PERBANDINGAN HUKUM PERDATA DENGAN HUKUM PIDANA
Mutiara Seroja 2310246516
Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Riau
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji perbandingan hukum perdata dan hukum
pidana dalam konteks Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan yuridis
normatif, komparatif, dan interdisipliner, artikel ini membahas pengertian, ruang
lingkup, dasar hukum, karakteristik, tujuan, dan penerapan dari kedua cabang
hukum tersebut. Hukum perdata mengatur hubungan privat antarindividu/badan
hukum dengan tujuan melindungi kepentingan dan hak perseorangan, sedangkan
hukum pidana mengatur hubungan individu dengan negara dan masyarakat dengan
tujuan melindungi kepentingan publik. Meskipun memiliki perbedaan dalam
sumber hukum, karakteristik, tujuan, dan penerapannya, hukum perdata dan pidana
dapat saling bersinggungan dalam praktik. Artikel ini menyimpulkan perlunya
pemahaman komprehensif tentang persamaan dan perbedaan hukum perdata dan
pidana bagi aparat penegak hukum, profesional hukum, dan masyarakat untuk
mendorong budaya hukum yang sehat. Selain itu, harmonisasi peraturan, penguatan
sumber daya manusia dan kelembagaan, serta penafsiran dan penerapan hukum
yang cermat, kontekstual, dan proporsional juga diperlukan untuk mewujudkan
hukum perdata dan pidana yang berkeadilan, responsif, dan adaptif dalam kerangka
negara hukum Indonesia.
Kata kunci: Hukum Perdata, Hukum Pidana, Perbandingan Hukum, Sistem
Hukum Indonesia
ABSTRACT
This article aims to examine the comparison between civil law and criminal law in
the Indonesian context. By employing normative juridical, comparative, and
interdisciplinary approaches, this article discusses the definitions, scope, legal
bases, characteristics, objectives, and implementation of both branches of law. Civil
law regulates private relationships between individuals/legal entities to protect
personal interests and rights, while criminal law governs the relationship between
individuals and the state and society to protect public interests. Despite having
differences in legal sources, characteristics, objectives, and implementation, civil
and criminal law may overlap in practice. This article concludes the need for a
comprehensive understanding of the similarities and differences between civil and
criminal law for law enforcement officers, legal professionals, and the public to
foster a healthy legal culture. Furthermore, regulatory harmonization, strengthening
human resources and institutions, as well as careful, contextual, and proportional
interpretation and application of the law are also necessary to realize just,
responsive, and adaptive civil and criminal laws within the framework of the
Indonesian rule of law.
Keywords: Civil Law, Criminal Law, Comparative Law, Indonesian Legal
System
LATAR BELAKANG
Hukum perdata dan hukum pidana merupakan dua cabang hukum utama
yang memiliki peran penting dalam mewujudkan ketertiban, keadilan, dan
perlindungan hak-hak individu maupun kepentingan umum dalam masyarakat
Indonesia.1 Meskipun memiliki karakteristik, tujuan, dan ruang lingkup yang
berbeda, hukum perdata dan hukum pidana saling melengkapi dalam mengatur
perilaku manusia dan menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul.2
Hukum perdata berfokus pada hubungan hukum yang timbul dari perbuatan
hukum, seperti perjanjian, perkawinan, perceraian, waris, dan ganti rugi. Hukum
perdata memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan individu,
serta menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat privat, seperti
negosiasi, mediasi, arbitrase, dan gugatan perdata di pengadilan.3 Sumber utama
hukum perdata di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW), yang merupakan warisan dari masa
kolonial Belanda.
Di sisi lain, hukum pidana mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang
melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam
undang-undang pidana. Hukum pidana berfokus pada perbuatan-perbuatan yang
dianggap merugikan kepentingan umum atau masyarakat, seperti pembunuhan,
pencurian, pemerkosaan, korupsi, dan narkotika.4 Sumber utama hukum pidana di
Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van
Strafrecht, yang juga merupakan warisan dari masa kolonial Belanda.
Namun demikian, dalam praktiknya, penerapan hukum perdata dan hukum
pidana di Indonesia seringkali menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan,
baik dari segi substansi hukum, struktur hukum, maupun budaya hukum.5 Misalnya,
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2003) h. 9.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1987) h.1.
3
Sudikno Martokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia,” Yogyakarta : Liberty, 2009 h.2.
4
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai : Kebijakan Hukum Pidana : Perkembangan Penyusunan
Konsep RKUHP Baru, Kencana, 2011. h. 2
5
L. M Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York: Russell Sage
Foundation, 1975) h. 14.
1
2
proses penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan seringkali memakan
waktu yang lama dan biaya yang mahal, sehingga menyulitkan masyarakat untuk
mengakses keadilan. Selain itu, ketidakseimbangan kekuatan bargaining antara
para pihak, seperti dalam hubungan konsumen dengan pelaku usaha atau pekerja
dengan pengusaha, dapat menghambat pemenuhan hak-hak perdata secara adil.6
Dalam hukum pidana, overcriminalization atau kriminalisasi yang
berlebihan terhadap perbuatan-perbuatan yang sebenarnya tidak perlu dipidana,
dapat menimbulkan beban bagi sistem peradilan pidana dan merugikan hak-hak
individu. Misalnya, kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang bersifat
privat, seperti hubungan seksual di luar nikah atau perzinaan, dapat dianggap
sebagai pelanggaran terhadap hak privasi dan kebebasan individu. Selain itu,
penegakan hukum pidana yang tidak konsisten, tebang pilih, atau dipengaruhi oleh
kepentingan politik, dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem
peradilan pidana.7
Tantangan lainnya dalam penerapan hukum perdata dan hukum pidana
adalah adanya kesenjangan antara hukum yang tertulis (law in books) dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat (law in action). Hukum perdata dan hukum
pidana yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan seringkali tidak
sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai, kebiasaan, dan kebutuhan hukum
masyarakat.8 Akibatnya, masyarakat dapat merasa bahwa hukum yang ada tidak
sesuai dengan rasa keadilan mereka atau tidak dapat menyelesaikan permasalahan
hukum yang mereka hadapi secara efektif.
Selain itu, terdapat pula isu-isu yang berada di antara ranah hukum perdata
dan hukum pidana, yang memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif.
Misalnya, dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penyelesaian
melalui mekanisme hukum perdata, seperti perceraian atau ganti rugi, seringkali
tidak cukup untuk melindungi korban dan mencegah terulangnya kekerasan.
Diperlukan pula pendekatan hukum pidana untuk meminta pertanggungjawaban
pelaku dan memberikan efek jera. Namun, penerapan hukum pidana dalam kasus
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2000) h. 59.
Yesmil Anwar and Adang, Sistem Peradilan Pidana: Konsep, Komponen, & Pelaksanaannya
Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009) h. 34.
8
S Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 2006) h. 10.
6
7
KDRT juga harus dilakukan secara hati-hati, dengan mempertimbangkan
kepentingan korban dan dampak sosial yang mungkin timbul, seperti stigmatisasi
atau viktimisasi sekunder terhadap korban.
Contoh lain adalah dalam kasus korupsi, yang tidak hanya merugikan
keuangan negara, tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Pendekatan hukum pidana melalui pemidanaan koruptor memang penting untuk
memberantas korupsi, tetapi perlu dilengkapi dengan pendekatan hukum perdata
untuk memulihkan kerugian negara, seperti melalui gugatan perdata atau
mekanisme pengembalian aset. Selain itu, pendekatan preventif melalui penguatan
sistem integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan
negara juga diperlukan untuk mencegah terjadinya korupsi.
Di Indonesia penerapan hukum perdata dan hukum pidana juga dipengaruhi
oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan politik yang kompleks. Indonesia adalah
negara yang multikultural, dengan keragaman suku, agama, ras, dan golongan.
Keragaman ini mencerminkan pula keragaman nilai, norma, dan kebiasaan hukum
yang hidup dalam masyarakat. Hukum perdata dan hukum pidana nasional yang
berlaku secara umum, seringkali berinteraksi atau bahkan berkonflik dengan hukum
adat atau hukum agama yang berlaku secara lokal.
Faktor politik juga dapat mempengaruhi penerapan hukum perdata dan
hukum pidana di Indonesia. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan,
termasuk undang-undang yang mengatur hukum perdata dan hukum pidana,
seringkali dipengaruhi oleh kepentingan dan dinamika politik di lembaga legislatif.
Akibatnya, substansi hukum yang dihasilkan dapat mencerminkan kompromi
politik atau bahkan mengabaikan aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.9
Dalam penegakan hukum, intervensi politik terhadap lembaga penegak hukum,
seperti kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan, dapat menghambat proses
penegakan hukum yang adil dan independen.
Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif
mengenai perbandingan hukum perdata dan hukum pidana dalam konteks
Indonesia, dengan mengkaji pengertian, ruang lingkup, dasar hukum, karakteristik,
tujuan, dan penerapan dari kedua cabang hukum tersebut. Melalui pendekatan
9
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1992) h. 13.
yuridis normatif, komparatif, dan interdisipliner, artikel ini akan menganalisis
persamaan, perbedaan, serta isu-isu yang berada di antara hukum perdata dan
hukum pidana.
Secara teoritis, artikel ini diharapkan dapat berkontribusi pada
pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam kajian perbandingan hukum dan
analisis kebijakan hukum. Secara praktis, temuan dan rekomendasi dari artikel ini
dapat menjadi masukan bagi para pembuat kebijakan dan praktisi hukum dalam
mengembangkan dan menerapkan hukum perdata dan hukum pidana secara lebih
efektif dan adil dalam konteks Indonesia yang plural dan dinamis.
Rumusan permasalahan atau isu hukum yang akan dibahas dalam artikel ini
adalah:
1. Apa pengertian dan ruang lingkup hukum perdata dan hukum pidana?
2. Apa dasar hukum yang mengatur hukum perdata dan hukum pidana?
3. Bagaimana perbandingan karakteristik, tujuan, dan penerapan hukum perdata
dan hukum pidana Indonesia?
Dengan membahas permasalahan tersebut, artikel ini diharapkan dapat
memberikan
perspektif
yang
lebih
kontekstual
dan
responsif
dalam
mengembangkan sistem hukum Indonesia yang lebih adil, plural, dan sesuai dengan
nilai-nilai luhur bangsa dan standar-standar internasional.
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Perdata dan Hukum Pidana
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan
perseorangan. Menurut Subekti, hukum perdata meliputi semua hukum "privat
materiil",
yaitu
hukum
pokok
yang
mengatur
kepentingan-kepentingan
perseorangan.10 Sudikno Mertokusumo mendefinisikan hukum perdata sebagai
hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu
terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan
masyarakat.11
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. h. 11
S Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2010) h. 160.
10
11
Ruang lingkup hukum perdata mencakup hukum tentang diri seseorang
(personen recht), hukum keluarga (familie recht), hukum harta kekayaan
(vermogensrecht), dan hukum waris (erfrecht). Hukum tentang diri seseorang
mengatur segala hal terkait manusia sebagai subjek hukum, seperti keturunan,
kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian, nama, tempat tinggal, dan
kewarganegaraan. Hukum keluarga mengatur hubungan hukum dalam lingkup
keluarga, seperti perkawinan, hubungan orang tua dengan anak, kekuasaan orang
tua, perwalian, dan pengampuan. Hukum harta kekayaan mengatur mengenai
benda, hak-hak atas benda, perikatan, perjanjian, dan lain-lain. Sedangkan hukum
waris mengatur peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya.12
Sumber utama hukum perdata adalah Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), yang dilengkapi dengan berbagai undang-undang,
peraturan lain, yurisprudensi, serta hukum adat dan hukum Islam dalam bidangbidang tertentu. KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW) merupakan kodifikasi
hukum perdata yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi dari
masa kolonial Belanda. Meski menjadi sumber utama, tidak semua ketentuan dalam
KUHPerdata masih berlaku saat ini. Sebagian telah dicabut atau diubah dengan
peraturan perundang-undangan yang baru, seperti hukum perkawinan yang diatur
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Di sisi lain, hukum pidana adalah bagian hukum yang mengatur perbuatanperbuatan yang dilarang (tindak pidana) dan sanksi pidana bagi pelanggarnya.
Moeljatno mendefinisikan hukum pidana sebagai bagian hukum yang menentukan
perbuatan mana yang dilarang, diancam pidana, dan bagaimana pengenaan pidana
itu dilaksanakan. Van Hamel menyatakan bahwa hukum pidana adalah semua
dasar-dasar
dan
aturan-aturan
yang
dianut
oleh
suatu
negara
dalam
menyelenggarakan ketertiban hukum yaitu dengan melarang apa yang bertentangan
dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan
tersebut.13
Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata (Bandung: Alumni Bandung, 2006)
h. 5-6.
13
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) h. 5.
12
Ruang lingkup hukum pidana meliputi tindak pidana (strafbaar feit),
pertanggungjawaban pidana, dan pemidanaan. Tindak pidana adalah perbuatan
yang dilarang oleh aturan hukum dan diancam dengan sanksi pidana.
Pertanggungjawaban pidana mengatur mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi
agar seseorang dapat dipidana atas suatu tindak pidana yang dilakukannya, seperti
adanya kesalahan, kemampuan bertanggung jawab, tidak ada alasan pemaaf
maupun pembenar. Sedangkan pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada
seseorang yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana, yang mencakup jenisjenis sanksi pidana, tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, dan lain-lain.
Sumber utama hukum pidana adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), yang dilengkapi dengan undang-undang pidana khusus, Perda, dan
sebagian kecil hukum pidana adat. KUHP atau Wetboek van Strafrecht merupakan
kodifikasi hukum pidana warisan Belanda yang hingga kini masih berlaku
berdasarkan asas konkordansi. KUHP terdiri dari tiga buku, yaitu Buku I tentang
Aturan Umum, Buku II tentang Kejahatan, dan Buku III tentang Pelanggaran.
Selain KUHP, terdapat berbagai undang-undang khusus yang mengatur tindak
pidana tertentu di luar KUHP, seperti UU Tipikor, UU Narkotika, UU TPPU, dan
UU TPPO.
Perbedaan pokok hukum perdata dan pidana antara lain:14 (1) Hukum
perdata mengatur hubungan privat, sedangkan hukum pidana mengatur hubungan
individu dengan negara; (2) Hukum perdata bertujuan memulihkan hak, sedangkan
hukum pidana bertujuan memulihkan keseimbangan masyarakat dan mencegah
kejahatan; (3) Inisiatif penyelesaian perkara perdata ada pada pihak yang dirugikan,
sedangkan perkara pidana ada pada negara; (4) Sanksi perdata bersifat reparatoir,
sanksi pidana bersifat punitif; (5) Pelanggaran hukum perdata belum tentu
pelanggaran pidana, tetapi tindak pidana hampir pasti juga melanggar hukum
perdata.
Meskipun memiliki banyak perbedaan, hukum perdata dan pidana pada
praktiknya seringkali bersinggungan dan tidak dapat dipisahkan secara mutlak.
Suatu perbuatan dapat sekaligus melanggar hukum perdata dan hukum pidana.
Misalnya, tindakan penggelapan tidak hanya merugikan korban secara perdata,
14
Munir Fuady, Perbandingan Hukum Perdata (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005) h. 17.
tetapi juga mengganggu ketertiban umum sehingga dikategorikan sebagai tindak
pidana. Dalam hal terjadi persinggungan seperti itu, proses pidana umumnya
didahulukan dari proses perdata, sesuai asas "le criminel tient le civil en état"
(perkara pidana menghentikan perkara perdata). Hal ini karena kepentingan umum
yang dilindungi hukum pidana dianggap lebih utama daripada kepentingan individu
yang dilindungi hukum perdata.
B. Dasar Hukum yang Mengatur Hukum Perdata dan Pidana di Indonesia
Dasar hukum utama hukum perdata adalah KUHPerdata (Burgerlijk
Wetboek), yang dilengkapi dengan berbagai undang-undang, peraturan lain,
yurisprudensi, serta hukum adat dan hukum Islam dalam bidang tertentu.
KUHPerdata terdiri dari empat buku, yaitu Buku I tentang Orang, Buku II tentang
Kebendaan, Buku III tentang Perikatan, dan Buku IV tentang Pembuktian dan
Daluwarsa. Meski menjadi sumber utama, tidak semua ketentuan dalam
KUHPerdata masih berlaku saat ini. Sebagian telah dicabut atau diubah dengan
peraturan perundang-undangan yang baru, seperti hukum perkawinan yang diatur
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Beberapa undang-undang penting dalam hukum perdata antara lain UU
Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Jaminan Fidusia, UU Kepailitan dan PKPU,
dan UU Perseroan Terbatas. UU Perkawinan mengatur mengenai dasar-dasar
perkawinan, syarat-syarat perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda
dalam perkawinan, perceraian, dan lain-lain. UU Hak Tanggungan mengatur
jaminan kebendaan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu. UU Jaminan Fidusia
mengatur pengalihan hak kepemilikan atas benda bergerak sebagai jaminan atas
utang. UU Kepailitan dan PKPU mengatur syarat dan prosedur pernyataan pailit
serta penundaan kewajiban pembayaran utang bagi debitor. Sedangkan UU
Perseroan Terbatas mengatur pendirian, pengurusan, dan pembubaran badan hukum
perseroan terbatas.
Selain KUHPerdata dan undang-undang, dasar hukum perdata juga
mencakup peraturan lain di bawah undang-undang, yurisprudensi, hukum adat, dan
hukum Islam. Yurisprudensi atau putusan hakim terdahulu yang sudah berkekuatan
hukum tetap bisa menjadi acuan bagi hakim dalam memutus perkara perdata yang
serupa. Hukum adat dan hukum Islam juga diakui eksistensinya dalam bidangbidang tertentu seperti perkawinan, waris, dan tanah ulayat.15
Dasar hukum utama hukum pidana adalah KUHP (Wetboek van Strafrecht),
yang dilengkapi dengan berbagai undang-undang pidana khusus, peraturan daerah,
dan sebagian kecil hukum pidana adat. KUHP terdiri dari tiga buku, yaitu Buku I
tentang Aturan Umum yang memuat asas-asas dan doktrin-doktrin hukum pidana,
Buku II tentang Kejahatan yang memuat delik-delik yang dikategorikan sebagai
kejahatan, dan Buku III tentang Pelanggaran yang berisi delik-delik pelanggaran.
Asas legalitas menjadi prinsip fundamental dalam hukum pidana, yang
menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika perbuatannya telah
dinyatakan sebagai tindak pidana dalam undang-undang sebelum perbuatan itu
dilakukan.16 Asas ini bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dari
kesewenang-wenangan penguasa dan memberikan kepastian hukum mengenai
perbuatan-perbuatan yang dilarang. Selain asas legalitas, KUHP juga memuat asasasas penting lainnya seperti asas teritorialitas, asas nasional aktif, asas nasional
pasif, dan asas universalitas.
Selain KUHP, terdapat banyak undang-undang yang mengatur tindak
pidana khusus di luar KUHP dengan alasan adanya tindak pidana baru, perlunya
pengaturan khusus, atau banyaknya pelanggaran terhadap perbuatan tersebut.
Beberapa undang-undang pidana khusus yang penting antara lain UU Tipikor, UU
Narkotika, UU TPPU, dan UU TPPO. UU Tipikor mengatur jenis-jenis tindak
pidana korupsi, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaannya. UU Narkotika
menjadi landasan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika. UU TPPU bertujuan mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang. Sedangkan UU TPPO mengatur pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang.
Dasar hukum pidana juga bisa berupa Peraturan Daerah (Perda) yang
mengatur pelanggaran ketertiban umum. Perda dapat memuat ancaman pidana
Syamsudin Syamsudin, “BEBAN MASYARAKAT ADAT MENGHADAPI HUKUM
NEGARA,”
JURNAL
HUKUM
IUS
QUIA
IUSTUM
15,
no.
3
(2008),
https://doi.org/10.20885/iustum.vol15.iss3.art9.
16
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003) h. 256.
15
kurungan maksimal 6 bulan atau denda maksimal 50 juta rupiah. Selain itu, hukum
pidana adat juga masih diterapkan secara terbatas dalam masyarakat adat tertentu,
terutama untuk delik adat yang tidak diatur dalam hukum pidana nasional. Namun
penerapan hukum pidana adat harus memperhatikan hak asasi manusia dan tidak
boleh bertentangan dengan hukum pidana nasional.
Perbedaan dasar hukum perdata dan pidana mencerminkan perbedaan fokus
pengaturan,
dimana
hukum
perdata
fokus
pada
hubungan
privat
antarindividu/badan hukum, sedangkan hukum pidana fokus pada hubungan publik
antara individu dengan negara dan masyarakat. Meskipun berbeda, keduanya samasama berperan penting dalam mewujudkan ketertiban, kepastian, dan keadilan
dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahaman mengenai dasar hukum perdata dan
pidana penting bagi setiap warga negara agar dapat menjadi subjek hukum yang
cakap dan mampu melindungi hak-haknya.17 Pengetahuan ini juga dibutuhkan oleh
legislator dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang berkeadilan,
responsif, dan selaras dengan perkembangan masyarakat.
C. Perbandingan Karakteristik, Tujuan dan Penerapan Hukum Perdata dan
Hukum Pidana
Hukum perdata dan pidana memiliki karakteristik berbeda dari segi sifat
hubungan hukum, hak yang dilindungi, sanksi yang diterapkan, dan inisiatif
penyelesaian perkara. Hukum perdata mengatur hubungan privat yang bersifat
koordinatif, melindungi hak dan kepentingan individu, menerapkan sanksi
reparatif, dan menempatkan inisiatif penyelesaian sengketa pada pihak yang
dirugikan. Sebaliknya, hukum pidana mengatur hubungan publik yang bersifat
subordinatif, melindungi kepentingan masyarakat, menerapkan sanksi punitif, dan
menempatkan inisiatif penyelesaian perkara pada negara.
Hubungan hukum perdata bersifat koordinatif karena para pihak memiliki
kedudukan yang setara dan bebas untuk mengatur hak dan kewajiban mereka
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban
umum. Contohnya, dalam perjanjian jual beli, penjual dan pembeli dapat secara
bebas menentukan harga, cara pembayaran, jaminan, dan klausul-klausul lainnya.
achmad dan wiwie Heryani Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2012) H. 128.
17
Jika terjadi pelanggaran perjanjian, pihak yang dirugikan dapat menuntut
pemenuhan atau ganti rugi melalui musyawarah atau pengadilan.18
Sebaliknya, hubungan hukum pidana bersifat subordinatif karena negara
memiliki kekuasaan untuk melarang perbuatan-perbuatan tertentu dan memaksa
setiap orang untuk mematuhinya dengan ancaman sanksi pidana. Individu tidak
memiliki pilihan lain selain tunduk pada aturan pidana yang telah ditetapkan
negara. Jika seseorang melanggar aturan pidana, negara berwenang menangkap,
menahan, menuntut, mengadili, dan menjatuhkan sanksi pidana kepadanya
berdasarkan undang-undang.
Tujuan hukum perdata adalah mewujudkan keadilan bagi para pihak,
memberikan perlindungan hak dan kepastian hukum, serta menyelesaikan sengketa
perdata secara adil dan efisien. Tujuan ini tercermin dari asas-asas hukum perdata
seperti asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda,
asas itikad baik, dan asas penyelesaian sengketa secara damai. Misalnya, asas pacta
sunt servanda menjamin bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para
pihak seperti undang-undang. Jika ada sengketa, hakim perdata wajib menghormati
isi perjanjian dan tidak boleh mengubahnya, kecuali jika bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum
Sedangkan tujuan hukum pidana adalah menjaga ketertiban dan keamanan
masyarakat, mencegah, serta menanggulangi kejahatan. Tujuan ini dikenal dengan
istilah tujuan pemidanaan yang meliputi teori absolut (retributif), teori relatif
(utilitarian), dan teori gabungan.19 Teori absolut menekankan pemidanaan sebagai
pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Teori relatif mengutamakan perlindungan
masyarakat dan pencegahan kejahatan melalui efek jera. Sedangkan teori gabungan
memadukan tujuan pembalasan dan perlindungan masyarakat secara seimbang.
Tujuan pemidanaan ini melandasi asas-asas hukum pidana seperti asas legalitas,
asas culpabilitas (tiada pidana tanpa kesalahan), asas subsidiaritas (ultimum
remedium), dan asas proporsionalitas antara tindak pidana dengan sanksinya.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014) h.
199.
19
Eva Achjani Zulfa, “PERGESERAN PARADIGMA PEMIDANAAN Dl INDONESIA,” Jurnal
Hukum & Pembangunan 36, no. 3 (2017) h. 51, https://doi.org/10.21143/jhp.vol36.no3.1256.
18
Penerapan hukum perdata dan pidana juga berbeda dalam hal proses
penyelesaian perkara, alat bukti, dan putusan hakim. Proses penyelesaian perkara
perdata mengacu pada HIR/RBg dengan tahapan gugatan, jawaban, replik, duplik,
pembuktian, kesimpulan, dan putusan. Para pihak memiliki beban untuk
membuktikan dalil masing-masing berdasarkan alat bukti yang sah menurut Pasal
1866 KUHPerdata, yaitu bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
Putusan hakim perdata bersifat condemnatoir, declaratoir, atau constitutief dan
hanya mengikat para pihak yang berperkara.
Sedangkan proses peradilan pidana mengacu pada KUHAP dengan tahapan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang, dan pelaksanaan
putusan. Jaksa penuntut umum memiliki beban untuk membuktikan kesalahan
terdakwa berdasarkan alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Putusan perkara pidana dapat berupa pemidanaan, putusan bebas, atau lepas dari
segala tuntutan hukum dan mengikat siapa saja (erga omnes).
Meski hukum perdata dan pidana memiliki domain berbeda, dalam praktik
sering terjadi irisan di antara keduanya. Suatu perbuatan bisa saja melanggar hukum
perdata dan pidana sekaligus. Misalnya, seorang bendahara yang menggelapkan
uang perusahaan dapat digugat secara perdata oleh perusahaan atas dasar
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, sekaligus dituntut secara pidana
karena melakukan tindak pidana penggelapan. Dalam kasus seperti ini, proses
pidana harus didahulukan sesuai asas "le criminel tient le civil en état" (perkara
pidana menghentikan perkara perdata), sebagaimana diatur dalam Pasal 1377
KUHPerdata.
Perbedaan karakteristik, tujuan, dan penerapan hukum perdata dan pidana
menuntut kecermatan dan kehati-hatian dalam menafsirkan dan menerapkan
keduanya. Penegak hukum harus mampu mengidentifikasi sifat perbuatan hukum,
kepentingan hukum yang dilanggar, dan jenis sanksi yang tepat untuk diterapkan.
Kesalahan dalam menerapkan hukum perdata dan pidana dapat menimbulkan
ketidakadilan, over kriminalisasi, atau impunitas.20 Misalnya, perbuatan ingkar
Douglas Husak, Overcriminalization: The Limits of the Criminal Law, Overcriminalization: The
Limits
of
the
Criminal
Law,
2008,
h.
3
https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780195328714.001.0001.
20
janji dalam hukum kontrak pada prinsipnya adalah persoalan keperdataan yang
seharusnya diselesaikan secara perdata, bukan pidana. Kriminalisasi terhadap
perbuatan ingkar janji (misalnya, kriminalisasi utang atau wanprestasi) dapat
menciptakan ketidakpastian dalam lalu lintas bisnis dan bertentangan dengan
prinsip hukum kontrak.
Idealnya, hukum perdata dan pidana harus dijalankan secara proporsional
dan saling melengkapi demi mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam
masyarakat. Hukum perdata dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa privat
secara win-win solution melalui musyawarah, mediasi, atau ajudikasi, dengan tetap
menghormati kebebasan berkontrak dan melindungi hak-hak keperdataan. Hukum
pidana dapat difungsikan sebagai obat terakhir (ultimum remedium) untuk
melindungi kepentingan publik dari perbuatan-perbuatan yang membahayakan
dengan tetap menjamin hak-hak tersangka/terdakwa dan menghindari pemidanaan
yang tidak proporsional.
Pemahaman komprehensif mengenai karakteristik, tujuan, dan penerapan
hukum perdata dan pidana penting bagi aparat penegak hukum, profesional hukum,
dan juga setiap warga negara.21 Pemahaman ini dapat mendorong masyarakat
menjadi subjek hukum yang kritis dan partisipatif dalam membangun budaya
hukum yang sehat, yang membedakan penyelesaian persoalan privat melalui
mekanisme perdata dan persoalan publik melalui mekanisme pidana. Budaya
hukum yang sehat juga tercermin dari penghormatan terhadap hak-hak keperdataan
individu sekaligus ketaatan terhadap aturan-aturan pidana yang melindungi
kepentingan bersama.
Selain itu, lembaga legislatif juga perlu memahami hal ini dalam
merumuskan peraturan perundang-undangan. Perumusan ketentuan perdata dan
pidana
harus
dilakukan
secara
sistematis
dan
proporsional
dengan
mempertimbangkan nilai-nilai dan kebutuhan hukum dalam masyarakat serta
perkembangan global. Pembentukan peraturan perdata harus memperhatikan
keseimbangan hak dan kewajiban para pihak, perlindungan pihak yang lemah, serta
fleksibilitas dalam mengakomodasi perkembangan praktik bisnis yang dinamis.
Achmad Ali, “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence)
Termasuk Undang-Undang (Legisprudence),” in Volume I Pemahaman Awal, 2017, h. 225.
21
Pembentukan peraturan pidana harus menjamin kepastian hukum, perlindungan
hak asasi manusia, keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat,
serta harmonisasi dengan perkembangan hukum pidana internasional.
Hanya dengan pembentukan dan implementasi hukum yang baik, cita-cita
mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia dapat terealisasi.22 Negara hukum mensyaratkan adanya supremasi hukum
(supremacy of law), persamaan di depan hukum (equality before the law), dan
perlindungan hak asasi manusia. Hukum perdata dan pidana yang berkeadilan,
responsif, dan adaptif terhadap perkembangan zaman merupakan prasyarat penting
bagi terwujudnya negara hukum yang dicita-citakan tersebut.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
a. Hukum perdata dan pidana memiliki pengertian, ruang lingkup,
karakteristik, dan tujuan berbeda. Hukum perdata mengatur hubungan
privat untuk melindungi kepentingan individu, sedangkan hukum pidana
mengatur hubungan individu-negara untuk melindungi kepentingan
publik.
b. Dasar hukum utama hukum perdata adalah KUHPerdata, sedangkan
hukum pidana adalah KUHP, yang dilengkapi peraturan lainnya.
Perbedaan ini mencerminkan fokus pengaturan yang berbeda antara
hukum perdata dan pidana.
c. Penerapan hukum perdata dan pidana berbeda dalam proses penyelesaian
perkara, alat bukti, dan putusan hakim. Meski demikian, keduanya dapat
bersinggungan dalam praktik.
B.
Saran
a. Perlu sosialisasi intensif kepada masyarakat mengenai hukum perdata dan
pidana, serta pembaruan kodifikasi KUHPerdata dan KUHP agar sesuai
dengan nilai-nilai dan kebutuhan hukum saat ini.
Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi
Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum
Nasional Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 2000),h. 126.
22
b. Harmonisasi peraturan yang menjadi dasar hukum perdata dan pidana
perlu dilakukan untuk menghindari tumpang tindih atau kontradiksi.
Penguatan SDM dan sistem pendukung di institusi legislatif juga
diperlukan untuk menghasilkan produk hukum yang responsif.
c. Penafsiran dan penerapan hukum perdata dan pidana harus cermat,
kontekstual, dan proporsional. Sinergi antar aparat penegak hukum serta
peningkatan kompetensi mereka melalui pendidikan dan pelatihan juga
diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad. “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Undang-Undang (Legisprudence).” In Volume I
Pemahaman Awal, 2017.
Ali, achmad dan wiwie Heryani. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum.
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012.
Anwar, Yesmil, and Adang. Sistem Peradilan Pidana: Konsep, Komponen, &
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia. Bandung: Widya
Padjadjaran, 2009.
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai : Kebijakan Hukum Pidana : Perkembangan
Penyusunan Konsep RKUHP Baru. Kencana, 2011.
Friedman, L. M. The Legal System: A Social Science Perspective. New York:
Russell Sage Foundation, 1975.
Fuady, Munir. Perbandingan Hukum Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.
Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Husak, Douglas. Overcriminalization: The Limits of the Criminal Law.
Overcriminalization:
The
Limits
of
the
Criminal
Law,
2008.
https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780195328714.001.0001.
Manan, Bagir. Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: Ind-HillCo, 1992.
Martokusumo, Sudikno. “Hukum Acara Perdata Indonesia.” Yogyakarta : Liberty,
2009.
Mertokusumo, S. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, 2010.
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2014.
Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003.
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2000.
Sidharta, Arief. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang
Fundasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan
Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Bandung: Mandar Maju,
2000.
Soekanto, S. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2006.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003.
Syahrani, Riduan. Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni
Bandung, 2006.
Syamsudin, Syamsudin. “Beban Masyarakat Adat Menghadapi Hukum Negara.”
Jurnal
Hukum
Ius
Quia
Iustum
15,
no.
3
(2008).
https://doi.org/10.20885/iustum.vol15.iss3.art9.
Zulfa, Eva Achjani. “Pergeseran Paradigma Pemidanaan Dl Indonesia.” Jurnal
Hukum
&
Pembangunan
36,
https://doi.org/10.21143/jhp.vol36.no3.1256.
no.
3
(2017).