Academia.eduAcademia.edu

PERBANDINGAN HUKUM PERDATA DENGAN HUKUM PIDANA

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji perbandingan hukum perdata dan hukum pidana dalam konteks Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, komparatif, dan interdisipliner, artikel ini membahas pengertian, ruang lingkup, dasar hukum, karakteristik, tujuan, dan penerapan dari kedua cabang hukum tersebut. Hukum perdata mengatur hubungan privat antarindividu/badan hukum dengan tujuan melindungi kepentingan dan hak perseorangan, sedangkan hukum pidana mengatur hubungan individu dengan negara dan masyarakat dengan tujuan melindungi kepentingan publik. Meskipun memiliki perbedaan dalam sumber hukum, karakteristik, tujuan, dan penerapannya, hukum perdata dan pidana dapat saling bersinggungan dalam praktik. Artikel ini menyimpulkan perlunya pemahaman komprehensif tentang persamaan dan perbedaan hukum perdata dan pidana bagi aparat penegak hukum, profesional hukum, dan masyarakat untuk mendorong budaya hukum yang sehat. Selain itu, harmonisasi peraturan, penguatan sumber daya manusia dan kelembagaan, serta penafsiran dan penerapan hukum yang cermat, kontekstual, dan proporsional juga diperlukan untuk mewujudkan hukum perdata dan pidana yang berkeadilan, responsif, dan adaptif dalam kerangka negara hukum Indonesia.

PERBANDINGAN HUKUM PERDATA DENGAN HUKUM PIDANA Mutiara Seroja 2310246516 Program Magister Ilmu Hukum Universitas Riau ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk mengkaji perbandingan hukum perdata dan hukum pidana dalam konteks Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, komparatif, dan interdisipliner, artikel ini membahas pengertian, ruang lingkup, dasar hukum, karakteristik, tujuan, dan penerapan dari kedua cabang hukum tersebut. Hukum perdata mengatur hubungan privat antarindividu/badan hukum dengan tujuan melindungi kepentingan dan hak perseorangan, sedangkan hukum pidana mengatur hubungan individu dengan negara dan masyarakat dengan tujuan melindungi kepentingan publik. Meskipun memiliki perbedaan dalam sumber hukum, karakteristik, tujuan, dan penerapannya, hukum perdata dan pidana dapat saling bersinggungan dalam praktik. Artikel ini menyimpulkan perlunya pemahaman komprehensif tentang persamaan dan perbedaan hukum perdata dan pidana bagi aparat penegak hukum, profesional hukum, dan masyarakat untuk mendorong budaya hukum yang sehat. Selain itu, harmonisasi peraturan, penguatan sumber daya manusia dan kelembagaan, serta penafsiran dan penerapan hukum yang cermat, kontekstual, dan proporsional juga diperlukan untuk mewujudkan hukum perdata dan pidana yang berkeadilan, responsif, dan adaptif dalam kerangka negara hukum Indonesia. Kata kunci: Hukum Perdata, Hukum Pidana, Perbandingan Hukum, Sistem Hukum Indonesia ABSTRACT This article aims to examine the comparison between civil law and criminal law in the Indonesian context. By employing normative juridical, comparative, and interdisciplinary approaches, this article discusses the definitions, scope, legal bases, characteristics, objectives, and implementation of both branches of law. Civil law regulates private relationships between individuals/legal entities to protect personal interests and rights, while criminal law governs the relationship between individuals and the state and society to protect public interests. Despite having differences in legal sources, characteristics, objectives, and implementation, civil and criminal law may overlap in practice. This article concludes the need for a comprehensive understanding of the similarities and differences between civil and criminal law for law enforcement officers, legal professionals, and the public to foster a healthy legal culture. Furthermore, regulatory harmonization, strengthening human resources and institutions, as well as careful, contextual, and proportional interpretation and application of the law are also necessary to realize just, responsive, and adaptive civil and criminal laws within the framework of the Indonesian rule of law. Keywords: Civil Law, Criminal Law, Comparative Law, Indonesian Legal System LATAR BELAKANG Hukum perdata dan hukum pidana merupakan dua cabang hukum utama yang memiliki peran penting dalam mewujudkan ketertiban, keadilan, dan perlindungan hak-hak individu maupun kepentingan umum dalam masyarakat Indonesia.1 Meskipun memiliki karakteristik, tujuan, dan ruang lingkup yang berbeda, hukum perdata dan hukum pidana saling melengkapi dalam mengatur perilaku manusia dan menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul.2 Hukum perdata berfokus pada hubungan hukum yang timbul dari perbuatan hukum, seperti perjanjian, perkawinan, perceraian, waris, dan ganti rugi. Hukum perdata memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan individu, serta menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat privat, seperti negosiasi, mediasi, arbitrase, dan gugatan perdata di pengadilan.3 Sumber utama hukum perdata di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW), yang merupakan warisan dari masa kolonial Belanda. Di sisi lain, hukum pidana mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana. Hukum pidana berfokus pada perbuatan-perbuatan yang dianggap merugikan kepentingan umum atau masyarakat, seperti pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, korupsi, dan narkotika.4 Sumber utama hukum pidana di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht, yang juga merupakan warisan dari masa kolonial Belanda. Namun demikian, dalam praktiknya, penerapan hukum perdata dan hukum pidana di Indonesia seringkali menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan, baik dari segi substansi hukum, struktur hukum, maupun budaya hukum.5 Misalnya, Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2003) h. 9. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1987) h.1. 3 Sudikno Martokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia,” Yogyakarta : Liberty, 2009 h.2. 4 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai : Kebijakan Hukum Pidana : Perkembangan Penyusunan Konsep RKUHP Baru, Kencana, 2011. h. 2 5 L. M Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York: Russell Sage Foundation, 1975) h. 14. 1 2 proses penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan seringkali memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal, sehingga menyulitkan masyarakat untuk mengakses keadilan. Selain itu, ketidakseimbangan kekuatan bargaining antara para pihak, seperti dalam hubungan konsumen dengan pelaku usaha atau pekerja dengan pengusaha, dapat menghambat pemenuhan hak-hak perdata secara adil.6 Dalam hukum pidana, overcriminalization atau kriminalisasi yang berlebihan terhadap perbuatan-perbuatan yang sebenarnya tidak perlu dipidana, dapat menimbulkan beban bagi sistem peradilan pidana dan merugikan hak-hak individu. Misalnya, kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang bersifat privat, seperti hubungan seksual di luar nikah atau perzinaan, dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak privasi dan kebebasan individu. Selain itu, penegakan hukum pidana yang tidak konsisten, tebang pilih, atau dipengaruhi oleh kepentingan politik, dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana.7 Tantangan lainnya dalam penerapan hukum perdata dan hukum pidana adalah adanya kesenjangan antara hukum yang tertulis (law in books) dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (law in action). Hukum perdata dan hukum pidana yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan seringkali tidak sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai, kebiasaan, dan kebutuhan hukum masyarakat.8 Akibatnya, masyarakat dapat merasa bahwa hukum yang ada tidak sesuai dengan rasa keadilan mereka atau tidak dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang mereka hadapi secara efektif. Selain itu, terdapat pula isu-isu yang berada di antara ranah hukum perdata dan hukum pidana, yang memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Misalnya, dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penyelesaian melalui mekanisme hukum perdata, seperti perceraian atau ganti rugi, seringkali tidak cukup untuk melindungi korban dan mencegah terulangnya kekerasan. Diperlukan pula pendekatan hukum pidana untuk meminta pertanggungjawaban pelaku dan memberikan efek jera. Namun, penerapan hukum pidana dalam kasus Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2000) h. 59. Yesmil Anwar and Adang, Sistem Peradilan Pidana: Konsep, Komponen, & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009) h. 34. 8 S Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 2006) h. 10. 6 7 KDRT juga harus dilakukan secara hati-hati, dengan mempertimbangkan kepentingan korban dan dampak sosial yang mungkin timbul, seperti stigmatisasi atau viktimisasi sekunder terhadap korban. Contoh lain adalah dalam kasus korupsi, yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Pendekatan hukum pidana melalui pemidanaan koruptor memang penting untuk memberantas korupsi, tetapi perlu dilengkapi dengan pendekatan hukum perdata untuk memulihkan kerugian negara, seperti melalui gugatan perdata atau mekanisme pengembalian aset. Selain itu, pendekatan preventif melalui penguatan sistem integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara juga diperlukan untuk mencegah terjadinya korupsi. Di Indonesia penerapan hukum perdata dan hukum pidana juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan politik yang kompleks. Indonesia adalah negara yang multikultural, dengan keragaman suku, agama, ras, dan golongan. Keragaman ini mencerminkan pula keragaman nilai, norma, dan kebiasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum perdata dan hukum pidana nasional yang berlaku secara umum, seringkali berinteraksi atau bahkan berkonflik dengan hukum adat atau hukum agama yang berlaku secara lokal. Faktor politik juga dapat mempengaruhi penerapan hukum perdata dan hukum pidana di Indonesia. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk undang-undang yang mengatur hukum perdata dan hukum pidana, seringkali dipengaruhi oleh kepentingan dan dinamika politik di lembaga legislatif. Akibatnya, substansi hukum yang dihasilkan dapat mencerminkan kompromi politik atau bahkan mengabaikan aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.9 Dalam penegakan hukum, intervensi politik terhadap lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan, dapat menghambat proses penegakan hukum yang adil dan independen. Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai perbandingan hukum perdata dan hukum pidana dalam konteks Indonesia, dengan mengkaji pengertian, ruang lingkup, dasar hukum, karakteristik, tujuan, dan penerapan dari kedua cabang hukum tersebut. Melalui pendekatan 9 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1992) h. 13. yuridis normatif, komparatif, dan interdisipliner, artikel ini akan menganalisis persamaan, perbedaan, serta isu-isu yang berada di antara hukum perdata dan hukum pidana. Secara teoritis, artikel ini diharapkan dapat berkontribusi pada pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam kajian perbandingan hukum dan analisis kebijakan hukum. Secara praktis, temuan dan rekomendasi dari artikel ini dapat menjadi masukan bagi para pembuat kebijakan dan praktisi hukum dalam mengembangkan dan menerapkan hukum perdata dan hukum pidana secara lebih efektif dan adil dalam konteks Indonesia yang plural dan dinamis. Rumusan permasalahan atau isu hukum yang akan dibahas dalam artikel ini adalah: 1. Apa pengertian dan ruang lingkup hukum perdata dan hukum pidana? 2. Apa dasar hukum yang mengatur hukum perdata dan hukum pidana? 3. Bagaimana perbandingan karakteristik, tujuan, dan penerapan hukum perdata dan hukum pidana Indonesia? Dengan membahas permasalahan tersebut, artikel ini diharapkan dapat memberikan perspektif yang lebih kontekstual dan responsif dalam mengembangkan sistem hukum Indonesia yang lebih adil, plural, dan sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan standar-standar internasional. PEMBAHASAN A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Perdata dan Hukum Pidana Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Menurut Subekti, hukum perdata meliputi semua hukum "privat materiil", yaitu hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.10 Sudikno Mertokusumo mendefinisikan hukum perdata sebagai hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat.11 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. h. 11 S Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010) h. 160. 10 11 Ruang lingkup hukum perdata mencakup hukum tentang diri seseorang (personen recht), hukum keluarga (familie recht), hukum harta kekayaan (vermogensrecht), dan hukum waris (erfrecht). Hukum tentang diri seseorang mengatur segala hal terkait manusia sebagai subjek hukum, seperti keturunan, kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian, nama, tempat tinggal, dan kewarganegaraan. Hukum keluarga mengatur hubungan hukum dalam lingkup keluarga, seperti perkawinan, hubungan orang tua dengan anak, kekuasaan orang tua, perwalian, dan pengampuan. Hukum harta kekayaan mengatur mengenai benda, hak-hak atas benda, perikatan, perjanjian, dan lain-lain. Sedangkan hukum waris mengatur peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.12 Sumber utama hukum perdata adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang dilengkapi dengan berbagai undang-undang, peraturan lain, yurisprudensi, serta hukum adat dan hukum Islam dalam bidangbidang tertentu. KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW) merupakan kodifikasi hukum perdata yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi dari masa kolonial Belanda. Meski menjadi sumber utama, tidak semua ketentuan dalam KUHPerdata masih berlaku saat ini. Sebagian telah dicabut atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang baru, seperti hukum perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di sisi lain, hukum pidana adalah bagian hukum yang mengatur perbuatanperbuatan yang dilarang (tindak pidana) dan sanksi pidana bagi pelanggarnya. Moeljatno mendefinisikan hukum pidana sebagai bagian hukum yang menentukan perbuatan mana yang dilarang, diancam pidana, dan bagaimana pengenaan pidana itu dilaksanakan. Van Hamel menyatakan bahwa hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan tersebut.13 Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata (Bandung: Alumni Bandung, 2006) h. 5-6. 13 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) h. 5. 12 Ruang lingkup hukum pidana meliputi tindak pidana (strafbaar feit), pertanggungjawaban pidana, dan pemidanaan. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan diancam dengan sanksi pidana. Pertanggungjawaban pidana mengatur mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dipidana atas suatu tindak pidana yang dilakukannya, seperti adanya kesalahan, kemampuan bertanggung jawab, tidak ada alasan pemaaf maupun pembenar. Sedangkan pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada seseorang yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana, yang mencakup jenisjenis sanksi pidana, tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, dan lain-lain. Sumber utama hukum pidana adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dilengkapi dengan undang-undang pidana khusus, Perda, dan sebagian kecil hukum pidana adat. KUHP atau Wetboek van Strafrecht merupakan kodifikasi hukum pidana warisan Belanda yang hingga kini masih berlaku berdasarkan asas konkordansi. KUHP terdiri dari tiga buku, yaitu Buku I tentang Aturan Umum, Buku II tentang Kejahatan, dan Buku III tentang Pelanggaran. Selain KUHP, terdapat berbagai undang-undang khusus yang mengatur tindak pidana tertentu di luar KUHP, seperti UU Tipikor, UU Narkotika, UU TPPU, dan UU TPPO. Perbedaan pokok hukum perdata dan pidana antara lain:14 (1) Hukum perdata mengatur hubungan privat, sedangkan hukum pidana mengatur hubungan individu dengan negara; (2) Hukum perdata bertujuan memulihkan hak, sedangkan hukum pidana bertujuan memulihkan keseimbangan masyarakat dan mencegah kejahatan; (3) Inisiatif penyelesaian perkara perdata ada pada pihak yang dirugikan, sedangkan perkara pidana ada pada negara; (4) Sanksi perdata bersifat reparatoir, sanksi pidana bersifat punitif; (5) Pelanggaran hukum perdata belum tentu pelanggaran pidana, tetapi tindak pidana hampir pasti juga melanggar hukum perdata. Meskipun memiliki banyak perbedaan, hukum perdata dan pidana pada praktiknya seringkali bersinggungan dan tidak dapat dipisahkan secara mutlak. Suatu perbuatan dapat sekaligus melanggar hukum perdata dan hukum pidana. Misalnya, tindakan penggelapan tidak hanya merugikan korban secara perdata, 14 Munir Fuady, Perbandingan Hukum Perdata (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005) h. 17. tetapi juga mengganggu ketertiban umum sehingga dikategorikan sebagai tindak pidana. Dalam hal terjadi persinggungan seperti itu, proses pidana umumnya didahulukan dari proses perdata, sesuai asas "le criminel tient le civil en état" (perkara pidana menghentikan perkara perdata). Hal ini karena kepentingan umum yang dilindungi hukum pidana dianggap lebih utama daripada kepentingan individu yang dilindungi hukum perdata. B. Dasar Hukum yang Mengatur Hukum Perdata dan Pidana di Indonesia Dasar hukum utama hukum perdata adalah KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek), yang dilengkapi dengan berbagai undang-undang, peraturan lain, yurisprudensi, serta hukum adat dan hukum Islam dalam bidang tertentu. KUHPerdata terdiri dari empat buku, yaitu Buku I tentang Orang, Buku II tentang Kebendaan, Buku III tentang Perikatan, dan Buku IV tentang Pembuktian dan Daluwarsa. Meski menjadi sumber utama, tidak semua ketentuan dalam KUHPerdata masih berlaku saat ini. Sebagian telah dicabut atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang baru, seperti hukum perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Beberapa undang-undang penting dalam hukum perdata antara lain UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Jaminan Fidusia, UU Kepailitan dan PKPU, dan UU Perseroan Terbatas. UU Perkawinan mengatur mengenai dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, perceraian, dan lain-lain. UU Hak Tanggungan mengatur jaminan kebendaan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu. UU Jaminan Fidusia mengatur pengalihan hak kepemilikan atas benda bergerak sebagai jaminan atas utang. UU Kepailitan dan PKPU mengatur syarat dan prosedur pernyataan pailit serta penundaan kewajiban pembayaran utang bagi debitor. Sedangkan UU Perseroan Terbatas mengatur pendirian, pengurusan, dan pembubaran badan hukum perseroan terbatas. Selain KUHPerdata dan undang-undang, dasar hukum perdata juga mencakup peraturan lain di bawah undang-undang, yurisprudensi, hukum adat, dan hukum Islam. Yurisprudensi atau putusan hakim terdahulu yang sudah berkekuatan hukum tetap bisa menjadi acuan bagi hakim dalam memutus perkara perdata yang serupa. Hukum adat dan hukum Islam juga diakui eksistensinya dalam bidangbidang tertentu seperti perkawinan, waris, dan tanah ulayat.15 Dasar hukum utama hukum pidana adalah KUHP (Wetboek van Strafrecht), yang dilengkapi dengan berbagai undang-undang pidana khusus, peraturan daerah, dan sebagian kecil hukum pidana adat. KUHP terdiri dari tiga buku, yaitu Buku I tentang Aturan Umum yang memuat asas-asas dan doktrin-doktrin hukum pidana, Buku II tentang Kejahatan yang memuat delik-delik yang dikategorikan sebagai kejahatan, dan Buku III tentang Pelanggaran yang berisi delik-delik pelanggaran. Asas legalitas menjadi prinsip fundamental dalam hukum pidana, yang menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika perbuatannya telah dinyatakan sebagai tindak pidana dalam undang-undang sebelum perbuatan itu dilakukan.16 Asas ini bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan penguasa dan memberikan kepastian hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang. Selain asas legalitas, KUHP juga memuat asasasas penting lainnya seperti asas teritorialitas, asas nasional aktif, asas nasional pasif, dan asas universalitas. Selain KUHP, terdapat banyak undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus di luar KUHP dengan alasan adanya tindak pidana baru, perlunya pengaturan khusus, atau banyaknya pelanggaran terhadap perbuatan tersebut. Beberapa undang-undang pidana khusus yang penting antara lain UU Tipikor, UU Narkotika, UU TPPU, dan UU TPPO. UU Tipikor mengatur jenis-jenis tindak pidana korupsi, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaannya. UU Narkotika menjadi landasan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. UU TPPU bertujuan mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Sedangkan UU TPPO mengatur pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Dasar hukum pidana juga bisa berupa Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur pelanggaran ketertiban umum. Perda dapat memuat ancaman pidana Syamsudin Syamsudin, “BEBAN MASYARAKAT ADAT MENGHADAPI HUKUM NEGARA,” JURNAL HUKUM IUS QUIA IUSTUM 15, no. 3 (2008), https://doi.org/10.20885/iustum.vol15.iss3.art9. 16 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003) h. 256. 15 kurungan maksimal 6 bulan atau denda maksimal 50 juta rupiah. Selain itu, hukum pidana adat juga masih diterapkan secara terbatas dalam masyarakat adat tertentu, terutama untuk delik adat yang tidak diatur dalam hukum pidana nasional. Namun penerapan hukum pidana adat harus memperhatikan hak asasi manusia dan tidak boleh bertentangan dengan hukum pidana nasional. Perbedaan dasar hukum perdata dan pidana mencerminkan perbedaan fokus pengaturan, dimana hukum perdata fokus pada hubungan privat antarindividu/badan hukum, sedangkan hukum pidana fokus pada hubungan publik antara individu dengan negara dan masyarakat. Meskipun berbeda, keduanya samasama berperan penting dalam mewujudkan ketertiban, kepastian, dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahaman mengenai dasar hukum perdata dan pidana penting bagi setiap warga negara agar dapat menjadi subjek hukum yang cakap dan mampu melindungi hak-haknya.17 Pengetahuan ini juga dibutuhkan oleh legislator dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang berkeadilan, responsif, dan selaras dengan perkembangan masyarakat. C. Perbandingan Karakteristik, Tujuan dan Penerapan Hukum Perdata dan Hukum Pidana Hukum perdata dan pidana memiliki karakteristik berbeda dari segi sifat hubungan hukum, hak yang dilindungi, sanksi yang diterapkan, dan inisiatif penyelesaian perkara. Hukum perdata mengatur hubungan privat yang bersifat koordinatif, melindungi hak dan kepentingan individu, menerapkan sanksi reparatif, dan menempatkan inisiatif penyelesaian sengketa pada pihak yang dirugikan. Sebaliknya, hukum pidana mengatur hubungan publik yang bersifat subordinatif, melindungi kepentingan masyarakat, menerapkan sanksi punitif, dan menempatkan inisiatif penyelesaian perkara pada negara. Hubungan hukum perdata bersifat koordinatif karena para pihak memiliki kedudukan yang setara dan bebas untuk mengatur hak dan kewajiban mereka sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Contohnya, dalam perjanjian jual beli, penjual dan pembeli dapat secara bebas menentukan harga, cara pembayaran, jaminan, dan klausul-klausul lainnya. achmad dan wiwie Heryani Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012) H. 128. 17 Jika terjadi pelanggaran perjanjian, pihak yang dirugikan dapat menuntut pemenuhan atau ganti rugi melalui musyawarah atau pengadilan.18 Sebaliknya, hubungan hukum pidana bersifat subordinatif karena negara memiliki kekuasaan untuk melarang perbuatan-perbuatan tertentu dan memaksa setiap orang untuk mematuhinya dengan ancaman sanksi pidana. Individu tidak memiliki pilihan lain selain tunduk pada aturan pidana yang telah ditetapkan negara. Jika seseorang melanggar aturan pidana, negara berwenang menangkap, menahan, menuntut, mengadili, dan menjatuhkan sanksi pidana kepadanya berdasarkan undang-undang. Tujuan hukum perdata adalah mewujudkan keadilan bagi para pihak, memberikan perlindungan hak dan kepastian hukum, serta menyelesaikan sengketa perdata secara adil dan efisien. Tujuan ini tercermin dari asas-asas hukum perdata seperti asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik, dan asas penyelesaian sengketa secara damai. Misalnya, asas pacta sunt servanda menjamin bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak seperti undang-undang. Jika ada sengketa, hakim perdata wajib menghormati isi perjanjian dan tidak boleh mengubahnya, kecuali jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum Sedangkan tujuan hukum pidana adalah menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, mencegah, serta menanggulangi kejahatan. Tujuan ini dikenal dengan istilah tujuan pemidanaan yang meliputi teori absolut (retributif), teori relatif (utilitarian), dan teori gabungan.19 Teori absolut menekankan pemidanaan sebagai pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Teori relatif mengutamakan perlindungan masyarakat dan pencegahan kejahatan melalui efek jera. Sedangkan teori gabungan memadukan tujuan pembalasan dan perlindungan masyarakat secara seimbang. Tujuan pemidanaan ini melandasi asas-asas hukum pidana seperti asas legalitas, asas culpabilitas (tiada pidana tanpa kesalahan), asas subsidiaritas (ultimum remedium), dan asas proporsionalitas antara tindak pidana dengan sanksinya. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014) h. 199. 19 Eva Achjani Zulfa, “PERGESERAN PARADIGMA PEMIDANAAN Dl INDONESIA,” Jurnal Hukum & Pembangunan 36, no. 3 (2017) h. 51, https://doi.org/10.21143/jhp.vol36.no3.1256. 18 Penerapan hukum perdata dan pidana juga berbeda dalam hal proses penyelesaian perkara, alat bukti, dan putusan hakim. Proses penyelesaian perkara perdata mengacu pada HIR/RBg dengan tahapan gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, dan putusan. Para pihak memiliki beban untuk membuktikan dalil masing-masing berdasarkan alat bukti yang sah menurut Pasal 1866 KUHPerdata, yaitu bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Putusan hakim perdata bersifat condemnatoir, declaratoir, atau constitutief dan hanya mengikat para pihak yang berperkara. Sedangkan proses peradilan pidana mengacu pada KUHAP dengan tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang, dan pelaksanaan putusan. Jaksa penuntut umum memiliki beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Putusan perkara pidana dapat berupa pemidanaan, putusan bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dan mengikat siapa saja (erga omnes). Meski hukum perdata dan pidana memiliki domain berbeda, dalam praktik sering terjadi irisan di antara keduanya. Suatu perbuatan bisa saja melanggar hukum perdata dan pidana sekaligus. Misalnya, seorang bendahara yang menggelapkan uang perusahaan dapat digugat secara perdata oleh perusahaan atas dasar wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, sekaligus dituntut secara pidana karena melakukan tindak pidana penggelapan. Dalam kasus seperti ini, proses pidana harus didahulukan sesuai asas "le criminel tient le civil en état" (perkara pidana menghentikan perkara perdata), sebagaimana diatur dalam Pasal 1377 KUHPerdata. Perbedaan karakteristik, tujuan, dan penerapan hukum perdata dan pidana menuntut kecermatan dan kehati-hatian dalam menafsirkan dan menerapkan keduanya. Penegak hukum harus mampu mengidentifikasi sifat perbuatan hukum, kepentingan hukum yang dilanggar, dan jenis sanksi yang tepat untuk diterapkan. Kesalahan dalam menerapkan hukum perdata dan pidana dapat menimbulkan ketidakadilan, over kriminalisasi, atau impunitas.20 Misalnya, perbuatan ingkar Douglas Husak, Overcriminalization: The Limits of the Criminal Law, Overcriminalization: The Limits of the Criminal Law, 2008, h. 3 https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780195328714.001.0001. 20 janji dalam hukum kontrak pada prinsipnya adalah persoalan keperdataan yang seharusnya diselesaikan secara perdata, bukan pidana. Kriminalisasi terhadap perbuatan ingkar janji (misalnya, kriminalisasi utang atau wanprestasi) dapat menciptakan ketidakpastian dalam lalu lintas bisnis dan bertentangan dengan prinsip hukum kontrak. Idealnya, hukum perdata dan pidana harus dijalankan secara proporsional dan saling melengkapi demi mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Hukum perdata dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa privat secara win-win solution melalui musyawarah, mediasi, atau ajudikasi, dengan tetap menghormati kebebasan berkontrak dan melindungi hak-hak keperdataan. Hukum pidana dapat difungsikan sebagai obat terakhir (ultimum remedium) untuk melindungi kepentingan publik dari perbuatan-perbuatan yang membahayakan dengan tetap menjamin hak-hak tersangka/terdakwa dan menghindari pemidanaan yang tidak proporsional. Pemahaman komprehensif mengenai karakteristik, tujuan, dan penerapan hukum perdata dan pidana penting bagi aparat penegak hukum, profesional hukum, dan juga setiap warga negara.21 Pemahaman ini dapat mendorong masyarakat menjadi subjek hukum yang kritis dan partisipatif dalam membangun budaya hukum yang sehat, yang membedakan penyelesaian persoalan privat melalui mekanisme perdata dan persoalan publik melalui mekanisme pidana. Budaya hukum yang sehat juga tercermin dari penghormatan terhadap hak-hak keperdataan individu sekaligus ketaatan terhadap aturan-aturan pidana yang melindungi kepentingan bersama. Selain itu, lembaga legislatif juga perlu memahami hal ini dalam merumuskan peraturan perundang-undangan. Perumusan ketentuan perdata dan pidana harus dilakukan secara sistematis dan proporsional dengan mempertimbangkan nilai-nilai dan kebutuhan hukum dalam masyarakat serta perkembangan global. Pembentukan peraturan perdata harus memperhatikan keseimbangan hak dan kewajiban para pihak, perlindungan pihak yang lemah, serta fleksibilitas dalam mengakomodasi perkembangan praktik bisnis yang dinamis. Achmad Ali, “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Undang-Undang (Legisprudence),” in Volume I Pemahaman Awal, 2017, h. 225. 21 Pembentukan peraturan pidana harus menjamin kepastian hukum, perlindungan hak asasi manusia, keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, serta harmonisasi dengan perkembangan hukum pidana internasional. Hanya dengan pembentukan dan implementasi hukum yang baik, cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dapat terealisasi.22 Negara hukum mensyaratkan adanya supremasi hukum (supremacy of law), persamaan di depan hukum (equality before the law), dan perlindungan hak asasi manusia. Hukum perdata dan pidana yang berkeadilan, responsif, dan adaptif terhadap perkembangan zaman merupakan prasyarat penting bagi terwujudnya negara hukum yang dicita-citakan tersebut. PENUTUP A. Kesimpulan a. Hukum perdata dan pidana memiliki pengertian, ruang lingkup, karakteristik, dan tujuan berbeda. Hukum perdata mengatur hubungan privat untuk melindungi kepentingan individu, sedangkan hukum pidana mengatur hubungan individu-negara untuk melindungi kepentingan publik. b. Dasar hukum utama hukum perdata adalah KUHPerdata, sedangkan hukum pidana adalah KUHP, yang dilengkapi peraturan lainnya. Perbedaan ini mencerminkan fokus pengaturan yang berbeda antara hukum perdata dan pidana. c. Penerapan hukum perdata dan pidana berbeda dalam proses penyelesaian perkara, alat bukti, dan putusan hakim. Meski demikian, keduanya dapat bersinggungan dalam praktik. B. Saran a. Perlu sosialisasi intensif kepada masyarakat mengenai hukum perdata dan pidana, serta pembaruan kodifikasi KUHPerdata dan KUHP agar sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan hukum saat ini. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 2000),h. 126. 22 b. Harmonisasi peraturan yang menjadi dasar hukum perdata dan pidana perlu dilakukan untuk menghindari tumpang tindih atau kontradiksi. Penguatan SDM dan sistem pendukung di institusi legislatif juga diperlukan untuk menghasilkan produk hukum yang responsif. c. Penafsiran dan penerapan hukum perdata dan pidana harus cermat, kontekstual, dan proporsional. Sinergi antar aparat penegak hukum serta peningkatan kompetensi mereka melalui pendidikan dan pelatihan juga diperlukan. DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad. “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Undang-Undang (Legisprudence).” In Volume I Pemahaman Awal, 2017. Ali, achmad dan wiwie Heryani. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012. Anwar, Yesmil, and Adang. Sistem Peradilan Pidana: Konsep, Komponen, & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia. Bandung: Widya Padjadjaran, 2009. Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai : Kebijakan Hukum Pidana : Perkembangan Penyusunan Konsep RKUHP Baru. Kencana, 2011. Friedman, L. M. The Legal System: A Social Science Perspective. New York: Russell Sage Foundation, 1975. Fuady, Munir. Perbandingan Hukum Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005. Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2008. Husak, Douglas. Overcriminalization: The Limits of the Criminal Law. Overcriminalization: The Limits of the Criminal Law, 2008. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780195328714.001.0001. Manan, Bagir. Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: Ind-HillCo, 1992. Martokusumo, Sudikno. “Hukum Acara Perdata Indonesia.” Yogyakarta : Liberty, 2009. Mertokusumo, S. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010. Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1987. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014. Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2000. Sidharta, Arief. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 2000. Soekanto, S. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2006. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003. Syahrani, Riduan. Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni Bandung, 2006. Syamsudin, Syamsudin. “Beban Masyarakat Adat Menghadapi Hukum Negara.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 15, no. 3 (2008). https://doi.org/10.20885/iustum.vol15.iss3.art9. Zulfa, Eva Achjani. “Pergeseran Paradigma Pemidanaan Dl Indonesia.” Jurnal Hukum & Pembangunan 36, https://doi.org/10.21143/jhp.vol36.no3.1256. no. 3 (2017).