dubuffet dengan kriteria seperti itu?), tetapi lebih ‘lumayan’ ketimbang tidak punya pegangan sama sekali. Lukisan “Sang Aktor” adalah lukisan yang memenuhi prinsip ke-dua, ke-empat dan ke-lima dari Ludovico Dolce, yaitu kemiripan, gesture dan ekspresi. Slamet Rahardjo yang sedang berdiri dengan wajah terkesima dan posisi tangan yang bersedekap, bagus sekali. Ada background jajaran genjang berwarna oker yang menyarankan sebuah panggung. Namun komposisi perlu diperbaiki yaitu ditambahkan kembang agar sedikit berwarna. Bayangan yang jatuh menyamping lebih menonjolkan kesan 12 Young, 5 10 ruang pada lukisan. Anatomi juga pas. Saya kira lukisan ini tidak meniru dari foto mana pun, lebih banyak diambil dari imajinasi. Lukisan “Sang Aktor” menunjukkan Goenawan pandai melukis, walau baru ditekuninya beberapa tahun terakhir. Pencapaian yang sama saya dapati pada karya “Sitor” dan “Djoko Pekik”. Tidak semua wajah mengacu pada seseorang yang ada di dunia ini. Banyak karya yang betul-betul dari dunia antah-berantah, seperti pada karya “Orang Tak Bertanah Air”, “Patung Kayu”, dan “Kuda Sembrani Den Kisot”. Saya kira hal ini hanya sekedar alih media dari khayalan pada drawing ke lukisan, bukan sebuah transformasi yang berbeda seperti yang digambarkan Ludovico Dolce di atas. Gambar 9 – Goenawan Mohamad, “Perempuan dan Tanah”, 2019. Atau barangkali saya salah, bahwa orang dan makhluk antah-berantah itu muncul dari apa yang ia baca selama ini. Dari sana muncul imajinasi seperti “Orang Tak Bertanah Air” itu sebetulnya adalah sebuah fiksi yang didasarkan pada realitas bahwa banyak imigran dari Afrika yang ingin menetap di Eropa namun ditolak. Karena Eropa sekarang sudah penuh dengan imigran hitam yang pengangguran, suka protes dan bikin kacau. Penolakan itu tidak membuat imigran 11 kembali ke kampungnya tetapi tetap tinggal di Eropa dengan status stateless. Demikian pula dengan “Kuda Sembrani Den Kisot” adalah ‘realisasi’ dari fiksi bahwa cerita Don Qixote menciptakan suatu realitas, yaitu sebuah lukisan. Dengan itu maka kita akan mendapatkan suatu pencerahan atas gagasan alternatif dari mythos yang Paul Ricoeur katakan sebagai busur operasi, gerakan kompleks yang berasal dari kultur yang dipahami sebagai symbolic order, yang kemudian masuk ke dalam bentuk baku dalam karya seperti Don Qixote. Dan kemudian dikenalkan kembali ke dalam medan kultural dari kesadaran pembaca yang cara beradanya di dunia telah diubah oleh bacaan-bacaannya. Sebuah fiksi pada akhirnya menjadi realitas13 Hal sama terjadi pada “Perempuan dan Tanah”, seorang perempuan sendirian pada tanah datar tanpa pohon. Ada bukit merah di belakangnya, dan sebuah garis putih tegak yang kita tidak tahu apa maksudnya. Terasa suasana kosong di sana. Absurd. Namun seperti yang ditulis Bambang Bujono pada majalah Tempo, “Pada gambar-gambar dan lukisan Goenawan Mohamad, misalnya, terutama pada figur manusia, kadang kita melihat anatomi yang terasa janggal.”14 Perempuan ini tanpa lengan, sehingga lebih mirip vas kembang ketimbang sosok tubuh. Bagaimanapun, sebagaimana Ricoeur, dunia fiksi mempunyai aturan-aturannya sendiri, dan logikanya sendiri, yang berbeda dengan realitas. Kita hanya menikmati suasana dan kombinasi warna merah, kuning, putih dan burnt sienna, disertai background abu-abu yang dibuat gelap - sebagaimana kebiasaan Goenawan. Gambar 10 – Goenawan Mohamad, “Black Lives Matter”, 2020. 13 Ricoeur, Paul (1984). Time and Narrative, vol. 1. transl. Kathleen McLaughlin dan David Pellauer. Chicago: The University of Chicago Press, h. 57. 14 Bambang Bujono. Yang Bukan Pelukis, Ambil Bagian: Pameran Gambar dan Lukisan GM. Tempo, 9-15 Agustus 2021. h. 50. 12 “Black Lives Matter” merupakan salah satu karya terbaik dalam pameran ini. Yesus yang kurus terbaring dengan cawan di belakang kepalanya. Karya ini tak terlepas dari kekagumannya ketika ia berkunjung ke Museum Seni Rupa di Basel. Di sana ia menjumpai karya Hans Holbein, “The Body of the Dead Christ in the Tomb” (1521-1522).15 Yesus yang terkurung pada laci sempit dalam karya Holbein mendapat ruang yang lebih lega pada karya Goenawan. Tetapi hal itu tidak menghilangkan suasana wingit pada lukisan. Badan yang kurus dengan wajah yang celong tergambar dengan baik. Tubuh itu terhampar pada altar. Memandangi lukisan ini tiba-tiba saya teringat penggalan dari sepotong puisi, ke paras pertama. Ada angin dan api lampu. Wajah itu pun hanya putih, seakan puru, dan mungkin Maut tak akan tahu mengapa ruang dan dinding bergeming, mengapa lorong ini tak melepaskan dosa, mengapa yang padam tak ditinggalkan.16 Daftar Pustaka [1] Bambang Bujono. Yang Bukan Pelukis, Ambil Bagian: Pameran Gambar dan Lukisan GM. Tempo, 9-15 Agustus 2021. [2] Bischoff, Ulrich. Max Ernst. Koln: Taschen. [3] Goenawan Mohamad (1998). Misalkan Kita di Sarajevo. Jakarta: Kalam. [4] Goenawan Mohamad (2011). 70 Puisi. Jakarta: Tempo & PT Grafiti. [5] Goenawan Mohamad (2019). Binatang. Yogyakarta: Museum Dan Tanah Liat. 15 Rupa, 473 diambil dari potongan sajak “Mezbah”. Goenawan Mohamad (2011). 70 Puisi. Jakarta: Tempo & PT Grafiti, h. 117. 16 13 [6] Goenawan Mohamad (2021). Di Muka Jendela: 80 Tahun Goenawan Mohamad. Jakarta: Salihara. [7] Goenawan Mohamad (2021). Rupa, Kata, Obyek, dan yang Grotesk. Jakarta: Gang Kabel. [8] Ricoeur, Paul (1984). Time and Narrative, vol. 1. transl. Kathleen McLaughlin dan David Pellauer. Chicago: The University of Chicago Press. [9] Rosenbloom, Tova (2006). Color Preferences of High and Low Sensatiin Seekers. Creativity Research Journal. Vol. 18, No. 2. Lawrence Erlbaum Associates. [10] The Art Story (2021). Edgar Degas. [11] Yim, Gino (3 Maret 2019). Art and the Artist. medium.com [12] Young, Dennis (2002). Painting and Its Paradigm. Dalhousie University Art Gallery. 14