Academia.eduAcademia.edu

GRAND DESIGN PENGEMBANGAN TEACHING FACTORY DAN TECHNOPARK DI SMK

2016, Direktorat Pembinaan SMK

Buku "Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK" yang diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 2016 dengan ISBN 97860272235-1-6, menyajikan kerangka kerja komprehensif untuk pengembangan Teaching Factory (TEFA) dan Technopark di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia. Buku ini bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara keterampilan yang diajarkan di sekolah dengan kebutuhan industri, meningkatkan kualitas pendidikan vokasi, dan memperkuat daya saing industri Indonesia. Melalui kolaborasi dengan industri, keterlibatan pemerintah daerah, dan partisipasi masyarakat, buku ini mengarahkan implementasi program yang efektif dan relevan dengan kebutuhan regional, serta mendorong inovasi dan pengembangan ekonomi lokal melalui Technopark sebagai hub antara pendidikan dan industri. Ketua Tim Penulis buku ini adalah Arie Wibowo Khurniawan, S.Si., M.Ak.

Rencana Strategis Direktorat Pembinaan SMK 2015-2019 i Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia GRAND DESIGN PENGEMBANGAN TEACHING FACTORY DAN TECHNOPARK DI SMK @2016 ISBN: 97860272235-1-6 Pelindung Hamid Muhammad, Ph.D (Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah) Penanggung Jawab Drs. M. Mustaghfirin amin, MBA (Direktur Pembinaan SMK) Ketua Tim Penulis Arie Wibowo Khurniawan, S.Si., M.Ak Pengarah Materi Ir. Sri Pudji Lestari, MM Dr. Ir. M. Bakrun, MM Moehammad Soleh, S.P Ir. Nur Widyani, MM Rudy Djumali (GIZ) Kontributor Winner Jihad Akbar, S.Si., M.Ak Chrismi Widjajanti, SE., MBA Arfah Laidiah Razik, SH., M.A Harry Suliswanto, MM Muhammad Rifan Tim ATMI dan SMK Mikael Solo Editor Arie Wibowo Khurniawan, S.Si, M.Ak Tri Haryani, S.Pd Desain Logo Teaching Factory & Technopark Mohamad Herdyka, ST Desain Sampul dan Tata Letak Donny Akbar – Asia Zoom Sekretariat Andi Amrullah, SE., MBA Siman, SE Herdiana, ST Pipin Dwi Nugraheni, SE Tri Haryani Yana, S.Pd Keuangan Asep Edi, S.Pd Diterbitkan Oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Gedung E Lantai 13 Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta Pusat 10270 www.psmk.kemdikbud.go.id Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kata Pengantar Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan di suatu negara adalah tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan mampu menopang pertumbuhan ekonomi sesuai dengan perkembangan industri modern berbasis informasi yang berubah dengan cepat. Oleh karena itu kualitas pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pembangunan suatu negara, termasuk Indonesia. Pendidikan Menengah adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang merupakan lanjutan pendidikan dasar, berbentuk Sekolah Menengah Atas, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan, atau bentuk lain yang sederajat. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Pendidikan Kejuruan adalah pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Dalam menghadapi keterbukaan ekonomi, sosial, dan budaya antarnegara secara global, khususnya dalam penerapan masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) yang diberlakukan akhir tahun 2015, lndonesia dihadapkan pada persaingan yang makin ketat, termasuk dalam penyediaan tenaga kerja yang akan mengisi kebutuhan tenaga kerja di bidang industri, perdagangan, pariwisata, dan lapangan kerja lain di negara-negara anggota MEA. Apabila lndonesia tidak menyiapkan penyediaan tenaga kerja terampil menengah hingga profesional, dimulai dari peningkatan akses dan mutu pendidikan menengah, dapat dipastikan lndonesia hanya akan menjadi penampungan tenaga kerja terampil menengah hingga profesional dari negara-negara anggota MEA. Untuk mengantisipasi tuntutan dan tantangan di atas, dan sebagai kelanjutan dari Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (Wajar Dikdas), yang secara nasional telah tuntas, melalui Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 2015 tentang 1 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Pembangunan Sumber Daya Industri telah diluncurkan Program Teaching Factory dan Technopark di SMK. Program Teaching Factory adalah suatu konsep pembelajaran di SMK berbasis produksi/jasa yang mengacu kepada standar dan prosedur yang berlaku di industri dan dilaksanakan dalam suasana seperti yang terjadi di industri. Implementasi Teaching Factory di SMK dapat menjembatani kesenjangan kompetensi antara kebutuhan industri dan kompetensi yang dihasilkan oleh sekolah. Pelaksanaan Teaching Factory menuntut keterlibatan mutlak pihak industri sebagai pihak yang relevan menilai kualitas hasil pendidikan dari SMK. Teaching Factory juga harus melibatkan Pemda/Pemkot/provinsi maupun orang tua dan masyarakat dalam perencanaan, regulasi maupun implementasinya. Dalam proses pendidikan di SMK, keterlibatan pihak industri dalam proses pembelajaran sangatlah penting, karena perkembangan teknologi maupun proses dalam produksi/jasa yang sangat pesat. Penerapan Teaching Factory di SMK akan mendorong mekanisme kerja sama antar sekolah dan industri yang saling menguntungkan, sehingga SMK akan selalu mengikuti perkembangan industri secara otomatis (teknologi transfer, manajerial, pengembangan kurikulum, prakerin, dan sebagainya. Program Technopark di SMK dicanangkan sebagai pusat dari beberapa Teaching Factory di SMK (“hub”) yang menghubungkan dunia pendidikan (SMK) dengan dunia industri dan instansi yang relevan untuk bekerja sama dengan Teaching Factory di SMK. Technopark akan menjadi “Think-Thank” SMK dalam pengembangan Teaching Factory yang harus mampu menyesuaikan perkembangan industri yang pesat. Technopark juga akan mempromosikan potensi daerah yang relevan untuk pengembangan ekonomi daerah dan sekaligus mempermudah komunikasi dengan dunia industri. Salah satu tujuan utama program Teaching Factory dan Technopark di SMK adalah untuk meningkatkan kompetensi lulusan SMK yang relevan dengan kebutuhan industri, sehingga berdampak kepada penguatan daya saing industri di Indonesia. Kompetensi yang dihantarkan secara integratif melalui penerapan Teaching Factory adalah kompetensi yang “comphrehensive” meliputi keahlian di ranah psikomotorik, afektif/sikap (“attitude”) dan kemampuan berpikir/mental (cognitive) “Higher-Order Thinking Skills” (HOTS) yang mampu berpikir kritis dan memecahkan masalah (“critical thinking/evaluation” dan “problem solving”). Sehingga pendidikan di SMK akan menghasilkan lulusan yang tidak hanya kompeten dari sisi keterampilan (hard skill), namun juga produktif dan bersikap baik (produktif dan tahan banting). Oleh karena itu, Rencana lnduk (Grand Design) ini disusun untuk memberi arahan dalam pelaksanaan Program Teaching Factory dan Technopark di SMK dan sebagai 2 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK panduan dalam penyusunan dokumen perencanaan dan implementasi Teaching Factory dan Technopark di SMK yang lebih teknis, baik pada level nasional maupun level daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Peraturan, prosedur, kurikulum, sarana dan prasarana untuk mendukung terlaksananya penerapan program Teaching Factory dan Technopark di SMK harus ditindaklanjuti secepatnya oleh instansi teknis terkait. Grand Design ini juga diharapkan bisa dipahami serta dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat, khususnya para pemangku kepentingan. Dengan demikian, banyak pihak dapat terlibat aktif secara efektif dan konstruktif, termasuk memberi kritik, evaluasi, dan rekomendasi. Pelibatan publik secara lebih aktif dan terintegrasi diharapkan mampu meningkatkan hasil pembangunan pendidikan, khususnya SMK selama lima tahun mendatang. Jakarta, Oktober 2015 Direktur Pembinaan SMK Drs. M. Mustaghfirin Amin, MBA NIP 195806251985031003 3 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Istilah dan Singkatan Daftar Gambar Daftar Tabel 1 6 10 12 BAB I PENDAHULUAN 14 A. LATAR BELAKANG B. MAKSUD DAN TUJUAN C. SISTEMATIKA PENULISAN 16 18 19 BAB II ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS 22 A. GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI B. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA C. EKONOMI D. KETENAGAKERJAAN E. INDUSTRI F. POLITIK 24 31 33 40 45 47 BAB III KONDISI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN 50 A. PARADIGMA PENDIDIKAN KEJURUAN B. KARAKTERISTIK PENDIDIKAN KEJURUAN C. PEMENUHAN AKSES SMK D. KONDISI MUTU SMK E. PROFIL LULUSAN SMK 52 56 59 64 77 4 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK BAB IV KONSEP TEACHING FACTORY DAN TECHNOPARK DI SMK 80 A. RASIONAL B. DASAR HUKUM C. KONSEP TEACHING FACTORY DI SMK D. KONSEP TECHNOPARK DI SMK 82 86 90 114 BAB V ARAH KEBIJAKAN IMPLEMENTASI, KERANGKA KELEMBAGAAN DAN KERANGKA REGULASI 118 A. ARAH KEBIJAKAN B. IMPLEMENTASI TEACHING FACTORY DI SMK C. IMPLEMENTASI TECHNOPARK DI SMK D. KERANGKA KELEMBAGAAN E. KERANGKA REGULASI 120 125 143 145 146 BAB VI TARGET KINERJA, KERANGKA PENDANAAN, DAN SISTEM PEMANTAUAN DAN EVALUASI 150 A. TARGET KINERJA B. KERANGKA PENDANAAN C. SISTEM PEMANTAUAN DAN EVALUASI 152 153 157 BAB VII PENUTUP 162 Daftar Pustaka 166 5 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Daftar Istilah dan Singkatan A ABG : Academic–Business–Government (Dunia Pendidikan-Dunia Usaha-Pemerintah) APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APK : Angka Partisipasi Kasar APM : Angka Partisipasi Murni ASEAN : Association of Southeast Asian Nations (Perhimpunan BangsaBangsa Asia Tenggara) ATP : Agro Techno Park B BAN : Badan Akreditasi Nasional BLK : Balai Latihan Kerja BPPT : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPS : Badan Pusat Statistik BSM : Bantuan Siswa Miskin BTP : Bandung Techno Park C CBET : Competency Based Education and Training CBT : Competency-Based Training (Pelatihan berbasis Kompetensi) CSC : Cibinong Science Center D D1 : Diploma 1 D2 : Diploma 2 D3 : Diploma 3 D4 : Diploma 4 DAK : Dana Alokasi Khusus DI : Daerah Istimewa DKI : Daerah Khusus Ibukota Dapodik : Data Pokok Pendidikan Du/Di : Dunia Usaha/Dunia Industri 6 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK E ETRI : Electronic and Telecomunication Research Institute G GCI : Global Competitivness Index (Indeks Daya Saing Global) GIZ : Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit H HCEL : House Committee on Education and Labour HDI : Human Development Index HOTS : Higher-Order Thinking Skills I IBI : Internasional Business Incubation ICI : Imperial Chemical Industries ICT : Information Communication Technology IPM : Indeks Pembangunan Manusia IT : Information Technology ITRI : Industrial Technology Research Institute Iptek : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi J JRC : Jababeka Research center Jababeka : Jawa Barat Bekasi K K/L : Kementerian/Lembaga KWH : KiloWatt Hours Kab : Kabupaten Kemendikbud : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kemenperin : Kementerian Perindustrian Kemnakertrans : Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi L LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 7 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK M MEA : Masyarakat Ekonomi Asean MRC : Multimedia Resource Center N N-STP : National Science and Technology Park NCRVE : National Council for Research into Vocational Education NIS : Nomor Induk Siswa NUPTK : Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan O OECD : Organisation for Economic Co-operation and Development (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) OSSLM : One Stop Service Labor Market P PBET : Production Based Education and Training PDB : Produk Domestik Bruto PDRB : Produk Domestik Regional Bruto PDSP : Pusat Data dan Statistik Pendidikan PPP : Purchasing Power Parity (keseimbangan kemampuan berbelanja) PSMK : Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan PTK : Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pemda : Pemerintah Daerah Permendikbud : Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R R&D : Research and Development (Penelitian dan Pengembangan) RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJPN : Rencana Pembangunan Jangka Pendek Nasional RPP : Rancangan Peraturan Pemerintah Renstra : Rencana Strategis S S1 : Strata 1 (sarjana) S2 : Strata 2 (magister) 8 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK S3 : Strata 3 (doktor) SD : Sekolah Dasar SDM : Sumber Daya Manusia SIM : Sistem Informasi Manajemen SKKNI : Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia SM : Sekolah Menengah SMA : Sekolah Menengah Atas SMK : Sekolah Menengah Kejuruan SMP : Sekolah Menengah Pertama SMU : Sekolah Menengah Umum SNP : Standar Nasional Pendidikan SOP : Standard Operation Procedure T TEFA : Teaching Factory TF : Teaching Factory TIK : Teknologi Informasi dan Komunikasi TPM : Technology Park Malaysia TVET : Technical and Vocational Education and Training U UN : Ujian Nasional UNDP : United Nations Development Programme (Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa) USB : Unit Sekolah Baru UU : Undang-Undang Z ZSP : Zongguanchun Science Park 9 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Daftar Gambar Gambar 1. Peta Kepadatan Per Provinsi di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 2. Distribusi Penduduk Indonesia berdasarkan Kepadatan Wilayah . . . . . . . . . . . . . Gambar 3. Piramida Penduduk Berdasarkan Usia. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 4. Bonus Demografi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 5. Distribusi PDRB Tiap Provinsi Berdasarkan Sektor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 6. Peta PDRB Tiap Provinsi Berdasarkan Sektor Dominan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 7. Persentase Kemiskinan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 8. PDRB Per Kapita per Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 9. Struktur Angkatan Kerja Berdasarkan Sektor dan Kualifikasi Pendidikan . . . . . . . . Gambar 10. Struktur Tenaga Kerja Per Provinsi Berdasarkan Sektor . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 11. Struktur Angkatan Kerja Per Provinsi Berdasarkan Kualifkasi Pendidikan . . . . . . . Gambar 12. Angka Pengangguran di Tiap Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 13. Hasil Survei Perusahaan Membutuhkan Tenaga Terampil . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 14. Jumlah Industri di Tiap Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 15. Persentase Komoditas Industri di Tiap Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 16. Pembagian Kewenangan Pendidikan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 17. Perkembangan APK dan APM 2010 - 2014 dan Sebaran Capaian APK per Provinsi Tahun 2014 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 18. Peta APK SM 2014 per provinsi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 19. Sebaran Jumlah SMK berdasarkan Status . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 20 Jumlah SMK di Setiap Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 21. Capaian UN SMK Tahun 2011/2012 per Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 22. Persentase SMK yang Diakreditasi di Setiap Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 23. Hasil Akreditasi Sekolah pada SMA/MA dan Program Keahlian SMK . . . . . . . . . . Gambar 23.1 Rata-Rata Nilai Ujian Kompetensi Guru SMK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 24 Peta Sebaran Guru dan Peserta Didik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 25 Kebutuhan Guru Produktif SMK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 26 Kondisi Ruang Kelas SMK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 27. Perkembangan lulusan SMK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 28. Persentase Angka Ketidaklulusan SMK. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 30. Peta dan Proyeksi Angkatan Pekerja menurut Pendidikan Tertinggi . . . . . . . . . . Gambar 31. Jumlah Pencari Kerja Menurut Pendidikan Tertinggi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 32. Persentase Peserta Didik pada Pendidikan Menengah Kejuruan . . . . . . . . . . . . Gambar 33. Paradigma Teaching Factory . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 34. Cara Penyampaian Keterampilan Teaching Factory . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 35. Kategori Pelaksanaan Teaching Factory . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 36. Piramida Konsep Pembelajaran PBET . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 37. Titik Fokus Pengembangan Teaching Factory . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 38. Matriks Perbandingan Konsep CBT, PBET dan Teaching Factory . . . . . . . . . . . . . Gambar 39. ”Skill - Knowledge - Attitude” Level Kompetensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 40. Technopark di SMK sebagai Intergrator SMK Pelaksana Teaching Factory . . . . . . . 10 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan . . . . . . . . . . . . . . . . 25 25 28 29 32 33 33 34 38 40 41 42 43 44 45 46 . 59 . 59 . 60 . 60 . 69 . 70 . 71 . 72 . 73 . 73 . 75 . 76 . 76 . 80 . 81 . 84 . 89 . 90 . 92 . 96 . 99 .101 .109 .113 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Gambar 41. Konsep Technopark . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 42. Kerangka Strategi Implementasi Teaching Factory . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 43. Garis Besar Pengembangan Schedule dan RPP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 44. Diagram Identifikasi Perangkat Pembelajaran Utama – Pengertian Schedule dan RPP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 45. Perangkat Utama Implementasi Teaching Factory – Penyusunan Schedule dan RPP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 46. Layout Bengkel (Contoh :Bengkeltimur SMK Mikael) . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 47. Triple Helix . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Gambar 48. Kerangka Kelembagaan Tata Kelola Teaching Factory di SMK . . . . . . . . . . Gambar 49. Pendekatan Penetapan Teaching Factory dan Technopark di SMK . . . . . . . . . . . .114 . . . . .124 . . . . .125 . . . . .134 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .135 .137 .143 .144 .151 11 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Daftar Tabel Tabel 1. Luas Wilayah Setiap Provinsi di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 2. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota . . . Tabel 3. Distribusi Capaian IPM provinsi dan Distribusi Capaian IPM kab/kota di tingkat nasional . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 4. PDRB Berdasarkan Sektor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 6. Perbandingan Jumlah Sekolah dan Jumlah Siswa SMK . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 7. Spektrum Keahlian dan Program Studi SMK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 8. Capaian Nilai UN SMK Tahun 2013/2014 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 9. Capaian Nilai UN SMK Tahun 2013/2014 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 9.1 Jumlah Guru SMK berdasarkan Kualifikasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 10. Perbedaan Dual System dengan CBT . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 11. Kondisi Ideal Teaching Factory (TF) yang Ingin Dicapai . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 12. Komponen Utama Ekosistem Teaching Factory di SMK . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 13. Identifikasi Sistem Pembelajaran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 14. Tabel Struktur Kurikulum (Generik) Standar -Kasus Program Keahlian Pemesinan Tabel 15. Schedule - Kebutuhan Sarana dan Prasarana Baku (Kelas X) . . . . . . . . . . . . . . Tabel 16. Tabel Contoh Jadwal Teori Kelas X.A . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 17. Tabel Pembelajaran yang Diukur dengan Level Jobsheet . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 18. Tabel Penyelenggaraan Pembelajaran yang Diukur dengan Level Jadwal . . . . . Tabel 19. Implementasi 7 Level Jobsheet . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 20. Kerangka Regulasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 21. Estimasi Kebutuhan Anggaran Implementasi Teaching Factory dan Technopark di SMK Tahun 2015-2020 (Juta Rupiah) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 22. Estimasi Kebutuhan Anggaran Minimal Pengembangan Teaching Factory dan Technopark Per Provinsi 2015-2020 (Juta Rupiah) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tabel 23. Parameter Evaluasi Teaching Factory di SMK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan . . . . 25 . . . . 28 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32 . 37 . 38 . 63 . 64 . 71 . 76 . 76 . 96 .108 .113 .128 .130 .133 .134 .140 .140 .141 .147 . . . .155 . . . .156 . . . .159 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 13 BAB I PENDAHULUAN DAFTAR ISI A. Latar Belakang 16 B. Maksud dan Tujuan 18 C. Sistematika Penulisan 19 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia, dimana setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama dan gender. Pemerataan akses dan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki keterampilan hidup (life skills) sehingga akan mendorong tegaknya pembangunan manusia seutuhnya serta masyarakat madani dan modern yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun demikian, Human Development Report tahun 2013 versi UNDP menyebutkan bahwa peringkat mutu sumber daya manusia (Human Development Index, HDI) Indonesia berada pada urutan ke-108. Peringkat ini jauh di bawah Thailand (89), Malaysia (62), Brunei Darussalam (30), Korea Selatan (16), dan Singapura (12). Pada tahun 2014, posisi Indonesia tetap yaitu pada rangking ke-108 dengan nilai 0,684 dan rangking ini masih berada di bawah Thailand (89), Malaysia (62), Brunei Darussalam (30), Korea Selatan (15), dan Singapura (9). Sementara itu, World Economic Forum menyatakan bahwa daya saing (Global Competitivness Index, GCI) Indonesia pada tahun 2014 berada pada peringkat ke 34. Peringkat ini di bawah Thailand (31), Korea Selatan (26), Malaysia (20), dan Singapura (2). Sementara itu, pada tahun 2015 posisi Indonesia semakin menurun yaitu berada pada rangking ke-37 dengan nilai 4,521, atau jika dibandingkan dengan tahun 2014 menurun sebanyak tiga level. Rangking ini juga masih berada di bawah Thailand (32), Korea Selatan (26), Malaysia (18), dan Singapura (2). Berdasarkan data HDI dan GCI tersebut, menunjukkan bahwa posisi daya saing Indonesia dibandingkan dengan daya saing dari negara-negara ASEAN dan Asia masih relatif lebih rendah. Sementara itu, kondisi ketenagakerjaan di Indonesia saat ini masih diwarnai tingkat pengangguran yang tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total jumlah pengangguran terbuka secara nasional pada Agustus 2014 mencapai 7,24 juta orang atau 5,94% dari total angkatan kerja. Jumlah pengangguran yang tinggi dimungkinkan karena kompetensi yang dimiliki oleh SDM Indonesia masih rendah dibandingkan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia usaha/industri atau karena peluang kerja yang memang tidak cukup untuk menampung semua lulusan tenaga kerja yang dihasilkan oleh sekolah dan perguruan tinggi. 16 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Di samping itu, tingkat keberhasilan pembangunan nasional sangat terkait dengan kualitas sumber daya manusia. Negara telah berupaya mengoptimalkan dan memaksimalkan pembangunan kapasitas sumber daya manusia Indonesia melalui sektor pendidikan, baik melalui jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non formal. Pendidikan yang dilakukan sedapat mungkin mencerminkan proses memanusiakan manusia atau dengan perkataan lain mengaktualisasikan semua potensi yang dimilikinya menjadi kemampuan yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Salah satu jalur pendidikan formal yang menyiapkan lulusannya untuk memiliki keunggulan di dunia kerja adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Salah satu tujuan penting pengembangan program pendidikan SMK adalah menyiapkan sumber daya manusia yang siap memasuki dunia kerja, memiliki kepemimpinan tinggi, disiplin, profesional, handal di bidangnya dan produktif. Dengan demikian, lulusan SMK idealnya merupakan tenaga kerja tingkat menengah yang siap pakai, dalam arti langsung bisa bekerja di dunia usaha dan industri. Permasalahan SMK saat ini umumnya terkait dengan keterbatasan peralatan, masih rendahnya biaya praktik, dan lingkungan belajar yang belum sesuai dengan dunia kerja. Kondisi ini dapat menyebabkan ketidaksiapan lulusan SMK dalam memasuki dunia kerja. Ketidaksiapan lulusan SMK dalam melakukan pekerjaan yang ada di dunia kerja mempunyai efek domino terhadap industri pemakai. Sebagai pengguna tenaga kerja, industri harus menyelenggarakan pendidikan di dalam industri untuk menyiapkan tenaga kerjanya. Dengan demikian pihak industri harus mengalokasikan biaya ekstra di luar biaya produksi. Sebenarnya pihak industri dan pihak sekolah memiliki keterbatasan masingmasing dalam membentuk dan mendapatkan tenaga kerja siap pakai. Pihak sekolah memiliki keterbatasan dalam pembiayaan dan penyediaan lingkungan belajar, sementara pihak industri memiliki keterbatasan sumber daya pendidikan untuk membentuk tenaga kerja yang dibutuhkan. Oleh karena itu untuk mendapatkan lulusan SMK yang siap pakai, perlu dilakukan kerja sama antara SMK dengan dunia usaha/dunia industri dengan tujuan untuk mempercepat waktu penyesuaian bagi lulusan SMK dalam memasuki dunia kerja dan pada akhirnya juga akan meningkatkan mutu SMK. Di negara-negara maju, peran industri ditunjukkan secara nyata melalui kerja sama program, dukungan finansial untuk penelitian dan beasiswa peserta didik. Bahkan di beberapa negara, peran industri ini sudah menjadi kewajiban karena telah ada regulasi yang mengaturnya. Di sisi lain, pendidikan kewirausahaan di Indonesia masih kurang memperoleh perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan maupun masyarakat. Secara kurikulum pendidikan kewirausahaan masuk dalam adaptif, artinya bahwa terdapat beberapa teori yang harus dipelajari oleh siswa, sehingga cenderung pendidikan kewirausahaan bersifat teoritis di kelas, sedangkan masyarakat masih memandang 17 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK bahwa menjadi pegawai lebih nyaman dibandingkan dengan menjadi wirausaha/ entrepreneurship. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah secara maksimal meningkatkan kualitas SDM melalui berbagai program pendidikan, menanamkan jiwa wirausaha di setiap jenjang dan tingkat pendidikan, serta berusaha memperluas lapangan kerja. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (Direktorat PSMK) turut ambil bagian dengan berusaha meningkatkan kompetensi dan jiwa wirausaha lulusan SMK. Dalam RPJMN 2015-2019, telah ditargetkan 200 SMK mengikuti program pembelajaran kewirausahaan dan teaching factory. Sejalan dengan RPJMN 2015-2019, Direktorat PSMK dalam rencana strategis 20152019 memiliki visi Terbentuknya Insan dan Ekosistem Pendidikan SMK yang berkarakter dengan berlandaskan gotong royong. Salah satu program prioritas untuk merealisasikan visi tersebut adalah program pengembangan Teaching Factory atau sebelumnya disebut dengan teaching industry di SMK. Arah pengembangan yang akan dilakukan akan menjadi lebih efektif apabila pengambil keputusan mendapatkan masukan informasi yang tepat, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, Rencana Induk Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK merupakan sebuah keniscayaan yang mutlak diperlukan. B. Maksud dan Tujuan Grand Design atau Rencana Induk Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK ini disusun dengan tujuan: 1. Memetakan kondisi Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK di semua provinsi di Indonesia. 2. Menyusun strategi pelaksanaan Program Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK pada tingkat nasional. 3. Menyusun rekomendasi pelaksanaan Program Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK di setiap provinsi disesuaikan dengan kondisi internal dan kondisi eksternal pendidikan kejuruan di masing-masing provinsi. 4. Memberikan persepsi dan pemahaman yang seragam tentang Teaching Factory dan Technopark di SMK dengan tujuan utamanya yaitu pendidikan SMK yang berkualitas, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan industri. 18 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK C. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan naskah Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK dijabarkan sebagai berikut: BAB I – PENDAHULUAN Berisikan latar belakang, maksud & tujuan, dan sistematika Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK. BAB II – ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS Berisikan kondisi-kondisi eksternal yang merupakan dampak dari pendidikan menengah seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan ketenagakerjaan, serta faktor-faktor penting dalam memengaruhi pembangunan pendidikan yang meliputi kondisi geografi, demografi, kemampuan ekonomi masyarakat dan daerah, serta kondisi industri di masing-masing wilayah. BAB III – KONDISI PEMBANGUNAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN Menggambarkan kondisi capaian akses pendidikan menengah kejuruan di setiap provinsi, kondisi mutu dan layanan, pertumbuhan dan sebaran peserta didik, serta sebaran dan ketersediaan satuan pendidikan menengah kejuruan secara spasial. BAB IV – KONSEP TEACHING FACTORY DAN TECHNOPARK DI SMK Berisikan tentang rasional pentingnya Teaching Factory dan Technopark di SMK, dasar hukum yang melandasi Teaching Factory dan Technopark di SMK, serta menjelaskan definisi dan pendekatan yang digunakan dalam konsep implementasi Teaching Factory dan Technopark di SMK. BAB V – ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, IMPLEMENTASI, KERANGKA KELEMBAGAAN, DAN KERANGKA REGULASI Berisikan arah kebijakan pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK tahun 2015-2019, strategi, implementasi, kerangka kelembagaan, dan kerangka regulasi yang perlu dipenuhi dalam rangka pelaksanaan program Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK . 19 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK BAB VI – TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN Menggambarkan target kinerja selama tahun 2015-2019 beserta kebutuhan anggaran dalam implementasi program Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK, serta Sistem Pengawasan dan Evaluasi. BAB VII – PENUTUP Berisikan kesimpulan kondisi dan rekomendasi rencana target pemenuhan Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK. 20 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 21 BAB II ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAFTAR ISI A. Geografi dan Demografi 24 B. Indeks Pembangunan Manusia 31 C. Ekonomi 33 D. Ketenagakerjaan 40 E. Industri 45 F. Politik 47 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK BAB II ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS Perkembangan capaian pembangunan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia sangat bervariasi. Kondisi ini tidak saja disebabkan oleh faktor-faktor di internal pendidikan seperti kondisi sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan, sistem pembelajaran serta peserta didik saja, namun juga disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari luar lingkungan pendidikan. Faktor-faktor eksternal seperti kondisi geografi, demografi, ekonomi, dan politik sering kali menjadi penghalang yang menghambat optimalnya pembangunan pendidikan. Analisis lingkungan strategis dibutuhkan untuk menggambarkan berbagai isu strategis di luar dunia pendidikan yang patut diperhatikan sebagai acuan dalam pembangunan pendidikan selanjutnya. Pada bab ini akan dibahas lebih jauh kondisi berbagai faktor eksternal pendidikan serta keterkaitannya dengan capaian dan pelaksanaan pembangunan pendidikan di Indonesia. A. Geografi dan Demografi Kondisi geografis dan demografi sangat memengaruhi keberhasilan peningkatan akses pendidikan. Gambaran karakteristik geografis dan demografi di suatu wilayah diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih spesifik mengenai kendala dalam penyediaan akses pendidikan yang disebabkan oleh kondisi geografis (misal: wilayah daratan atau kepulauan) dan kondisi demografi (misal: daerah padat/perkotaan, pinggiran, dan pedalaman) yang bervariasi. Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara administrasi terbagi dalam 34 provinsi. Namun karena Provinsi Kalimantan Utara baru terbentuk, dalam dokumen ini Provinsi Kalimantan Utara masih menyatu dengan Provinsi Kalimantan Timur. Sejak disahkannya UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 yang mengatur mengenai desentralisasi urusan wajib antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota berdampak kepada banyaknya kabupaten pemekaran. Sampai dengan tahun 2014, Indonesia tercatat memiliki 542 daerah otonom (sebelumnya 299 kab/kota pada tahun 1999) yang terdiri atas 34 provinsi, 415 kabupaten (tidak termasuk satu kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta) dan 93 kota (tidak termasuk 5 kota administratif di Provinsi DKI Jakarta). Besar luasan wilayah dan jumlah wilayah administrasi per provinsi disajikan pada tabel 1. 24 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Tabel 1. Luas Wilayah Setiap Provinsi di Indonesia Luasan No Wilayah Administrasi Provinsi Luas Wilayah % Kab. Kota Total Kab/ Kota 1 DKI Jakarta 664,01 0,03% 1 5 6 2 Jawa Barat 35.377,76 1,85% 18 9 27 3 Jawa Tengah 32.800,69 1,72% 29 6 35 4 DI Yogyakarta 3.133,15 0,16% 4 1 5 5 Jawa Timur 47.799,75 2,50% 29 9 38 6 Aceh 57.956,00 3,03% 18 5 23 7 Sumatera Utara 72.981,23 3,82% 25 8 33 8 Sumatera Barat 42.012,89 2,20% 12 7 19 9 Riau 87.023,66 4,55% 10 2 12 10 Jambi 50.058,16 2,62% 9 2 11 11 Sumatera Selatan 91.592,43 4,79% 13 4 17 12 Lampung 34.623,80 1,81% 13 2 15 13 Kalimantan Barat 147.307,00 7,71% 12 2 14 14 Kalimantan Tengah 153.564,50 8,04% 13 1 14 15 Kalimantan Selatan 38.744,23 2,03% 11 2 13 16 Kalimantan Timur 129.066,64 6,75% 7 3 10 17 Sulawesi Utara 13.851,64 0,72% 11 4 15 18 Sulawesi Tengah 61.841,29 3,24% 12 1 13 19 Sulawesi Selatan 46.717,48 2,44% 21 3 24 20 Sulawesi Tenggara 38.067,70 1,99% 15 2 17 21 Maluku 46.914,03 2,46% 9 2 11 22 Bali 5.780,06 0,30% 8 1 9 23 Nusa Tenggara Barat 18.572,32 0,97% 8 2 10 24 Nusa Tenggara Timur 48.718,10 2,55% 21 1 22 25 Papua 319.036,05 16,70% 28 1 29 25 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Luasan No Wilayah Administrasi Provinsi Luas Wilayah % Kab. Kota Total Kab/ Kota 26 Bengkulu 19.919,33 1,04% 9 1 10 27 Maluku Utara 31.982,50 1,67% 8 2 10 28 Banten 9.662,92 0,51% 4 4 8 29 Kep. Bangka Belitung 16.424,06 0,86% 6 1 7 30 Gorontalo 11.257,07 0,59% 5 1 6 31 Kepulauan Riau 8.201,72 0,43% 5 2 7 32 Papua Barat 97.024,27 5,08% 12 1 13 33 Sulawesi Barat 16.787,18 0,88% 6 0 6 34 Kalimantan Utara 75.467,70 3,95% 4 1 5 416 98 514 TOTAL 1.910.931,32 Sumber: BPS 2014, diolah Luasan wilayah serta jumlah kabupaten/kota dan kecamatan di tiap provinsi digunakan untuk mengetahui pembangunan pendidikan menengah, khususnya SMK. Dalam Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus menyediakan “minimum satu SMA/SMK/ MA disediakan untuk satu kecamatan”. Dengan demikian dapat diketahui tersedianya sebaran sekolah menengah, khususnya SMK, secara spasial di setiap kecamatan yang ada di Indonesia. Kondisi pengembangan pendidikan menengah juga dipengaruhi pula oleh tingkat kepadatan penduduk yang ada di setiap daerah. Sesuai dengan jenjang pendidikannya, satuan pendidikan menengah membutuhkan infrastruktur yang lebih kompleks dibandingkan dengan pendidikan dasar untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran yang baik. Bervariasinya kepadatan penduduk di Indonesia membuat pengembangan unit sekolah baru dengan karakteristik sama untuk berbagai kondisi penduduk berdampak pada tingginya nilai investasi sarana dan prasarana pendidikan yang harus disediakan pemerintah maupun pemerintah daerah. Sementara di sisi lain, optimalisasi pemanfaatan unit sekolah baru tersebut menjadi tidak maksimal akibat terlalu rendahnya atau terlalu tingginya jumlah penduduk usia sekolah di daerah tersebut. 26 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Sumber: BPS 2014, diolah Gambar 1. Peta Kepadatan Per Provinsi di Indonesia Data BPS seperti dijelaskan pada gambar 2 menunjukkan bahwa 53 % provinsi di Indonesia memiliki kepadatan rendah (15 Provinsi) dan rendah sekali (3 Provinsi), 32% memiliki kepadatan sedang (11 Provinsi), dan 15% dengan kepadatan tinggi (4 Provinsi) dan tinggi sekali (1 Provinsi). Sumber: BPS 2014, diolah Gambar 2. Distribusi Penduduk Indonesia berdasarkan Kepadatan Wilayah 27 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Jika dilihat lebih detail lagi maka secara kabupaten/kota disajikan pada gambar 2 dapat diketahui sebanyak 45 % kabupaten/kota di Indonesia memiliki kepadatan rendah dan rendah sekali, 35% memiliki kepadatan sedang, dan 20% dengan kepadatan tinggi dan tinggi sekali. Kondisi di atas merupakan kendala yang harus disikapi oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan menerapkan solusi yang bersifat spesifik atau sesuai dengan karakteristik yang ada untuk menjamin tersediaanya akses pendidikan optimalnya penyelengaraan pendidikan menengah di seluruh wilayah Indonesia. Pada tabel 2 di bawah ini mengambarkan variasi rata-rata kepadatan penduduk di Indonesia mulai dari provinsi dengan jumlah kepadatan rendah seperti Provinsi Papua Barat (dengan jumlah penduduk delapan orang per kilomenter persegi) sampai dengan provinsi dengan kepadatan tinggi seperti Provinsi DKI Jakarta (dengan kepadatan sangat tinggi yaitu 14.721 orang per kilometer persegi. Selain itu digambarkan pula distribusi jumlah kabupaten/kota berdasarkan tingkat kepadatan penduduk. Tabel 2. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota Kab/Kota dengan Kepadatan No Provinsi Penduduk Kepadatan Sangat Tinggi Tinggi 1 DKI Jakarta 9.774.975 15173.00 5 1 2 Jawa Barat 44.047.231 1301.00 7 9 11 3 Jawa Tengah 33.013.037 1022.00 4 14 17 4 DI Yogyakarta 3.501.290 1161.00 1 2 2 5 Jawa Timur 38.005.202 808.00 5 11 22 6 Aceh 4.661.348 85.00 1 9 13 7 Sumatera Utara 13.453.577 189.00 6 14 12 8 Sumatera Barat 5.010.399 122.00 5 6 8 9 Riau 5.741.482 71.00 1 1 10 10 Jambi 3.183.702 67.00 1 9 11 Sumatera Selatan 7.668.274 87.00 1 6 10 12 Lampung 7.833.851 232.00 3 9 3 13 Kalimantan Barat 4.508.091 32.00 1 11 28 1 1 1 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Sedang Rendah Rendah Sekali 1 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kab/Kota dengan Kepadatan No Provinsi Penduduk Kepadatan 14 Kalimantan Tengah 2.269.241 16.00 15 Kalimantan Selatan 3.708.240 101.00 16 Kalimantan Timur 3.665.767 26.00 17 Sulawesi Utara 2.307.564 172.00 18 Sulawesi Tengah 2.701.752 46.00 19 Sulawesi Selatan 8.227.063 180.00 20 Sulawesi Tenggara 2.319.507 64.00 21 Maluku 1.593.448 35.00 22 Bali 3.958.114 710.00 1 23 Nusa Tenggara Barat 4.649.591 257.00 1 6 3 24 Nusa Tenggara Timur 4.887.793 103.00 1 8 13 25 Papua 2.915.975 10.00 2 16 26 Bengkulu 1.766.266 93.00 1 3 6 27 Maluku Utara 1.078.352 36.00 1 28 Banten 10.914.700 1211.00 29 Kep. Bangka Belitung 1.257.587 82.00 1 30 Gorontalo 1.065.867 99.00 1 1 4 31 Kepulauan Riau 1.743.972 234.00 2 2 3 32 Papua Barat 805.081 9.00 1 2 33 Sulawesi Barat 1.197.506 75.00 2 4 34 Kalimantan Utara 805.081 8.00 NASIONAL 243.435.845 127,39 Sangat Tinggi Tinggi 1 1 2 Sedang Rendah Rendah Sekali 10 4 5 7 1 3 4 2 8 5 1 12 19 3 4 13 1 1 9 2 6 1 3 2 11 9 3 6 10 5 32 70 173 192 30 Sumber: BPS 2014, diolah 29 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Selanjutnya, jika ditinjau dari rentang usia penduduk, jumlah penduduk Indonesia terbanyak berada pada rentang usia 10-14 tahun yang dikuti dengan rentang usia 5-9 tahun dan 0-4 tahun (gambar 3). Tingginya jumlah penduduk pada rentang usia 0-19 tahun menggambarkan bahwa cukup tingginya pertumbuhan penduduk di Indonesia. Pemerintah memperkirakan kondisi distribusi jumlah penduduk tersebut akan memberikan bonus demografi di Indonesia pada tahun 2035. Pada saat itulah Indonesia akan memiliki sumber daya manusia produktif dalam jumlah besar. Sumber: BPS 2014, diolah Gambar 3. Piramida Penduduk Berdasarkan Usia Hal ini tentunya perlu disadari oleh masyarakat pada umumnya dan pemerintah pada khususnya sebagai peluang dengan ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi banyaknya jumlah usia produktif tersebut akan memberikan Indonesia suplai tenaga kerja yang tidak ada habisnya. Namun demikian di sisi yang lain, apabila pemerintah gagal dalam mempersiapkan kompetensi yang memadai bagi penduduk usia produktif tersebut justru akan mendorong kondisi di atas menjadi “bencana demografi” yaitu kondisi kependudukan Indonesia yang dicirikan oleh tingginya angka pengangguran. Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK merupakan salah satu langkah strategis dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia di Indonesia. Berbasis pada tren pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini, pada tahun 2025 Indonesia akan mendapat bonus demografi. (lihat gambar 4) yang berdampak pada tingginya penduduk usia produktif di Indonesia. 30 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Sumber: BPS 2010, diolah Gambar 4. Bonus Demografi B. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia merupakan indikator perkembangan kondisi masyarakat di suatu wilayah atau negara yang ditunjukkan dari rata-rata kondisi pendidikan, kesehatan dan ekonomi masyarakat. Berdasarkan data IPM dari United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2014, Indonesia menempati urutan 108 dari 187 negara dengan IPM 0,684 dan masuk dalam kategori “Medium”. Dibandingkan dengan sesama negara Asia, posisi Indonesia masih berada di bawah Singapura (9), Korea Selatan (15), Hongkong (15), Jepang (17), dan bahkan masih berada di bawah negara berkembang lain di Asia Tenggara seperti Brunei Darussalam (30), Malaysia (62), dan Thailand (89). Capaian IPM Indonesia merupakan hasil komposit dari 4 indikator IPM yaitu Harapan Hidup Pada Saat Lahir (70,8 tahun), Rata-Rata Lama Sekolah (7,5 tahun), Harapan Lama Sekolah (12,7 tahun), dan pendapatan per kapita (US$ 8,970). Berdasarkan perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014 (lihat tabel 3), dengan menggunakan indikator indeks kesehatan, indeks pendidikan yang terdiri atas angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, serta indeks pengeluaran penduduk per kapita, IPM 25 provinsi masih berada di bawah IPM nasional dan IPM 9 provinsi berada di atas IPM nasional. Sementara itu, pada tingkat kabupaten/kota, IPM 206 kabupaten/kota berada di atas IPM nasional dan IPM 308 kabupaten/kota berada di bawah IPM nasional. Capaian nilai IPM provinsi yang berada di atas IPM nasional didominasi oleh provinsi-provinsi yang berada di Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Bali. Hal tersebut menunjukkan gambaran dari belum meratanya pembangunan antarwilayah di Indonesia. 31 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Tabel 3. Distribusi Capaian IPM provinsi dan Distribusi Capaian IPM kab/kota di tingkat nasional No 1 32 Provinsi DKI Jakarta IPM Kab/Kota Dibanding IPM Nasional Di Atas Di Bawah 78,39 5 1 2 Jawa Barat 68,8 11 16 3 Jawa Tengah 68,78 17 18 4 DI Yogyakarta 76,81 4 1 5 Jawa Timur 68,14 17 21 6 Aceh 68,81 9 14 7 Sumatera Utara 68,87 22 11 8 Sumatera Barat 69,36 10 9 9 Riau 70,33 11 1 10 Jambi 68,24 7 4 11 Sumatera Selatan 66,75 4 13 12 Lampung 66,42 2 13 13 Kalimantan Barat 64,89 1 13 14 Kalimantan Tengah 67,77 11 3 15 Kalimantan Selatan 67,63 2 11 16 Kalimantan Timur 73,82 10 0 17 Sulawesi Utara 69,96 14 1 18 Sulawesi Tengah 66,43 1 12 19 Sulawesi Selatan 68,49 8 16 20 Sulawesi Tenggara 68,07 2 15 21 Maluku 66,74 3 8 22 Bali 72,48 5 4 23 Nusa Tenggara Barat 64,31 0 10 24 Nusa Tenggara Timur 62,26 1 21 25 Papua 56,75 1 28 26 Bengkulu 68,06 2 8 27 Maluku Utara 65,18 10 0 28 Banten 69,89 3 5 29 Kepulauan Bangka Belitung 68,27 3 4 30 Gorontalo 65,17 1 5 31 Kepulauan Riau 73,4 4 3 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK No Provinsi IPM Kab/Kota Dibanding IPM Nasional Di Atas Di Bawah 32 Papua Barat 61,28 1 12 33 Sulawesi Barat 62,24 0 6 34 Kalimantan Utara 68,64 4 1 68,9 206 308 NASIONAL Sumber: BPS 2014, diolah C. Ekonomi Kondisi ekonomi di suatu wilayah diperlukan untuk memberikan gambaran potensi-potensi unggulan yang dapat dijadikan referensi meningkatkan mutu SMK yang sesuai atau relevan dengan kebutuhan suatu wilayah. Di samping potensi wilayah, kondisi ekonomi wilayah dibutuhkan untuk memberikan gambaran kemampuan daerah dan masyarakat dalam menyediakan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh masyarakat. Kemampuan Ekonomi Masyarakat dan Daerah Pengembangan sumber daya manusia di setiap wilayah Indonesia harus dilakukan dengan menyesuaikan dengan karakteristik kebutuhan tenaga kerja di sektor-sektor unggulan di setiap wilayah tersebut. Gap yang terjadi antara pasokan sumber daya manusia dan kebutuhan tenaga kerja di setiap wilayah merupakan gambaran kesiapan dunia pendidikan dalam mendukung pengembangan sektor-sektor unggulan tersebut. gambar 5 menyajikan distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per sektor. PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah. Nilai tambah adalah nilai yang ditambahkan dari kombinasi faktor produksi dan bahan baku dalam proses produksi. Penghitungan nilai tambah adalah nilai produksi (output) dikurangi biaya antara. Nilai tambah bruto di sini mencakup komponen-komponen pendapatan faktor (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Jadi dengan menjumlahkan nlai tambah bruto dari masing-masing sektor dan menjumlahkan nilai tambah bruto dari seluruh sektor tadi, akan diperoleh Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga pasar. Peta wilayah sektor dominan dalam PDRB disajikan pada gambar 6. Peta ini menggambarkan prioritas pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan sesuai sektor yang dominan di provinsi tersebut. 33 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Sumber: BPS 2014, diolah Gambar 5. Distribusi PDRB Tiap Provinsi Berdasarkan Sektor 34 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Sumber: BPS 2014, diolah Gambar 6. Peta PDRB Tiap Provinsi Berdasarkan Sektor Dominan Sementara itu, pada tahun 2014 persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 10,95 % (gambar 7). Dilihat dari sebarannya 16 provinsi memiliki persentase penduduk miskin di atas rata-rata nasional. Dapat dilihat pula provinsi-provinsi di Indonesia Timur seperti Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku memiliki angka kemiskinan yang tergolong tinggi dengan persentase di atas 15 % dari populasi penduduk. Sumber: BPS 2014, diolah Gambar 7. Persentase Kemiskinan 35 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Sumber: BPS 2014, diolah Gambar 8. PDRB Per Kapita per Provinsi Bila ditinjau dari besar PDRB per kapita, rata-rata PDRB per kapita provinsi masih berada di bawah 42 juta rupiah per tahun (gambar 8). Kondisi ini menggambarkan masih lemahnya daya beli masyarakat termasuk di dalam menyediakan pendidikan yang selayaknya bagi anak. Faktor produksi sektor ekonomi utama penyumbang PDRB, keterbatasan kemampuan ekonomi masyarakat dan pemerintah daerah, serta sumber daya yang dimiliki daerah merupakan komponen yang digunakan pemerintah dalam rangka untuk memetakan implementasi Teaching Factory di setiap wilayah Indonesia. Pemetaan ini akan memudahkan pemerintah dalam menyediakan skema-skema pendanaan atau afirmasi yang sesuai, adil dan merata di seluruh Indonesia. 36 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Potensi Wilayah Potensi wilayah ditunjukkan dengan melihat kontribusi berbagai sektor/komoditas ekonomi terhadap peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) di suatu wilayah. Semakin besar kontribusi suatu sektor/komoditas dibandingkan dengan sektor/komoditas lainnya menunjukkan keunggulan suatu sektor pada wilayah tersebut. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2014 sesuai dengan data BPS mencapai 2.909 trilyun rupiah. Tabel 4 menunjukkan bahwa kontribusi terbesar berasal dari sektor Industri Pengolahan yaitu sebesar 25,5 % dari total PDB diikuti oleh sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (18,0%), dan pertanian (12,1 %). Sektor-sektor unggulan ini merupakan acuan yang harus digunakan di dalam merencanakan kebutuhan sumber daya manusia. Semakin besar keunggulan suatu sektor seharusnya selaras dengan tingginya kebutuhan sumber daya manusia di sektor tersebut. Tabel 4. PDRB Berdasarkan Sektor SEKTOR PDRB % Pertanian Tanaman Bahan Makanan, Tanaman Perkebunan, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 350.722,2 12,1% Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Pertambangan Bukan Migas, dan Penggalian 195.425,0 6,7% Industri Pengolahan Industri Migas dan Industri Bukan Migas 741.835,7 25,5% Listrik dan Air Bersih 22.423,5 0,8% Bangunan/Konstruksi 194.093,4 6,7% Perdagangan, Hotel, Restoran 524.309,5 18,0% Angkutan/Komunikasi Angkutan Darat, Angkutan Laut, Angkutan Sungai/ Penyeberangan, Angkutan Udara, Jasa Penunjang Angkutan, Pos dan Telekomunikasi, dan Jasa Penunjang Komunikasi 318.527,9 10,9% Bank/Keu/Perum Bank, Lembaga Keuangan bukan Bank, Jasa Penunjang Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 288.351,0 9,9% 37 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK SEKTOR PDRB % Jasa-Jasa Jasa Pemerintahan Umum, Jasa Sosial Kemasyarakatan, Jasa Hiburan dan Rekreasi, dan Jasa Perorangan/rumah tangga 273.493,3 9,4% TOTAL 2.909.181,5 Sumber: BPS 2014, diolah Dilihat dari sebaran PDRB, provinsi-provinsi di Pulau Jawa seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah (tabel 5) merupakan penyumbang terbesar dengan nilai Rp5.613 triliun pada tahun 2012 atau mencapai 52.47 % dari total nilai PDB Indonesia. Besarnya PDRB daerah-daerah tersebut merupakan gambaran besarnya aktivitas dunia usaha yang tentunya mendorong minat para pencari kerja di berbagai wilayah di Indonesia. Kondisi ini dapat berdampak pada terjadinya mobilisasi lulusan terbaik dari seluruh wilayah Indonesia ke provinsi-provinsi tersebut untuk mencari peluang-peluang kerja, yang pada akhirnya berdampak pada semakin miskinnya potensi tenaga kerja berkualitas di provinsi-provinsi lainnya. Tabel 5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Provinsi Provinsi 38 PDRB (Triliun Rp) % Aceh 130.448 1,22% Sumatera Utara 523.772 4,90% Sumatera Barat 167.040 1,56% Riau 679.692 6,35% Jambi 153.857 1,44% Sumatera Selatan 308.407 2,88% Bengkulu 45.235 0,42% Lampung 231.008 2,16% Kepulauan Bangka Belitung 56.390 0,53% Kepulauan Riau 182.916 1,71% DKI Jakarta 1.761.407 16,46% Jawa Barat 1.385.959 12,95% Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Provinsi PDRB (Triliun Rp) % Jawa Tengah 925.663 8,65% DI Yogyakarta 93.450 0,87% 1.540.697 14,40% Banten 432.764 4,04% Bali 156.448 1,46% Nusa Tenggara Barat 82.247 0,77% Nusa Tenggara Timur 68.603 0,64% Kalimantan Barat 131.933 1,23% Kalimantan Tengah 89.872 0,84% Kalimantan Selatan 131.593 1,23% Kalimantan Timur 519.930 4,86% Kalimantan Utara 59.080 0,55% Sulawesi Utara 80.623 0,75% Sulawesi Tengah 90.256 0,84% Sulawesi Selatan 300.124 2,80% Sulawesi Tenggara 78.620 0,73% Gorontalo 25.201 0,24% Sulawesi Barat 29.392 0,27% Maluku 31.733 0,30% Maluku Utara 24.054 0,22% Papua Barat 58.285 0,54% Papua 123.180 1,15% 10.699.879 100,0% Jawa Timur INDONESIA Sumber: BPS 2014, diolah 39 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Berbeda dengan distribusi PDRB berdasarkan sektor pada skala nasional, pada PDRB tingkat provinsi sektor pertanian merupakan sektor yang dominan berkontribusi pada Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di beberapa provinsi di Indonesia diikuti oleh Sektor Perdagangan, Hotel, Restoran, dan Sektor Industri Pengolahan. Sebanyak 19 provinsi di Indonesia masih bergantung pada sektor pertanian sebagai penyumbang terbesar PDRB di daerah. D. Ketenagakerjaan Kondisi ketenagakerjaan memberikan gambaran kesesuaian antara hasil dunia pendidikan yaitu lulusan dengan penyerapan dunia kerja. Distribusi penyerapan tenaga kerja seharusnya sejalan dengan kontribusi sektor-sektor unggulan di setiap wilayah. Ketimpangan yang terjadi antara penyerapan tenaga kerja dengan kebutuhan wilayah merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh dunia pendidikan. Bila ditinjau berdasarkan sebaran tenaga kerja (gambar 9), dapat diketahui bahwa terdapat 4 sektor terbesar yang menyerap tenaga kerja adalah sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan (33,9%) diikuti oleh sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel (21,6 %), sektor jasa kemasyarakatan (16,1%), dan sektor industri pengolahan (13,3%). Urutan distribusi tenaga kerja berdasarkan sektor ini sedikit berbeda dengan distribusi PDRB yang didominasi oleh sektor perdagangan, rumah makan dan hotel, sektor industri pengolahan dan pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan. Gap terbesar yang terjadi adalah pada sektor industri pengolahan yang terjadi disebabkan oleh keterbatasan suplai tenaga kerja berkualitas yang dapat mendukung sektor tersebut. Sumber: BPS 2014, diolah Gambar 9. Struktur Angkatan Kerja Berdasarkan Sektor dan Kualifikasi Pendidikan 40 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Di tingkat provinsi, tenaga kerja di 28 provinsi didominasi oleh tenaga kerja di sektor pertanian (PDRB pertanian hanya dominan di 19 provinsi). Hanya 5 provinsi yaitu Kepulauan Riau, Banten, Bali, Jawa Barat, dan DKI Jakarta yang tenaga kerjanya didominasi oleh sektor-sektor lain (gambar 10). Hal ini merupakan gambaran betapa terbatasnya kemampuan dunia pendidikan untuk dapat memasok kebutuhan tenaga kerja yang sesuai dengan karakteristik masing-masing wilayah di Indonesia. SMK sebagai salah satu penyedia calon tenaga kerja melalui penerapan Teaching Factory harus dirancang dan diimplementasikan sedemikian rupa agar disparitas yang terjadi antara kebutuhan dunia kerja dan penyediaan lulusan atau calon tenaga kerja semakin kecil dan bahkan sesuai dengan kebutuhan baik di tingkat lokal, nasional, atau bahkan dapat mengekspor tenagatenaga kerja berkualitas ke negara lainnya. Dari sisi kualifikasi, SDM di Indonesia seperti diuraikan dalam Bab Pendahuluan dari buku ini, didominasi oleh tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan dasar. Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2014 menunjukkan bahwa 45,7% tenaga kerja Indonesia hanya memiliki pendidikan Sekolah Dasar (SD), 17,9% memiliki pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), 16,9% memiliki pendidikan Sekolah Menengah (umum), 9,7% memiliki pendidikan Sekolah Menengah (kejuruan), dan 9,8% saja yang memiliki pendidikan perguruan tinggi. Kemudian jika dilihat pada data BPS tahun 2014 (gambar 11) dapat diketahui bahwa pada tingkat provinsi hanya 2 provinsi saja yaitu DKI Jakarta dan Kepulauan Riau yang memiliki struktur tenaga kerja yang bukan didominasi oleh tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan dasar. 41 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Sumber: BPS 2014, diolah Gambar 10. Struktur Tenaga Kerja Per Provinsi Berdasarkan Sektor 42 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Sumber: BPS 2014, diolah Gambar 11. Struktur Angkatan Kerja Per Provinsi Berdasarkan Kualifkasi Pendidikan Kondisi ini berdampak pada masih cukup tingginya angka pengangguran di Indonesia yang mencapai angka rata-rata 6,17% (gambar 12). Fakta yang menarik adalah tingginya angka pengangguran di Provinsi DKI Jakarta (8,63%) yang sebetulnya merupakan salah satu provinsi dengan tenaga kerja yang dominan berasal dari pendidikan menengah atau lebih tinggi. 43 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Sumber: BPS 2014, diolah Gambar 12. Angka Pengangguran di Tiap Provinsi Selain itu berdasarkan hasil survei sebagaimana pada gambar 13 yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2008, para pengusaha menyatakan hampir secara umum dianggap bahwa persyaratan keterampilan akan meningkat pada tahun-tahun yang akan datang, adanya standar kualitas yang lebih tinggi, lingkungan bisnis yang lebih kompetitif dan berorientasi ekspor sebagai pemicu utama meningkatnya persyaratan. Hal ini sejalan dengan cita-cita Indonesia untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi, tren 44 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK makroekonomi (ASEAN, meningkatnya upah di Cina) dan meningkatnya kelas menengah (yang akan menuntut produk dan layanan yang lebih berkualitas). Sumber: Skills for the Labor Market in Indonesia, World Bank (2011) Gambar 13. Hasil Survei Perusahaan Membutuhkan Tenaga Terampil E. Industri Pengembangan Teaching Factory dan Technopark tidak lepas dari kondisi industri yang dekat dengan lokasi SMK. Kondisi industri memberikan gambaran distribusi industri di setiap provinsi dan komoditi yang seharusnya didukung oleh Teaching Factory di setiap wilayah. Ditinjau dari jumlah industri, sebaran industri tidak merata dan terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan persentase melebihi 82% (19.975 dari 24.425 industri) (gambar 14). Kondisi ini berdampak pada distribusi tenaga kerja dan daya dukung sumber daya. 45 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Sumber: Kemenperin 2014, diolah Gambar 14. Jumlah Industri di Tiap Provinsi Dilihat dari komoditas yang dihasilkan atau yang dikelola oleh industri-industri yang ada di Indonesia, Komoditas Sandang (pakaian, perlengkapan rumah tangga, kosmetik, dll) menempati peringkat teratas dengan besaran 29,2%, disusul dengan Komoditas Pangan (hasil pertanian, pengolahan hasil pertanian, makanan, camilan, dll) dengan persentase sebesar 26,4%, dan di peringkat ketiga yaitu komoditas Bahan Bangunan sebesar 9,5%. Hal ini berdampak pada pemenuhan sumber daya dan komoditas Teaching Factory yang dapat menyangga kebutuhan industri di sekitar SMK. Sebaran komoditas pada masing-masing provinsi disajikan pada gambar 15. 46 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Sumber: Kemenperin 2014, diolah Gambar 15. Persentase Komoditas Industri di Tiap Provinsi F. Politik Sesuai amanat Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan pendidikan menengah khususnya SMK tidak lagi berada pada tingkat kabupaten/kota, tapi telah ditempatkan di provinsi. Manajemen pengelolaan pendidikan menengah serta penerbitan izin pendidikan menengah merupakan dua urusan yang saat ini menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi. Dalam hal pengelolaan guru, menurut Undang-Undang No. 23 tahun 2014 pemerintah provinsi telah diberikan kewenangan untuk dapat memindahkan guru dan tenaga kependidikan antar daerah kabupaten/kota dalam 1 provinsi. Khusus untuk pengelolaan guru dan tenaga kependidikan jenjang pendidikan menengah juga menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi (gambar 16). 47 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Perubahan peranan ini perlu disikapi dengan positif karena pemberian kewenangan yang lebih luas kepada provinsi sebagai wakil pemerintah pusat memberikan peluang untuk memperbaiki tata kelola pendidikan menengah. Sumber: Undang-Undang nomor 23 tahun 2014, diolah Gambar 16. Pembagian Kewenangan Pendidikan Dinamika politik dan ekonomi sangat memengaruhi kelancaran program Teaching Factory dan Technopark. Walaupun inisiasi dan dukungan telah diberikan oleh Pemerintah Pusat, namun dengan kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola Pendidikan Menengah diperlukan kerja sama dan dukungan politik guna menyukseskan program ini. 48 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 49 BAB III KONDISI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DAFTAR ISI A. Paradigma Pendidikan Kejuruan 52 B. Karakteristik Pendidikan Kejuruan 56 C. Pemenuhan Akses SMK 59 D. Kondisi Mutu SMK 64 E. Profil Lulusan SMK 77 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK BAB III KONDISI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan sekolah menengah yang lebih memperdalam bakat dan keahlian dalam bidang tertentu. Hal tersebut sesuai dengan isi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 3 mengenai tujuan pendidikan nasional dan penjelasan pasal 15 yang menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja di bidang tertentu. Berbeda dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tidak secara spesifik mengajarkan peserta didik mengenai bidang tertentu. SMK memberikan pengajaran yang lebih aplikatif dan lebih fokus pada bidang tertentu serta mempersiapkan peserta didik untuk masuk ke lapangan pekerjaan tertentu, seperti bidang teknologi dan industri, bisnis dan manajemen, pariwisata, dan lain sebagainya. Pada bab ini menggambarkan kondisi SMK di Indonesia mengenai akses, mutu, dan profil lulusan SMK sebagai kondisi internal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK. A. Paradigma Pendidikan Kejuruan Ditinjau secara sistemik, pendidikan kejuruan pada dasarnya merupakan subsistem dari sistem pendidikan. Terdapat banyak definisi yang diajukan oleh para ahli tentang pendidikan kejuruan dan definisi-definisi tersebut berkembang seirama dengan persepsi dan harapan masyarakat tentang peran yang harus dimainkannya (Samani, 1992:14). Evans & Edwin (1978:24) mengemukakan bahwa pendidikan kejuruan merupakan bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan individu pada suatu pekerjaan atau kelompok pekerjaan. Harris, seperti yang dikutip oleh Slamet (1990:2), menyatakan pendidikan kejuruan adalah pendidikan untuk suatu pekerjaan atau beberapa jenis pekerjaan yang disukai individu untuk kebutuhan sosialnya. Menurut House Committee on Education and labour (HCEl) pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk pengembangan bakat, pendidikan dasar keterampilan, dan kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada dunia kerja yang dipandang sebagai latihan keterampilan (Malik, 1990:94). Dari definisi tersebut terdapat satu pengertian yang bersifat universal seperti yang dinyatakan oleh National Council for Research into Vocational Education Amerika Serikat (NCRVE, 1981:15), yaitu bahwa pendidikan kejuruan merupakan subsistem pendidikan yang secara khusus membantu peserta didik dalam mempersiapkan diri memasuki lapangan kerja. Dari batasan yang diajukan oleh Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri pendidikan kejuruan dan yang sekaligus 52 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK membedakan dengan jenis pendidikan lain adalah orientasinya pada penyiapan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja. Agak berbeda dengan batasan yang diberikan oleh Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE, Finch & Crunkilton (1984:161) menyebutkan pendidikan kejuruan sebagai pendidikan yang memberikan bekal kepada peserta didik untuk bekerja guna menopang kehidupannya (education for earning a living). Dari definisi yang diajukan oleh Evans & Edwin, Harris, HCEL, NCRVE maupun Finch & Crunkilton dapat disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja pada bidang tertentu, berarti pula mempersiapkan mereka agar dapat memperoleh kehidupan yang layak melalui pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing serta norma-norma yang berlaku. Ciri pendidikan kejuruan sebagai persiapan untuk memasuki dunia kerja dapat dimengerti, karena secara historis pendidikan kejuruan merupakan perkembangan dari latihan dalam pekerjaan (on the job training) dan pola magang (apprenticeship) (Evans & Edwin, 1978:36). Pada pola latihan dalam pekerjaan, peserta didik belajar sambil langsung bekerja sebagai karyawan baru tanpa ada orang yang secara khusus ditunjuk sebagai instruktur, sehingga tidak ada jaminan bahwa peserta didik akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Walaupun demikian, pola latihan dalam pekerjaan memiliki keunggulan karena peserta didik dapat langsung belajar pada keadaan yang sebenarnya sehingga mendorong dia belajar secara inkuiri (Elliot, 1983: 15). Pada pola magang terdapat seorang karyawan senior yang secara khusus ditugasi sebagai instruktur bagi karyawan baru (peserta didik) yang sedang belajar. Instruktur tersebut bertanggung jawab untuk membimbing dan mengajarkan pengetahuan serta keterampilan yang sesuai dengan tugas karyawan baru yang menjadi asuhannya. Dengan demikian, pola magang relatif lebih terprogram dan jaminan bahwa karyawan baru akan dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan tertentu lebih besar dibanding pola latihan dalam pekerjaan (Evans & Edwin, 1978:38). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin canggih membawa pengaruh terhadap pola kerja manusia. Pekerjaan menjadi kompleks dan memerlukan bekal pengetahuan dan keterampilan yang makin tinggi, sehingga pola magang dan latihan dalam pekerjaan kurang memadai karena tidak memberikan dasar teori dan keterampilan sebelum peserta didik memasuki lapangan kerja sebagai karyawan baru. Oleh karena itu kemudian berkembang bentuk sekolah dan latihan kejuruan yang diselenggarakan oleh sekolah kejuruan bekerja sama dengan kalangan industri dengan tujuan memberikan bekal teori dan keterampilan sebelum peserta didik memasuki lapangan kerja. Perlu diingat bahwa pembagian pendidikan kejuruan menjadi beberapa model tersebut bukanlah suatu pembagian yang bersifat eksklusif dan tumpang tindih. Semua model tersebut tetap berjalan bahkan sering digunakan secara saling melengkapi. 53 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Banyak sekolah atau latihan kejuruan yang pada saat tertentu menerapkan latihan dalam pekerjaan atau magang di perusahaan yang sesuai dengan programnya. Ditinjau dari tujuannya, menurut Thorogood (1982:328), di sebagian besar negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pendidikan kejuruan bertujuan untuk: (i) memberikan bekal keterampilan individual dan keterampilan yang laku di masyarakat, sehingga peserta didik secara ekonomis dapat menopang kehidupannya; (ii) membantu peserta didik memperoleh atau mempertahankan pekerjaan dengan jalan memberikan bekal keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan yang diinginkannya; (iii) mendorong produktivitas ekonomi, baik secara regional maupun nasional; (iv) mendorong terjadinya tenaga terlatih untuk menopang perkembangan ekonomi dan industri; (v) mendorong dan meningkatkan kualitas masyarakat. Agak berbeda dengan Thorogood, Evans seperti yang dikutip oleh Wenrich & Wenrich (1974:63) menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan bertujuan untuk: (i) menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh masyarakat; (ii) meningkatkan pilihan pekerjaan yang dapat diperoleh oleh setiap peserta didik; dan (iii) memberikan motivasi kerja kepada peserta didik untuk menerapkan berbagai pengetahuan yang diperolehnya. Dari tujuan pendidikan kejuruan yang diajukan oleh Thorogood dan Evans tersebut dapat disimpulkan bahwa di samping mengemban tugas pendidikan secara umum, pendidikan kejuruan mengemban misi khusus, yaitu memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk memasuki lapangan kerja dan sekaligus menghasilkan tenaga kerja terampil yang dibutuhkan oleh masyarakat. Di samping tujuan khusus yang diajukan oleh Thorogood dan Evans tersebut, Crunkilton (1984:27) menyebutkan bahwa salah satu tujuan utama pendidikan kejuruan adalah meningkatkan kemampuan peserta didik sehingga memperoleh kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Menurut Miner (1974:48-56) bekal yang dipelajari dalam pendidikan kejuruan akan menjadi bekal untuk mengembangkan diri dalam bekerja. Dengan bekal kemampuan mengembangkan diri tersebut diharapkan karier yang bersangkutan dapat meningkat dan pada gilirannya kehidupan mereka akan makin baik (Karabel & Hasley, 1977:14). Penelitian yang dilakukan Nurhadi (1988) dan Samani (1992) ternyata memperkuat pendapat Miner serta Karabel dan Hasley tersebut. Bagi masyarakat Indonesia misi pendidikan kejuruan, seperti diungkapkan oleh Crunkilton tersebut, sangat penting karena pada umumnya SMK berasal dari masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah (Brotosiswoyo, 1991:8), sehingga apabila sekolah kejuruan berhasil mewujudkan misinya berarti akan membantu menaikkan status sosial ekonomi masyarakat tingkat bawah. Dengan kata lain, Sekolah kejuruan dapat membantu meningkatkan mobilitas vertikal dalam masyarakat (Elliot,1983:42). Namun demikian, seiring dengan terjadinya pergeseran tingkat sosial ekonomi masyarakat, paradigma tentang sekolah menengah kejuruan juga mulai bergeser. Peserta didik yang semula 54 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK didominasi oleh golongan ekonomi menengah ke bawah bergeser ke wilayah atas dimana masyarakat mulai beralih menyiapkan generasi yang siap pakai melalui program-program sekolah kejuruan. Pendidikan kejuruan dapat dikelompokkan berdasarkan jenjang dan menurut struktur programnya. Pengelompokan berdasarkan jenjang dapat didasarkan atas jenjang kecanggihan keterampilan yang dipelajari atau jenjang pendidikan formal yang berlaku (Zulbakir & Fazil, 1988:7). Jenjang pendidikan formal yang berlaku dikenal dengan pendidikan kejuruan tingkat sekolah menengah (secondary) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan berbagai program keahlian seperti Listrik, Elektronika Manufaktur, Elektronika Otomasi, Metals, Otomotif, Teknik Pendingin, Gambar Bangunan, Konstruksi Baja, Tata Busana, Tata Boga, Travel and Tourism, dan sebagainya serta tingkat di atas sekolah menengah (post secondary) misalnya politeknik (lEES, 1986:124). Berdasarkan struktur programnya, khususnya dalam kaitan dengan bagaimana sekolah kejuruan mendekatkan programnya dengan dunia kerja, Evans, seperti yang dikutip oleh Hadiwiratama (1980:60-69) membagi sekolah kejuruan menjadi Iima kategori, yaitu (I) program pengarahan kerja (pre vocational guidance education), (2) program persiapan kerja (employability preparation education), (3) program persiapan bidang pekerjaan secara umum (occupational area preparation education), (4) program persiapan bidang kerja spesifik (occupational specific education), dan (5) program pendidikan kejuruan khusus (job specific education). Pada program pengarahan kerja, sekolah memberikan pengetahuan dasar dan umum tentang berbagai jenis pekerjaan di masyarakat sekaligus menumbuhkan apresiasi terhadap berbagai pekerjaan tersebut. Sedangkan pada program persiapan kerja, sekolah memberikan dasar-dasar sikap dan keterampilan kerja, meskipun masih bersifat umum. Dengan program ini peserta didik diharapkan mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan, meskipun tentunya masih harus melalui latihan di dalam pekerjaan. Untuk program persiapan bidang pekerjaan secara umum, SMK memberikan bekal guna meningkatkan kemampuan bekerja untuk bidang pekerjaan yang memerlukan pengetahuan dan peralatan yang sejenis. Dengan program ini diharapkan peserta didik mempunyai pilihan lapangan pekerjaan yang lebih jelas dan lebih cepat mengikuti latihan di dalam pekerjaan. Program persiapan kerja yang spesifik memberikan bekal yang sudah mengarah kepada jenis pekerjaan tertentu, meskipun belum pada suatu perusahaan tertentu. Lebih khusus lagi adalah program pendidikan kejuruan khusus yang, sudah terarah pada pekerjaan khusus, yaitu mendidik siswa untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh suatu perusahaan tertentu. 55 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Penjenjangan kedekatan pendidikan kejuruan yang disebutkan oleh Evans di atas berarti juga kesiapan lulusan dalam memasuki lapangan kerja. Semakin khusus jenis pendidikan kejuruan, akan semakin siap lulusannya memasuki lapangan kerja, tetapi juga semakin sempit bidang pekerjaan yang dapat dimasuki. Walaupun demikian, kecuali untuk keperluan tertentu, pendidikan kejuruan yang khusus (job specific education) sangat sulit diterapkan di Indonesia, mengingat jenis industri di Indonesia sangat bervariasi. Di sinilah mulai timbul dilema antara siap pakai ataukah siap latih dalam pendidikan kejuruan. Dalam kaitan dengan hal tersebut, menurut Semiawan (1991:6), yang penting adalah kesiapan mental untuk mengembangkan dirinya serta keterampilan dasar untuk setiap kali dapat menyesuaikan diri kembali pada perubahan tertentu (retrainability). Dengan bekal tersebut diharapkan lulusan sekolah kejuruan tidak hanya terpancang pada jenis pekerjaan yang ada, tetapi juga terdorong untuk mewujudkan lapangan kerja baru dengan mengembangkan prakarsa dan kreativitasnya secara optimal. B. Karakteristik Pendidikan Kejuruan Meskipun tidak terpisahkan dari sistem pendidikan secara keseluruhan, pendidikan kejuruan mempunyai kekhususan atau karakteristik tertentu yang membedakannya dengan subsistem pendidikan yang lain. Perbedaan ini tidak hanya dalam definisi, struktur organisasi dan tujuan pendidikannya saja, tetapi juga tercermin dalam aspek-aspek lain yang erat kaitannya dengan perencanaan kurikulum, yaitu: 1. Orientasi Pendidikan Kejuruan Sifat pendidikan kejuruan merupakan pendidikan untuk persiapan penyediaan tenaga kerja. Dengan sendirinya orientasi pendidikan kejuruan adalah tertuju pada output atau lulusannya. Memang tidak disangkal bahwa proses pendidikan di sekolah juga merupakan aspek penting yang sangat diperhatikan dalam membantu proses belajar peserta didik, tetapi tujuan akhir adalah jauh lebih luas daripada proses pendidikan itu sendiri. Keberhasilan belajar berupa kelulusan dari sekolah kejuruan adalah tujuan terminal, sedangkan keberhasilan program secara tuntas berorientasi kepada penampilan para lulusannya kelak di lapangan kerja. 2. Justifikasi untuk Eksistensi Untuk mengembangkan program pendidikan kejuruan perlu alas an atau justifikasi khusus yang ini tidak begitu dirasakan untuk pendidikan umum. Justifikasi khusus ini adalah adanya kebutuhan nyata yang dirasakan di perbekalan logistik yang lain. Bengkel dan laboratorium adalah kelengkapan yang umum menyertai eksistensi suatu sekolah kejuruan, selain pengalaman yang biasanya tercantum dalam kerangka kurikulumnya. Ini membuat sekolah kejuruan biasanya memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan dalam penelitian-penelitian yang mengungkap unit pembiayaan selalu dipertanyakan apakah investasi yang besar di bidang pendidikan kejuruan cukup efisien dibandingkan 56 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK dengan hasilnya. Pertanyaan ini sebenarnya kurang adil, sebab studi yang menghasilkan perbandingan unit biaya antar siswa di sekolah umum dan sekolah kejuruan sebenarnya tidak dapat menyentuh persoalan hakikat pengadaan pendidikan kejuruan itu sendiri. 3. Fokus Kurikulum Terdapat pandangan yang keliru dalam masyarakat bahwa kurikulum pendidikan kejuruan memfokuskan pada perkembangan keterampilan psikomotorik dan kurang menekankan pada perkembangan aspek belajar yang lain. Pandangan ini jelas tidak berdasar, karena untuk dapat mempersiapkan seorang warga negara yang produktif dalam arti memanfaatkan potensinya secara optimal, semua aspek baik afektif, kognitif, dan psikomotorik harus berkembang secara simultan. Mengembangkan salah satu aspek saja, selain bertentangan dengan hakikat peserta didik sebagai suatu totalitas pribadi, hal tersebut juga tidak mungkin terjadi secara operasional. Karena pembagian menjadi tiga domain tersebut lebih bersifat teoritik konseptual dan tidak terjadi dalam kenyataan praktis operasional, stimulus dan pengalaman belajar yang disajikan melalui pendidikan kejuruan mencakup rangsangan dan pengalaman belajar yang dapat mengembangkan ketiga domain tersebut berikut panduan integralnya yang siap untuk diaplikasikan baik pada situasi kerja yang terstimulus lewat proses belajar maupun nanti dalam situasi kerja yang sebenarnya. Hal ini termasuk sikap kerja dan orientasi nilai yang mendasari aspirasi, motivasi dan kemampuan kerjanya. 4. Kriteria Keberhasilan Berbeda dengan pendidikan umum, kriteria untuk menentukan keberhasilan suatu lembaga pendidikan kejuruan pada dasarnya menerapkan ukuran ganda, yaitu keberhasilan siswa di sekolah (in school success) dan keberhasilan di luar sekolah (out of school success). Kriteria yang pertama meliputi aspek keberhasilan siswa dalam memenuhi persyaratan kurikuler yang sudah diorientasikan ke persyaratan dunia kerja, sedangkan kriteria yang kedua diindikasikan oleh keberhasilan atau penampilan lulusan setelah berada di dunia kerja yang sebenarnya, seperti misalnya proporsi lulusan yang mendapat pekerjaan sesuai dengan bidang studi, jarak waktu antara kelulusan dan saat mendapatkan pekerjaan pertama, serta keberhasilan lain dalam bentuk imbalan ekonomis. 5. Kepekaan (Responsiveness) Karena komitmen yang tinggi untuk selalu berorientasi ke dunia kerja, pendidikan kejuruan mempunyai ciri lain berupa kepekaan atau daya suai yang tinggi terhadap perkembangan masyarakat pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pasang surutnya suatu bidang pekerjaan, inovasi dan penemuan-penemuan baru di bidang produksi barang dan jasa, adalah sederet tolok ukur yang sangat besar pengaruhnya terhadap kecenderungan perkembangan pendidikan kejuruan. Selain itu, mobilitas kerja baik vertikal maupun horizontal sebagai akibat perkembangan sosial kemasyarakatan, semuanya harus diantisipasi secara cermat 57 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK guna menjamin relevansi yang tinggi antara isi pendidikan kejuruan dengan kebutuhan dunia kerja. 6. Perbekalan dan Logistik Dilihat dari segi peralatan belajar, maka untuk mewujudkan situasi atau pengalaman belajar yang dapat mencerminkan situasi dunia kerja secara realistis dan edukatif diperlukan banyak perlengkapan, sarana dan perbekalan logistik yang lain. Bengkel dan laboratorium adalah kelengkapan yang umum menyertai eksistensi suatu sekolah kejuruan, selain pengalaman yang biasanya tercantum dalam kerangka kurikulumnya. Ini membuat sekolah kejuruan biasanya memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan dalam penelitian-penelitian yang mengungkap unit pembiayaan selalu dipertanyakan apakah investasi yang besar di bidang pendidikan kejuruan cukup efisien dibandingkan dengan hasilnya. Pertanyaan ini sebenarnya kurang adil, sebab studi yang menghasilkan perbandingan unit biaya antar siswa di sekolah umum dan sekolah kejuruan sebenarnya tidak dapat menyentuh persoalan hakikat pengadaan pendidikan kejuruan itu sendiri. 7. Hubungan Masyarakat Erat kaitannya dengan masalah mahalnya penyelenggaraan pendidikan kejuruan dan tingginya tuntutan relevansi dengan dunia kerja, maka masalah hubungan antara sekolah dan masyarakat dalam hal ini khususnya dengan dunia usaha merupakan suatu ciri karakteristik yang penting. Hubungan itu tidak hanya menyangkut partisipasi masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam ikut bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan kejuruan, tetapi lebih jauh menyangkut daya dukung dan daya serap lingkungan yang sangat penting perannya bagi hidup dan matinya suatu lembaga pendidikan kejuruan. Perwujudan hubungan timbal balik yang menunjang ini mencakup adanya dewan penasihat kurikulum kejuruan (curriculum advisory committee), kesediaan dunia usaha menampung peserta didik sekolah kejuruan dalam program kerja sama yang memungkinkan kesempatan pengalaman lapangan, informasi kecenderungan ketenagakerjaan yang selalu dijabarkan ke dalam perencanaan dan implementasi program pendidikan, dan bentuk-bentuk kerja sama saling menguntungkan lainnya. Satu hal penting yang dibutuhkan oleh dunia kerja adalah adanya kompetensi calon pekerja yang akan memasuki dunia kerja. Menurut Paul dan Murdoeh (1992) dalam Syafiq Ahmad (2007), agar dapat bertahan dan unggul dalam kompetisi di dunia kerja, seorang lulusan perguruan tinggi harus dilengkapi dengan kualifikasi kompetensi: (1) pengetahuan umum dan penguasaan bahasa Inggris; (2) keterampilan komunikasi, meliputi penguasaan komputer dan internet, presentasi audiovisual, dan alat-alat komunikasi lain; (3) keterampilan personal meliputi kemandirian, kemampuan komunikasi dan kemampuan mendengar, keberanian, semangat dan kemampuan kerja sama dalam tim, inisiatif, dan keterbukaan; dan (4) fleksibilitas dan motivasi untuk maju yaitu kemampuan beradaptasi sesuai perubahan waktu dan Iingkungan serta keinginan untuk maju sebagai pimpinan. 58 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja secara garis besar dapat dibagi dua yaitu soft competency dan hard competency. Secara definisi, soft competency adalah kompetensi sosial (motivasi, perilaku) yang memberikan gambaran tentang kesiapan seseorang memasuki dunia kerja. Kesiapan tersebut meliputi lima hal utama yaitu (1) tingkat kepercayaan dunia kerja terhadap calon pekerja, (2) kemampuan calon pekerja melaksanakan pekerjaan yang ditawarkan dunia kerja, (3) tingginya motivasi untuk bekerja, (4) kemampuan calon pekerja bekerja sama dengan orang lain, dan (5) kemampuan calon pekerja mengelola dirinya sendiri. Sementara itu, hard competency yaitu kompetensi teknis berupa kompetensi dalam keterampilan dan pengetahuan. Keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan biasanya dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan yang dilakukan di suatu perusahaan. Sumber lain menyebutkan bahwa kompetensi merupakan salah satu kualifikasi seleksi yang meliputi antara lain umur, keahlian, kesehatan fisik, pendidikan, jenis kelamin, karakter, pengalaman kerja, dan kejujuran. Kompetensi disebut juga sebagai keahlian, contohnya technical skill, human skill, conceptual skill, kecakapan untuk memanfaatkan kesempatan serta kecermatan menggunakan peralatan yang dimiliki industri. C. Pemenuhan Akses SMK Peningkatan akses pendidikan merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 untuk memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat agar memenuhi hak dasarnya supaya mendapatkan pendidikan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Peningkatan akses pendidikan ditunjukkan dengan meningkatnya angka partisipasi penduduk usia sekolah yang mendapat akses pendidikan. Gambar 17 menunjukkan profil akses pendidikan menengah di seluruh provinsi di Indonesia tahun 2014 serta perkembangan APK dan APM pendidikan menengah nasional dari tahun 2010 hingga tahun 2014. APK SM pada tahun 2013 telah mengalami penyesuaian dengan diperolehnya angka riil jumlah penduduk berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, termasuk jumlah penduduk usia 16 – 18 tahun (usia SM). Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah secara nasional pada tahun 2013/2014 adalah 74,6 % (gambar 18) dan pada tahun 2014/2015 mencapai 75,53%. Capaian ini naik 5,93 % dari kondisi tahun 2009/2010. Sementara itu APK SMK pada tahun 2014 telah mencapai 31,78% dengan perbandingan antara SMK : SMA adalah sebesar 49,87 berbanding 50,13. APK SMK tertinggi terdapat di Provinsi DI Yogyakarta yang mencapai 49,84% dengan perbandingan SMK : SMA sebesar 62,59 berbanding 38,41, disusul dengan Provinsi DKI Jakarta dengan APK SMK sebesar 45,21%. Peningkatan kelembagaan SMK sangat signifikan, hal ini dapat diketahui dari jumlah SMK pada tahun 2015 pada periode pendataan dapodik per tanggal 31 Oktober 59 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 2015 tercatat sebanyak 12.809 SMK dengan rincian 3.339 SMK berstatus Negeri (26,07%) dan 9.470 SMK berstatus Swasta (73,93%). 60 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Sumber: PDSP 2014, diolah Gambar 17. Perkembangan APK dan APM 2010 - 2014 dan Sebaran Capaian APK per Provinsi Tahun 2014 Sumber: PDSP 2014, diolah Gambar 18. Peta APK SM 2014 per provinsi 61 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Sumber: Dapodik 2015 per 31 Oktober 2015, diolah Gambar 19. Sebaran Jumlah SMK berdasarkan Status Sumber: Dapodik 2015 per 31 Oktober 2015, diolah Gambar 20 Jumlah SMK di Setiap Provinsi Dilihat dari sebaran provinsi, jumlah satuan pendidikan menengah terbanyak adalah di Jawa Barat dengan 2.554 SMK dan di Jawa Timur dengan 1.827 SMK. Secara keseluruhan jumlah SMK di Pulau Jawa mencapai 7.348 atau 57,36 % dari total seluruh SMK di Indonesia diikuti oleh Sumatera (26,04 %), Sulawesi (9,62 %), Kalimantan (6,47 %), Bali dan Nusa Tenggara (6,18 %), dan Maluku serta Papua (3,53 %). Data pada tabel 6 menunjukkan bahwa rasio jumlah siswa SMK terhadap jumlah SMK yang bervariasi antar provinsi, dengan rata-rata 345 siswa per SMK di setiap provinsi. Rasio tertinggi di Provinsi Bali dengan nilai 502 sedangkan terkecil di Provinsi Maluku Utara dengan nilai 136. 62 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Tabel 6. Perbandingan Jumlah Sekolah dan Jumlah Siswa SMK SMK Rasio Provinsi Siswa : SMK Siswa Sekolah D.K.I. Jakarta 206.898 592 349 Jawa Barat 922.672 2.554 361 Jawa Tengah 717.975 1.531 468 D.I. Yogyakarta 82.483 219 376 Jawa Timur 672.786 1.827 368 Aceh 47.061 190 247 Sumatera Utara 283.294 936 302 Sumatera Barat 76.358 202 378 Riau 80.628 265 304 Jambi 43.188 159 271 Sumatera Selatan 95.777 263 364 Lampung 121.174 412 294 Kalimantan Barat 53.806 180 298 Kalimantan Tengah 28.442 128 222 Kalimantan Selatan 50.482 120 420 Kalimantan Timur 70.636 212 333 Sulawesi Utara 47.352 169 280 Sulawesi Tengah 37.713 168 224 Sulawesi Selatan 125.695 423 297 Sulawesi Tenggara 29.613 141 210 Maluku 17.163 105 163 Bali 84.943 169 502 Nusa Tenggara Barat 62.788 266 236 Nusa Tenggara Timur 60.608 253 239 Papua 25.366 117 216 63 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK SMK Rasio Provinsi Siswa : SMK Siswa Sekolah Bengkulu 25.029 89 281 Maluku Utara 15.065 110 136 Banten 225.023 625 360 Bangka Belitung 21.688 54 401 Gorontalo 18.952 52 364 Kepulauan Riau 24.790 88 281 Papua Barat 10.971 47 233 Sulawesi Barat 24.960 117 213 Kalimantan Utara 8.011 26 308 4.419.390 12.809 345 Nasional Sumber: Dapodik 2015 per 31 Oktober 2015, diolah D. Kondisi Mutu SMK Jaminan kualitas lulusan SMK sangat bergantung pada kualitas layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah. Peningkatan akses pendidikan harus dilakukan sejalan dengan peningkatan mutu layanan pendidikan. Pendidikan menengah khususnya SMK merupakan titik kritis karena lulusan yang dihasilkannya sebagian besar merupakan masukan langsung bagi dunia kerja di samping dari pendidikan tinggi. Kualitas layanan pendidikan yang rendah akan berdampak signifikan pada kualitas tenaga kerja di Indonesia. Tabel 7. Spektrum Keahlian dan Program Studi SMK Provinsi/Bidang Keahlian Spektrum Provinsi/Bidang Keahlian Spektrum Prov. Aceh 72 Perikanan dan Kelautan 5 Agribisnis dan Agroteknologi 11 Seni Rupa dan Kriya 4 Bisnis dan Manajemen 5 Seni Pertunjukan 1 Kesehatan 3 Teknologi dan Rekayasa 32 Pariwisata 7 Teknologi Informasi dan Komunikasi 4 64 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Provinsi/Bidang Keahlian Spektrum Provinsi/Bidang Keahlian Teknologi Informasi dan Komunikasi Prov. Bali Spektrum 5 48 Agribisnis dan Agroteknologi 5 Prov. Bengkulu 57 Bisnis dan Manajemen 4 Agribisnis dan Agroteknologi 7 Kesehatan 3 Bisnis dan Manajemen 4 Pariwisata 6 Kesehatan 4 Perikanan dan Kelautan 2 Pariwisata 7 Seni Pertunjukan 4 Perikanan dan Kelautan 5 Seni Rupa dan Kriya 9 Seni Pertunjukan 2 Teknologi dan Rekayasa 12 Seni Rupa dan Kriya 3 Teknologi Informasi dan Komunikasi 3 Teknologi dan Rekayasa 20 Teknologi Informasi dan Komunikasi 5 Prov. Bangka Belitung 38 Agribisnis dan Agroteknologi 6 Prov. D.I. Yogyakarta Bisnis dan Manajemen 4 Agribisnis dan Agroteknologi 7 Kesehatan 2 Bisnis dan Manajemen 4 Pariwisata 5 Kesehatan 4 Perikanan dan Kelautan 4 Pariwisata 7 Teknologi dan Rekayasa 14 Perikanan dan Kelautan 5 Teknologi Informasi dan Komunikasi 3 Seni Pertunjukan 6 Seni Rupa dan Kriya 10 74 Prov. Banten 72 Teknologi dan Rekayasa 26 Agribisnis dan Agroteknologi 10 Teknologi Informasi dan Komunikasi 5 Bisnis dan Manajemen 5 Kesehatan 3 Prov. D.K.I. Jakarta Pariwisata 7 Agribisnis dan Agroteknologi 2 Perikanan dan Kelautan 4 Bisnis dan Manajemen 5 Seni Pertunjukan 2 Kesehatan 5 Seni Rupa dan Kriya 5 Pariwisata 7 Seni, Kerajinan dan Pariwisata 1 Perikanan dan Kelautan 5 Teknologi dan Rekayasa 30 Seni Pertunjukan 4 65 65 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Provinsi/Bidang Keahlian Spektrum Provinsi/Bidang Keahlian Spektrum Seni Rupa dan Kriya 6 Seni Rupa dan Kriya 7 Teknologi dan Rekayasa 25 Teknologi dan Rekayasa 47 Teknologi Informasi dan Komunikasi 6 Teknologi Informasi dan Komunikasi 7 Prov. Gorontalo 47 Prov. Jawa Tengah 101 Agribisnis dan Agroteknologi 10 Agribisnis dan Agroteknologi 14 Bisnis dan Manajemen 3 Bisnis dan Manajemen 5 Kesehatan 3 Kesehatan 5 Pariwisata 5 Pariwisata 7 Perikanan dan Kelautan 5 Perikanan dan Kelautan 5 Seni Rupa dan Kriya 2 Seni Pertunjukan 6 Teknologi dan Rekayasa 15 Seni Rupa dan Kriya 8 Teknologi Informasi dan Komunikasi 4 Teknologi dan Rekayasa 45 Teknologi Informasi dan Komunikasi 6 Prov. Jambi 54 Agribisnis dan Agroteknologi 10 Prov. Jawa Timur 99 Bisnis dan Manajemen 5 Agribisnis dan Agroteknologi 15 Kesehatan 3 Bisnis dan Manajemen 5 Pariwisata 6 Kesehatan 7 Perikanan dan Kelautan 5 Pariwisata 7 Seni Rupa dan Kriya 4 Perikanan dan Kelautan 5 Teknologi dan Rekayasa 18 Seni Pertunjukan 7 Teknologi Informasi dan Komunikasi 3 Seni Rupa dan Kriya 9 Seni, Kerajinan dan Pariwisata 2 Teknologi dan Rekayasa 36 Teknologi Informasi dan Komunikasi 6 Prov. Jawa Barat 106 Agribisnis dan Agroteknologi 16 Bisnis dan Manajemen 5 Kesehatan 5 Prov. Kalimantan Barat 55 Pariwisata 7 Agribisnis dan Agroteknologi 10 Perikanan dan Kelautan 5 Bisnis dan Manajemen 4 Seni Pertunjukan 7 Kesehatan 1 66 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Provinsi/Bidang Keahlian Spektrum Provinsi/Bidang Keahlian Spektrum Pariwisata 5 Bisnis dan Manajemen 5 Perikanan dan Kelautan 5 Kesehatan 5 Seni Rupa dan Kriya 5 Pariwisata 7 Seni Pertunjukan 1 Perikanan dan Kelautan 5 Teknologi dan Rekayasa 19 Seni Pertunjukan 1 Teknologi Informasi dan Komunikasi 5 Seni Rupa dan Kriya 5 Teknologi dan Rekayasa 29 Teknologi Informasi dan Komunikasi 3 Prov. Kalimantan Selatan 56 Agribisnis dan Agroteknologi 8 Bisnis dan Manajemen 4 Prov. Kalimantan Utara 33 Kesehatan 4 Agribisnis dan Agroteknologi 5 Pariwisata 6 Bisnis dan Manajemen 4 Perikanan dan Kelautan 3 Kesehatan 2 Seni Pertunjukan 3 Pariwisata 4 Seni Rupa dan Kriya 6 Perikanan dan Kelautan 5 Teknologi dan Rekayasa 17 Teknologi dan Rekayasa 11 Teknologi Informasi dan Komunikasi 5 Teknologi Informasi dan Komunikasi 2 Prov. Kalimantan Tengah 48 Prov. Kepulauan Riau Agribisnis dan Agroteknologi 11 Agribisnis dan Agroteknologi 7 Bisnis dan Manajemen 4 Bisnis dan Manajemen 4 Kesehatan 3 Kesehatan 3 Pariwisata 5 Pariwisata 6 Perikanan dan Kelautan 2 Perikanan dan Kelautan 5 Seni Rupa dan Kriya 2 Seni Rupa dan Kriya 1 Seni Pertunjukan 1 Seni Pertunjukan 1 Teknologi dan Rekayasa 17 Teknologi dan Rekayasa 22 Teknologi Informasi dan Komunikasi 3 Teknologi Informasi dan Komunikasi 4 Prov. Kalimantan Timur 73 Prov. Lampung Agribisnis dan Agroteknologi 13 Agribisnis dan Agroteknologi 53 63 9 67 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Provinsi/Bidang Keahlian Spektrum Provinsi/Bidang Keahlian Spektrum Bisnis dan Manajemen 5 Kesehatan 3 Kesehatan 4 Pariwisata 7 Pariwisata 6 Perikanan dan Kelautan 4 Perikanan dan Kelautan 6 Seni Pertunjukan 2 Seni Rupa dan Kriya 5 Seni Rupa dan Kriya 6 Teknologi dan Rekayasa 24 Teknologi dan Rekayasa 20 Teknologi Informasi dan Komunikasi 4 Teknologi Informasi dan Komunikasi 4 Prov. Maluku 58 Prov. Nusa Tenggara Timur 58 Agribisnis dan Agroteknologi 12 Agribisnis dan Agroteknologi 14 Bisnis dan Manajemen 3 Bisnis dan Manajemen 3 Kesehatan 6 Kesehatan 5 Pariwisata 6 Pariwisata 6 Perikanan dan Kelautan 7 Perikanan dan Kelautan 6 Seni Pertunjukan 2 Seni Rupa dan Kriya 4 Seni Rupa dan Kriya 3 Teknologi dan Rekayasa 17 Teknologi dan Rekayasa 14 Teknologi Informasi dan Komunikasi 3 Teknologi Informasi dan Komunikasi 5 Prov. Maluku Utara 40 Prov. Papua 60 Agribisnis dan Agroteknologi 11 Agribisnis dan Agroteknologi 6 Bisnis dan Manajemen 4 Bisnis dan Manajemen 4 Kesehatan 5 Kesehatan 5 Pariwisata 5 Pariwisata 6 Perikanan dan Kelautan 7 Perikanan dan Kelautan 4 Seni Rupa dan Kriya 3 Teknologi dan Rekayasa 12 Teknologi dan Rekayasa 21 Teknologi Informasi dan Komunikasi 3 Teknologi Informasi dan Komunikasi 4 Prov. Nusa Tenggara Barat 64 Prov. Papua Barat 43 Agribisnis dan Agroteknologi 13 Agribisnis dan Agroteknologi 10 Bisnis dan Manajemen 5 Bisnis dan Manajemen 4 68 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Provinsi/Bidang Keahlian Spektrum Provinsi/Bidang Keahlian Spektrum Kesehatan 3 Pariwisata 7 Pariwisata 5 Perikanan dan Kelautan 6 Perikanan dan Kelautan 4 Seni Pertunjukan 5 Teknologi dan Rekayasa 14 Seni Rupa dan Kriya 6 Teknologi Informasi dan Komunikasi 3 Teknologi dan Rekayasa 27 Teknologi Informasi dan Komunikasi 6 Prov. Riau 74 Agribisnis dan Agroteknologi 13 Prov. Sulawesi Tengah 55 Bisnis dan Manajemen 5 Agribisnis dan Agroteknologi 12 Kesehatan 3 Bisnis dan Manajemen 5 Pariwisata 7 Kesehatan 5 Perikanan dan Kelautan 4 Pariwisata 7 Seni Rupa dan Kriya 4 Perikanan dan Kelautan 4 Seni, Kerajinan dan Pariwisata 1 Seni Rupa dan Kriya 3 Teknologi dan Rekayasa 33 Teknologi dan Rekayasa 15 Teknologi Informasi dan Komunikasi 4 Teknologi Informasi dan Komunikasi 4 Prov. Sulawesi Barat 40 Prov. Sulawesi Tenggara 55 Agribisnis dan Agroteknologi 11 Agribisnis dan Agroteknologi 9 Bisnis dan Manajemen 3 Bisnis dan Manajemen 4 Kesehatan 2 Kesehatan 4 Pariwisata 4 Pariwisata 5 Perikanan dan Kelautan 4 Perikanan dan Kelautan 5 Seni Rupa dan Kriya 1 Seni Rupa dan Kriya 3 Teknologi dan Rekayasa 12 Teknologi dan Rekayasa 19 Teknologi Informasi dan Komunikasi 3 Teknologi Informasi dan Komunikasi 6 Prov. Sulawesi Selatan 83 Prov. Sulawesi Utara 51 Agribisnis dan Agroteknologi 16 Agribisnis dan Agroteknologi 8 Bisnis dan Manajemen 5 Bisnis dan Manajemen 4 Kesehatan 5 Kesehatan 4 69 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Provinsi/Bidang Keahlian Spektrum Provinsi/Bidang Keahlian Spektrum Pariwisata 5 Perikanan dan Kelautan 3 Perikanan dan Kelautan 5 Seni Rupa dan Kriya 7 Seni Rupa dan Kriya 3 Seni Pertunjukan 1 Teknologi dan Rekayasa 18 Teknologi dan Rekayasa 20 Teknologi Informasi dan Komunikasi 4 Teknologi Informasi dan Komunikasi 4 Prov. Sumatera Barat 78 Prov. Sumatera Utara 83 Agribisnis dan Agroteknologi 9 Agribisnis dan Agroteknologi 11 Bisnis dan Manajemen 5 Bisnis dan Manajemen 5 Kesehatan 6 Kesehatan 5 Pariwisata 7 Pariwisata 7 Perikanan dan Kelautan 5 Perikanan dan Kelautan 5 Seni Pertunjukan 4 Seni Pertunjukan 2 Seni Rupa dan Kriya 9 Seni Rupa dan Kriya 5 Teknologi dan Rekayasa 29 Seni, Kerajinan dan Pariwisata 3 Teknologi Informasi dan Komunikasi 4 Teknologi dan Rekayasa 36 Teknologi Informasi dan Komunikasi 4 Prov. Sumatera Selatan 56 Agribisnis dan Agroteknologi 8 Bisnis dan Manajemen 5 Kesehatan 2 Pariwisata 6 Hasil Ujian Nasional Capaian Ujian Nasional SMK tahun 2013/2014 ditunjukkan pada tabel 8. Rata-rata capaian UN SMK di tingkat nasional adalah 6,35. Sebaran capaian Nilai UN rata-rata per provinsi untuk SMK kurang menggembirakan karena hanya 2 dari 34 provinsi memiliki nilai rata-rata di atas 7,0. Pada gambar 21 ditunjukkan juga terdapat 12 provinsi dari 34 provinsi memiliki nilai UN dengan rata-rata di atas rata-rata nilai ujian Nasional. 70 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Tabel 8. Capaian Nilai UN SMK Tahun 2013/2014 Nilai Ujian Bahasa Indonesia Bahasa Inggris Matematika Kompetensi Rata-Rata Nilai Klasifikasi B C D A B Rata-Rata 7.01 5.97 5.10 8.06 26.14 Terendah 1.00 1.20 0.50 2.29 1.40 Tertinggi 10.00 10.00 10.00 10.00 39.03 Standar Deviasi 1.49 1.64 2.14 0.56 4.56 Sumber: Puspendik 2014, diolah Sumber: Puspendik 2014, diolah Gambar 21. Capaian UN SMK Tahun 2011/2012 per Provinsi 71 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kinerja capaian mutu pendidikan atau mutu keluaran proses pendidikan merupakan dampak dari kualitas penyelenggaraan layanan pendidikan di satuan pendidikan. Sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, standar pelayanan minimal pendidikan adalah Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dengan demikian sebagai bentuk akuntabilitas kualitas layanan pendidikan yang diselenggarakan maka setiap satuan pendidikan harus diakreditasi dan setiap tenaga pendidik dan kependidikan harus disertifikasi. Akreditasi Dari total 12.809 SMK, sebanyak 21,39% telah diakreditasi. Gambar 22 menunjukkan bahwa provinsi dengan persentase tertinggi SMK yang diakreditasi adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara. Bila dibandingkan dengan rata-rata capaian nasional, 22 dari 34 provinsi telah memiliki persentase sekolah diakreditasi melebihi nasional dan 12 provinsi masih di bawah rata-rata nasional. Bahkan untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Maluku Utara masih di bawah 10 %. Sumber: BAN SM 2014, diolah Gambar 22. Persentase SMK yang Diakreditasi di Setiap Provinsi 72 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Gambaran ini cukup mengkhawatirkan karena pertumbuhan berbagai program keahlian tidak dilengkapi dengan jaminan pelayanan pendidikan yang berstandar. SMK sebagai salah satu penyumbang tenaga kerja potensial belum dapat menjamin kualitas pelayanan untuk menjamin peserta didik untuk mendapat kompetensi yang dibutuhkan di dunia kerja. Dilihat dari capaian SMK yang telah terakreditasi (gambar 23), terdapat sebesar 39% SMK telah memiliki akreditasi A; 46% memiliki akreditasi B; 13% memiliki akreditasi C dan 2% tidak terakreditasi. Dengan demikian terdapat sebesar 85% SMK yang telah diakreditasi di Indonesia telah terakreditasi A dan B. Sumber: BAN SM 2014, diolah Gambar 23. Hasil Akreditasi Sekolah pada SMA/MA dan Program Keahlian SMK 73 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kompetensi Guru SMK Jika dilihat dari segi kompetensi, guru yang berpendidikan S1 dan S2/S3 ternyata mempunyai kompetensi yang tidak terlalu jauh berbeda dengan guru yang berpendidikan D3 dan di bawah D3. Hal ini ditunjukkan pada gambar 23.1 bahwa tidak ada perbedaan signifikan atas rata-rata nilai Ujian Kompetensi Guru dari guru yang berpendidikan S1 dan S2/S3 dan guru yang berpendidikan D3 dan di bawah D3. Sumber: Bappenas Gambar 23.1 Rata-Rata Nilai Ujian Kompetensi Guru SMK Rasio Guru SMK dan Peserta Didik Jika dilihat berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru Pasal 17 bahwa setelah tahun 2015 menetapkan bahwa guru SMK tetap pemegang sertifikat pendidik berhak mendapatkan tunjangan profesi apabila mengajar di satuan pendidikan yang rasio minimal jumlah peserta didik terhadap gurunya 15:1. Adapun sebaran rasio antara jumlah peserta didik dengan guru SMK di Indonesia dapat dilihat pada gambar 24. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa seluruh Pulau jawa memiliki rasio peserta didik dengan guru SMK lebih dari 20, sedangkan untuk wilayah Papua, sebagian Kalimantan dan sedikit Sumatera memiliki rasio peserta didik dengan guru SMK berkisaran antara 10-12. 74 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Sumber: Dit.PTK Dikmen 2013, diolah Gambar 24 Peta Sebaran Guru dan Peserta Didik Kondisi Guru Produktif SMK Selanjutnya jika lihat kebutuhan guru produktif SMK berdasarkan bidang keahlian yang ada dibandingkan dengan kebutuhan ideal, Indonesia masih mengalami kekurangan guru produktif sebagaimana dijelaskan pada gambar 25. Sumber: Dit.PTK Dikmen 2013, diolah Gambar 25 Kebutuhan Guru Produktif SMK Dari gambar grafik tersebut dapat diketahui bahwa kekurangan terbanyak guru produktif SMK bidang keahlian teknologi dan rekayasa dan bidang keahlian Bisnis Manajemen. Adapun rincian selisih kebutuhan guru produktif SMK yang dibutuhkan dengan kondisi riil di lapangan dapat dijelaskan pada tabel 8. 75 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Tabel 9. Capaian Nilai UN SMK Tahun 2013/2014 Status Guru Bidang Keahlian (Produktif) PNS DPK PNS GTY GTT Jml. Guru Total Jml. Guru Tetap Ideal Selisih Total Selisih Guru Tetap Teknologi dan Rekayasa 10.200 2.184 2.675 9.321 24.380 15.509 37.940 -13.560 22.881 Teknologi Informasi dan Komunikasi 322 98 178 463 1.061 598 1.340 -279 -742 32 37 77 110 256 146 342 -86 -196 Agribisnis dan Agroteknologi 1.640 126 123 1.118 3.007 1.889 3.533 -526 -1.644 Perikanan dan Kelautan 822 137 242 1.051 2.252 1.201 2.370 -118 -36.917 Bisnis dan Manajemen 7.768 2.801 4.085 12.488 27.142 14.654 51.571 -24.429 -4.994 Pariwisata 3.016 299 501 2.226 6.042 3.816 8.810 -2.768 -315 471 40 562 235 802 567 882 -80 -4.994 Seni Pertunjukan 13 2 2 10 27 17 28 -1 -11 Jumlah Guru Bidang Keahlian (Produktif) 24.284 5.724 7.939 27.022 64.969 37.947 106.815 -41.846 -68.868 Kesehatan Seni Rupa dan Kerajinan Sumber: Dit.PTK Dikmen 2013, diolah Kualifikasi Guru SMK Berdasarkan data pada tabel 9.1 dapat diketahui bahwa di Indonesia seluruh guru SMK berjumlah 359.099 orang. Dari jumlah tersebut masih terdapat sebesar 218.614 orang guru SMK atau sebesar 61% yang belum memiliki kualifikasi S1 dan ada sebesar 140.485 orang guru SMK atau sebesar 39% yang telah memiliki kualifikasi ≥ S1. Tabel 9.1 Jumlah Guru SMK berdasarkan Kualifikasi Jumlah Guru SMK Berdasarkan Kualifikasi No Status Guru Total ≤ S1 ≥ S1 1 Negeri 72.884 68.697 141.581 2 Swasta 145.730 71.788 217.518 218.614 140.485 359.099 TOTAL Sumber: PDSP tahun 2014/2015, diolah 76 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan karena kualifikasi guru SMK memengaruhi kualitas lulusan SMK. Penyumbang terbesar guru SMK yang belum memiliki kualifikasi S1 adalah SMK swasta yaitu sebesar 145.730 orang guru SMK. Hal ini menjadi tantangan yang cukup berat untuk meningkatkan kualitas lulusan bagi SMK swasta di Indonesia. Kondisi Ruang Kelas SMK Kualitas pembelajaran di SMK secara tidak langsung sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan ruang kelas. Berdasarkan data pada gambar 26 dapat diketahui bahwa secara nasional SMK memiliki 127.860 ruang kelas. Dari jumlah tersebut terdapat 43% atau sebanyak 54.585 ruang kelas dengan kondisi baik, 43% atau sebanyak 55.527 ruang kelas dengan kondisi rusak ringan, 2% atau sebanyak 2.864 ruang kelas dengan kondisi rusak sedang, 2% atau sebanyak 2.255 ruang kelas dengan kondisi rusak berat dan 10% atau sekitar 12.629 ruang kelas rusak total. Jika akumulasi antara ruang kelas dengan kondisi baik dibandingkan dengan ruang kelas dengan kondisi rusak adalah sebesar 43% dibandingkan 57%. Jadi secara umum kondisi ruang kelas SMK yang rusak dengan berbagai variasinya lebih tinggi dibandingkan dengan ruang kelas SMK dalam kondisi baik. Sumber: PDSP tahun 2014/2015, diolah Gambar 26 Kondisi Ruang Kelas SMK E. Profil Lulusan SMK Profil lulusan SMK menggambarkan kondisi terkini dari lulusan SMK baik dari sisi suplai maupun kebutuhan pasar kerja. Dari sisi suplai, perkembangan angka lulusan SMK cenderung mengalami tren peningkatan. Kenaikan ini didukung oleh gencarnya Kemendikbud dalam mempromosikan SMK sebagai pilihan dalam menempuh pendidikan menengah. 77 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Sumber: PDSP 2014, diolah Gambar 27. Perkembangan lulusan SMK Sumber: PDSP 2014, diolah Gambar 28. Persentase Angka Ketidaklulusan SMK 78 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Gambar 28 memperlihatkan persentase angka ketidaklulusan SMK pada tahun 2014. Secara nasional angka lulusan SMK telah mencapai 99,37%, terdapat 6 provinsi dengan angka kelulusan di atas rata-rata nasional. Dilihat secara lebih spesifik, jumlah tamatan SMK berdasarkan program studi/ keahlian, dapat dilihat pada gambar 29. Lulusan dengan Bidang Keahlian Teknologi dan Rekayasa menempati urutan teratas dengan 34%, disusul Bisnis dan Manajemen dengan capaian 27%, selanjutnya Teknologi Informasi dan Komunikasi sebesar 22%. Hal menunjukkan bahwa minat peserta didik SMK lebih banyak kepada Teknologi dan Bisnis, padahal secara sumber daya, peta komoditas masih didominasi oleh pangan dan sandang, sehingga perlu dilakukan langkah strategis menata program keahlian untuk memenuhi SDM yang dibutuhkan oleh industri. Sumber: PDSP 2014, diolah Gambar 29. Jumlah Tamatan SMK berdasarkan Program Keahlian 79 BAB IV KONSEP TEACHING FACTORY DAN TECHNOPARK DI SMK DAFTAR ISI A. Rasional 82 B. Dasar Hukum 86 C. Konsep Teaching Factory di SMK 90 D. Konsep Technopark di SMK 114 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK BAB IV KONSEP TEACHING FACTORY DAN TECHNOPARK DI SMK A. Rasional Peta tenaga kerja di Indonesia pada tahun 2014 masih didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD) atau tidak tamat SD yaitu sebanyak 45,66%. Sementara itu, tenaga kerja lulusan SMP adalah sebesar 17,98%, tenaga kerja lulusan SMA adalah sebesar 16,86%, dan tenaga kerja lulusan SMK adalah sebesar 9,73%. Tenaga kerja Indonesia yang berasal dari lulusan Diploma 1/Diploma 2/Diploma 3 hanya 2,58%, dan sisanya, tenaga kerja yang berasal dari lulusan S1/D4 adalah 7,19% (gambar 30). Keterbatasan kualitas SDM Indonesia tersebut sekaligus menjustifikasi masih rendahnya kualitas dan produktivitas masyarakat Indonesia di berbagai sektor. Kondisi tersebut membuat pemerintah harus melaksanakan kebijakan yang dapat meningkatkan kualifikasi dan kompetensi warga negaranya. Sumber : Proyeksi BPS tahun 2014 Gambar 30. Peta dan Proyeksi Angkatan Pekerja menurut Pendidikan Tertinggi Di sisi lain, penyerapan tenaga kerja oleh industri secara kuantitatif masih tidak sebanding dengan daya tampung industri per tahun. Secara umum, proporsi pencari kerja setiap tahun hampir didominasi oleh lulusan SMA dan SMK. Pada tahun 2013, pencari kerja dengan pendidikan tertinggi SMA mencapai 26% sedangkan SMK mencapai 17%. Sementara itu pada tahun 2014, SMA mencapai 27% dan SMK 18,4% (gambar 31). Walaupun keduanya mengalami kenaikan, namun kenaikan tertinggi dialami oleh pencari kerja lulusan SMK. Salah satu masalah yang dihadapi adalah adanya kesenjangan capaian kompetensi para lulusan institusi Pendidikan Kejuruan dengan kebutuhan riil dunia usaha/ 82 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK dunia industri, keadaan ini dapat diindikasikan sebagai rendahnya daya serap tenaga kerja lulusan. Sumber : BPS tahun 2014 Gambar 31. Jumlah Pencari Kerja Menurut Pendidikan Tertinggi Sementara itu, beberapa permasalahan telah dapat diidentifikasi dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan di antaranya adalah: 1) masih rendahnya partisipasi masyarakat untuk membiayai pendidikan, terutama di bidang kejuruan, okupasi bahkan saat ini terjadi kemerosotan peminat di bidang keteknikan atau kejuruan, 2) tingginya prosentase lulusan bidang keteknikan dan kejuruan yang belum mendapat kerja, 3) penyelenggaraan pendidikan program kejuruan membutuhkan biaya yang tinggi dibandingkan dengan pendidikan program ilmu sosial, 4) kurikulum yang dipakai kurang mempunyai tingkat keluwesan dan terlalu terstruktur sehingga kurang peka terhadap tuntutan kebutuhan lapangan kerja secara luas dan kurang berorientasi ke pasar kerja, dan 5) pendidikan kejuruan dan pendidikan lainnya mengalami penurunan kualitas dan kuantitas. Menyikapi hal tersebut, otoritas pendidikan mengadopsi dan mengadaptasikan program “Link and Match ” meskipun belum menunjukkan hasil yang signifikan. Oleh karena itu pengembangan lebih lanjut serta strategi implementasi yang lebih operasional untuk meningkatkan kualitas Sekolah Menengah Kejuruan. Agar kepercayaan masyarakat yang tinggi kepada Sekolah Menengah Kejuruan tetap dapat terpelihara, Sekolah Menengah Kejuruan harus menata kembali orientasi program pendidikannya. Pergeseran kebutuhan kualifikasi tenaga kerja di industri sudah seharusnya diantisipasi oleh SMK. Penyelenggaraan program pendidikan SMK harus ditata kembali sehingga benarbenar berorientasi pada program yang dibutuhkan masyarakat, meskipun kebutuhan masyarakat akan program pendidikan kejuruan berkembang sejalan dengan perubahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, di samping ilmu pengetahuan dan teknologi. 83 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Menjawab berbagai tantangan di atas, dimana terjadi ketimpangan antara lulusan SMK di satu sisi dan kebutuhan dunia industri di sisi lain, maka SMK harus mampu melakukan terobosan dalam hal pengembangan kurikulum dan pembelajaran. Di lain pihak, otoritas pendidikan melihat permasalahan dalam penyelenggaraan pendidikan teknologi dan kejuruan dari dua sisi, yaitu: • Pada sisi permintaan, kalangan industri menyatakan bahwa kualifikasi para lulusan belum sesuai dengan harapan dunia usaha/dunia industri, baik dalam penguasaan hard skill (keterampilan), soft skill (etos kerja dan kemandirian), maupun communication skill yang dibutuhkan guna mengantisipasi perkembangan teknologi. Singkatnya, dibutuhkan pekerja yang terampil dan bersikap baik (produktif dan tahan banting). • Pada sisi penawaran, institusi dihadapkan pada keterbatasan sumber daya (sarana, SDM, finansial) dan rendahnya keterlibatan dunia usaha/dunia industri sebagai pengguna lulusan dalam pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan, sehingga terjadi kesenjangan informasi tentang tuntutan industri. Agar industri Indonesia mampu bersaing secara global, maka sudah saatnya SMK sebagai institusi pencetak SDM di bidang kejuruan tingkat menengah merespons cepat perkembangan ekonomi berbasis informasi yang sangat pesat dan dinamis dengan konsep pendidikan abad ke 21 (“21th Century Skills”). Pekerjaan di ekonomi global yang berbasis informasi menuntut pentingnya kompetensi baru yang mampu mengimbangi perkembangan industri yang pesat. Pendidikan diarahkan tidak cukup sekadar pada tahap mengetahui (Understanding), tapi harus sanggup mencapai kemampuan Higher Order Thinking Skills, yaitu mengaplikasikan (Applying – menjadi berguna), menganalisa (Analyzing), mengevaluasi (Evaluating – Critical Thinking) dan memecahkan masalah (creating / problem solving). Pendidikan dilaksanakan dengan tujuan mencapai SDM dengan kemampuan berpikir yang diformulasikan sebagai “Higher Order Thinking Skills” (HOTS) bertujuan membentuk SDM dengan kemampuan berinovasi dan mampu memecahkan permasalahan. Aspek Kognitif, Afektif (Perilaku/Sikap) dan Psikomotorik harus dihantarkan sebagai satu kesatuan dalam pembelajaran yang sebagai hasil akhir adalah SDM yang berorientasi inovasi dan mampu memecahkan masalah. Hal ini dibuktikan dengan sikap dan perilaku profesional, pekerja keras, komunikatif, mampu bekerja sama dalam tim, efisien, jujur, adil, dan ahli dalam bidangnya. 84 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Upaya lanjutan dalam implementasi program peningkatan kualitas lulusan SMK seperti disebutkan di atas perlu dilakukan melalui penerapan konsep Teaching Factory. Konsep ini menekankan pendidikan yang lebih demand oriented, membekali para peserta didik dengan karakter kewirausahaan (entrepreneurship) dan melibatkan dunia usaha/ dunia industri sebagai mitra utama. Melalui pola Teaching Factory, optimalisasi kerja sama pendidikan dengan industri berdampak pada proses pembelajaran yang semakin berorientasi pada kebutuhan industri. Kerja sama (partnership) yang dibangun secara sistematis dan berdasarkan pada kerja sama saling menguntungkan (win-win solution) menjadikan Teaching Factory sebagai penghubung antara dunia pendidikan dengan dunia usaha/dunia industri yang akan mendorong terjadinya transfer teknologi guna meningkatkan kualitas guru dan softskill bagi peserta didik. Teaching Factory adalah suatu konsep pembelajaran dalam suasana sesungguhnya, sehingga dapat menjembatani kesenjangan kompetensi antara kebutuhan industri dan pengetahuan sekolah. Teknologi pembelajaran yang inovatif dan praktik produktif merupakan konsep metode pendidikan yang berorientasi pada manajemen pengelolaan siswa dalam pembelajaran agar selaras dengan kebutuhan dunia industri. Dalam pengertian lain bahwa pembelajaran berbasis produksi adalah suatu proses pembelajaran keahlian atau keterampilan yang dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prosedur dan standar bekerja yang sesungguhnya (real job) untuk menghasilkan barang atau jasa yang sesuai dengan tuntutan pasar atau konsumen. Dengan kata lain barang yang diproduksi dapat berupa hasil produksi atau jasa yang dapat dijual atau yang dapat digunakan oleh masyarakat, sekolah atau konsumen sebagai bukti bahwa siswa SMK tidak hanya kompeten dalam keahlian (skill) tertentu, namun juga mampu mengaplikasikan kompetensinya menjadi sesuatu yang berguna. Sejalan dengan hal tersebut, diperlukan wadah atau sarana untuk menampung hasil-hasil produksi dari Teaching Factory untuk memasarkan hasil produksi tersebut kepada konsumen atau dunia industri yang membutuhkan. Technopark merupakan salah satu bentuk wadah untuk menghubungkan institusi pendidikan dengan dunia industri. Dengan adanya Technopark maka penggabungan dunia industri dan dunia pendidikan merupakan suatu keniscayaan. Selain itu, dengan adanya Technopark akan memungkinkan aliran informasi dan teknologi secara lebih efisien dan cepat antar dunia industri dan pendidikan, sekaligus dapat mendongkrak pengembangan potensi daerah dengan mengakselerasi program wirausaha (entrepreneurship) di SMK. 85 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Sumber : OECD tahun 2014 Gambar 32. Persentase Peserta Didik pada Pendidikan Menengah Kejuruan Seperti dinyatakan di awal, peningkatan daya saing bangsa sangat identik dengan peningkatan kualitasi sumber daya manusia. Di negara-negara OECD pengembangan pendidikan kejuruan telah dilaksanakan sejak lama. Hal ini terlihat dari angka partisipasi pada Pendidikan Menengah Kejuruan yang tinggi untuk negara-negara Austria, Belanda, Jerman, dan Turki. Gambar 32 menunjukkan Angka Partipasi Pendidikan Menengah Kejuruan pada jenjang pendidikan menengah. Dari berbagai analisis di atas dapat disimpulkan bahwa program Teaching Factory dan Technopark di SMK sebagai upaya untuk mempercepat peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia khususnya lulusan Sekolah Menengah Kejuruan mulai tahun 2015 secara sistematis dan berkesinambungan, dengan melibatkan pihak industri, masyarakat dan pemerintah daerah. Program ini merupakan suatu langkah yang tepat dan operasional dalam upaya peningkatan kualitas lulusan SMK yang berdampak signifikan. B. Dasar Hukum Dasar hukum pengembangan program Teaching Factory dan Technopark di SMK ini meliputi: 1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 C menyatakan “Setiap orang berhak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan hak dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Pasal ini memberikan penegasan bawah pendidikan merupakan salah satu hak bagi warga negara untuk mengembangkan diri demi peningkatan kesejahteraannya dan masyarakat. 86 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Selanjutnya pada Pasal 31 ayat (3) ditegaskan pula bahwa untuk memenuhi hak warga negara tersebut, negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan daerah untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan termasuk di dalamnya adalah dalam hal penyelenggaraan pendidikan menengah kejuruan. 2. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini menyatakan pengelolaan dan pendanaan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah pusat memiliki kewajiban untuk menetapkan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan termasuk pendidikan menengah yang bermutu bagi seluruh masyarakat. Penetapan program pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK merupakan salah satu kebijakan nasional yang ditetapkan untuk meningkatkan daya saing masyarakat melalui pendidikan menengah yang bermutu. 3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005--2025 Dalam lampiran Undang-Undang ini menjabarkan salah satu tantangan Indonesia pada tahun 2005-2025 adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia yang mengakibatkan rendahnya produktivitas dan daya saing perekonomian bangsa. Khusus untuk sektor pendidikan, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas untuk meningkatkan jumlah proporsi penduduk yang melanjutkan pendidikan dasar ke jenjang yang lebih tinggi, menurunkan buta aksara, menurunkan kesenjangan tingkat pendidikan antar kelompok masyarakat, dan meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan sehingga pendidikan dapat mendorong pembangunan nasional secara menyeluruh dan meningkatkan daya saing bangsa. Ditegaskan pula pembangunan pendidikan ditantang untuk menyediakan pendidikan sepanjang hayat untuk memanfaatkan bonus demografi yang akan Indonesia hadapi pada 100 tahun Indonesia merdeka. Dalam menghadapi tantangan tersebut, pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK akan berkontribusi dalam pembangunan pendidikan di Indonesia khususnya dalam penyediaan sumber daya manusia kelas menengah yang berkualitas, produktif, berdaya saing, dan sesuai dengan kebutuhan Indonesia dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi Indonesia di tingkat internasional. 4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini diatur mengenai pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan 87 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK pemerintah kabupaten/kota di bidang pendidikan. Kewenangan bidang pendidikan dalam aspek manajemen pendidikan, pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam penetapan standar nasional pendidikan dan pengelolaan pendidikan tinggi. Pemerintah provinsi memiliki kewenangan pengelolaan pendidikan menengah dan pengelolaan pendidikan khusus. Sementara pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan pengelolaan pendidikan dasar dan pengelolaan pendidikan anak usia dini dan pendidikan nonformal. Dalam aspek kurikulum pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam penetapan kurikulum nasional pendidikan menengah, pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini, dan pendidikan nonformal. 5. Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Peraturan pemerintah ini beserta dengan peraturan-peraturan turunannya telah menetapkan acuan minimal mutu yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan dalam menyelenggarakan layanan pendidikan yang berkualitas. Acuan mutu tersebut telah menjabarkan seluruh aspek penyelenggaraan pendidikan yang meliputi standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar penilaian, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan dan standar pengelolaan pendidikan dengan komprehensif sebagai landasan penyelenggaraan pendidikan untuk setiap jenjang pendidikan. Pelaksanaan pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK ditujukan untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan menengah dengan kebutuhan pembangunan nasional. 6. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. Peraturan pemerintah turunan dari Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintah Daerah ini mengatur bahwa pendidikan merupakan salah satu urusan wajib yang didelegasikan kepada daerah baik di tingkat provinsi atau kabupaten/ kota. Dalam lampiran peraturan ini telah diatur kewenangan dari masing-masing pemerintah dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Keberhasilan pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK juga bergantung pada efektivitas kerja sama dan integrasi pembagian peran antara pemerintah pusat dan daerah. 7. Peraturan Pemerintah No.48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Peraturan pemerintah turunan dari Undang-Undang No. 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional ini mengatur mengenai jenis dan bentuk biaya pendidikan yang melekat pada satuan pendidikan, penyelenggara pendidikan, maupun siswa. Diatur pula pada peraturan ini tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat dalam mendanai 88 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK pendidikan. Khusus untuk pendidikan menengah ditegaskan bahwa pendanaan pendidikan baik yang mencakup pembiayaan investasi, operasional, bantuan biaya pendidikan dan biaya personal peserta didik merupakan kerja sama pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK merupakan salah satu upaya meningkatkan peranan pemerintah dalam pendanaan pendidikan menengah untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan menengah dengan kebutuhan pembangunan nasional. 8. Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya Industri. Peraturan Pemerintah ini membahas pendidikan vokasi lndustri berbasis kompetensi yang salah satunya pendidikan menengah kejuruan. Serta termaktub dalam peraturan tersebut tentang pabrik dalam sekolah (Teaching Factory) adalah sarana produksi yang dioperasikan berdasarkan prosedur dan standar bekerja yang sesungguhnya untuk menghasilkan produk sesuai dengan kondisi nyata industri dan tidak berorientasi mencari keuntungan. 9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015—2019. Peraturan ini mengamanatkan nawacita dalam rencana jangka menengah tahun 2015-2019 yang salah satunya menekankan pada pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK. 10. Peraturan Presiden RI Nomor 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan Presiden sebagaimana amanat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ini berisi tentang kedudukan, tugas, fungsi, organisasi, unit pelaksana teknis, tata kerja, dan pendanaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terdiri atas salah satunya adalah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Sementara itu, pada Pasal 16 diamanatkan bahwa salah satu fungsi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah fasilitasi pembangunan Teaching Factory dan Technopark di lingkungan Sekolah Menengah Kejuruan. 11. Permendikbud Nomor 11 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini menjelaskan detail tugas dan fungsi organisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan salah satunya adalah Direktorat Pembinaan SMK yang tugasnya memfasilitasi pembangunan Teaching Factory dan Technopark di lingkungan Sekolah Menengah Kejuruan. 89 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 12. Permendikbud Nomor 22 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan ini menjelaskan tahapan-tahapan perencanaan pembangunan dan pengembangan pendidikan dan kebudayaan dimana salah satu program yang dikembangkan adalah Teaching Factory dan Technopark di SMK. C. Konsep Teaching Factory di SMK 1. Definisi Teaching Factory di SMK Perkembangan dunia industri telah memasuki era baru, yaitu di mana para pekerja mulai dari tingkat teknisi sampai dengan tingkat pimpinan akan terus membutuhkan suatu skema belajar seumur hidup untuk bersaing dengan kemajuan pesat dalam produksi terkait teknologi, peralatan canggih dan teknik. Mengingat pentingnya industri sebagai kegiatan menghasilkan kekayaan bagi bangsa mana pun, maka promosi keunggulan industri akan selalu menjadi target strategis dalam tahun-tahun mendatang. Hubungan antara dunia industri dengan pendidikan kejuruan memiliki hubungan yang sangat erat, hal tersebut dikarenakan pendidikan kejuruan menjadi penggerak utama berkembangnya kemajuan industri. Selain itu masyarakat selalu menghargai keterampilan kejuruan. Beberapa penelitian telah mengungkapkan hubungan antara kualitas pendidikan kejuruan dan pertumbuhan ekonomi, menyoroti fakta bahwa manusia modal adalah kunci untuk pertumbuhan. Namun demikian sering kali pendidikan kejuruan tidak secara terus menerus mengikuti kemajuan teknologi. Akibatnya pendidikan kejuruan saat ini masih dirasa kurang memberikan kompetensi kejuruan bagi suplai tenaga kerja yang akan terjun ke dalam industri. Oleh karena itu berbagai konsep modern skema pelatihan, belajar industri dan transfer pengetahuan antara industri dengan dunia pendidikan mulai dikembangkan dengan tujuan agar modernisasi pendidikan dapat berkontribusi untuk meningkatkan kinerja inovasi industri. Pada beberapa dekade saat ini, sebuah konsep Teaching Factory telah menjadi daya tarik utama di berbagai negara, dimana salah satunya Amerika (gambar 33). Berdasarkan Proceedings of the Fourth World Conference on Engineering Education, St. Paul, Minneapolis, USA pada tahun 1995 menyatakan Teaching Factory adalah sebuah proyek industri yang bertujuan untuk memberikan pengalaman nyata dalam desain, manufaktur, dan realisasi produk yang dirancang serta mengembangkan sebuah kurikulum yang memiliki keseimbangan antara pengetahuan teori dan analisis dengan manufaktur, perancangan, kegiatan bisnis, dan keterampilan yang profesional. Kemudian berdasarkan American Society 90 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK for Engineering Education Annual Conference and Exposition pada tahun 2001 menyatakan bahwa Teaching Factory ialah: menghasilkan lulusan yang profesional di bidangnya, mengembangkan kurikulum yang fokus pada konsep modern, mendemonstrasikan solusi yang tepat untuk tantangan yang dihadapi dunia industri, serta transfer teknologi dari industri yang menjadi partner dengan siswa dan institusi pendidikan. Gambar 33. Paradigma Teaching Factory Banyak institusi pendidikan berusaha untuk membawa praktik pendidikan dekat dengan industri. Sehingga Teaching Factory telah menjadi suatu pendekatan baru untuk pendidikan kejuruan dengan tujuan (1) memodernisasi proses pengajaran dengan membawa kepada praktik industri secara dekat; (2) mengungkit pengetahuan industri melalui pengetahuan baru; (3) mendukung transisi dari manual menuju cara bekerja otomatis dan mengurangi kesenjangan antara sumber daya industri (pekerja dan modal) dan pengetahuan industri (informasi); (4) meningkatkan dan menjaga pertumbuhan kekayaan industri. Konsepsi dasar Teaching Factory adalah “Factory to Classroom” yang bertujuan untuk melakukan transfer lingkungan produksi di industri secara nyata ke dalam ruang praktik. Kehidupan produksi yang nyata sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi pengajaran yang berbasis aktivitas nyata dari praktik industri pada setiap harinya. 91 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Gambar 34. Cara Penyampaian Keterampilan Teaching Factory Di Indonesia, penerapan konsep Teaching Factory telah diperkenalkan di SMK pada tahun 2000 dalam bentuk yang sangat sederhana yaitu berupa pengembangan unit produksi yang sudah dilaksanakan di SMK-SMK. Kemudian konsep tersebut berkembang pada tahun 2005 menjadi sebuah model pengembangan SMK berbasis industri. Setidaknya terdapat tiga bentuk dasar kategori pengembangan SMK berbasis industri, yaitu: 1) Pengembangan SMK berbasis industri sederhana; 2) Pengembangan SMK berbasis industri yang berkembang dan; 3) Pengembangan SMK berbasis industri yang berkembang dalam bentuk factory sebagai tempat belajar. Kemudian selanjutnya pada awal tahun 2011 pengembangan SMK dengan model yang ketiga, yaitu pengembangan SMK berbasis industri yang berkembang dalam bentuk factory sebagai tempat belajar, 92 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK selanjutnya dikenal dengan Teaching Factory. Factory di sini hanyalah istilah dan bukan arti pabrik secara hardware, namun dalam bentuk pembelajaran dilakukan langsung di tempat praktik tidak di dalam kelas, dan praktik yang dilakukan berorientasi pada produksi seperti di industri nyata. Penyelenggaraan model ini memadukan sepenuhnya antara belajar dan bekerja, tidak lagi memisahkan antara tempat penyampaian teori dan praktik. Pada tahun 2011, Direkorat Pembinaan SMK bekerja sama pemerintah Jerman melalui program SED TVET mengembangkan konsep Teaching Factory. Awalnya Konsep Teaching Factory mengadaptasi dari metode pembelajaran Dual System yang telah lama diterapkan dalam pendidikan TVET di negara Jerman dan Swiss. Metode pembelajaran ini merupakan metode yang mengintegrasikan dua lingkungan utama dalam setiap kegiatan peserta didik, yakni lingkungan sekolah dan lingkungan perusahaan (industri). Peserta didik tidak hanya melakukan kegiatan belajar di sekolah, tetapi juga melakukan praktik (kompetensi dasar) dan kerja (mengaplikasikan kompetensinya) di industri dalam jangka waktu yang relatif panjang. Secara fundamental, Dual System bertujuan untuk menempatkan peserta didik dalam situasi nyata di tempat kerja secara menyeluruh. Dengan praktik yang demikian, peserta didik tidak hanya memperoleh pengetahuan teoritis, tetapi juga mampu menerapkan praktik berbasis produksi sebagaimana yang selalu diterapkan dalam kegiatan industri. Hal ini membuat peserta didik mampu memperoleh keterampilan, proses dan sikap yang sesuai dengan standar industri sehingga hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan industri. Untuk lebih memahami konsep Teaching Factory, berikut merupakan beberapa definisi dari Teaching Factory di SMK, yaitu : “Teaching Factory adalah konsep pembelajaran berbasis industri (produk dan jasa) melalui sinergi sekolah dengan industri untuk menghasilkan lulusan yang kompeten sesuai dengan kebutuhan pasar.” Konsep pembelajaran berbasis industri berarti bahwa setiap produk praktik yang dihasilkan adalah sesuatu yang berguna dan bernilai ekonomi atau daya jual dan diterima oleh pasar. Sinergi antara sekolah dengan industri merupakan elemen kunci sukses utama dalam Teaching Factory, dimana Teaching Factory akan menjadi sarana penghubung untuk kerja sama antara sekolah dan industri. Interaksi sekolah-industri yang berkesinambungan akan mendorong terjadinya perbaikan secara terus menerus (continuous improvement) dalam hal teknologi (technology transfer), kurikulum dan budaya industri sehingga akan berdampak terhadap lulusan yang kompeten dan memiliki kemampuan yang sesuai dengan yang disyaratkan oleh industri, yaitu sadar akan kualitas dan efisiensi sebagaimana yang selalu diterapkan dalam kegiatan industri. Definisi Teaching Factory di SMK selanjutnya mulai digunakan secara luas dan lebih detail lagi pada jenjang Pendidikan Vokasi Industri berbasis kompetensi yang terdiri (1) pendidikan menengah kejuruan; (2) program diploma satu; (3) program diploma dua; (4) 93 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK program diploma tiga; (5) program diploma empat; (6) program magister terapan; dan (7) program doktor terapan. Konsep Teaching Factory kemudian ditetapkannya Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya Industri, pada Peraturan Pemerintah tersebut didefinisikan bahwa “Pabrik dalam Sekolah (Teaching Factory)” adalah sarana produksi yang dioperasikan berdasarkan prosedur dan standar bekerja yang sesungguhnya untuk menghasilkan produk sesuai dengan kondisi nyata industri dan tidak berorientasi mencari keuntungan. 2. Konsep Teaching Factory di SMK Konsep Teaching Factory merupakan suatu metode pembelajaran yang mampu mengantarkan siswanya mencapai kompetensi standar industri melalui tahapan proses pencapaian standar penguasaan motorik, kognitif, dan afektif dan memunculkan hasil belajar perilaku inspiratif – intuitif yang secara akademis didiskripsikan sebagai pembelajaran karakter. Teaching Factory memiliki nilai strategis pada pendidikan dan pelatihan kejuruan dalam meningkatkan daya saing lulusan institusi kejuruan seperti SMK di pasar tenaga kerja tingkat lokal maupun nasional bahkan regional, karena mempunyai mekanisme yang selalu mengikuti perkembangan industri yang sangat cepat. Gambar 35. Kategori Pelaksanaan Teaching Factory Pengkategorian pelaksanaan Teaching Factory seperti tertera pada gambar 35 sangat berguna dalam pemetaan pembinaan SMK. Karena hal ini berkaitan dengan kesiapan SMK 94 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK di Indonesia yang sebagian besar masih belum mampu untuk mengimplementasikan Teaching Factory secara langsung sehingga untuk mengawalinya memerlukan program penguatan kompetensi dengan pembelajaran yang berbasis produksi, dilanjutkan dengan implementasi Teaching Factory. Konsep inilah yang nantinya akan menghasilkan lulusan yang memiliki perilaku industri yakni kompeten, produktif, dan kompetitif. Kategori Pertama, Dual System adalah pola pembelajaran kejuruan di tempat kerja yang dikenal sebagai experience based training atau interprise based training yang intinya adalah work process oriented. Pendekatan ini mencoba menempatkan siswa SMK dalam situasi nyata di tempat kerja secara menyeluruh. Secara konseptual pendekatan Dual system menjadi populer, dimana tempat kerja (workplace) sebagai salah satu lingkungan pelatihan/pembelajaran, sudah memberikan jawaban bahwa extra functional skill dapat diperoleh dari pendekatan sistem tersebut. Kategori Kedua, CBT adalah sistem pembelajaran kejuruan yang berfokus pada definisi penetapan sistem keterampilan yang berbeda-beda namun harus bisa diakses secara eksternal, sebagai standar untuk jaminan kompetensi. Pendekatan ini muncul pertama kalinya di Inggris lalu dalam waktu singkat menjadi populer di negara-negara persemakmuran dan kemudian terus menerus dipromosikan dan dikenalkan ke negaranegara berkembang sebagai “best practice“. Selain itu, CBT atau pelatihan berbasis kompetensi merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menekankan pada pembangunan dan peningkatan keterampilan dan pengetahuan peserta didik sesuai dengan kebutuhan pekerjaan. Peserta didik yang telah berhasil mencapai kompetensi akan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kegiatan kerja dalam berbagai kondisi dan lingkungan yang berbeda sesuai standar industri. Pelatihan berbasis kompetensi pada umumnya mengacu pada kompetensi dan standar kinerja yang telah ditetapkan oleh industri. Pada metode ini, penilaian peserta didik dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memastikan bahwa setiap peserta didik telah mencapai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan pada setiap unit kompetensi yang ditempuh. Pelatihan berbasis kompetensi memungkinkan peserta didik untuk menyelesaikan studi mereka lebih cepat karena pembelajaran dibagi ke dalam unit-unit kompetensi. Pada saat peserta didik telah memenuhi kompetensi dalam suatu unit kompetensi, mereka dapat melanjutkan ke unit kompetensi berikutnya. Arah dari implementasi CBT adalah peserta didik memiliki keterampilan dalam suatu kompetensi yang dinyatakan dalam sebuah sertifikasi. Perbedaan antara dual system dan CBT yang dilaksanakan di Indonesia dapat dilihat pada matriks berikut: 95 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Tabel 10. Perbedaan Dual System dengan CBT Subjek Dual System CBT Fokus Proses kerja Penilaian Pendekatan Holistic (Prakerin) - profesi Fragmented (simulatif ) - unit-unit kompetensi Keseluruhan sistem Kegiatan pembelajaran, kelulusan, dan sertifikasi yang komprehensif Kegiatan pembelajaran dan penilaian/ sertifikasi yang terpisah sesuai dengan kebutuhan lebih lanjut Peran guru/ Instruktur Instruktur bertanggung jawab mendidik peserta didik supaya mereka siap bekerja tidak hanya dari sisi skill fungsional tetapi juga kompleksitas tempat kerja yang multi fungsional: kemampuan bekerja sama, mampu menilai dan mengambil keputusan, kreatif dsb. Oleh karena kompetensi peserta didik ditentukan melalui keterampilan yang bisa diujikan, maka guru atau instruktur akan mengidentifikasi kesuksesannya dengan menggunakan tingkat kelulusan uji kompetensi. Dengan demikian pembelajaran dan pelatihan terfokus pada persiapan untuk menghadapi uji kompetensi yang harus dilalui peserta didik. Kelemahan dasar Kekuatan utama 96 Standar kualitas untuk menentukan apa yang dinamakan kompeten sepenuhnya bergantung kepada tuntutan industri (dinamis), karena standar uji disesuaikan dengan tuntutan industri yang berkembang dinamis. Proses penyesuaian standar kompetensi dengan standar industri membutuhkan jeda waktu sehingga mengakibatkan standar kompetensi sulit mengikuti perubahan teknologi yang semakin cepat. Di samping itu, proses penilaian yang terpisah dari proses pelatihan, maka proses feedback yang sentral dalam pelatihan high-tech menjadi terpisah. Tidak ada sertifikat untuk unitunit kompetensi. Tidak mampu menginkorporasikan kemampuan non-teknikal/ekstrafungsional Fleksibilitas tinggi dan proses integrasi langsung dengan situasi nyata di tempat kerja. Mampu memberikan solusi (problem solving). Terdapat tahap-tahap kompetensi yang jelas. Pelatihan tenaga ahli untuk mass production menjadi lebih efisien. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Subjek Kesimpulan: Dual System CBT Penerapan CBT di Indonesia lebih cocok untuk basic training (kemampuan unit-unit kompetensi), namun kurang cocok untuk advance training karena tidak bisa mengukur kompleksitas di tempat kerja yang sesungguhnya. CBT mutlak harus dilengkapi dengan praktik kerja di industri. Kategori Ketiga, PBET adalah mengimplementasikan PBET yang merupakan pendekatan pembelajaran berbasis produksi. Kompetensi yang telah dimiliki oleh peserta didik perlu diperkuat dan dipastikan keterampilannya dengan memberikan pengalaman pembuatan produk nyata yang dibutuhkan dunia kerja (industri dan masyarakat). Seperti diketahui, mengimplementasikan PBET diperlukan dukungan peralatan dan mesin berskala produksi yang mungkin dapat dipenuhi dan dikembangkan dari peralatan dan mesin berskala pendidikan. Namun demikian, dapat pula dipenuhi dengan cara menjalin kerja sama dengan industri dalam rangka magang peserta didik di dunia industri. Pemagangan ini bersifat pengalihan sejumlah praktik (job sheet) ke industri secara langsung sesuai dengan keadaan praktik nyata industri (job order). Konsep dasar dari model pembelajaran PBET adalah holistic-educatif yaitu bahwa tempat pendidikan dan pelatihannya (work place) menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai suatu sistem. Pada pendidikan tahun pertama ditekankan pada pembentukan karakter (character building) melalui basic skill dengan sasaran pokok pada Sense of Quality. Pendidikan tahun kedua dilaksanakan melalui Production Applied dengan sasaran pokok pada Sense of Efficiency, yang di dalamnya terdapat aspek managerial skill, communication, team work and leadership, sedangkan pendidikan tahun ketiga atau tahun terakhir dilaksanakan melalui pemanfaatan Advance Technology dengan sasaran pokok pada Sense of Flexibility-Inovation yang di dalamnya mengandung unsur Creativity, Flexibility and Problem Solving. Dengan tetap berpegang teguh pada hakikat pendidikan kejuruan yang tetap memberi porsi kegiatan praktik lebih banyak, menerapkan prosentase kegiatan praktik sebesar 67 % dan kegiatan teori 33 % secara konsisten diharapkan bisa memberi bekal keterampilan yang lebih pada para lulusannya dalam memasuki dunia usaha dan dunia industri. Secara singkat konsep pembelajaran PBET dapat dilihat pada gambar 36. berikut ini : 97 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK sumber : Policy Dasar Pelatihan di ATMI, 2001 Gambar 36. Piramida Konsep Pembelajaran PBET Adapun tujuan utama PBET adalah menyiapkan individu supaya bisa memenuhi kualifikasi yang dituntut oleh pasar kerja. (bukan hanya hard skill saja melainkan juga soft skills). Dalam dunia kerja/usaha pada umumnya pengguna (user) menginginkan pekerjanya memiliki kemampuan kognitif yang tinggi dan juga memiliki Soft Skills yang dibutuhkan, seperti motivasi yang tinggi, kemampuan beradaptasi dengan perubahan, kompetensi interpersonal dan orientasi nilai yang menunjukkan kinerja yang efektif. Menurut Patrick S. O’Brien dalam bukunya “Making College Count “, berbagai soft skills dapat dikategorikan ke dalam 7 area yang disebut Winning Characteristies, dijelaskan dalam bentuk akronim COLLEGE, yaitu : 98 1) Communication Skills 2) Organization Skills 3) Leadership 4) Logic 5) Effort 6) Group Skills 7) Ethics. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Berkaitan dengan persiapan bagi lulusan SMK dalam menuju dunia kerja atau dunia usaha, serta bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya secara umum kategori-kategori yang tersebut dalam Winning Characteristic di atas dapat dijelaskan secara singkat adalah sebagai berikut : 1) Communication Skills (Kemampuan berkomunikasi) Kemampuan berkomunikasi dalam dunia kerja atau dunia usaha menjadi sangat penting karena melalui komunikasi lulusan SMK dapat menyampaikan maksud dengan jelas sekaligus dapat menangkap inti pesan yang disampaikan orang lain. Kemampuan berkomunikasi ini terdiri dari komunikasi lisan dan komunikasi tulisan. Berdasarkan lawan bicara, komunikasi lisan mencakup komunikasi interpersonal, diskusi kelompok dan presentasi. Komunikasi tulisan tujuannya sama dengan komunikasi lisan hanya dengan komunikasi tulisan peluang terjadinya kesalahpahaman dapat diminimalisir dan sekaligus sebagai bukti manakala terjadi perselisihan akibat perbedaan informasi yang diterima. Indikator dari kemampuan berkomunikasi ini bisa diamati dari bagaimana lulusan SMK berani mengemukakan pendapatnya, berpikir kritis, merasionalisasi proses pekerjaan, mempresentasikan dan mempertanggungjawabkan apa yang telah ditulis. 2) Organization Skills (Kemampuan berorganisasi) Bila kita bicara mengenai organization skills, tidak akan terlepas dari apa yang disebut manajemen waktu. Dalam dunia kerja atau dunia usaha, keterlambatan dapat membawa akibat yang fatal, pekerjaan bisa batal atau jatuh ke tangan orang lain, biaya bertambah akibat pengerjaan pekerjaan berlarut-larut, mendapat citra yang negatif atau bahkan tidak dipercaya lagi oleh pelanggan. Selain itu tak jarang pekerjaan orang lain terkait dengan pekerjaan yang kita lakukan, sehingga bila pekerjaan kita tidak tuntas maka akan mengganggu ritme kerja orang lain. Oleh karena itu mengorganisasikan atau mengatur waktu sangatlah penting bagi setiap orang terlebih bagi mereka yang akan masuk dunia kerja atau usaha. Indikator yang bisa dilihat berkaitan dengan organization skills adalah apabila lulusan SMK mampu merencanakan pekerjaan, melaksanakan dan mengelola pekerjaannya sendiri, termasuk di dalamnya pengelolaan waktu dengan sebaik-baiknya. 3) Leadership (Kepemimpinan yang efektif ) Setiap orang pada hakikatnya adalah pemimpin, setidaknya pemimpin bagi dirinya sendiri. Kepemimpinan sering kali difokuskan pada usaha-usaha para bawahan dalam melakukan hal-hal yang menjadi dasar-dasar dari keberhasilan bisnis, seperti (a) menghasilkan produk yang bermutu, (b) mendengarkan konsumen dan (c) memotivasi karyawan melakukan hal yang tepat. Dalam dunia kerja, perusahaan menginginkan orang yang berinisiatif membuat perubahan positif (tidak harus menduduki jabatan strategis), yang penting adalah bahwa 99 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK orang tersebut secara aktif ikut terlibat, memiliki ide-ide inovatif dan berusaha mewujudkannya untuk mencapai tujuan yang diharapkan perusahaan.Sedangkan prinsip dasar kepemimpinan yang efektif yaitu rasa saling percaya dan komunikatif. Indikator tentang leadership tercermin dari bagaimana seseorang mampu memimpin dirinya sendiri dan orang lain. 4) Logic (Logika) Permasalahan di dunia kerja/usaha cenderung lebih kompleks dan tidak terduga, persaingan dan kompetisi begitu ketat dengan berbagai tingkat kesulitan yang ditimbulkan, sehingga dibutuhkan cara-cara pemecahan masalah yang tepat. Untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada diperlukan kemampuan menggunakan logika dengan baik, cepat dan tepat. Kemampuan menyelesaikan masalah adalah kesanggupan untuk mengenali dan merumuskan masalah serta menerapkan pemecahan secara tepat dan ampuh, di sini berkaitan dengan sikap hati-hati, disiplin dan sistematis dalam menghadapi dan memandang masalah serta berusaha melakukan yang terbaik, dari sinilah indikator itu bisa dicermati dan diamati dengan jelas. 5) Effort (Ketahanan menghadapi tekanan) Dunia kerja/usaha adalah dunia yang berubah dengan sangat cepat. Rencana yang sudah dibuat matang pun bisa saja menjadi mentah ketika terjadi sesuatu di luar perkiraan. Tak jarang bahkan seseorang dituntut untuk menyelesaikan banyak hal dalam waktu yang sebenarnya nyaris mustahil bisa dilakukan, tapi itulah dunia. Bila seseorang dapat mengelola stres/tekanan dengan baik dan tetap memiliki performa prima maka orang tersebut akan memiliki nilai tambah yang luar biasa. Ketahanan menanggung tekanan/stres adalah kemampuan untuk tetap tenang dan sabar ketika menghadapi masalah tanpa terbawa oleh emosi. 6) Group Skills (Kerja sama tim) Bekerja sama dalam dunia kerja menyerupai kerja sama dalam organisasi, dimana kompleksitas pekerjaan yang dihadapi jauh lebih tinggi dan banyak faktor eksternal yang dapat muncul di luar rencana. Oleh karena itu aktif berorganisasi adalah salah satu sarana untuk melatih kemampuan kerja sama. Untuk membentuk sebuah tim kerja yang solid merupakan sesuatu hal yang terbilang cukup sulit. Kesulitan itu patut dipahami karena didasari kenyataan bahwa dalam tim terdiri dari banyak kepala dengan berbagai gagasan dan pendapat serta karakter masingmasing. Salah satu kunci kerja sama tim adalah bahwa, setiap individu yang terlibat di dalamnya harus memiliki keterampilan dasar yang diperlukan untuk bekerja secara tim, yaitu kemampuan mengelola (managerial skills), keterampilan interpersonal (Interpersonal skills) dan berusaha untuk mensinergikan perbedaanperbedaan yang ada menjadi kekuatan tim. 100 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 7) Ethics (Etika kerja) Etika kerja atau juga etika bisnis dalam dunia usaha adalah salah satu hal terpenting yang perlu dimiliki setiap pekerja, karena dengan etika kerja yang baik, reputasi yang baik maka kesempatan demi kesempatan akan dengan mudah diperoleh. Dari hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja yang kehilangan pekerjaan atau mentok kariernya disebabkan karena mereka tidak memiliki etika kerja yang baik. Etika kerja dapat diamati dari bagaimana lulusan SMK bersikap ketika menerima pekerjaan, melaksanakan pekerjaan dan menyelesaikan pekerjaannya. Kategori Keempat, Teaching Factory adalah konsep pembelajaran berbasis industri (produk dan jasa) melalui sinergi sekolah dengan industri untuk menghasilkan lulusan yang kompeten sesuai dengan kebutuhan pasar. Konsep pembelajaran Teaching Factory tidak akan lepas dari konsep CBT dan PBET mengingat bahwa konsep Teaching Factory merupakan pengembangan dari konsep CBT dan PBET guna mengurangi kelemahan dari konsep CBT dan PBET. Gambar 37. Titik Fokus Pengembangan Teaching Factory Bagan di atas menjelaskan titik fokus implementasi Teaching Factory berdasarkan gambar 37, maka dapat dilihat bahwa prosedur untuk mencapai tahap implementasi TF dapat diterapkan secara bertahap melalui CBT (keterampilan dasar) dan PBET (mengaplikasikan kompetensi) terlebih dahulu. 101 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Aplikasi Konsep PBET dan Teaching Factory dapat diilustrasikan melalui matriks berikut ini: Konsep Pembelajaran CBT PBET TEACHING FACTORY » Competency-Based [wajib, sesuai UU Sisdiknas] - CBT -> kurikulum KTSP » Production-based (PBET - Lab) -> berbasis produk/jasa. » » Mempelajari Kompetensi keahlian » Mengaplikasikan » kompetensi yang dipelajari (produk/jasa) Berbasis industri (proyek/pekerjaan) » Mampu menyelesaikan » tugas sesuai dengan proses dan hasil yang dipersyaratkan dalam masing-masing kompetensi Mampu memanfaatkan kompetensi yang telah dipelajari » Teknologi transfer berlangsung secara berkesinambungan » Memiliki pengalaman produksi yang berorientasi ke produk » Karakter wirausaha: Kemampuan/ spirit mengatasi hambatan/halangan yang biasanya membuat orang berhenti Kemampuan berkompetisi: inovasi, efisiensi, kreatif Kemampuan problem solving, decision making Kemampuan dasar wirausaha (business plan, finansial plan, marketing, customer relation, product costing) Kemampuan berkomunikasi dengan customer Memiliki kemampuan produksi yang berorientasi ke customer Interaksi dengan industri secara alami berdasarkan benefit » » » » » » 102 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Teaching Factory -> berbasis Pasar Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Implementasi Konsep Pembelajaran CBT PBET TEACHING FACTORY ü Hasil proses (praktik) "dibuang", karena hanya fokus ke kompetensi yang harus diberikan ü Hasil proses (praktik) adalah benda yang berguna sehingga bisa dipakai untuk kebutuhan institusi, sekaligus memenuhi kompetensi yang harus diberikan ke murid ü Hasil proses (praktik) adalah benda/ jasa yang dipesan/ dijual dengan kualitas yang ditentukan oleh pasar/customer (industry) ü Biaya praktik (material) mahal, sehingga kegiatan praktik sangat terbatas ü Biaya praktik (bahan) lebih ringan karena hasilnya dipakai untuk memenuhi kebutuhan internal ü Biaya praktik adalah bagian dari proses produksi ü Tenaga pendidik tidak mempunyai pengalaman produksi ü Tenaga pendidik mempunyai pengalaman produksi ü Tenaga pendidik mempunyai pengalaman industri ü Quality ditentukan oleh standar kompetensi budaya diklat ü Quality ditentukan oleh standar kompetensi PLUS bisa dipakai sesuai dengan fungsinya budaya sudah berorientasi menghasilkan sesuatu yang berguna ü Quality ditentukan oleh "Keberterimaan" pasar/customer (accepted) - budaya industri (quality, cost, on-time delivery) ü Penyelenggaraan diklat sesuai standar. Pendekatan laboratory yang terstandar dan terstruktur ü Penyelenggaraan diklat berorientasi produksi - dinamis ü Mencerminkan proses produksi di industri (Integrated process planning, Quality Control) ü Pelaksanaan diklat disesuaikan dengan kompetensi yang harus diberikan ü Pelaksanaan diklat disesuaikan dengan produk yang ditentukan dan dipecah menjadi kompetensi yang harus diberikan ü Pengajar ditugaskan tidak hanya memenuhi tugas diklat tetapi juga menyelesaikan “order” industri, dimana hanya berlaku "standar industry". ü Diklat culture (individualis, text book minded) ü Product oriented culture ü Coporate culture (team work, customer satisfaction oriented dll.) ü Interaksi dengan industri melalui prakerin ü Interaksi dengan industri melalui prakerin ü Interaksi dengan industri melalui prakerin maupun melalui produk yang dikerjakan bersama ü Kegiatan pengajar/ instruktur sesuai tupoksi standar ü Inovasi produk yang akan dijadikan praktik adalah sesuatu yang berguna untuk kebutuhan sekolah ü Kemampuan tambahan untuk kegiatan kerja sama dan koordinasi dengan industri (communication skill, dsb.) ü Wawasan Kewirausahaan sebagai teori ü Wawasan Kewirausahaan masih sebagai teori ü Aplikasi praktik kewirausahaan Gambar 38. Matriks Perbandingan Konsep CBT, PBET dan Teaching Factory 103 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Matrik pada gambar 38 di atas menunjukkan bahwa aplikasi dari konsep CBT memang memungkinkan peserta didik menguasai kompetensi-kompetensi yang terstruktur dan standar, namun kenyataan menunjukkan bahwa setelah peserta didik menguasai kompetensi-kompetensi sesuai standar tertentu, sering kali mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan kompetensi tersebut di dunia kerja karena mereka tidak memiliki pengalaman bagaimana mengaplikasikan kompetensi tersebut sesuai tuntutan dunia kerja/lapangan. Di samping itu, aplikasi dari konsep CBT dapat menciptakan biaya pendidikan yang lebih mahal karena proses pembelajaran dan pengujian terfokus pada kompetensi-kompetensi yang terstruktur dan terpisah-pisah sehingga hasil praktik tidak dapat digunakan (dibuang). Berangkat dari persoalan ini, maka perlu dikembangkan sebuah konsep pembelajaran yang dapat mengurangi kelemahan tersebut, yaitu dengan mengembangkan konsep Teaching Factory. Dengan konsep Teaching Factory, peserta didik tidak hanya dituntut menguasai kompetensi-kompetensi yang standar, melainkan mereka juga diberikan kesempatan dan pengalaman untuk mengaplikasikan kompetensikompetensi tersebut untuk bisa menghasilkan sesuatu yang lebih bernilai atau berguna, bahkan juga pengalaman untuk menghasilkan sesuatu sesuai yang dipersyaratkan oleh pelanggan (sesuai tuntutan pasar). Selain itu, gambar di atas menggambarkan struktur prosedur implementasi Teaching Factory (TF) yang mencakup CBT, PBET, dan TF. Dalam setiap tahapan terdapat tuntutan akan peningkatan guna melangkah ke prosedur yang lebih tinggi. Contoh yang sangat nyata dalam tahapan tersebut terletak pada hasil produk. Pada program CBT, produk yang dihasilkan belum bernilai ekonomi karena penilaian hanya terletak pada kesesuaian pengetahuan yang telah diberikan (memenuhi persyaratan teknis). Sedangkan pada tahapan PBET, hasil praktik telah dapat memenuhi kebutuhan internal institusi (tidak hanya memenuhi persyaratan teknis tapi juga berguna). Selanjutnya pada tahapan TF, produk yang dihasilkan mempunyai nilai jual sesuai dengan standar kualitas yang ditentukan oleh pasar (berguna dan kompetitif/diterima pasar). Peningkatan pada tahapan ini tidak hanya terletak pada kegunaan dan kualitas produk, tetapi juga terletak pada kualitas SDM (guru dan peserta didik), lingkup hubungan kerja sama dengan industri, dan pembekalan pengetahuan kewirausahaan dalam proses pembelajaran peserta didik. Apabila institusi TVET telah mampu menerapkan CBT dengan baik, maka akan mudah bagi institusi untuk melangkah pada tahapan selanjutnya (PBET dan TF). Hal ini dikarenakan ketiganya merupakan tahapan yang saling berkelanjutan dan tidak terpisah. 104 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 3. Tujuan dan Manfaat Teaching Factory di SMK Secara umum, program Teaching Factory di SMK adalah melakukan realisasi produk dalam pembelajaran. Sedangkan secara khusus bertujuan untuk: a) mempersiapkan lulusan SMK menjadi pekerja; b) mempersiapkan lulusan SMK untuk terus belajar ke level yang lebih tinggi; c) membantu siswa memilih bidang kerja yang sesuai kemampuannya; d) menunjukkan bahwa ‘learning by doing’ sangat penting bagi efektivitas pendidikan dan menumbuhkan kreativitas; e) mendefinisikan keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja; f) memperluas cakupan kesempatan rekruitmen bagi lulusan SMK; g) membantu siswa SMK dalam mempersiapkan diri menjadi tenaga kerja, bagaimana menjalin kerja sama dalam dunia kerja yang aktual, dll; h) memberi kesempatan kepada siswa SMK untuk melatih keterampilannya sehingga dapat membuat keputusan tentang karier yang akan dipilihnya; i) memberi kesempatan kepada guru SMK untuk memperluas wawasan instruksional; j) memberi kesempatan kepada guru SMK untuk membangun ‘jembatan instruksional’ antara kelas dengan dunia kerja; k) membuat pembelajaran lebih menarik dan memotivasi siswa belajar. Kemudian dilihat dari manfaat, program Teaching Factory di SMK bermanfaat untuk: a) menyadarkan siswa SMK bahwa dalam penguasaan keterampilan tidak hanya mempraktikkan soft skill dalam pembelajaran (bekerja dalam tim, melatih kemampuan komunikasi interpersonal dari buku), tetapi juga merealisasikan pengetahuan secara langsung dan latihan bekerja untuk memasuki dunia kerja secara nyata. b) sarana pelatihan dan praktik berbasis produksi secara langsung bagi siswa SMK yang berorientasi pada pasar; c) membantu pendanaan untuk pemeliharaan, penambahan fasilitas dan biaya-biaya operasional SMK dan peningkatan kesejahteraan. 105 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 4. d) Menumbuhkan dan mengembangkan jiwa entrepreneurship guru dan siswa SMK; e) Mengembangkan sikap mandiri dan percaya diri siswa SMK melalui kegiatan produksi; f) Menjalin hubungan yang lebih baik dengan dunia usaha dan industri serta masyarakat lain atas terbukanya fasilitas untuk umum dan hasil-hasil produksinya;. Prinsip Dasar Teaching Factory di SMK Secara umum, berikut ini prinsip-prinsp dasar yang harus dimiliki oleh sekolah dalam melaksanakan program Teaching Factory antara lain: 5. a) Adanya integrasi pengalaman dunia kerja ke dalam kurikulum SMK. b) Semua peralatan dan bahan serta pelaku pendidikan disusun dan dirancang untuk melakukan proses produksi dengan tujuan untuk menghasilkan produk (barang ataupun jasa). c) Adanya perpaduan dari pembelajaran berbasis produksi dan pembelajaran kompetensi. d) Dalam pembelajaran berbasis produksi, siswa SMK harus terlibat langsung dalam proses produksi, sehingga kompetensinya dibangun berdasar kebutuhan produksi. Kapasitas produksi dan jenis produk menjadi kunci utama keberhasilan pelaksanaan pembelajaran berbasis produksi. e) Dalam Teaching Factory, sekolah melaksanakan kegiatan produksi atau layanan jasa yang merupakan bagian dari Proses Belajar dan Mengajar. Dengan demikian SMK diharuskan memiliki sebuah pabrik, workshop atau unit usaha lain untuk kegiatan pembelajaran. Nilai-Nilai Dasar dalam Teaching Factory di SMK Teaching Factory merupakan sebuah model kegiatan pembelajaran yang sangat efektif dan efisien. Efektif berarti bahwa konsep TF dapat mengantarkan peserta didik mencapai tahap kompeten, yakni suatu tahapan dimana peserta didik pantas untuk diberikan kewenangan karena telah dianggap mampu. Sedangkan efisien berarti bahwa pembelajaran dengan model ini bersifat sangat operasional, memerlukan biaya yang murah dan mudah untuk diimplementasikan. Beberapa nilai-nilai dasar yang harus dikembangkan untuk mendukung kesiapan implementasi TF, di antaranya: 106 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK a) Sense of quality; memberikan keterampilan dasar kepada peserta didik yang berkaitan dengan standar objektif kualitas. b) Sense of efficiency; membekali peserta didik dengan kemampuan untuk bekerja secara efisien guna menciptakan efisiensi kerja yang optimal dan mengukur tingkat produktivitas sebagaimana praktik yang umum dilakukan oleh industri. c) Sense of creativity and innovation; mengajarkan peserta didik untuk bekerja secara kreatif dan inovatif, melatih kemampuan problem solving sebagai ukuran kreativitas, dan kemampuan untuk melihat peluang-peluang baru di industri seperti produk, desain, dsb. Oleh karena berkaitan dengan proses produksi baik barang maupun jasa, maka implementasi Teaching Factory harus melibatkan tiga disiplin industri berikut ini: 6. • Disiplin waktu; meproduksi barang atau jasa dengan waktu yang dijanjikan atau yang ditargetkan. • Disiplin mutu/kualitas; memproduksi barang atau jasa dengan kualitas yang dijanjikan, presisi dan tepat komposisi • Disiplin prosedur; mengikuti prosedur yang wajib dilalui, karena melewatkan salah satu prosedur dapat berakibat buruk terhadap hasil produksi atau kondisi mesin/peralatan. Kondisi Ideal Teaching Factory yang Ingin Dicapai Keberhasilan dari implementasi metode pembelajaran TF secara sederhana dapat dilihat dari dua indikator utama di antaranya: 1) Utilitas dan keberlanjutan penggunaan peralatan (dapat dilihat melalui penerapan sistem pembelajaran blok dan kontinyu) 2) Integrasi proses produksi atau layanan jasa ke dalam bahan ajar. Untuk membuktikan pencapaian dua indikator tersebut, terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh institusi. Aspek-aspek tersebut merupakan aspek-aspek yang dapat mendukung pencapaian kondisi ideal implementasi TF di SMK sebagai berikut: 107 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Tabel 11. Kondisi Ideal Teaching Factory (TF) yang Ingin Dicapai No. 1. Aspek Pembelajaran Kriteria Kondisi Ideal yang ingin Dicapai • • • 2. Sumber Daya Manusia • • • Bahan ajar, yang bertujuan untuk mencapai kompetensi, merupakan sesuatu yang multiguna (marketable). Bagi program kompetensi yang tidak menghasilkan produk/jasa dapat diarahkan pada simulasi dari situasi kerja riil di lapangan. Sistem penilaian berbasis TF Sistem pembelajaran schedule blok dan kontinyu Berkemampuan design engineering Menerapkan sense of quality, sense of efficiency dan sense of innovation Proses kegiatan belajar memperhatikan rasio guru dan peserta didik 3. Fasilitas • • • • 4. Kegiatan Praktik Menerapkan budaya industri seperti: • Standar kualitas, adanya quality control • Target waktu • Efisiensi proses produksi • Rotasi kerja (shift) • Prosedur kerja jelas • Hasil praktik menjadi sumber pendapatan (generating income) • Fungsi/tanggung jawab yang jelas untuk setiap penanggung jawab • Lingkungan kerja yang aman dan nyaman • Keteraturan/kelancaran kegiatan pembelajaran • Adanya kontrol dan pemantauan secara terus-menerus 5. Network Kerja sama dengan industri yang bertujuan untuk: • Transfer teknologi dan pengetahuan seperti adanya kelas Trakindo-teknik mesin, kelas Honda/Daihatsuotomotif • Membangun budaya industri di lingkungan sekolah 108 Memenuhi rasio 1:1 (peserta didik dan alat) Penerapan MRC Kesesuaian dan kelengkapan alat bantu proses Pengembangan alat secara terus-menerus (penambahan alat) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK No. 7. Aspek Kriteria Kondisi Ideal yang ingin Dicapai 6. Produk/Jasa Menghasilkan produk/jasa yang sesuai dengan standar 7. Transparansi Pencatatan transaksi keuangan sesuai dengan standar prosedur akuntansi (tata kelola keuangan) 8. Aspek Legal Ketersediaan aspek legal untuk penyelenggaraan TF Komponen Utama Ekosistem Teaching Factory di SMK Komponen-komponen utama ekosistem dalam mengimplementasikan Teaching Factory (TF) adalah sebagai berikut: a) Peserta didik Unsur ini menjelaskan bahwa belajar merupakan fokus utama dari penyelenggaraan kegiatan sekolah dan fokus dari kegiatan belajar adalah membangun sikap/perilaku (yang merupakan bagian terpenting dari karakter). Bagi peserta didik TVET, sikap/perilaku merupakan suatu elemen yang penting dalam mempersiapkan diri memasuki dunia industri. Oleh karena itu, sekolah perlu mengembangkan pembelajaran yang tidak hanya mencakup hardskill tetapi juga mencakup softskill, diantaranya: i. Motorik/Skill Kemampuan ini berkaitan dengan mutu atau kualitas dari hasil pekerjaan atau praktik yang dilakukan oleh peserta didik. Melalui pengembangan kemampuan motorik, peserta didik akan dapat melakukan setiap pekerjaan atau praktik secara presisi. Kemampuan ini memaksa peserta didik untuk mencapai batas standar atau kualitas yang telah ditetapkan, seperti pada produk mekanik fine-N6-0,02 > 50% yang berarti bahwa 50% produk yang dibuat harus rapi, memiliki tingkat kerataan N6, dan memiliki tingkat toleransi 0,02. Tahapan ini mendorong peserta didik untuk memperkuat perilaku “kejujuran” dengan membuktikan sendiri batas kesanggupan dalam melakukan praktik. Dengan demikian, melalui kemampuan motorik yang baik, peserta didik akan menghasilkan produk yang memiliki nilai disiplin kualitas/mutu (rapi, cepat, dan presisi). ii. Kognitif/Knowledge Kemampuan ini berkaitan dengan produktivitas dan pengembangan pemikiran. Ketersediaan silabus diperlukan agar tercipta suatu strategi 109 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK pengembangan yang sistematis. Dengan kemampuan kognitif yang baik, peserta didik akan mampu melakukan proses evaluasi dan menumbuhkan pemikiran yang penuh dengan inovasi atau hal-hal baru. Oleh karena itu, ranah kognitif akan memperkuat tumbuhnya perilaku “kepedulian“. iii. Afektif/Attitude Kemampuan afektif merupakan hasil yang dicapai apabila kemampuan motorik dan kemampuan kognitif telah berhasil ditanamkan pada peserta didik. Kemampuan ini menumbuhkan “karakter” integritas pada peserta didik yang mencakup sikap disiplin, handal, terbuka, empati, kepemimpinan, dan kewirausahaan. Dalam kurikulum yang berlaku di tingkat TVET, hubungan antara skill, knowledge dan attitude bergantung pada tiga mata pelajaran yang berbeda yakni mata pelajaran produktif (kerja tangan dan kerja mesin), mata pelajaran adaptif (IPA dan IPS), dan mata pelajaran normatif (Bahasa dan Etika). Ketiga mata pelajaran tersebut membutuhkan skill yang sama dalam hal kerapihan, kecepatan, dan tingkat presisi. Begitu pun dengan knowledge yang dibutuhkan adalah pengetahuan yang sistematis. Namun demikian, attitude yang dihasilkan dari ketiganya berbeda-beda sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dalam konsep TF, mata pelajaran produktif adalah mata pelajaran yang sangat erat kaitannya dengan implementasi TF. Mata pelajaran ini terdiri dari dua jenis yaitu kerja tangan (kerja bangku, GT, dll) dan kerja mesin (teknik bubut, frais, dll). Meskipun keduanya berada pada program kurikulum yang sama, namun attitude yang dihasilkan dari keduanya berbeda. Untuk kerja tangan, attitude yang dihasilkan bersifat kualitatif yakni cekatan. Sementara pada kerja mesin, attitude yang dihasilkan bersifat kuantitatif yakni taktis. Attitude ini hanya dapat dihasilkan apabila nilai-nilai dalam skill dan knowledge yang diharapkan telah terpenuhi. Unsur penentu pertama ini secara praktis dapat dilihat pada bagan/ skema pencapaian kompetensi sebagai berikut: 110 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Gambar 39.”Skill - Knowledge - Attitude” Level Kompetensi Lulusan SMK yang dikatakan kompeten adalah lulusan tersebut dianggap mampu atau dipercaya untuk memperoleh kewenangan. Bagan di atas menjelaskan mengenai level kompetensi melalui hubungan yang saling berkaitan antara skill, knowledge dan attitude. Garis vertikal merupakan nilainilai dalam skill, garis horizontal merupakan nilai-nilai dalam knowledge, dan garis diagonal menjelaskan nilai-nilai dalam attitude. Kemampuan motorik mencakup kemampuan terbimbing, terbiasa, lincah, variatif, dan kreatif. Knowledge mencakup kemampuan untuk memahami, menerapkan, menganalisa, mengembangkan konsep atau skema, dan inovatif. Attitude mencakup sikap mandiri, integrasi, dan intuitif. Apabila dikaitkan satu sama lainnya, nilai-nilai tersebut akan membentuk level kompetensi profesi yang berbeda sebagai berikut: i. Juru; level kompetensi sebagai seorang juru dapat diperoleh apabila peserta didik memiliki sikap mandiri. Sikap ini dapat diperoleh apabila peserta didik mampu untuk berpartisipasi, memiliki pengetahuan, memahami pengetahuan tersebut, menerima dengan baik pengetahuannya, mampu menerapkannya, berperilaku sesuai dengan bimbingan, dapat membiasakan diri, serta mampu menganalisa suatu permasalahan. 111 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK b) ii. Teknisi; pada level kompetensi ini seseorang telah mampu untuk bekerja sama dalam sebuah tim. Untuk mencapai tahapan ini, diperlukan sikap yang mampu mengintegrasikan atau menyelaraskan sebuah tugas. Level ini dapat diperoleh apabila seseorang yang telah mandiri mempunyai sikap yang cekatan atau lincah, memiliki pemikiran atau ide yang bervariasi, serta mampu mengembangkan sebuah konsep atau skema. iii. Ahli; seseorang yang telah mampu menyelaraskan atau mengintegrasikan sebuah persoalan, memiliki kreativitas dan kemampuan untuk berinovasi maka seseorang tersebut memiliki sikap yang terpola dan intuitif. Kemampuan ini menjadikan seseorang layak untuk disebut sebagai seorang ahli. Guru Unsur kedua ini berkaitan dengan fungsi guru atau instruktur di institusi. Dalam hal ini, guru atau instruktur merupakan sumber daya utama yang menjadi tolok ukur bagi peserta didik TVET dalam mengimplementasikan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan industri. Keteladanan guru cenderung akan ditiru oleh peserta didik dan hal ini memengaruhi afeksi peserta didik. Dengan kata lain, peserta didik menjadi imitator guru atau instruktur dalam kegiatan pembelajaran praktik. Oleh karena itu, dalam melaksanakan fungsinya, guru atau instruktur mempunyai peranan dan berkemampuan sebagai: c) • Pengajar, pendidik dan pembimbing • Operator, mandor dan inspector • Fasilitator, inisiator dan investor • Role model Manajemen Sekolah Manajemen sekolah juga merupakan unsur yang penting dalam implementasi TF. Manajemen berperan sebagai stimulator atau penggerak kinerja institusi. Program evaluasi kerja sekolah mencakup beberapa aspek sebagai berikut: 112 • Implementasi kurikuler harus sesuai atau melebihi kebutuhan pembelajaran; • Implementasi bisnis harus bersifat operasional, mengarah pada kesejahteraan dan re-investasi; • Program pengembangan sekolah harus mencakup kapasitas sekolah, jangkauan pengembangan, dan peningkatan sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Ketiga unsur penentu utama tersebut merupakan subjek utama dalam mendukung keberhasilan implementasi TF. Dalam pelaksanaannya, ketiga unsur tersebut mengikuti ketentuan yang termuat dalam kurikulum nasional. Namun demikian, pelaksanaan dari kurikulum nasional tersebut memerlukan keselarasan dengan tuntutan perkembangan teknologi di masyarakat dan di lingkungan industri. Tabel 12. Komponen Utama Ekosistem Teaching Factory di SMK No. 1. Subjek Peserta didik Objek a. Attitude Karakteristik • • • 2. Guru/ Instruktur Kehadiran peserta didik mencapai 100%, mengikuti proses KBM sistem blok dan kontinyu Perilaku tidak berkelahi di lingkungan sekolah dan tidak mencuri milik pihak lain atau melanggar peraturan lainnya Mengikuti instruksi dan mematuhi prosedur serta ketentuan di ruang praktik a. Attitude Membangun mindset dasar untuk membantu peserta didik mencapai kompetensi motorik, kognitif, dan afektif melalui workshop, training, dan coaching b. Bahan ajar Operasional dengan sistem blok dan kontinyu: beban kerja dikonversikan dari 24 jam/minggu/satu kompetensi menjadi 24 jam/minggu/satu porsi beban kerja dengan rasio: • Teori di kelas = 1 guru : 24 hingga 36 peserta didik • Praktik di bengkel = 1 instruktur : 8 hingga 10 peserta didik • Alat kerja manual = 1 instruktur : 12 hingga 16 peserta didik c. Pembelajaran RPP diuraikan dalam 7 level: • Level 1 dan 2 (basic kurikuler di kelas) • Level 2 dan 3 (basic kurikuler di bengkel) • Level 4 – 7 (applied kurikuler di bengkel dan atau di Unit Produksi) 113 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK No. 3. D. Subjek Manajemen Objek Karakteristik a. Regulasi operasional Jadwal bengkel/praktik menjadi prioritas dan berjalan secara kontinyu, bahan ajar selalu tersedia, dikerjakan sebanyakbanyaknya oleh peserta didik dengan pendampingan yang sesuai dan sepadan oleh guru/instruktur, dan pemantauan secara kontinyu guna melakukan koreksi atas kesalahan yang terjadi selama kegiatan praktik b. Rekayasa dan rasionalisasi Terdapat fungsi kerja yang mengakses ke bisnis: • Biro konstruksi/rekayasa • Research and development (R & D) • Maintenance and repair (MR) • Production Planning Control (PPC)/ Logistik • Marketing/sale untuk mengonversi bahan ajar menjadi produk/layanan jasa seperti permintaan pasar/industri c. Self financed Mengembangkan penerimaan dari kegiatan produktif hingga dapat memenuhi biaya operasional sekurangkurangnya berkontribusi dalam penghematan (saving cost) hingga reinvestasi (self financed) sebagai tolok ukur keberhasilan integrasi proses bisnis ke dalam kurikuler Konsep Technopark di SMK Technopark di SMK merupakan salah satu bentuk wadah (integrator) untuk menghubungkan antara SMK-SMK yang telah melaksanakan program Teaching Factory dengan dunia industri. Technopark bertujuan untuk merangsang dan mengelola arus pengetahuan dan teknologi sesama SMK pelaksana program Teaching Factory; memfasilitasi penciptaan dan pertumbuhan pendukung industri berbasis inovasi melalui inkubasi bisnis dan proses spin-off, dan menyediakan layanan peningkatan nilai tambah lainnya, melalui penyediaan ruang dan fasilitas berkualitas tinggi pendukung. Technopark memiliki beberapa fasilitas, antara lain inkubator bisnis, angel capital, seed capital, venture capital. Stakeholder dari suatu Technopark di SMK biasanya adalah 114 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK pemerintah (biasanya pemerintah daerah), komunitas peneliti (akademis), komunitas bisnis dan finansial. Stakeholder bekerja sama untuk mengintegrasikan penggunaan dan pemanfaatan bangunan komersial, fasilitas riset, conference center, sampai ke hotel. Bagi pemerintah daerah, Technopark di SMK menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan daerah. Bagi para pekerja yang berpendapatan cukup tinggi, Technopark di SMK memiliki daya tarik karena situasi, lokasi dan lifestyle. Technopark SMK mencoba menggabungkan ide, inovasi, dan know-how dari berbagai SMK pelaksana Teaching Factory dan kemampuan finansial (dan marketing) dari dunia bisnis. Diharapkan dari penggabungan ini dapat meningkatkan dan mempercepat pengembangan produk serta mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan inovasi ke produk yang dapat dipasarkan, dengan harapan untuk memperoleh economic return yang tinggi. Gambar 40. Technopark di SMK sebagai Intergrator SMK Pelaksana Teaching Factory 115 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Adapun tujuan dari Technopark di SMK secara umum dapat dirangkum sebagai berikut: a) Sebagai penopang potensi ekonomi lokal sesuai dengan kebutuhan industri. b) Sebagai “Think-thank” pengembangan produk dan jasa SMK yang sesuai dengan kebutuhan industri dan potensi lokal khususnya, maupun global pada umumnya. c) Sebagai “One-Stop-Solution” untuk kebutuhan industri akan SDM maupun inovasi dalam bidang produk dan jasa. d) Sebagai “koordinator” dari beberapa TF SMK, sehingga memudahkan industri untuk menjangkau SMK dengan TF-nya, maupun sebaliknya. e) Menjadi pusat pelatihan bagi SMK untuk pengembangan TF. f) Sebagai “etalase” unjuk kemampuan SMK yang dibuktikan dengan hasil produk dan jasa. g) Memfasilitasi incubator bisnis (“entrepreneurship”) bekerja sama dengan instansi lain (SMK, masyarakat, perguruan tinggi, industri, pemerintah) untuk mengembangkan potensi yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan sekitarnya. Sumber : Bappenas tahun 2015 Gambar 41. Konsep Technopark 116 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Berdasarkan uraian di atas sebagaimana gambar 41, serta memperhatikan tugas dan fungsi Sekolah Menengah Kejuruan, Technopark di SMK lebih ditekankan pada wadah promosi bagi dunia pendidikan yang dalam hal ini adalah Teaching Factory di SMK untuk mempromosikan hasil produksi dan menjadi jembatan komersialisasi produk-produk yang dihasilkan. Komersialisasi ini di antaranya meliputi inkubasi bisnis, yang mematangkan suatu inovasi yang telah teruji secara ilmiah, agar jika diproduksi mampu bersaing di pasar bebas. Di samping itu, juga sebagai sarana untuk menjalin kerja sama antara perguruan tinggi atau industri dalam rangka memproduksi atau hilirisasi inovasi-inovasi yang telah dihasilkan oleh perguruan tinggi atau yang akan diproduksi secara massal oleh dunia industri. 117 BAB V ARAH KEBIJAKAN IMPLEMENTASI, KERANGKA KELEMBAGAAN DAN KERANGKA REGULASI DAFTAR ISI A. Arah Kebijakan 120 B. Implementasi Teaching Factory di SMK 125 C. Implementasi Technopark di SMK 143 D. Kerangka Kelembagaan 145 E. Kerangka Regulasi 146 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK BAB V ARAH KEBIJAKAN IMPLEMENTASI, KERANGKA KELEMBAGAAN DAN KERANGKA REGULASI A. Arah Kebijakan Dalam RPJMN 2015-2019, diamanatkan bahwa peningkatan kemampuan SDM dan iptek untuk mendukung pengembangan klaster-klaster industri sangat diperlukan. Pembangunan industri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perindustrian memerlukan berbagai dukungan dalam bentuk perangkat kebijakan yang tepat, perencanaan yang terpadu, dan pengelolaan yang efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Ketersediaan sumber daya manusia yang terampil dan cerdas (skilled labor) merupakan modal utama untuk merintis terbangunnya proyek-proyek besar di setiap klaster industri. Untuk itu, perlu percepatan dan perluasan pembangunan SMK-SMK yang menerapkan Teaching Factory di SMK dan Techno Park SMK pada beberapa kawasan industri. Sejalan dengan arah kebijakan dalam RPJMN 2015-2019, berikut dijabarkan arah kebijakan pengembangan Teaching Factory di SMK dan TechnoPark SMK adalah sebagai berikut: 1. Membangun partnership antara SMK dengan dunia bisnis Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 15 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Sejalan dengan hal tersebut, Keputusan Mendikbud Nomor 0490/1992 tentang Kerja sama SMK dengan Dunia Usaha dan Industri (DU/DI) bertujuan untuk meningkatkan kesesuaian program SMK dengan kebutuhan dunia kerja yang diusahakan dengan saling menguntungkan. Hal ini memperjelas bahwa memang hubungan kerja sama antara sekolah dengan dunia usaha dan industri sangat diperlukan untuk mendukung terselenggaranya program SMK. Dunia usaha dan industri harus terlibat langsung dan mau menjadi mitra kerja bagi sekolah kejuruan untuk menyalurkan peserta didiknya dalam implementasi nyata praktik keahlian peserta didik selama di sekolah. Penyelenggaraan layanan SMK harus sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja untuk menunjang keselarasan pendidikan kejuruan serta memperkuat penyelenggaraan pembelajaran maka setiap SMK harus mempunyai hubungan yang permanen dengan industri untuk seluruh tahapan pembelajaran mulai dari perencanaan, pelaksanaan/ 120 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK proses pembelajaran, supervisi dan penilaian. Adapun langkah-langkah kebijakan yang dapat dilakukan antara lain: 2. a) Membuat mekanisme pembelajaran di SMK yang didukung oleh pemerintah, bimbingan dari industri, dan keterlibatan masyarakat; b) Mempromosikan kerja sama SMK dengan industri dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan; c) Mendorong industri dan perusahaan membuka atau menjalankan SMK; d) Mendorong SMK terlibat dalam pelatihan karyawan perusahaan; Pengembangan Fasilitas Pendidikan SMK. Peningkatan mutu lulusan sangat dipengaruhi oleh kualitas layanan pendidikan oleh satuan pendidikan yang salah satu unsur pentingnya adalah ketersediaan sarana dan prasarana pendukung proses pembelajaran. Standar Nasional Pendidikan telah mengatur kriteria sarana dan prasarana yang ideal disediakan sekolah untuk mendukung pembelajaran yang optimal. Pengembangan Teaching Factory di SMK dan Techno Park SMK mutlak memerlukan sarana dan prasarana yang memadai. Standar Industri juga harus dipenuhi guna menghasilkan produk-produk yang akan dipasarkan. Sarana untuk Teaching Factory harus mengadopsi tata ruang (layout) yang lazim digunakan oleh industri, yang mengedepankan alur produksi yang efisien dan terpadu. Selain itu, keberadaan peralatan merupakan salah satu komponen yang penting pada SMK agar siswa berkompeten, maka keberadaan peralatan pendidikan untuk menunjang pelaksanaan pembelajaran CBT, PBET dan Teaching Factory di SMK yang sesuai dengan fokus komoditi/produk/jasa yang akan dikuasai mutlak diperlukan. Adapun langkah-langkah kebijakan yang dapat dilakukan antara lain : a) Menfasilitasi SMK sehingga menjadi pusat-pusat unggulan layanan pendidikan kejuruan yang bermutu; b) Menfasilitasi SMK dengan sarana pengembangan softskill, perpustakaan dan jaringan internet berkecepatan tinggi; c) Menfasilitasi SMK dengan sarana dan prasarana yang mendukung program keunggulan daerah; d) Mengembangkan SMK sebagai tempat uji kompetensi sehingga mampu sebagai pelaksana sertifikasi bagi siswa SMK serta bagi masyarakat; e) Menfasilitasi SMK rujukan sebagai tempat pendampingan guru SMK aliansi; f) Memfasilitasi SMK rujukan memiliki asrama yang dapat menampung siswa dari luar daerah dan guru tamu; 121 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 3. Pengembangan Kualifikasi dan Kualitas Guru Kejuruan. Guru kejuruan merupakan faktor kunci dalam penyelenggaraan proses pembelajaran di SMK. Ketersediaan dan kualitas guru kejuruan merupakan hal mutlak dalam pengembangan Teaching Factory di SMK dan Techno Park SMK. Pengembangan SMK menjadi Teaching Factory atau Technopark harus dibarengi dengan penyediaan guru kejuruan yang berkualitas, tidak hanya secara akademis namun juga sangat penting mempunyai pengalaman di industri yang sesuai dengan program keahliannya. Adapun langkah-langkah kebijakan yang dapat dilakukan antara lain : 4. a) Peningkatan kualitas guru kejuruan dengan Double Kompetensi. Pengembangan Teaching Factory di SMK dan Techno Park SMK tentunya menuntut dukungan guru-guru berkualitas. Selain kualifikasi S1/D4 selain memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen harus dilengkapi dengan pengalaman produksi di industri agar mampu mengimplementasikan program Teaching Factory di SMK. Oleh karena itu dengan guru kejuruan diharapkan memiliki “Double Kompetensi“. b) Memberlakukan peraturan keharusan praktik pengalaman kerja bagi guru SMK salah satunya melalui pemagangan guru di Industri; c) Memberikan pendampingan SMK dalam penyempurnaan sistem kepegawaian di sekolah sehingga dapat mempekerjakan guru ahli yang berpengalaman kerja agar bisa mengajar di SMK sebagai guru tamu paruh waktu. d) Menjadikan SMK Rujukan sebagai “hub” untuk pelaksanaan praktik mengajar bagi guru muda produktif di SMK. Penguatan Peserta Didik Peserta didik merupakan output dari SMK yang perlu diperhatikan sehingga dapat mengikuti proses pembelajaran sampai tercapainya seluruh target kompetensi. Hasil akhirnya peserta didik dapat menyelesaikan sekolahnya dan mampu memperoleh pekerjaan. Adapun langkah-langkah kebijakan yang dapat dilakukan antara lain : 122 a) Penyediaan Bantuan Biaya Pendidikan. Untuk memastikan siswa-siswa yang memiliki keterampilan namun mengalami kesulitan ekonomi diperlukan kebijakan pemberian bantuan biaya pendidikan. Dengan diluncurkannya Program Indonesia Pintar, diharapkan masyarakat terbantu untuk bisa menyekolahkan anaknya hingga pendidikan menengah. b) Penyediaan beasiswa siswa SMK diprioritaskan bagi siswa yang berprestasi dan bagi siswa yang kurang beruntung. Selain itu pemberian beasiswa juga diberikan untuk mendukung kebijakan pemerintah secara khusus yang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK bentuknya antara lain beasiswa pertanian, beasiswa pelayaran, beasiswa program keahlian khusus dan beasiswa kewirausahaan. 5. Pengembangan Sistem Pembelajaran berbasis Teaching Factory di SMK Program teaching factory merupakan perpaduan pembelajaran yang sudah ada yaitu Competency Based Educationand Training (CBET) dan Production Based Education and Training (PBET), dalam pengertiannya bahwa suatu proses keahlian atau keterampilan (life skill) dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prosedur dan standar bekerja (Standard Operation Procedure) yang sesungguhnya untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan tuntutan pasar/konsumen. Adapun langkah-langkah kebijakan yang dapat dilakukan antara lain : a) Implementasi Pembelajaran CBET diarahkan menjadi PBET, yang kemudian berlanjut ke Teaching Factory. Pengertiannya bahwa suatu proses keahlian atau keterampilan (lifeskill) dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prosedur dan standar bekerja yang sesungguhnya untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan tuntutan pasar/ konsumen. Dengan perkataan lain, untuk mencapai kompetensi tertinggi, Jobsheet dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prosedur dan standar kerja yang sesungguhnya untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan tuntutan pasar artinya kualitasnya sudah dipercayai pasar, bukan produk gagal. Perubahan pada kurikulum yang berlaku perlu dilakukan dalam rangka memenuhi SKKNI dan penyesuaian terhadap implementasi pembelajaran yang diterapkan pada Teaching Factory. Proses penerapan program Teaching Factory adalah dengan memadukan konsep bisnis dan pendidikan kejuruan sesuai dengan kompetensi keahlian yang relevan, misalnya : pada program studi keahlian teknik otomotif melalui kegiatan pemeliharaan sepeda motor yang dikerjakan oleh peserta didik. b) Penyediaan Bahan Pembelajaran. Bahan pembelajaran merupakan fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran. Bahan pembelajaran ini bisa berupa bahan bacaan, media, atat peraga, atau alat pendukung lainnya. Untuk menyukseskan Pengembangan Teaching Factory di SMK dan Techno Park SMK ini bahan pembelajaran perlu disiapkan dan diadakan secara lengkap, sehingga proses belajar mengajar tidak terhambat oleh kurangnya bahan pembelajaran. c) Implementasi Sistem Pembelajaran Schedule Block. Sistem blok merupakan pengelompokan jam belajar efektif dalam satuan waktu yang terangkum memungkinkan anak didik mengikuti dan menerima materi pembelajaran secara maksimal dan utuh. Dengan sistem blok keuntungan yang akan diperoleh adalah sebagai berikut (1) Dengan waktu tatap muka yang lebih lama guru dapat menggunakan strategi pembelajaran yang bervariatif dan 123 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK metode yang inovatif; (2) Waktu untuk sebuah pembelajaran yang efektif dapat lebih lama hal ini dikarenakan dengan sistem blok waktu tidak akan terbuang untuk pembukaan kelas, penjelasan tujuan atau aturan-aturan lain dalam pembelajaran serta rutinitas lain seperti sistem tradisional; (3) Dengan waktu pembelajaran yang lebih lama, memberikan guru kesempatan untuk mengembangkan pembelajaran lebih dalam, dan diskusi dengan pemikiran yang kritis sehingga memungkinkan guru untuk berinteraksi dengan seluruh siswa; dan (4) Kehadiran siswa meningkat. Dengan demikian sistem blok merupakan sistem pembelajaran yang mengatur atau mengelompokkan jam pembelajaran menjadi lebih panjang agar siswa dapat belajar secara maksimal. Implementasi sistem ini akan meningkatkan kualitas dan daya saing lulusan SMK. Penjadwalan sistem blok diprioritaskan dimana sekolah melakukan investasi paling banyak, yaitu di bengkel atau laboratium. Selanjutnya baru penjadwalan teori di kelas yang menyesuaikan jadwal di bengkel/laboratorium. Hal ini akan meningkatkan efisiensi investasi sekolah pada bengkel/lab dan sekaligus meningkatkan keterampilan siswa dengan waktu praktik yang lebih panjang. d) Pengembangan Prakarya dan Kewirausahaan. Untuk memberikan nilai tambah bagi siswa pendidikan menengah, setiap siswa perlu memperoleh wawasan mengenai prakarya dan kewirausahaan. Dengan wawasan ini mereka dapat mengembangkan pengetahuannya menjadi seorang yang kreatif dan berjiwa kewirausahaan. Untuk itu pemerintah pusat dan daerah perlu menjalin kerja sama dengan dunia usaha dan industri, serta perbankan sehingga lulusan yang akan membuka wirausaha memperoleh dukungan dari sisi pengalaman dan finansial. Fungsi dari techno park dapat dioptimalkan melalui kerja sama dengan masyarakat dan industri maupun perguruan tinggi dan lembaga penelitian dalam rangka memfasilitasi inkubator bisnis. Wawasan kewirausahaan diberikan secara sistematis dengan tahapan: • Mengamati dan menganalisa proses produksi di industri • Mencapai kompetensi untuk menjalankan proses produksi • Menjalankan produksi dengan mengedepankan nilai-nilai industri (kualitas, efisien, proses, keamanan, delivery) Sehingga dengan demikian siswa mempunyai jiwa wiraswata yang akan diterapkan baik sebagai wirausaha (entrepreneur) ataupun sebagai pekerja produktif yang mempunyai spirit kewirausahaan, sehingga mampu meningkatkan daya saing perusahaan dan sekaligus meningkatkan kebutuhan SDM dan berdampak mengurangi pengangguran. 124 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 6. Peningkatan Partisipasi Masyarakat dan Dunia Usaha/Industri Partisipasi masyarakat dan dunia usaha/industri dalam pengembangan Teaching Factory di SMK dan Technopark di SMK merupakan wujud keikutsertaan dalam memberikan gagasan, kritik membangun, dukungan, dan pelaksanaan Teaching Factory di SMK dan Technopark di SMK itu sendiri. Partisipasi ini sangat diperlukan, dan SMK harus menjadi partner masyarakat dan dunia industri dalam melaksanakan pendidikan dan pembelajaran, karena kerja sama antara semuanya sangat penting dalam membentuk pribadi peserta didik, pendidik, serta keberhasilan Teaching Factory dan Technopark. Diperlukan sebuah wadah yang menjembatani semua komponen dalam rangka komunikasi dan mencari solusi dalam mengimplementasikan Teaching Factory dan Technopark. Selain itu, secara berkala dan berkelanjutan dunia industri dapat melakukan transfer softskill kepada peserta didik di SMK dengan melakukan pengajaran di satuan pendidikan. Penjadwalan kegiatan ini hanya dapat dilakukan jika wadah yang dibentuk berjalan dengan efektif. B. Implementasi Teaching Factory di SMK 1. Strategi Implementasi Penerapan konsep Teaching Factory membutuhkan sebuah kerangka yang sistematis agar dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan dunia pendidikan dan dunia industri. Kerangka tersebut bertujuan untuk mengarahkan SMK pada tahapan-tahapan yang akan dilalui sesuai dengan struktur prosedur implementasi Teaching Factory. Kerangka ini merupakan sebuah strategi yang melibatkan hubungan antar elemen dalam sistem pembelajaran di SMK yang pada dasarnya selalu mengacu pada kurikulum nasional yang berlaku di Indonesia. Oleh karena Teaching Factory merupakan sebuah metode pembelajaran, maka strategi implementasi yang dirancang adalah strategi yang berkaitan dengan proses kegiatan pembelajaran yang melibatkan seluruh elemen sekolah. Ketersediaan kurikulum atau silabus membantu SMK dalam menyusun Rencana Program Pembelajaran (RPP) dan bahan ajar. Namun demikian, untuk menyusun RPP suatu program keahlian atau kompetensi keahlian, SMK setidaknya harus mampu mengidentifikasi kebutuhan dari program keahlian tersebut dan sumber daya yang telah dimilikinya. Salah satu metode pembelajaran yang telah diterapkan oleh beberapa institusi, proses identifikasi yang mengawali penyusunan RPP adalah penentuan system schedule. Hal ini bertujuan agar penyusunan RPP tepat sasaran dan tersistematis serta disesuaikan dengan konsep penerapan Teaching Factory. Untuk mengawali hal tersebut, terdapat dua hal yang paling komunikatif dan mendasar yaitu Rencana Program Pembelajaran (RPP) dan schedule. Keduanya memiliki fungsi sebagaimana dijelaskan pada gambar 39 sebagai berikut: 125 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Gambar 42. Kerangka Strategi Implementasi Teaching Factory Ciri khas lain PBET dan Teaching Factory adalah praktik dalam “sistem blok yang terus menerus” (continuous). Sistem blok berarti praktik yang dilaksanakan dalam jangka waktu cukup lama, misalnya 1-2 minggu praktik dan 1 minggu teori (disesuaikan dengan program keahlian). Sistem blok akan berdampak signifikan kepada peningkatan kualitas keterampilan (skill) maupun karakter (sikap). Sedangkan “terus-menerus” berarti penggunaan ruang praktik yang terus-menerus, sehingga peserta didik mendapatkan manfaat yang maksimal dari fasilitas praktik (bengkel/lab) yang investasinya jauh lebih mahal daripada ruang teori (kelas). Dari uraian pada gambar 42 di atas maka terlihat jelas dampak yang akan dicapai dengan penerapan konsep Teaching Factory, yaitu antara lain: 126 • Peningkatan kompetensi (hard-, soft-skill, entrepreneurship, attitude/karakter, inovasi) • Peningkatan utilisasi peralatan. • Biaya praktik yang semakin efisien namun lebih berkualitas. • Peningkatan kapasitas pengajar melalui proses dan transfer teknologi dari industri. • Pendidikan yang berorientasi ke industri. • Peningkatan kerja sama dengan industri yang saling menguntungkan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 2. • Keterlibatan masyarakat dan dunia industri yang merupakan stakeholder pendidikan. • Continuous Improvement yang terjadi secara berkesinambungan sesuai dengan tuntutan industri. Perangkat Operasional Implementasi Schedule dan RPP merupakan perangkat utama dalam mengawali implementasi Teaching Factory. Tetapi, dalam penyusunan dan pengembangan schedule dan RPP, terdapat beberapa unsur baku yang menjadi pertimbangan agar schedule dan RPP sesuai dengan tujuan implementasi TF. Unsur-unsur tersebut merupakan gambaran mengenai tata cara atau garis besar dalam mengembangkan bahan ajar (module development) menjadi beberapa tingkatan. Gambar 43. Garis Besar Pengembangan Schedule dan RPP Perangkat Pertama, Schedule (Penjadwalan kegiatan belajar mengajar). Secara harfiah, Schedule berarti upaya untuk berfokus pada optimalisasi sumber daya (peserta didik, sarana dan prasarana) menjadi sesuatu yang bernilai efisien. Oleh karena itu, dalam menyusun schedule, sekolah harus mempertimbangkan aspek-aspek sebagai berikut: a) Kedalaman belajar yang mencakup (1) waktu belajar; (2) strategi pembelajaran; (3) teknik evaluasi (baik akademis maupun bahan ajar). Aspek ini merupakan aspek yang sangat penting untuk dirancangkan sebelumnya karena berkaitan dengan skala prioritas antar tiap program studi. 127 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK b) Rotasi, baik peserta didik maupun guru, yang bertujuan untuk pemanfaatan sumber daya yang dimiliki secara optimal. c) Sarana dan prasarana, bertujuan untuk mengatur penggunaan sarana dan prasarana agar dapat dimanfaatkan oleh seluruh aktor dengan baik, sesuai dengan kebutuhan pembelajaran, dan menjaga agar sarana dan prasarana tetap dalam kondisi baik. d) Anggaran (operasional), bertujuan agar alokasi anggaran selalu menyesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran dan begitu pula sebaliknya. Schedule merupakan strategi implementasi yang paling mendasar dalam pola penerapan TF. Dalam penyusunannya, schedule sangat memperhatikan hubungan antara keberadaan dan fungsi personil serta metode yang akan diterapkan. Selain itu, setiap penyusunan schedule dan RPP diharuskan untuk mencapai hasil akhir yaitu perilaku industri sebagai pokok tujuan dalam konsep TF, di antaranya kompeten, produktif, dan diterima pasar (memperoleh keuntungan/profit). Sebelum menyusun schedule, SMK terlebih dahulu harus mengidentifikasi sasaran dari proses belajar mengajar yaitu ranah belajar dan kedalaman belajar pada mata pelajaran normatif, produktif, dan adaptif yang mencakup beberapa pokok sebagai berikut: Tabel 13. Identifikasi Sistem Pembelajaran Komponen Kompetensi 128 Sasaran Proses Belajar Mengajar 1. Motorik 2. Kognitif 3. Afektif Urutan 1. 2. 3. 4. Basic Aplikasi Advance Assessment Metode 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Penjelasan Peragaan Pendampingan/penyertaan Unjuk kerja terstruktur Unjuk kerja magang Pengukuran/kontrol Umpan balik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Komponen Sasaran Proses Belajar Mengajar Media 1. 2. 3. 4. Panduan kurikuler Sarana prasarana Sistem penilaian Ko & ekstra kurikuler Waktu 1. Reguler 2. Non reguler Langkah berikutnya setelah institusi mampu mengidentifikasi sistem pembelajaran yang akan diterapkan, ialah membentuk koordinasi dan regulasi kerja. Langkah ini merupakan langkah yang cukup penting terutama berkaitan dengan fungsi dari SDM atau personil tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah. Dengan kata lain, sekolah harus menyusun struktur kerja dan lingkup kerja (jobdesc) di masing-masing program studi. Penyusunan struktur kerja ini memungkinkan pemahaman kejelasan fungsi antar SDM yang akan memengaruhi penyusunan schedule yakni dalam penyusunan beban kerja baku. Apabila sekolah telah mampu mengidentifikasi sistem pembelajaran dan struktur kerja, maka sekolah dapat mengembangkan schedule pembelajaran sebagai langkah awal dari penyusunan RPP. Di dalam schedule setidaknya mencakup sarana dan prasarana (pemakaian, pendayagunaan, dan perawatan), kapasitas dan estimasi kerja (keteraturan jam belajar dan pemakaian sarana prasarana dan kehadiran peserta didik), serta pencapaian kompetensi pada setiap program belajar. Schedule bertujuan untuk mengatur agar program pembelajaran dapat berjalan secara berkelanjutan sebagaimana konsep yang dijalankan oleh industri untuk selalu berproduksi. Pada schedule, institusi menerapkan sistem produksi yang kontinyu atau terus-menerus, sehingga institusi dapat memperhitungkan estimasi dari suatu produk yang mencakup proses penyelesaian dan pemasaran. Karena kegiatan produksi dilakukan secara kontinyu, maka hasil produk bukan lagi untuk kebutuhan internal, melainkan untuk kebutuhan eksternal. Berikut merupakan muatan yang tercakup dalam schedule: a) Perputaran/rotasi, bertujuan untuk menciptakan sistem yang terus-menerus; b) Durasi/waktu, berkaitan dengan fokus kedalaman belajar; c) Sarana dan prasarana, berkaitan dengan optimalisasi dan utilitas sarana dan prasarana; d) Kegiatan pembelajaran peserta didik, mengajarkan untuk bekerja sama dalam tim; e) Pendampingan, dilakukan oleh instruktur terutama dalam penyelesaian/ penuntasan hasil produk. 129 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Pengembangan schedule merupakan perpaduan dari tiga pokok sistem pembelajaran yakni: a) Sistem pembelajaran konvensional Sistem pembelajaran ini mengacu pada kurikulum nasional yang berlaku di Indonesia. Sistem pembelajaran konvensional memuat unsur-unsur yang baku, di antaranya: • Durasi waktu, yaitu jumlah jam minimal yang digunakan oleh setiap program keahlian. Apabila suatu program keahlian memerlukan waktu yang lebih panjang, maka penambahan jam diintegrasikan dalam mata pelajaran yang sama di luar jumlah jam belajar yang telah dicantumkan. • Terdiri dari berbagai mata pelajaran yang ditentukan sesuai dengan kebutuhan setiap program keahlian. • Jumlah jam belajar Kompetensi Kejuruan pada dasarnya sesuai dengan kebutuhan standar kompetensi kerja yang berlaku di dunia kerja, tetapi tidak boleh kurang dari 1000 jam. • Ekuivalen 2 jam pembelajaran (per minggu). Untuk lebih memahami sistem pembelajaran konvensional dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 14. Tabel Struktur Kurikulum (Generik) Standar -Kasus Program Keahlian Pemesinan NO. A. Komponen Durasi Waktu (Jam) Mata Pelajaran 1. Normatif Pendidikan Agama Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan 1.5 Seni Budaya 1.1 1.2 1.3 1.4 192 192 192 192 128 2. Adaptif 2.1 Matematika 2.2 Bahasa Inggris 2.3 Ilmu Pengetahuan Alam 130 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan 516 a) 440 a) 192 a) Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK NO. Komponen 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 Ilmu Pengetahuan Sosial Fisika Kimia KKPI Kewirausahaan Durasi Waktu (Jam) 128 a) 276 a) 192 a) 202 192 3. Produktif a. Dasar Kompetensi Kejuruanb) b. Kompetensi Kejuruanb) 140 1044 c) 192 B. Muatan Lokal C. Pengembangan Dirid) Jumlah (192) 4602 Durasi jam belajar yang tertulis pada struktur kurikulum adalah jumlah jam pembelajaran tatap muka. Dua jam pembelajaran praktik di sekolah atau empat jam pembelajaran praktik di DU/DI setara dengan satu jam tatap muka. Alokasi waktu untuk prakerin diambil dari durasi waktu mata pelajaran kompetensi kejuruan (1044 jam). b) Sistem pembelajaran blok Implementasi dari sistem ini adalah melalui sistem rotasi dalam penggunaan bengkel atau penyelenggaraan kegiatan praktik. Hal ini sebagai strategi dalam mengatasi jumlah alat atau mesin yang tidak sebanding dengan jumlah peserta didik. Sistem pembelajaran blok berarti bahwa seluruh kompetensi kejuruan dapat berjalan secara serempak di satu kelas. Sebagai contoh pada kompetensi kejuruan mekanik, dengan penerapan sistem rotasi, peserta didik dibagi menjadi beberapa kelompok pengerjaan tugas yang berbeda seperti benchworking, milling, bubut, grinding, dsb. Pengerjaan tugas ini dirotasi sesuai dengan jadwal yang telah disusun sehingga peserta didik dapat memenuhi kompetensi yang disyaratkan secara serempak pula. c) Sistem pembelajaran kontinyu atau terus-menerus. Sistem pembelajaran kontinyu berarti bahwa proses pembelajaran berlangsung secara terus-menerus atau sambung-menyambung. Hal ini berkaitan dengan utilitas pada alat praktik atau mesin, dimana penggunaan yang dilakukan secara kontinyu berdampak pada kerja mesin yang optimal dan dapat terus bekerja jangka panjang (tidak mudah rusak). Apabila institusi tidak dapat menerapkan pembelajaran yang kontinyu, maka setidaknya institusi menyusun jadwal pembelajaran yang cukup untuk optimalisasi dan utilitas alat praktik atau bengkel. 131 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kombinasi dari ketiga sistem pembelajaran tersebut membantu dan mempermudah institusi dalam menyusun schedule yang komprehensif. Berdasarkan metode Teaching Factory yang diterapkan oleh SMK, penyusunan schedule yang komprehensif ini dapat mencakup di antaranya: 1) Layout global Penyusunan layout global dilakukan dengan menyusun minggu pembelajaran untuk keseluruhan tingkatan kelas (kelas X, kelas XI, dan kelas XII). Perhitungan ini berdasarkan perhitungan waktu riil dalam satu tahun ajaran atau kurikulum, dimana dalam satu tahun ajaran terdapat sekitar 52 minggu. Selama jangka waktu 52 minggu tersebut, sistem pembelajaran dibagi menjadi per 3 minggu, yaitu 2 minggu ajaran untuk teori kelas dan 1 minggu ajaran dikhususkan untuk praktik di bengkel (2:1). Layout ini juga memperhitungkan jadwal ujian tengah semester, ujian semester, dan jadwal libur sekolah. Layout global membuat guru atau instruktur dapat melihat jadwal kelas dan jadwal praktik setiap tingkatan kelas dan tidak terjadi adanya benturan antarjadwal baik jadwal teori kelas maupun jadwal praktik. 2) Distribusi Beban Jam Pelajaran Beban belajar merupakan keseluruhan kegiatan yang harus diikuti oleh peserta didik dalam satu minggu, satu semester, dan satu tahun pembelajaran. Dalam schedule, pendistribusian beban jam pelajaran juga ditentukan untuk setiap tingkatan kelas. Distribusi ini meliputi beban belajar setiap mata pelajaran (normatif, adaptif, produktif ). Beban belajar juga dihitung dalam dua bagian, beban teori kelas dan beban praktik. Dengan perhitungan yang disusun dalam layout global, maka dalam satu tahun ajaran diperoleh beban belajar 13 minggu praktik dan 26 minggu teori kelas. Berdasarkan pada kurikulum pendidikan nasional, berlaku beban belajar sebagai berikut: 132 • Beban belajar di SMK dinyatakan dalam jam pembelajaran per minggu. Beban belajar satu minggu kelas XI dan XII setara dengan 48 jam pembelajaran. Durasi setiap satu jam pembelajaran adalah 45 menit. • Beban belajar di kelas X, XI, dan XII dalam satu semester paling sedikit 18 minggu dan paling banyak 20 minggu. • Beban belajar di kelas XII pada semester ganjil paling sedikit 18 minggu dan paling banyak 20 minggu. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 3) • Beban belajar di kelas XII pada semester genap paling sedikit 14 minggu dan paling banyak 16 minggu. • Beban belajar dalam satu tahun pelajaran paling sedikit 36 minggu dan paling banyak 40 minggu. • Setiap satuan pendidikan boleh menambah jam belajar per minggu berdasarkan pertimbangan kebutuhan belajar peserta didik dan/atau kebutuhan akademik, sosial, budaya, dan faktor lain yang dianggap penting. Kebutuhan sarana dan prasarana baku Perincian sarana dan prasarana dilakukan untuk tiga tingkatan kelas dan diatur dalam jadwal rotasi (2 shift) seperti pada contoh tabel berikut: Tabel 15. Schedule - Kebutuhan Sarana dan Prasarana Baku (Kelas X) 6 Meja Gambar (Gtk) 6 Komputer (Sim Digital) 12 Bw (TekMek) 3 Wld (KlsMsn-KnvEng) 3 Msn/2L-1M (MkT-Elm) 0 Pengembangan diri 2 shift 1 shift Sarana Praktek 36 Peserta didik-working place Mengacu pada layout global dan distribusi beban jam belajar, institusi dapat menerapkan sistem yang lebih efisien dalam hal implementasi praktik bagi peserta didik. Seperti pada tabel di atas, untuk sejumlah 36 peserta didik, institusi tidak perlu menyediakan jumlah peralatan sesuai dengan jumlah peserta didik. Institusi hanya perlu mengatur jadwal rotasi dari setiap peserta didik agar mendapatkan kompetensi praktik yang sesuai dengan mata pelajaran yang sudah dibebankan. Oleh karena itu, kebutuhan sarana dan prasarana harus disertakan dalam penyusunan schedule sehingga 133 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK membantu institusi dalam mengalkulasi kesesuaian sarana dan prasarana dengan rasio peserta didik. 4) Perhitungan anggaran Alokasi anggaran yang diperhitungkan di antaranya mencakup investasi alat (ketersediaan dan biaya investasi), gaji guru (guru teori, guru praktik, operator, admin), sumber pendapatan (berasal dari hasil produksi, pembayaran SPP, dan sumbangan). 5) Jadwal teori kelas Jadwal mata pelajaran dan jam belajar dalam satu minggu dan untuk setiap kelas seperti contoh berikut: Tabel 16. Tabel Contoh Jadwal Teori Kelas X.A Jam Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu 07.00 – 07.45 PPKn Sejarah ORks Seni Budaya Matematika Fisika 07.45 – 08.30 PPKn Sejarah ORks Seni Budaya Matematika Fisika 08.30 – 09.15 PPKn Sejarah ORks Seni Budaya Matematika Fisika 09.15 – 10.00 Agama B.Inggris ORks B. Indonesia Matematika Kimia 10.00 – 10.45 Agama B.Inggris PrKwu B. Indonesia Matematika Kimia 10.45 – 11.30 Agama KMKE PrKwu B. Indonesia Matematika Kimia 11.30 – 12.15 Agama KMKE PrKwu B. Indonesia 12.45 – 13.30 B. Inggris TekMek B. Indonesia MTLM 13.30 – 14.15 B. Inggris TekMek B. Indonesia MTLM 12.15 – 12.45 6) Jam kerja/belajar (2 shift) Jadwal kerja shift ditujukan untuk mengatur jadwal praktik bengkel yang dibagi menjadi jadwal pagi dan jadwal sore. Jadwal ini diatur juga berdasarkan perhitungan dalam satu minggu (Senin hingga Sabtu). Jam praktik pun diatur sesuai dengan kebutuhan kompetensi yang diajarkan. 7) Beban kerja baku guru/instruktur Perhitungan beban kerja baku guru dihitung berdasarkan jumlah jam kerja setiap mata pelajaran. Jumlah jam mengajar pada masing-masing jam pelajaran akan berdampak pada perhitungan kebutuhan mengajar dalam satu minggu dan kebutuhan jumlah guru atau instruktur. Beban kerja ini bukan hanya beban mengajar teori kelas, melainkan juga beban 134 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK mengajar praktik bengkel. Jumlah beban kerja baku masing-masing guru atau instruktur menjadi dasar perhitungan gaji guru dalam alokasi anggaran SMK. 8) Jadwal praktik bengkel Jadwal praktik bengkel diatur untuk periode satu tahun ajaran. Penentuan jadwal diawali dengan pembagian kelompok setiap kelas, yakni satu kelompok terdiri dari 3 orang peserta didik. Hal ini dilakukan untuk penerapan sistem rotasi yang menyesuaikan ketersediaan alat praktik dengan kompetensi yang diajarkan. Apabila setiap tingkatan terbagi menjadi tiga kelas (X.A, X.B, X.C) maka terdapat 9 orang peserta didik yang akan melakukan praktik kompetensi yang sama dalam jadwal shift yang telah disusun. Penyusunan jadwal praktik bengkel mempermudah institusi dalam memonitor pemerataan kegiatan praktik dari masing-masing kompetensi untuk seluruh peserta didik. 9) Skema/sistematika pembelajaran Skema dan sistematika pembelajaran meliputi di antaranya (1) penggunan jobsheet dan bahan ajar, (2) menghasilkan Produk/jasa, (3) merancang dan praktik sale (market/network), (4) merancang budget (savingcost-selffinance), (5) berfokus pada impact (menebar kebaikan), dan (6) Kompetitif (daya saing) berkaitan secara langsung dengan penerapan 7 level jobsheet pada bagian pembahasan selanjutnya. Keseluruhan unsur ini saling berkaitan satu sama lain. Sarana dan prasarana berkaitan dengan distribusi beban dan jam belajar, jadwal praktik bengkel, dan sistematika pembelajaran. Kebutuhan sarana dan prasarana juga berkaitan dengan perhitungan anggaran dan produk/jasa yang dihasilkan. Produk/jasa yang dihasilkan berkaitan dengan savingcostselffinance dan pemasaran. Hasil dari sistem pembelajaran yang dirancang pun harus mempunyai dampak bagi banyak pihak, terlebih lagi mampu menciptakan bibit-bibit tenaga kerja tamatan SMK yang terampil dan berdaya saing tinggi. Oleh karena itu, keseluruhan unsur ini disertakan dalam penyusunan schedule. Perangkat Kedua, Rencana Program Pembelajaran (RPP). RPP berfokus pada pemanfaatan bahan ajar menjadi sesuatu yang multiguna, untuk mencapai metode pembelajaran yang efektif. Untuk dapat menerapkan Teaching Factory dengan optimal, SMK perlu melakukan link&match antara pola pembelajaran di sekolah dengan kebutuhan industri. Oleh karena itu, schedule dan RPP menjadi perangkat yang sangat penting dalam pengembangan strategi pembelajaran di sekolah. Pada diagram yang lebih komprehensif 135 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK di bawah, penyusunan schedule dan RPP mengikuti dari perangkat-perangkat yang telah ada sebelumnya dan disusun sesuai dengan kebutuhan Teaching Factory. Gambar 44. Diagram Identifikasi Perangkat Pembelajaran Utama – Pengertian Schedule dan RPP Berkaitan dengan prinsip yang baku (go atau not go) pada perilaku industri, guru harus mempunyai kriteria yang rinci, sistematis dan komprehensif pada setiap tahap dan penilaian hasil produk. Apabila prinsip yang diacu tidak cukup kuat pada tahap pengerjaan produk, maka produk yang dihasilkan tidak layak jual dan yang terjadi adalah pemborosan. Sehingga harus dirancang lembar evaluasi yang detail mencakup kualitas seperti furniture, tingkat presisi, ukuran, dan hasil akhirnya (tingkat kehalusan, warna cat, dll.). Penilaian juga harus mencakup standar waktu pengerjaan, efisiensi, inovasi, dan kreativitasnya. Sebagai contoh, penilaian dapat dilihat dari produk berkualitas baik tetapi waktu pengerjaannya cukup lama (tidak tepat waktu) atau waktu pengerjaan tepat waktu tetapi kurang berkualitas baik. Hal ini dikarenakan setiap tahapan pengerjaan dalam kategori industri, dapat menguntungkan ataupun merugikan. Oleh karena itu, penyusunan RPP untuk keperluan implementasi Teaching Factory harus mempertimbangkan aspek industri tersebut. Penyusunan RPP mengacu pada kurikulum nasional yang berlaku, di antaranya terkait dengan jam belajar dan komponen mata pelajaran yang harus diajarkan. Langkah berikutnya, dengan tetap mengacu pada kurikulum nasional, sekolah perlu menyusun 136 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK silabus dan memperhatikan kompetensi isi maupun kompetensi dasar yang harus dimuat dalam program pembelajaran. Apabila kedua langkah ini telah berhasil dilakukan oleh sekolah, maka rancangan RPP yang akan disusun dapat bernilai tepat sasaran yakni mencakup tuntutan dari kurikulum dan silabus serta menyesuaikan dengan sumber daya yang telah disusun sebelumnya dalam schedule. RPP yang disusun harus mencakup materi belajar (bahan ajar, bahan kerja, dan bahan uji) dan sistem penilaian belajar yang baku. Berdasarkan pada fungsinya tersebut, schedule dan RPP diidentifikasi sebagai perangkat utama dalam pengembangan strategi pembelajaran. Dalam implementasi TF, schedule dan RPP secara spesifik mengarah pada perilaku industri dan berperan seperti pada bagan di bawah ini. Gambar 45. Perangkat Utama Implementasi Teaching Factory – Penyusunan Schedule dan RPP RPP mencakup beberapa aspek di antaranya: a) Tujuan, baik untuk peserta diklat maupun untuk penyelenggara, b) Materi, yang terdiri dari kompetensi dan produk (barang/jasa), c) Strategi pembelajaran, d) Penilaian, dan e) Target (lulusan dan mutu produk). Sistem penilaian pada RPP harus mengandung dua unsur yakni engineering dan bobot tertentu. Sistem penilaian yang digunakan merujuk pada 7 level jobsheet (akan 137 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya). Sistem penilaian yang mengikutsertakan fungsi engineering dan melibatkan bobot tertentu membuat produk hasil praktik memiliki fungsi yang lebih dari sekadar hasil praktik. Bobot dalam sistem penilaian berkaitan dengan lama waktu pengerjaan suatu produk. Dalam hal ini, hasil praktik sudah dapat dikatakan sebagai hasil proyek, yakni memiliki spesifikasi tertentu dan dapat memenuhi kebutuhan internal sekolah ataupun ditawarkan pada pasar (bernilai profit). Namun, apabila sistem penilaian hanya berdasarkan pada bahan ajar dan bahan praktik, maka produk yang dihasilkan tidak bernilai guna dan tidak dapat disebut sebagai perilaku industri. Pengembangan RPP disusun dengan mempertimbangkan empat unsur di antaranya: 138 a) Sumber Daya Manusia (SDM), melalui program pembelajaran yang diterapkan, institusi mampu untuk menghasilkan SDM yang kompeten dan unggul sesuai dengan standar industri atau memiliki daya saing di industri. b) Alat, pengaturan penggunaan alat dalam RPP bertujuan untuk mencukupi kebutuhan peserta didik dengan seluruh kompetensi yang disyaratkan, termasuk dengan penerapan sistem rotasi atau shift. RPP memudahkan guru atau instruktur dalam menyesuaikan ketersediaan alat dengan kebutuhan kompetensi yang diajarkan. Di samping itu, melalui pengaturan alat secara detail dalam RPP, guru atau instruktur mampu memetakan rasio alat dengan peserta didik, kapasitas alat dalam bengkel, dan kualitas alat termasuk gambaran akan perawatan mesin secara rutin (maintenance, repair, calibration). c) Tempat, RPP perlu mencakup tempat karena hal ini berkaitan dengan jumlah alat yang dimiliki atau dibutuhkan. Gedung atau layout perlu disertakan dalam RPP karena berkaitan dengan penataan peralatan atau mesin yang berdampak pada 1) efisiensi area/gedung, 2) proses produksi (arus/sirkulasi), 3) posisi kerja operator (kompetensi peserta didik), 4) MRC peralatan, 5) keselamatan kerja (alas, letak, arah, sinar, udara pada tata letak peralatan), 6) estetika (keteraturan dan kebersihan), 7) loading (pasang dan bongkar peralatan), dan 8) keamanan. Contoh layout dalam RPP seperti pada gambar berikut: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Gambar 46. Layout Bengkel (Contoh :Bengkel Timur SMK Mikael) Anggaran, oleh karena RPP mencakup beberapa tingkatan pembelajaran yang disesuaikan dengan konsep Teachig Factory, maka dalam tingkatan tertentu memungkinkan institusi melakukan kegiatan produksi (produk/jasa) bersamaan dengan kegiatan praktik peserta didik. Oleh karena itu, RPP juga mencakup alokasi anggaran di antaranya nilai investasi dan proyeksi cashflow. Mengacu pada metode pembelajaran Teaching Factory, maka garis besar pengembangan RPP dibagi menjadi tujuh tingkatan atau dikenal dengan tujuh level jobsheet yang dapat dikategorisasikan lagi berdasarkan pada prosedur implementasi Teaching Factory (CBT – PBET – TF). Tabel di bawah ini menggambarkan penerapan struktur prosedur Teaching Factory dan fokus materi pembelajaran di dalamnya. Fokus materi tersebut menjadi acuan bagi institusi dalam menerapkan metode pembelajaran Teaching Factory. 139 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Tabel 17. Tabel Pembelajaran yang Diukur dengan Level Jobsheet No. Level Pembelajaran Materi Jobsheet 1 Level 1 CBT Fokus pengetahuan teknis dasar 2 Level 2 CBT Fokus perencanaan kerja (WP/Work Preparation) 3 Level 3 PBET 4 Level 4 PBET 5 Level 5 TF 6 Level 6 TF 7 Level 7 TF Fokus kompetensi basis CBT (sesuai tuntutan standar) Fokus aplikasi kompetensi, penekanan pada efisiensi, untuk pemenuhan kebutuhan internal (termasuk part) Fokus aplikasi kompetensi, penekanan pada inovasi, untuk pemenuhan permintaan eksternal (termasuk assembling) Fokus aplikasi kompetensi, penekanan pada manajemen proses/produksi dan produksi massal/repeat (proses cepat) Fokus aplikasi kompetensi, penekanan pada sale dan costumize product (fleksibilitas) Berdasarkan pada 7 level jobsheet di atas, terdapat level pembelajaran basis yang diukur berdasarkan sistem schedule dan dapat dengan mudah diterapkan oleh SMK di Indonesia. Ketiga level ini (level 1, level 2, level 3) merupakan metode pembelajaran berbasis kompetensi dan produksi atau dengan kata lain merupakan dasar dari sistem pembelajaran Teaching Factory. Apabila institusi dapat menerapkan ketiga level pembelajaran ini dengan baik maka institusi mempunyai dasar yang cukup kuat untuk menerapkan metode pembelajaran selanjutnya, yakni semakin mengarah pada implementasi Teaching Factory. Tabel 18. Tabel Penyelenggaraan Pembelajaran yang Diukur dengan Level Jadwal No. Level Jadwal 1 Level 1 Jadwal pembelajaran model konvensional 2 Level 2 Jadwal serempak/blok 3 Level 3 Jadwal berkelanjutan/kontinyu 140 Model Pembelajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Dengan penjelasan yang lebih komprehensif, implementasi 7 level jobsheet digambarkan seperti pada bagan berikut: Tabel 19. Implementasi 7 Level Jobsheet a) Level 1 (CBT), seluruh metode pembelajaran mencakup pengetahuan dan keterampilan dasar dari suatu program kompetensi. Level ini bertujuan untuk membekali dan memperkuat pemahaman peserta didik mengenai suatu program kompetensi sebelum peserta didik melakukan praktik. Pengetahuan dan keterampilan dasar ini misalnya mencakup pengenalan pada mesin-mesin, pengetahuan dan keterampilan dasar untuk pengerjaan material, pengukuran dan pengecekan, perhitungan-perhitungan pada mesin, modifikasi, membekali peserta didik dengan keterampilan dasar tata cara penggunaan dan perawatan mesin, pengetahuan dan keterampilan membuat produk dengan mesin dan metode tertentu, dsb. Sistem penilaian pada level ini berbasis pada kompetensi, yakni sesuai dengan standar yang sudah diajarkan. b) Level 2 (CBET), pada level ini peserta didik mampu menerapkan pemahaman dan keterampilan dasar yang diperolehnya di level 1 melalui keterampilan praktik. Level ini menuntut peserta didik untuk tidak lagi bertindak sebagai imitator atau membuat produk dengan langkah-langkah paten yang telah disediakan. Berbekal pemahaman dan keterampilan dasar, peserta didik diharuskan mampu merancang sendiri langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan suatu produk. Dengan demikian, peserta didik mampu untuk mengembangkan pemahaman dan keterampilan dasar dalam kegiatan praktik. 141 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 142 c) Level 3 (PBET), pada level ini peserta didik telah mampu untuk menerapkan pemahaman dan keterampilannya dalam menghasilkan produk melalui praktik. Dalam penerapannya, level ini mensyaratkan sense of quality, yakni pengerjaan yang dilakukan oleh peserta didik berdasarkan pada standar objektif atau standar kualitas yang telah ditentukan dalam kompetensi. Oleh karena itu, sistem penilaian yang dilakukan berdasarkan pada standar yang baku (sesuai dengan tingkat presisi yang ditentukan). Namun, hasil produk pada level ini belum bernilai ekonomi melainkan hanya berdasarkan pada standar kompetensi yang telah ditetapkan atau murni untuk tujuan pendidikan. Tindak lanjut pada produk yang dihasilkan adalah untuk kebutuhan internal institusi atau justru tidak terpakai sama sekali. d) Level 4 (PBET), kegiatan praktik pada level ini tidak hanya berbasis pada sense of quality tetapi juga berbasis pada sense of efficiency. Peserta didik melakukan kegiatan praktik dengan mempertimbangkan budaya kerja di perusahaan atau industri, yakni dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dalam setiap prosesnya. Produk yang dihasilkan bukan hanya baik melainkan juga harus benar atau rapi secara aspek dasar kompetensi, melainkan juga bernilai ekonomi atau memiliki daya jual. Hasil dari produksi menjadi sumber pendapatan institusi yang disebut dengan self-financed. Karena praktik yang dilakukan berbasis produksi, maka level ini setara dengan struktur prosedur PBET. e) Level 5 (Teaching Factory), level pembelajaran ini lebih kompleks apabila dibandingkan dengan empat level jobsheet sebelumnya. Metode pembelajaran pada level ini tidak hanya mencakup sense of quality dan senseofefficiency, tetapi juga mencakup sense of creativity and innovation. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab pendahuluan, sense of creativity and innovation bagi peserta didik adalah kemampuan penyelesaian masalah, penciptaan inovasi, dan kemampuan untuk melihat peluang-peluang baru. Kemampuan inovasi di level ini digambarkan melalui penggabungan atau integrasi antara setidaknya 3 bagian (3 parts) membentuk sebuah produk baru. Proses ini yang membedakan jobsheet level 5 dengan jobsheet level 4, dimana jobsheet level 4 membuat bagian dari produk (part). Level ini juga mempertimbangkan aspek MRC pada peralatan untuk kebutuhan kegiatan produksi. Selain itu, karena mempertimbangkan perilaku industri, maka peserta didik dituntut untuk mempunyai kemampuan kerja sama yang baik dalam sebuah kelompok. Umumnya, terdapat penanggung jawab tersendiri berkaitan dengan MRC pada peralatan, yakni dengan penunjukan wakil kepala sekolah bidang MRC. Produk yang dihasilkan pun sudah mempunyai nilai jual dan reinvestasi. Bentuk inovasi lainnya pada proses pembelajaran jobsheet level 5 dilakukan dengan mengubah fungsi akademis menjadi fungsi yang lebih produktif, misalnya ruang gambar teknik ditransformasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK menjadi biro konstruksi. Melalui serangkaian proses yang dijalankan tersebut, level ini telah sampai pada tahapan TF. Bukan hanya kerja sama tim, melainkan juga kemampuan mengelola sumber daya manusia, alat dan pekerjaan/aktivitas. f) Level 6 (Teaching Factory), merupakan tindak lanjut dari jobsheet level 5. Pada level ini, kegiatan produksi bukan hanya kegiatan praktik peserta didik melainkan “repeat order” atau untuk memenuhi permintaan pasar. Kegiatan produksi dilakukan secara massal (masspro). Tingkat kompleksitas produk memenuhi sense of quality, sense of efficiency, dan sense of innovation. Jobsheet level ini tidak begitu signifikan untuk dibudayakan di sekolah. Karena produksi dilakukan secara massal, maka pada level ini memungkinkan institusi untuk bekerja sama dengan pihak lain. g) Level 7 (Teaching Factory), jobsheet ini menyerupai jobsheet level 6. Perbedaan antara keduanya terletak pada orientasi institusi untuk kegiatan produksi bukan hanya massproduction dan repeat order, melainkan orientasi bisnis dan pasar. Dalam kategori ini, institusi dapat mengajukan harga jual pada pasar atas produk yang ditawarkan. Sebagaimana jobsheet level 6, jobsheet level 7 pun tidak begitu signifikan untuk dibudayakan di sekolah. Hal ini karena jobsheet level 6 dan 7 telah mengarah pada pembentukan Technopark, yakni mencakup kegiatan consultative dan trading (jobsheet level 8 dan 9). Secara fundamental, ketujuh level jobsheet secara bertahap diterapkan sebagai implementasi metode pembelajaran TF di SMK. Namun demikian, terdapat level pembelajaran yang wajib ada di dalam RPP program kompetensi, diantaranya jobsheet level 1 dan jobsheet level 3. Kedua level jobsheet tersebut merupakan standar kompetensi yang harus dicapai secara kurikuler, yakni pembelajaran kelas dan pembelajaran bengkel, yang dilakukan secara bertahap serta disiapkan dengan prosedur yang sama untuk seluruh peserta didik. C. Implementasi Technopark di SMK Tujuan dari Technopark di SMK adalah untuk membuat link yang permanen antara SMK, pelaku industri/bisnis/finansial, dan pemerintah. Technopark di SMK mencoba menggabungkan ide, inovasi, dan know-how dari SMK dan kemampuan finansial (dan marketing) dari dunia bisnis. Diharapkan dari penggabungan ini dapat meningkatkan dan mempercepat pengembangan produk serta mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan inovasi ke produk yang dapat dipasarkan. 143 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Adanya technopark membuat link yang permanen antara SMK dan industri, sehingga terjadi clustering dan criticalmass dari peneliti dan perusahaan. Hal ini membuat perusahaan menjadi lebih kuat. Pola kolaborasi A-B-G (Akademia-Bisnis-Pemerintah) yang optimum untuk Indonesia pada tahap awal adalah model triple helix yang menempatkan pemerintah sebagai unsur yang memiliki peran dominan. Pada model ini insiatif dari para ilmuwan dan peneliti (bottom-up) mendapat dukungan dari pemerintah (top-down) untuk bersama-sama menggandeng pihak industri mengembangkan produk-produk baru yang inovatif. Namun selanjutnya peran pemerintah diharapkan akan berkurang sejalan dengan perkembangan ICT Technopark. Model Triple-Helix Inovasi diperkenalkan oleh Etzkowitz dan Leydersdorff. Model ini menekankan peran dan hubungan yang dekat antara tiga aktor, yakni pemerintah, industri dan SMK. Posisi SMK dalam Technopark dapat menjadi pemimpin teknis kejuruan dalam implementasi dari perekonomian berbasis pengetahuan, sementara NIS (National Innovation System) menekankan pentingnya peran perusahaan dalam inovasi. Pengaturan kembali hubungan ABG dalam Triple-Helix merupakan hasil komunikasi dan ekpektasi pada tingkat jejaring. Hubungan yang muncul dalam Triple Helix, umumnya bermula dari upaya pemecahan masalah dan menghasilkan strategi ketika menghadapi masalah dalam inovasi, bukan ditentukan dari suatu pola tertentu. Melalui proses interaksi ini maka akan terjadi perubahan aktor dan peran yang mereka lakukan. Dengan demikian, pola triplehelix inovasi adalah dinamis seiring perubahan waktu. Model TripleHelix bukanlah konsep baru dalam mendukung inovasi di teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Terdapat empat peran yang dimainkan oleh aktor inovasi, yakni: 144 • Mendeteksi kebutuhan dan solusi yakni pemerintah, akademia dan industri; • Pengembangan, produksi dan komersialisasi oleh pemerintah dan industri; • Pembelajaran TIK oleh industri dan akademia; • Penciptaan pasar dan regulasi, baik oleh pemerintah maupun industri TIK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Gambar 47. Triple Helix D. Kerangka Kelembagaan Kerangka kelembagaan adalah perangkat institusi yang meliputi struktur organisasi, ketatalaksanaan, dan pengelolaan SDM. Kerangka kelembagaan disusun dengan tujuan antara lain: a) penguatan landasan hukum pembentukan dan penguatan kelembagaan Teaching Factory dan Technopark, melalui harmonisasi peraturan perundangan. Di samping itu, juga perlu mempertimbangkan harmonisasi Peraturan Pemerintah yang sudah ada, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya Industri yang mengamanatkan bahwa Penyelenggaraan Pendidikan Vokasi Industri berbasis kompetensi harus dilengkapi dengan Lembaga Sertifikasi Profesi, Teaching Factory, dan Tempat Uji Kompetensi, b) meningkatkan kualitas dan sinergitas kebijakan perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan pembangunan di pusat dan daerah sesuai dengan regulasi yang berlaku ataupun yang akan disusun; c) mendukung pembentukan lembaga yang membidangi Teaching Factory dan Technopark di daerah, khususnya di provinsi; dan d) penguatan sistem Teaching Factory dan Technopark seperti dijelaskan pada gambar 47. 145 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Gambar 48. Kerangka Kelembagaan Tata Kelola Teaching Factory di SMK E. Kerangka Regulasi Kerangka regulasi dibutuhkan untuk mendukung tercapainya sasaran pembangunan Teaching Factory dan Technopark di SMK sebagaimana tercantum pada RPJMN. Berikut dijabarkan kerangka regulasi yang dibutuhkan untuk mengawal tercapainya arah kebijakan, strategi dan sasaran pembangunan Teaching Factory dan Technopark di SMK serta urgensi perlunya kerangka regulasi. Perincian mengenai jenis kebutuhan regulasi dan pentingnya regulasi dalam mendukung pencapaian target, dijelaskan pada di bawah ini. 146 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Tabel 20. Kerangka Regulasi NO Arah Kerangka Regulasi dan/ atau Kebutuhan Regulasi Urgensi Pembentukan Berdasarkan Evaluasi Regulasi Eksisting, Kajian dan Penelitian 1 Perumusan peraturan/panduan tentang public-private partnership dalam pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK. Supaya ada acuan yang jelas mengenai mekanisme public-private partnership dalam pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK. 2 Perumusan peraturan/panduan tentang Spektrum Keahlian yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha/industri. Supaya ada acuan yang jelas mengenai Spektrum Keahlian yang dapat dibuka di SMK. 3 Perumusan peraturan/panduan tentang Praktek Kerja Industri bagi siswa SMK dan Pelaksanaan Bursa Kerja Khusus (BKK) di SMK. Supaya ada acuan yang jelas mengenai mekanisme Praktek Kerja Industri bagi siswa SMK dan Pelaksanaan Bursa Kerja Khusus (BKK) di SMK 4 Perumusan peraturan/panduan tentang SMK Rujukan Supaya ada acuan yang jelas mengenai mekanisme pelaksanaan SMK Rujukan bagi provinsi/kab/kota. 5 Perumusan peraturan/ panduan tentang sistem block pembelajaran di SMK dalam pengembangan Teaching Factorydi SMK Supaya ada acuan yang jelas mengenai sistem block pembelajaran di SMK dan penghargaan bagi guru yang mengajar dengan sistem block dalam rangka pengembangan Teaching Factory di SMK. 6 Perumusan peraturan/panduan tentang standar kebutuhan sarana dan prasarana di SMK Supaya ada acuan yang jelas mengenai kebutuhan sarana dan prasarana di SMK. 7 Perumusan peraturan/panduan tentang pengembangan SMK Perikanan dan Kelautan, SMK Pertanian, SMK Pariwisata, SMK berbasis Pondok Pesantren/ Komunitas, dan SMKBerbasis Industri/Keunggulan Wilayah Supaya ada acuan yang jelas mengenai tentang pengembangan SMK Perikanan dan Kelautan, SMK Pertanian, SMK Pariwisata, SMK berbasis Pondok Pesantren/Komunitas, dan SMK Berbasis Industri/Keunggulan Wilayah 147 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK NO Arah Kerangka Regulasi dan/ atau Kebutuhan Regulasi Urgensi Pembentukan Berdasarkan Evaluasi Regulasi Eksisting, Kajian dan Penelitian 8 Perumusan peraturan/panduan tentang penguatan kegiatan kesiswaan mendukung bakat dan prestasi siswa di SMK Supaya ada acuan yang jelas mengenai tentang kegiatan kesiswaan mendukung bakat dan prestasi siswa di SMK. 9 Perumusan peraturan/panduan tentang Badan Layanan Umum khusus SMK Teaching Factory dan Technopark Supaya ada acuan yang jelas mengenai tentang kegiatan Teaching Factory dan Technopark di SMK 148 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 149 BAB VI TARGET KINERJA, KERANGKA PENDANAAN, DAN SISTEM PEMANTAUAN DAN EVALUASI DAFTAR ISI A. Target Kinerja 152 B. Kerangka Pendanaan 153 C. Sistem Pemantauan dan Evaluasi 157 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK BAB VI TARGET KINERJA, KERANGKA PENDANAAN, DAN SISTEM PEMANTAUAN DAN EVALUASI A. Target Kinerja Target yang direncanakan dalam Pengembangan Teaching Factory dan Technopark ini adalah terdapat 200 SMK yang melakukan pembelajaran kewirausahaan dan Teaching Factory pada tahun 2019 dan 34 SMK yang menjadi Technopark. Pemenuhan target kinerja ini merupakan upaya terpadu dan terintegrasi antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Dalam meningkatkan akurasi dalam perencanaan Pengembangan Teaching Factory dan Technopark wajib dilakukan analisis keadaan SMK yang memperhatikan kondisi awal di setiap SMK sebagai acuan baseline. SMK-SMK yang akan menerapkan Pengembangan Teaching Factory dan Technopark harus memiliki sumber daya minimal dan dapat ditingkatkan kapasitasnya dalam Pengembangan Teaching Factory dan Technopark. Penetapan SMK yang akan dikembangkan merupakan hasil dari analisis berbasis kapasitas SMK dan dilakukan dengan pendekatan buttom up seperti ditunjukkan pada gambar 49. 152 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Gambar 49. Pendekatan Penetapan Teaching Factory dan Technopark di SMK B. Kerangka Pendanaan Kerangka pendanaan merupakan bagian dari rencana tindak pencapaian sasaran Pengembangan Teaching Factory dan Technopark. Kerangka pendanaan meliputi kebijakan pada intervensi pemerintah pusat dan pembiayaan pemerintah daerah. Kerangka pendanaan terdiri dari: 1) Membagi beban dan tanggung jawab pembiayaan Pengembangan Teaching Factory dan Technopark (pemerintah pusat, provinsi, masyarakat/industri); 2) Menggunakan anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah (termasuk DAK) secara lebih optimal dan berkualitas untuk membiayai Pengembangan Teaching Factory dan Technopark; 153 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 3) Meningkatkan sumber pembiayaan pendidikan melalui PPP; 4) Memberikan insentif fiskal bagi industri yang melakukan kerja sama dengan satuan pendidikan; dan Perhitungan kebutuhan anggaran dilakukan dengan melalui langkah-langkah berikut: 1) 2) 154 Memetakan kondisi sekarang dan kondisi ideal Teaching Factory untuk satu atau beberapa program keahlian yang akan dilaksanakan dengan konsep Teaching Factory. Kebutuhan dapat dipenuhi dengan pengadaan baru atau upgrade sarana dan prasarana yang sudah ada, termasuk juga upgrade SDM. a. Ruang bengkel/lab yang sesuai dengan standar Teaching Factory, yaitu mengadopsi proses dan alur produksi seperti di industri, dalam bentuk hall (bukan kelas) yang menampung peralatan/permesinan yang dibutuhkan untuk program keahlian tersebut. b. Peralatan yang dibutuhkan sesuai dengan minimal kebutuhan untuk program keahlian tersebut, sampai pada finishing suatu produk. c. Re-organisasi manajemen SDM pengelola Teaching Factory dengan fungsi dan tugas yang jelas. d. Program akselerasi kerja sama dengan industri. e. Peningkatan kapasitas SDM f. Pelatihan dan pendampingan dalam implementasi Teaching Factory g. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan teaching factory, menggunakan instrumen evaluasi dengan 7 kriteria yang telah dikembangkan oleh Direktorat Pembinaan SMK. Menetapkan estimasi harga satuan per jenis intervensi yang dilakukan (perlu diperjelas spesifikasi atau peruntukan dari harga satuan per jenis intervensi yang dilakukan). Dalam perhitungan ini estimasi harga satuan yang digunakan dijabarkan berikut adalah (disesuaikan dengan kebutuhan di program keahlian): a. Sarana Teaching Factory di SMK = Rp2.000.000.000,00 b. Sarana Technopark di SMK= Rp3.000.000.000,00 c. Prasarana Teaching Factory di SMK = Rp2.000.000.000,00 d. Prasarana Technopark SMK= Rp3.000.000.000,00 e. Penyediaan Bantuan Pendidikan = Rp1.200.000,00 per siswa per tahun f. Penyediaan Bantuan Model Pembelajaran = Rp200.000.000,00 g. Peningkatan Kualitas Guru = Rp25.000.000,00 per guru per tahun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 3) Menetapkan asumsi pertumbuhan harga satuan berdasarkan indeks kemahalan atau inflasi. Pada kalkulasi ini diasumsi tidak mengalami pertumbuhan atau perubahan harga satuan selama periode kalkulasi. Harga satuan juga harus disesuaikan dengan satuan harga di masing-masing provinsi. 4) Melakukan kalkulasi dengan mengalikan jumlah kebutuhan intervensi per Satuan Pendidikan per tahun dengan harga satuan per intervensi per tahun simulasi. 5) Melakukan agregasi total kebutuhan anggaran intervensi di tingkat nasional. Dari hasil kalkulasi, pada tabel 21 ditunjukkan total kebutuhan anggaran Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK: Tabel 21. Estimasi Kebutuhan Anggaran Implementasi Teaching Factory dan Technopark di SMK Tahun 2015-2020 (Juta Rupiah) NO INFORMASI 2015 2016 2017 2018 2019 2020 a SMK Teaching Factory 10 40 60 50 40 200 b SMK Technopark 2 8 10 10 4 34 SASARAN ESTIMASI KEBUTUHAN ANGGARAN 1 Sarana TF 20.000.000 80.000.000 120.000.000 100.000.000 80.000.000 4.000.000 2 Sarana Technopark 6.000.000 24.000.000 30.000.000 12.000.000 1.020.000 3 Prasarana TF 20.000.000 80.000.000 120.000.000 100.000.000 80.000.000 4.000.000 4 Prasarana Technopark 6.000.000 24.000.000 30.000.000 30.000.000 12.000.000 1.020.000 5 Penyediaan Bantuan Pendidikan 3.600.000 14.400.000 21.600.000 18.000.000 14.400.000 720.000 6 Penyediaan Bantuan Model Pembelajaran 2.000.000 8.000.000 12.000.000 10.000.000 8.000.000 400.000 7 Peningkatan Kualitas Guru 1.250.000 5.000.000 7.500.000 6.250.000 5.000.000 250.000 8 Monitoring dan Evaluasi 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 60.350.000 236.900.000 342.600.000 295.750.000 212.900.000 12.910.000 TOTAL 30.000.000 Pada tabel 21 ditunjukkan kebutuhan anggaran per tahun serta kebutuhan anggaran kumulatif dalam rangka Pengembangan Teaching Factory dan Technopark tahun 155 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 2015-2020. Total kebutuhan anggaran pengembangan 200 SMK Teaching Factory dan 34 Technopark di SMK dalam periode 2015-2020 adalah sebesar Rp1.161.410.000.000.000,00 Pada tabel 22 digambarkan kebutuhan anggaran Pengembangan Teaching Factory dan Technopark per tahun di setiap provinsi. Tabel 22. Estimasi Kebutuhan Anggaran Minimal Pengembangan Teaching Factory dan Technopark Per Provinsi 2015-2020 (Juta Rupiah) NO PROVINSI 2015 2016 2017 2018 2019 2020 1 DKI Jakarta 16.870.000 1.500.000 6.185.000 10.870.000 10.870.000 2 Jawa Barat 9.370.000 6.000.000 4.685.000 9.370.000 14.055.000 434.800 3 Jawa Tengah 15.370.000 - 9.370.000 9.370.000 14.055.000 481.650 4 DI Yogyakarta 9.370.000 6.000.000 4.685.000 4.685.000 9.370.000 341.100 5 Jawa Timur 9.370.000 6.000.000 4.685.000 9.370.000 14.055.000 434.800 6 Aceh - 9.370.000 4.685.000 341.100 7 Sumatera Utara - 15.370.000 4.685.000 4.685.000 9.370.000 341.100 8 Sumatera Barat - 9.370.000 10.685.000 9.370.000 4.685.000 341.100 9 Riau - 9.370.000 15.370.000 4.685.000 4.685.000 341.100 10 Jambi - 9.370.000 10.685.000 9.370.000 - 294.250 11 Sumatera Selatan - 15.370.000 9.370.000 4.685.000 4.685.000 341.100 12 Lampung - 9.370.000 15.370.000 4.685.000 9.370.000 387.950 13 Kalimantan Barat - 9.370.000 9.370.000 10.685.000 4.685.000 341.100 14 Kalimantan Tengah - 4.685.000 9.370.000 15.370.000 4.685.000 341.100 15 Kalimantan Selatan - 4.685.000 9.370.000 15.370.000 4.685.000 341.100 16 Kalimantan Timur - 4.685.000 9.370.000 15.370.000 4.685.000 341.100 17 Kalimantan Utara - 4.685.000 9.370.000 4.685.000 6.000.000 247.400 18 Sulawesi Utara - 15.370.000 9.370.000 4.685.000 9.370.000 387.950 19 Sulawesi Tengah - 4.685.000 15.370.000 9.370.000 4.685.000 341.100 156 9.370.000 10.685.000 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan 1.887.950 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK NO PROVINSI 2015 2016 20 Sulawesi Selatan 21 Sulawesi Tenggara - 22 Maluku 23 2018 2020 4.685.000 4.685.000 9.370.000 15.370.000 4.685.000 - 4.685.000 9.370.000 15.370.000 - 294.250 Bali - 4.685.000 9.370.000 15.370.000 9.370.000 387.950 24 Nusa Tenggara Barat - 4.685.000 15.370.000 4.685.000 4.685.000 294.250 25 Nusa Tenggara Timur - 15.370.000 9.370.000 4.685.000 - 294.250 26 Papua - 15.370.000 9.370.000 4.685.000 - 294.250 27 Bengkulu - 4.685.000 9.370.000 4.685.000 10.685.000 294.250 28 Maluku Utara 4.685.000 9.370.000 4.685.000 6.000.000 247.400 29 Banten 4.685.000 9.370.000 15.370.000 4.685.000 341.100 30 Kepulauan Bangka Belitung - 4.685.000 9.370.000 4.685.000 10.685.000 294.250 31 Gorontalo - 4.685.000 9.370.000 10.685.000 32 Kepulauan Riau - 4.685.000 15.370.000 33 Papua Barat - 4.685.000 15.370.000 34 Sulawesi Barat - 4.685.000 60.350.000 236.900.000 C. - 4.685.000 15.370.000 2019 9.370.000 TOTAL - 2017 341.100 341.100 4.685.000 294.250 4.685.000 4.685.000 294.250 4.685.000 4.685.000 294.250 9.370.000 10.685.000 4.685.000 294.250 212.900.000 12.910.000 342.600.000 295.750.000 Sistem Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan pemantauan diperlukan untuk mencatat perkembangan Teaching Factory dan Technopark, memantau proses dan kemajuan pelaksanaan kebijakan secara terusmenerus, mengidentifikasi masalah dan penyimpangan yang muncul, merumuskan pemecahan masalah, dan membuat laporan kemajuan secara rutin dalam kurun waktu yang pendek. Kegiatan evaluasi dilakukan untuk mengkaji relevansi, efisiensi, efektivitas dan dampak implementasi Teaching Factory dan Technopark sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. 157 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Keberhasilan pelaksanaan monitoring dan evaluasi perlu dilandasi oleh kejujuran, motivasi dan kesungguhan yang kuat dari para pelaku. Selain itu, prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK adalah: 1) Objektif dan profesional, pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan secara profesional berdasarkan analisis data yang lengkap dan akurat agar menghasilkan penilaian secara objektif dan masukan yang tepat terhadap pelaksanaan Teaching Factory dan Technopark di SMK; 2) Transparan, pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan secara terbuka dan dilaporkan melalui laman agar masyarakat dan industri dapat mengakses dengan mudah tentang informasi dan hasil kegiatan monitoring dan evaluasi; 3) Partisipatif, Pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan dengan melibatkan secara aktif dan interaktif para pelaku; 4) Akuntabel, Pelaksanaan monitoring dan evaluasi harus dipertanggungjawabkan secara internal maupun eksternal; 5) Tepat waktu, Pelaksanaan monitoring dan evaluasi harus dilakukan sesuai dengan waktu yang dijadwalkan; 6) Berkesinambungan, Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan secara berkesinambungan agar dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik bagi penyempurnaan kebijakan; dan 7) Berbasis indikator kinerja, Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria atau indikator kinerja, baik indikator masukan, proses, keluaran, manfaat maupun dampak. dapat Evaluasi, secara harfiah, merupakan upaya penilaian secara teknis dan ekonomis terhadap sesuatu untuk kemungkinan pelaksanaan pengembangannya. Dalam implementasi Teaching Factory, evaluasi berarti penilaian terhadap metode pembelajaran yang telah dilaksanakan guna melakukan perbaikan berkelanjutan. Melalui proses evaluasi, institusi dapat menimbang kekuatan dan kelemahan dari elemen-elemen yang memengaruhi implementasi Teaching Factory di SMK dan memperoleh gambaran untuk peningkatan mutu dan kualitas yang akan menunjang keberhasilan implementasi Teaching Factory. Berikut adalah 7 parameter baku yang telah ditetapkan sebagai bahan evaluasi Teaching Factory di SMK. 158 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Tabel 23. Parameter Evaluasi Teaching Factory di SMK Parameter Sub - Parameter 1. Manajemen • • • • • • Administrasi keuangan Struktur organisasi & jobdesc SOP kinerja dan alur kerja Leadership Dampak TF terhadap institusi Lingkungan 2. Bengkel – lab • • • • • • Peralatan Tata kelola penggunaan alat Ruang Manajemen Maintenance, Repair & Calibrasion (MRC) Bengkel layout Penerapan K3 • Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan LKS (jobsheet) Bahan praktik Basis praktik Pelaksanaan diklat Kewirausahaan Kegiatan pengajar/instruktur Berbasis corporate culture • 3. Pola Pembelajaran– • training • • • • 4. Marketing – promosi • • • • • • Marketing & promotion plan Media komunikasi untuk Teaching Factory Brosur/leaflet/sarana lain (website, CD, dll.) Mog up/produk contoh/model Jangkauan pasar Penanggung jawab 159 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Parameter 5. Produk – jasa 6. SDM 7. Hubungan Industri Sub - Parameter • • • • • • Produk untuk kebutuhan internal Keberterimaan pasar Delivery Quality Quality control Inovasi produk/diversifikasi • • • • • • Kompetensi TF Jumlah dan kesesuaian SDM untuk menjalankan Teaching Factory Motivasi Inovasi (benefit untuk “user”) Team work Training bagi internal personel • • • • Bentuk kerja sama Project work Transfer teknologi Investasi oleh industri Tabel 23 di atas memberikan gambaran mengenai instrumen evaluasi penerapan Teaching Factory di institusi sebagai berikut: 160 a) Manajemen, di antaranya menjelaskan evaluasi ketersediaan laporan pencatatan transaksi yang baku, penyusunan struktur organisasi dan standar prosedur kinerja serta pelaksanaannya menyesuaikan apa yang telah ditentukan, memperlihatkan dampak dari implemetasi Teaching Factory baik terhadap sarana dan prasarana maupun kesejahteraan institusi, adanya dukungan internal dan eksternal dalam implementasi Teaching Factory. b) Bengkel – lab, evaluasi mencakup pendataan jumlah dan jenis peralatan, penerapan standar pemakaian yang baku, kesesuaian layout bengkel dengan standar industri, jadwal berkala untuk MRC, dan ketersediaan perangkat K3. c) Pola pembelajaran – training, mencakup evaluasi akan ketersediaan bahan baku proses produksi, pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pelatihan yang menyatu dengan proses produksi, serta tujuan pembelajaran yang berorientasi pada perilaku industri. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK d) Marketing – promosi, menjelaskan bahwa institusi juga perlu mengevaluasi implementasi Teaching Factory dalam kejelasan target dan segmen pasar serta jangkauan pasar, serta menyesuaikan metode dan pelaku kegiatan promosi. e) Produk – jasa, evaluasi produksi dilakukan dalam lingkup waktu produksi (kontinyu atau insidental), tingkat nilai tawar produk, kualitas dan keberterimaan pasar, dan kebutuhan pengembangan produk. f) SDM, implementasi Teaching Factory harus memiliki SDM yang berpengalaman produksi dan TF, serta SDM yang mampu berinovasi dan bekerja sama dengan baik dalam tim. g) Hubungan industri, untuk mencapai tujuan implementasi Teaching Factory, maka institusi perlu mengevaluasi secara berkala dan mengembangkan lingkup kerja sama dengan industri di bidang-bidang yang secara spesifik berkaitan dengan kebutuhan pelaksanaan TF di institusi. Hubungan industri juga harus berdampak pada adanya transfer teknologi antara industri dan institusi serta memperkirakan kemungkinan investasi dari industri tersebut. Evaluasi Teaching Factory yang komprehensif dilakukan dan diterjemahkan ke dalam satuan angka baku yang sudah ditentukan sehingga diperoleh hasil tertentu yang selanjutnya menunjukkan kesiapan, potensi, dan kualitas implementasi TF di institusi. Hasil penilaian digambarkan dengan spider graphic. Semakin tumpul sudut yang dihasilkan dan semakin proporsional bentuk dari grafik, maka semakin baik potensi yang dimiliki oleh institusi dalam pengembangan dan perbaikan implementasi Teaching Factory. Oleh karena itu, evaluasi implementasi Teaching Factory harus dilakukan secara berkala. 161 BAB VII PENUTUP Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK BAB VII PENUTUP Grand Design atau Rencana Induk Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK ini disusun untuk membantu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dan pemerintah daerah dalam merencanakan Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK. Dokumen ini disusun untuk memberikan informasi rancangan Pengembangan Teaching Factory dan Technopark berdasarkan informasi dan data yang dapat menggambarkan karaktertik SMK yang ada di Indonesia. Penetapan Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK sebagai solusi untuk mengatasi daya saing bangsa akan menghadapi berbagai tantangan, permasalahan dan kendala serta meningkatkan kemandirian Bangsa. Permasalahan disparitas kualitas SMK, keterbatasan kemampuan orang tua dan daerah dalam membiayai, karakteristik keungulan lokasi, serta komitmen politik dari berbagai pemangku kepentingan terhadap pendidikan merupakan tantangan yang akan dijawab melalui penyusunan rencana Pengembangan Teaching Factory dan Technopark ini. Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK diharapkan dapat berkontribusi dalam meningkatkan jumlah calon tenaga kerja yang berkualitas dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan bangsa dan negara di dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia untuk menjadi bangsa yang maju dan mandiri. Selain yang diuraikan di atas, Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK ini diharapkan bisa dipahami serta dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat, khusus para pemangku kepentingan. Dengan demikian, banyak pihak dapat terlibat aktif secara efektif dan konstruktif dalam kegiatan pembangunan bidang pendidikan khusus SMK, termasuk memberi kritik, evaluasi, dan rekomendasi. Pelibatan publik secara lebih aktif dan terintegrasi diharapkan mampu meningkatkan hasil pembangunan SMK selama lima tahun mendatang. 164 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 165 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Daftar Pustaka Cony R. Semiawan. 1991. Pengembangan Kurikulum untuk SMKTA Menyongsong Era Tinggal Landas. Makalah pada Seminar Pengembangan Kurikulum SMK. Juni 1991. Jakarta: Balitbang Dikbud. GIZ, 2011. Teaching Factory Coaching Programme Chryssolouris G, Mavrikios D, Mourtzis D. Manufacturing Systems: Skills & Competencies for the Future”, Procedia CIRP, Keynote paper of the 46th CIRP Conference on Manufacturing Systems 2013;7:17-24. Chryssolouris G, Mavrikios D, Papakostas N, Mourtzis D. Education in Manufacturing Technology & Science: A view on Future Challenges & Goals. Inaugural Keynote, Proceedings of the International Conference on Manufacturing Science and Technology, Melaka, Malaysia, August 2006. Evans, R. N. & Edwin, L. H. 1978. Foundation of Vocational Education. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company Elliot, Janet. 1983. The Organization of Productive Work In Secondary Technical and Vocational Education The United Kingdom. London: Unesco Finch, Curtis R. & Crunkilton, John R. 1984. Curriculum Development in Vocational and Technical Education: Planning, Content, and Implementation. Boston: Allyn and Bacon Inc. IEES . 1986.. Indonesia Education and Human Resources Sector Review. Chapter VIIVocational/Technical Education. Jakarta: Depdikbud and USAID Rentzos L.a, Doukas M.a, Mavrikios D.a, Mourtzis D.a, Chryssolouris G, 2014 Variety Management in Manufacturing. Proceedings of the 47th CIRP Conference on Manufacturing Systems. Integrating Manufacturing Education with Industrial Practice using Teaching Factory Paradigm: A Construction Equipment Application Karabel, R. L. & Hasley, R. A. 1977. Vocational Education Outcomes: Perspective for Evaluation. Columbus: NCRVE Muchlas Samani. 1992. Keefektifan Program Pendidikan STM: Studi Penelitian Pelacakan terhadap Lulusan STM Rumpun Mesin Tenaga dan Teknologi Pengerjaan Logam di Kotamadya Surabaya tahun 1986 dan 1987. Disertasi doktor IKIP Jakarta. 166 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Miner, Jacob. 1974. Family Investment in Human Capital: Earning of Woman. Journal of Political Economy 82 (2). Pp. 48-56 Mulyani A. Nurhadi,. 1988. The Effects of Schooling Factor on Personal Earning Within he Context of Internal Labor Market in PT. Petrokimia Gresik (Persero) Indonesia Yogyakarta: PPS IKIP Yogyakarta National Council for Research into Vocational Education. 1981. Towards a Theory of Vocational Educational. Columbus, Ohio: NCRVE Publication. Oemar H. Malik. 1990. Pendidikan Tenaga Kerja Nasional, Kejuruan, Kewiraswastaan, dan Manajemen. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti Slamet. 1990. Pondasi Pendidikan Kejuruan. Lembaran Perkuliahan. Pascasarjana IKIP Yogyakarta Yogyakarta Suprapto Brotosiswoyo,. 1991. Pendidikan Menengah. Makalah Pengantar Diskusi Kelompok Rapat Kerja Nasional. Agustus 1991. Jakarta: Depdikbud Thorogood, Ray. 1982. Current Themes in Vocational Education and Training Policies Part I. Industrial and Commercial Training 9, pp. 328-331 Wenrich, Ralph C. & Wenrich, William J. 1974. Leadership in Administration of Vocational Education. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Co. Zulbakir & Fazil. 1988. Program Pendidikan Menengah Teknologi dan Perkembangan IPTEK di Indonesia. Makalah disampaikan pada Konvensi Nasional Pendidikan Juli 1988 Bandung 167 GALERI FOTO KEGIATAN PRAKTIK DI SMK Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kegiatan Praktik SMK Negeri 2 Yogyakarta 170 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 171 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kegiatan Praktik SMK Negeri 2 Yogyakarta 172 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 173 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kegiatan Praktik SMK Negeri 2 Yogyakarta 174 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 175 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kegiatan Praktik SMK Negeri 2 Yogyakarta 176 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 177 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kegiatan Praktik SMK Negeri 2 Yogyakarta 178 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 179 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kegiatan Praktik SMK Negeri 2 Yogyakarta 180 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 181 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kegiatan Praktik SMK Negeri 2 Depok, Sleman, Yogyakarta 182 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 183 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kegiatan Praktik SMK Mikael Surakarta 184 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 185 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kegiatan Praktik SMK Mikael Surakarta 186 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 187 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kegiatan Praktik SMK Mikael Surakarta 188 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 189 Kegiatan Praktik SMK Negeri 4 Jakarta Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 191 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kegiatan Praktik SMK Negeri 1 Mundu, Cirebon 192 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 193 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kegiatan Praktik SMK Negeri 27 Jakarta 194 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 195 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Kegiatan Praktik SMK Negeri 1 Pacet 196 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK 197 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Hasil Produk SMK Bidang Keahlian Agribisnis dan Agroteknologi (SMK Negeri 1 Pacet) 198 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Hasil Produk SMK Bidang Keahlian Pariwisata (SMK Negeri 27 Jakarta) 199 Grand Design Pengembangan Teaching Factory dan Technopark di SMK Foto Cover: Kegiatan Siswa SMK dalam LKS tahun 2013 200 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan