Rencana Strategis Direktorat Pembinaan SMK 2015-2019
i
Grand Design
Pengembangan Teaching Factory
dan Technopark di SMK
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
GRAND DESIGN PENGEMBANGAN TEACHING FACTORY DAN TECHNOPARK DI SMK
@2016
ISBN: 97860272235-1-6
Pelindung
Hamid Muhammad, Ph.D
(Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah)
Penanggung Jawab
Drs. M. Mustaghfirin amin, MBA
(Direktur Pembinaan SMK)
Ketua Tim Penulis
Arie Wibowo Khurniawan, S.Si., M.Ak
Pengarah Materi
Ir. Sri Pudji Lestari, MM
Dr. Ir. M. Bakrun, MM
Moehammad Soleh, S.P
Ir. Nur Widyani, MM
Rudy Djumali (GIZ)
Kontributor
Winner Jihad Akbar, S.Si., M.Ak
Chrismi Widjajanti, SE., MBA
Arfah Laidiah Razik, SH., M.A
Harry Suliswanto, MM
Muhammad Rifan
Tim ATMI dan SMK Mikael Solo
Editor
Arie Wibowo Khurniawan, S.Si, M.Ak
Tri Haryani, S.Pd
Desain Logo Teaching Factory & Technopark
Mohamad Herdyka, ST
Desain Sampul dan Tata Letak
Donny Akbar – Asia Zoom
Sekretariat
Andi Amrullah, SE., MBA
Siman, SE
Herdiana, ST
Pipin Dwi Nugraheni, SE
Tri Haryani
Yana, S.Pd
Keuangan
Asep Edi, S.Pd
Diterbitkan Oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Gedung E Lantai 13
Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta Pusat 10270
www.psmk.kemdikbud.go.id
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kata Pengantar
Salah satu faktor utama keberhasilan
pembangunan di suatu negara adalah tersedianya
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan
mampu menopang pertumbuhan ekonomi sesuai
dengan perkembangan industri modern berbasis
informasi yang berubah dengan cepat. Oleh karena
itu kualitas pendidikan merupakan salah satu aspek
yang sangat penting dalam pembangunan suatu
negara, termasuk Indonesia.
Pendidikan Menengah adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal
yang merupakan lanjutan pendidikan dasar, berbentuk Sekolah Menengah Atas, Madrasah
Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan, atau bentuk lain yang
sederajat. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan Kejuruan adalah pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta
didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.
Dalam menghadapi keterbukaan ekonomi, sosial, dan budaya antarnegara secara
global, khususnya dalam penerapan masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) yang diberlakukan
akhir tahun 2015, lndonesia dihadapkan pada persaingan yang makin ketat, termasuk
dalam penyediaan tenaga kerja yang akan mengisi kebutuhan tenaga kerja di bidang
industri, perdagangan, pariwisata, dan lapangan kerja lain di negara-negara anggota MEA.
Apabila lndonesia tidak menyiapkan penyediaan tenaga kerja terampil menengah hingga
profesional, dimulai dari peningkatan akses dan mutu pendidikan menengah, dapat
dipastikan lndonesia hanya akan menjadi penampungan tenaga kerja terampil menengah
hingga profesional dari negara-negara anggota MEA.
Untuk mengantisipasi tuntutan dan tantangan di atas, dan sebagai kelanjutan
dari Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (Wajar Dikdas), yang
secara nasional telah tuntas, melalui Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 2015 tentang
1
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Pembangunan Sumber Daya Industri telah diluncurkan Program Teaching Factory dan
Technopark di SMK.
Program Teaching Factory adalah suatu konsep pembelajaran di SMK berbasis
produksi/jasa yang mengacu kepada standar dan prosedur yang berlaku di industri
dan dilaksanakan dalam suasana seperti yang terjadi di industri. Implementasi Teaching
Factory di SMK dapat menjembatani kesenjangan kompetensi antara kebutuhan industri
dan kompetensi yang dihasilkan oleh sekolah. Pelaksanaan Teaching Factory menuntut
keterlibatan mutlak pihak industri sebagai pihak yang relevan menilai kualitas hasil
pendidikan dari SMK. Teaching Factory juga harus melibatkan Pemda/Pemkot/provinsi
maupun orang tua dan masyarakat dalam perencanaan, regulasi maupun implementasinya.
Dalam proses pendidikan di SMK, keterlibatan pihak industri dalam proses
pembelajaran sangatlah penting, karena perkembangan teknologi maupun proses dalam
produksi/jasa yang sangat pesat. Penerapan Teaching Factory di SMK akan mendorong
mekanisme kerja sama antar sekolah dan industri yang saling menguntungkan, sehingga
SMK akan selalu mengikuti perkembangan industri secara otomatis (teknologi transfer,
manajerial, pengembangan kurikulum, prakerin, dan sebagainya.
Program Technopark di SMK dicanangkan sebagai pusat dari beberapa Teaching
Factory di SMK (“hub”) yang menghubungkan dunia pendidikan (SMK) dengan dunia
industri dan instansi yang relevan untuk bekerja sama dengan Teaching Factory di SMK.
Technopark akan menjadi “Think-Thank” SMK dalam pengembangan Teaching Factory yang
harus mampu menyesuaikan perkembangan industri yang pesat. Technopark juga akan
mempromosikan potensi daerah yang relevan untuk pengembangan ekonomi daerah
dan sekaligus mempermudah komunikasi dengan dunia industri.
Salah satu tujuan utama program Teaching Factory dan Technopark di SMK adalah
untuk meningkatkan kompetensi lulusan SMK yang relevan dengan kebutuhan industri,
sehingga berdampak kepada penguatan daya saing industri di Indonesia. Kompetensi
yang dihantarkan secara integratif melalui penerapan Teaching Factory adalah kompetensi
yang “comphrehensive” meliputi keahlian di ranah psikomotorik, afektif/sikap (“attitude”)
dan kemampuan berpikir/mental (cognitive) “Higher-Order Thinking Skills” (HOTS) yang
mampu berpikir kritis dan memecahkan masalah (“critical thinking/evaluation” dan
“problem solving”). Sehingga pendidikan di SMK akan menghasilkan lulusan yang tidak
hanya kompeten dari sisi keterampilan (hard skill), namun juga produktif dan bersikap baik
(produktif dan tahan banting).
Oleh karena itu, Rencana lnduk (Grand Design) ini disusun untuk memberi arahan
dalam pelaksanaan Program Teaching Factory dan Technopark di SMK dan sebagai
2
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
panduan dalam penyusunan dokumen perencanaan dan implementasi Teaching Factory
dan Technopark di SMK yang lebih teknis, baik pada level nasional maupun level daerah
(provinsi dan kabupaten/kota). Peraturan, prosedur, kurikulum, sarana dan prasarana
untuk mendukung terlaksananya penerapan program Teaching Factory dan Technopark di
SMK harus ditindaklanjuti secepatnya oleh instansi teknis terkait.
Grand Design ini juga diharapkan bisa dipahami serta dimanfaatkan oleh seluruh
masyarakat, khususnya para pemangku kepentingan. Dengan demikian, banyak pihak
dapat terlibat aktif secara efektif dan konstruktif, termasuk memberi kritik, evaluasi, dan
rekomendasi. Pelibatan publik secara lebih aktif dan terintegrasi diharapkan mampu
meningkatkan hasil pembangunan pendidikan, khususnya SMK selama lima tahun
mendatang.
Jakarta,
Oktober 2015
Direktur Pembinaan SMK
Drs. M. Mustaghfirin Amin, MBA
NIP 195806251985031003
3
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Istilah dan Singkatan
Daftar Gambar
Daftar Tabel
1
6
10
12
BAB I
PENDAHULUAN
14
A. LATAR BELAKANG
B. MAKSUD DAN TUJUAN
C. SISTEMATIKA PENULISAN
16
18
19
BAB II
ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS
22
A. GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI
B. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA
C. EKONOMI
D. KETENAGAKERJAAN
E. INDUSTRI
F. POLITIK
24
31
33
40
45
47
BAB III
KONDISI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
50
A. PARADIGMA PENDIDIKAN KEJURUAN
B. KARAKTERISTIK PENDIDIKAN KEJURUAN
C. PEMENUHAN AKSES SMK
D. KONDISI MUTU SMK
E. PROFIL LULUSAN SMK
52
56
59
64
77
4
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
BAB IV
KONSEP TEACHING FACTORY DAN TECHNOPARK DI SMK
80
A. RASIONAL
B. DASAR HUKUM
C. KONSEP TEACHING FACTORY DI SMK
D. KONSEP TECHNOPARK DI SMK
82
86
90
114
BAB V
ARAH KEBIJAKAN IMPLEMENTASI, KERANGKA KELEMBAGAAN
DAN KERANGKA REGULASI
118
A. ARAH KEBIJAKAN
B. IMPLEMENTASI TEACHING FACTORY DI SMK
C. IMPLEMENTASI TECHNOPARK DI SMK
D. KERANGKA KELEMBAGAAN
E. KERANGKA REGULASI
120
125
143
145
146
BAB VI
TARGET KINERJA, KERANGKA PENDANAAN,
DAN SISTEM PEMANTAUAN DAN EVALUASI
150
A. TARGET KINERJA
B. KERANGKA PENDANAAN
C. SISTEM PEMANTAUAN DAN EVALUASI
152
153
157
BAB VII
PENUTUP
162
Daftar Pustaka
166
5
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Daftar Istilah dan Singkatan
A
ABG
: Academic–Business–Government (Dunia Pendidikan-Dunia
Usaha-Pemerintah)
APBD
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APK
: Angka Partisipasi Kasar
APM
: Angka Partisipasi Murni
ASEAN
: Association of Southeast Asian Nations (Perhimpunan BangsaBangsa Asia Tenggara)
ATP
: Agro Techno Park
B
BAN
: Badan Akreditasi Nasional
BLK
: Balai Latihan Kerja
BPPT
: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
BPS
: Badan Pusat Statistik
BSM
: Bantuan Siswa Miskin
BTP
: Bandung Techno Park
C
CBET
: Competency Based Education and Training
CBT
: Competency-Based Training (Pelatihan berbasis Kompetensi)
CSC
: Cibinong Science Center
D
D1
: Diploma 1
D2
: Diploma 2
D3
: Diploma 3
D4
: Diploma 4
DAK
: Dana Alokasi Khusus
DI
: Daerah Istimewa
DKI
: Daerah Khusus Ibukota
Dapodik
: Data Pokok Pendidikan
Du/Di
: Dunia Usaha/Dunia Industri
6
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
E
ETRI
: Electronic and Telecomunication Research Institute
G
GCI
: Global Competitivness Index (Indeks Daya Saing Global)
GIZ
: Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit
H
HCEL
: House Committee on Education and Labour
HDI
: Human Development Index
HOTS
: Higher-Order Thinking Skills
I
IBI
: Internasional Business Incubation
ICI
: Imperial Chemical Industries
ICT
: Information Communication Technology
IPM
: Indeks Pembangunan Manusia
IT
: Information Technology
ITRI
: Industrial Technology Research Institute
Iptek
: Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
J
JRC
: Jababeka Research center
Jababeka
: Jawa Barat Bekasi
K
K/L
: Kementerian/Lembaga
KWH
: KiloWatt Hours
Kab
: Kabupaten
Kemendikbud
: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kemenperin
: Kementerian Perindustrian
Kemnakertrans
: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
L
LIPI
: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
7
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
M
MEA
: Masyarakat Ekonomi Asean
MRC
: Multimedia Resource Center
N
N-STP
: National Science and Technology Park
NCRVE
: National Council for Research into Vocational Education
NIS
: Nomor Induk Siswa
NUPTK
: Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan
O
OECD
: Organisation for Economic Co-operation and Development
(Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi)
OSSLM
: One Stop Service Labor Market
P
PBET
: Production Based Education and Training
PDB
: Produk Domestik Bruto
PDRB
: Produk Domestik Regional Bruto
PDSP
: Pusat Data dan Statistik Pendidikan
PPP
: Purchasing Power Parity (keseimbangan kemampuan
berbelanja)
PSMK
: Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
PTK
: Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Pemda
: Pemerintah Daerah
Permendikbud
: Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
R
R&D
: Research and Development (Penelitian dan Pengembangan)
RPJMN
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJPN
: Rencana Pembangunan Jangka Pendek Nasional
RPP
: Rancangan Peraturan Pemerintah
Renstra
: Rencana Strategis
S
S1
: Strata 1 (sarjana)
S2
: Strata 2 (magister)
8
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
S3
: Strata 3 (doktor)
SD
: Sekolah Dasar
SDM
: Sumber Daya Manusia
SIM
: Sistem Informasi Manajemen
SKKNI
: Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
SM
: Sekolah Menengah
SMA
: Sekolah Menengah Atas
SMK
: Sekolah Menengah Kejuruan
SMP
: Sekolah Menengah Pertama
SMU
: Sekolah Menengah Umum
SNP
: Standar Nasional Pendidikan
SOP
: Standard Operation Procedure
T
TEFA
: Teaching Factory
TF
: Teaching Factory
TIK
: Teknologi Informasi dan Komunikasi
TPM
: Technology Park Malaysia
TVET
: Technical and Vocational Education and Training
U
UN
: Ujian Nasional
UNDP
: United Nations Development Programme (Program
Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa)
USB
: Unit Sekolah Baru
UU
: Undang-Undang
Z
ZSP
: Zongguanchun Science Park
9
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Daftar Gambar
Gambar 1. Peta Kepadatan Per Provinsi di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 2. Distribusi Penduduk Indonesia berdasarkan Kepadatan Wilayah . . . . . . . . . . . . .
Gambar 3. Piramida Penduduk Berdasarkan Usia. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 4. Bonus Demografi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 5. Distribusi PDRB Tiap Provinsi Berdasarkan Sektor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 6. Peta PDRB Tiap Provinsi Berdasarkan Sektor Dominan . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 7. Persentase Kemiskinan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 8. PDRB Per Kapita per Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 9. Struktur Angkatan Kerja Berdasarkan Sektor dan Kualifikasi Pendidikan . . . . . . . .
Gambar 10. Struktur Tenaga Kerja Per Provinsi Berdasarkan Sektor . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 11. Struktur Angkatan Kerja Per Provinsi Berdasarkan Kualifkasi Pendidikan . . . . . . .
Gambar 12. Angka Pengangguran di Tiap Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 13. Hasil Survei Perusahaan Membutuhkan Tenaga Terampil . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 14. Jumlah Industri di Tiap Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 15. Persentase Komoditas Industri di Tiap Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 16. Pembagian Kewenangan Pendidikan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 17. Perkembangan APK dan APM 2010 - 2014 dan Sebaran Capaian APK per Provinsi
Tahun 2014 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 18. Peta APK SM 2014 per provinsi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 19. Sebaran Jumlah SMK berdasarkan Status . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 20 Jumlah SMK di Setiap Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 21. Capaian UN SMK Tahun 2011/2012 per Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 22. Persentase SMK yang Diakreditasi di Setiap Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 23. Hasil Akreditasi Sekolah pada SMA/MA dan Program Keahlian SMK . . . . . . . . . .
Gambar 23.1 Rata-Rata Nilai Ujian Kompetensi Guru SMK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 24 Peta Sebaran Guru dan Peserta Didik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 25 Kebutuhan Guru Produktif SMK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 26 Kondisi Ruang Kelas SMK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 27. Perkembangan lulusan SMK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 28. Persentase Angka Ketidaklulusan SMK. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 30. Peta dan Proyeksi Angkatan Pekerja menurut Pendidikan Tertinggi . . . . . . . . . .
Gambar 31. Jumlah Pencari Kerja Menurut Pendidikan Tertinggi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 32. Persentase Peserta Didik pada Pendidikan Menengah Kejuruan . . . . . . . . . . . .
Gambar 33. Paradigma Teaching Factory . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 34. Cara Penyampaian Keterampilan Teaching Factory . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 35. Kategori Pelaksanaan Teaching Factory . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 36. Piramida Konsep Pembelajaran PBET . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 37. Titik Fokus Pengembangan Teaching Factory . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 38. Matriks Perbandingan Konsep CBT, PBET dan Teaching Factory . . . . . . . . . . . . .
Gambar 39. ”Skill - Knowledge - Attitude” Level Kompetensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 40. Technopark di SMK sebagai Intergrator SMK Pelaksana Teaching Factory . . . . . . .
10
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
25
25
28
29
32
33
33
34
38
40
41
42
43
44
45
46
. 59
. 59
. 60
. 60
. 69
. 70
. 71
. 72
. 73
. 73
. 75
. 76
. 76
. 80
. 81
. 84
. 89
. 90
. 92
. 96
. 99
.101
.109
.113
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Gambar 41. Konsep Technopark . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 42. Kerangka Strategi Implementasi Teaching Factory . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 43. Garis Besar Pengembangan Schedule dan RPP . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 44. Diagram Identifikasi Perangkat Pembelajaran Utama – Pengertian Schedule
dan RPP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 45. Perangkat Utama Implementasi Teaching Factory – Penyusunan Schedule
dan RPP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 46. Layout Bengkel (Contoh :Bengkeltimur SMK Mikael) . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 47. Triple Helix . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Gambar 48. Kerangka Kelembagaan Tata Kelola Teaching Factory di SMK . . . . . . . . . .
Gambar 49. Pendekatan Penetapan Teaching Factory dan Technopark di SMK . . . . . . .
. . . . .114
. . . . .124
. . . . .125
. . . . .134
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.135
.137
.143
.144
.151
11
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Daftar Tabel
Tabel 1. Luas Wilayah Setiap Provinsi di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 2. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota . . .
Tabel 3. Distribusi Capaian IPM provinsi dan Distribusi Capaian IPM kab/kota di tingkat
nasional . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 4. PDRB Berdasarkan Sektor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 6. Perbandingan Jumlah Sekolah dan Jumlah Siswa SMK . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 7. Spektrum Keahlian dan Program Studi SMK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 8. Capaian Nilai UN SMK Tahun 2013/2014 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 9. Capaian Nilai UN SMK Tahun 2013/2014 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 9.1 Jumlah Guru SMK berdasarkan Kualifikasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 10. Perbedaan Dual System dengan CBT . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 11. Kondisi Ideal Teaching Factory (TF) yang Ingin Dicapai . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 12. Komponen Utama Ekosistem Teaching Factory di SMK . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 13. Identifikasi Sistem Pembelajaran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 14. Tabel Struktur Kurikulum (Generik) Standar -Kasus Program Keahlian Pemesinan
Tabel 15. Schedule - Kebutuhan Sarana dan Prasarana Baku (Kelas X) . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 16. Tabel Contoh Jadwal Teori Kelas X.A . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 17. Tabel Pembelajaran yang Diukur dengan Level Jobsheet . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 18. Tabel Penyelenggaraan Pembelajaran yang Diukur dengan Level Jadwal . . . . .
Tabel 19. Implementasi 7 Level Jobsheet . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 20. Kerangka Regulasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 21. Estimasi Kebutuhan Anggaran Implementasi Teaching Factory dan Technopark
di SMK Tahun 2015-2020 (Juta Rupiah) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 22. Estimasi Kebutuhan Anggaran Minimal Pengembangan Teaching Factory dan
Technopark Per Provinsi 2015-2020 (Juta Rupiah) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tabel 23. Parameter Evaluasi Teaching Factory di SMK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
12
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
. . . . 25
. . . . 28
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
. 32
. 37
. 38
. 63
. 64
. 71
. 76
. 76
. 96
.108
.113
.128
.130
.133
.134
.140
.140
.141
.147
. . . .155
. . . .156
. . . .159
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
13
BAB I
PENDAHULUAN
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
16
B. Maksud dan Tujuan
18
C. Sistematika Penulisan
19
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia, dimana setiap
warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan
minat dan bakat yang dimiliki tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis,
agama dan gender. Pemerataan akses dan mutu pendidikan akan membuat warga negara
Indonesia memiliki keterampilan hidup (life skills) sehingga akan mendorong tegaknya
pembangunan manusia seutuhnya serta masyarakat madani dan modern yang dijiwai
oleh nilai-nilai Pancasila, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Namun demikian, Human Development Report tahun 2013 versi UNDP menyebutkan
bahwa peringkat mutu sumber daya manusia (Human Development Index, HDI) Indonesia
berada pada urutan ke-108. Peringkat ini jauh di bawah Thailand (89), Malaysia (62),
Brunei Darussalam (30), Korea Selatan (16), dan Singapura (12). Pada tahun 2014, posisi
Indonesia tetap yaitu pada rangking ke-108 dengan nilai 0,684 dan rangking ini masih
berada di bawah Thailand (89), Malaysia (62), Brunei Darussalam (30), Korea Selatan (15),
dan Singapura (9). Sementara itu, World Economic Forum menyatakan bahwa daya saing
(Global Competitivness Index, GCI) Indonesia pada tahun 2014 berada pada peringkat ke
34. Peringkat ini di bawah Thailand (31), Korea Selatan (26), Malaysia (20), dan Singapura
(2). Sementara itu, pada tahun 2015 posisi Indonesia semakin menurun yaitu berada pada
rangking ke-37 dengan nilai 4,521, atau jika dibandingkan dengan tahun 2014 menurun
sebanyak tiga level. Rangking ini juga masih berada di bawah Thailand (32), Korea Selatan
(26), Malaysia (18), dan Singapura (2). Berdasarkan data HDI dan GCI tersebut, menunjukkan
bahwa posisi daya saing Indonesia dibandingkan dengan daya saing dari negara-negara
ASEAN dan Asia masih relatif lebih rendah.
Sementara itu, kondisi ketenagakerjaan di Indonesia saat ini masih diwarnai
tingkat pengangguran yang tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total jumlah
pengangguran terbuka secara nasional pada Agustus 2014 mencapai 7,24 juta orang atau
5,94% dari total angkatan kerja. Jumlah pengangguran yang tinggi dimungkinkan karena
kompetensi yang dimiliki oleh SDM Indonesia masih rendah dibandingkan kompetensi
yang dibutuhkan oleh dunia usaha/industri atau karena peluang kerja yang memang tidak
cukup untuk menampung semua lulusan tenaga kerja yang dihasilkan oleh sekolah dan
perguruan tinggi.
16
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Di samping itu, tingkat keberhasilan pembangunan nasional sangat terkait
dengan kualitas sumber daya manusia. Negara telah berupaya mengoptimalkan dan
memaksimalkan pembangunan kapasitas sumber daya manusia Indonesia melalui sektor
pendidikan, baik melalui jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non formal.
Pendidikan yang dilakukan sedapat mungkin mencerminkan proses memanusiakan
manusia atau dengan perkataan lain mengaktualisasikan semua potensi yang dimilikinya
menjadi kemampuan yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat. Salah satu jalur pendidikan formal yang menyiapkan lulusannya untuk
memiliki keunggulan di dunia kerja adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Salah satu
tujuan penting pengembangan program pendidikan SMK adalah menyiapkan sumber
daya manusia yang siap memasuki dunia kerja, memiliki kepemimpinan tinggi, disiplin,
profesional, handal di bidangnya dan produktif. Dengan demikian, lulusan SMK idealnya
merupakan tenaga kerja tingkat menengah yang siap pakai, dalam arti langsung bisa
bekerja di dunia usaha dan industri.
Permasalahan SMK saat ini umumnya terkait dengan keterbatasan peralatan,
masih rendahnya biaya praktik, dan lingkungan belajar yang belum sesuai dengan dunia
kerja. Kondisi ini dapat menyebabkan ketidaksiapan lulusan SMK dalam memasuki dunia
kerja. Ketidaksiapan lulusan SMK dalam melakukan pekerjaan yang ada di dunia kerja
mempunyai efek domino terhadap industri pemakai. Sebagai pengguna tenaga kerja,
industri harus menyelenggarakan pendidikan di dalam industri untuk menyiapkan tenaga
kerjanya. Dengan demikian pihak industri harus mengalokasikan biaya ekstra di luar biaya
produksi. Sebenarnya pihak industri dan pihak sekolah memiliki keterbatasan masingmasing dalam membentuk dan mendapatkan tenaga kerja siap pakai. Pihak sekolah
memiliki keterbatasan dalam pembiayaan dan penyediaan lingkungan belajar, sementara
pihak industri memiliki keterbatasan sumber daya pendidikan untuk membentuk tenaga
kerja yang dibutuhkan. Oleh karena itu untuk mendapatkan lulusan SMK yang siap pakai,
perlu dilakukan kerja sama antara SMK dengan dunia usaha/dunia industri dengan tujuan
untuk mempercepat waktu penyesuaian bagi lulusan SMK dalam memasuki dunia kerja
dan pada akhirnya juga akan meningkatkan mutu SMK.
Di negara-negara maju, peran industri ditunjukkan secara nyata melalui kerja sama
program, dukungan finansial untuk penelitian dan beasiswa peserta didik. Bahkan di
beberapa negara, peran industri ini sudah menjadi kewajiban karena telah ada regulasi
yang mengaturnya.
Di sisi lain, pendidikan kewirausahaan di Indonesia masih kurang memperoleh
perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan maupun masyarakat. Secara
kurikulum pendidikan kewirausahaan masuk dalam adaptif, artinya bahwa terdapat
beberapa teori yang harus dipelajari oleh siswa, sehingga cenderung pendidikan
kewirausahaan bersifat teoritis di kelas, sedangkan masyarakat masih memandang
17
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
bahwa menjadi pegawai lebih nyaman dibandingkan dengan menjadi wirausaha/
entrepreneurship.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan telah secara maksimal meningkatkan kualitas SDM melalui
berbagai program pendidikan, menanamkan jiwa wirausaha di setiap jenjang dan tingkat
pendidikan, serta berusaha memperluas lapangan kerja. Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan (Direktorat PSMK) turut ambil bagian dengan berusaha meningkatkan
kompetensi dan jiwa wirausaha lulusan SMK. Dalam RPJMN 2015-2019, telah ditargetkan
200 SMK mengikuti program pembelajaran kewirausahaan dan teaching factory.
Sejalan dengan RPJMN 2015-2019, Direktorat PSMK dalam rencana strategis 20152019 memiliki visi Terbentuknya Insan dan Ekosistem Pendidikan SMK yang berkarakter
dengan berlandaskan gotong royong. Salah satu program prioritas untuk merealisasikan
visi tersebut adalah program pengembangan Teaching Factory atau sebelumnya disebut
dengan teaching industry di SMK.
Arah pengembangan yang akan dilakukan akan menjadi lebih efektif apabila
pengambil keputusan mendapatkan masukan informasi yang tepat, akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, Rencana Induk Pengembangan Teaching
Factory dan Technopark di SMK merupakan sebuah keniscayaan yang mutlak diperlukan.
B.
Maksud dan Tujuan
Grand Design atau Rencana Induk Pengembangan Teaching Factory dan Technopark
di SMK ini disusun dengan tujuan:
1.
Memetakan kondisi Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK di
semua provinsi di Indonesia.
2.
Menyusun strategi pelaksanaan Program Pengembangan Teaching Factory dan
Technopark di SMK pada tingkat nasional.
3.
Menyusun rekomendasi pelaksanaan Program Pengembangan Teaching Factory
dan Technopark di SMK di setiap provinsi disesuaikan dengan kondisi internal dan
kondisi eksternal pendidikan kejuruan di masing-masing provinsi.
4.
Memberikan persepsi dan pemahaman yang seragam tentang Teaching Factory
dan Technopark di SMK dengan tujuan utamanya yaitu pendidikan SMK yang
berkualitas, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan industri.
18
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
C.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan naskah Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan
Technopark di SMK dijabarkan sebagai berikut:
BAB I – PENDAHULUAN
Berisikan latar belakang, maksud & tujuan, dan sistematika Grand Design
Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK.
BAB II – ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS
Berisikan kondisi-kondisi eksternal yang merupakan dampak dari pendidikan
menengah seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan ketenagakerjaan,
serta faktor-faktor penting dalam memengaruhi pembangunan pendidikan yang
meliputi kondisi geografi, demografi, kemampuan ekonomi masyarakat dan
daerah, serta kondisi industri di masing-masing wilayah.
BAB III – KONDISI PEMBANGUNAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
Menggambarkan kondisi capaian akses pendidikan menengah kejuruan di setiap
provinsi, kondisi mutu dan layanan, pertumbuhan dan sebaran peserta didik, serta
sebaran dan ketersediaan satuan pendidikan menengah kejuruan secara spasial.
BAB IV – KONSEP TEACHING FACTORY DAN TECHNOPARK DI SMK
Berisikan tentang rasional pentingnya Teaching Factory dan Technopark di SMK,
dasar hukum yang melandasi Teaching Factory dan Technopark di SMK, serta
menjelaskan definisi dan pendekatan yang digunakan dalam konsep implementasi
Teaching Factory dan Technopark di SMK.
BAB V – ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, IMPLEMENTASI, KERANGKA
KELEMBAGAAN, DAN KERANGKA REGULASI
Berisikan arah kebijakan pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
tahun 2015-2019, strategi, implementasi, kerangka kelembagaan, dan kerangka
regulasi yang perlu dipenuhi dalam rangka pelaksanaan program Pengembangan
Teaching Factory dan Technopark di SMK .
19
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
BAB VI – TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN
Menggambarkan target kinerja selama tahun 2015-2019 beserta kebutuhan
anggaran dalam implementasi program Pengembangan Teaching Factory dan
Technopark di SMK, serta Sistem Pengawasan dan Evaluasi.
BAB VII – PENUTUP
Berisikan kesimpulan kondisi dan rekomendasi rencana target pemenuhan
Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK.
20
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
21
BAB II
ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS
DAFTAR ISI
A. Geografi dan Demografi
24
B. Indeks Pembangunan Manusia
31
C. Ekonomi
33
D. Ketenagakerjaan
40
E. Industri
45
F. Politik
47
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
BAB II
ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS
Perkembangan capaian pembangunan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia
sangat bervariasi. Kondisi ini tidak saja disebabkan oleh faktor-faktor di internal pendidikan
seperti kondisi sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan, sistem pembelajaran serta
peserta didik saja, namun juga disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari luar
lingkungan pendidikan. Faktor-faktor eksternal seperti kondisi geografi, demografi,
ekonomi, dan politik sering kali menjadi penghalang yang menghambat optimalnya
pembangunan pendidikan.
Analisis lingkungan strategis dibutuhkan untuk menggambarkan berbagai
isu strategis di luar dunia pendidikan yang patut diperhatikan sebagai acuan dalam
pembangunan pendidikan selanjutnya. Pada bab ini akan dibahas lebih jauh kondisi
berbagai faktor eksternal pendidikan serta keterkaitannya dengan capaian dan
pelaksanaan pembangunan pendidikan di Indonesia.
A.
Geografi dan Demografi
Kondisi geografis dan demografi sangat memengaruhi keberhasilan peningkatan
akses pendidikan. Gambaran karakteristik geografis dan demografi di suatu wilayah
diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih spesifik mengenai kendala dalam
penyediaan akses pendidikan yang disebabkan oleh kondisi geografis (misal: wilayah
daratan atau kepulauan) dan kondisi demografi (misal: daerah padat/perkotaan,
pinggiran, dan pedalaman) yang bervariasi.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara administrasi terbagi dalam
34 provinsi. Namun karena Provinsi Kalimantan Utara baru terbentuk, dalam dokumen
ini Provinsi Kalimantan Utara masih menyatu dengan Provinsi Kalimantan Timur. Sejak
disahkannya UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti
dengan UU No. 32 tahun 2004 yang mengatur mengenai desentralisasi urusan wajib antara
pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota berdampak
kepada banyaknya kabupaten pemekaran. Sampai dengan tahun 2014, Indonesia tercatat
memiliki 542 daerah otonom (sebelumnya 299 kab/kota pada tahun 1999) yang terdiri
atas 34 provinsi, 415 kabupaten (tidak termasuk satu kabupaten administratif di Provinsi
DKI Jakarta) dan 93 kota (tidak termasuk 5 kota administratif di Provinsi DKI Jakarta). Besar
luasan wilayah dan jumlah wilayah administrasi per provinsi disajikan pada tabel 1.
24
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Tabel 1. Luas Wilayah Setiap Provinsi di Indonesia
Luasan
No
Wilayah Administrasi
Provinsi
Luas Wilayah
%
Kab.
Kota
Total Kab/
Kota
1
DKI Jakarta
664,01
0,03%
1
5
6
2
Jawa Barat
35.377,76
1,85%
18
9
27
3
Jawa Tengah
32.800,69
1,72%
29
6
35
4
DI Yogyakarta
3.133,15
0,16%
4
1
5
5
Jawa Timur
47.799,75
2,50%
29
9
38
6
Aceh
57.956,00
3,03%
18
5
23
7
Sumatera Utara
72.981,23
3,82%
25
8
33
8
Sumatera Barat
42.012,89
2,20%
12
7
19
9
Riau
87.023,66
4,55%
10
2
12
10
Jambi
50.058,16
2,62%
9
2
11
11
Sumatera Selatan
91.592,43
4,79%
13
4
17
12
Lampung
34.623,80
1,81%
13
2
15
13
Kalimantan Barat
147.307,00
7,71%
12
2
14
14
Kalimantan Tengah
153.564,50
8,04%
13
1
14
15
Kalimantan Selatan
38.744,23
2,03%
11
2
13
16
Kalimantan Timur
129.066,64
6,75%
7
3
10
17
Sulawesi Utara
13.851,64
0,72%
11
4
15
18
Sulawesi Tengah
61.841,29
3,24%
12
1
13
19
Sulawesi Selatan
46.717,48
2,44%
21
3
24
20
Sulawesi Tenggara
38.067,70
1,99%
15
2
17
21
Maluku
46.914,03
2,46%
9
2
11
22
Bali
5.780,06
0,30%
8
1
9
23
Nusa Tenggara Barat
18.572,32
0,97%
8
2
10
24
Nusa Tenggara Timur
48.718,10
2,55%
21
1
22
25
Papua
319.036,05
16,70%
28
1
29
25
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Luasan
No
Wilayah Administrasi
Provinsi
Luas Wilayah
%
Kab.
Kota
Total Kab/
Kota
26
Bengkulu
19.919,33
1,04%
9
1
10
27
Maluku Utara
31.982,50
1,67%
8
2
10
28
Banten
9.662,92
0,51%
4
4
8
29
Kep. Bangka Belitung
16.424,06
0,86%
6
1
7
30
Gorontalo
11.257,07
0,59%
5
1
6
31
Kepulauan Riau
8.201,72
0,43%
5
2
7
32
Papua Barat
97.024,27
5,08%
12
1
13
33
Sulawesi Barat
16.787,18
0,88%
6
0
6
34
Kalimantan Utara
75.467,70
3,95%
4
1
5
416
98
514
TOTAL
1.910.931,32
Sumber: BPS 2014, diolah
Luasan wilayah serta jumlah kabupaten/kota dan kecamatan di tiap provinsi
digunakan untuk mengetahui pembangunan pendidikan menengah, khususnya SMK.
Dalam Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa
pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus menyediakan “minimum satu SMA/SMK/
MA disediakan untuk satu kecamatan”. Dengan demikian dapat diketahui tersedianya
sebaran sekolah menengah, khususnya SMK, secara spasial di setiap kecamatan yang ada
di Indonesia.
Kondisi pengembangan pendidikan menengah juga dipengaruhi pula oleh tingkat
kepadatan penduduk yang ada di setiap daerah. Sesuai dengan jenjang pendidikannya,
satuan pendidikan menengah membutuhkan infrastruktur yang lebih kompleks
dibandingkan dengan pendidikan dasar untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran
yang baik. Bervariasinya kepadatan penduduk di Indonesia membuat pengembangan unit
sekolah baru dengan karakteristik sama untuk berbagai kondisi penduduk berdampak
pada tingginya nilai investasi sarana dan prasarana pendidikan yang harus disediakan
pemerintah maupun pemerintah daerah. Sementara di sisi lain, optimalisasi pemanfaatan
unit sekolah baru tersebut menjadi tidak maksimal akibat terlalu rendahnya atau terlalu
tingginya jumlah penduduk usia sekolah di daerah tersebut.
26
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Sumber: BPS 2014, diolah
Gambar 1. Peta Kepadatan Per Provinsi di Indonesia
Data BPS seperti dijelaskan pada gambar 2 menunjukkan bahwa 53 % provinsi di
Indonesia memiliki kepadatan rendah (15 Provinsi) dan rendah sekali (3 Provinsi), 32%
memiliki kepadatan sedang (11 Provinsi), dan 15% dengan kepadatan tinggi (4 Provinsi)
dan tinggi sekali (1 Provinsi).
Sumber: BPS 2014, diolah
Gambar 2. Distribusi Penduduk Indonesia berdasarkan Kepadatan Wilayah
27
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Jika dilihat lebih detail lagi maka secara kabupaten/kota disajikan pada gambar 2
dapat diketahui sebanyak 45 % kabupaten/kota di Indonesia memiliki kepadatan rendah
dan rendah sekali, 35% memiliki kepadatan sedang, dan 20% dengan kepadatan tinggi
dan tinggi sekali.
Kondisi di atas merupakan kendala yang harus disikapi oleh pemerintah atau
pemerintah daerah dengan menerapkan solusi yang bersifat spesifik atau sesuai dengan
karakteristik yang ada untuk menjamin tersediaanya akses pendidikan optimalnya
penyelengaraan pendidikan menengah di seluruh wilayah Indonesia.
Pada tabel 2 di bawah ini mengambarkan variasi rata-rata kepadatan penduduk
di Indonesia mulai dari provinsi dengan jumlah kepadatan rendah seperti Provinsi Papua
Barat (dengan jumlah penduduk delapan orang per kilomenter persegi) sampai dengan
provinsi dengan kepadatan tinggi seperti Provinsi DKI Jakarta (dengan kepadatan sangat
tinggi yaitu 14.721 orang per kilometer persegi. Selain itu digambarkan pula distribusi
jumlah kabupaten/kota berdasarkan tingkat kepadatan penduduk.
Tabel 2. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota
Kab/Kota dengan Kepadatan
No
Provinsi
Penduduk
Kepadatan
Sangat
Tinggi
Tinggi
1
DKI Jakarta
9.774.975
15173.00
5
1
2
Jawa Barat
44.047.231
1301.00
7
9
11
3
Jawa
Tengah
33.013.037
1022.00
4
14
17
4
DI
Yogyakarta
3.501.290
1161.00
1
2
2
5
Jawa Timur
38.005.202
808.00
5
11
22
6
Aceh
4.661.348
85.00
1
9
13
7
Sumatera
Utara
13.453.577
189.00
6
14
12
8
Sumatera
Barat
5.010.399
122.00
5
6
8
9
Riau
5.741.482
71.00
1
1
10
10
Jambi
3.183.702
67.00
1
9
11
Sumatera
Selatan
7.668.274
87.00
1
6
10
12
Lampung
7.833.851
232.00
3
9
3
13
Kalimantan
Barat
4.508.091
32.00
1
11
28
1
1
1
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Sedang
Rendah
Rendah
Sekali
1
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kab/Kota dengan Kepadatan
No
Provinsi
Penduduk
Kepadatan
14
Kalimantan
Tengah
2.269.241
16.00
15
Kalimantan
Selatan
3.708.240
101.00
16
Kalimantan
Timur
3.665.767
26.00
17
Sulawesi
Utara
2.307.564
172.00
18
Sulawesi
Tengah
2.701.752
46.00
19
Sulawesi
Selatan
8.227.063
180.00
20
Sulawesi
Tenggara
2.319.507
64.00
21
Maluku
1.593.448
35.00
22
Bali
3.958.114
710.00
1
23
Nusa
Tenggara
Barat
4.649.591
257.00
1
6
3
24
Nusa
Tenggara
Timur
4.887.793
103.00
1
8
13
25
Papua
2.915.975
10.00
2
16
26
Bengkulu
1.766.266
93.00
1
3
6
27
Maluku
Utara
1.078.352
36.00
1
28
Banten
10.914.700
1211.00
29
Kep.
Bangka
Belitung
1.257.587
82.00
1
30
Gorontalo
1.065.867
99.00
1
1
4
31
Kepulauan
Riau
1.743.972
234.00
2
2
3
32
Papua Barat
805.081
9.00
1
2
33
Sulawesi
Barat
1.197.506
75.00
2
4
34
Kalimantan
Utara
805.081
8.00
NASIONAL
243.435.845
127,39
Sangat
Tinggi
Tinggi
1
1
2
Sedang
Rendah
Rendah
Sekali
10
4
5
7
1
3
4
2
8
5
1
12
19
3
4
13
1
1
9
2
6
1
3
2
11
9
3
6
10
5
32
70
173
192
30
Sumber: BPS 2014, diolah
29
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Selanjutnya, jika ditinjau dari rentang usia penduduk, jumlah penduduk Indonesia
terbanyak berada pada rentang usia 10-14 tahun yang dikuti dengan rentang usia 5-9
tahun dan 0-4 tahun (gambar 3). Tingginya jumlah penduduk pada rentang usia 0-19
tahun menggambarkan bahwa cukup tingginya pertumbuhan penduduk di Indonesia.
Pemerintah memperkirakan kondisi distribusi jumlah penduduk tersebut akan
memberikan bonus demografi di Indonesia pada tahun 2035. Pada saat itulah Indonesia
akan memiliki sumber daya manusia produktif dalam jumlah besar.
Sumber: BPS 2014, diolah
Gambar 3. Piramida Penduduk Berdasarkan Usia
Hal ini tentunya perlu disadari oleh masyarakat pada umumnya dan pemerintah
pada khususnya sebagai peluang dengan ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi banyaknya
jumlah usia produktif tersebut akan memberikan Indonesia suplai tenaga kerja yang
tidak ada habisnya. Namun demikian di sisi yang lain, apabila pemerintah gagal dalam
mempersiapkan kompetensi yang memadai bagi penduduk usia produktif tersebut justru
akan mendorong kondisi di atas menjadi “bencana demografi” yaitu kondisi kependudukan
Indonesia yang dicirikan oleh tingginya angka pengangguran. Pengembangan
Teaching Factory dan Technopark di SMK merupakan salah satu langkah strategis dalam
meningkatkan mutu sumber daya manusia di Indonesia.
Berbasis pada tren pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini, pada tahun 2025
Indonesia akan mendapat bonus demografi. (lihat gambar 4) yang berdampak pada
tingginya penduduk usia produktif di Indonesia.
30
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Sumber: BPS 2010, diolah
Gambar 4. Bonus Demografi
B.
Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia merupakan indikator perkembangan kondisi
masyarakat di suatu wilayah atau negara yang ditunjukkan dari rata-rata kondisi
pendidikan, kesehatan dan ekonomi masyarakat. Berdasarkan data IPM dari United Nations
Development Programme (UNDP) tahun 2014, Indonesia menempati urutan 108 dari 187
negara dengan IPM 0,684 dan masuk dalam kategori “Medium”. Dibandingkan dengan
sesama negara Asia, posisi Indonesia masih berada di bawah Singapura (9), Korea Selatan
(15), Hongkong (15), Jepang (17), dan bahkan masih berada di bawah negara berkembang
lain di Asia Tenggara seperti Brunei Darussalam (30), Malaysia (62), dan Thailand (89).
Capaian IPM Indonesia merupakan hasil komposit dari 4 indikator IPM yaitu Harapan
Hidup Pada Saat Lahir (70,8 tahun), Rata-Rata Lama Sekolah (7,5 tahun), Harapan Lama
Sekolah (12,7 tahun), dan pendapatan per kapita (US$ 8,970). Berdasarkan perhitungan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014
(lihat tabel 3), dengan menggunakan indikator indeks kesehatan, indeks pendidikan
yang terdiri atas angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, serta indeks pengeluaran
penduduk per kapita, IPM 25 provinsi masih berada di bawah IPM nasional dan IPM 9
provinsi berada di atas IPM nasional. Sementara itu, pada tingkat kabupaten/kota, IPM 206
kabupaten/kota berada di atas IPM nasional dan IPM 308 kabupaten/kota berada di bawah
IPM nasional. Capaian nilai IPM provinsi yang berada di atas IPM nasional didominasi oleh
provinsi-provinsi yang berada di Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Bali. Hal tersebut
menunjukkan gambaran dari belum meratanya pembangunan antarwilayah di Indonesia.
31
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Tabel 3. Distribusi Capaian IPM provinsi dan Distribusi Capaian IPM kab/kota di tingkat nasional
No
1
32
Provinsi
DKI Jakarta
IPM
Kab/Kota Dibanding IPM
Nasional
Di Atas
Di Bawah
78,39
5
1
2
Jawa Barat
68,8
11
16
3
Jawa Tengah
68,78
17
18
4
DI Yogyakarta
76,81
4
1
5
Jawa Timur
68,14
17
21
6
Aceh
68,81
9
14
7
Sumatera Utara
68,87
22
11
8
Sumatera Barat
69,36
10
9
9
Riau
70,33
11
1
10
Jambi
68,24
7
4
11
Sumatera Selatan
66,75
4
13
12
Lampung
66,42
2
13
13
Kalimantan Barat
64,89
1
13
14
Kalimantan Tengah
67,77
11
3
15
Kalimantan Selatan
67,63
2
11
16
Kalimantan Timur
73,82
10
0
17
Sulawesi Utara
69,96
14
1
18
Sulawesi Tengah
66,43
1
12
19
Sulawesi Selatan
68,49
8
16
20
Sulawesi Tenggara
68,07
2
15
21
Maluku
66,74
3
8
22
Bali
72,48
5
4
23
Nusa Tenggara Barat
64,31
0
10
24
Nusa Tenggara Timur
62,26
1
21
25
Papua
56,75
1
28
26
Bengkulu
68,06
2
8
27
Maluku Utara
65,18
10
0
28
Banten
69,89
3
5
29
Kepulauan Bangka Belitung
68,27
3
4
30
Gorontalo
65,17
1
5
31
Kepulauan Riau
73,4
4
3
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
No
Provinsi
IPM
Kab/Kota Dibanding IPM
Nasional
Di Atas
Di Bawah
32
Papua Barat
61,28
1
12
33
Sulawesi Barat
62,24
0
6
34
Kalimantan Utara
68,64
4
1
68,9
206
308
NASIONAL
Sumber: BPS 2014, diolah
C.
Ekonomi
Kondisi ekonomi di suatu wilayah diperlukan untuk memberikan gambaran
potensi-potensi unggulan yang dapat dijadikan referensi meningkatkan mutu SMK yang
sesuai atau relevan dengan kebutuhan suatu wilayah. Di samping potensi wilayah, kondisi
ekonomi wilayah dibutuhkan untuk memberikan gambaran kemampuan daerah dan
masyarakat dalam menyediakan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh masyarakat.
Kemampuan Ekonomi Masyarakat dan Daerah
Pengembangan sumber daya manusia di setiap wilayah Indonesia harus dilakukan
dengan menyesuaikan dengan karakteristik kebutuhan tenaga kerja di sektor-sektor
unggulan di setiap wilayah tersebut. Gap yang terjadi antara pasokan sumber daya
manusia dan kebutuhan tenaga kerja di setiap wilayah merupakan gambaran kesiapan
dunia pendidikan dalam mendukung pengembangan sektor-sektor unggulan tersebut.
gambar 5 menyajikan distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per sektor.
PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh
sektor perekonomian di suatu wilayah. Nilai tambah adalah nilai yang ditambahkan dari
kombinasi faktor produksi dan bahan baku dalam proses produksi. Penghitungan nilai
tambah adalah nilai produksi (output) dikurangi biaya antara. Nilai tambah bruto di sini
mencakup komponen-komponen pendapatan faktor (upah dan gaji, bunga, sewa tanah
dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Jadi dengan menjumlahkan
nlai tambah bruto dari masing-masing sektor dan menjumlahkan nilai tambah bruto dari
seluruh sektor tadi, akan diperoleh Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga pasar.
Peta wilayah sektor dominan dalam PDRB disajikan pada gambar 6. Peta ini
menggambarkan prioritas pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan sesuai sektor
yang dominan di provinsi tersebut.
33
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Sumber: BPS 2014, diolah
Gambar 5. Distribusi PDRB Tiap Provinsi Berdasarkan Sektor
34
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Sumber: BPS 2014, diolah
Gambar 6. Peta PDRB Tiap Provinsi Berdasarkan Sektor Dominan
Sementara itu, pada tahun 2014 persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai
10,95 % (gambar 7). Dilihat dari sebarannya 16 provinsi memiliki persentase penduduk
miskin di atas rata-rata nasional. Dapat dilihat pula provinsi-provinsi di Indonesia Timur
seperti Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku memiliki angka kemiskinan yang tergolong
tinggi dengan persentase di atas 15 % dari populasi penduduk.
Sumber: BPS 2014, diolah
Gambar 7. Persentase Kemiskinan
35
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Sumber: BPS 2014, diolah
Gambar 8. PDRB Per Kapita per Provinsi
Bila ditinjau dari besar PDRB per kapita, rata-rata PDRB per kapita provinsi masih
berada di bawah 42 juta rupiah per tahun (gambar 8). Kondisi ini menggambarkan
masih lemahnya daya beli masyarakat termasuk di dalam menyediakan pendidikan yang
selayaknya bagi anak.
Faktor produksi sektor ekonomi utama penyumbang PDRB, keterbatasan
kemampuan ekonomi masyarakat dan pemerintah daerah, serta sumber daya yang
dimiliki daerah merupakan komponen yang digunakan pemerintah dalam rangka untuk
memetakan implementasi Teaching Factory di setiap wilayah Indonesia. Pemetaan ini akan
memudahkan pemerintah dalam menyediakan skema-skema pendanaan atau afirmasi
yang sesuai, adil dan merata di seluruh Indonesia.
36
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Potensi Wilayah
Potensi wilayah ditunjukkan dengan melihat kontribusi berbagai sektor/komoditas
ekonomi terhadap peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) di suatu wilayah. Semakin
besar kontribusi suatu sektor/komoditas dibandingkan dengan sektor/komoditas lainnya
menunjukkan keunggulan suatu sektor pada wilayah tersebut.
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2014 sesuai dengan
data BPS mencapai 2.909 trilyun rupiah. Tabel 4 menunjukkan bahwa kontribusi terbesar
berasal dari sektor Industri Pengolahan yaitu sebesar 25,5 % dari total PDB diikuti oleh
sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (18,0%), dan pertanian (12,1 %). Sektor-sektor
unggulan ini merupakan acuan yang harus digunakan di dalam merencanakan kebutuhan
sumber daya manusia. Semakin besar keunggulan suatu sektor seharusnya selaras dengan
tingginya kebutuhan sumber daya manusia di sektor tersebut.
Tabel 4. PDRB Berdasarkan Sektor
SEKTOR
PDRB
%
Pertanian
Tanaman Bahan Makanan, Tanaman Perkebunan,
Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan
350.722,2
12,1%
Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi, Pertambangan Bukan Migas,
dan Penggalian
195.425,0
6,7%
Industri Pengolahan
Industri Migas dan Industri Bukan Migas
741.835,7
25,5%
Listrik dan Air Bersih
22.423,5
0,8%
Bangunan/Konstruksi
194.093,4
6,7%
Perdagangan, Hotel, Restoran
524.309,5
18,0%
Angkutan/Komunikasi
Angkutan Darat, Angkutan Laut, Angkutan Sungai/
Penyeberangan, Angkutan Udara, Jasa Penunjang
Angkutan, Pos dan Telekomunikasi, dan Jasa
Penunjang Komunikasi
318.527,9
10,9%
Bank/Keu/Perum
Bank, Lembaga Keuangan bukan Bank, Jasa
Penunjang Keuangan, Real Estate, dan Jasa
Perusahaan
288.351,0
9,9%
37
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
SEKTOR
PDRB
%
Jasa-Jasa
Jasa Pemerintahan Umum, Jasa Sosial
Kemasyarakatan, Jasa Hiburan dan Rekreasi, dan Jasa
Perorangan/rumah tangga
273.493,3
9,4%
TOTAL
2.909.181,5
Sumber: BPS 2014, diolah
Dilihat dari sebaran PDRB, provinsi-provinsi di Pulau Jawa seperti DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah (tabel 5) merupakan penyumbang terbesar dengan
nilai Rp5.613 triliun pada tahun 2012 atau mencapai 52.47 % dari total nilai PDB Indonesia.
Besarnya PDRB daerah-daerah tersebut merupakan gambaran besarnya aktivitas dunia
usaha yang tentunya mendorong minat para pencari kerja di berbagai wilayah di
Indonesia. Kondisi ini dapat berdampak pada terjadinya mobilisasi lulusan terbaik dari
seluruh wilayah Indonesia ke provinsi-provinsi tersebut untuk mencari peluang-peluang
kerja, yang pada akhirnya berdampak pada semakin miskinnya potensi tenaga kerja
berkualitas di provinsi-provinsi lainnya.
Tabel 5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Provinsi
Provinsi
38
PDRB (Triliun Rp)
%
Aceh
130.448
1,22%
Sumatera Utara
523.772
4,90%
Sumatera Barat
167.040
1,56%
Riau
679.692
6,35%
Jambi
153.857
1,44%
Sumatera Selatan
308.407
2,88%
Bengkulu
45.235
0,42%
Lampung
231.008
2,16%
Kepulauan Bangka Belitung
56.390
0,53%
Kepulauan Riau
182.916
1,71%
DKI Jakarta
1.761.407
16,46%
Jawa Barat
1.385.959
12,95%
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Provinsi
PDRB (Triliun Rp)
%
Jawa Tengah
925.663
8,65%
DI Yogyakarta
93.450
0,87%
1.540.697
14,40%
Banten
432.764
4,04%
Bali
156.448
1,46%
Nusa Tenggara Barat
82.247
0,77%
Nusa Tenggara Timur
68.603
0,64%
Kalimantan Barat
131.933
1,23%
Kalimantan Tengah
89.872
0,84%
Kalimantan Selatan
131.593
1,23%
Kalimantan Timur
519.930
4,86%
Kalimantan Utara
59.080
0,55%
Sulawesi Utara
80.623
0,75%
Sulawesi Tengah
90.256
0,84%
Sulawesi Selatan
300.124
2,80%
Sulawesi Tenggara
78.620
0,73%
Gorontalo
25.201
0,24%
Sulawesi Barat
29.392
0,27%
Maluku
31.733
0,30%
Maluku Utara
24.054
0,22%
Papua Barat
58.285
0,54%
Papua
123.180
1,15%
10.699.879
100,0%
Jawa Timur
INDONESIA
Sumber: BPS 2014, diolah
39
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Berbeda dengan distribusi PDRB berdasarkan sektor pada skala nasional, pada PDRB
tingkat provinsi sektor pertanian merupakan sektor yang dominan berkontribusi pada
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di beberapa provinsi di Indonesia diikuti
oleh Sektor Perdagangan, Hotel, Restoran, dan Sektor Industri Pengolahan. Sebanyak
19 provinsi di Indonesia masih bergantung pada sektor pertanian sebagai penyumbang
terbesar PDRB di daerah.
D.
Ketenagakerjaan
Kondisi ketenagakerjaan memberikan gambaran kesesuaian antara hasil dunia
pendidikan yaitu lulusan dengan penyerapan dunia kerja. Distribusi penyerapan tenaga
kerja seharusnya sejalan dengan kontribusi sektor-sektor unggulan di setiap wilayah.
Ketimpangan yang terjadi antara penyerapan tenaga kerja dengan kebutuhan wilayah
merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh dunia pendidikan.
Bila ditinjau berdasarkan sebaran tenaga kerja (gambar 9), dapat diketahui bahwa
terdapat 4 sektor terbesar yang menyerap tenaga kerja adalah sektor pertanian, kehutanan,
perburuan dan perikanan (33,9%) diikuti oleh sektor perdagangan besar, eceran, rumah
makan dan hotel (21,6 %), sektor jasa kemasyarakatan (16,1%), dan sektor industri
pengolahan (13,3%). Urutan distribusi tenaga kerja berdasarkan sektor ini sedikit berbeda
dengan distribusi PDRB yang didominasi oleh sektor perdagangan, rumah makan dan
hotel, sektor industri pengolahan dan pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan.
Gap terbesar yang terjadi adalah pada sektor industri pengolahan yang terjadi disebabkan
oleh keterbatasan suplai tenaga kerja berkualitas yang dapat mendukung sektor tersebut.
Sumber: BPS 2014, diolah
Gambar 9. Struktur Angkatan Kerja Berdasarkan Sektor dan Kualifikasi Pendidikan
40
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Di tingkat provinsi, tenaga kerja di 28 provinsi didominasi oleh tenaga kerja di
sektor pertanian (PDRB pertanian hanya dominan di 19 provinsi). Hanya 5 provinsi yaitu
Kepulauan Riau, Banten, Bali, Jawa Barat, dan DKI Jakarta yang tenaga kerjanya didominasi
oleh sektor-sektor lain (gambar 10). Hal ini merupakan gambaran betapa terbatasnya
kemampuan dunia pendidikan untuk dapat memasok kebutuhan tenaga kerja yang
sesuai dengan karakteristik masing-masing wilayah di Indonesia. SMK sebagai salah satu
penyedia calon tenaga kerja melalui penerapan Teaching Factory harus dirancang dan
diimplementasikan sedemikian rupa agar disparitas yang terjadi antara kebutuhan dunia
kerja dan penyediaan lulusan atau calon tenaga kerja semakin kecil dan bahkan sesuai
dengan kebutuhan baik di tingkat lokal, nasional, atau bahkan dapat mengekspor tenagatenaga kerja berkualitas ke negara lainnya.
Dari sisi kualifikasi, SDM di Indonesia seperti diuraikan dalam Bab Pendahuluan
dari buku ini, didominasi oleh tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan dasar. Data
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2014 menunjukkan bahwa 45,7%
tenaga kerja Indonesia hanya memiliki pendidikan Sekolah Dasar (SD), 17,9% memiliki
pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), 16,9% memiliki pendidikan Sekolah
Menengah (umum), 9,7% memiliki pendidikan Sekolah Menengah (kejuruan), dan 9,8%
saja yang memiliki pendidikan perguruan tinggi. Kemudian jika dilihat pada data BPS
tahun 2014 (gambar 11) dapat diketahui bahwa pada tingkat provinsi hanya 2 provinsi
saja yaitu DKI Jakarta dan Kepulauan Riau yang memiliki struktur tenaga kerja yang bukan
didominasi oleh tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan dasar.
41
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Sumber: BPS 2014, diolah
Gambar 10. Struktur Tenaga Kerja Per Provinsi Berdasarkan Sektor
42
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Sumber: BPS 2014, diolah
Gambar 11. Struktur Angkatan Kerja Per Provinsi Berdasarkan Kualifkasi Pendidikan
Kondisi ini berdampak pada masih cukup tingginya angka pengangguran di
Indonesia yang mencapai angka rata-rata 6,17% (gambar 12). Fakta yang menarik adalah
tingginya angka pengangguran di Provinsi DKI Jakarta (8,63%) yang sebetulnya merupakan
salah satu provinsi dengan tenaga kerja yang dominan berasal dari pendidikan menengah
atau lebih tinggi.
43
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Sumber: BPS 2014, diolah
Gambar 12. Angka Pengangguran di Tiap Provinsi
Selain itu berdasarkan hasil survei sebagaimana pada gambar 13 yang dilakukan
oleh Bank Dunia pada tahun 2008, para pengusaha menyatakan hampir secara umum
dianggap bahwa persyaratan keterampilan akan meningkat pada tahun-tahun yang
akan datang, adanya standar kualitas yang lebih tinggi, lingkungan bisnis yang lebih
kompetitif dan berorientasi ekspor sebagai pemicu utama meningkatnya persyaratan. Hal
ini sejalan dengan cita-cita Indonesia untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi, tren
44
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
makroekonomi (ASEAN, meningkatnya upah di Cina) dan meningkatnya kelas menengah
(yang akan menuntut produk dan layanan yang lebih berkualitas).
Sumber: Skills for the Labor Market in Indonesia, World Bank (2011)
Gambar 13. Hasil Survei Perusahaan Membutuhkan Tenaga Terampil
E.
Industri
Pengembangan Teaching Factory dan Technopark tidak lepas dari kondisi industri
yang dekat dengan lokasi SMK. Kondisi industri memberikan gambaran distribusi industri
di setiap provinsi dan komoditi yang seharusnya didukung oleh Teaching Factory di setiap
wilayah.
Ditinjau dari jumlah industri, sebaran industri tidak merata dan terkonsentrasi di
Pulau Jawa dengan persentase melebihi 82% (19.975 dari 24.425 industri) (gambar 14).
Kondisi ini berdampak pada distribusi tenaga kerja dan daya dukung sumber daya.
45
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Sumber: Kemenperin 2014, diolah
Gambar 14. Jumlah Industri di Tiap Provinsi
Dilihat dari komoditas yang dihasilkan atau yang dikelola oleh industri-industri yang
ada di Indonesia, Komoditas Sandang (pakaian, perlengkapan rumah tangga, kosmetik, dll)
menempati peringkat teratas dengan besaran 29,2%, disusul dengan Komoditas Pangan
(hasil pertanian, pengolahan hasil pertanian, makanan, camilan, dll) dengan persentase
sebesar 26,4%, dan di peringkat ketiga yaitu komoditas Bahan Bangunan sebesar 9,5%. Hal
ini berdampak pada pemenuhan sumber daya dan komoditas Teaching Factory yang dapat
menyangga kebutuhan industri di sekitar SMK. Sebaran komoditas pada masing-masing
provinsi disajikan pada gambar 15.
46
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Sumber: Kemenperin 2014, diolah
Gambar 15. Persentase Komoditas Industri di Tiap Provinsi
F.
Politik
Sesuai amanat Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
kewenangan pengelolaan pendidikan menengah khususnya SMK tidak lagi berada pada
tingkat kabupaten/kota, tapi telah ditempatkan di provinsi. Manajemen pengelolaan
pendidikan menengah serta penerbitan izin pendidikan menengah merupakan
dua urusan yang saat ini menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi. Dalam hal
pengelolaan guru, menurut Undang-Undang No. 23 tahun 2014 pemerintah provinsi telah
diberikan kewenangan untuk dapat memindahkan guru dan tenaga kependidikan antar
daerah kabupaten/kota dalam 1 provinsi. Khusus untuk pengelolaan guru dan tenaga
kependidikan jenjang pendidikan menengah juga menjadi tanggung jawab pemerintah
provinsi (gambar 16).
47
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Perubahan peranan ini perlu disikapi dengan positif karena pemberian kewenangan
yang lebih luas kepada provinsi sebagai wakil pemerintah pusat memberikan peluang
untuk memperbaiki tata kelola pendidikan menengah.
Sumber: Undang-Undang nomor 23 tahun 2014, diolah
Gambar 16. Pembagian Kewenangan Pendidikan
Dinamika politik dan ekonomi sangat memengaruhi kelancaran program Teaching
Factory dan Technopark. Walaupun inisiasi dan dukungan telah diberikan oleh Pemerintah
Pusat, namun dengan kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola Pendidikan
Menengah diperlukan kerja sama dan dukungan politik guna menyukseskan program ini.
48
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
49
BAB III
KONDISI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
DAFTAR ISI
A. Paradigma Pendidikan Kejuruan
52
B. Karakteristik Pendidikan Kejuruan
56
C. Pemenuhan Akses SMK
59
D. Kondisi Mutu SMK
64
E. Profil Lulusan SMK
77
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
BAB III
KONDISI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan sekolah menengah yang lebih
memperdalam bakat dan keahlian dalam bidang tertentu. Hal tersebut sesuai dengan isi
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 3 mengenai tujuan
pendidikan nasional dan penjelasan pasal 15 yang menyebutkan bahwa pendidikan
kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik
terutama untuk bekerja di bidang tertentu. Berbeda dengan Sekolah Menengah Atas
(SMA) yang tidak secara spesifik mengajarkan peserta didik mengenai bidang tertentu.
SMK memberikan pengajaran yang lebih aplikatif dan lebih fokus pada bidang tertentu
serta mempersiapkan peserta didik untuk masuk ke lapangan pekerjaan tertentu, seperti
bidang teknologi dan industri, bisnis dan manajemen, pariwisata, dan lain sebagainya.
Pada bab ini menggambarkan kondisi SMK di Indonesia mengenai akses, mutu, dan
profil lulusan SMK sebagai kondisi internal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan
Teaching Factory dan Technopark di SMK.
A.
Paradigma Pendidikan Kejuruan
Ditinjau secara sistemik, pendidikan kejuruan pada dasarnya merupakan subsistem
dari sistem pendidikan. Terdapat banyak definisi yang diajukan oleh para ahli tentang
pendidikan kejuruan dan definisi-definisi tersebut berkembang seirama dengan persepsi
dan harapan masyarakat tentang peran yang harus dimainkannya (Samani, 1992:14). Evans
& Edwin (1978:24) mengemukakan bahwa pendidikan kejuruan merupakan bagian dari
sistem pendidikan yang mempersiapkan individu pada suatu pekerjaan atau kelompok
pekerjaan. Harris, seperti yang dikutip oleh Slamet (1990:2), menyatakan pendidikan
kejuruan adalah pendidikan untuk suatu pekerjaan atau beberapa jenis pekerjaan yang
disukai individu untuk kebutuhan sosialnya. Menurut House Committee on Education and
labour (HCEl) pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk pengembangan bakat, pendidikan
dasar keterampilan, dan kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada dunia kerja yang
dipandang sebagai latihan keterampilan (Malik, 1990:94).
Dari definisi tersebut terdapat satu pengertian yang bersifat universal seperti yang
dinyatakan oleh National Council for Research into Vocational Education Amerika Serikat
(NCRVE, 1981:15), yaitu bahwa pendidikan kejuruan merupakan subsistem pendidikan
yang secara khusus membantu peserta didik dalam mempersiapkan diri memasuki
lapangan kerja. Dari batasan yang diajukan oleh Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE tersebut
dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri pendidikan kejuruan dan yang sekaligus
52
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
membedakan dengan jenis pendidikan lain adalah orientasinya pada penyiapan peserta
didik untuk memasuki lapangan kerja.
Agak berbeda dengan batasan yang diberikan oleh Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE,
Finch & Crunkilton (1984:161) menyebutkan pendidikan kejuruan sebagai pendidikan yang
memberikan bekal kepada peserta didik untuk bekerja guna menopang kehidupannya
(education for earning a living). Dari definisi yang diajukan oleh Evans & Edwin, Harris,
HCEL, NCRVE maupun Finch & Crunkilton dapat disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan
mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja pada bidang tertentu, berarti pula
mempersiapkan mereka agar dapat memperoleh kehidupan yang layak melalui pekerjaan
yang sesuai dengan kemampuan masing-masing serta norma-norma yang berlaku.
Ciri pendidikan kejuruan sebagai persiapan untuk memasuki dunia kerja dapat
dimengerti, karena secara historis pendidikan kejuruan merupakan perkembangan dari
latihan dalam pekerjaan (on the job training) dan pola magang (apprenticeship) (Evans
& Edwin, 1978:36). Pada pola latihan dalam pekerjaan, peserta didik belajar sambil
langsung bekerja sebagai karyawan baru tanpa ada orang yang secara khusus ditunjuk
sebagai instruktur, sehingga tidak ada jaminan bahwa peserta didik akan mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Walaupun demikian, pola latihan dalam
pekerjaan memiliki keunggulan karena peserta didik dapat langsung belajar pada keadaan
yang sebenarnya sehingga mendorong dia belajar secara inkuiri (Elliot, 1983: 15).
Pada pola magang terdapat seorang karyawan senior yang secara khusus ditugasi
sebagai instruktur bagi karyawan baru (peserta didik) yang sedang belajar. Instruktur
tersebut bertanggung jawab untuk membimbing dan mengajarkan pengetahuan serta
keterampilan yang sesuai dengan tugas karyawan baru yang menjadi asuhannya. Dengan
demikian, pola magang relatif lebih terprogram dan jaminan bahwa karyawan baru akan
dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan tertentu lebih besar dibanding pola
latihan dalam pekerjaan (Evans & Edwin, 1978:38).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin canggih membawa
pengaruh terhadap pola kerja manusia. Pekerjaan menjadi kompleks dan memerlukan
bekal pengetahuan dan keterampilan yang makin tinggi, sehingga pola magang dan latihan
dalam pekerjaan kurang memadai karena tidak memberikan dasar teori dan keterampilan
sebelum peserta didik memasuki lapangan kerja sebagai karyawan baru. Oleh karena itu
kemudian berkembang bentuk sekolah dan latihan kejuruan yang diselenggarakan oleh
sekolah kejuruan bekerja sama dengan kalangan industri dengan tujuan memberikan
bekal teori dan keterampilan sebelum peserta didik memasuki lapangan kerja.
Perlu diingat bahwa pembagian pendidikan kejuruan menjadi beberapa model
tersebut bukanlah suatu pembagian yang bersifat eksklusif dan tumpang tindih. Semua
model tersebut tetap berjalan bahkan sering digunakan secara saling melengkapi.
53
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Banyak sekolah atau latihan kejuruan yang pada saat tertentu menerapkan latihan dalam
pekerjaan atau magang di perusahaan yang sesuai dengan programnya.
Ditinjau dari tujuannya, menurut Thorogood (1982:328), di sebagian besar negara
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pendidikan kejuruan
bertujuan untuk: (i) memberikan bekal keterampilan individual dan keterampilan yang laku
di masyarakat, sehingga peserta didik secara ekonomis dapat menopang kehidupannya;
(ii) membantu peserta didik memperoleh atau mempertahankan pekerjaan dengan jalan
memberikan bekal keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan yang diinginkannya;
(iii) mendorong produktivitas ekonomi, baik secara regional maupun nasional; (iv)
mendorong terjadinya tenaga terlatih untuk menopang perkembangan ekonomi dan
industri; (v) mendorong dan meningkatkan kualitas masyarakat.
Agak berbeda dengan Thorogood, Evans seperti yang dikutip oleh Wenrich
& Wenrich (1974:63) menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan bertujuan untuk: (i)
menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh masyarakat; (ii) meningkatkan pilihan
pekerjaan yang dapat diperoleh oleh setiap peserta didik; dan (iii) memberikan motivasi
kerja kepada peserta didik untuk menerapkan berbagai pengetahuan yang diperolehnya.
Dari tujuan pendidikan kejuruan yang diajukan oleh Thorogood dan Evans tersebut
dapat disimpulkan bahwa di samping mengemban tugas pendidikan secara umum,
pendidikan kejuruan mengemban misi khusus, yaitu memberikan bekal pengetahuan
dan keterampilan kepada peserta didik untuk memasuki lapangan kerja dan sekaligus
menghasilkan tenaga kerja terampil yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Di samping tujuan khusus yang diajukan oleh Thorogood dan Evans tersebut,
Crunkilton (1984:27) menyebutkan bahwa salah satu tujuan utama pendidikan kejuruan
adalah meningkatkan kemampuan peserta didik sehingga memperoleh kehidupan yang
lebih baik dari sebelumnya. Menurut Miner (1974:48-56) bekal yang dipelajari dalam
pendidikan kejuruan akan menjadi bekal untuk mengembangkan diri dalam bekerja.
Dengan bekal kemampuan mengembangkan diri tersebut diharapkan karier yang
bersangkutan dapat meningkat dan pada gilirannya kehidupan mereka akan makin baik
(Karabel & Hasley, 1977:14). Penelitian yang dilakukan Nurhadi (1988) dan Samani (1992)
ternyata memperkuat pendapat Miner serta Karabel dan Hasley tersebut.
Bagi masyarakat Indonesia misi pendidikan kejuruan, seperti diungkapkan oleh
Crunkilton tersebut, sangat penting karena pada umumnya SMK berasal dari masyarakat
dengan tingkat sosial ekonomi rendah (Brotosiswoyo, 1991:8), sehingga apabila sekolah
kejuruan berhasil mewujudkan misinya berarti akan membantu menaikkan status sosial
ekonomi masyarakat tingkat bawah. Dengan kata lain, Sekolah kejuruan dapat membantu
meningkatkan mobilitas vertikal dalam masyarakat (Elliot,1983:42). Namun demikian,
seiring dengan terjadinya pergeseran tingkat sosial ekonomi masyarakat, paradigma
tentang sekolah menengah kejuruan juga mulai bergeser. Peserta didik yang semula
54
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
didominasi oleh golongan ekonomi menengah ke bawah bergeser ke wilayah atas dimana
masyarakat mulai beralih menyiapkan generasi yang siap pakai melalui program-program
sekolah kejuruan.
Pendidikan kejuruan dapat dikelompokkan berdasarkan jenjang dan menurut
struktur programnya. Pengelompokan berdasarkan jenjang dapat didasarkan atas
jenjang kecanggihan keterampilan yang dipelajari atau jenjang pendidikan formal yang
berlaku (Zulbakir & Fazil, 1988:7). Jenjang pendidikan formal yang berlaku dikenal dengan
pendidikan kejuruan tingkat sekolah menengah (secondary) atau Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) dengan berbagai program keahlian seperti Listrik, Elektronika Manufaktur,
Elektronika Otomasi, Metals, Otomotif, Teknik Pendingin, Gambar Bangunan, Konstruksi
Baja, Tata Busana, Tata Boga, Travel and Tourism, dan sebagainya serta tingkat di atas
sekolah menengah (post secondary) misalnya politeknik (lEES, 1986:124).
Berdasarkan struktur programnya, khususnya dalam kaitan dengan bagaimana
sekolah kejuruan mendekatkan programnya dengan dunia kerja, Evans, seperti yang dikutip
oleh Hadiwiratama (1980:60-69) membagi sekolah kejuruan menjadi Iima kategori, yaitu
(I) program pengarahan kerja (pre vocational guidance education), (2) program persiapan
kerja (employability preparation education), (3) program persiapan bidang pekerjaan secara
umum (occupational area preparation education), (4) program persiapan bidang kerja
spesifik (occupational specific education), dan (5) program pendidikan kejuruan khusus (job
specific education).
Pada program pengarahan kerja, sekolah memberikan pengetahuan dasar dan
umum tentang berbagai jenis pekerjaan di masyarakat sekaligus menumbuhkan apresiasi
terhadap berbagai pekerjaan tersebut. Sedangkan pada program persiapan kerja, sekolah
memberikan dasar-dasar sikap dan keterampilan kerja, meskipun masih bersifat umum.
Dengan program ini peserta didik diharapkan mempunyai peluang yang lebih besar
untuk mendapatkan pekerjaan, meskipun tentunya masih harus melalui latihan di dalam
pekerjaan.
Untuk program persiapan bidang pekerjaan secara umum, SMK memberikan bekal
guna meningkatkan kemampuan bekerja untuk bidang pekerjaan yang memerlukan
pengetahuan dan peralatan yang sejenis. Dengan program ini diharapkan peserta didik
mempunyai pilihan lapangan pekerjaan yang lebih jelas dan lebih cepat mengikuti latihan
di dalam pekerjaan.
Program persiapan kerja yang spesifik memberikan bekal yang sudah mengarah
kepada jenis pekerjaan tertentu, meskipun belum pada suatu perusahaan tertentu.
Lebih khusus lagi adalah program pendidikan kejuruan khusus yang, sudah terarah pada
pekerjaan khusus, yaitu mendidik siswa untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh
suatu perusahaan tertentu.
55
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Penjenjangan kedekatan pendidikan kejuruan yang disebutkan oleh Evans di atas
berarti juga kesiapan lulusan dalam memasuki lapangan kerja. Semakin khusus jenis
pendidikan kejuruan, akan semakin siap lulusannya memasuki lapangan kerja, tetapi
juga semakin sempit bidang pekerjaan yang dapat dimasuki. Walaupun demikian, kecuali
untuk keperluan tertentu, pendidikan kejuruan yang khusus (job specific education) sangat
sulit diterapkan di Indonesia, mengingat jenis industri di Indonesia sangat bervariasi.
Di sinilah mulai timbul dilema antara siap pakai ataukah siap latih dalam pendidikan
kejuruan. Dalam kaitan dengan hal tersebut, menurut Semiawan (1991:6), yang penting
adalah kesiapan mental untuk mengembangkan dirinya serta keterampilan dasar untuk
setiap kali dapat menyesuaikan diri kembali pada perubahan tertentu (retrainability).
Dengan bekal tersebut diharapkan lulusan sekolah kejuruan tidak hanya terpancang pada
jenis pekerjaan yang ada, tetapi juga terdorong untuk mewujudkan lapangan kerja baru
dengan mengembangkan prakarsa dan kreativitasnya secara optimal.
B.
Karakteristik Pendidikan Kejuruan
Meskipun tidak terpisahkan dari sistem pendidikan secara keseluruhan,
pendidikan kejuruan mempunyai kekhususan atau karakteristik tertentu yang
membedakannya dengan subsistem pendidikan yang lain. Perbedaan ini tidak hanya
dalam definisi, struktur organisasi dan tujuan pendidikannya saja, tetapi juga tercermin
dalam aspek-aspek lain yang erat kaitannya dengan perencanaan kurikulum, yaitu:
1.
Orientasi Pendidikan Kejuruan
Sifat pendidikan kejuruan merupakan pendidikan untuk persiapan penyediaan
tenaga kerja. Dengan sendirinya orientasi pendidikan kejuruan adalah tertuju pada output
atau lulusannya. Memang tidak disangkal bahwa proses pendidikan di sekolah juga
merupakan aspek penting yang sangat diperhatikan dalam membantu proses belajar
peserta didik, tetapi tujuan akhir adalah jauh lebih luas daripada proses pendidikan
itu sendiri. Keberhasilan belajar berupa kelulusan dari sekolah kejuruan adalah tujuan
terminal, sedangkan keberhasilan program secara tuntas berorientasi kepada penampilan
para lulusannya kelak di lapangan kerja.
2.
Justifikasi untuk Eksistensi
Untuk mengembangkan program pendidikan kejuruan perlu alas an atau justifikasi
khusus yang ini tidak begitu dirasakan untuk pendidikan umum. Justifikasi khusus ini
adalah adanya kebutuhan nyata yang dirasakan di perbekalan logistik yang lain. Bengkel
dan laboratorium adalah kelengkapan yang umum menyertai eksistensi suatu sekolah
kejuruan, selain pengalaman yang biasanya tercantum dalam kerangka kurikulumnya.
Ini membuat sekolah kejuruan biasanya memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan
dalam penelitian-penelitian yang mengungkap unit pembiayaan selalu dipertanyakan
apakah investasi yang besar di bidang pendidikan kejuruan cukup efisien dibandingkan
56
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
dengan hasilnya. Pertanyaan ini sebenarnya kurang adil, sebab studi yang menghasilkan
perbandingan unit biaya antar siswa di sekolah umum dan sekolah kejuruan sebenarnya
tidak dapat menyentuh persoalan hakikat pengadaan pendidikan kejuruan itu sendiri.
3.
Fokus Kurikulum
Terdapat pandangan yang keliru dalam masyarakat bahwa kurikulum pendidikan
kejuruan memfokuskan pada perkembangan keterampilan psikomotorik dan kurang
menekankan pada perkembangan aspek belajar yang lain. Pandangan ini jelas tidak
berdasar, karena untuk dapat mempersiapkan seorang warga negara yang produktif
dalam arti memanfaatkan potensinya secara optimal, semua aspek baik afektif, kognitif,
dan psikomotorik harus berkembang secara simultan.
Mengembangkan salah satu aspek saja, selain bertentangan dengan hakikat
peserta didik sebagai suatu totalitas pribadi, hal tersebut juga tidak mungkin terjadi
secara operasional. Karena pembagian menjadi tiga domain tersebut lebih bersifat
teoritik konseptual dan tidak terjadi dalam kenyataan praktis operasional, stimulus dan
pengalaman belajar yang disajikan melalui pendidikan kejuruan mencakup rangsangan
dan pengalaman belajar yang dapat mengembangkan ketiga domain tersebut berikut
panduan integralnya yang siap untuk diaplikasikan baik pada situasi kerja yang terstimulus
lewat proses belajar maupun nanti dalam situasi kerja yang sebenarnya. Hal ini termasuk
sikap kerja dan orientasi nilai yang mendasari aspirasi, motivasi dan kemampuan kerjanya.
4.
Kriteria Keberhasilan
Berbeda dengan pendidikan umum, kriteria untuk menentukan keberhasilan
suatu lembaga pendidikan kejuruan pada dasarnya menerapkan ukuran ganda, yaitu
keberhasilan siswa di sekolah (in school success) dan keberhasilan di luar sekolah (out of
school success). Kriteria yang pertama meliputi aspek keberhasilan siswa dalam memenuhi
persyaratan kurikuler yang sudah diorientasikan ke persyaratan dunia kerja, sedangkan
kriteria yang kedua diindikasikan oleh keberhasilan atau penampilan lulusan setelah
berada di dunia kerja yang sebenarnya, seperti misalnya proporsi lulusan yang mendapat
pekerjaan sesuai dengan bidang studi, jarak waktu antara kelulusan dan saat mendapatkan
pekerjaan pertama, serta keberhasilan lain dalam bentuk imbalan ekonomis.
5.
Kepekaan (Responsiveness)
Karena komitmen yang tinggi untuk selalu berorientasi ke dunia kerja,
pendidikan kejuruan mempunyai ciri lain berupa kepekaan atau daya suai yang tinggi
terhadap perkembangan masyarakat pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pasang surutnya suatu bidang pekerjaan,
inovasi dan penemuan-penemuan baru di bidang produksi barang dan jasa, adalah sederet
tolok ukur yang sangat besar pengaruhnya terhadap kecenderungan perkembangan
pendidikan kejuruan. Selain itu, mobilitas kerja baik vertikal maupun horizontal sebagai
akibat perkembangan sosial kemasyarakatan, semuanya harus diantisipasi secara cermat
57
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
guna menjamin relevansi yang tinggi antara isi pendidikan kejuruan dengan kebutuhan
dunia kerja.
6.
Perbekalan dan Logistik
Dilihat dari segi peralatan belajar, maka untuk mewujudkan situasi atau pengalaman
belajar yang dapat mencerminkan situasi dunia kerja secara realistis dan edukatif
diperlukan banyak perlengkapan, sarana dan perbekalan logistik yang lain. Bengkel
dan laboratorium adalah kelengkapan yang umum menyertai eksistensi suatu sekolah
kejuruan, selain pengalaman yang biasanya tercantum dalam kerangka kurikulumnya.
Ini membuat sekolah kejuruan biasanya memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan
dalam penelitian-penelitian yang mengungkap unit pembiayaan selalu dipertanyakan
apakah investasi yang besar di bidang pendidikan kejuruan cukup efisien dibandingkan
dengan hasilnya. Pertanyaan ini sebenarnya kurang adil, sebab studi yang menghasilkan
perbandingan unit biaya antar siswa di sekolah umum dan sekolah kejuruan sebenarnya
tidak dapat menyentuh persoalan hakikat pengadaan pendidikan kejuruan itu sendiri.
7.
Hubungan Masyarakat
Erat kaitannya dengan masalah mahalnya penyelenggaraan pendidikan kejuruan
dan tingginya tuntutan relevansi dengan dunia kerja, maka masalah hubungan antara
sekolah dan masyarakat dalam hal ini khususnya dengan dunia usaha merupakan
suatu ciri karakteristik yang penting. Hubungan itu tidak hanya menyangkut partisipasi
masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam ikut bertanggung jawab menyelenggarakan
pendidikan kejuruan, tetapi lebih jauh menyangkut daya dukung dan daya serap
lingkungan yang sangat penting perannya bagi hidup dan matinya suatu lembaga
pendidikan kejuruan. Perwujudan hubungan timbal balik yang menunjang ini mencakup
adanya dewan penasihat kurikulum kejuruan (curriculum advisory committee), kesediaan
dunia usaha menampung peserta didik sekolah kejuruan dalam program kerja sama
yang memungkinkan kesempatan pengalaman lapangan, informasi kecenderungan
ketenagakerjaan yang selalu dijabarkan ke dalam perencanaan dan implementasi program
pendidikan, dan bentuk-bentuk kerja sama saling menguntungkan lainnya.
Satu hal penting yang dibutuhkan oleh dunia kerja adalah adanya kompetensi calon
pekerja yang akan memasuki dunia kerja. Menurut Paul dan Murdoeh (1992) dalam Syafiq
Ahmad (2007), agar dapat bertahan dan unggul dalam kompetisi di dunia kerja, seorang
lulusan perguruan tinggi harus dilengkapi dengan kualifikasi kompetensi: (1) pengetahuan
umum dan penguasaan bahasa Inggris; (2) keterampilan komunikasi, meliputi penguasaan
komputer dan internet, presentasi audiovisual, dan alat-alat komunikasi lain; (3)
keterampilan personal meliputi kemandirian, kemampuan komunikasi dan kemampuan
mendengar, keberanian, semangat dan kemampuan kerja sama dalam tim, inisiatif, dan
keterbukaan; dan (4) fleksibilitas dan motivasi untuk maju yaitu kemampuan beradaptasi
sesuai perubahan waktu dan Iingkungan serta keinginan untuk maju sebagai pimpinan.
58
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja secara garis besar dapat dibagi dua
yaitu soft competency dan hard competency. Secara definisi, soft competency adalah
kompetensi sosial (motivasi, perilaku) yang memberikan gambaran tentang kesiapan
seseorang memasuki dunia kerja. Kesiapan tersebut meliputi lima hal utama yaitu (1)
tingkat kepercayaan dunia kerja terhadap calon pekerja, (2) kemampuan calon pekerja
melaksanakan pekerjaan yang ditawarkan dunia kerja, (3) tingginya motivasi untuk bekerja,
(4) kemampuan calon pekerja bekerja sama dengan orang lain, dan (5) kemampuan calon
pekerja mengelola dirinya sendiri. Sementara itu, hard competency yaitu kompetensi
teknis berupa kompetensi dalam keterampilan dan pengetahuan. Keterampilan dan
pengetahuan yang dibutuhkan biasanya dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan yang
dilakukan di suatu perusahaan. Sumber lain menyebutkan bahwa kompetensi merupakan
salah satu kualifikasi seleksi yang meliputi antara lain umur, keahlian, kesehatan fisik,
pendidikan, jenis kelamin, karakter, pengalaman kerja, dan kejujuran. Kompetensi disebut
juga sebagai keahlian, contohnya technical skill, human skill, conceptual skill, kecakapan
untuk memanfaatkan kesempatan serta kecermatan menggunakan peralatan yang
dimiliki industri.
C.
Pemenuhan Akses SMK
Peningkatan akses pendidikan merupakan amanat Undang-Undang Dasar
1945 untuk memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat agar memenuhi hak
dasarnya supaya mendapatkan pendidikan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan
demi kesejahteraan umat manusia. Peningkatan akses pendidikan ditunjukkan dengan
meningkatnya angka partisipasi penduduk usia sekolah yang mendapat akses pendidikan.
Gambar 17 menunjukkan profil akses pendidikan menengah di seluruh provinsi di
Indonesia tahun 2014 serta perkembangan APK dan APM pendidikan menengah nasional
dari tahun 2010 hingga tahun 2014.
APK SM pada tahun 2013 telah mengalami penyesuaian dengan diperolehnya
angka riil jumlah penduduk berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, termasuk
jumlah penduduk usia 16 – 18 tahun (usia SM). Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan
menengah secara nasional pada tahun 2013/2014 adalah 74,6 % (gambar 18) dan pada
tahun 2014/2015 mencapai 75,53%. Capaian ini naik 5,93 % dari kondisi tahun 2009/2010.
Sementara itu APK SMK pada tahun 2014 telah mencapai 31,78% dengan
perbandingan antara SMK : SMA adalah sebesar 49,87 berbanding 50,13. APK SMK
tertinggi terdapat di Provinsi DI Yogyakarta yang mencapai 49,84% dengan perbandingan
SMK : SMA sebesar 62,59 berbanding 38,41, disusul dengan Provinsi DKI Jakarta dengan
APK SMK sebesar 45,21%.
Peningkatan kelembagaan SMK sangat signifikan, hal ini dapat diketahui dari
jumlah SMK pada tahun 2015 pada periode pendataan dapodik per tanggal 31 Oktober
59
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
2015 tercatat sebanyak 12.809 SMK dengan rincian 3.339 SMK berstatus Negeri (26,07%)
dan 9.470 SMK berstatus Swasta (73,93%).
60
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Sumber: PDSP 2014, diolah
Gambar 17. Perkembangan APK dan APM 2010 - 2014 dan Sebaran Capaian APK per Provinsi
Tahun 2014
Sumber: PDSP 2014, diolah
Gambar 18. Peta APK SM 2014 per provinsi
61
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Sumber: Dapodik 2015 per 31 Oktober 2015, diolah
Gambar 19. Sebaran Jumlah SMK berdasarkan Status
Sumber: Dapodik 2015 per 31 Oktober 2015, diolah
Gambar 20 Jumlah SMK di Setiap Provinsi
Dilihat dari sebaran provinsi, jumlah satuan pendidikan menengah terbanyak
adalah di Jawa Barat dengan 2.554 SMK dan di Jawa Timur dengan 1.827 SMK. Secara
keseluruhan jumlah SMK di Pulau Jawa mencapai 7.348 atau 57,36 % dari total seluruh
SMK di Indonesia diikuti oleh Sumatera (26,04 %), Sulawesi (9,62 %), Kalimantan (6,47 %),
Bali dan Nusa Tenggara (6,18 %), dan Maluku serta Papua (3,53 %).
Data pada tabel 6 menunjukkan bahwa rasio jumlah siswa SMK terhadap jumlah
SMK yang bervariasi antar provinsi, dengan rata-rata 345 siswa per SMK di setiap provinsi.
Rasio tertinggi di Provinsi Bali dengan nilai 502 sedangkan terkecil di Provinsi Maluku
Utara dengan nilai 136.
62
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Tabel 6. Perbandingan Jumlah Sekolah dan Jumlah Siswa SMK
SMK
Rasio
Provinsi
Siswa : SMK
Siswa
Sekolah
D.K.I. Jakarta
206.898
592
349
Jawa Barat
922.672
2.554
361
Jawa Tengah
717.975
1.531
468
D.I. Yogyakarta
82.483
219
376
Jawa Timur
672.786
1.827
368
Aceh
47.061
190
247
Sumatera Utara
283.294
936
302
Sumatera Barat
76.358
202
378
Riau
80.628
265
304
Jambi
43.188
159
271
Sumatera Selatan
95.777
263
364
Lampung
121.174
412
294
Kalimantan Barat
53.806
180
298
Kalimantan Tengah
28.442
128
222
Kalimantan Selatan
50.482
120
420
Kalimantan Timur
70.636
212
333
Sulawesi Utara
47.352
169
280
Sulawesi Tengah
37.713
168
224
Sulawesi Selatan
125.695
423
297
Sulawesi Tenggara
29.613
141
210
Maluku
17.163
105
163
Bali
84.943
169
502
Nusa Tenggara Barat
62.788
266
236
Nusa Tenggara Timur
60.608
253
239
Papua
25.366
117
216
63
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
SMK
Rasio
Provinsi
Siswa : SMK
Siswa
Sekolah
Bengkulu
25.029
89
281
Maluku Utara
15.065
110
136
Banten
225.023
625
360
Bangka Belitung
21.688
54
401
Gorontalo
18.952
52
364
Kepulauan Riau
24.790
88
281
Papua Barat
10.971
47
233
Sulawesi Barat
24.960
117
213
Kalimantan Utara
8.011
26
308
4.419.390
12.809
345
Nasional
Sumber: Dapodik 2015 per 31 Oktober 2015, diolah
D.
Kondisi Mutu SMK
Jaminan kualitas lulusan SMK sangat bergantung pada kualitas layanan pendidikan
yang diselenggarakan oleh sekolah. Peningkatan akses pendidikan harus dilakukan
sejalan dengan peningkatan mutu layanan pendidikan. Pendidikan menengah khususnya
SMK merupakan titik kritis karena lulusan yang dihasilkannya sebagian besar merupakan
masukan langsung bagi dunia kerja di samping dari pendidikan tinggi. Kualitas layanan
pendidikan yang rendah akan berdampak signifikan pada kualitas tenaga kerja di
Indonesia.
Tabel 7. Spektrum Keahlian dan Program Studi SMK
Provinsi/Bidang Keahlian
Spektrum
Provinsi/Bidang Keahlian
Spektrum
Prov. Aceh
72
Perikanan dan Kelautan
5
Agribisnis dan Agroteknologi
11
Seni Rupa dan Kriya
4
Bisnis dan Manajemen
5
Seni Pertunjukan
1
Kesehatan
3
Teknologi dan Rekayasa
32
Pariwisata
7
Teknologi Informasi dan Komunikasi
4
64
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Provinsi/Bidang Keahlian
Spektrum
Provinsi/Bidang Keahlian
Teknologi Informasi dan Komunikasi
Prov. Bali
Spektrum
5
48
Agribisnis dan Agroteknologi
5
Prov. Bengkulu
57
Bisnis dan Manajemen
4
Agribisnis dan Agroteknologi
7
Kesehatan
3
Bisnis dan Manajemen
4
Pariwisata
6
Kesehatan
4
Perikanan dan Kelautan
2
Pariwisata
7
Seni Pertunjukan
4
Perikanan dan Kelautan
5
Seni Rupa dan Kriya
9
Seni Pertunjukan
2
Teknologi dan Rekayasa
12
Seni Rupa dan Kriya
3
Teknologi Informasi dan Komunikasi
3
Teknologi dan Rekayasa
20
Teknologi Informasi dan Komunikasi
5
Prov. Bangka Belitung
38
Agribisnis dan Agroteknologi
6
Prov. D.I. Yogyakarta
Bisnis dan Manajemen
4
Agribisnis dan Agroteknologi
7
Kesehatan
2
Bisnis dan Manajemen
4
Pariwisata
5
Kesehatan
4
Perikanan dan Kelautan
4
Pariwisata
7
Teknologi dan Rekayasa
14
Perikanan dan Kelautan
5
Teknologi Informasi dan Komunikasi
3
Seni Pertunjukan
6
Seni Rupa dan Kriya
10
74
Prov. Banten
72
Teknologi dan Rekayasa
26
Agribisnis dan Agroteknologi
10
Teknologi Informasi dan Komunikasi
5
Bisnis dan Manajemen
5
Kesehatan
3
Prov. D.K.I. Jakarta
Pariwisata
7
Agribisnis dan Agroteknologi
2
Perikanan dan Kelautan
4
Bisnis dan Manajemen
5
Seni Pertunjukan
2
Kesehatan
5
Seni Rupa dan Kriya
5
Pariwisata
7
Seni, Kerajinan dan Pariwisata
1
Perikanan dan Kelautan
5
Teknologi dan Rekayasa
30
Seni Pertunjukan
4
65
65
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Provinsi/Bidang Keahlian
Spektrum
Provinsi/Bidang Keahlian
Spektrum
Seni Rupa dan Kriya
6
Seni Rupa dan Kriya
7
Teknologi dan Rekayasa
25
Teknologi dan Rekayasa
47
Teknologi Informasi dan Komunikasi
6
Teknologi Informasi dan Komunikasi
7
Prov. Gorontalo
47
Prov. Jawa Tengah
101
Agribisnis dan Agroteknologi
10
Agribisnis dan Agroteknologi
14
Bisnis dan Manajemen
3
Bisnis dan Manajemen
5
Kesehatan
3
Kesehatan
5
Pariwisata
5
Pariwisata
7
Perikanan dan Kelautan
5
Perikanan dan Kelautan
5
Seni Rupa dan Kriya
2
Seni Pertunjukan
6
Teknologi dan Rekayasa
15
Seni Rupa dan Kriya
8
Teknologi Informasi dan Komunikasi
4
Teknologi dan Rekayasa
45
Teknologi Informasi dan Komunikasi
6
Prov. Jambi
54
Agribisnis dan Agroteknologi
10
Prov. Jawa Timur
99
Bisnis dan Manajemen
5
Agribisnis dan Agroteknologi
15
Kesehatan
3
Bisnis dan Manajemen
5
Pariwisata
6
Kesehatan
7
Perikanan dan Kelautan
5
Pariwisata
7
Seni Rupa dan Kriya
4
Perikanan dan Kelautan
5
Teknologi dan Rekayasa
18
Seni Pertunjukan
7
Teknologi Informasi dan Komunikasi
3
Seni Rupa dan Kriya
9
Seni, Kerajinan dan Pariwisata
2
Teknologi dan Rekayasa
36
Teknologi Informasi dan Komunikasi
6
Prov. Jawa Barat
106
Agribisnis dan Agroteknologi
16
Bisnis dan Manajemen
5
Kesehatan
5
Prov. Kalimantan Barat
55
Pariwisata
7
Agribisnis dan Agroteknologi
10
Perikanan dan Kelautan
5
Bisnis dan Manajemen
4
Seni Pertunjukan
7
Kesehatan
1
66
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Provinsi/Bidang Keahlian
Spektrum
Provinsi/Bidang Keahlian
Spektrum
Pariwisata
5
Bisnis dan Manajemen
5
Perikanan dan Kelautan
5
Kesehatan
5
Seni Rupa dan Kriya
5
Pariwisata
7
Seni Pertunjukan
1
Perikanan dan Kelautan
5
Teknologi dan Rekayasa
19
Seni Pertunjukan
1
Teknologi Informasi dan Komunikasi
5
Seni Rupa dan Kriya
5
Teknologi dan Rekayasa
29
Teknologi Informasi dan Komunikasi
3
Prov. Kalimantan Selatan
56
Agribisnis dan Agroteknologi
8
Bisnis dan Manajemen
4
Prov. Kalimantan Utara
33
Kesehatan
4
Agribisnis dan Agroteknologi
5
Pariwisata
6
Bisnis dan Manajemen
4
Perikanan dan Kelautan
3
Kesehatan
2
Seni Pertunjukan
3
Pariwisata
4
Seni Rupa dan Kriya
6
Perikanan dan Kelautan
5
Teknologi dan Rekayasa
17
Teknologi dan Rekayasa
11
Teknologi Informasi dan Komunikasi
5
Teknologi Informasi dan Komunikasi
2
Prov. Kalimantan Tengah
48
Prov. Kepulauan Riau
Agribisnis dan Agroteknologi
11
Agribisnis dan Agroteknologi
7
Bisnis dan Manajemen
4
Bisnis dan Manajemen
4
Kesehatan
3
Kesehatan
3
Pariwisata
5
Pariwisata
6
Perikanan dan Kelautan
2
Perikanan dan Kelautan
5
Seni Rupa dan Kriya
2
Seni Rupa dan Kriya
1
Seni Pertunjukan
1
Seni Pertunjukan
1
Teknologi dan Rekayasa
17
Teknologi dan Rekayasa
22
Teknologi Informasi dan Komunikasi
3
Teknologi Informasi dan Komunikasi
4
Prov. Kalimantan Timur
73
Prov. Lampung
Agribisnis dan Agroteknologi
13
Agribisnis dan Agroteknologi
53
63
9
67
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Provinsi/Bidang Keahlian
Spektrum
Provinsi/Bidang Keahlian
Spektrum
Bisnis dan Manajemen
5
Kesehatan
3
Kesehatan
4
Pariwisata
7
Pariwisata
6
Perikanan dan Kelautan
4
Perikanan dan Kelautan
6
Seni Pertunjukan
2
Seni Rupa dan Kriya
5
Seni Rupa dan Kriya
6
Teknologi dan Rekayasa
24
Teknologi dan Rekayasa
20
Teknologi Informasi dan Komunikasi
4
Teknologi Informasi dan Komunikasi
4
Prov. Maluku
58
Prov. Nusa Tenggara Timur
58
Agribisnis dan Agroteknologi
12
Agribisnis dan Agroteknologi
14
Bisnis dan Manajemen
3
Bisnis dan Manajemen
3
Kesehatan
6
Kesehatan
5
Pariwisata
6
Pariwisata
6
Perikanan dan Kelautan
7
Perikanan dan Kelautan
6
Seni Pertunjukan
2
Seni Rupa dan Kriya
4
Seni Rupa dan Kriya
3
Teknologi dan Rekayasa
17
Teknologi dan Rekayasa
14
Teknologi Informasi dan Komunikasi
3
Teknologi Informasi dan Komunikasi
5
Prov. Maluku Utara
40
Prov. Papua
60
Agribisnis dan Agroteknologi
11
Agribisnis dan Agroteknologi
6
Bisnis dan Manajemen
4
Bisnis dan Manajemen
4
Kesehatan
5
Kesehatan
5
Pariwisata
5
Pariwisata
6
Perikanan dan Kelautan
7
Perikanan dan Kelautan
4
Seni Rupa dan Kriya
3
Teknologi dan Rekayasa
12
Teknologi dan Rekayasa
21
Teknologi Informasi dan Komunikasi
3
Teknologi Informasi dan Komunikasi
4
Prov. Nusa Tenggara Barat
64
Prov. Papua Barat
43
Agribisnis dan Agroteknologi
13
Agribisnis dan Agroteknologi
10
Bisnis dan Manajemen
5
Bisnis dan Manajemen
4
68
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Provinsi/Bidang Keahlian
Spektrum
Provinsi/Bidang Keahlian
Spektrum
Kesehatan
3
Pariwisata
7
Pariwisata
5
Perikanan dan Kelautan
6
Perikanan dan Kelautan
4
Seni Pertunjukan
5
Teknologi dan Rekayasa
14
Seni Rupa dan Kriya
6
Teknologi Informasi dan Komunikasi
3
Teknologi dan Rekayasa
27
Teknologi Informasi dan Komunikasi
6
Prov. Riau
74
Agribisnis dan Agroteknologi
13
Prov. Sulawesi Tengah
55
Bisnis dan Manajemen
5
Agribisnis dan Agroteknologi
12
Kesehatan
3
Bisnis dan Manajemen
5
Pariwisata
7
Kesehatan
5
Perikanan dan Kelautan
4
Pariwisata
7
Seni Rupa dan Kriya
4
Perikanan dan Kelautan
4
Seni, Kerajinan dan Pariwisata
1
Seni Rupa dan Kriya
3
Teknologi dan Rekayasa
33
Teknologi dan Rekayasa
15
Teknologi Informasi dan Komunikasi
4
Teknologi Informasi dan Komunikasi
4
Prov. Sulawesi Barat
40
Prov. Sulawesi Tenggara
55
Agribisnis dan Agroteknologi
11
Agribisnis dan Agroteknologi
9
Bisnis dan Manajemen
3
Bisnis dan Manajemen
4
Kesehatan
2
Kesehatan
4
Pariwisata
4
Pariwisata
5
Perikanan dan Kelautan
4
Perikanan dan Kelautan
5
Seni Rupa dan Kriya
1
Seni Rupa dan Kriya
3
Teknologi dan Rekayasa
12
Teknologi dan Rekayasa
19
Teknologi Informasi dan Komunikasi
3
Teknologi Informasi dan Komunikasi
6
Prov. Sulawesi Selatan
83
Prov. Sulawesi Utara
51
Agribisnis dan Agroteknologi
16
Agribisnis dan Agroteknologi
8
Bisnis dan Manajemen
5
Bisnis dan Manajemen
4
Kesehatan
5
Kesehatan
4
69
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Provinsi/Bidang Keahlian
Spektrum
Provinsi/Bidang Keahlian
Spektrum
Pariwisata
5
Perikanan dan Kelautan
3
Perikanan dan Kelautan
5
Seni Rupa dan Kriya
7
Seni Rupa dan Kriya
3
Seni Pertunjukan
1
Teknologi dan Rekayasa
18
Teknologi dan Rekayasa
20
Teknologi Informasi dan Komunikasi
4
Teknologi Informasi dan Komunikasi
4
Prov. Sumatera Barat
78
Prov. Sumatera Utara
83
Agribisnis dan Agroteknologi
9
Agribisnis dan Agroteknologi
11
Bisnis dan Manajemen
5
Bisnis dan Manajemen
5
Kesehatan
6
Kesehatan
5
Pariwisata
7
Pariwisata
7
Perikanan dan Kelautan
5
Perikanan dan Kelautan
5
Seni Pertunjukan
4
Seni Pertunjukan
2
Seni Rupa dan Kriya
9
Seni Rupa dan Kriya
5
Teknologi dan Rekayasa
29
Seni, Kerajinan dan Pariwisata
3
Teknologi Informasi dan Komunikasi
4
Teknologi dan Rekayasa
36
Teknologi Informasi dan Komunikasi
4
Prov. Sumatera Selatan
56
Agribisnis dan Agroteknologi
8
Bisnis dan Manajemen
5
Kesehatan
2
Pariwisata
6
Hasil Ujian Nasional
Capaian Ujian Nasional SMK tahun 2013/2014 ditunjukkan pada tabel 8. Rata-rata
capaian UN SMK di tingkat nasional adalah 6,35. Sebaran capaian Nilai UN rata-rata per
provinsi untuk SMK kurang menggembirakan karena hanya 2 dari 34 provinsi memiliki
nilai rata-rata di atas 7,0. Pada gambar 21 ditunjukkan juga terdapat 12 provinsi dari 34
provinsi memiliki nilai UN dengan rata-rata di atas rata-rata nilai ujian Nasional.
70
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Tabel 8. Capaian Nilai UN SMK Tahun 2013/2014
Nilai Ujian
Bahasa
Indonesia
Bahasa
Inggris
Matematika
Kompetensi
Rata-Rata
Nilai
Klasifikasi
B
C
D
A
B
Rata-Rata
7.01
5.97
5.10
8.06
26.14
Terendah
1.00
1.20
0.50
2.29
1.40
Tertinggi
10.00
10.00
10.00
10.00
39.03
Standar Deviasi
1.49
1.64
2.14
0.56
4.56
Sumber: Puspendik 2014, diolah
Sumber: Puspendik 2014, diolah
Gambar 21. Capaian UN SMK Tahun 2011/2012 per Provinsi
71
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kinerja capaian mutu pendidikan atau mutu keluaran proses pendidikan merupakan
dampak dari kualitas penyelenggaraan layanan pendidikan di satuan pendidikan. Sesuai
dengan amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
standar pelayanan minimal pendidikan adalah Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dengan
demikian sebagai bentuk akuntabilitas kualitas layanan pendidikan yang diselenggarakan
maka setiap satuan pendidikan harus diakreditasi dan setiap tenaga pendidik dan
kependidikan harus disertifikasi.
Akreditasi
Dari total 12.809 SMK, sebanyak 21,39% telah diakreditasi. Gambar 22 menunjukkan
bahwa provinsi dengan persentase tertinggi SMK yang diakreditasi adalah Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Sumatera Utara. Bila dibandingkan dengan rata-rata capaian nasional,
22 dari 34 provinsi telah memiliki persentase sekolah diakreditasi melebihi nasional dan
12 provinsi masih di bawah rata-rata nasional. Bahkan untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Papua Barat, dan Maluku Utara masih di bawah 10 %.
Sumber: BAN SM 2014, diolah
Gambar 22. Persentase SMK yang Diakreditasi di Setiap Provinsi
72
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Gambaran ini cukup mengkhawatirkan karena pertumbuhan berbagai program
keahlian tidak dilengkapi dengan jaminan pelayanan pendidikan yang berstandar. SMK
sebagai salah satu penyumbang tenaga kerja potensial belum dapat menjamin kualitas
pelayanan untuk menjamin peserta didik untuk mendapat kompetensi yang dibutuhkan
di dunia kerja.
Dilihat dari capaian SMK yang telah terakreditasi (gambar 23), terdapat sebesar 39%
SMK telah memiliki akreditasi A; 46% memiliki akreditasi B; 13% memiliki akreditasi C dan
2% tidak terakreditasi. Dengan demikian terdapat sebesar 85% SMK yang telah diakreditasi
di Indonesia telah terakreditasi A dan B.
Sumber: BAN SM 2014, diolah
Gambar 23. Hasil Akreditasi Sekolah pada SMA/MA dan Program Keahlian SMK
73
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kompetensi Guru SMK
Jika dilihat dari segi kompetensi, guru yang berpendidikan S1 dan S2/S3 ternyata
mempunyai kompetensi yang tidak terlalu jauh berbeda dengan guru yang berpendidikan
D3 dan di bawah D3. Hal ini ditunjukkan pada gambar 23.1 bahwa tidak ada perbedaan
signifikan atas rata-rata nilai Ujian Kompetensi Guru dari guru yang berpendidikan S1 dan
S2/S3 dan guru yang berpendidikan D3 dan di bawah D3.
Sumber: Bappenas
Gambar 23.1 Rata-Rata Nilai Ujian Kompetensi Guru SMK
Rasio Guru SMK dan Peserta Didik
Jika dilihat berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru
Pasal 17 bahwa setelah tahun 2015 menetapkan bahwa guru SMK tetap pemegang
sertifikat pendidik berhak mendapatkan tunjangan profesi apabila mengajar di satuan
pendidikan yang rasio minimal jumlah peserta didik terhadap gurunya 15:1. Adapun
sebaran rasio antara jumlah peserta didik dengan guru SMK di Indonesia dapat dilihat pada
gambar 24. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa seluruh Pulau jawa memiliki rasio
peserta didik dengan guru SMK lebih dari 20, sedangkan untuk wilayah Papua, sebagian
Kalimantan dan sedikit Sumatera memiliki rasio peserta didik dengan guru SMK berkisaran
antara 10-12.
74
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Sumber: Dit.PTK Dikmen 2013, diolah
Gambar 24 Peta Sebaran Guru dan Peserta Didik
Kondisi Guru Produktif SMK
Selanjutnya jika lihat kebutuhan guru produktif SMK berdasarkan bidang keahlian
yang ada dibandingkan dengan kebutuhan ideal, Indonesia masih mengalami kekurangan
guru produktif sebagaimana dijelaskan pada gambar 25.
Sumber: Dit.PTK Dikmen 2013, diolah
Gambar 25 Kebutuhan Guru Produktif SMK
Dari gambar grafik tersebut dapat diketahui bahwa kekurangan terbanyak guru
produktif SMK bidang keahlian teknologi dan rekayasa dan bidang keahlian Bisnis
Manajemen. Adapun rincian selisih kebutuhan guru produktif SMK yang dibutuhkan
dengan kondisi riil di lapangan dapat dijelaskan pada tabel 8.
75
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Tabel 9. Capaian Nilai UN SMK Tahun 2013/2014
Status Guru
Bidang
Keahlian
(Produktif)
PNS
DPK
PNS
GTY
GTT
Jml.
Guru
Total
Jml.
Guru
Tetap
Ideal
Selisih
Total
Selisih
Guru
Tetap
Teknologi dan
Rekayasa
10.200
2.184
2.675
9.321
24.380
15.509
37.940
-13.560
22.881
Teknologi
Informasi dan
Komunikasi
322
98
178
463
1.061
598
1.340
-279
-742
32
37
77
110
256
146
342
-86
-196
Agribisnis dan
Agroteknologi
1.640
126
123
1.118
3.007
1.889
3.533
-526
-1.644
Perikanan dan
Kelautan
822
137
242
1.051
2.252
1.201
2.370
-118
-36.917
Bisnis dan
Manajemen
7.768
2.801
4.085
12.488
27.142
14.654
51.571
-24.429
-4.994
Pariwisata
3.016
299
501
2.226
6.042
3.816
8.810
-2.768
-315
471
40
562
235
802
567
882
-80
-4.994
Seni
Pertunjukan
13
2
2
10
27
17
28
-1
-11
Jumlah
Guru Bidang
Keahlian
(Produktif)
24.284
5.724
7.939
27.022
64.969
37.947
106.815
-41.846
-68.868
Kesehatan
Seni Rupa dan
Kerajinan
Sumber: Dit.PTK Dikmen 2013, diolah
Kualifikasi Guru SMK
Berdasarkan data pada tabel 9.1 dapat diketahui bahwa di Indonesia seluruh guru
SMK berjumlah 359.099 orang. Dari jumlah tersebut masih terdapat sebesar 218.614 orang
guru SMK atau sebesar 61% yang belum memiliki kualifikasi S1 dan ada sebesar 140.485
orang guru SMK atau sebesar 39% yang telah memiliki kualifikasi ≥ S1.
Tabel 9.1 Jumlah Guru SMK berdasarkan Kualifikasi
Jumlah Guru SMK Berdasarkan Kualifikasi
No
Status Guru
Total
≤ S1
≥ S1
1
Negeri
72.884
68.697
141.581
2
Swasta
145.730
71.788
217.518
218.614
140.485
359.099
TOTAL
Sumber: PDSP tahun 2014/2015, diolah
76
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan karena kualifikasi
guru SMK
memengaruhi kualitas lulusan SMK. Penyumbang terbesar guru SMK yang belum memiliki
kualifikasi S1 adalah SMK swasta yaitu sebesar 145.730 orang guru SMK. Hal ini menjadi
tantangan yang cukup berat untuk meningkatkan kualitas lulusan bagi SMK swasta di
Indonesia.
Kondisi Ruang Kelas SMK
Kualitas pembelajaran di SMK secara tidak langsung sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan ruang kelas. Berdasarkan data pada gambar 26 dapat diketahui bahwa
secara nasional SMK memiliki 127.860 ruang kelas. Dari jumlah tersebut terdapat 43%
atau sebanyak 54.585 ruang kelas dengan kondisi baik, 43% atau sebanyak 55.527 ruang
kelas dengan kondisi rusak ringan, 2% atau sebanyak 2.864 ruang kelas dengan kondisi
rusak sedang, 2% atau sebanyak 2.255 ruang kelas dengan kondisi rusak berat dan 10%
atau sekitar 12.629 ruang kelas rusak total. Jika akumulasi antara ruang kelas dengan
kondisi baik dibandingkan dengan ruang kelas dengan kondisi rusak adalah sebesar
43% dibandingkan 57%. Jadi secara umum kondisi ruang kelas SMK yang rusak dengan
berbagai variasinya lebih tinggi dibandingkan dengan ruang kelas SMK dalam kondisi
baik.
Sumber: PDSP tahun 2014/2015, diolah
Gambar 26 Kondisi Ruang Kelas SMK
E.
Profil Lulusan SMK
Profil lulusan SMK menggambarkan kondisi terkini dari lulusan SMK baik dari sisi
suplai maupun kebutuhan pasar kerja. Dari sisi suplai, perkembangan angka lulusan
SMK cenderung mengalami tren peningkatan. Kenaikan ini didukung oleh gencarnya
Kemendikbud dalam mempromosikan SMK sebagai pilihan dalam menempuh pendidikan
menengah.
77
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Sumber: PDSP 2014, diolah
Gambar 27. Perkembangan lulusan SMK
Sumber: PDSP 2014, diolah
Gambar 28. Persentase Angka Ketidaklulusan SMK
78
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Gambar 28 memperlihatkan persentase angka ketidaklulusan SMK pada tahun
2014. Secara nasional angka lulusan SMK telah mencapai 99,37%, terdapat 6 provinsi
dengan angka kelulusan di atas rata-rata nasional.
Dilihat secara lebih spesifik, jumlah tamatan SMK berdasarkan program studi/
keahlian, dapat dilihat pada gambar 29. Lulusan dengan Bidang Keahlian Teknologi
dan Rekayasa menempati urutan teratas dengan 34%, disusul Bisnis dan Manajemen
dengan capaian 27%, selanjutnya Teknologi Informasi dan Komunikasi sebesar 22%. Hal
menunjukkan bahwa minat peserta didik SMK lebih banyak kepada Teknologi dan Bisnis,
padahal secara sumber daya, peta komoditas masih didominasi oleh pangan dan sandang,
sehingga perlu dilakukan langkah strategis menata program keahlian untuk memenuhi
SDM yang dibutuhkan oleh industri.
Sumber: PDSP 2014, diolah
Gambar 29. Jumlah Tamatan SMK berdasarkan Program Keahlian
79
BAB IV
KONSEP TEACHING FACTORY DAN TECHNOPARK DI SMK
DAFTAR ISI
A. Rasional
82
B. Dasar Hukum
86
C. Konsep Teaching Factory di SMK
90
D. Konsep Technopark di SMK
114
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
BAB IV
KONSEP TEACHING FACTORY DAN TECHNOPARK
DI SMK
A.
Rasional
Peta tenaga kerja di Indonesia pada tahun 2014 masih didominasi oleh lulusan
Sekolah Dasar (SD) atau tidak tamat SD yaitu sebanyak 45,66%. Sementara itu, tenaga kerja
lulusan SMP adalah sebesar 17,98%, tenaga kerja lulusan SMA adalah sebesar 16,86%, dan
tenaga kerja lulusan SMK adalah sebesar 9,73%. Tenaga kerja Indonesia yang berasal dari
lulusan Diploma 1/Diploma 2/Diploma 3 hanya 2,58%, dan sisanya, tenaga kerja yang
berasal dari lulusan S1/D4 adalah 7,19% (gambar 30). Keterbatasan kualitas SDM Indonesia
tersebut sekaligus menjustifikasi masih rendahnya kualitas dan produktivitas masyarakat
Indonesia di berbagai sektor. Kondisi tersebut membuat pemerintah harus melaksanakan
kebijakan yang dapat meningkatkan kualifikasi dan kompetensi warga negaranya.
Sumber : Proyeksi BPS tahun 2014
Gambar 30. Peta dan Proyeksi Angkatan Pekerja menurut Pendidikan Tertinggi
Di sisi lain, penyerapan tenaga kerja oleh industri secara kuantitatif masih tidak
sebanding dengan daya tampung industri per tahun. Secara umum, proporsi pencari
kerja setiap tahun hampir didominasi oleh lulusan SMA dan SMK. Pada tahun 2013,
pencari kerja dengan pendidikan tertinggi SMA mencapai 26% sedangkan SMK mencapai
17%. Sementara itu pada tahun 2014, SMA mencapai 27% dan SMK 18,4% (gambar 31).
Walaupun keduanya mengalami kenaikan, namun kenaikan tertinggi dialami oleh pencari
kerja lulusan SMK. Salah satu masalah yang dihadapi adalah adanya kesenjangan capaian
kompetensi para lulusan institusi Pendidikan Kejuruan dengan kebutuhan riil dunia usaha/
82
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
dunia industri, keadaan ini dapat diindikasikan sebagai rendahnya daya serap tenaga kerja
lulusan.
Sumber : BPS tahun 2014
Gambar 31. Jumlah Pencari Kerja Menurut Pendidikan Tertinggi
Sementara itu, beberapa permasalahan telah dapat diidentifikasi dalam
penyelenggaraan pendidikan kejuruan di antaranya adalah: 1) masih rendahnya
partisipasi masyarakat untuk membiayai pendidikan, terutama di bidang kejuruan,
okupasi bahkan saat ini terjadi kemerosotan peminat di bidang keteknikan atau kejuruan,
2) tingginya prosentase lulusan bidang keteknikan dan kejuruan yang belum mendapat
kerja, 3) penyelenggaraan pendidikan program kejuruan membutuhkan biaya yang tinggi
dibandingkan dengan pendidikan program ilmu sosial, 4) kurikulum yang dipakai kurang
mempunyai tingkat keluwesan dan terlalu terstruktur sehingga kurang peka terhadap
tuntutan kebutuhan lapangan kerja secara luas dan kurang berorientasi ke pasar kerja,
dan 5) pendidikan kejuruan dan pendidikan lainnya mengalami penurunan kualitas dan
kuantitas.
Menyikapi hal tersebut, otoritas pendidikan mengadopsi dan mengadaptasikan
program “Link and Match ” meskipun belum menunjukkan hasil yang signifikan. Oleh karena
itu pengembangan lebih lanjut serta strategi implementasi yang lebih operasional untuk
meningkatkan kualitas Sekolah Menengah Kejuruan. Agar kepercayaan masyarakat yang
tinggi kepada Sekolah Menengah Kejuruan tetap dapat terpelihara, Sekolah Menengah
Kejuruan harus menata kembali orientasi program pendidikannya. Pergeseran kebutuhan
kualifikasi tenaga kerja di industri sudah seharusnya diantisipasi oleh SMK.
Penyelenggaraan program pendidikan SMK harus ditata kembali sehingga benarbenar berorientasi pada program yang dibutuhkan masyarakat, meskipun kebutuhan
masyarakat akan program pendidikan kejuruan berkembang sejalan dengan perubahan
dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, di samping ilmu pengetahuan dan teknologi.
83
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Menjawab berbagai tantangan di atas, dimana terjadi ketimpangan antara lulusan SMK di
satu sisi dan kebutuhan dunia industri di sisi lain, maka SMK harus mampu melakukan
terobosan dalam hal pengembangan kurikulum dan pembelajaran.
Di lain pihak, otoritas pendidikan melihat permasalahan dalam penyelenggaraan
pendidikan teknologi dan kejuruan dari dua sisi, yaitu:
•
Pada sisi permintaan, kalangan industri menyatakan bahwa kualifikasi para
lulusan belum sesuai dengan harapan dunia usaha/dunia industri, baik dalam
penguasaan hard skill (keterampilan), soft skill (etos kerja dan kemandirian),
maupun communication skill yang dibutuhkan guna mengantisipasi perkembangan
teknologi. Singkatnya, dibutuhkan pekerja yang terampil dan bersikap baik
(produktif dan tahan banting).
•
Pada sisi penawaran, institusi dihadapkan pada keterbatasan sumber daya (sarana,
SDM, finansial) dan rendahnya keterlibatan dunia usaha/dunia industri sebagai
pengguna lulusan dalam pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan, sehingga
terjadi kesenjangan informasi tentang tuntutan industri.
Agar industri Indonesia mampu bersaing secara global, maka sudah saatnya SMK
sebagai institusi pencetak SDM di bidang kejuruan tingkat menengah merespons cepat
perkembangan ekonomi berbasis informasi yang sangat pesat dan dinamis dengan
konsep pendidikan abad ke 21 (“21th Century Skills”). Pekerjaan di ekonomi global yang
berbasis informasi menuntut pentingnya kompetensi baru yang mampu mengimbangi
perkembangan industri yang pesat. Pendidikan diarahkan tidak cukup sekadar pada
tahap mengetahui (Understanding), tapi harus sanggup mencapai kemampuan Higher
Order Thinking Skills, yaitu mengaplikasikan (Applying – menjadi berguna), menganalisa
(Analyzing), mengevaluasi (Evaluating – Critical Thinking) dan memecahkan masalah
(creating / problem solving).
Pendidikan dilaksanakan dengan tujuan mencapai SDM dengan kemampuan
berpikir yang diformulasikan sebagai “Higher Order Thinking Skills” (HOTS) bertujuan
membentuk SDM dengan kemampuan berinovasi dan mampu memecahkan
permasalahan. Aspek Kognitif, Afektif (Perilaku/Sikap) dan Psikomotorik harus dihantarkan
sebagai satu kesatuan dalam pembelajaran yang sebagai hasil akhir adalah SDM yang
berorientasi inovasi dan mampu memecahkan masalah. Hal ini dibuktikan dengan sikap
dan perilaku profesional, pekerja keras, komunikatif, mampu bekerja sama dalam tim,
efisien, jujur, adil, dan ahli dalam bidangnya.
84
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Upaya lanjutan dalam implementasi program peningkatan kualitas lulusan SMK
seperti disebutkan di atas perlu dilakukan melalui penerapan konsep Teaching Factory.
Konsep ini menekankan pendidikan yang lebih demand oriented, membekali para peserta
didik dengan karakter kewirausahaan (entrepreneurship) dan melibatkan dunia usaha/
dunia industri sebagai mitra utama. Melalui pola Teaching Factory, optimalisasi kerja
sama pendidikan dengan industri berdampak pada proses pembelajaran yang semakin
berorientasi pada kebutuhan industri. Kerja sama (partnership) yang dibangun secara
sistematis dan berdasarkan pada kerja sama saling menguntungkan (win-win solution)
menjadikan Teaching Factory sebagai penghubung antara dunia pendidikan dengan
dunia usaha/dunia industri yang akan mendorong terjadinya transfer teknologi guna
meningkatkan kualitas guru dan softskill bagi peserta didik.
Teaching Factory adalah suatu konsep pembelajaran dalam suasana sesungguhnya,
sehingga dapat menjembatani kesenjangan kompetensi antara kebutuhan industri
dan pengetahuan sekolah. Teknologi pembelajaran yang inovatif dan praktik produktif
merupakan konsep metode pendidikan yang berorientasi pada manajemen pengelolaan
siswa dalam pembelajaran agar selaras dengan kebutuhan dunia industri.
Dalam pengertian lain bahwa pembelajaran berbasis produksi adalah suatu proses
pembelajaran keahlian atau keterampilan yang dirancang dan dilaksanakan berdasarkan
prosedur dan standar bekerja yang sesungguhnya (real job) untuk menghasilkan barang
atau jasa yang sesuai dengan tuntutan pasar atau konsumen. Dengan kata lain barang
yang diproduksi dapat berupa hasil produksi atau jasa yang dapat dijual atau yang dapat
digunakan oleh masyarakat, sekolah atau konsumen sebagai bukti bahwa siswa SMK tidak
hanya kompeten dalam keahlian (skill) tertentu, namun juga mampu mengaplikasikan
kompetensinya menjadi sesuatu yang berguna.
Sejalan dengan hal tersebut, diperlukan wadah atau sarana untuk menampung
hasil-hasil produksi dari Teaching Factory untuk memasarkan hasil produksi tersebut
kepada konsumen atau dunia industri yang membutuhkan. Technopark merupakan
salah satu bentuk wadah untuk menghubungkan institusi pendidikan dengan dunia
industri. Dengan adanya Technopark maka penggabungan dunia industri dan dunia
pendidikan merupakan suatu keniscayaan. Selain itu, dengan adanya Technopark akan
memungkinkan aliran informasi dan teknologi secara lebih efisien dan cepat antar dunia
industri dan pendidikan, sekaligus dapat mendongkrak pengembangan potensi daerah
dengan mengakselerasi program wirausaha (entrepreneurship) di SMK.
85
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Sumber : OECD tahun 2014
Gambar 32. Persentase Peserta Didik pada Pendidikan Menengah Kejuruan
Seperti dinyatakan di awal, peningkatan daya saing bangsa sangat identik dengan
peningkatan kualitasi sumber daya manusia. Di negara-negara OECD pengembangan
pendidikan kejuruan telah dilaksanakan sejak lama. Hal ini terlihat dari angka partisipasi
pada Pendidikan Menengah Kejuruan yang tinggi untuk negara-negara Austria, Belanda,
Jerman, dan Turki. Gambar 32 menunjukkan Angka Partipasi Pendidikan Menengah
Kejuruan pada jenjang pendidikan menengah.
Dari berbagai analisis di atas dapat disimpulkan bahwa program Teaching Factory
dan Technopark di SMK sebagai upaya untuk mempercepat peningkatan kualitas sumber
daya manusia Indonesia khususnya lulusan Sekolah Menengah Kejuruan mulai tahun 2015
secara sistematis dan berkesinambungan, dengan melibatkan pihak industri, masyarakat
dan pemerintah daerah. Program ini merupakan suatu langkah yang tepat dan operasional
dalam upaya peningkatan kualitas lulusan SMK yang berdampak signifikan.
B.
Dasar Hukum
Dasar hukum pengembangan program Teaching Factory dan Technopark di SMK ini
meliputi:
1.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Pasal 28 C menyatakan “Setiap orang berhak untuk mengembangkan diri melalui
pemenuhan hak dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Pasal ini memberikan
penegasan bawah pendidikan merupakan salah satu hak bagi warga negara
untuk mengembangkan diri demi peningkatan kesejahteraannya dan masyarakat.
86
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Selanjutnya pada Pasal 31 ayat (3) ditegaskan pula bahwa untuk memenuhi hak
warga negara tersebut, negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja
negara serta anggaran pendapatan daerah untuk memenuhi penyelenggaraan
pendidikan termasuk di dalamnya adalah dalam hal penyelenggaraan pendidikan
menengah kejuruan.
2.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-undang ini menyatakan pengelolaan dan pendanaan pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Pemerintah pusat memiliki kewajiban untuk menetapkan
kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin
terselenggaranya pendidikan termasuk pendidikan menengah yang bermutu
bagi seluruh masyarakat. Penetapan program pengembangan Teaching Factory
dan Technopark di SMK merupakan salah satu kebijakan nasional yang ditetapkan
untuk meningkatkan daya saing masyarakat melalui pendidikan menengah yang
bermutu.
3.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) 2005--2025
Dalam lampiran Undang-Undang ini menjabarkan salah satu tantangan Indonesia
pada tahun 2005-2025 adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia yang
mengakibatkan rendahnya produktivitas dan daya saing perekonomian bangsa.
Khusus untuk sektor pendidikan, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk
menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas untuk meningkatkan jumlah
proporsi penduduk yang melanjutkan pendidikan dasar ke jenjang yang lebih
tinggi, menurunkan buta aksara, menurunkan kesenjangan tingkat pendidikan
antar kelompok masyarakat, dan meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan
sehingga pendidikan dapat mendorong pembangunan nasional secara menyeluruh
dan meningkatkan daya saing bangsa. Ditegaskan pula pembangunan pendidikan
ditantang untuk menyediakan pendidikan sepanjang hayat untuk memanfaatkan
bonus demografi yang akan Indonesia hadapi pada 100 tahun Indonesia merdeka.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, pengembangan Teaching Factory dan
Technopark di SMK akan berkontribusi dalam pembangunan pendidikan di
Indonesia khususnya dalam penyediaan sumber daya manusia kelas menengah
yang berkualitas, produktif, berdaya saing, dan sesuai dengan kebutuhan Indonesia
dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi Indonesia di tingkat
internasional.
4.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini diatur mengenai
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
87
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
pemerintah kabupaten/kota di bidang pendidikan. Kewenangan bidang pendidikan
dalam aspek manajemen pendidikan, pemerintah pusat memiliki kewenangan
dalam penetapan standar nasional pendidikan dan pengelolaan pendidikan tinggi.
Pemerintah provinsi memiliki kewenangan pengelolaan pendidikan menengah dan
pengelolaan pendidikan khusus. Sementara pemerintah kabupaten/kota memiliki
kewenangan pengelolaan pendidikan dasar dan pengelolaan pendidikan anak usia
dini dan pendidikan nonformal. Dalam aspek kurikulum pemerintah pusat memiliki
kewenangan dalam penetapan kurikulum nasional pendidikan menengah,
pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini, dan pendidikan nonformal.
5.
Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan pemerintah ini beserta dengan peraturan-peraturan turunannya telah
menetapkan acuan minimal mutu yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan
dalam menyelenggarakan layanan pendidikan yang berkualitas. Acuan mutu
tersebut telah menjabarkan seluruh aspek penyelenggaraan pendidikan yang
meliputi standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar penilaian,
standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana,
standar pembiayaan dan standar pengelolaan pendidikan dengan komprehensif
sebagai landasan penyelenggaraan pendidikan untuk setiap jenjang pendidikan.
Pelaksanaan pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK ditujukan
untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan menengah dengan kebutuhan
pembangunan nasional.
6.
Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/
Kota.
Peraturan pemerintah turunan dari Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengenai
Pemerintah Daerah ini mengatur bahwa pendidikan merupakan salah satu urusan
wajib yang didelegasikan kepada daerah baik di tingkat provinsi atau kabupaten/
kota. Dalam lampiran peraturan ini telah diatur kewenangan dari masing-masing
pemerintah dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Keberhasilan
pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK juga bergantung pada
efektivitas kerja sama dan integrasi pembagian peran antara pemerintah pusat
dan daerah.
7.
Peraturan Pemerintah No.48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan.
Peraturan pemerintah turunan dari Undang-Undang No. 20 tahun 2003 mengenai
Sistem Pendidikan Nasional ini mengatur mengenai jenis dan bentuk biaya
pendidikan yang melekat pada satuan pendidikan, penyelenggara pendidikan,
maupun siswa. Diatur pula pada peraturan ini tanggung jawab pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat dalam mendanai
88
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
pendidikan. Khusus untuk pendidikan menengah ditegaskan bahwa pendanaan
pendidikan baik yang mencakup pembiayaan investasi, operasional, bantuan biaya
pendidikan dan biaya personal peserta didik merupakan kerja sama pemerintah
pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Pengembangan Teaching Factory dan
Technopark di SMK merupakan salah satu upaya meningkatkan peranan pemerintah
dalam pendanaan pendidikan menengah untuk meningkatkan mutu dan relevansi
pendidikan menengah dengan kebutuhan pembangunan nasional.
8.
Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya
Industri.
Peraturan Pemerintah ini membahas pendidikan vokasi lndustri berbasis
kompetensi yang salah satunya pendidikan menengah kejuruan. Serta termaktub
dalam peraturan tersebut tentang pabrik dalam sekolah (Teaching Factory) adalah
sarana produksi yang dioperasikan berdasarkan prosedur dan standar bekerja yang
sesungguhnya untuk menghasilkan produk sesuai dengan kondisi nyata industri
dan tidak berorientasi mencari keuntungan.
9.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015—2019.
Peraturan ini mengamanatkan nawacita dalam rencana jangka menengah tahun
2015-2019 yang salah satunya menekankan pada pengembangan Teaching Factory
dan Technopark di SMK.
10.
Peraturan Presiden RI Nomor 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Peraturan Presiden sebagaimana amanat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ini berisi tentang kedudukan, tugas,
fungsi, organisasi, unit pelaksana teknis, tata kerja, dan pendanaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terdiri
atas salah satunya adalah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sementara itu, pada Pasal 16 diamanatkan bahwa salah satu fungsi Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah fasilitasi pembangunan Teaching
Factory dan Technopark di lingkungan Sekolah Menengah Kejuruan.
11.
Permendikbud Nomor 11 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini menjelaskan detail tugas dan
fungsi organisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan salah satunya adalah
Direktorat Pembinaan SMK yang tugasnya memfasilitasi pembangunan Teaching
Factory dan Technopark di lingkungan Sekolah Menengah Kejuruan.
89
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
12.
Permendikbud Nomor 22 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Peraturan ini menjelaskan tahapan-tahapan perencanaan pembangunan dan
pengembangan pendidikan dan kebudayaan dimana salah satu program yang
dikembangkan adalah Teaching Factory dan Technopark di SMK.
C.
Konsep Teaching Factory di SMK
1.
Definisi Teaching Factory di SMK
Perkembangan dunia industri telah memasuki era baru, yaitu di mana para pekerja
mulai dari tingkat teknisi sampai dengan tingkat pimpinan akan terus membutuhkan
suatu skema belajar seumur hidup untuk bersaing dengan kemajuan pesat dalam produksi
terkait teknologi, peralatan canggih dan teknik. Mengingat pentingnya industri sebagai
kegiatan menghasilkan kekayaan bagi bangsa mana pun, maka promosi keunggulan
industri akan selalu menjadi target strategis dalam tahun-tahun mendatang.
Hubungan antara dunia industri dengan pendidikan kejuruan memiliki hubungan
yang sangat erat, hal tersebut dikarenakan pendidikan kejuruan menjadi penggerak
utama berkembangnya kemajuan industri. Selain itu masyarakat selalu menghargai
keterampilan kejuruan. Beberapa penelitian telah mengungkapkan hubungan antara
kualitas pendidikan kejuruan dan pertumbuhan ekonomi, menyoroti fakta bahwa manusia
modal adalah kunci untuk pertumbuhan.
Namun demikian sering kali pendidikan kejuruan tidak secara terus menerus
mengikuti kemajuan teknologi. Akibatnya pendidikan kejuruan saat ini masih dirasa
kurang memberikan kompetensi kejuruan bagi suplai tenaga kerja yang akan terjun ke
dalam industri.
Oleh karena itu berbagai konsep modern skema pelatihan, belajar industri dan
transfer pengetahuan antara industri dengan dunia pendidikan mulai dikembangkan
dengan tujuan agar modernisasi pendidikan dapat berkontribusi untuk meningkatkan
kinerja inovasi industri.
Pada beberapa dekade saat ini, sebuah konsep Teaching Factory telah menjadi daya
tarik utama di berbagai negara, dimana salah satunya Amerika (gambar 33). Berdasarkan
Proceedings of the Fourth World Conference on Engineering Education, St. Paul, Minneapolis,
USA pada tahun 1995 menyatakan Teaching Factory adalah sebuah proyek industri
yang bertujuan untuk memberikan pengalaman nyata dalam desain, manufaktur, dan
realisasi produk yang dirancang serta mengembangkan sebuah kurikulum yang memiliki
keseimbangan antara pengetahuan teori dan analisis dengan manufaktur, perancangan,
kegiatan bisnis, dan keterampilan yang profesional. Kemudian berdasarkan American Society
90
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
for Engineering Education Annual Conference and Exposition pada tahun 2001 menyatakan
bahwa Teaching Factory ialah: menghasilkan lulusan yang profesional di bidangnya,
mengembangkan kurikulum yang fokus pada konsep modern, mendemonstrasikan solusi
yang tepat untuk tantangan yang dihadapi dunia industri, serta transfer teknologi dari
industri yang menjadi partner dengan siswa dan institusi pendidikan.
Gambar 33. Paradigma Teaching Factory
Banyak institusi pendidikan berusaha untuk membawa praktik pendidikan dekat
dengan industri. Sehingga Teaching Factory telah menjadi suatu pendekatan baru untuk
pendidikan kejuruan dengan tujuan (1) memodernisasi proses pengajaran dengan
membawa kepada praktik industri secara dekat; (2) mengungkit pengetahuan industri
melalui pengetahuan baru; (3) mendukung transisi dari manual menuju cara bekerja
otomatis dan mengurangi kesenjangan antara sumber daya industri (pekerja dan modal)
dan pengetahuan industri (informasi); (4) meningkatkan dan menjaga pertumbuhan
kekayaan industri.
Konsepsi dasar Teaching Factory adalah “Factory to Classroom” yang bertujuan untuk
melakukan transfer lingkungan produksi di industri secara nyata ke dalam ruang praktik.
Kehidupan produksi yang nyata sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi
pengajaran yang berbasis aktivitas nyata dari praktik industri pada setiap harinya.
91
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Gambar 34. Cara Penyampaian Keterampilan Teaching Factory
Di Indonesia, penerapan konsep Teaching Factory telah diperkenalkan di SMK pada
tahun 2000 dalam bentuk yang sangat sederhana yaitu berupa pengembangan unit
produksi yang sudah dilaksanakan di SMK-SMK. Kemudian konsep tersebut berkembang
pada tahun 2005 menjadi sebuah model pengembangan SMK berbasis industri.
Setidaknya terdapat tiga bentuk dasar kategori pengembangan SMK berbasis industri,
yaitu: 1) Pengembangan SMK berbasis industri sederhana; 2) Pengembangan SMK
berbasis industri yang berkembang dan; 3) Pengembangan SMK berbasis industri yang
berkembang dalam bentuk factory sebagai tempat belajar. Kemudian selanjutnya pada
awal tahun 2011 pengembangan SMK dengan model yang ketiga, yaitu pengembangan
SMK berbasis industri yang berkembang dalam bentuk factory sebagai tempat belajar,
92
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
selanjutnya dikenal dengan Teaching Factory. Factory di sini hanyalah istilah dan bukan arti
pabrik secara hardware, namun dalam bentuk pembelajaran dilakukan langsung di tempat
praktik tidak di dalam kelas, dan praktik yang dilakukan berorientasi pada produksi seperti
di industri nyata. Penyelenggaraan model ini memadukan sepenuhnya antara belajar dan
bekerja, tidak lagi memisahkan antara tempat penyampaian teori dan praktik.
Pada tahun 2011, Direkorat Pembinaan SMK bekerja sama pemerintah Jerman
melalui program SED TVET mengembangkan konsep Teaching Factory. Awalnya Konsep
Teaching Factory mengadaptasi dari metode pembelajaran Dual System yang telah lama
diterapkan dalam pendidikan TVET di negara Jerman dan Swiss. Metode pembelajaran
ini merupakan metode yang mengintegrasikan dua lingkungan utama dalam setiap
kegiatan peserta didik, yakni lingkungan sekolah dan lingkungan perusahaan (industri).
Peserta didik tidak hanya melakukan kegiatan belajar di sekolah, tetapi juga melakukan
praktik (kompetensi dasar) dan kerja (mengaplikasikan kompetensinya) di industri dalam
jangka waktu yang relatif panjang. Secara fundamental, Dual System bertujuan untuk
menempatkan peserta didik dalam situasi nyata di tempat kerja secara menyeluruh. Dengan
praktik yang demikian, peserta didik tidak hanya memperoleh pengetahuan teoritis, tetapi
juga mampu menerapkan praktik berbasis produksi sebagaimana yang selalu diterapkan
dalam kegiatan industri. Hal ini membuat peserta didik mampu memperoleh keterampilan,
proses dan sikap yang sesuai dengan standar industri sehingga hasil pendidikan sesuai
dengan kebutuhan industri.
Untuk lebih memahami konsep Teaching Factory, berikut merupakan beberapa
definisi dari Teaching Factory di SMK, yaitu :
“Teaching Factory adalah konsep pembelajaran berbasis industri (produk
dan jasa) melalui sinergi sekolah dengan industri untuk menghasilkan
lulusan yang kompeten sesuai dengan kebutuhan pasar.”
Konsep pembelajaran berbasis industri berarti bahwa setiap produk praktik yang
dihasilkan adalah sesuatu yang berguna dan bernilai ekonomi atau daya jual dan diterima
oleh pasar. Sinergi antara sekolah dengan industri merupakan elemen kunci sukses utama
dalam Teaching Factory, dimana Teaching Factory akan menjadi sarana penghubung untuk
kerja sama antara sekolah dan industri. Interaksi sekolah-industri yang berkesinambungan
akan mendorong terjadinya perbaikan secara terus menerus (continuous improvement)
dalam hal teknologi (technology transfer), kurikulum dan budaya industri sehingga akan
berdampak terhadap lulusan yang kompeten dan memiliki kemampuan yang sesuai
dengan yang disyaratkan oleh industri, yaitu sadar akan kualitas dan efisiensi sebagaimana
yang selalu diterapkan dalam kegiatan industri.
Definisi Teaching Factory di SMK selanjutnya mulai digunakan secara luas dan lebih
detail lagi pada jenjang Pendidikan Vokasi Industri berbasis kompetensi yang terdiri (1)
pendidikan menengah kejuruan; (2) program diploma satu; (3) program diploma dua; (4)
93
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
program diploma tiga; (5) program diploma empat; (6) program magister terapan; dan
(7) program doktor terapan. Konsep Teaching Factory kemudian ditetapkannya Peraturan
Pemerintah nomor 41 tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya Industri, pada
Peraturan Pemerintah tersebut didefinisikan bahwa “Pabrik dalam Sekolah (Teaching
Factory)” adalah sarana produksi yang dioperasikan berdasarkan prosedur dan standar
bekerja yang sesungguhnya untuk menghasilkan produk sesuai dengan kondisi nyata
industri dan tidak berorientasi mencari keuntungan.
2.
Konsep Teaching Factory di SMK
Konsep Teaching Factory merupakan suatu metode pembelajaran yang mampu
mengantarkan siswanya mencapai kompetensi standar industri melalui tahapan proses
pencapaian standar penguasaan motorik, kognitif, dan afektif dan memunculkan
hasil belajar perilaku inspiratif – intuitif yang secara akademis didiskripsikan sebagai
pembelajaran karakter.
Teaching Factory memiliki nilai strategis pada pendidikan dan pelatihan kejuruan
dalam meningkatkan daya saing lulusan institusi kejuruan seperti SMK di pasar tenaga
kerja tingkat lokal maupun nasional bahkan regional, karena mempunyai mekanisme
yang selalu mengikuti perkembangan industri yang sangat cepat.
Gambar 35. Kategori Pelaksanaan Teaching Factory
Pengkategorian pelaksanaan Teaching Factory seperti tertera pada gambar 35 sangat
berguna dalam pemetaan pembinaan SMK. Karena hal ini berkaitan dengan kesiapan SMK
94
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
di Indonesia yang sebagian besar masih belum mampu untuk mengimplementasikan
Teaching Factory secara langsung sehingga untuk mengawalinya memerlukan program
penguatan kompetensi dengan pembelajaran yang berbasis produksi, dilanjutkan dengan
implementasi Teaching Factory. Konsep inilah yang nantinya akan menghasilkan lulusan
yang memiliki perilaku industri yakni kompeten, produktif, dan kompetitif.
Kategori Pertama, Dual System adalah pola pembelajaran kejuruan di tempat kerja
yang dikenal sebagai experience based training atau interprise based training yang intinya
adalah work process oriented. Pendekatan ini mencoba menempatkan siswa SMK dalam
situasi nyata di tempat kerja secara menyeluruh. Secara konseptual pendekatan Dual
system menjadi populer, dimana tempat kerja (workplace) sebagai salah satu lingkungan
pelatihan/pembelajaran, sudah memberikan jawaban bahwa extra functional skill dapat
diperoleh dari pendekatan sistem tersebut.
Kategori Kedua, CBT adalah sistem pembelajaran kejuruan yang berfokus pada
definisi penetapan sistem keterampilan yang berbeda-beda namun harus bisa diakses
secara eksternal, sebagai standar untuk jaminan kompetensi. Pendekatan ini muncul
pertama kalinya di Inggris lalu dalam waktu singkat menjadi populer di negara-negara
persemakmuran dan kemudian terus menerus dipromosikan dan dikenalkan ke negaranegara berkembang sebagai “best practice“. Selain itu, CBT atau pelatihan berbasis
kompetensi merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menekankan pada
pembangunan dan peningkatan keterampilan dan pengetahuan peserta didik sesuai
dengan kebutuhan pekerjaan. Peserta didik yang telah berhasil mencapai kompetensi
akan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
kegiatan kerja dalam berbagai kondisi dan lingkungan yang berbeda sesuai standar
industri. Pelatihan berbasis kompetensi pada umumnya mengacu pada kompetensi dan
standar kinerja yang telah ditetapkan oleh industri. Pada metode ini, penilaian peserta
didik dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memastikan bahwa setiap peserta
didik telah mencapai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan pada setiap unit
kompetensi yang ditempuh. Pelatihan berbasis kompetensi memungkinkan peserta didik
untuk menyelesaikan studi mereka lebih cepat karena pembelajaran dibagi ke dalam
unit-unit kompetensi. Pada saat peserta didik telah memenuhi kompetensi dalam suatu
unit kompetensi, mereka dapat melanjutkan ke unit kompetensi berikutnya. Arah dari
implementasi CBT adalah peserta didik memiliki keterampilan dalam suatu kompetensi
yang dinyatakan dalam sebuah sertifikasi.
Perbedaan antara dual system dan CBT yang dilaksanakan di Indonesia dapat dilihat
pada matriks berikut:
95
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Tabel 10. Perbedaan Dual System dengan CBT
Subjek
Dual System
CBT
Fokus
Proses kerja
Penilaian
Pendekatan
Holistic (Prakerin) - profesi
Fragmented (simulatif ) - unit-unit
kompetensi
Keseluruhan
sistem
Kegiatan pembelajaran,
kelulusan, dan sertifikasi yang
komprehensif
Kegiatan pembelajaran dan penilaian/
sertifikasi yang terpisah sesuai dengan
kebutuhan lebih lanjut
Peran guru/
Instruktur
Instruktur bertanggung jawab
mendidik peserta didik supaya
mereka siap bekerja tidak
hanya dari sisi skill fungsional
tetapi juga kompleksitas
tempat kerja yang multi
fungsional: kemampuan
bekerja sama, mampu menilai
dan mengambil keputusan,
kreatif dsb.
Oleh karena kompetensi peserta didik
ditentukan melalui keterampilan yang
bisa diujikan, maka guru atau instruktur
akan mengidentifikasi kesuksesannya
dengan menggunakan tingkat kelulusan
uji kompetensi. Dengan demikian
pembelajaran dan pelatihan terfokus
pada persiapan untuk menghadapi uji
kompetensi yang harus dilalui peserta
didik.
Kelemahan dasar
Kekuatan utama
96
Standar kualitas untuk
menentukan apa yang
dinamakan kompeten
sepenuhnya bergantung
kepada tuntutan industri
(dinamis), karena standar uji
disesuaikan dengan tuntutan
industri yang berkembang
dinamis.
Proses penyesuaian standar kompetensi
dengan standar industri membutuhkan
jeda waktu sehingga mengakibatkan
standar kompetensi sulit mengikuti
perubahan teknologi yang semakin
cepat. Di samping itu, proses penilaian
yang terpisah dari proses pelatihan,
maka proses feedback yang sentral dalam
pelatihan high-tech menjadi terpisah.
Tidak ada sertifikat untuk unitunit kompetensi.
Tidak mampu menginkorporasikan
kemampuan non-teknikal/ekstrafungsional
Fleksibilitas tinggi dan proses
integrasi langsung dengan
situasi nyata di tempat kerja.
Mampu memberikan solusi
(problem solving).
Terdapat tahap-tahap kompetensi yang
jelas. Pelatihan tenaga ahli untuk mass
production menjadi lebih efisien.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Subjek
Kesimpulan:
Dual System
CBT
Penerapan CBT di Indonesia lebih cocok untuk basic training (kemampuan
unit-unit kompetensi), namun kurang cocok untuk advance training karena
tidak bisa mengukur kompleksitas di tempat kerja yang sesungguhnya.
CBT mutlak harus dilengkapi dengan praktik kerja di industri.
Kategori Ketiga, PBET adalah mengimplementasikan PBET yang merupakan
pendekatan pembelajaran berbasis produksi. Kompetensi yang telah dimiliki oleh peserta
didik perlu diperkuat dan dipastikan keterampilannya dengan memberikan pengalaman
pembuatan produk nyata yang dibutuhkan dunia kerja (industri dan masyarakat). Seperti
diketahui, mengimplementasikan PBET diperlukan dukungan peralatan dan mesin berskala
produksi yang mungkin dapat dipenuhi dan dikembangkan dari peralatan dan mesin
berskala pendidikan. Namun demikian, dapat pula dipenuhi dengan cara menjalin kerja
sama dengan industri dalam rangka magang peserta didik di dunia industri. Pemagangan
ini bersifat pengalihan sejumlah praktik (job sheet) ke industri secara langsung sesuai
dengan keadaan praktik nyata industri (job order).
Konsep dasar dari model pembelajaran PBET adalah holistic-educatif yaitu bahwa
tempat pendidikan dan pelatihannya (work place) menjadi satu kesatuan yang utuh
sebagai suatu sistem. Pada pendidikan tahun pertama ditekankan pada pembentukan
karakter (character building) melalui basic skill dengan sasaran pokok pada Sense of Quality.
Pendidikan tahun kedua dilaksanakan melalui Production Applied dengan sasaran pokok
pada Sense of Efficiency, yang di dalamnya terdapat aspek managerial skill, communication,
team work and leadership, sedangkan pendidikan tahun ketiga atau tahun terakhir
dilaksanakan melalui pemanfaatan Advance Technology dengan sasaran pokok pada Sense
of Flexibility-Inovation yang di dalamnya mengandung unsur Creativity, Flexibility and
Problem Solving. Dengan tetap berpegang teguh pada hakikat pendidikan kejuruan yang
tetap memberi porsi kegiatan praktik lebih banyak, menerapkan prosentase kegiatan
praktik sebesar 67 % dan kegiatan teori 33 % secara konsisten diharapkan bisa memberi
bekal keterampilan yang lebih pada para lulusannya dalam memasuki dunia usaha dan
dunia industri. Secara singkat konsep pembelajaran PBET dapat dilihat pada gambar 36.
berikut ini :
97
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
sumber : Policy Dasar Pelatihan di ATMI, 2001
Gambar 36. Piramida Konsep Pembelajaran PBET
Adapun tujuan utama PBET adalah menyiapkan individu supaya bisa memenuhi
kualifikasi yang dituntut oleh pasar kerja. (bukan hanya hard skill saja melainkan juga
soft skills). Dalam dunia kerja/usaha pada umumnya pengguna (user) menginginkan
pekerjanya memiliki kemampuan kognitif yang tinggi dan juga memiliki Soft Skills yang
dibutuhkan, seperti motivasi yang tinggi, kemampuan beradaptasi dengan perubahan,
kompetensi interpersonal dan orientasi nilai yang menunjukkan kinerja yang efektif.
Menurut Patrick S. O’Brien dalam bukunya “Making College Count “, berbagai soft
skills dapat dikategorikan ke dalam 7 area yang disebut Winning Characteristies, dijelaskan
dalam bentuk akronim COLLEGE, yaitu :
98
1)
Communication Skills
2)
Organization Skills
3)
Leadership
4)
Logic
5)
Effort
6)
Group Skills
7)
Ethics.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Berkaitan dengan persiapan bagi lulusan SMK dalam menuju dunia kerja atau dunia
usaha, serta bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya secara umum kategori-kategori
yang tersebut dalam Winning Characteristic di atas dapat dijelaskan secara singkat adalah
sebagai berikut :
1)
Communication Skills (Kemampuan berkomunikasi)
Kemampuan berkomunikasi dalam dunia kerja atau dunia usaha menjadi
sangat penting karena melalui komunikasi lulusan SMK dapat menyampaikan
maksud dengan jelas sekaligus dapat menangkap inti pesan yang disampaikan orang
lain. Kemampuan berkomunikasi ini terdiri dari komunikasi lisan dan komunikasi
tulisan. Berdasarkan lawan bicara, komunikasi lisan mencakup komunikasi
interpersonal, diskusi kelompok dan presentasi. Komunikasi tulisan tujuannya sama
dengan komunikasi lisan hanya dengan komunikasi tulisan peluang terjadinya
kesalahpahaman dapat diminimalisir dan sekaligus sebagai bukti manakala terjadi
perselisihan akibat perbedaan informasi yang diterima. Indikator dari kemampuan
berkomunikasi ini bisa diamati dari bagaimana lulusan SMK berani mengemukakan
pendapatnya, berpikir kritis, merasionalisasi proses pekerjaan, mempresentasikan
dan mempertanggungjawabkan apa yang telah ditulis.
2)
Organization Skills (Kemampuan berorganisasi)
Bila kita bicara mengenai organization skills, tidak akan terlepas dari apa yang
disebut manajemen waktu. Dalam dunia kerja atau dunia usaha, keterlambatan
dapat membawa akibat yang fatal, pekerjaan bisa batal atau jatuh ke tangan orang
lain, biaya bertambah akibat pengerjaan pekerjaan berlarut-larut, mendapat citra
yang negatif atau bahkan tidak dipercaya lagi oleh pelanggan. Selain itu tak jarang
pekerjaan orang lain terkait dengan pekerjaan yang kita lakukan, sehingga bila
pekerjaan kita tidak tuntas maka akan mengganggu ritme kerja orang lain. Oleh
karena itu mengorganisasikan atau mengatur waktu sangatlah penting bagi setiap
orang terlebih bagi mereka yang akan masuk dunia kerja atau usaha. Indikator yang
bisa dilihat berkaitan dengan organization skills adalah apabila lulusan SMK mampu
merencanakan pekerjaan, melaksanakan dan mengelola pekerjaannya sendiri,
termasuk di dalamnya pengelolaan waktu dengan sebaik-baiknya.
3)
Leadership (Kepemimpinan yang efektif )
Setiap orang pada hakikatnya adalah pemimpin, setidaknya pemimpin
bagi dirinya sendiri. Kepemimpinan sering kali difokuskan pada usaha-usaha para
bawahan dalam melakukan hal-hal yang menjadi dasar-dasar dari keberhasilan
bisnis, seperti (a) menghasilkan produk yang bermutu, (b) mendengarkan
konsumen dan (c) memotivasi karyawan melakukan hal yang tepat. Dalam dunia
kerja, perusahaan menginginkan orang yang berinisiatif membuat perubahan
positif (tidak harus menduduki jabatan strategis), yang penting adalah bahwa
99
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
orang tersebut secara aktif ikut terlibat, memiliki ide-ide inovatif dan berusaha
mewujudkannya untuk mencapai tujuan yang diharapkan perusahaan.Sedangkan
prinsip dasar kepemimpinan yang efektif yaitu rasa saling percaya dan komunikatif.
Indikator tentang leadership tercermin dari bagaimana seseorang mampu
memimpin dirinya sendiri dan orang lain.
4)
Logic (Logika)
Permasalahan di dunia kerja/usaha cenderung lebih kompleks dan tidak
terduga, persaingan dan kompetisi begitu ketat dengan berbagai tingkat kesulitan
yang ditimbulkan, sehingga dibutuhkan cara-cara pemecahan masalah yang
tepat. Untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada diperlukan kemampuan
menggunakan logika dengan baik, cepat dan tepat. Kemampuan menyelesaikan
masalah adalah kesanggupan untuk mengenali dan merumuskan masalah serta
menerapkan pemecahan secara tepat dan ampuh, di sini berkaitan dengan sikap
hati-hati, disiplin dan sistematis dalam menghadapi dan memandang masalah
serta berusaha melakukan yang terbaik, dari sinilah indikator itu bisa dicermati dan
diamati dengan jelas.
5)
Effort (Ketahanan menghadapi tekanan)
Dunia kerja/usaha adalah dunia yang berubah dengan sangat cepat. Rencana
yang sudah dibuat matang pun bisa saja menjadi mentah ketika terjadi sesuatu di
luar perkiraan. Tak jarang bahkan seseorang dituntut untuk menyelesaikan banyak
hal dalam waktu yang sebenarnya nyaris mustahil bisa dilakukan, tapi itulah dunia.
Bila seseorang dapat mengelola stres/tekanan dengan baik dan tetap memiliki
performa prima maka orang tersebut akan memiliki nilai tambah yang luar biasa.
Ketahanan menanggung tekanan/stres adalah kemampuan untuk tetap tenang
dan sabar ketika menghadapi masalah tanpa terbawa oleh emosi.
6)
Group Skills (Kerja sama tim)
Bekerja sama dalam dunia kerja menyerupai kerja sama dalam organisasi,
dimana kompleksitas pekerjaan yang dihadapi jauh lebih tinggi dan banyak faktor
eksternal yang dapat muncul di luar rencana. Oleh karena itu aktif berorganisasi
adalah salah satu sarana untuk melatih kemampuan kerja sama. Untuk membentuk
sebuah tim kerja yang solid merupakan sesuatu hal yang terbilang cukup sulit.
Kesulitan itu patut dipahami karena didasari kenyataan bahwa dalam tim terdiri
dari banyak kepala dengan berbagai gagasan dan pendapat serta karakter masingmasing. Salah satu kunci kerja sama tim adalah bahwa, setiap individu yang
terlibat di dalamnya harus memiliki keterampilan dasar yang diperlukan untuk
bekerja secara tim, yaitu kemampuan mengelola (managerial skills), keterampilan
interpersonal (Interpersonal skills) dan berusaha untuk mensinergikan perbedaanperbedaan yang ada menjadi kekuatan tim.
100
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
7)
Ethics (Etika kerja)
Etika kerja atau juga etika bisnis dalam dunia usaha adalah salah satu hal
terpenting yang perlu dimiliki setiap pekerja, karena dengan etika kerja yang baik,
reputasi yang baik maka kesempatan demi kesempatan akan dengan mudah
diperoleh. Dari hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja yang
kehilangan pekerjaan atau mentok kariernya disebabkan karena mereka tidak
memiliki etika kerja yang baik. Etika kerja dapat diamati dari bagaimana lulusan SMK
bersikap ketika menerima pekerjaan, melaksanakan pekerjaan dan menyelesaikan
pekerjaannya.
Kategori Keempat, Teaching Factory adalah konsep pembelajaran berbasis industri
(produk dan jasa) melalui sinergi sekolah dengan industri untuk menghasilkan lulusan
yang kompeten sesuai dengan kebutuhan pasar. Konsep pembelajaran Teaching Factory
tidak akan lepas dari konsep CBT dan PBET mengingat bahwa konsep Teaching Factory
merupakan pengembangan dari konsep CBT dan PBET guna mengurangi kelemahan dari
konsep CBT dan PBET.
Gambar 37. Titik Fokus Pengembangan Teaching Factory
Bagan di atas menjelaskan titik fokus implementasi Teaching Factory berdasarkan
gambar 37, maka dapat dilihat bahwa prosedur untuk mencapai tahap implementasi
TF dapat diterapkan secara bertahap melalui CBT (keterampilan dasar) dan PBET
(mengaplikasikan kompetensi) terlebih dahulu.
101
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Aplikasi Konsep PBET dan Teaching Factory dapat diilustrasikan melalui matriks
berikut ini:
Konsep Pembelajaran
CBT
PBET
TEACHING FACTORY
»
Competency-Based
[wajib, sesuai UU
Sisdiknas] - CBT ->
kurikulum KTSP
»
Production-based
(PBET - Lab) ->
berbasis produk/jasa.
»
»
Mempelajari
Kompetensi keahlian
»
Mengaplikasikan
»
kompetensi yang
dipelajari (produk/jasa)
Berbasis industri (proyek/pekerjaan)
»
Mampu menyelesaikan »
tugas sesuai dengan
proses dan hasil
yang dipersyaratkan
dalam masing-masing
kompetensi
Mampu
memanfaatkan
kompetensi yang telah
dipelajari
»
Teknologi transfer berlangsung secara
berkesinambungan
»
Memiliki pengalaman
produksi yang
berorientasi ke produk
»
Karakter wirausaha: Kemampuan/
spirit mengatasi hambatan/halangan
yang biasanya membuat orang
berhenti
Kemampuan berkompetisi: inovasi,
efisiensi, kreatif
Kemampuan problem solving,
decision making
Kemampuan dasar wirausaha
(business plan, finansial plan,
marketing, customer relation, product
costing)
Kemampuan berkomunikasi dengan
customer
Memiliki kemampuan produksi yang
berorientasi ke customer
Interaksi dengan industri secara alami
berdasarkan benefit
»
»
»
»
»
»
102
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Teaching Factory -> berbasis Pasar
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Implementasi Konsep Pembelajaran
CBT
PBET
TEACHING FACTORY
ü Hasil proses
(praktik) "dibuang",
karena hanya fokus
ke kompetensi
yang harus
diberikan
ü Hasil proses (praktik) adalah
benda yang berguna sehingga
bisa dipakai untuk kebutuhan
institusi, sekaligus memenuhi
kompetensi yang harus
diberikan ke murid
ü Hasil proses (praktik) adalah
benda/ jasa yang dipesan/
dijual dengan kualitas yang
ditentukan oleh pasar/customer
(industry)
ü Biaya praktik
(material) mahal,
sehingga kegiatan
praktik sangat
terbatas
ü Biaya praktik (bahan) lebih
ringan karena hasilnya dipakai
untuk memenuhi kebutuhan
internal
ü Biaya praktik adalah bagian dari
proses produksi
ü Tenaga pendidik
tidak mempunyai
pengalaman produksi
ü Tenaga pendidik mempunyai
pengalaman produksi
ü Tenaga pendidik mempunyai
pengalaman industri
ü Quality ditentukan
oleh standar
kompetensi budaya diklat
ü Quality ditentukan oleh standar
kompetensi PLUS bisa dipakai
sesuai dengan fungsinya budaya sudah berorientasi
menghasilkan sesuatu yang
berguna
ü Quality ditentukan oleh
"Keberterimaan" pasar/customer
(accepted) - budaya industri
(quality, cost, on-time delivery)
ü Penyelenggaraan
diklat sesuai standar.
Pendekatan laboratory
yang terstandar dan
terstruktur
ü Penyelenggaraan diklat
berorientasi produksi - dinamis
ü Mencerminkan proses produksi
di industri (Integrated process
planning, Quality Control)
ü Pelaksanaan diklat
disesuaikan dengan
kompetensi yang
harus diberikan
ü Pelaksanaan diklat disesuaikan
dengan produk yang
ditentukan dan dipecah
menjadi kompetensi yang
harus diberikan
ü Pengajar ditugaskan tidak
hanya memenuhi tugas diklat
tetapi juga menyelesaikan
“order” industri, dimana hanya
berlaku "standar industry".
ü Diklat culture
(individualis, text
book minded)
ü Product oriented culture
ü Coporate culture (team work,
customer satisfaction oriented
dll.)
ü Interaksi dengan
industri melalui
prakerin
ü Interaksi dengan industri
melalui prakerin
ü Interaksi dengan industri
melalui prakerin maupun
melalui produk yang dikerjakan
bersama
ü Kegiatan pengajar/
instruktur sesuai
tupoksi standar
ü Inovasi produk yang akan
dijadikan praktik adalah
sesuatu yang berguna untuk
kebutuhan sekolah
ü Kemampuan tambahan untuk
kegiatan kerja sama dan
koordinasi dengan industri
(communication skill, dsb.)
ü Wawasan
Kewirausahaan
sebagai teori
ü Wawasan Kewirausahaan masih
sebagai teori
ü Aplikasi praktik kewirausahaan
Gambar 38. Matriks Perbandingan Konsep CBT, PBET dan Teaching Factory
103
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Matrik pada gambar 38 di atas menunjukkan bahwa aplikasi dari konsep CBT
memang memungkinkan peserta didik menguasai kompetensi-kompetensi yang
terstruktur dan standar, namun kenyataan menunjukkan bahwa setelah peserta didik
menguasai kompetensi-kompetensi sesuai standar tertentu, sering kali mengalami
kesulitan dalam mengaplikasikan kompetensi tersebut di dunia kerja karena mereka tidak
memiliki pengalaman bagaimana mengaplikasikan kompetensi tersebut sesuai tuntutan
dunia kerja/lapangan. Di samping itu, aplikasi dari konsep CBT dapat menciptakan biaya
pendidikan yang lebih mahal karena proses pembelajaran dan pengujian terfokus pada
kompetensi-kompetensi yang terstruktur dan terpisah-pisah sehingga hasil praktik tidak
dapat digunakan (dibuang). Berangkat dari persoalan ini, maka perlu dikembangkan
sebuah konsep pembelajaran yang dapat mengurangi kelemahan tersebut, yaitu dengan
mengembangkan konsep Teaching Factory. Dengan konsep Teaching Factory, peserta
didik tidak hanya dituntut menguasai kompetensi-kompetensi yang standar, melainkan
mereka juga diberikan kesempatan dan pengalaman untuk mengaplikasikan kompetensikompetensi tersebut untuk bisa menghasilkan sesuatu yang lebih bernilai atau berguna,
bahkan juga pengalaman untuk menghasilkan sesuatu sesuai yang dipersyaratkan oleh
pelanggan (sesuai tuntutan pasar).
Selain itu, gambar di atas menggambarkan struktur prosedur implementasi
Teaching Factory (TF) yang mencakup CBT, PBET, dan TF. Dalam setiap tahapan terdapat
tuntutan akan peningkatan guna melangkah ke prosedur yang lebih tinggi. Contoh
yang sangat nyata dalam tahapan tersebut terletak pada hasil produk. Pada program
CBT, produk yang dihasilkan belum bernilai ekonomi karena penilaian hanya terletak
pada kesesuaian pengetahuan yang telah diberikan (memenuhi persyaratan teknis).
Sedangkan pada tahapan PBET, hasil praktik telah dapat memenuhi kebutuhan internal
institusi (tidak hanya memenuhi persyaratan teknis tapi juga berguna). Selanjutnya pada
tahapan TF, produk yang dihasilkan mempunyai nilai jual sesuai dengan standar kualitas
yang ditentukan oleh pasar (berguna dan kompetitif/diterima pasar).
Peningkatan pada tahapan ini tidak hanya terletak pada kegunaan dan kualitas
produk, tetapi juga terletak pada kualitas SDM (guru dan peserta didik), lingkup hubungan
kerja sama dengan industri, dan pembekalan pengetahuan kewirausahaan dalam proses
pembelajaran peserta didik. Apabila institusi TVET telah mampu menerapkan CBT dengan
baik, maka akan mudah bagi institusi untuk melangkah pada tahapan selanjutnya (PBET
dan TF). Hal ini dikarenakan ketiganya merupakan tahapan yang saling berkelanjutan dan
tidak terpisah.
104
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
3.
Tujuan dan Manfaat Teaching Factory di SMK
Secara umum, program Teaching Factory di SMK adalah melakukan realisasi produk
dalam pembelajaran. Sedangkan secara khusus bertujuan untuk:
a)
mempersiapkan lulusan SMK menjadi pekerja;
b)
mempersiapkan lulusan SMK untuk terus belajar ke level yang lebih tinggi;
c)
membantu siswa memilih bidang kerja yang sesuai kemampuannya;
d)
menunjukkan bahwa ‘learning by doing’ sangat penting bagi efektivitas
pendidikan dan menumbuhkan kreativitas;
e)
mendefinisikan keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja;
f)
memperluas cakupan kesempatan rekruitmen bagi lulusan SMK;
g)
membantu siswa SMK dalam mempersiapkan diri menjadi tenaga kerja,
bagaimana menjalin kerja sama dalam dunia kerja yang aktual, dll;
h)
memberi kesempatan kepada siswa SMK untuk melatih keterampilannya
sehingga dapat membuat keputusan tentang karier yang akan dipilihnya;
i)
memberi kesempatan kepada guru SMK untuk memperluas wawasan
instruksional;
j)
memberi kesempatan kepada guru SMK untuk membangun ‘jembatan
instruksional’ antara kelas dengan dunia kerja;
k)
membuat pembelajaran lebih menarik dan memotivasi siswa belajar.
Kemudian dilihat dari manfaat, program Teaching Factory di SMK bermanfaat untuk:
a)
menyadarkan siswa SMK bahwa dalam penguasaan keterampilan tidak
hanya mempraktikkan soft skill dalam pembelajaran (bekerja dalam tim,
melatih kemampuan komunikasi interpersonal dari buku), tetapi juga
merealisasikan pengetahuan secara langsung dan latihan bekerja untuk
memasuki dunia kerja secara nyata.
b)
sarana pelatihan dan praktik berbasis produksi secara langsung bagi siswa
SMK yang berorientasi pada pasar;
c)
membantu pendanaan untuk pemeliharaan, penambahan fasilitas dan
biaya-biaya operasional SMK dan peningkatan kesejahteraan.
105
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
4.
d)
Menumbuhkan dan mengembangkan jiwa entrepreneurship guru dan siswa
SMK;
e)
Mengembangkan sikap mandiri dan percaya diri siswa SMK melalui kegiatan
produksi;
f)
Menjalin hubungan yang lebih baik dengan dunia usaha dan industri
serta masyarakat lain atas terbukanya fasilitas untuk umum dan hasil-hasil
produksinya;.
Prinsip Dasar Teaching Factory di SMK
Secara umum, berikut ini prinsip-prinsp dasar yang harus dimiliki oleh sekolah
dalam melaksanakan program Teaching Factory antara lain:
5.
a)
Adanya integrasi pengalaman dunia kerja ke dalam kurikulum SMK.
b)
Semua peralatan dan bahan serta pelaku pendidikan disusun dan dirancang
untuk melakukan proses produksi dengan tujuan untuk menghasilkan
produk (barang ataupun jasa).
c)
Adanya perpaduan dari pembelajaran berbasis produksi dan pembelajaran
kompetensi.
d)
Dalam pembelajaran berbasis produksi, siswa SMK harus terlibat langsung
dalam proses produksi, sehingga kompetensinya dibangun berdasar
kebutuhan produksi. Kapasitas produksi dan jenis produk menjadi kunci
utama keberhasilan pelaksanaan pembelajaran berbasis produksi.
e)
Dalam Teaching Factory, sekolah melaksanakan kegiatan produksi atau
layanan jasa yang merupakan bagian dari Proses Belajar dan Mengajar.
Dengan demikian SMK diharuskan memiliki sebuah pabrik, workshop atau
unit usaha lain untuk kegiatan pembelajaran.
Nilai-Nilai Dasar dalam Teaching Factory di SMK
Teaching Factory merupakan sebuah model kegiatan pembelajaran yang sangat
efektif dan efisien. Efektif berarti bahwa konsep TF dapat mengantarkan peserta didik
mencapai tahap kompeten, yakni suatu tahapan dimana peserta didik pantas untuk
diberikan kewenangan karena telah dianggap mampu. Sedangkan efisien berarti bahwa
pembelajaran dengan model ini bersifat sangat operasional, memerlukan biaya yang
murah dan mudah untuk diimplementasikan.
Beberapa nilai-nilai dasar yang harus dikembangkan untuk mendukung kesiapan
implementasi TF, di antaranya:
106
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
a)
Sense of quality; memberikan keterampilan dasar kepada peserta didik
yang berkaitan dengan standar objektif kualitas.
b)
Sense of efficiency; membekali peserta didik dengan kemampuan untuk
bekerja secara efisien guna menciptakan efisiensi kerja yang optimal dan
mengukur tingkat produktivitas sebagaimana praktik yang umum dilakukan
oleh industri.
c)
Sense of creativity and innovation; mengajarkan peserta didik untuk
bekerja secara kreatif dan inovatif, melatih kemampuan problem solving
sebagai ukuran kreativitas, dan kemampuan untuk melihat peluang-peluang
baru di industri seperti produk, desain, dsb.
Oleh karena berkaitan dengan proses produksi baik barang maupun jasa, maka
implementasi Teaching Factory harus melibatkan tiga disiplin industri berikut ini:
6.
•
Disiplin waktu; meproduksi barang atau jasa dengan waktu yang dijanjikan
atau yang ditargetkan.
•
Disiplin mutu/kualitas; memproduksi barang atau jasa dengan kualitas
yang dijanjikan, presisi dan tepat komposisi
•
Disiplin prosedur; mengikuti prosedur yang wajib dilalui, karena
melewatkan salah satu prosedur dapat berakibat buruk terhadap hasil
produksi atau kondisi mesin/peralatan.
Kondisi Ideal Teaching Factory yang Ingin Dicapai
Keberhasilan dari implementasi metode pembelajaran TF secara sederhana dapat
dilihat dari dua indikator utama di antaranya:
1)
Utilitas dan keberlanjutan penggunaan peralatan (dapat dilihat melalui
penerapan sistem pembelajaran blok dan kontinyu)
2)
Integrasi proses produksi atau layanan jasa ke dalam bahan ajar. Untuk
membuktikan pencapaian dua indikator tersebut, terdapat beberapa aspek
yang harus diperhatikan oleh institusi.
Aspek-aspek tersebut merupakan aspek-aspek yang dapat mendukung pencapaian
kondisi ideal implementasi TF di SMK sebagai berikut:
107
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Tabel 11. Kondisi Ideal Teaching Factory (TF) yang Ingin Dicapai
No.
1.
Aspek
Pembelajaran
Kriteria Kondisi Ideal yang ingin Dicapai
•
•
•
2.
Sumber Daya
Manusia
•
•
•
Bahan ajar, yang bertujuan untuk mencapai
kompetensi, merupakan sesuatu yang multiguna
(marketable). Bagi program kompetensi yang tidak
menghasilkan produk/jasa dapat diarahkan pada
simulasi dari situasi kerja riil di lapangan.
Sistem penilaian berbasis TF
Sistem pembelajaran schedule blok dan kontinyu
Berkemampuan design engineering
Menerapkan sense of quality, sense of efficiency dan
sense of innovation
Proses kegiatan belajar memperhatikan rasio guru dan
peserta didik
3.
Fasilitas
•
•
•
•
4.
Kegiatan Praktik
Menerapkan budaya industri seperti:
•
Standar kualitas, adanya quality control
•
Target waktu
•
Efisiensi proses produksi
•
Rotasi kerja (shift)
•
Prosedur kerja jelas
•
Hasil praktik menjadi sumber pendapatan (generating
income)
•
Fungsi/tanggung jawab yang jelas untuk setiap
penanggung jawab
•
Lingkungan kerja yang aman dan nyaman
•
Keteraturan/kelancaran kegiatan pembelajaran
•
Adanya kontrol dan pemantauan secara terus-menerus
5.
Network
Kerja sama dengan industri yang bertujuan untuk:
•
Transfer teknologi dan pengetahuan seperti adanya
kelas Trakindo-teknik mesin, kelas Honda/Daihatsuotomotif
•
Membangun budaya industri di lingkungan sekolah
108
Memenuhi rasio 1:1 (peserta didik dan alat)
Penerapan MRC
Kesesuaian dan kelengkapan alat bantu proses
Pengembangan alat secara terus-menerus
(penambahan alat)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
No.
7.
Aspek
Kriteria Kondisi Ideal yang ingin Dicapai
6.
Produk/Jasa
Menghasilkan produk/jasa yang sesuai dengan standar
7.
Transparansi
Pencatatan transaksi keuangan sesuai dengan standar
prosedur akuntansi (tata kelola keuangan)
8.
Aspek Legal
Ketersediaan aspek legal untuk penyelenggaraan TF
Komponen Utama Ekosistem Teaching Factory di SMK
Komponen-komponen utama ekosistem dalam mengimplementasikan Teaching
Factory (TF) adalah sebagai berikut:
a)
Peserta didik
Unsur ini menjelaskan bahwa belajar merupakan fokus utama dari
penyelenggaraan kegiatan sekolah dan fokus dari kegiatan belajar adalah
membangun sikap/perilaku (yang merupakan bagian terpenting dari karakter).
Bagi peserta didik TVET, sikap/perilaku merupakan suatu elemen yang penting
dalam mempersiapkan diri memasuki dunia industri. Oleh karena itu, sekolah perlu
mengembangkan pembelajaran yang tidak hanya mencakup hardskill tetapi juga
mencakup softskill, diantaranya:
i.
Motorik/Skill
Kemampuan ini berkaitan dengan mutu atau kualitas dari hasil
pekerjaan atau praktik yang dilakukan oleh peserta didik. Melalui
pengembangan kemampuan motorik, peserta didik akan dapat melakukan
setiap pekerjaan atau praktik secara presisi. Kemampuan ini memaksa
peserta didik untuk mencapai batas standar atau kualitas yang telah
ditetapkan, seperti pada produk mekanik fine-N6-0,02 > 50% yang berarti
bahwa 50% produk yang dibuat harus rapi, memiliki tingkat kerataan N6,
dan memiliki tingkat toleransi 0,02. Tahapan ini mendorong peserta didik
untuk memperkuat perilaku “kejujuran” dengan membuktikan sendiri
batas kesanggupan dalam melakukan praktik. Dengan demikian, melalui
kemampuan motorik yang baik, peserta didik akan menghasilkan produk
yang memiliki nilai disiplin kualitas/mutu (rapi, cepat, dan presisi).
ii.
Kognitif/Knowledge
Kemampuan ini berkaitan dengan produktivitas dan pengembangan
pemikiran. Ketersediaan silabus diperlukan agar tercipta suatu strategi
109
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
pengembangan yang sistematis. Dengan kemampuan kognitif yang baik,
peserta didik akan mampu melakukan proses evaluasi dan menumbuhkan
pemikiran yang penuh dengan inovasi atau hal-hal baru. Oleh karena itu,
ranah kognitif akan memperkuat tumbuhnya perilaku “kepedulian“.
iii.
Afektif/Attitude
Kemampuan afektif merupakan hasil yang dicapai apabila
kemampuan motorik dan kemampuan kognitif telah berhasil ditanamkan
pada peserta didik. Kemampuan ini menumbuhkan “karakter” integritas
pada peserta didik yang mencakup sikap disiplin, handal, terbuka, empati,
kepemimpinan, dan kewirausahaan.
Dalam kurikulum yang berlaku di tingkat TVET, hubungan antara
skill, knowledge dan attitude bergantung pada tiga mata pelajaran yang
berbeda yakni mata pelajaran produktif (kerja tangan dan kerja mesin), mata
pelajaran adaptif (IPA dan IPS), dan mata pelajaran normatif (Bahasa dan
Etika). Ketiga mata pelajaran tersebut membutuhkan skill yang sama dalam
hal kerapihan, kecepatan, dan tingkat presisi. Begitu pun dengan knowledge
yang dibutuhkan adalah pengetahuan yang sistematis. Namun demikian,
attitude yang dihasilkan dari ketiganya berbeda-beda sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
Dalam konsep TF, mata pelajaran produktif adalah mata pelajaran
yang sangat erat kaitannya dengan implementasi TF. Mata pelajaran ini
terdiri dari dua jenis yaitu kerja tangan (kerja bangku, GT, dll) dan kerja mesin
(teknik bubut, frais, dll). Meskipun keduanya berada pada program kurikulum
yang sama, namun attitude yang dihasilkan dari keduanya berbeda. Untuk
kerja tangan, attitude yang dihasilkan bersifat kualitatif yakni cekatan.
Sementara pada kerja mesin, attitude yang dihasilkan bersifat kuantitatif
yakni taktis. Attitude ini hanya dapat dihasilkan apabila nilai-nilai dalam skill
dan knowledge yang diharapkan telah terpenuhi.
Unsur penentu pertama ini secara praktis dapat dilihat pada bagan/
skema pencapaian kompetensi sebagai berikut:
110
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Gambar 39.”Skill - Knowledge - Attitude” Level Kompetensi
Lulusan SMK yang dikatakan kompeten adalah lulusan tersebut
dianggap mampu atau dipercaya untuk memperoleh kewenangan. Bagan di
atas menjelaskan mengenai level kompetensi melalui hubungan yang saling
berkaitan antara skill, knowledge dan attitude. Garis vertikal merupakan nilainilai dalam skill, garis horizontal merupakan nilai-nilai dalam knowledge,
dan garis diagonal menjelaskan nilai-nilai dalam attitude. Kemampuan
motorik mencakup kemampuan terbimbing, terbiasa, lincah, variatif, dan
kreatif. Knowledge mencakup kemampuan untuk memahami, menerapkan,
menganalisa, mengembangkan konsep atau skema, dan inovatif. Attitude
mencakup sikap mandiri, integrasi, dan intuitif.
Apabila dikaitkan satu sama lainnya, nilai-nilai tersebut akan
membentuk level kompetensi profesi yang berbeda sebagai berikut:
i.
Juru; level kompetensi sebagai seorang juru dapat diperoleh apabila
peserta didik memiliki sikap mandiri. Sikap ini dapat diperoleh
apabila peserta didik mampu untuk berpartisipasi, memiliki
pengetahuan, memahami pengetahuan tersebut, menerima
dengan baik pengetahuannya, mampu menerapkannya, berperilaku
sesuai dengan bimbingan, dapat membiasakan diri, serta mampu
menganalisa suatu permasalahan.
111
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
b)
ii.
Teknisi; pada level kompetensi ini seseorang telah mampu untuk
bekerja sama dalam sebuah tim. Untuk mencapai tahapan ini,
diperlukan sikap yang mampu mengintegrasikan atau menyelaraskan
sebuah tugas. Level ini dapat diperoleh apabila seseorang yang
telah mandiri mempunyai sikap yang cekatan atau lincah, memiliki
pemikiran atau ide yang bervariasi, serta mampu mengembangkan
sebuah konsep atau skema.
iii.
Ahli; seseorang yang telah mampu menyelaraskan atau
mengintegrasikan sebuah persoalan, memiliki kreativitas dan
kemampuan untuk berinovasi maka seseorang tersebut memiliki
sikap yang terpola dan intuitif. Kemampuan ini menjadikan seseorang
layak untuk disebut sebagai seorang ahli.
Guru
Unsur kedua ini berkaitan dengan fungsi guru atau instruktur di institusi.
Dalam hal ini, guru atau instruktur merupakan sumber daya utama yang menjadi
tolok ukur bagi peserta didik TVET dalam mengimplementasikan pembelajaran
yang disesuaikan dengan kebutuhan industri. Keteladanan guru cenderung akan
ditiru oleh peserta didik dan hal ini memengaruhi afeksi peserta didik. Dengan
kata lain, peserta didik menjadi imitator guru atau instruktur dalam kegiatan
pembelajaran praktik. Oleh karena itu, dalam melaksanakan fungsinya, guru atau
instruktur mempunyai peranan dan berkemampuan sebagai:
c)
•
Pengajar, pendidik dan pembimbing
•
Operator, mandor dan inspector
•
Fasilitator, inisiator dan investor
•
Role model
Manajemen Sekolah
Manajemen sekolah juga merupakan unsur yang penting dalam
implementasi TF. Manajemen berperan sebagai stimulator atau penggerak kinerja
institusi. Program evaluasi kerja sekolah mencakup beberapa aspek sebagai berikut:
112
•
Implementasi kurikuler harus sesuai atau melebihi kebutuhan
pembelajaran;
•
Implementasi bisnis harus bersifat operasional, mengarah pada
kesejahteraan dan re-investasi;
•
Program pengembangan sekolah harus mencakup kapasitas sekolah,
jangkauan pengembangan, dan peningkatan sekolah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Ketiga unsur penentu utama tersebut merupakan subjek utama dalam mendukung
keberhasilan implementasi TF. Dalam pelaksanaannya, ketiga unsur tersebut mengikuti
ketentuan yang termuat dalam kurikulum nasional. Namun demikian, pelaksanaan dari
kurikulum nasional tersebut memerlukan keselarasan dengan tuntutan perkembangan
teknologi di masyarakat dan di lingkungan industri.
Tabel 12. Komponen Utama Ekosistem Teaching Factory di SMK
No.
1.
Subjek
Peserta didik
Objek
a. Attitude
Karakteristik
•
•
•
2.
Guru/
Instruktur
Kehadiran peserta didik mencapai
100%, mengikuti proses KBM sistem
blok dan kontinyu
Perilaku tidak berkelahi di lingkungan
sekolah dan tidak mencuri milik
pihak lain atau melanggar peraturan
lainnya
Mengikuti instruksi dan mematuhi
prosedur serta ketentuan di ruang
praktik
a. Attitude
Membangun mindset dasar untuk
membantu peserta didik mencapai
kompetensi motorik, kognitif, dan afektif
melalui workshop, training, dan coaching
b. Bahan ajar
Operasional dengan sistem blok dan
kontinyu: beban kerja dikonversikan dari
24 jam/minggu/satu kompetensi menjadi
24 jam/minggu/satu porsi beban kerja
dengan rasio:
•
Teori di kelas = 1 guru : 24 hingga 36
peserta didik
•
Praktik di bengkel = 1 instruktur : 8
hingga 10 peserta didik
•
Alat kerja manual = 1 instruktur : 12
hingga 16 peserta didik
c. Pembelajaran
RPP diuraikan dalam 7 level:
•
Level 1 dan 2 (basic kurikuler di kelas)
•
Level 2 dan 3 (basic kurikuler di
bengkel)
•
Level 4 – 7 (applied kurikuler di
bengkel dan atau di Unit Produksi)
113
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
No.
3.
D.
Subjek
Manajemen
Objek
Karakteristik
a. Regulasi
operasional
Jadwal bengkel/praktik menjadi prioritas
dan berjalan secara kontinyu, bahan ajar
selalu tersedia, dikerjakan sebanyakbanyaknya oleh peserta didik dengan
pendampingan yang sesuai dan sepadan
oleh guru/instruktur, dan pemantauan
secara kontinyu guna melakukan koreksi
atas kesalahan yang terjadi selama
kegiatan praktik
b. Rekayasa dan
rasionalisasi
Terdapat fungsi kerja yang mengakses ke
bisnis:
•
Biro konstruksi/rekayasa
•
Research and development (R & D)
•
Maintenance and repair (MR)
•
Production Planning Control (PPC)/
Logistik
•
Marketing/sale
untuk mengonversi bahan ajar menjadi
produk/layanan jasa seperti permintaan
pasar/industri
c. Self financed
Mengembangkan penerimaan dari
kegiatan produktif hingga dapat
memenuhi biaya operasional sekurangkurangnya berkontribusi dalam
penghematan (saving cost) hingga
reinvestasi (self financed) sebagai tolok
ukur keberhasilan integrasi proses bisnis
ke dalam kurikuler
Konsep Technopark di SMK
Technopark di SMK merupakan salah satu bentuk wadah (integrator) untuk
menghubungkan antara SMK-SMK yang telah melaksanakan program Teaching Factory
dengan dunia industri. Technopark bertujuan untuk merangsang dan mengelola
arus pengetahuan dan teknologi sesama SMK pelaksana program Teaching Factory;
memfasilitasi penciptaan dan pertumbuhan pendukung industri berbasis inovasi melalui
inkubasi bisnis dan proses spin-off, dan menyediakan layanan peningkatan nilai tambah
lainnya, melalui penyediaan ruang dan fasilitas berkualitas tinggi pendukung.
Technopark memiliki beberapa fasilitas, antara lain inkubator bisnis, angel capital,
seed capital, venture capital. Stakeholder dari suatu Technopark di SMK biasanya adalah
114
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
pemerintah (biasanya pemerintah daerah), komunitas peneliti (akademis), komunitas
bisnis dan finansial. Stakeholder bekerja sama untuk mengintegrasikan penggunaan
dan pemanfaatan bangunan komersial, fasilitas riset, conference center, sampai ke hotel.
Bagi pemerintah daerah, Technopark di SMK menciptakan lapangan pekerjaan dan
meningkatkan pendapatan daerah. Bagi para pekerja yang berpendapatan cukup tinggi,
Technopark di SMK memiliki daya tarik karena situasi, lokasi dan lifestyle.
Technopark SMK mencoba menggabungkan ide, inovasi, dan know-how dari
berbagai SMK pelaksana Teaching Factory dan kemampuan finansial (dan marketing) dari
dunia bisnis. Diharapkan dari penggabungan ini dapat meningkatkan dan mempercepat
pengembangan produk serta mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan
inovasi ke produk yang dapat dipasarkan, dengan harapan untuk memperoleh economic
return yang tinggi.
Gambar 40. Technopark di SMK sebagai Intergrator SMK Pelaksana Teaching Factory
115
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Adapun tujuan dari Technopark di SMK secara umum dapat dirangkum sebagai
berikut:
a)
Sebagai penopang potensi ekonomi lokal sesuai dengan kebutuhan industri.
b)
Sebagai “Think-thank” pengembangan produk dan jasa SMK yang sesuai
dengan kebutuhan industri dan potensi lokal khususnya, maupun global
pada umumnya.
c)
Sebagai “One-Stop-Solution” untuk kebutuhan industri akan SDM maupun
inovasi dalam bidang produk dan jasa.
d)
Sebagai “koordinator” dari beberapa TF SMK, sehingga memudahkan
industri untuk menjangkau SMK dengan TF-nya, maupun sebaliknya.
e)
Menjadi pusat pelatihan bagi SMK untuk pengembangan TF.
f)
Sebagai “etalase” unjuk kemampuan SMK yang dibuktikan dengan hasil
produk dan jasa.
g)
Memfasilitasi incubator bisnis (“entrepreneurship”) bekerja sama dengan
instansi lain (SMK, masyarakat, perguruan tinggi, industri, pemerintah)
untuk mengembangkan potensi yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan
sekitarnya.
Sumber : Bappenas tahun 2015
Gambar 41. Konsep Technopark
116
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Berdasarkan uraian di atas sebagaimana gambar 41, serta memperhatikan tugas
dan fungsi Sekolah Menengah Kejuruan, Technopark di SMK lebih ditekankan pada wadah
promosi bagi dunia pendidikan yang dalam hal ini adalah Teaching Factory di SMK untuk
mempromosikan hasil produksi dan menjadi jembatan komersialisasi produk-produk yang
dihasilkan. Komersialisasi ini di antaranya meliputi inkubasi bisnis, yang mematangkan
suatu inovasi yang telah teruji secara ilmiah, agar jika diproduksi mampu bersaing di pasar
bebas. Di samping itu, juga sebagai sarana untuk menjalin kerja sama antara perguruan
tinggi atau industri dalam rangka memproduksi atau hilirisasi inovasi-inovasi yang telah
dihasilkan oleh perguruan tinggi atau yang akan diproduksi secara massal oleh dunia
industri.
117
BAB V
ARAH KEBIJAKAN IMPLEMENTASI,
KERANGKA KELEMBAGAAN DAN KERANGKA REGULASI
DAFTAR ISI
A. Arah Kebijakan
120
B. Implementasi Teaching Factory di SMK
125
C. Implementasi Technopark di SMK
143
D. Kerangka Kelembagaan
145
E. Kerangka Regulasi
146
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
BAB V
ARAH KEBIJAKAN IMPLEMENTASI,
KERANGKA KELEMBAGAAN DAN KERANGKA REGULASI
A.
Arah Kebijakan
Dalam RPJMN 2015-2019, diamanatkan bahwa peningkatan kemampuan SDM
dan iptek untuk mendukung pengembangan klaster-klaster industri sangat diperlukan.
Pembangunan industri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2013 tentang Perindustrian memerlukan berbagai dukungan dalam bentuk perangkat
kebijakan yang tepat, perencanaan yang terpadu, dan pengelolaan yang efisien dengan
memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Ketersediaan sumber daya
manusia yang terampil dan cerdas (skilled labor) merupakan modal utama untuk merintis
terbangunnya proyek-proyek besar di setiap klaster industri. Untuk itu, perlu percepatan
dan perluasan pembangunan SMK-SMK yang menerapkan Teaching Factory di SMK dan
Techno Park SMK pada beberapa kawasan industri.
Sejalan dengan arah kebijakan dalam RPJMN 2015-2019, berikut dijabarkan arah
kebijakan pengembangan Teaching Factory di SMK dan TechnoPark SMK adalah sebagai
berikut:
1.
Membangun partnership antara SMK dengan dunia bisnis
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 15 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa pendidikan kejuruan merupakan
pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam
bidang tertentu. Sejalan dengan hal tersebut, Keputusan Mendikbud Nomor 0490/1992
tentang Kerja sama SMK dengan Dunia Usaha dan Industri (DU/DI) bertujuan untuk
meningkatkan kesesuaian program SMK dengan kebutuhan dunia kerja yang diusahakan
dengan saling menguntungkan. Hal ini memperjelas bahwa memang hubungan
kerja sama antara sekolah dengan dunia usaha dan industri sangat diperlukan untuk
mendukung terselenggaranya program SMK. Dunia usaha dan industri harus terlibat
langsung dan mau menjadi mitra kerja bagi sekolah kejuruan untuk menyalurkan peserta
didiknya dalam implementasi nyata praktik keahlian peserta didik selama di sekolah.
Penyelenggaraan layanan SMK harus sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja
untuk menunjang keselarasan pendidikan kejuruan serta memperkuat penyelenggaraan
pembelajaran maka setiap SMK harus mempunyai hubungan yang permanen dengan
industri untuk seluruh tahapan pembelajaran mulai dari perencanaan, pelaksanaan/
120
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
proses pembelajaran, supervisi dan penilaian. Adapun langkah-langkah kebijakan yang
dapat dilakukan antara lain:
2.
a)
Membuat mekanisme pembelajaran di SMK yang didukung oleh pemerintah,
bimbingan dari industri, dan keterlibatan masyarakat;
b)
Mempromosikan kerja sama SMK dengan industri dalam penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan kejuruan;
c)
Mendorong industri dan perusahaan membuka atau menjalankan SMK;
d)
Mendorong SMK terlibat dalam pelatihan karyawan perusahaan;
Pengembangan Fasilitas Pendidikan SMK.
Peningkatan mutu lulusan sangat dipengaruhi oleh kualitas layanan pendidikan
oleh satuan pendidikan yang salah satu unsur pentingnya adalah ketersediaan sarana
dan prasarana pendukung proses pembelajaran. Standar Nasional Pendidikan telah
mengatur kriteria sarana dan prasarana yang ideal disediakan sekolah untuk mendukung
pembelajaran yang optimal. Pengembangan Teaching Factory di SMK dan Techno Park
SMK mutlak memerlukan sarana dan prasarana yang memadai. Standar Industri juga
harus dipenuhi guna menghasilkan produk-produk yang akan dipasarkan. Sarana untuk
Teaching Factory harus mengadopsi tata ruang (layout) yang lazim digunakan oleh industri,
yang mengedepankan alur produksi yang efisien dan terpadu.
Selain itu, keberadaan peralatan merupakan salah satu komponen yang penting
pada SMK agar siswa berkompeten, maka keberadaan peralatan pendidikan untuk
menunjang pelaksanaan pembelajaran CBT, PBET dan Teaching Factory di SMK yang sesuai
dengan fokus komoditi/produk/jasa yang akan dikuasai mutlak diperlukan. Adapun
langkah-langkah kebijakan yang dapat dilakukan antara lain :
a)
Menfasilitasi SMK sehingga menjadi pusat-pusat unggulan layanan
pendidikan kejuruan yang bermutu;
b)
Menfasilitasi SMK dengan sarana pengembangan softskill, perpustakaan dan
jaringan internet berkecepatan tinggi;
c)
Menfasilitasi SMK dengan sarana dan prasarana yang mendukung program
keunggulan daerah;
d)
Mengembangkan SMK sebagai tempat uji kompetensi sehingga mampu
sebagai pelaksana sertifikasi bagi siswa SMK serta bagi masyarakat;
e)
Menfasilitasi SMK rujukan sebagai tempat pendampingan guru SMK aliansi;
f)
Memfasilitasi SMK rujukan memiliki asrama yang dapat menampung siswa
dari luar daerah dan guru tamu;
121
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
3.
Pengembangan Kualifikasi dan Kualitas Guru Kejuruan.
Guru kejuruan merupakan faktor kunci dalam penyelenggaraan proses
pembelajaran di SMK. Ketersediaan dan kualitas guru kejuruan merupakan hal mutlak
dalam pengembangan Teaching Factory di SMK dan Techno Park SMK. Pengembangan
SMK menjadi Teaching Factory atau Technopark harus dibarengi dengan penyediaan guru
kejuruan yang berkualitas, tidak hanya secara akademis namun juga sangat penting
mempunyai pengalaman di industri yang sesuai dengan program keahliannya. Adapun
langkah-langkah kebijakan yang dapat dilakukan antara lain :
4.
a)
Peningkatan kualitas guru kejuruan dengan Double Kompetensi.
Pengembangan Teaching Factory di SMK dan Techno Park SMK tentunya
menuntut dukungan guru-guru berkualitas. Selain kualifikasi S1/D4 selain
memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen harus dilengkapi dengan pengalaman produksi di industri agar
mampu mengimplementasikan program Teaching Factory di SMK. Oleh
karena itu dengan guru kejuruan diharapkan memiliki “Double Kompetensi“.
b)
Memberlakukan peraturan keharusan praktik pengalaman kerja bagi guru
SMK salah satunya melalui pemagangan guru di Industri;
c)
Memberikan pendampingan SMK dalam penyempurnaan sistem
kepegawaian di sekolah sehingga dapat mempekerjakan guru ahli yang
berpengalaman kerja agar bisa mengajar di SMK sebagai guru tamu paruh
waktu.
d)
Menjadikan SMK Rujukan sebagai “hub” untuk pelaksanaan praktik mengajar
bagi guru muda produktif di SMK.
Penguatan Peserta Didik
Peserta didik merupakan output dari SMK yang perlu diperhatikan sehingga
dapat mengikuti proses pembelajaran sampai tercapainya seluruh target kompetensi.
Hasil akhirnya peserta didik dapat menyelesaikan sekolahnya dan mampu memperoleh
pekerjaan. Adapun langkah-langkah kebijakan yang dapat dilakukan antara lain :
122
a)
Penyediaan Bantuan Biaya Pendidikan. Untuk memastikan siswa-siswa yang
memiliki keterampilan namun mengalami kesulitan ekonomi diperlukan
kebijakan pemberian bantuan biaya pendidikan. Dengan diluncurkannya
Program Indonesia Pintar, diharapkan masyarakat terbantu untuk bisa
menyekolahkan anaknya hingga pendidikan menengah.
b)
Penyediaan beasiswa siswa SMK diprioritaskan bagi siswa yang berprestasi
dan bagi siswa yang kurang beruntung. Selain itu pemberian beasiswa juga
diberikan untuk mendukung kebijakan pemerintah secara khusus yang
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
bentuknya antara lain beasiswa pertanian, beasiswa pelayaran, beasiswa
program keahlian khusus dan beasiswa kewirausahaan.
5.
Pengembangan Sistem Pembelajaran berbasis Teaching Factory di SMK
Program teaching factory merupakan perpaduan pembelajaran yang sudah ada
yaitu Competency Based Educationand Training (CBET) dan Production Based Education and
Training (PBET), dalam pengertiannya bahwa suatu proses keahlian atau keterampilan (life
skill) dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prosedur dan standar bekerja (Standard
Operation Procedure) yang sesungguhnya untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan
tuntutan pasar/konsumen. Adapun langkah-langkah kebijakan yang dapat dilakukan
antara lain :
a)
Implementasi Pembelajaran CBET diarahkan menjadi PBET, yang kemudian
berlanjut ke Teaching Factory. Pengertiannya bahwa suatu proses keahlian
atau keterampilan (lifeskill) dirancang dan dilaksanakan berdasarkan
prosedur dan standar bekerja yang sesungguhnya untuk menghasilkan
produk yang sesuai dengan tuntutan pasar/ konsumen. Dengan perkataan
lain, untuk mencapai kompetensi tertinggi, Jobsheet dirancang dan
dilaksanakan berdasarkan prosedur dan standar kerja yang sesungguhnya
untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan tuntutan pasar artinya
kualitasnya sudah dipercayai pasar, bukan produk gagal. Perubahan pada
kurikulum yang berlaku perlu dilakukan dalam rangka memenuhi SKKNI
dan penyesuaian terhadap implementasi pembelajaran yang diterapkan
pada Teaching Factory. Proses penerapan program Teaching Factory adalah
dengan memadukan konsep bisnis dan pendidikan kejuruan sesuai
dengan kompetensi keahlian yang relevan, misalnya : pada program studi
keahlian teknik otomotif melalui kegiatan pemeliharaan sepeda motor yang
dikerjakan oleh peserta didik.
b)
Penyediaan Bahan Pembelajaran. Bahan pembelajaran merupakan fasilitas
yang diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran. Bahan pembelajaran
ini bisa berupa bahan bacaan, media, atat peraga, atau alat pendukung
lainnya. Untuk menyukseskan Pengembangan Teaching Factory di SMK dan
Techno Park SMK ini bahan pembelajaran perlu disiapkan dan diadakan
secara lengkap, sehingga proses belajar mengajar tidak terhambat oleh
kurangnya bahan pembelajaran.
c)
Implementasi Sistem Pembelajaran Schedule Block. Sistem blok merupakan
pengelompokan jam belajar efektif dalam satuan waktu yang terangkum
memungkinkan anak didik mengikuti dan menerima materi pembelajaran
secara maksimal dan utuh. Dengan sistem blok keuntungan yang akan
diperoleh adalah sebagai berikut (1) Dengan waktu tatap muka yang lebih
lama guru dapat menggunakan strategi pembelajaran yang bervariatif dan
123
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
metode yang inovatif; (2) Waktu untuk sebuah pembelajaran yang efektif
dapat lebih lama hal ini dikarenakan dengan sistem blok waktu tidak akan
terbuang untuk pembukaan kelas, penjelasan tujuan atau aturan-aturan lain
dalam pembelajaran serta rutinitas lain seperti sistem tradisional; (3) Dengan
waktu pembelajaran yang lebih lama, memberikan guru kesempatan untuk
mengembangkan pembelajaran lebih dalam, dan diskusi dengan pemikiran
yang kritis sehingga memungkinkan guru untuk berinteraksi dengan seluruh
siswa; dan (4) Kehadiran siswa meningkat. Dengan demikian sistem blok
merupakan sistem pembelajaran yang mengatur atau mengelompokkan
jam pembelajaran menjadi lebih panjang agar siswa dapat belajar secara
maksimal. Implementasi sistem ini akan meningkatkan kualitas dan daya
saing lulusan SMK. Penjadwalan sistem blok diprioritaskan dimana sekolah
melakukan investasi paling banyak, yaitu di bengkel atau laboratium.
Selanjutnya baru penjadwalan teori di kelas yang menyesuaikan jadwal di
bengkel/laboratorium. Hal ini akan meningkatkan efisiensi investasi sekolah
pada bengkel/lab dan sekaligus meningkatkan keterampilan siswa dengan
waktu praktik yang lebih panjang.
d)
Pengembangan Prakarya dan Kewirausahaan. Untuk memberikan nilai
tambah bagi siswa pendidikan menengah, setiap siswa perlu memperoleh
wawasan mengenai prakarya dan kewirausahaan. Dengan wawasan
ini mereka dapat mengembangkan pengetahuannya menjadi seorang
yang kreatif dan berjiwa kewirausahaan. Untuk itu pemerintah pusat dan
daerah perlu menjalin kerja sama dengan dunia usaha dan industri, serta
perbankan sehingga lulusan yang akan membuka wirausaha memperoleh
dukungan dari sisi pengalaman dan finansial. Fungsi dari techno park dapat
dioptimalkan melalui kerja sama dengan masyarakat dan industri maupun
perguruan tinggi dan lembaga penelitian dalam rangka memfasilitasi
inkubator bisnis. Wawasan kewirausahaan diberikan secara sistematis
dengan tahapan:
•
Mengamati dan menganalisa proses produksi di industri
•
Mencapai kompetensi untuk menjalankan proses produksi
•
Menjalankan produksi dengan mengedepankan nilai-nilai industri
(kualitas, efisien, proses, keamanan, delivery)
Sehingga dengan demikian siswa mempunyai jiwa wiraswata yang
akan diterapkan baik sebagai wirausaha (entrepreneur) ataupun sebagai
pekerja produktif yang mempunyai spirit kewirausahaan, sehingga mampu
meningkatkan daya saing perusahaan dan sekaligus meningkatkan
kebutuhan SDM dan berdampak mengurangi pengangguran.
124
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
6.
Peningkatan Partisipasi Masyarakat dan Dunia Usaha/Industri
Partisipasi masyarakat dan dunia usaha/industri dalam pengembangan Teaching
Factory di SMK dan Technopark di SMK merupakan wujud keikutsertaan dalam memberikan
gagasan, kritik membangun, dukungan, dan pelaksanaan Teaching Factory di SMK dan
Technopark di SMK itu sendiri. Partisipasi ini sangat diperlukan, dan SMK harus menjadi
partner masyarakat dan dunia industri dalam melaksanakan pendidikan dan pembelajaran,
karena kerja sama antara semuanya sangat penting dalam membentuk pribadi peserta
didik, pendidik, serta keberhasilan Teaching Factory dan Technopark. Diperlukan sebuah
wadah yang menjembatani semua komponen dalam rangka komunikasi dan mencari
solusi dalam mengimplementasikan Teaching Factory dan Technopark. Selain itu, secara
berkala dan berkelanjutan dunia industri dapat melakukan transfer softskill kepada peserta
didik di SMK dengan melakukan pengajaran di satuan pendidikan. Penjadwalan kegiatan
ini hanya dapat dilakukan jika wadah yang dibentuk berjalan dengan efektif.
B.
Implementasi Teaching Factory di SMK
1.
Strategi Implementasi
Penerapan konsep Teaching Factory membutuhkan sebuah kerangka yang
sistematis agar dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan dunia pendidikan dan dunia
industri. Kerangka tersebut bertujuan untuk mengarahkan SMK pada tahapan-tahapan
yang akan dilalui sesuai dengan struktur prosedur implementasi Teaching Factory.
Kerangka ini merupakan sebuah strategi yang melibatkan hubungan antar elemen dalam
sistem pembelajaran di SMK yang pada dasarnya selalu mengacu pada kurikulum nasional
yang berlaku di Indonesia. Oleh karena Teaching Factory merupakan sebuah metode
pembelajaran, maka strategi implementasi yang dirancang adalah strategi yang berkaitan
dengan proses kegiatan pembelajaran yang melibatkan seluruh elemen sekolah.
Ketersediaan kurikulum atau silabus membantu SMK dalam menyusun Rencana
Program Pembelajaran (RPP) dan bahan ajar. Namun demikian, untuk menyusun RPP
suatu program keahlian atau kompetensi keahlian, SMK setidaknya harus mampu
mengidentifikasi kebutuhan dari program keahlian tersebut dan sumber daya yang
telah dimilikinya. Salah satu metode pembelajaran yang telah diterapkan oleh beberapa
institusi, proses identifikasi yang mengawali penyusunan RPP adalah penentuan system
schedule. Hal ini bertujuan agar penyusunan RPP tepat sasaran dan tersistematis serta
disesuaikan dengan konsep penerapan Teaching Factory.
Untuk mengawali hal tersebut, terdapat dua hal yang paling komunikatif dan
mendasar yaitu Rencana Program Pembelajaran (RPP) dan schedule. Keduanya memiliki
fungsi sebagaimana dijelaskan pada gambar 39 sebagai berikut:
125
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Gambar 42. Kerangka Strategi Implementasi Teaching Factory
Ciri khas lain PBET dan Teaching Factory adalah praktik dalam “sistem blok yang
terus menerus” (continuous). Sistem blok berarti praktik yang dilaksanakan dalam jangka
waktu cukup lama, misalnya 1-2 minggu praktik dan 1 minggu teori (disesuaikan dengan
program keahlian).
Sistem blok akan berdampak signifikan kepada peningkatan kualitas keterampilan
(skill) maupun karakter (sikap). Sedangkan “terus-menerus” berarti penggunaan ruang
praktik yang terus-menerus, sehingga peserta didik mendapatkan manfaat yang maksimal
dari fasilitas praktik (bengkel/lab) yang investasinya jauh lebih mahal daripada ruang teori
(kelas).
Dari uraian pada gambar 42 di atas maka terlihat jelas dampak yang akan dicapai
dengan penerapan konsep Teaching Factory, yaitu antara lain:
126
•
Peningkatan kompetensi (hard-, soft-skill, entrepreneurship, attitude/karakter,
inovasi)
•
Peningkatan utilisasi peralatan.
•
Biaya praktik yang semakin efisien namun lebih berkualitas.
•
Peningkatan kapasitas pengajar melalui proses dan transfer teknologi dari
industri.
•
Pendidikan yang berorientasi ke industri.
•
Peningkatan kerja sama dengan industri yang saling menguntungkan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
2.
•
Keterlibatan masyarakat dan dunia industri yang merupakan stakeholder
pendidikan.
•
Continuous Improvement yang terjadi secara berkesinambungan sesuai
dengan tuntutan industri.
Perangkat Operasional Implementasi
Schedule dan RPP merupakan perangkat utama dalam mengawali implementasi
Teaching Factory. Tetapi, dalam penyusunan dan pengembangan schedule dan RPP,
terdapat beberapa unsur baku yang menjadi pertimbangan agar schedule dan RPP sesuai
dengan tujuan implementasi TF. Unsur-unsur tersebut merupakan gambaran mengenai
tata cara atau garis besar dalam mengembangkan bahan ajar (module development)
menjadi beberapa tingkatan.
Gambar 43. Garis Besar Pengembangan Schedule dan RPP
Perangkat Pertama, Schedule (Penjadwalan kegiatan belajar mengajar). Secara
harfiah, Schedule berarti upaya untuk berfokus pada optimalisasi sumber daya (peserta
didik, sarana dan prasarana) menjadi sesuatu yang bernilai efisien. Oleh karena itu, dalam
menyusun schedule, sekolah harus mempertimbangkan aspek-aspek sebagai berikut:
a)
Kedalaman belajar yang mencakup (1) waktu belajar; (2) strategi
pembelajaran; (3) teknik evaluasi (baik akademis maupun bahan ajar). Aspek
ini merupakan aspek yang sangat penting untuk dirancangkan sebelumnya
karena berkaitan dengan skala prioritas antar tiap program studi.
127
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
b)
Rotasi, baik peserta didik maupun guru, yang bertujuan untuk pemanfaatan
sumber daya yang dimiliki secara optimal.
c)
Sarana dan prasarana, bertujuan untuk mengatur penggunaan sarana dan
prasarana agar dapat dimanfaatkan oleh seluruh aktor dengan baik, sesuai
dengan kebutuhan pembelajaran, dan menjaga agar sarana dan prasarana
tetap dalam kondisi baik.
d)
Anggaran (operasional), bertujuan agar alokasi anggaran selalu
menyesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran dan begitu pula sebaliknya.
Schedule merupakan strategi implementasi yang paling mendasar dalam pola
penerapan TF. Dalam penyusunannya, schedule sangat memperhatikan hubungan antara
keberadaan dan fungsi personil serta metode yang akan diterapkan. Selain itu, setiap
penyusunan schedule dan RPP diharuskan untuk mencapai hasil akhir yaitu perilaku
industri sebagai pokok tujuan dalam konsep TF, di antaranya kompeten, produktif, dan
diterima pasar (memperoleh keuntungan/profit).
Sebelum menyusun schedule, SMK terlebih dahulu harus mengidentifikasi sasaran
dari proses belajar mengajar yaitu ranah belajar dan kedalaman belajar pada mata pelajaran
normatif, produktif, dan adaptif yang mencakup beberapa pokok sebagai berikut:
Tabel 13. Identifikasi Sistem Pembelajaran
Komponen
Kompetensi
128
Sasaran Proses Belajar Mengajar
1. Motorik
2. Kognitif
3. Afektif
Urutan
1.
2.
3.
4.
Basic
Aplikasi
Advance
Assessment
Metode
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Penjelasan
Peragaan
Pendampingan/penyertaan
Unjuk kerja terstruktur
Unjuk kerja magang
Pengukuran/kontrol
Umpan balik
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Komponen
Sasaran Proses Belajar Mengajar
Media
1.
2.
3.
4.
Panduan kurikuler
Sarana prasarana
Sistem penilaian
Ko & ekstra kurikuler
Waktu
1. Reguler
2. Non reguler
Langkah berikutnya setelah institusi mampu mengidentifikasi sistem pembelajaran
yang akan diterapkan, ialah membentuk koordinasi dan regulasi kerja. Langkah ini
merupakan langkah yang cukup penting terutama berkaitan dengan fungsi dari SDM
atau personil tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah. Dengan kata lain, sekolah
harus menyusun struktur kerja dan lingkup kerja (jobdesc) di masing-masing program
studi. Penyusunan struktur kerja ini memungkinkan pemahaman kejelasan fungsi antar
SDM yang akan memengaruhi penyusunan schedule yakni dalam penyusunan beban
kerja baku. Apabila sekolah telah mampu mengidentifikasi sistem pembelajaran dan
struktur kerja, maka sekolah dapat mengembangkan schedule pembelajaran sebagai
langkah awal dari penyusunan RPP. Di dalam schedule setidaknya mencakup sarana dan
prasarana (pemakaian, pendayagunaan, dan perawatan), kapasitas dan estimasi kerja
(keteraturan jam belajar dan pemakaian sarana prasarana dan kehadiran peserta didik),
serta pencapaian kompetensi pada setiap program belajar.
Schedule bertujuan untuk mengatur agar program pembelajaran dapat berjalan
secara berkelanjutan sebagaimana konsep yang dijalankan oleh industri untuk selalu
berproduksi. Pada schedule, institusi menerapkan sistem produksi yang kontinyu atau
terus-menerus, sehingga institusi dapat memperhitungkan estimasi dari suatu produk
yang mencakup proses penyelesaian dan pemasaran. Karena kegiatan produksi dilakukan
secara kontinyu, maka hasil produk bukan lagi untuk kebutuhan internal, melainkan untuk
kebutuhan eksternal. Berikut merupakan muatan yang tercakup dalam schedule:
a)
Perputaran/rotasi, bertujuan untuk menciptakan sistem yang terus-menerus;
b)
Durasi/waktu, berkaitan dengan fokus kedalaman belajar;
c)
Sarana dan prasarana, berkaitan dengan optimalisasi dan utilitas sarana dan
prasarana;
d)
Kegiatan pembelajaran peserta didik, mengajarkan untuk bekerja sama
dalam tim;
e)
Pendampingan, dilakukan oleh instruktur terutama dalam penyelesaian/
penuntasan hasil produk.
129
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Pengembangan schedule merupakan perpaduan dari tiga pokok sistem
pembelajaran yakni:
a)
Sistem pembelajaran konvensional
Sistem pembelajaran ini mengacu pada kurikulum nasional yang berlaku di
Indonesia. Sistem pembelajaran konvensional memuat unsur-unsur yang baku, di
antaranya:
•
Durasi waktu, yaitu jumlah jam minimal yang digunakan oleh setiap
program keahlian. Apabila suatu program keahlian memerlukan
waktu yang lebih panjang, maka penambahan jam diintegrasikan
dalam mata pelajaran yang sama di luar jumlah jam belajar yang telah
dicantumkan.
•
Terdiri dari berbagai mata pelajaran yang ditentukan sesuai dengan
kebutuhan setiap program keahlian.
•
Jumlah jam belajar Kompetensi Kejuruan pada dasarnya sesuai
dengan kebutuhan standar kompetensi kerja yang berlaku di dunia
kerja, tetapi tidak boleh kurang dari 1000 jam.
•
Ekuivalen 2 jam pembelajaran (per minggu).
Untuk lebih memahami sistem pembelajaran konvensional dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 14. Tabel Struktur Kurikulum (Generik) Standar -Kasus Program Keahlian Pemesinan
NO.
A.
Komponen
Durasi Waktu (Jam)
Mata Pelajaran
1. Normatif
Pendidikan Agama
Pendidikan Kewarganegaraan
Bahasa Indonesia
Pendidikan Jasmani Olahraga dan
Kesehatan
1.5 Seni Budaya
1.1
1.2
1.3
1.4
192
192
192
192
128
2. Adaptif
2.1 Matematika
2.2 Bahasa Inggris
2.3 Ilmu Pengetahuan Alam
130
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
516 a)
440 a)
192 a)
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
NO.
Komponen
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
Ilmu Pengetahuan Sosial
Fisika
Kimia
KKPI
Kewirausahaan
Durasi Waktu (Jam)
128 a)
276 a)
192 a)
202
192
3. Produktif
a. Dasar Kompetensi Kejuruanb)
b. Kompetensi Kejuruanb)
140
1044 c)
192
B.
Muatan Lokal
C.
Pengembangan Dirid)
Jumlah
(192)
4602
Durasi jam belajar yang tertulis pada struktur kurikulum adalah
jumlah jam pembelajaran tatap muka. Dua jam pembelajaran praktik di
sekolah atau empat jam pembelajaran praktik di DU/DI setara dengan satu
jam tatap muka. Alokasi waktu untuk prakerin diambil dari durasi waktu
mata pelajaran kompetensi kejuruan (1044 jam).
b)
Sistem pembelajaran blok
Implementasi dari sistem ini adalah melalui sistem rotasi dalam penggunaan
bengkel atau penyelenggaraan kegiatan praktik. Hal ini sebagai strategi dalam
mengatasi jumlah alat atau mesin yang tidak sebanding dengan jumlah peserta
didik. Sistem pembelajaran blok berarti bahwa seluruh kompetensi kejuruan dapat
berjalan secara serempak di satu kelas. Sebagai contoh pada kompetensi kejuruan
mekanik, dengan penerapan sistem rotasi, peserta didik dibagi menjadi beberapa
kelompok pengerjaan tugas yang berbeda seperti benchworking, milling, bubut,
grinding, dsb. Pengerjaan tugas ini dirotasi sesuai dengan jadwal yang telah disusun
sehingga peserta didik dapat memenuhi kompetensi yang disyaratkan secara
serempak pula.
c)
Sistem pembelajaran kontinyu atau terus-menerus.
Sistem pembelajaran kontinyu berarti bahwa proses pembelajaran
berlangsung secara terus-menerus atau sambung-menyambung. Hal ini berkaitan
dengan utilitas pada alat praktik atau mesin, dimana penggunaan yang dilakukan
secara kontinyu berdampak pada kerja mesin yang optimal dan dapat terus bekerja
jangka panjang (tidak mudah rusak). Apabila institusi tidak dapat menerapkan
pembelajaran yang kontinyu, maka setidaknya institusi menyusun jadwal
pembelajaran yang cukup untuk optimalisasi dan utilitas alat praktik atau bengkel.
131
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kombinasi dari ketiga sistem pembelajaran tersebut membantu dan
mempermudah institusi dalam menyusun schedule yang komprehensif. Berdasarkan
metode Teaching Factory yang diterapkan oleh SMK, penyusunan schedule yang
komprehensif ini dapat mencakup di antaranya:
1)
Layout global
Penyusunan layout global dilakukan dengan menyusun minggu
pembelajaran untuk keseluruhan tingkatan kelas (kelas X, kelas XI, dan kelas
XII). Perhitungan ini berdasarkan perhitungan waktu riil dalam satu tahun
ajaran atau kurikulum, dimana dalam satu tahun ajaran terdapat sekitar 52
minggu. Selama jangka waktu 52 minggu tersebut, sistem pembelajaran
dibagi menjadi per 3 minggu, yaitu 2 minggu ajaran untuk teori kelas dan
1 minggu ajaran dikhususkan untuk praktik di bengkel (2:1). Layout ini juga
memperhitungkan jadwal ujian tengah semester, ujian semester, dan jadwal
libur sekolah. Layout global membuat guru atau instruktur dapat melihat
jadwal kelas dan jadwal praktik setiap tingkatan kelas dan tidak terjadi
adanya benturan antarjadwal baik jadwal teori kelas maupun jadwal praktik.
2)
Distribusi Beban Jam Pelajaran
Beban belajar merupakan keseluruhan kegiatan yang harus diikuti
oleh peserta didik dalam satu minggu, satu semester, dan satu tahun
pembelajaran. Dalam schedule, pendistribusian beban jam pelajaran juga
ditentukan untuk setiap tingkatan kelas. Distribusi ini meliputi beban belajar
setiap mata pelajaran (normatif, adaptif, produktif ). Beban belajar juga
dihitung dalam dua bagian, beban teori kelas dan beban praktik. Dengan
perhitungan yang disusun dalam layout global, maka dalam satu tahun
ajaran diperoleh beban belajar 13 minggu praktik dan 26 minggu teori kelas.
Berdasarkan pada kurikulum pendidikan nasional, berlaku beban
belajar sebagai berikut:
132
•
Beban belajar di SMK dinyatakan dalam jam pembelajaran
per minggu. Beban belajar satu minggu kelas XI dan XII
setara dengan 48 jam pembelajaran. Durasi setiap satu jam
pembelajaran adalah 45 menit.
•
Beban belajar di kelas X, XI, dan XII dalam satu semester paling
sedikit 18 minggu dan paling banyak 20 minggu.
•
Beban belajar di kelas XII pada semester ganjil paling sedikit 18
minggu dan paling banyak 20 minggu.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
3)
•
Beban belajar di kelas XII pada semester genap paling sedikit
14 minggu dan paling banyak 16 minggu.
•
Beban belajar dalam satu tahun pelajaran paling sedikit 36
minggu dan paling banyak 40 minggu.
•
Setiap satuan pendidikan boleh menambah jam belajar per
minggu berdasarkan pertimbangan kebutuhan belajar peserta
didik dan/atau kebutuhan akademik, sosial, budaya, dan faktor
lain yang dianggap penting.
Kebutuhan sarana dan prasarana baku
Perincian sarana dan prasarana dilakukan untuk tiga tingkatan kelas
dan diatur dalam jadwal rotasi (2 shift) seperti pada contoh tabel berikut:
Tabel 15. Schedule - Kebutuhan Sarana dan Prasarana Baku (Kelas X)
6
Meja Gambar (Gtk)
6
Komputer (Sim Digital)
12
Bw (TekMek)
3
Wld (KlsMsn-KnvEng)
3
Msn/2L-1M (MkT-Elm)
0
Pengembangan diri
2 shift
1 shift
Sarana Praktek
36
Peserta didik-working place
Mengacu pada layout global dan distribusi beban jam belajar, institusi
dapat menerapkan sistem yang lebih efisien dalam hal implementasi praktik
bagi peserta didik. Seperti pada tabel di atas, untuk sejumlah 36 peserta
didik, institusi tidak perlu menyediakan jumlah peralatan sesuai dengan
jumlah peserta didik. Institusi hanya perlu mengatur jadwal rotasi dari setiap
peserta didik agar mendapatkan kompetensi praktik yang sesuai dengan
mata pelajaran yang sudah dibebankan. Oleh karena itu, kebutuhan sarana
dan prasarana harus disertakan dalam penyusunan schedule sehingga
133
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
membantu institusi dalam mengalkulasi kesesuaian sarana dan prasarana
dengan rasio peserta didik.
4)
Perhitungan anggaran
Alokasi anggaran yang diperhitungkan di antaranya mencakup
investasi alat (ketersediaan dan biaya investasi), gaji guru (guru teori, guru
praktik, operator, admin), sumber pendapatan (berasal dari hasil produksi,
pembayaran SPP, dan sumbangan).
5)
Jadwal teori kelas
Jadwal mata pelajaran dan jam belajar dalam satu minggu dan untuk
setiap kelas seperti contoh berikut:
Tabel 16. Tabel Contoh Jadwal Teori Kelas X.A
Jam
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
07.00 – 07.45
PPKn
Sejarah
ORks
Seni Budaya
Matematika
Fisika
07.45 – 08.30
PPKn
Sejarah
ORks
Seni Budaya
Matematika
Fisika
08.30 – 09.15
PPKn
Sejarah
ORks
Seni Budaya
Matematika
Fisika
09.15 – 10.00
Agama
B.Inggris
ORks
B. Indonesia
Matematika
Kimia
10.00 – 10.45
Agama
B.Inggris
PrKwu
B. Indonesia
Matematika
Kimia
10.45 – 11.30
Agama
KMKE
PrKwu
B. Indonesia
Matematika
Kimia
11.30 – 12.15
Agama
KMKE
PrKwu
B. Indonesia
12.45 – 13.30
B. Inggris
TekMek
B. Indonesia
MTLM
13.30 – 14.15
B. Inggris
TekMek
B. Indonesia
MTLM
12.15 – 12.45
6)
Jam kerja/belajar (2 shift)
Jadwal kerja shift ditujukan untuk mengatur jadwal praktik bengkel
yang dibagi menjadi jadwal pagi dan jadwal sore. Jadwal ini diatur juga
berdasarkan perhitungan dalam satu minggu (Senin hingga Sabtu). Jam
praktik pun diatur sesuai dengan kebutuhan kompetensi yang diajarkan.
7)
Beban kerja baku guru/instruktur
Perhitungan beban kerja baku guru dihitung berdasarkan jumlah
jam kerja setiap mata pelajaran. Jumlah jam mengajar pada masing-masing
jam pelajaran akan berdampak pada perhitungan kebutuhan mengajar
dalam satu minggu dan kebutuhan jumlah guru atau instruktur. Beban
kerja ini bukan hanya beban mengajar teori kelas, melainkan juga beban
134
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
mengajar praktik bengkel. Jumlah beban kerja baku masing-masing guru
atau instruktur menjadi dasar perhitungan gaji guru dalam alokasi anggaran
SMK.
8)
Jadwal praktik bengkel
Jadwal praktik bengkel diatur untuk periode satu tahun ajaran.
Penentuan jadwal diawali dengan pembagian kelompok setiap kelas, yakni
satu kelompok terdiri dari 3 orang peserta didik. Hal ini dilakukan untuk
penerapan sistem rotasi yang menyesuaikan ketersediaan alat praktik
dengan kompetensi yang diajarkan. Apabila setiap tingkatan terbagi
menjadi tiga kelas (X.A, X.B, X.C) maka terdapat 9 orang peserta didik yang
akan melakukan praktik kompetensi yang sama dalam jadwal shift yang telah
disusun. Penyusunan jadwal praktik bengkel mempermudah institusi dalam
memonitor pemerataan kegiatan praktik dari masing-masing kompetensi
untuk seluruh peserta didik.
9)
Skema/sistematika pembelajaran
Skema dan sistematika pembelajaran meliputi di antaranya (1)
penggunan jobsheet dan bahan ajar, (2) menghasilkan Produk/jasa, (3)
merancang dan praktik sale (market/network), (4) merancang budget
(savingcost-selffinance), (5) berfokus pada impact (menebar kebaikan), dan
(6) Kompetitif (daya saing) berkaitan secara langsung dengan penerapan 7
level jobsheet pada bagian pembahasan selanjutnya.
Keseluruhan unsur ini saling berkaitan satu sama lain. Sarana dan
prasarana berkaitan dengan distribusi beban dan jam belajar, jadwal
praktik bengkel, dan sistematika pembelajaran. Kebutuhan sarana dan
prasarana juga berkaitan dengan perhitungan anggaran dan produk/jasa
yang dihasilkan. Produk/jasa yang dihasilkan berkaitan dengan savingcostselffinance dan pemasaran. Hasil dari sistem pembelajaran yang dirancang
pun harus mempunyai dampak bagi banyak pihak, terlebih lagi mampu
menciptakan bibit-bibit tenaga kerja tamatan SMK yang terampil dan
berdaya saing tinggi. Oleh karena itu, keseluruhan unsur ini disertakan
dalam penyusunan schedule.
Perangkat Kedua, Rencana Program Pembelajaran (RPP). RPP berfokus pada
pemanfaatan bahan ajar menjadi sesuatu yang multiguna, untuk mencapai metode
pembelajaran yang efektif. Untuk dapat menerapkan Teaching Factory dengan optimal,
SMK perlu melakukan link&match antara pola pembelajaran di sekolah dengan kebutuhan
industri. Oleh karena itu, schedule dan RPP menjadi perangkat yang sangat penting dalam
pengembangan strategi pembelajaran di sekolah. Pada diagram yang lebih komprehensif
135
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
di bawah, penyusunan schedule dan RPP mengikuti dari perangkat-perangkat yang telah
ada sebelumnya dan disusun sesuai dengan kebutuhan Teaching Factory.
Gambar 44. Diagram Identifikasi Perangkat Pembelajaran Utama –
Pengertian Schedule dan RPP
Berkaitan dengan prinsip yang baku (go atau not go) pada perilaku industri, guru
harus mempunyai kriteria yang rinci, sistematis dan komprehensif pada setiap tahap
dan penilaian hasil produk. Apabila prinsip yang diacu tidak cukup kuat pada tahap
pengerjaan produk, maka produk yang dihasilkan tidak layak jual dan yang terjadi adalah
pemborosan. Sehingga harus dirancang lembar evaluasi yang detail mencakup kualitas
seperti furniture, tingkat presisi, ukuran, dan hasil akhirnya (tingkat kehalusan, warna
cat, dll.). Penilaian juga harus mencakup standar waktu pengerjaan, efisiensi, inovasi, dan
kreativitasnya. Sebagai contoh, penilaian dapat dilihat dari produk berkualitas baik tetapi
waktu pengerjaannya cukup lama (tidak tepat waktu) atau waktu pengerjaan tepat waktu
tetapi kurang berkualitas baik. Hal ini dikarenakan setiap tahapan pengerjaan dalam
kategori industri, dapat menguntungkan ataupun merugikan. Oleh karena itu, penyusunan
RPP untuk keperluan implementasi Teaching Factory harus mempertimbangkan aspek
industri tersebut.
Penyusunan RPP mengacu pada kurikulum nasional yang berlaku, di antaranya
terkait dengan jam belajar dan komponen mata pelajaran yang harus diajarkan. Langkah
berikutnya, dengan tetap mengacu pada kurikulum nasional, sekolah perlu menyusun
136
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
silabus dan memperhatikan kompetensi isi maupun kompetensi dasar yang harus dimuat
dalam program pembelajaran. Apabila kedua langkah ini telah berhasil dilakukan oleh
sekolah, maka rancangan RPP yang akan disusun dapat bernilai tepat sasaran yakni
mencakup tuntutan dari kurikulum dan silabus serta menyesuaikan dengan sumber daya
yang telah disusun sebelumnya dalam schedule. RPP yang disusun harus mencakup materi
belajar (bahan ajar, bahan kerja, dan bahan uji) dan sistem penilaian belajar yang baku.
Berdasarkan pada fungsinya tersebut, schedule dan RPP diidentifikasi sebagai
perangkat utama dalam pengembangan strategi pembelajaran. Dalam implementasi TF,
schedule dan RPP secara spesifik mengarah pada perilaku industri dan berperan seperti
pada bagan di bawah ini.
Gambar 45. Perangkat Utama Implementasi Teaching Factory – Penyusunan Schedule dan RPP
RPP mencakup beberapa aspek di antaranya:
a)
Tujuan, baik untuk peserta diklat maupun untuk penyelenggara,
b)
Materi, yang terdiri dari kompetensi dan produk (barang/jasa),
c)
Strategi pembelajaran,
d)
Penilaian, dan
e)
Target (lulusan dan mutu produk).
Sistem penilaian pada RPP harus mengandung dua unsur yakni engineering dan
bobot tertentu. Sistem penilaian yang digunakan merujuk pada 7 level jobsheet (akan
137
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya). Sistem penilaian yang mengikutsertakan
fungsi engineering dan melibatkan bobot tertentu membuat produk hasil praktik memiliki
fungsi yang lebih dari sekadar hasil praktik. Bobot dalam sistem penilaian berkaitan dengan
lama waktu pengerjaan suatu produk. Dalam hal ini, hasil praktik sudah dapat dikatakan
sebagai hasil proyek, yakni memiliki spesifikasi tertentu dan dapat memenuhi kebutuhan
internal sekolah ataupun ditawarkan pada pasar (bernilai profit). Namun, apabila sistem
penilaian hanya berdasarkan pada bahan ajar dan bahan praktik, maka produk yang
dihasilkan tidak bernilai guna dan tidak dapat disebut sebagai perilaku industri.
Pengembangan RPP disusun dengan mempertimbangkan empat unsur di
antaranya:
138
a)
Sumber Daya Manusia (SDM), melalui program pembelajaran yang
diterapkan, institusi mampu untuk menghasilkan SDM yang kompeten dan
unggul sesuai dengan standar industri atau memiliki daya saing di industri.
b)
Alat, pengaturan penggunaan alat dalam RPP bertujuan untuk mencukupi
kebutuhan peserta didik dengan seluruh kompetensi yang disyaratkan,
termasuk dengan penerapan sistem rotasi atau shift. RPP memudahkan
guru atau instruktur dalam menyesuaikan ketersediaan alat dengan
kebutuhan kompetensi yang diajarkan. Di samping itu, melalui pengaturan
alat secara detail dalam RPP, guru atau instruktur mampu memetakan rasio
alat dengan peserta didik, kapasitas alat dalam bengkel, dan kualitas alat
termasuk gambaran akan perawatan mesin secara rutin (maintenance, repair,
calibration).
c)
Tempat, RPP perlu mencakup tempat karena hal ini berkaitan dengan jumlah
alat yang dimiliki atau dibutuhkan. Gedung atau layout perlu disertakan
dalam RPP karena berkaitan dengan penataan peralatan atau mesin yang
berdampak pada 1) efisiensi area/gedung, 2) proses produksi (arus/sirkulasi),
3) posisi kerja operator (kompetensi peserta didik), 4) MRC peralatan, 5)
keselamatan kerja (alas, letak, arah, sinar, udara pada tata letak peralatan),
6) estetika (keteraturan dan kebersihan), 7) loading (pasang dan bongkar
peralatan), dan 8) keamanan. Contoh layout dalam RPP seperti pada gambar
berikut:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Gambar 46. Layout Bengkel (Contoh :Bengkel Timur SMK Mikael)
Anggaran, oleh karena RPP mencakup beberapa tingkatan pembelajaran
yang disesuaikan dengan konsep Teachig Factory, maka dalam tingkatan tertentu
memungkinkan institusi melakukan kegiatan produksi (produk/jasa) bersamaan dengan
kegiatan praktik peserta didik. Oleh karena itu, RPP juga mencakup alokasi anggaran di
antaranya nilai investasi dan proyeksi cashflow.
Mengacu pada metode pembelajaran Teaching Factory, maka garis besar
pengembangan RPP dibagi menjadi tujuh tingkatan atau dikenal dengan tujuh level
jobsheet yang dapat dikategorisasikan lagi berdasarkan pada prosedur implementasi
Teaching Factory (CBT – PBET – TF). Tabel di bawah ini menggambarkan penerapan struktur
prosedur Teaching Factory dan fokus materi pembelajaran di dalamnya. Fokus materi
tersebut menjadi acuan bagi institusi dalam menerapkan metode pembelajaran Teaching
Factory.
139
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Tabel 17. Tabel Pembelajaran yang Diukur dengan Level Jobsheet
No.
Level Pembelajaran
Materi Jobsheet
1
Level 1
CBT
Fokus pengetahuan teknis dasar
2
Level 2
CBT
Fokus perencanaan kerja (WP/Work
Preparation)
3
Level 3
PBET
4
Level 4
PBET
5
Level 5
TF
6
Level 6
TF
7
Level 7
TF
Fokus kompetensi basis CBT (sesuai
tuntutan standar)
Fokus aplikasi kompetensi, penekanan pada
efisiensi, untuk pemenuhan kebutuhan
internal (termasuk part)
Fokus aplikasi kompetensi, penekanan pada
inovasi, untuk pemenuhan permintaan
eksternal (termasuk assembling)
Fokus aplikasi kompetensi, penekanan pada
manajemen proses/produksi dan produksi
massal/repeat (proses cepat)
Fokus aplikasi kompetensi, penekanan pada
sale dan costumize product (fleksibilitas)
Berdasarkan pada 7 level jobsheet di atas, terdapat level pembelajaran basis yang
diukur berdasarkan sistem schedule dan dapat dengan mudah diterapkan oleh SMK di
Indonesia. Ketiga level ini (level 1, level 2, level 3) merupakan metode pembelajaran
berbasis kompetensi dan produksi atau dengan kata lain merupakan dasar dari
sistem pembelajaran Teaching Factory. Apabila institusi dapat menerapkan ketiga
level pembelajaran ini dengan baik maka institusi mempunyai dasar yang cukup kuat
untuk menerapkan metode pembelajaran selanjutnya, yakni semakin mengarah pada
implementasi Teaching Factory.
Tabel 18. Tabel Penyelenggaraan Pembelajaran yang Diukur dengan Level Jadwal
No.
Level Jadwal
1
Level 1
Jadwal pembelajaran model konvensional
2
Level 2
Jadwal serempak/blok
3
Level 3
Jadwal berkelanjutan/kontinyu
140
Model Pembelajaran
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Dengan penjelasan yang lebih komprehensif, implementasi 7 level jobsheet
digambarkan seperti pada bagan berikut:
Tabel 19. Implementasi 7 Level Jobsheet
a)
Level 1 (CBT), seluruh metode pembelajaran mencakup pengetahuan dan
keterampilan dasar dari suatu program kompetensi. Level ini bertujuan
untuk membekali dan memperkuat pemahaman peserta didik mengenai
suatu program kompetensi sebelum peserta didik melakukan praktik.
Pengetahuan dan keterampilan dasar ini misalnya mencakup pengenalan
pada mesin-mesin, pengetahuan dan keterampilan dasar untuk pengerjaan
material, pengukuran dan pengecekan, perhitungan-perhitungan pada
mesin, modifikasi, membekali peserta didik dengan keterampilan dasar tata
cara penggunaan dan perawatan mesin, pengetahuan dan keterampilan
membuat produk dengan mesin dan metode tertentu, dsb. Sistem penilaian
pada level ini berbasis pada kompetensi, yakni sesuai dengan standar yang
sudah diajarkan.
b)
Level 2 (CBET), pada level ini peserta didik mampu menerapkan pemahaman
dan keterampilan dasar yang diperolehnya di level 1 melalui keterampilan
praktik. Level ini menuntut peserta didik untuk tidak lagi bertindak sebagai
imitator atau membuat produk dengan langkah-langkah paten yang telah
disediakan. Berbekal pemahaman dan keterampilan dasar, peserta didik
diharuskan mampu merancang sendiri langkah-langkah yang diperlukan
dalam pembuatan suatu produk. Dengan demikian, peserta didik mampu
untuk mengembangkan pemahaman dan keterampilan dasar dalam
kegiatan praktik.
141
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
142
c)
Level 3 (PBET), pada level ini peserta didik telah mampu untuk menerapkan
pemahaman dan keterampilannya dalam menghasilkan produk melalui
praktik. Dalam penerapannya, level ini mensyaratkan sense of quality, yakni
pengerjaan yang dilakukan oleh peserta didik berdasarkan pada standar
objektif atau standar kualitas yang telah ditentukan dalam kompetensi.
Oleh karena itu, sistem penilaian yang dilakukan berdasarkan pada standar
yang baku (sesuai dengan tingkat presisi yang ditentukan). Namun, hasil
produk pada level ini belum bernilai ekonomi melainkan hanya berdasarkan
pada standar kompetensi yang telah ditetapkan atau murni untuk tujuan
pendidikan. Tindak lanjut pada produk yang dihasilkan adalah untuk
kebutuhan internal institusi atau justru tidak terpakai sama sekali.
d)
Level 4 (PBET), kegiatan praktik pada level ini tidak hanya berbasis pada
sense of quality tetapi juga berbasis pada sense of efficiency. Peserta didik
melakukan kegiatan praktik dengan mempertimbangkan budaya kerja di
perusahaan atau industri, yakni dengan mempertimbangkan aspek efisiensi
dalam setiap prosesnya. Produk yang dihasilkan bukan hanya baik melainkan
juga harus benar atau rapi secara aspek dasar kompetensi, melainkan juga
bernilai ekonomi atau memiliki daya jual. Hasil dari produksi menjadi sumber
pendapatan institusi yang disebut dengan self-financed. Karena praktik yang
dilakukan berbasis produksi, maka level ini setara dengan struktur prosedur
PBET.
e)
Level 5 (Teaching Factory), level pembelajaran ini lebih kompleks
apabila dibandingkan dengan empat level jobsheet sebelumnya. Metode
pembelajaran pada level ini tidak hanya mencakup sense of quality dan
senseofefficiency, tetapi juga mencakup sense of creativity and innovation.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab pendahuluan, sense of creativity
and innovation bagi peserta didik adalah kemampuan penyelesaian masalah,
penciptaan inovasi, dan kemampuan untuk melihat peluang-peluang baru.
Kemampuan inovasi di level ini digambarkan melalui penggabungan atau
integrasi antara setidaknya 3 bagian (3 parts) membentuk sebuah produk
baru. Proses ini yang membedakan jobsheet level 5 dengan jobsheet level 4,
dimana jobsheet level 4 membuat bagian dari produk (part). Level ini juga
mempertimbangkan aspek MRC pada peralatan untuk kebutuhan kegiatan
produksi. Selain itu, karena mempertimbangkan perilaku industri, maka
peserta didik dituntut untuk mempunyai kemampuan kerja sama yang baik
dalam sebuah kelompok. Umumnya, terdapat penanggung jawab tersendiri
berkaitan dengan MRC pada peralatan, yakni dengan penunjukan wakil
kepala sekolah bidang MRC. Produk yang dihasilkan pun sudah mempunyai
nilai jual dan reinvestasi. Bentuk inovasi lainnya pada proses pembelajaran
jobsheet level 5 dilakukan dengan mengubah fungsi akademis menjadi
fungsi yang lebih produktif, misalnya ruang gambar teknik ditransformasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
menjadi biro konstruksi. Melalui serangkaian proses yang dijalankan
tersebut, level ini telah sampai pada tahapan TF. Bukan hanya kerja sama
tim, melainkan juga kemampuan mengelola sumber daya manusia, alat dan
pekerjaan/aktivitas.
f)
Level 6 (Teaching Factory), merupakan tindak lanjut dari jobsheet level
5. Pada level ini, kegiatan produksi bukan hanya kegiatan praktik peserta
didik melainkan “repeat order” atau untuk memenuhi permintaan pasar.
Kegiatan produksi dilakukan secara massal (masspro). Tingkat kompleksitas
produk memenuhi sense of quality, sense of efficiency, dan sense of innovation.
Jobsheet level ini tidak begitu signifikan untuk dibudayakan di sekolah.
Karena produksi dilakukan secara massal, maka pada level ini memungkinkan
institusi untuk bekerja sama dengan pihak lain.
g)
Level 7 (Teaching Factory), jobsheet ini menyerupai jobsheet level 6.
Perbedaan antara keduanya terletak pada orientasi institusi untuk kegiatan
produksi bukan hanya massproduction dan repeat order, melainkan orientasi
bisnis dan pasar. Dalam kategori ini, institusi dapat mengajukan harga jual
pada pasar atas produk yang ditawarkan. Sebagaimana jobsheet level 6,
jobsheet level 7 pun tidak begitu signifikan untuk dibudayakan di sekolah.
Hal ini karena jobsheet level 6 dan 7 telah mengarah pada pembentukan
Technopark, yakni mencakup kegiatan consultative dan trading (jobsheet
level 8 dan 9).
Secara fundamental, ketujuh level jobsheet secara bertahap diterapkan
sebagai implementasi metode pembelajaran TF di SMK. Namun demikian, terdapat
level pembelajaran yang wajib ada di dalam RPP program kompetensi, diantaranya
jobsheet level 1 dan jobsheet level 3. Kedua level jobsheet tersebut merupakan
standar kompetensi yang harus dicapai secara kurikuler, yakni pembelajaran kelas
dan pembelajaran bengkel, yang dilakukan secara bertahap serta disiapkan dengan
prosedur yang sama untuk seluruh peserta didik.
C.
Implementasi Technopark di SMK
Tujuan dari Technopark di SMK adalah untuk membuat link yang permanen antara
SMK, pelaku industri/bisnis/finansial, dan pemerintah. Technopark di SMK mencoba
menggabungkan ide, inovasi, dan know-how dari SMK dan kemampuan finansial (dan
marketing) dari dunia bisnis. Diharapkan dari penggabungan ini dapat meningkatkan dan
mempercepat pengembangan produk serta mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk
memindahkan inovasi ke produk yang dapat dipasarkan.
143
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Adanya technopark membuat link yang permanen antara SMK dan industri,
sehingga terjadi clustering dan criticalmass dari peneliti dan perusahaan. Hal ini membuat
perusahaan menjadi lebih kuat. Pola kolaborasi A-B-G (Akademia-Bisnis-Pemerintah) yang
optimum untuk Indonesia pada tahap awal adalah model triple helix yang menempatkan
pemerintah sebagai unsur yang memiliki peran dominan. Pada model ini insiatif dari para
ilmuwan dan peneliti (bottom-up) mendapat dukungan dari pemerintah (top-down) untuk
bersama-sama menggandeng pihak industri mengembangkan produk-produk baru yang
inovatif. Namun selanjutnya peran pemerintah diharapkan akan berkurang sejalan dengan
perkembangan ICT Technopark.
Model Triple-Helix Inovasi diperkenalkan oleh Etzkowitz dan Leydersdorff. Model
ini menekankan peran dan hubungan yang dekat antara tiga aktor, yakni pemerintah,
industri dan SMK. Posisi SMK dalam Technopark dapat menjadi pemimpin teknis kejuruan
dalam implementasi dari perekonomian berbasis pengetahuan, sementara NIS (National
Innovation System) menekankan pentingnya peran perusahaan dalam inovasi. Pengaturan
kembali hubungan ABG dalam Triple-Helix merupakan hasil komunikasi dan ekpektasi
pada tingkat jejaring.
Hubungan yang muncul dalam Triple Helix, umumnya bermula dari upaya
pemecahan masalah dan menghasilkan strategi ketika menghadapi masalah dalam
inovasi, bukan ditentukan dari suatu pola tertentu. Melalui proses interaksi ini maka akan
terjadi perubahan aktor dan peran yang mereka lakukan. Dengan demikian, pola triplehelix inovasi adalah dinamis seiring perubahan waktu.
Model TripleHelix bukanlah konsep baru dalam mendukung inovasi di teknologi
informasi dan komunikasi (TIK). Terdapat empat peran yang dimainkan oleh aktor inovasi,
yakni:
144
•
Mendeteksi kebutuhan dan solusi yakni pemerintah, akademia dan industri;
•
Pengembangan, produksi dan komersialisasi oleh pemerintah dan industri;
•
Pembelajaran TIK oleh industri dan akademia;
•
Penciptaan pasar dan regulasi, baik oleh pemerintah maupun industri TIK
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Gambar 47. Triple Helix
D.
Kerangka Kelembagaan
Kerangka kelembagaan adalah perangkat institusi yang meliputi struktur organisasi,
ketatalaksanaan, dan pengelolaan SDM. Kerangka kelembagaan disusun dengan tujuan
antara lain:
a)
penguatan landasan hukum pembentukan dan penguatan kelembagaan
Teaching Factory dan Technopark, melalui harmonisasi peraturan
perundangan. Di samping itu, juga perlu mempertimbangkan harmonisasi
Peraturan Pemerintah yang sudah ada, yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 41 tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya Industri yang
mengamanatkan bahwa Penyelenggaraan Pendidikan Vokasi Industri
berbasis kompetensi harus dilengkapi dengan Lembaga Sertifikasi Profesi,
Teaching Factory, dan Tempat Uji Kompetensi,
b)
meningkatkan kualitas dan sinergitas kebijakan perencanaan, penganggaran
dan pelaksanaan pembangunan di pusat dan daerah sesuai dengan regulasi
yang berlaku ataupun yang akan disusun;
c)
mendukung pembentukan lembaga yang membidangi Teaching Factory
dan Technopark di daerah, khususnya di provinsi; dan
d)
penguatan sistem Teaching Factory dan Technopark seperti dijelaskan pada
gambar 47.
145
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Gambar 48. Kerangka Kelembagaan Tata Kelola Teaching Factory di SMK
E.
Kerangka Regulasi
Kerangka regulasi dibutuhkan untuk mendukung tercapainya sasaran
pembangunan Teaching Factory dan Technopark di SMK sebagaimana tercantum
pada RPJMN. Berikut dijabarkan kerangka regulasi yang dibutuhkan untuk mengawal
tercapainya arah kebijakan, strategi dan sasaran pembangunan Teaching Factory dan
Technopark di SMK serta urgensi perlunya kerangka regulasi. Perincian mengenai jenis
kebutuhan regulasi dan pentingnya regulasi dalam mendukung pencapaian target,
dijelaskan pada di bawah ini.
146
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Tabel 20. Kerangka Regulasi
NO
Arah Kerangka Regulasi dan/
atau Kebutuhan Regulasi
Urgensi Pembentukan Berdasarkan
Evaluasi Regulasi Eksisting, Kajian
dan Penelitian
1
Perumusan peraturan/panduan
tentang public-private partnership
dalam pengembangan Teaching
Factory dan Technopark di SMK.
Supaya ada acuan yang jelas mengenai
mekanisme public-private partnership
dalam pengembangan Teaching Factory
dan Technopark di SMK.
2
Perumusan peraturan/panduan
tentang Spektrum Keahlian yang
sesuai dengan kebutuhan dunia
usaha/industri.
Supaya ada acuan yang jelas mengenai
Spektrum Keahlian yang dapat dibuka
di SMK.
3
Perumusan peraturan/panduan
tentang Praktek Kerja Industri
bagi siswa SMK dan Pelaksanaan
Bursa Kerja Khusus (BKK) di SMK.
Supaya ada acuan yang jelas mengenai
mekanisme Praktek Kerja Industri bagi
siswa SMK dan Pelaksanaan Bursa Kerja
Khusus (BKK) di SMK
4
Perumusan peraturan/panduan
tentang SMK Rujukan
Supaya ada acuan yang jelas mengenai
mekanisme pelaksanaan SMK Rujukan
bagi provinsi/kab/kota.
5
Perumusan peraturan/
panduan tentang sistem block
pembelajaran di SMK dalam
pengembangan Teaching
Factorydi SMK
Supaya ada acuan yang jelas mengenai
sistem block pembelajaran di SMK dan
penghargaan bagi guru yang mengajar
dengan sistem block dalam rangka
pengembangan Teaching Factory di
SMK.
6
Perumusan peraturan/panduan
tentang standar kebutuhan
sarana dan prasarana di SMK
Supaya ada acuan yang jelas mengenai
kebutuhan sarana dan prasarana di SMK.
7
Perumusan peraturan/panduan
tentang pengembangan SMK
Perikanan dan Kelautan, SMK
Pertanian, SMK Pariwisata, SMK
berbasis Pondok Pesantren/
Komunitas, dan SMKBerbasis
Industri/Keunggulan Wilayah
Supaya ada acuan yang jelas mengenai
tentang pengembangan SMK Perikanan
dan Kelautan, SMK Pertanian, SMK
Pariwisata, SMK berbasis Pondok
Pesantren/Komunitas, dan SMK Berbasis
Industri/Keunggulan Wilayah
147
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
NO
Arah Kerangka Regulasi dan/
atau Kebutuhan Regulasi
Urgensi Pembentukan Berdasarkan
Evaluasi Regulasi Eksisting, Kajian
dan Penelitian
8
Perumusan peraturan/panduan
tentang penguatan kegiatan
kesiswaan mendukung bakat dan
prestasi siswa di SMK
Supaya ada acuan yang jelas mengenai
tentang kegiatan kesiswaan mendukung
bakat dan prestasi siswa di SMK.
9
Perumusan peraturan/panduan
tentang Badan Layanan Umum
khusus SMK Teaching Factory dan
Technopark
Supaya ada acuan yang jelas mengenai
tentang kegiatan Teaching Factory dan
Technopark di SMK
148
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
149
BAB VI
TARGET KINERJA, KERANGKA PENDANAAN,
DAN SISTEM PEMANTAUAN DAN EVALUASI
DAFTAR ISI
A. Target Kinerja
152
B. Kerangka Pendanaan
153
C. Sistem Pemantauan dan Evaluasi
157
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
BAB VI
TARGET KINERJA, KERANGKA PENDANAAN,
DAN SISTEM PEMANTAUAN DAN EVALUASI
A.
Target Kinerja
Target yang direncanakan dalam Pengembangan Teaching Factory dan Technopark
ini adalah terdapat 200 SMK yang melakukan pembelajaran kewirausahaan dan Teaching
Factory pada tahun 2019 dan 34 SMK yang menjadi Technopark.
Pemenuhan target kinerja ini merupakan upaya terpadu dan terintegrasi antara
pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Dalam meningkatkan akurasi dalam
perencanaan Pengembangan Teaching Factory dan Technopark wajib dilakukan analisis
keadaan SMK yang memperhatikan kondisi awal di setiap SMK sebagai acuan baseline.
SMK-SMK yang akan menerapkan Pengembangan Teaching Factory dan Technopark harus
memiliki sumber daya minimal dan dapat ditingkatkan kapasitasnya dalam Pengembangan
Teaching Factory dan Technopark. Penetapan SMK yang akan dikembangkan merupakan
hasil dari analisis berbasis kapasitas SMK dan dilakukan dengan pendekatan buttom up
seperti ditunjukkan pada gambar 49.
152
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Gambar 49. Pendekatan Penetapan Teaching Factory dan Technopark di SMK
B.
Kerangka Pendanaan
Kerangka pendanaan merupakan bagian dari rencana tindak pencapaian sasaran
Pengembangan Teaching Factory dan Technopark. Kerangka pendanaan meliputi kebijakan
pada intervensi pemerintah pusat dan pembiayaan pemerintah daerah.
Kerangka pendanaan terdiri dari:
1)
Membagi beban dan tanggung jawab pembiayaan Pengembangan Teaching
Factory dan Technopark (pemerintah pusat, provinsi, masyarakat/industri);
2)
Menggunakan anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah (termasuk
DAK) secara lebih optimal dan berkualitas untuk membiayai Pengembangan
Teaching Factory dan Technopark;
153
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
3)
Meningkatkan sumber pembiayaan pendidikan melalui PPP;
4)
Memberikan insentif fiskal bagi industri yang melakukan kerja sama dengan
satuan pendidikan; dan
Perhitungan kebutuhan anggaran dilakukan dengan melalui langkah-langkah
berikut:
1)
2)
154
Memetakan kondisi sekarang dan kondisi ideal Teaching Factory untuk satu
atau beberapa program keahlian yang akan dilaksanakan dengan konsep
Teaching Factory. Kebutuhan dapat dipenuhi dengan pengadaan baru atau
upgrade sarana dan prasarana yang sudah ada, termasuk juga upgrade SDM.
a.
Ruang bengkel/lab yang sesuai dengan standar Teaching Factory,
yaitu mengadopsi proses dan alur produksi seperti di industri, dalam
bentuk hall (bukan kelas) yang menampung peralatan/permesinan
yang dibutuhkan untuk program keahlian tersebut.
b.
Peralatan yang dibutuhkan sesuai dengan minimal kebutuhan untuk
program keahlian tersebut, sampai pada finishing suatu produk.
c.
Re-organisasi manajemen SDM pengelola Teaching Factory dengan
fungsi dan tugas yang jelas.
d.
Program akselerasi kerja sama dengan industri.
e.
Peningkatan kapasitas SDM
f.
Pelatihan dan pendampingan dalam implementasi Teaching Factory
g.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan teaching factory, menggunakan
instrumen evaluasi dengan 7 kriteria yang telah dikembangkan oleh
Direktorat Pembinaan SMK.
Menetapkan estimasi harga satuan per jenis intervensi yang dilakukan
(perlu diperjelas spesifikasi atau peruntukan dari harga satuan per jenis
intervensi yang dilakukan). Dalam perhitungan ini estimasi harga satuan
yang digunakan dijabarkan berikut adalah (disesuaikan dengan kebutuhan
di program keahlian):
a.
Sarana Teaching Factory di SMK = Rp2.000.000.000,00
b.
Sarana Technopark di SMK= Rp3.000.000.000,00
c.
Prasarana Teaching Factory di SMK = Rp2.000.000.000,00
d.
Prasarana Technopark SMK= Rp3.000.000.000,00
e.
Penyediaan Bantuan Pendidikan = Rp1.200.000,00 per siswa per
tahun
f.
Penyediaan Bantuan Model Pembelajaran = Rp200.000.000,00
g.
Peningkatan Kualitas Guru = Rp25.000.000,00 per guru per tahun
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
3)
Menetapkan asumsi pertumbuhan harga satuan berdasarkan indeks
kemahalan atau inflasi. Pada kalkulasi ini diasumsi tidak mengalami
pertumbuhan atau perubahan harga satuan selama periode kalkulasi. Harga
satuan juga harus disesuaikan dengan satuan harga di masing-masing
provinsi.
4)
Melakukan kalkulasi dengan mengalikan jumlah kebutuhan intervensi per
Satuan Pendidikan per tahun dengan harga satuan per intervensi per tahun
simulasi.
5)
Melakukan agregasi total kebutuhan anggaran intervensi di tingkat nasional.
Dari hasil kalkulasi, pada tabel 21 ditunjukkan total kebutuhan anggaran
Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK:
Tabel 21. Estimasi Kebutuhan Anggaran Implementasi Teaching Factory dan Technopark di SMK
Tahun 2015-2020 (Juta Rupiah)
NO
INFORMASI
2015
2016
2017
2018
2019
2020
a
SMK Teaching Factory
10
40
60
50
40
200
b
SMK Technopark
2
8
10
10
4
34
SASARAN
ESTIMASI KEBUTUHAN ANGGARAN
1
Sarana TF
20.000.000
80.000.000 120.000.000 100.000.000
80.000.000
4.000.000
2
Sarana Technopark
6.000.000
24.000.000
30.000.000
12.000.000
1.020.000
3
Prasarana TF
20.000.000
80.000.000 120.000.000 100.000.000
80.000.000
4.000.000
4
Prasarana Technopark
6.000.000
24.000.000
30.000.000
30.000.000
12.000.000
1.020.000
5
Penyediaan Bantuan
Pendidikan
3.600.000
14.400.000
21.600.000
18.000.000
14.400.000
720.000
6
Penyediaan Bantuan
Model Pembelajaran
2.000.000
8.000.000
12.000.000
10.000.000
8.000.000
400.000
7
Peningkatan Kualitas
Guru
1.250.000
5.000.000
7.500.000
6.250.000
5.000.000
250.000
8
Monitoring dan
Evaluasi
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
60.350.000 236.900.000 342.600.000 295.750.000 212.900.000
12.910.000
TOTAL
30.000.000
Pada tabel 21 ditunjukkan kebutuhan anggaran per tahun serta kebutuhan
anggaran kumulatif dalam rangka Pengembangan Teaching Factory dan Technopark tahun
155
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
2015-2020. Total kebutuhan anggaran pengembangan 200 SMK Teaching Factory dan 34
Technopark di SMK dalam periode 2015-2020 adalah sebesar Rp1.161.410.000.000.000,00
Pada tabel 22 digambarkan kebutuhan anggaran Pengembangan Teaching Factory
dan Technopark per tahun di setiap provinsi.
Tabel 22. Estimasi Kebutuhan Anggaran Minimal Pengembangan Teaching Factory dan
Technopark Per Provinsi 2015-2020 (Juta Rupiah)
NO
PROVINSI
2015
2016
2017
2018
2019
2020
1
DKI Jakarta
16.870.000
1.500.000
6.185.000 10.870.000 10.870.000
2
Jawa Barat
9.370.000
6.000.000
4.685.000
9.370.000 14.055.000
434.800
3
Jawa Tengah
15.370.000
-
9.370.000
9.370.000 14.055.000
481.650
4
DI Yogyakarta
9.370.000
6.000.000
4.685.000
4.685.000
9.370.000
341.100
5
Jawa Timur
9.370.000
6.000.000
4.685.000
9.370.000 14.055.000
434.800
6
Aceh
-
9.370.000
4.685.000
341.100
7
Sumatera Utara
- 15.370.000
4.685.000
4.685.000
9.370.000
341.100
8
Sumatera Barat
-
9.370.000 10.685.000
9.370.000
4.685.000
341.100
9
Riau
-
9.370.000 15.370.000
4.685.000
4.685.000
341.100
10
Jambi
-
9.370.000 10.685.000
9.370.000
-
294.250
11
Sumatera
Selatan
- 15.370.000
9.370.000
4.685.000
4.685.000
341.100
12
Lampung
-
9.370.000 15.370.000
4.685.000
9.370.000
387.950
13
Kalimantan
Barat
-
9.370.000
9.370.000 10.685.000
4.685.000
341.100
14
Kalimantan
Tengah
-
4.685.000
9.370.000 15.370.000
4.685.000
341.100
15
Kalimantan
Selatan
-
4.685.000
9.370.000 15.370.000
4.685.000
341.100
16
Kalimantan
Timur
-
4.685.000
9.370.000 15.370.000
4.685.000
341.100
17
Kalimantan
Utara
-
4.685.000
9.370.000
4.685.000
6.000.000
247.400
18
Sulawesi Utara
- 15.370.000
9.370.000
4.685.000
9.370.000
387.950
19
Sulawesi
Tengah
-
4.685.000 15.370.000
9.370.000
4.685.000
341.100
156
9.370.000 10.685.000
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
1.887.950
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
NO
PROVINSI
2015
2016
20
Sulawesi
Selatan
21
Sulawesi
Tenggara
-
22
Maluku
23
2018
2020
4.685.000
4.685.000
9.370.000 15.370.000
4.685.000
-
4.685.000
9.370.000 15.370.000
-
294.250
Bali
-
4.685.000
9.370.000 15.370.000
9.370.000
387.950
24
Nusa Tenggara
Barat
-
4.685.000 15.370.000
4.685.000
4.685.000
294.250
25
Nusa Tenggara
Timur
-
15.370.000
9.370.000
4.685.000
-
294.250
26
Papua
- 15.370.000
9.370.000
4.685.000
-
294.250
27
Bengkulu
-
4.685.000
9.370.000
4.685.000 10.685.000
294.250
28
Maluku Utara
4.685.000
9.370.000
4.685.000
6.000.000
247.400
29
Banten
4.685.000
9.370.000 15.370.000
4.685.000
341.100
30
Kepulauan
Bangka
Belitung
-
4.685.000
9.370.000
4.685.000 10.685.000
294.250
31
Gorontalo
-
4.685.000
9.370.000 10.685.000
32
Kepulauan Riau
-
4.685.000 15.370.000
33
Papua Barat
-
4.685.000 15.370.000
34
Sulawesi Barat
-
4.685.000
60.350.000
236.900.000
C.
-
4.685.000 15.370.000
2019
9.370.000
TOTAL
-
2017
341.100
341.100
4.685.000
294.250
4.685.000
4.685.000
294.250
4.685.000
4.685.000
294.250
9.370.000 10.685.000
4.685.000
294.250
212.900.000
12.910.000
342.600.000
295.750.000
Sistem Pemantauan dan Evaluasi
Kegiatan pemantauan diperlukan untuk mencatat perkembangan Teaching Factory
dan Technopark, memantau proses dan kemajuan pelaksanaan kebijakan secara terusmenerus, mengidentifikasi masalah dan penyimpangan yang muncul, merumuskan
pemecahan masalah, dan membuat laporan kemajuan secara rutin dalam kurun waktu
yang pendek. Kegiatan evaluasi dilakukan untuk mengkaji relevansi, efisiensi, efektivitas
dan dampak implementasi Teaching Factory dan Technopark sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai.
157
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Keberhasilan pelaksanaan monitoring dan evaluasi perlu dilandasi oleh kejujuran,
motivasi dan kesungguhan yang kuat dari para pelaku. Selain itu, prinsip-prinsip yang
perlu diperhatikan dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi pengembangan Teaching
Factory dan Technopark di SMK adalah:
1)
Objektif dan profesional, pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan
secara profesional berdasarkan analisis data yang lengkap dan akurat agar
menghasilkan penilaian secara objektif dan masukan yang tepat terhadap
pelaksanaan Teaching Factory dan Technopark di SMK;
2)
Transparan, pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan secara
terbuka dan dilaporkan melalui laman agar masyarakat dan industri dapat
mengakses dengan mudah tentang informasi dan hasil kegiatan monitoring
dan evaluasi;
3)
Partisipatif, Pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan dengan
melibatkan secara aktif dan interaktif para pelaku;
4)
Akuntabel, Pelaksanaan monitoring dan evaluasi harus
dipertanggungjawabkan secara internal maupun eksternal;
5)
Tepat waktu, Pelaksanaan monitoring dan evaluasi harus dilakukan sesuai
dengan waktu yang dijadwalkan;
6)
Berkesinambungan, Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan secara
berkesinambungan agar dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik bagi
penyempurnaan kebijakan; dan
7)
Berbasis indikator kinerja, Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan
berdasarkan kriteria atau indikator kinerja, baik indikator masukan, proses,
keluaran, manfaat maupun dampak.
dapat
Evaluasi, secara harfiah, merupakan upaya penilaian secara teknis dan ekonomis
terhadap sesuatu untuk kemungkinan pelaksanaan pengembangannya. Dalam
implementasi Teaching Factory, evaluasi berarti penilaian terhadap metode pembelajaran
yang telah dilaksanakan guna melakukan perbaikan berkelanjutan. Melalui proses
evaluasi, institusi dapat menimbang kekuatan dan kelemahan dari elemen-elemen
yang memengaruhi implementasi Teaching Factory di SMK dan memperoleh gambaran
untuk peningkatan mutu dan kualitas yang akan menunjang keberhasilan implementasi
Teaching Factory. Berikut adalah 7 parameter baku yang telah ditetapkan sebagai bahan
evaluasi Teaching Factory di SMK.
158
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Tabel 23. Parameter Evaluasi Teaching Factory di SMK
Parameter
Sub - Parameter
1. Manajemen
•
•
•
•
•
•
Administrasi keuangan
Struktur organisasi & jobdesc
SOP kinerja dan alur kerja
Leadership
Dampak TF terhadap institusi
Lingkungan
2. Bengkel – lab
•
•
•
•
•
•
Peralatan
Tata kelola penggunaan alat
Ruang
Manajemen Maintenance, Repair & Calibrasion (MRC)
Bengkel layout
Penerapan K3
•
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan LKS
(jobsheet)
Bahan praktik
Basis praktik
Pelaksanaan diklat
Kewirausahaan
Kegiatan pengajar/instruktur
Berbasis corporate culture
•
3. Pola Pembelajaran– •
training
•
•
•
•
4. Marketing –
promosi
•
•
•
•
•
•
Marketing & promotion plan
Media komunikasi untuk Teaching Factory
Brosur/leaflet/sarana lain (website, CD, dll.)
Mog up/produk contoh/model
Jangkauan pasar
Penanggung jawab
159
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Parameter
5. Produk – jasa
6. SDM
7. Hubungan Industri
Sub - Parameter
•
•
•
•
•
•
Produk untuk kebutuhan internal
Keberterimaan pasar
Delivery
Quality
Quality control
Inovasi produk/diversifikasi
•
•
•
•
•
•
Kompetensi TF
Jumlah dan kesesuaian SDM untuk menjalankan
Teaching Factory
Motivasi
Inovasi (benefit untuk “user”)
Team work
Training bagi internal personel
•
•
•
•
Bentuk kerja sama
Project work
Transfer teknologi
Investasi oleh industri
Tabel 23 di atas memberikan gambaran mengenai instrumen evaluasi penerapan
Teaching Factory di institusi sebagai berikut:
160
a)
Manajemen, di antaranya menjelaskan evaluasi ketersediaan laporan
pencatatan transaksi yang baku, penyusunan struktur organisasi dan standar
prosedur kinerja serta pelaksanaannya menyesuaikan apa yang telah
ditentukan, memperlihatkan dampak dari implemetasi Teaching Factory
baik terhadap sarana dan prasarana maupun kesejahteraan institusi, adanya
dukungan internal dan eksternal dalam implementasi Teaching Factory.
b)
Bengkel – lab, evaluasi mencakup pendataan jumlah dan jenis peralatan,
penerapan standar pemakaian yang baku, kesesuaian layout bengkel dengan
standar industri, jadwal berkala untuk MRC, dan ketersediaan perangkat K3.
c)
Pola pembelajaran – training, mencakup evaluasi akan ketersediaan bahan
baku proses produksi, pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pelatihan
yang menyatu dengan proses produksi, serta tujuan pembelajaran yang
berorientasi pada perilaku industri.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
d)
Marketing – promosi, menjelaskan bahwa institusi juga perlu mengevaluasi
implementasi Teaching Factory dalam kejelasan target dan segmen pasar
serta jangkauan pasar, serta menyesuaikan metode dan pelaku kegiatan
promosi.
e)
Produk – jasa, evaluasi produksi dilakukan dalam lingkup waktu produksi
(kontinyu atau insidental), tingkat nilai tawar produk, kualitas dan
keberterimaan pasar, dan kebutuhan pengembangan produk.
f)
SDM, implementasi Teaching Factory harus memiliki SDM yang
berpengalaman produksi dan TF, serta SDM yang mampu berinovasi dan
bekerja sama dengan baik dalam tim.
g)
Hubungan industri, untuk mencapai tujuan implementasi Teaching Factory,
maka institusi perlu mengevaluasi secara berkala dan mengembangkan
lingkup kerja sama dengan industri di bidang-bidang yang secara spesifik
berkaitan dengan kebutuhan pelaksanaan TF di institusi. Hubungan industri
juga harus berdampak pada adanya transfer teknologi antara industri dan
institusi serta memperkirakan kemungkinan investasi dari industri tersebut.
Evaluasi Teaching Factory yang komprehensif dilakukan dan diterjemahkan ke
dalam satuan angka baku yang sudah ditentukan sehingga diperoleh hasil tertentu yang
selanjutnya menunjukkan kesiapan, potensi, dan kualitas implementasi TF di institusi. Hasil
penilaian digambarkan dengan spider graphic. Semakin tumpul sudut yang dihasilkan
dan semakin proporsional bentuk dari grafik, maka semakin baik potensi yang dimiliki
oleh institusi dalam pengembangan dan perbaikan implementasi Teaching Factory. Oleh
karena itu, evaluasi implementasi Teaching Factory harus dilakukan secara berkala.
161
BAB VII
PENUTUP
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
BAB VII
PENUTUP
Grand Design atau Rencana Induk Pengembangan Teaching Factory dan Technopark
di SMK ini disusun untuk membantu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dan pemerintah daerah dalam
merencanakan Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK. Dokumen ini
disusun untuk memberikan informasi rancangan Pengembangan Teaching Factory dan
Technopark berdasarkan informasi dan data yang dapat menggambarkan karaktertik SMK
yang ada di Indonesia.
Penetapan Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK sebagai solusi
untuk mengatasi daya saing bangsa akan menghadapi berbagai tantangan, permasalahan
dan kendala serta meningkatkan kemandirian Bangsa. Permasalahan disparitas kualitas
SMK, keterbatasan kemampuan orang tua dan daerah dalam membiayai, karakteristik
keungulan lokasi, serta komitmen politik dari berbagai pemangku kepentingan terhadap
pendidikan merupakan tantangan yang akan dijawab melalui penyusunan rencana
Pengembangan Teaching Factory dan Technopark ini.
Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK diharapkan dapat
berkontribusi dalam meningkatkan jumlah calon tenaga kerja yang berkualitas dan sesuai
dengan tuntutan kebutuhan bangsa dan negara di dalam mendorong peningkatan
kesejahteraan masyarakat Indonesia untuk menjadi bangsa yang maju dan mandiri.
Selain yang diuraikan di atas, Grand Design Pengembangan Teaching Factory
dan Technopark di SMK ini diharapkan bisa dipahami serta dimanfaatkan oleh seluruh
masyarakat, khusus para pemangku kepentingan. Dengan demikian, banyak pihak
dapat terlibat aktif secara efektif dan konstruktif dalam kegiatan pembangunan bidang
pendidikan khusus SMK, termasuk memberi kritik, evaluasi, dan rekomendasi. Pelibatan
publik secara lebih aktif dan terintegrasi diharapkan mampu meningkatkan hasil
pembangunan SMK selama lima tahun mendatang.
164
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
165
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Daftar Pustaka
Cony R. Semiawan. 1991. Pengembangan Kurikulum untuk SMKTA Menyongsong Era Tinggal
Landas. Makalah pada Seminar Pengembangan Kurikulum SMK. Juni 1991. Jakarta:
Balitbang Dikbud.
GIZ, 2011. Teaching Factory Coaching Programme
Chryssolouris G, Mavrikios D, Mourtzis D. Manufacturing Systems: Skills & Competencies
for the Future”, Procedia CIRP, Keynote paper of the 46th CIRP Conference on
Manufacturing Systems 2013;7:17-24.
Chryssolouris G, Mavrikios D, Papakostas N, Mourtzis D. Education in Manufacturing
Technology & Science: A view on Future Challenges & Goals. Inaugural Keynote,
Proceedings of the International Conference on Manufacturing Science and
Technology, Melaka, Malaysia, August 2006.
Evans, R. N. & Edwin, L. H. 1978. Foundation of Vocational Education. Columbus, Ohio:
Charles E. Merrill Publishing Company
Elliot, Janet. 1983. The Organization of Productive Work In Secondary Technical and Vocational
Education The United Kingdom. London: Unesco
Finch, Curtis R. & Crunkilton, John R. 1984. Curriculum Development in Vocational and
Technical Education: Planning, Content, and Implementation. Boston: Allyn and Bacon
Inc.
IEES . 1986.. Indonesia Education and Human Resources Sector Review. Chapter VIIVocational/Technical Education. Jakarta: Depdikbud and USAID
Rentzos L.a, Doukas M.a, Mavrikios D.a, Mourtzis D.a, Chryssolouris G, 2014 Variety
Management in Manufacturing. Proceedings of the 47th CIRP Conference on
Manufacturing Systems. Integrating Manufacturing Education with Industrial
Practice using
Teaching Factory Paradigm: A Construction Equipment Application
Karabel, R. L. & Hasley, R. A. 1977. Vocational Education Outcomes: Perspective for Evaluation.
Columbus: NCRVE
Muchlas Samani. 1992. Keefektifan Program Pendidikan STM: Studi Penelitian Pelacakan
terhadap Lulusan STM Rumpun Mesin Tenaga dan Teknologi Pengerjaan Logam
di Kotamadya Surabaya tahun 1986 dan 1987. Disertasi doktor IKIP Jakarta.
166
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Miner, Jacob. 1974. Family Investment in Human Capital: Earning of Woman. Journal of
Political Economy 82 (2). Pp. 48-56
Mulyani A. Nurhadi,. 1988. The Effects of Schooling Factor on Personal Earning Within he
Context of Internal Labor Market in PT. Petrokimia Gresik (Persero) Indonesia
Yogyakarta: PPS IKIP Yogyakarta
National Council for Research into Vocational Education. 1981. Towards a Theory of
Vocational Educational. Columbus, Ohio: NCRVE Publication.
Oemar H. Malik. 1990. Pendidikan Tenaga Kerja Nasional, Kejuruan, Kewiraswastaan, dan
Manajemen. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti
Slamet. 1990. Pondasi Pendidikan Kejuruan. Lembaran Perkuliahan.
Pascasarjana IKIP Yogyakarta
Yogyakarta
Suprapto Brotosiswoyo,. 1991. Pendidikan Menengah. Makalah Pengantar Diskusi
Kelompok Rapat Kerja Nasional. Agustus 1991. Jakarta: Depdikbud
Thorogood, Ray. 1982. Current Themes in Vocational Education and Training Policies Part I.
Industrial and Commercial Training 9, pp. 328-331
Wenrich, Ralph C. & Wenrich, William J. 1974. Leadership in Administration of
Vocational Education. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Co.
Zulbakir & Fazil. 1988. Program Pendidikan Menengah Teknologi dan Perkembangan IPTEK
di Indonesia. Makalah disampaikan pada Konvensi Nasional Pendidikan Juli 1988
Bandung
167
GALERI FOTO KEGIATAN PRAKTIK DI SMK
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kegiatan Praktik SMK Negeri 2 Yogyakarta
170
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
171
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kegiatan Praktik SMK Negeri 2 Yogyakarta
172
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
173
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kegiatan Praktik SMK Negeri 2 Yogyakarta
174
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
175
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kegiatan Praktik SMK Negeri 2 Yogyakarta
176
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
177
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kegiatan Praktik SMK Negeri 2 Yogyakarta
178
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
179
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kegiatan Praktik SMK Negeri 2 Yogyakarta
180
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
181
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kegiatan Praktik SMK Negeri 2 Depok, Sleman, Yogyakarta
182
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
183
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kegiatan Praktik SMK Mikael Surakarta
184
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
185
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kegiatan Praktik SMK Mikael Surakarta
186
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
187
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kegiatan Praktik SMK Mikael Surakarta
188
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
189
Kegiatan Praktik SMK Negeri 4 Jakarta
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
191
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kegiatan Praktik SMK Negeri 1 Mundu, Cirebon
192
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
193
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kegiatan Praktik SMK Negeri 27 Jakarta
194
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
195
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Kegiatan Praktik SMK Negeri 1 Pacet
196
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
197
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Hasil Produk SMK Bidang Keahlian Agribisnis dan Agroteknologi (SMK Negeri 1 Pacet)
198
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Hasil Produk SMK Bidang Keahlian Pariwisata (SMK Negeri 27 Jakarta)
199
Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK
Foto Cover: Kegiatan Siswa SMK dalam LKS tahun 2013
200
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan