Academia.eduAcademia.edu

Cyber Notary Dalam Pembuatan Akta

2024, Widya Yuridika: Jurnal Hukum

https://doi.org/10.31328/wy.v7i2.4969

This study aims to analyze the implementation of cyber notary services in Makassar City and to analyze the inhibiting factors for implementing cyber notary services in making deed in Makassar City. This research is an empirical research type, the location of this research was conducted in Makassar City, South Sulawesi Province. The results of the study show that the application of cyber notary services to date has not had a notary in Makassar City who has made a notary deed using the cyber notary system because a notary does not have the authority granted by law to make it. The authority granted by UUJN is limited to the authority to certify transaction activities between notaries and appearers, including data collection. But not for the Notary's authority as a whole, namely the preparation of authentic deeds or the making of authentic deeds. The existence of legal implications for the delay in implementing cyber notary services is due to the ambiguity of norms (inconsistency) regarding Article 16 paragraph (1) letter m UUJNP 2014 with Article 15 paragraph (3) UUJNP 2014 which has implications for the implementation of a notary's authority such as the application of cyber notary in making deed authentic. Including the existence of several existing laws, namely: Article 1 paragraph (7) UUJN; Article 16 paragraph (1) letter m UUJN; Article 1868 Civil Code; and Article 5 paragraph (4) of the ITE Law which has legal implications for delays in the implementation of cyber notary services. So that if a notary insists on making an authentic deed in a cyber notary way, it will result in the degradation of the authentic deed into an underhanded deed.

P-ISSN: 2615-7586, E-ISSN: 2620-5556 Volume 7, (2), 2024 licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License http://publishing-widyagama.ac.id/ejournal-v2/index.php/yuridika/ Cyber Notary Dalam Pembuatan Akta Andi Muhammad Kadir Salmudin1, Iin Karita Sakharina2, Muhammad Ilham Arisaputra3 1Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Indonesia, [email protected] 2Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Indonesia 3Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Indonesia ABSTRACT MANUSCRIPT INFO This study aims to analyze the implementation of cyber notary services in Makassar City and to analyze the inhibiting factors for implementing cyber notary services in making deed in Makassar City. This research is an empirical research type, the location of this research was conducted in Makassar City, South Sulawesi Province. The results of the study show that the application of cyber notary services to date has not had a notary in Makassar City who has made a notary deed using the cyber notary system because a notary does not have the authority granted by law to make it. The authority granted by UUJN is limited to the authority to certify transaction activities between notaries and appearers, including data collection. But not for the Notary's authority as a whole, namely the preparation of authentic deeds or the making of authentic deeds. The existence of legal implications for the delay in implementing cyber notary services is due to the ambiguity of norms (inconsistency) regarding Article 16 paragraph (1) letter m UUJNP 2014 with Article 15 paragraph (3) UUJNP 2014 which has implications for the implementation of a notary's authority such as the application of cyber notary in making deed authentic. Including the existence of several existing laws, namely: Article 1 paragraph (7) UUJN; Article 16 paragraph (1) letter m UUJN; Article 1868 Civil Code; and Article 5 paragraph (4) of the ITE Law which has legal implications for delays in the implementation of cyber notary services. So that if a notary insists on making an authentic deed in a cyber notary way, it will result in the degradation of the authentic deed into an underhanded deed. Manuscript History: Received: 2023-08-23 Cite this paper Salmudin, A. M., Sakharina, I. K., & Arisaputra, M. I. (2024). Cyber Notary Dalam Pembuatan Akta. Widya Yuridika: Jurnal Hukum, 7(2). doi:https://doi.org/10.31328/wy.v7i2.4969 Accepted: 2024-07-22 Corresponding Author: Andi Muhammad Kadir Salmudin, andimuhammadkadir10@g mail.com Keywords: Obstructed; Implementation; Service; Cyber Notary Widya Yuridika: Jurnal Hukum is Licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License Layout Version: v.7.2024 PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi setiap warga negara, untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum tersebut, dalam hubungan subjek hukum berdasarkan hukum keperdataan, terkhusus mengenai hukum perjanjian dan kontrak, maka dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan, perjanjian, 281 Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (2) 2024 penetapan dan peristiwa hukum yang dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang.1 Di Indonesia, salah satu profesi yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik adalah Notaris. Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN).2 Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya perbuatan hukum baru. Pemberian peluang dan tantangan kepada Notaris pada era globalisasi yang menuntut agar Notaris tersebut tidak hanya bisa bekerja secara manual tetapi juga bisa memanfaatkan informasi yang berbasis teknologi. Tidak dapat dihindari lagi teknologi informasi dan transaksi elektronik menjadi ujung tombak era globalisasi yang kini melanda hampir seluruh dunia. Kemajuan dan perkembangan teknologi pada akhirnya akan mengubah tatanan organisasi dan hubungan sosial kemasyarakatan karena berkembangnya teknologi digital telah mengakibatkan terjadinya keterpaduan ataupun konvergensi dalam perkembangan teknologi informasi, media dan telekomunikasi.3 Wujud dari rangkaian tersebut adalah lahirnya produk-produk teknologi baru yang memadukan kemampuan sistem informasi dan sistem komunikasi yang berbasiskan sistem komputer yang selanjutnya terangkai dalam satu jaringan sistem informasi yang selanjutnya disebut sistem elektronik. Dunia notaris merupakan dunia yang fenomenal dengan seluruh atribut dan kegiatan yang dijalani sehari-hari oleh Notaris, dari berbagai aktivitas sampai memberikan pelayanan yang terbaik bagi kliennya/para pihak. Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum, dengan dasar ini mereka yang diangkat menjadi Notaris harus memiliki semangat untuk melayani masyarakat. Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa apabila masyarakat tidak menghendakinya.4 Dengan semakin canggihnya teknologi saat ini, seharusnya tidak lagi menjadi hambatan. Diharapkan agar masyarakat dapat beradaptasi dengan cepat mentransformasikan pekerjaannya secara elektronik seperti halnya layanan jasa hukum oleh Notaris. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya Notaris dalam menjalankan jabatannya selalu berhubungan dan berinteraksi secara langsung dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Terlebih dalam pelaksanaan jabatan Notaris dalam hal pembuatan akta, para pihak harus bertemu secara bersama dengan Notaris untuk menandatangani akta yang telah disepakati. Sebagaimana dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m tentang Jabatan Notaris (Selanjutnya disebut UUJN). Penjelasan dari pasal tersebut adalah bahwa Notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta bersamaan dengan para penghadap dan saksi. Hal ini juga erat kaitannya dengan produk akta yang dihasilkan. Sebagaimana dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN tersebut menjadi salah satu syarat keotentikan dari akta yang dibuat Notaris. Apabila aturan tersebut tidak dilaksanakan maka akta yang dihasilkan menjadi akta di bawah tangan dan tidak memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta otentik. Kegiatan yang dilakukan dimaksud di atas merupakan kegiatan dengan sistem konvensional Muhammad Luthfan Hadi Darus, Hukum Notariat dan Tanggung jawab Jabatan Notaris, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2017, hal. 1. 2 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 3 Didik M. Arif Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, cetakan ke-2. Bandung, 2009, hal. 122. 4 Emma Nurrita, Cyber Notary (Pemahaman Awal dalam Konsep Pemikiran). PT. Rafika Aditama, Bandung, 2012, hal. 19. 1 282 Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (2) 2024 yang dilakukan Notaris dan para pihak dengan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum. Ide “cyber notary” merupakan ide di zaman milenial yang memerlukan pembaharuan hukum, seperti dikemukakan Roscoe Pound hukum sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat.5 Berdasarkan Pasal 15 UUJN Notaris memiliki tugas dan kewenangan yang beberapa diantaranya adalah selain membuat akta otentik, Notaris juga berwenang untuk mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan, membukukan surat di bawah tangan, melakukan pengesahan, dan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan6. Kewenangan lain yang dimaksud di dalam Pasal 15 UUJN ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal 15 UUJN yang salah satunya adalah mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary). Namun sayangnya mengenai kewenangan Notaris dalam hal cyber notary tersebut belum ada pengaturan lebih lanjut. Dimana konsep cyber notary berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan notaris berbasis teknologi informasi.7 Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa esensi dari cyber notary mengenai cara memanfaatkan kemajuan teknologi bagi para notaris dalam menjalankan tugas-tugasnya sehari-hari, seperti: digitalisasi dokumen, penandatanganan akta secara elektronik, pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham secara teleconference, dan hal-hal lain yang sejenis di sisi lain, dapat dimaknai sebagai Notaris yang menjalankan tugas atau kewenangan jabatannya dengan berbasis teknologi informasi. Tentu saja bukanlah legalitas penggunaan handphone atau faksimili untuk komunikasi antara Notaris dan kliennya. Tetapi berkaitan dengan tugas dan fungsi Notaris, khususnya dalam pembuatan akta.8 Menurut NH, salah satu Notaris di Kota Makassar menyatakan bahwa pada dasarnya penggunaan cyber notary sangat memudahkan pekerjaan Notaris menjadi lebih efisien, efektif dan berbiaya murah untuk masyarakat, hanya saja tidak mempunyai payung hukum atau dasar hukum untuk melakukannya karena kewenangan yang ada di UUJN hanya kewengan terbatas bukan kewenangan membuat akta otentik secara cyber notary. Selain itu, ada juga dikarenakan adanya Pasal 16 ayat (1) UUJN yang mengharuskan para penghadap hadir dihadapan Notaris dalam pembacaan dan penandatanganan akta otentik. Menurutnya selain akta yang tidak memungkinkan ditanda tangani melalui cyber (elektronik), surat-surat yang lainnya juga sebaiknya tidak ditandatangani melalui elektronik untuk menghindari pemalsuan akta. Problematika yuridis, terhambatnya pelaksanaan cyber notary karena terdapat syarat formil yang harus dipenuhi untuk mendukung keabsahan Akta Notaris. Syarat-syarat formil tersebut adalah: 1. Dibuat dihadapan pejabat yang berwenang9 2. Dihadiri para pihak10 Ibid. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 7 Edmon Makarim. Notaris dan Transaksi Elektronik: Kajian Hukum Tentang Cyber Notary Atau Electronic Notary: Depok. 2020, hal. 133 8 brian.amy/2009/11/29/peluang-cyber-notary-di-indonesia/diakses pada tanggal 12 Agustus 2023 9 Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 10 Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 5 6 283 Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (2) 2024 3. Kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada notaris11 4. Dihadiri oleh dua orang saksi12 Sedangkan kemungkinan keberlakuan cyber notary dalam UUJN turut didukung dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).13 METODE Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang meneliti data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat.14 Penelitian ini dilakukan di kantorkantor Notaris Kota Makassar. Lokasi ini dipilih karena relevan dengan judul dan permasalahan yang diangkat. Dengan melakukan penelitian di lokasi tersebut, akan memudahkan penulis untuk mengakses data demi keakuratan penyusunan tesis ini. Jenis dan sumber data ada dua, pertama Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung berupa hasil wawancara. Data Sekunder berasal dari dokumen-dokumen yang menunjang pembahasan pada penelitian ini. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua yaitu, pertama penelitian lapangan dengan metode wawancara. Adapun narasumbernya adalah Notaris Kota Makassar. Kedua penellitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan atau library, penulis melakukan pengkajian dan mengolah data-data yang tersebut dalam peraturan perundangan-undangan, jurnal dan kajian-kajian ilmiah serta buku-buku yang berkaitan dengan latar belakang permasalahan, termasuk dapat mengumpulkan data melalui media elektronik dan media-media informasi lainnya. Keseluruhan data yang dikumpulkan dari penelitian ini, selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis data terakhir dengan memberikan kesimpulan dan saran mengenai apa yang seharusnya dilakukan terhadap permasalahan hukum tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN Penerapan Pelayanan Cyber Notary Di Kota Makassar Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dapat dipahami bahwa Notaris adalah pejabat umum yang secara khusus diberikan wewenang oleh undang-undang untuk membuat suatu alat bukti yang otentik (mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna). Melalui pengertian Notaris tersebut terlihat bahwa tugas seorang Notaris adalah menjadi pejabat umum, sedangkan wewenangnya adalah membuat akta otentik. Sedangkan akta otentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempatkan di mana akta Pasal 39 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 12 Pasal 40 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 13 Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 14 Irwansyah, Penelitian Hukum (Pilihan Metode dan Praktik Penulisan Artikel), Topoffset. Percetakan, Yugyakarta, 2020, hal. 43. 11 284 Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (2) 2024 itu dibuatnya. Akta Notaris sebagai akta otentik dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan Undang-Undang Jabatan Notaris.15 Rumusan atas unsur-unsur Notaris sebagaimana yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris terdiri dari: 1. Pejabat umum; 2. Mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik; 3. Kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang di luar Undang-Undang Jabatan Notaris. Peran notaris sangat bermartabat karena profesi notaris mempunyai andil yang besar bagi masyarakat. Perilaku dan perbuatan notaris harus sesuai dengan kode etik yang telah ditentukan. Notaris memiliki etika profesi yang mempunyai tujuan untuk membuat etika moral dalam hal kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan. Kebaikan yang dimaksud standar pelayanan notaris kepada masyarakat.16 Istilah pelayanan berasal dari kata “layan” yang artinya menolong menyediakan segala apa yang diperlukan oleh orang lain untuk perbuatan melayani. Hakikatnya setiap manusia memerlukan pelayanan, bahkan secara ekstern dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung. Pembahasan mengenai pelayanan mempunyai pengertian yang sangat banyak lebih kepada hal yang abstrak (intangible). Pelayanan adalah suatu proses yang menghasilkan suatu produk yang berupa pelayanan, yang kemudian diberikan kepada pelanggan, pelayanan sebagai kegiatan pemberian jasa dari satu pihak ke pihak lain, manakala pelayanan yang baik berupa pelayanan yang dilakukan secara ramah tamah dan dengan etika yang baik sehingga memenuhi kebutuhan dan kepuasan yang menerima.17 Komunikasi pelayanan publik tidak hanya dilakukan secara intensif melainkan harus dilakukan sepanjang waktu seiring dengan aktivitas pelayanan publik itu sendiri. Komunikasi pelayanan publik yang dibangun dengain baik harus memiliki berbagai dimensi, tidak hanya kemampuan komunikator dalam menyampaikan pesan, tapi lebih bagaimana dalam komunikasi pelayanan publik dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Diharapkan pelayanan bukan hanya sekedar slogan tapi memang sesuatu realistas yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Sehingga komunikasi dalam memberikan pelayanan bukan hanya sekedar pencitraan tetapi tuntutan masyarakat agar semua pelayanan dapat berkualitas lebih baik dari waktu sebelumnya.18 Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang pelayanan publik19 Notaris sebagai pejabat public dan dalam menjalankan jabatannya sebagai Pejabat Umum wajib untuk memberikan pelayanan yang diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.20 Notaris diberi wewenang oleh UUJN untuk memberikan pelayanan jasa hukum. Pelayanan jasa hukum yang akan diberikan oleh notaris terhadap klien bertujuan untuk mendapatkan 15 Pasal 38-39 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal. 9. 17 Muhammad Sawir, Birokrasi Pelanan Publik Konsep, Teori, Dan Aplikasi, CV Budi Utama, Yogyakarta, 2002, hal.85 18 Hardiansyah, Komunikasi Pelayana Publik Konsep Dan Aplikasi, Cetakan 1, Gava Media, Yogyakarta, 2015, hal.15 19 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Pelayanan Publik 20 Pasal 16 ayat 1 huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 16 285 Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (2) 2024 perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Kebutuhan pelayanan jasa notaris dalam masyarakat modern tidak mungkin dihindarkan. Notaris diangkat untuk kepentingan masyarakat luas. Pelayanan jasa yang diberikan oleh pejabat notaris yaitu mengenai trust (kepercayaan antara para pihak) manakala negara memberikan kepercayaan yang besar terhadap notaris dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian kepercayaan pada notaris artinya notaris tersebut mau tidak mau telah dapat dikatakan memikul pula tanggung jawab atasnya. Tanggung jawab ini dapat berupa tanggung jawab secara hukum maupun moral. Kepercayaan yang cukup besar yang diterima oleh notaris tersebut tentunya harus dijaga jangan sampai kepercayaan tersebut hilang dari masyarakat pengguna jasa notaris.21 Perkembangan internet, yang disebut teknologi jaringan komputer global, pada akhirnya telah menciptakan suatu dunia baru yang dinamakan cyberspace, yang kemudian diterjemahkan menjadi dunia maya atau dunia mayantara. Jusuf Jacobus Setyabudi dalam Tutik Tri Wulan Tutik mengatakan bahwa: cyberspace adalah sebuah dunia komunikasi berbasis komputer, yang menawarkan suatu realitas baru, yaitu realitas virtual (virtual reality). Lebih lanjut Onno W. Purbo dalam Tutik Tri Wulan Tutik mengatakan bahwa: internet sering disosialisasikan sebagai media tanpa batas. Dimensi ruang, waktu, birokrasi, kemapanan dan tembok strukturisasi yang selama ini ada di dunia nyata yang mudah di tembus oleh teknologi informasi”. Demokratisasi, keterbukaan, kebebasan berbicara, kompetisi bebas, perdagangan bebas yang diimbangi oleh kemampuan intelektual dan profesionalisme yang tinggi yang menjadi ciri khas dunia informasi mendatang di era globalisasi.22 Kebutuhan manusia akan informasi didukung dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya inovasi dan penemuan yang sederhana hingga sangat rumit. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai dewasa ini, terkhusus pada bidang informasi dan komunikasi, seakan menjadikan dunia terasa semakin sempit. Arus informasi berjalan sedemikian cepat, sehingga kondisi dan situasi di suatu belahan bumi lain dapat diketahui oleh mereka yang berada di belahan bumi lainnya.23 Informasi dapat diibaratkan sebagai darah yang mengalir di dalam tubuh manusia. Tanpa suatu informasi, suatu sistem tidak akan berjalan dengan lancar dan pada akhirnya sistem tersebut akan mati. Suatu organisasi tanpa adanya suatu informasi maka organisasi tersebut tidak bisa berjalan dan tidak bisa beroperasi. Dengan kata lain sumber informasi adalah data. Data menggambarkan suatu kejadian yang sering terjadi, dimana data tersebut akan diolah dan diterapkan dalam sistem menjadi input yang berguna dalam suatu sistem. 24 Teknologi informasi memainkan peran yang sangat penting saat ini dan akan terus demikian di masa depan. Kehadiran teknologi yang berkembang dengan pesat dan keberadaannya sangat membantu pekerjaan manusia diberbagai bidang, termasuk dalam bidang kenotariatan. Notaris dengan tuntutannya harus mampu berinovasi agar dapat memanfaatkan teknologi secara maksimal untuk menjalankan profesinya, yang memungkinkan di era yang akan datang dapat dilakukan dimana saja tanpa batas ruang dan 21 Khairulnas, Panduan Notaris/PPAT Dalam Menghadapi Gugatan Perdata, UII Press, Yogyakarta, 2018, hal. 22 https://media.neliti.com/media/publications/165003-ID-analisis-hukum-atas-penggunaandanpembu.pdf, Diakses pada tanggal 12 Agustus 2023 23 Juajir Sumardi. Hukum Perusahaan Transnasional dan Franchise. Arus Timur, Makassar, 2012, hal. 3. 24 Emma Nurita, op.cit., hal. 12 22 286 Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (2) 2024 waktu. Teknologi informasi dan komunikasi essensinya digunakan untuk mendukung segala aktivitas masyarakat yang dilakukan baik oleh lembaga swasta (non pemerintah) maupun oleh pemerintah yang tujuan utamanya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, pengembangan perdagangan dan perekonomian yang pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini berkat dukungan dari berbagai kalangan profesional yang terlibat dalam segala tindakan yang dilakukan termasuk dari kalangan profesi hukum. Sebelumnya penulis akan memaparkan konsep dan definisi cyber notary menurut para ahli. Profesor Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa istilah cyber notary muncul pada tahun 1994 yang dikeluarkan oleh The Information Security Committee of the American bar Association, komite ini menggambarkan bahwa ada suatu profesi yang mirip dengan notary public, akan tetapi dokumen yang dibuat dan yang ada pada profesi tersebut berbasis elektronik, hal mana profesi tersebut mempunyai fungsi untuk meningkatkan kepercayaan terhadap dokumen yang dibuat tersebut. Dalam lingkup ini, cyber notary mempunyai peran untuk mengotentifikasi dokumen yang berbasis elektronik, yang mana dari otentifikasi dokumen tersebut dapat di print out di manapun berada dan kapan saja. Cyber Notary juga mempunyai peran untuk memberikan kepastian kepada pihak-pihak yang berada di lain negara apakah di saat melakukan transaksi di suatu negara benar-benar atas kesadaran sendiri dan tanpa ada paksaan maupun ancaman agar menandatangani dokumen yang berbasis elektronik tersebut.25 Cyber notary ada dalam dua sistem hukum, yakni pada sistem common law dan civil law. Berdasarkan pembagian diketahui bahwa terdapat dua istilah hukum yang sering dipersamakan, yakni Electronic Notary E- Notary dan Cyber Notary. Istilah yang pertama, pertama kali dikenalkan oleh negara Perancis dalam sebuah forum legal workshop yang diselenggarakan oleh Uni Eropa pada tahun 1989 di Brussel, Belgia. E-Notary membuat notaris sebagai suatu pihak yang menyajikan independent record terhadap suatu transaksi elektronik yang dilakukan para pihak.26 Ada juga pendapat dari Theodore Sedwick yang merupakan manager dari Cyber Notary Project-US for International Business yang menyatan bahwa istilah cyber notary merupakan konsep yang digunakan dalam menggambarkan sesuatu dari fungsi notaris publik secara konvensional dan aplikasinya dalam pelaksanaan transaksi elektronik. Sehingga Cyber Notary dapat diibaratkan sebagai pengaman dalam pelaksanaan transaksi elektronik melalui internet melalui penerapan fungsi notaris publik secara konvensional yang berarti bahwa otentik secara otomatis atau elektronik dengan menggunakan infrastruktur umum yang ada dan memakai tanda tangan elektronik.27 Meskipun konsep cyber notary telah lama diwacanakan, namun faktanya cyber notary secara resmi digunakan oleh Negara Indonesia dalam suatu produk berupa perundangundangan pada tahun 2014, sebagaimana termaktub pada Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Dalam Pasal a quo. Mengenai kewenangan lain tersebut, dijelaskan antara lain adalah mensertifikasi suatu transaksi elektronik atau disebut dengan cyber notary. Ketentuan dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 02 Tahun 2014 yang mengatur bahwa notaris juga mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan Hikmawanto Juwana, disampaikan dalam acara Seminar “Cyber Notary, Tantangan Bagi Notaris Indonesia”, (Grand sahid jaya Hotel, Jakarta, 2011). 26 Herlien Budiono, Notaris dan Kode Etiknya, Upgrading dan Refreshing Course National Ikatan Notaris Indonesia, Medan, 2007, hal.36 27 http://www.abanet.org/sgitech/ec/en/cybernote.html. Diakses pada tanggal 12 Agustus 2023. 25 287 Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (2) 2024 perundang-undangan. Hal ini telah dijabarkan pada penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undangundang Nomor 02 Tahun 2014 yang salah satunya adalah tentang cyber notary. Apabila seorang notaris membuat akta menggunakan cyber notary, maka berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 02 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain: kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat akta ikrar wakaf dan hipotik pesawat terbang. Tidak demikian dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang nomor 02 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa notaris harus hadir untuk membacakan dan menandatangani akta, selain itu akta yang dibuat tersebut masih memiliki tanda tanya apakah sudah memenuhi keotentikan akta yang telah diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau tidak karena ketentuan dalam Pasal 1868 KUHPer merupakan syarat otensitas akta yang menyatakan bahwa suatu akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.28 Profesi notaris merupakan profesi yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam pembuatan alat bukti yang berupa akta otentik. Notaris diberikan kewenangan oleh negara bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk menjalankan sebagian tugas negara dalam hal memberikan pelayanan kepada klien. Inilah yang menjadi dasar mengapa seorang notaris harus menambah pengetahuan dan keterampilannya dalam melayani masyarakat sebagai misi utama dalam hidupnya.29 Berdasarkan wawancara kepada Andi Mauliana Bausad30 selaku Notaris/PPAT Kota Makassar menyatakan bahwa penerapan cyber notary dalam hal pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan Notaris dalam melengkapi akta otentik yang akan dibuatnya telah menjalankan cyber notary dalam keseharian guna mempermudah pekerjaan dalam melakukan pelayanan jasa melalui media fax, email, whatsapp, pdf, video call atau media teleconference lainnya. Tetapi untuk pembuatan akta otentik itu sendiri belum dilakukan dan masih dilakukan secara manual (fisik) karena terbentur dengan payung hukum yang belum ada. Dan tentunya tanpa dasar hukum otomatis terjadi pelanggaran hukum apabila akta otentik dibuat oleh Notaris secara digitalisasi/cyber notary. Selanjutnya wawancara kepada Idham Hamja31 selaku Notaris/PPAT Kota Makassar menyatakan bahwa penarapan cyber notary belum dapat dilakukan untuk saat ini karena belum memiliki regulasi yang bisa dijadikan dasar hukum oleh Notaris untuk melakukan pembuatan akta otentik secara digitalisasi atau cyber notary. Walaupun diakuinya bahwa sistem cyber notary akan sangat membantu pekerjaan Notaris, juga akan membantu masyarakat dalam hal kemudahan secara waktu dan berbiaya murah. Perkembangan dan kemajuan teknologi diharapkan bisa juga diterapkan di dunia kenotariatan, khusnya pembuatan akta otentik tetapi tentu harus ada payung hukumnya atau perubahan atas peraturan-peraturan yang bertolak belakang dengan konsep cyber notary. Pada penerapannya, pelayanan notaris dalam Indonesia tetap memiliki sifat tradisional, yakni maknanya kegiatan diantara notaris serta penghadap dilaksanakan dengan bertatapan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2009, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, Hal. 475. 29 Supriadi, Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika,Jakarta, 2006, hal. 50 30 Wawancara kepada Andi Mauliana Bausad selaku Notaris/PPAT Kota Makassar pada tanggal 11 Agustus 2023 31 Wawancara kepada Idham Hamja selaku Notaris/PPAT Kota Makassar pada tanggal 11 Agustus 2023 28 288 Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (2) 2024 muka. Dalam era digitalisasi sekarang, selaku generasi yang biasanya memakai perubahan digital, sehingga perlu dalam mengetahui teknologi pada tiap individu. Hal itu bisa juga dipakai pada berjalannya hukum yakni pelayanan notaris dengan teknologi infromasi ataupun disebut melalui cyber notary. Ungkapan cyber notary mempunyai makna pemakaian sebuah teknologi informasi terhadap notaris dalam melaksanakan penugasan kenotariatan, yakni pada upaya digitalisasi dokumen, penandatangan akta otentik dengan elektronik, pemakaian telekonferensi pada berjalannya Rapat Umum Pemegang Saham perusahaan (RUPS). Menururt penulis pengertian Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) secara telekonferensi adalah proses pertemuannya yang menggunakan video bukan mengenai data elektronik yang disimpannya karena minuta tetap harus dibuat oleh Notaris (data tulisan). RUPS teleconference tetap sah dengan data elektronik dan Notaris membuat aktan Berita Acaranya berupa akta relaas tetapi harus memenuhi persyaratan sah sebuah RUPS. Tidak mungkin seorang Notaris melakukan kegiatannya dalam membuat akta melalui media video call karena UUJN belum mengakomodir hal tersebut, hanya sebatas rapat saja (UUPT baru). RUPS sah secara telekonferensi karena Notaris menyaksikan sendiri jalannya RUPS tersebut dan berwenang dalam jabatannya untuk membuat akta relaas dimana para peserta rapat tidak perlu menandatangani akta tersebut. Walaupun dimungkinkannya RUPS secara teleconference, tetapi tetap ada hal yang tidak diperbolehkannya melakukan RUPS secara teleconference yaitu apabila untuk melakukan penjualan/pengalihan asset perusahaan karena semuanya itu diperlukan izin tertulis dari Direksi suatu PT dan persetujuan itu secara nyata dan jelas dilakukan di hadapan Notaris, yaitu dengan pembuktian penandatanganan persetujuan terhadap agenda rapat tersebut di hadapan Notaris, bahwa tandatangan tersebut harus dipastikan diatas dokumen yang akan ditandatangan dan bukan tandatangan yang ditempel/palsu. Sehingga kesimpulannya menurut penulis, bahwa walaupun pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 terkait Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 terkait Jabatan Notaris (UUJN) sudah dijelaskan terkait cyber notary pada Pasal 15 ayat (3) yakni menjelaskan adanya keberlakukan cyber notary sebatas pada wewenang sertifikasi aktivitas transaksi diantara notaris serta penghadap, termasuk pengumpulan data. Akan tetapi hal itu menurut penulis tidak dapat diterapkan pada wewenang notaris secara keseluruhan yakni penyusunan akta otentik atau pembuatan akta otentik. Hal tersebutlah yang dijadikan acuan pokok kajian terkait cyber notary di kalangan Notaris Kota Makassar yaitu belum diterapkan keseluruhan pada keberlangsungan hukum, terlebih pada pelayanan notaris secara cyber notary disebabkan karena tidak adanya regulasi atau pengaturan yang memadai yang menjelaskan terkait cyber notary secara keseluruhan. Definisi cyber notary di Indonesia tidak boleh diartikan secara bias sebagai pembuatan akta notaris melalui elektronik, karena Indonesia penganut sistem hukum civil law yang pembuatan aktanya harus dilakukan dihadapan notaris sehingga tidak dimungkinkannya pembuatan akta melalui cyber notary. Implikasi Hukum Terhadap Terhambatnya Penerapan Pelayanan Cyber Notary Di Kota Makassar Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Terjemahannya yaitu Notaris adalah pengacara yang berkualifikasi yang diakui oleh pengadilan dan petugas pengadilan baik dikantor sebagai Notaris dan pengacara dan sebagai 289 Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (2) 2024 Notaris ia menikmati hak-hak istimewa.32 Notaris dalam menjalankan profesinya diawasi dan dibina oleh suatu wadah organisasi, yang bernama Ikatan Notaris Indonesia (INI). Dalam melaksanakan tugasnya haruslah bersesuaian Undang-undang Jabatan Notaris maupun Kode Etik yang terdapat. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, tidak menutup kemungkinan Notaris dapat dipanggil oleh aparat penegak hukum sebagai saksi maupun dalam kaitannya dengan pelanggaran hukum pidana, karena Notaris dapat menyalahgunakan kewenangannya.33 Notaris dalam menjalankan jabatannya harus memiliki suatu kemampuan profesional yang tinggi dengan memperhatikan norma hukum. Di samping itu juga harus dilandasi dengan integritas moral, dan keluhuran martabat, serta sebuah etika profesi sehingga kepercayaan terhadap jabatan notaris tetap terjaga. Sudah barang tentu keinginan dan tuntutan masyarakat terhadap pengembangan dan pelaksanaan profesi notaris selalu sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kaidah profesi, ini merupakan salah satu faktor penentu agar profesi notaris selalu menjaga citranya sebagai profesi yang dihormati. Di samping itu kehadiran organisasi profesi yang kuat dan dapat dipercaya makin diperlukan oleh masyarakat agar para warganya dapat terlindungi dari segala bentuk penyalahgunaan keahlian. Oleh karena itu, notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Mempunyai integritas moral yang mantap; Harus jujur terhadap klien maupun dirinya sendiri; Sadar akan batas-batas kewenangannya; Tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.34 Permasalahan yang sering muncul dalam perbincangan tentang cyber notary adalah aktaakta yang bagaimana yang dimungkinkan dan yang bagaimana tidak dimungkinkan untuk dibuat secara cyber notary. Kalau akta bawah tangan bisa saja, karena bentuk akta merupakan kesepakatan dari para pihak, alasannya adalah: 1. Akta Otentik bentuknya ditentukan oleh peraturan dan belum ada peraturan yang menyatakan bahwa Akta Otentik boleh dalam bentuk elektronik; 2. Akta harus ditandatangani dan sampai saat ini belum ada peraturan yang secara eksplisit dan bersifat lex specialis yang menyatakan bahwa digital signature boleh digunakan untuk menandatangani akta otentik; 3. Pembuatan akta dan penandatanganan harus dihadiri dan disaksikan oleh Notaris dan para saksi dan sampai saat ini belum ada peraturan yang menyatakan bahwa Notaris boleh menyaksikan penandatanganan melalui, misalnya, teleconference. Sedangkan menurut penulis prosedur pembuatan akta Notaris dengan menggunakan cyber notary adalah Para pihak hadir di hadapan Notaris dengan menggunakan teleconference atau video call untuk menyampaikan maksud dan tujuan menghadap notaris dan menyampaikan akta yang akan dibuat, para pihak harus menunjukkan identitas mereka secara jelas kepada notaris dengan mengirimkan identitas mereka melalui alat elektronik misalnya faximile dan notaris mencocokkan identitas tersebut dengan orang yang berada 32http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/66615/Chapter%20II.. 33 34 Diakses pada tanggal 12 Agustus 2023 Nurjannah, Aminuddin Ilmar, Zulkifli Aspan. Analisis Hukum Terhadap Keputusan Majelis Kehormatan Notaris Dalam Pemeriksaan Notaris. Riau Law Journal Vol. 2 No. 2, November 2018, hal. 178 -179. Muhammad Ilham Arisaputra. 2012. Kewajiban Notaris Dalam Menjaga Kerahasiaan Akta Dalam Kaitannya dengan Hak Ingkar Notaris. Jurnal Perspektif, Volume XVII No. 3 Edisi September, Hal. 180 290 Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (2) 2024 dalam teleconference atau video call, setelah itu, notaris membuatkan akta sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang yang kemudian dibacakan di hadapan para pihak di mana dalam pembacaan akta tersebut baik notaris, saksi maupun para pihak menggunakan teleconference atau video call dalam waktu yang bersamaan, dan setelah selesai akta tersebut dibacakan dan dipahami oleh para pihak yang bersangkutan, akta tersebut ditandatangani oleh para pihak, saksi dan notaris dengan menggunakan tanda tangan digital. Persoalan yang lain kemudian muncul dalam pembuatan akta otentik secara elektronik adalah terkait dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh notaris terhadap akta yang dibuatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUJN, khususnya Pasal 16 ayat (1) UUJN huruf c, dan m, Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf c dan m, seorang pejabat notaris dalam membuat akta memiliki kewajiban untuk melekatkan sidik jari, dan ditanda tangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan notaris. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf c dan m, dalam pembuatan akta otentik secara elektronik sangatlah sulit diterapkan. Selanjutnya hal-hal yang masih menjadi hambatan secara umum penerapan cyber notary adalah:35 1. Mengenai hukum pembuktian akta otentik yang dibuat secara elektronik. 2. Mengenai sistem keamanan termasuk keamanan identitas para pihak. 3. Pertanggungjawaban hukum atas semua informasi elektronik/dokumen elektronik yang menjadi dasar dibuatnya akta autentik secara elektronik antara lain namun tidak terbatas pada identitas penghadap, legalitas perusahaan, minuta akta digital, output/luaran akta autentik digital (salinan) yang bocor akibat serangan virus, kejahatan hacker, ketidak handalan sistem, kelalaian pengguna (notaris & pengguna jasa/klien) dan akibat dari berbagai kejahatan dunia siber (cyber crime) lain sebagainya. Berdasarkan teori kepastian hukum yang digagas oleh Gustav Radburch, yang. menjelaskan bahwa kepastian. hukum.merupakan aturan yang bersifat.umum yang memungkinkan seseorang mengetahui. tindakan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Berdasarkan Teori Kepastian Hukum, maka definisi terhadap kewenangan notaris terhadap cyber notary yang semula tidak diketahui apakah perbuatan tersebut boleh. atau tidak boleh. dilakukan yang disebabkan oleh adanya kekosongan hokum (rechtsvacuum), mempunyai batasan yang jelas yaitu hanya berlaku untuk otentifikasi terhadap sertifikasi transaksi elektronik.36 Beberapa pasal yang dianggap menghambat realisasi penerapan cyber notary di Indonesia, antara lain:37 1. Pasal 1 angka 7 UUJN tentang akta harus dibuat.oleh atau dihadapan notaris; 2. Pasal 1 angka 8 dan angka 9 UUJN tentang minuta akta dan salinan akta tidak ada lagi perbedaan; 3. Pasal 16 ayat (1) UUJN, tentang kewajiban pembacaan akta di depan dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga; 4. Pasal 38 ayat (4) UUJN, uraian tent.ang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada; 5. Pasal 48 ayat (1) UUJN tentang isi akta tidak boleh diubah atau di tambah, baik berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain; Ade Irawan, M. Ryan Bakry dan Frengki Hardian, Eksistensi Aspek Teknologi dalam Pembuatan Akta Autentik Secara Elektronik pada Pengaturan Jabatan Notaris di Era Industri 5.0, Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, 2022, hal. 1513 36 Nurita, E., Cybernotary Pemahaman Awal dan Konsep Pemikiran.. Refika Aditama, Jakarta, hal 42. 37 Ibid. 35 291 Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (2) 2024 6. Pasal 50 UUJN tentang pencoretan bagian yang harus dicoret tetap dapat dibaca sesuai yang tercantum semula. Dalam alat bukti yang sah atau diterima dalam suatu perkara perdata pada dasarnya terdiri dari Bukti tertulis, Pengakuan Saksi, Persangkaan, Pengakuan dan Sumpah yang mana diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata. Dalam perkembangan alat bukti sekarang, terdiri dari Alat bukti Elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (4) huruf a dan b, saat ini konsep Cyber Notary khususnya dalam pembuatan akta secara elektronik belum bisa diterapkan tetapi bukan berarti untuk selamanya tidak dimungkinkan, karena jika ditinjau dari Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) dipastikan kedua ayat tersebut memberikan peluang terwujudnya konsep cyber notary, hanya saja perlu adanya keseragaman payung hukum dari peraturan jabatan notaris agar kewenangan notaris dapat ditambah tidak hanya melayani masyarakat secara konvensional tetapi dapat melayani masyarakat dalam bentuk jasa secara elektronik khususnya dalam pembuatan akta elektronik yang bernilai autentik, karena hal ini sudah sangat mendesak seiring dengan perkembangan zaman teknologi yang semakin pesat.38 Konsep cyber notary meskipun telah diakomodir dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, namun secara praktik masih menimbulkan perdebatan dari kalangan banyak ahli, sehingga dalam penerapannya tidak dapat diaplikasikan secara efektif dan efisien, bahkan dapat dikatakan masih terdapat kekaburan norma hukum (vague norm) dari konsep cyber notary itu sendiri, baik dari pemaknaan ataupun dari pengaturannya. Kekaburan norma hukum (vague norm) ini berimplikasi terhadap pelaksanaan suatu kewenangan notaris seperti hal mana yang disebutkan dalam UUJN khususnya Pasal 15 ayat (3). Konsekuensi dari kekaburan norma hukum (vague norm) tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan, salah satunya adalah inkonsistensi antara pasal 16 ayat (1) huruf m UUJNP 2014 dengan Pasal 15 ayat (3) UUJNP 2014 yang pada intinya dalam pasal-pasal a quo terdapat pertentangan antara kewajiban notaris dengan kewenangan notaris.39 Menurut penulis selain kekaburan norma (inkonsistensi) menyangkut pasal 16 ayat (1) huruf m UUJNP 2014 dengan Pasal 15 ayat (3) UUJNP 2014 yang berimplikasi terhadap pelaksanaan suatu kewenangan notaris seperti penerapan cyber notary dalam pembuatan akta otentik. Selanjutnya menurut penulis bahwa terhambatnya penerapan cyber notary juga karena implikasi hukum atas beberapa perundang-undangan yang ada, yakni: Pasal 1 ayat (7) UUJN; Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN; Pasal 1868 KUHPerdata; dan Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang ITE. Dengan adanya perundang-undangan tersebut sehinnga berimplikasi hukum atas penerapan cyber notary di Kota Makassar yang sampai saat ini belum ada Notaris di Makassar yang pernah melakukan pembuatan akta otentik secara cyber notary (digitalisasi akta otentik). Akta otentik sengaja dibuat guna terciptanya kepastian hukum, di samping itu juga bertujuan demi melindungi para pihak yang membuatnya, termasuk bagi masyarakat luas yang memiliki kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap hak dan kewajiban yang timbul. Sehingga menurut penulis, dalam hal pembuktian, akta otentik secara formil dan materiil diakui legalitasnya dimuka peradilan apabila dalam pembuatannya dilakukan dengan cara tertulis (diatas kertas) dan dibuat oleh pejabat yang memiliki otoritas untuk itu sebagaimana ketentuan yang telah berlaku. Berbeda halnya dengan pembuatan akta otentik secara elektronik tanpa media kertas, pembuatan akta otentik melalui media elektronik secara eksplisit belum memiliki peraturan perundang38 39 Emma Nurita, op,cit., hal 27 Ade Irawan, M. Ryan Bakry dan Frengki Hardian, op.cit., hal. 1515 292 Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (2) 2024 undangan, sehingga mengakibatkan akta yang dibuat dengan teknologi elektronik kepastian hukumnya diragukan. Hal ini mempengaruhi keotentikan akta tersebut, yaitu tidak lagi memiliki kesempurnaan nilai dalam hal pembuktian, hingga dianggap sebagai akta dibawah tangan. PENUTUP Penerapan pelayanan cyber notary sampai saat ini belum ada Notaris di Kota Makassar yang melaksanakan pembuatan akta Notaris dengan sistem cyber notary oleh karena Notaris tidak mempunyai kewenangan yang diberikan undang-undang untuk membuatnya. Kewenangan yang diberikan UUJN hanya sebatas pada kewewenangan sertifikasi aktivitas transaksi diantara notaris serta penghadap, termasuk pengumpulan data. Tetapi tidak untuk kewenangan Notaris secara keseluruhan yakni penyusunan akta otentik atau pembuatan akta otentik. Adanya implikasi hukum terhadap terhambatnya penerapan pelayanan cyber notary adalah disebabkan kekaburan norma (inkonsistensi) menyangkut pasal 16 ayat (1) huruf m UUJNP 2014 dengan Pasal 15 ayat (3) UUJNP 2014 yang berimplikasi terhadap pelaksanaan suatu kewenangan notaris seperti penerapan cyber notary dalam pembuatan akta otentik. Termasuk keberadaan beberapa perundangundangan yang ada, yakni: Pasal 1 ayat (7) UUJN; Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN; Pasal 1868 KUHPerdata; dan Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang ITE yang berimplikasi hukum terhadap terhambatnya penerapan pelayanan cyber notary. Sehingga apabila Notaris memaksakan membuat akta otentik secara cyber notary akan mengakibatkan terdegradasinya akta otentik tersebut menjadi akta di bawah tangan. Penulis mengusulkan kepada pemerintah untuk menfasilitasi tentang perlu adanya regulasi atau aturan hukum yang jelas dari peraturan jabatan notaris agar kewenangan notaris dapat ditambah tidak hanya dapat melayani masyarakat secara konvensional tetapi dapat juga melayani masyarakat dalam bentuk pelayanan jasa secara elektronik, khususnya dalam pembuatan akta elektronik yang bernilai otentik, karena dengan pesatnya perkembangan zaman teknologi hal ini sangat mendesak dan bermanfaat. Dan diharapkan kepada Notaris selama beberapa perundang-undangan yang bertolak belakang dengan konsep cyber notary tersebut masih berlaku supaya tidak memaksakan membuat akta otentik secara cyber notary, karena bisa mengakibatkan akta tersebut terdegradasi menjadi akta di bawah tangan dan merugikan para pihak yang ada di dalam akta serta Notaris sendiri. DAFTAR PUSTAKA Buku. Makarim, Edmon. (2020). Notaris dan Transaksi Elektronik: Kajian Hukum Tentang Cyber Notary Atau Electronic Notary. Depok. Nurrita, Emma. (2012). Cyber Notary (Pemahaman Awal dalam Konsep Pemikiran). Bandung: PT. Rafika Aditama, Hardiansyah. (2015). Komunikasi Pelayana Publik Konsep Dan Aplikasi, Cetakan 1, Yogyakarta; Gava Media. Irwansyah. (2020). Penelitian Hukum (Pilihan Metode dan Praktik Penulisan Artikel). Yogyakarta: Percetakan Top Offset. Sumardi, Juajir. (2012). Hukum Perusahaan Transnasional dan Franchise. Makassar: Arus Timur. Sawir, Muhammad. (2002). Birokrasi Pelanan Publik Konsep, Teori, Dan Aplikasi. Yogyakarta: CV Budi Utama. 293 Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (2) 2024 Luthfan Hadi Darus, Muhammad. (2017). Hukum Notariat dan Tanggung jawab Jabatan Notaris. Cetakan Pertama. Yogyakarta: UII Press. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. (2009). Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. Didik M. Arif Mansur dan Elisatris Gultom. (2009). Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Informasi. cetakan ke-2. Bandung: Refika Aditama. Supriadi. (2006). Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Khairulnas. (2018). Panduan Notaris/PPAT Dalam Menghadapi Gugatan Perdata, Yogyakarta: UII Press. Sidharta. (2006). Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir. Bandung: Refika Aditama. Artikel Jurnal/Karya Ilmiah. Ade Irawan, M. Ryan Bakry dan Frengki Hardian. (2022). Eksistensi Aspek Teknologi dalam Pembuatan Akta Autentik Secara Elektronik pada Pengaturan Jabatan Notaris di Era Industri 5.0. Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Budiono, Herlien. (2007). Notaris dan Kode Etiknya. Medan: Upgrading dan Refreshing Course National Ikatan Notaris Indonesia. Juwana, Hikmawanto. (2011). Seminar “Cyber Notary, Tantangan Bagi Notaris Indonesia”. Jakarta. Muhammad Ilham Arisaputra. (2012). Kewajiban Notaris Dalam Menjaga Kerahasiaan Akta Dalam Kaitannya dengan Hak Ingkar Notaris. Makassar: Jurnal Perspektif XVII (3) September. Nurjannah, Aminuddin Ilmar, dan Zulkifli Aspan. (2018). Analisis Hukum Terhadap Keputusan Majelis Kehormatan Notaris Dalam Pemeriksaan Notaris. Riau Law Journal 2 (2) November. Peraturan Perundang-undangan. KUHPerdata. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Website. brian.amy/2009/11/29/peluang-cyber-notary-di-indonesia http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/66615/Chapter%20II.. http://www.abanet.org/sgitech/ec/en/cybernote.html https://media.neliti.com/media/publications/165003-ID-analisis-hukum-ataspenggunaan-danpembu.pdf 294