Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia
Profil Penerima
ANUGERAH KEBUDAYAAN
DAN PENGHARGAAN
MAESTRO SENI TRADISI
2 17
Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
2017
Profil Penerima
ANUGERAH KEBUDAYAAN
DAN PENGHARGAAN
MAESTRO SENI TRADISI
2017
Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
2017
Untuk kalangan sendiri
Tidak untuk diperjualbelikan
i
TIM PENYUSUN
PROFIL PENERIMA PENGHARGAAN KEBUDAYAAN
TAHUN 2017
Pengarah:
Nadjamuddin Ramly
Penanggung Jawab:
Yayuk Sri Budi Rahayu
Penulis:
Binsar Simanullang
Retno Raswati
Mohamad Atqa
Desy Wulandari
Dita Darfianti
Rini Suryati
Dian Warastuti
Kameramen:
Saiful Mujab
Simbul Sagala
Moch. Saleh
M. Rully Agus Purna Irawan
Fotografer:
Dede Semiawan
Rachmat Gunawan
Yoki Rendra P.
Editor:
Kenedi Nurhan
Sekretariat dan Pengolah Data :
Richard Antoni
Rizky Ernandi
Jatmiko Hari Wibowo
Haris Dwijayanto
Liza Ariesta
Yohanes Redi Luciano
Layout & Desain Cover:
Tasman
ii
Dewi Nova Wahyuni
Willy Hangguman
Aan Rukmana
Frans Ekodhanto Purba
Yusuf Susilo
Hilmi Setiawan
KATA PENGANTAR
Kalaulah bukan karena tinta
Takkan kugubah sebuah puisi
Kalaulah bukan karena cinta
Takkan bersua pada Anugerah Kebudayaan ini
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Saat ini pengaruh globalisasi dan media
informasi sangat dahsyat menerpa kehidupan
kita. tanpa proses penyaringan tanpa peresapan
yang matang akan berakibat pada perubahan
sikap dan perilaku yang mempengaruhi karakter
dan budaya bangsa.
Bertolak dari situasi ini, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Cq
Direktorat Warisan Dan Diplomasi Budaya, telah memfokuskan
program-program kegiatannya pada arah penguatan karakter
bangsa, dengan melakukan penanaman dan persemaian atau
internalisasi nilai–nilai budaya.
Penganugerahan kebudayaan yang kita lakukan setiap tahun
adalah salah satu bentuk penguatan karakter bangsa, dengan
melakukan penanaman dan persemaian atau internalisasi nilai –
nilai budaya. Tentunya, penghargaan ini juga merupakan bentuk
ucapan terima kasih Pemerintah Republik Indonesia kepada para
tokoh budaya yang sosok serta karyanya dapat kita kenali melalui
buku profil penerima penghargaan kebudayaan ini.
Saya berharap agar penghargaan yang telah diberikan
pemerintah ini akan memacu kreatifitas para penerima Anugerah
Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi dan dapat menjadi bukti
bahwa tidak ada pengabdian yang sia-sia, serta dapat mendorong
masyarakat lebih mengenal para tokoh budaya yang menjadi
tauladan bagi masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda
iii
dalam membangun jatidiri guna memperkokoh ketahanan budaya
bangsa Indonesia.
Dalam konteks ini ada dua jenis penghargaan yang disiapkan
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Cq. Direktorat
Jenderal Kebudayaan. Prosedur dan mekanisme keduanya tidak
sama. Yang pertama, terkait dengan penghargaan Tanda Kehormatan
dari Presiden Republik Indonesia, yaitu Bintang Budaya Parama
Dharma dan Satyalancana Kebudayaan. Instansi teknis melalui tim
penilai internal yang dibentuk berdasarkan SK Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan RI hanya berhak mengusulkan, kewenangan
menetapkan siapa yang berhak menerima ada pada Presiden RI
melalui rekomendasi Dewan Tanda Kehormatan yang dibentuk oleh
Sekretariat Negara. Dari proses pengusulan tersebut, secara formal
diajukan kepada Presiden melaui Sekretariat Militer (Sekretariat
Negara). Senyampang dengan hal tersebut, dilakukan verifikasi
dan klarifikasi data, sedikitnya oleh tiga institusi yang berwenang,
yaitu Badan Intelijen Nasional, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian
RI. Baru setelah itu diproses lebih lanjut oleh Sekretariat Militer
dengan seleksi kembali oleh Dewan Tanda Kehormatan untuk
selanjutnya diberikan kepada Presiden. Dalam hal ini, Presiden
dapat saja menolak atau menyetujuinya.
Bentuk penghargaan yang kedua adalah Penghargaan
Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Cq. Direktorat Jenderal Kebudayaan, yaitu Kategori
Pencipta, Pelopor dan Pembaru, Kategori Pelestari, Kategori Anak
dan Remaja, Kategori Maestro Seni Tradisi, Kategori Komunitas,
Kategori Pemerintah Daerah, dan Kategori Perorangan Asing.
Dari hasil seleksi administrasi yang dilakukan sejak awal
Februari 2017, kemudian rapat – rapat penilaian yang dilakukan
oleh tim penilai sesuai dengan kategorinya masing – masing
sampai dengan bulan Juni 2017, dan verifikasi data hingga Agustus
2017, maka jumlah penerima penghargaan kebudayaan tahun 2017
sebagaimana berikut:
l
iv
3 (tiga) orang penerima Tanda Kehormatan Bintang Budaya
Parama Dharma;
l
8 (delapan) orang penerima Tanda Kehormatan Satyalancana
Kebudayaan;
l
8 (delapan) orang penerima Penghargaan Kebudayaan Kategori
Pencipta, Pelopor dan Pembaru;
l
8 (delapan) orang penerima Penghargaan Kebudayaan Kategori
Pelestari;
l
5 (lima) orang penerima Penghargaan Kebudayaan Kategori
Anak dan Remaja;
l
4 (empat) orang penerima Penghargaan Kebudayaan Kategori
Maestro Seni Tradisi
l
5 (lima) daerah penerima Penghargaan Kebudayaan Kategori
Pemerintah Daerah;
l
3 (tiga) komunitas penerima Penghargaan Kebudayaan Kategori
Komunitas;
l
3 (tiga) orang penerima Penghargaan Kebudayaan Kategori
Perorangan Asing;
Terkait dengan penerima penghargaan kebudayaan ini, setiap
tokoh atau lembaga yang mendapatkan penghargaan memiliki
keistimewaan karya yang cukup bervariatif, mencakup ide/
gagasan/pikiran dan pengetahuan yang sampai sekarang masih
digunakan; pengetahuan tradisi yang tertuang dalam karya – karya
sastra, baik tertulis maupun lisan, perwujudan ekspresi, seperti
tarian, musik, lukisan, patung, maupun karya dalam bentuk fisik,
seperti bangunan, gedung, yang diantaranya bersifat monumental.
Mereka semua adalah tokoh inspirator dan lembaga yang memiliki
komitmen yang tinggi yang patut diakui dan dihargai, serta
dapat dijadikan contoh. Untuk itu sebagai bagian dari apresiasi,
diharapkan penerbitan dan publikasi profil Penerima Penghargaan
Kebudayaan Tahun 2017 memberikan manfaat yang besar bagi kita
semua.
Akhir kata, kami atas nama Direktorat Warisan dan Diplomasi
Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, mengucapkan terima kasih atas semangat dan
v
kerjasama semua pihak: Tim Penilai, Narasumber, Tim Verifikasi,
Penulis, Editor, Kameramen, Desainer Cover dan Layout yang telah
bahu – membahu menuntaskan buku Profil Penerima Penghargaan
Kebudayaan Tahun 2017.
Selamat kepada penerima Penghargaan Kebudayaan Tahun
2017.
Pulau Pandan jauh di tengah
Di balik Pulau Angsa Dua
Hancur badan di kandung tanah
Budi baik tuan-tuan dan puan-puan akan terkenang jua
Billahi taufik wal hidayah
Wassalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya
vi
SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Syalom, Salam Sejahtera
Om Swastiastu
Namo Buddhaya
Wei te tong thian
Rahayu
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, atas rahmat, berkat, dan ridho-Nya, kita
dapat menyelesaikan penyusunan buku Profil Penerima Anugerah
Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi Tahun 2017.
Tahun ini kita berhasil mengindentifikasi 47 tokoh seniman
dan budayawan yang patut diteladani, sebagai bagian penting dalam
peristiwa bersejarah dalam pembangunan karakater bangsa.
Di tengah budaya global ini, keteladanan para tokoh adalah
sumber inspirasi bagi generasi penerus, sebagai penguatan karakter
bangsa. Sekecil apa pun karya budaya yang dihasilkan oleh seseorang
atau komunitas yang peduli dan berdedikasi terhadap kebudayaan,
terkandung nilai-nilai positif. Karena proses berkarya seseorang atau
komunitas tersebut tidak lahir begitu saja, tetapi melalui pencaharian
ilham, inspirasi, ide, gagasan, pemikiran.
Ada sebuah transformasi nilai baik dari hasil perenungan dengan
Sang Pencipta, dengan sesama, dan dengan lingkungan alamnya.
Perenungan ini dapat melahirkan pengetahuan tradisi,
ekspresi
seni, ungkapan dan olahan rasa, yang memungkinkan daya kreasi,
kreativitas penciptaan terhadap karya budaya, baik dalam bentuk
budaya tak benda (intangible cultural) maupun budaya benda (tangible
cultural).
Secara historis, proses berkarya seseorang dapat memberikan
inspirasi metodologis yang jika digali mengandung nilai dan makna
filosofis. Dalam konteks internalisasi nilai budaya, keseluruhan ini
memiliki dampak strategis terhadap pelestarian kebudayaan yang
mencakup perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Dengan
vii
kata lain di balik sebuah karya, tersirat sosok atau pun tokoh yang
memiliki komitmen kuat terhadap pewarisan pengetahuan tradisi,
ekspresi seni, nilai-nilai sosial-budaya bagi generasi berikutnya.
Untuk membangun arti penting apresiasi terhadap para tokoh
yang telah berdedikasi terhadap kebudayaan ini, pendokumentasian
dan penerbitan profil tokoh sangat penting. Ini adalah peristiwa
bersejarah, bagaimana kita memberikan pengakuan atas jasa tokoh,
sekaligus memaknai momen penghargaan, agar kita tetap menjadi
bangsa yang besar.
Program Apresiasi Kebudayaan yang digelar setiap tahun ini,
diharapkan menjadi ajang silaturahim kita sebagai suatu bangsa.
Sebagai sebuah proses, internalisasi nilai budaya diharapkan dapat
membangun kesadaran masyarakat sekaligus meningkatkan motivasi
generasi muda untuk lebih peduli terhadap pengembangan kebudayaan
Indonesia. Hakikat kita, sebagai suatu bangsa, Bangsa Indonesia.
Akhir kata, kami mengucapkan selamat kepada para penerima
penghargaan. Semoga Ibu, Bapak, Saudara-Saudara, dan anak-anak
sekalian selalu mendapatkan rahmat dan kekuatan dari Tuhan Yang
Maha Esa dalam menciptakan karya-karya nyata untuk penguatan
karakter bangsa.
Wassalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sejahteralah kita semua,
Om shanti shanti Om
Rahayu
Jakarta, 5 September 2017
Direktur Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Hilmar Farid
viii
SAMBUTAN
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Terwujudnya kebanggaan kita menjadi bangsa Indonesia saat ini,
tidak terlepas dari jasa-jasa para tokoh budaya yang tidak kenal lelah
untuk memperkaya khasanah kebudayaan Indonesia. Oleh sebab itu
maka sangatlah pantas apabila kepada para tokoh budaya tersebut
kita berikan penghargaan sebagai pengakuan atas karya-karya yang
dihasilkannya dalam pengabdian mereka untuk membangun negeri
melalui kebudayaan.
Saya menyambut baik diterbitkannya buku profil Penerima
Penghargaan Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi Tahun
2017. Pembuatan buku profil ini diharapkan dapat menjadi bahan
renungan bagi pembaca khususnya generasi muda yang diharapkan
dapat mendorong mereka untuk menumbuhkan kebanggaan, sikap
keteladanan, semangat kejuangan, dan motivasi untuk meningkatkan
darmabakti kepada bangsa dan negara. Selain itu juga diharapkan
dapat memperkuat karakter dan jatidiri bangsa Indonesia, serta
mendorong semakin banyak orang yang peduli terhadap pelaku
kebudayaan dan karya-karyanya.
Penghargaan yang diberikan kepada Maestro Seni Tradisi ini
merupakan ucapan terima kasih Pemerintah Republik Indonesia
sebagai Warga Negara Indonesia yang secara sengaja maupun tidak
sengaja telah berupaya melakukan pewarisan seni tradisi secara
terus menerus hingga beliau-beliau berusia rata-rata di atas 60 (enam
puluh) tahun. Sedangkan Anugerah Kebudayaan merupakan ucapan
terima kasih Pemerintah Republik Indonesia kepada Warga Negara
Indonesia yang telah berdedikasi tinggi terhadap pelestarian dan
pengembangan kebudayaan.
ix
Pada akhirnya saya ucapkan selamat kepada para penerima
Penerima Penghargaan Sebagai Maestro Seni Tradisi dan Anugerah
Kebudayaan Tahun 2017. Semoga penghargaan ini dapat mendorong
tokoh seni budaya lainnya menjadi semakin giat untuk terus berkarya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Muhadjir Effendy
x
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...................................................................................
Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan .......................................................
Sambutan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan .........................
Daftar Isi ..............................................................................................
Selintas Tentang Apresiasi ................................................................
vii
ix
xi
xv
Profil Tim Penilai Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan
Maestro Seni Tradisi 2017 .................................................................
1. Tanda Kehormatan Presiden Republik Indonesia ...................
2. Tim Penilai Pencipta, Pelopor dan Pembaru ...........................
3. Tim Penilai Pelestari ......................................................................
4. Tim Penilai Anak Dan Remaja .....................................................
5. Tim Penilai Maestro Seni Tradisi .................................................
6. Tim Penilai Pemerintah Daerah ...................................................
7. Tim Penilai Komunitas ..................................................................
8. Tim Penilai Perorangan Asing .....................................................
1
1
2
3
5
6
7
8
9
iii
Nama-nama Penerima Penghargaan Kebudayaan Tahun 2017
Tanda Kehormatan Kelas Bintang Budaya Parama Dharma:
l
Soedjatmoko (alm.) Filsuf, Pendidik ......................................... 13
l
Dullah (alm.) Seni Rupa .............................................................. 19
l
Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno, Ahli Filsafat ...................... 25
Tanda Kehormatan Kelas Satyalancana Kebudayaan:
Abisin Abbas (Anjas Asmara) (alm.) Seni Film........................
l
Teuku Iskandar (alm.) Filolog ....................................................
l
Sumarsam, Seni Karawitan..........................................................
l
La Side Daeng Tapala (alm.) Budayawan/ Sastra Bugis........
l
35
39
45
51
xi
l
l
l
l
Anak Agung Gde Sobrat (alm.) Seniman .................................
Johanna Maria Pattinaja Seda (almh.) Budayawan ................
OK Nizami Jamil, Budayawan...................................................
Syofyani Yusaf, Seni Tari............................................................
Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru:
Addie MS, Pencipta, Pelopor, Pembaru Seni Musik
(Orkestra dan Paduan Suara) ....................................................
l
Marlupi Sijangga, Pelopor Pengembangan Pendidikan Tari
Balet Indonesia.............................................................................
l
Hafiz Rancajale, Pelopor, Pembaru Seni Rupa Kontemporer
Film dan Video............................................................................
l
Hasnan Singodimayan, Pelopor dan Pencipta Berbasis
Budaya Lokal .................................................................................
l
Irwansyah Harahap, Pelopor World Music di Indonesia........
l
Basri B. Sila, Pelopor dan Pengembang Seni Tradisi Sulawesi
Selatan ............................................................................................
l
Ifa Isfansyah, Pencipta, Pelopor, dan Pembaru Seni Film ......
l
Marzuki Hasan, Pelopor Revitalisasi Tari Aceh ........................
56
60
67
74
l
Kategori Pelestari:
Marayama, Seni Musik (Pakacaping) ........................................
l
Kartolo, Seni Pertunjukan (Ludruk) ..........................................
l
Johar Saad, Teater Rakyat Melayu (Dul Muluk)......................
l
Christ Fautngil, Pelestari Bahasa (Peneliti bahasa-bahasa
daerah Papua) ...............................................................................
l
Rudolf Joppy Sajow, Seni Musik (Seni Kriya dan membuat
Kolintang) ......................................................................................
l
Ato Hermanto, Pelestari Kuliner (Dodol) .................................
l
Hendrik Boenga, Pelestari Budaya Suku Bangsa Sabu............
l
Endi Agus Riyono, Pelestari Mainan Tradisional ....................
l
xii
81
88
92
97
100
109
114
124
133
140
144
149
156
161
166
171
Kategori Anak dan Remaja:
l
Muhammad Ade Putra, Penyair..................................................
l
Woro Mustiko Siwi, Dalang ........................................................
l
Roland Martin Lumbantobing, Seni Musik (alat musik
tradisional Batak) .........................................................................
l
Marvel Gracia, Penari...................................................................
l
I Wayan Dian Bhaswara, Sastra Lisan dan Seni Pedalangan
Kategori Maestro Seni Tradisi:
Eliza Marthen Kissya, Kewang- Tradisi Sasi Lompa ...............
l
Irang Awai, Penyair dalam bahasa Kayan Nak Long, pemain,
dan pembuat alat musik tradisional Sape.................................
l
Al Mujazi Mulku, Tradisi Kabanci/Kabanti, pewaris naskah,
dan ahli ritual adat Buton ...........................................................
l
Harun Ar Rahman, Penutur Tradisi Kabata ............................
l
179
185
191
197
203
209
214
218
223
Kategori Komunitas:
Kampung Tarung Waikabubak ................................................. 231
l
Gamelan Kyai Kanjeng Yogyakarta .......................................... 236
l
Ulu Ambek Nagari Lubuk Pandan ........................................... 240
l
Kategori Pemerintah Daerah:
Kota Banda Aceh ..........................................................................
l
Kota Gorontalo .............................................................................
l
Kota Sawahlunto ..........................................................................
l
Kabupaten Wakatobi ...............................................................
l
Kabupaten Kutai Timur .........................................................
l
247
251
257
262
267
Kategori Perorangan Asing:
Annabel Teh Gallop ...................................................................... 275
l
Mitsuo Nakamura ........................................................................ 283
l
Richard Harry Chauvel................................................................. 288
l
xiii
xiv
SELINTAS TENTANG APRESIASI
Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi selama tiga
tahun terakhir ini telah diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal
Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan kebudayaan Cq.
Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. Program apresiasi ini
merupakan lanjutan dari hasil kristalisasi dari beberapa kegiatan
yang pernah diselenggarakan oleh beberapa unit kerja pada tahuntahun yang lalu.
Sebagai bagian dari apresiasi pemerintah terhadap para tokoh
yang berjasa besar dan berkontribusi secara nyata, upaya pembenahan
dan perbaikan terus dilakukan. Dalam proses ini pun terkait dengan
kesungguhan pemerintah dalam membangun masyarakat yang tidak
akan pernah lepas dari seluruh unsur kebudayaan baik budaya yang
bersifat benda (tangible cultural) maupun budaya tak benda (intangible
cultural).
Pengertian apresiasi secara umum adalah kesadaran terhadap
nilai seni dan budaya, penghargaan terhadap sesuatu. Berasal dari
bahasa Inggris appreciation yang artinya penghargaan atau penilaian,
pengertian. To appreciate, berarti menghargai, menilai, mengerti.
Secara leksikografis kata “apresiasi” berasal dari bahasa Inggris,
appreciation berasal dari kata kerja to appreciate yang menurut kamus
Oxford berarti to judge value of understand or enjoyfully in the right way;
Oxford American Dictionary: berbicara apresiasi terkait dengan to value
greatly, to be grategul for; to enjoy intelligently, to understand, to increase
in value, the investments have appreciated greatly. Dan Menurut Webstern
adalah to estimate the quality of to estimate rightly to be sensitevely aware
of. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, apresiasi
1) kesadaran terhadap nilai-nilai seni dan budaya; 2) penilaian
(penghargaan) terhadap sesuatu.
xv
Apresiasi mengandung penilaian, pengenalan melalui perasaan,
kepekaan batin, pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang
diungkapkan oleh seseorang dalam penciptaan suatu karya. Apresiasi
mengacu pada pengertian, pemahaman, dan pengenalan yang tepat,
pertimbangan, dan pernyataan yang memberikan penilaian.
Apresiasi memerlukan kesungguhan dari penikmat karya dalam
menilai, menghargai, menghayati sehingga ditemukan penjiwaan
yang benar-benar dalam dan menimbulkan kepakaan yang kritis,
kepakaan yang baik terhadap suatu karya. Dengan demikian,
mengapresiasi adalah upaya mengerti serta menyadari sepenuhnya,
sehingga mampu menilai secara semestinya.
Dalam konteks kebudayaan, termasuk kesenian, apresiasi terkait
dengan upaya menyadari sepenuhnya seluk-beluk sebuah karya dan
tingkat sensitivitasnya terhadap gejala estetis dan artistik, sehingga
mampu menikmati dan menilai karya tersebut secara semestinya.
Sementara ini secara substansial pemberian penghargaan masih
dalam kategori yang sederhana dan memerlukan formulasi yang
lebih spesifik dalam percabangannya.
Kategorisasi yang ada selama ini belum secara konsisten,
karena berasal dari unit-unit yang berbeda fokus perhatiannya.
Contoh, untuk Anugerah Kebudayaan yang sebenarnya merupakan
metamorfosa dari Hadiah Seni dalam awal pelaksanaannya diberikan
kepada pelaku seni, dan juga praktisi media yang benar-benar
peduli terhadap kebudayaan. Dalam prosesnya muncul anugerah
seni. Namun, seiring dengan hal tersbeut, muncul pula kegiatan
penghargaan yang ditujukan kepada para pelestari dan pengembang
warisan budaya.
Demiikian pula dengan Maestro Seni Tradisi, berangkat dari
kajian bahwa banyak karya-karya seni budaya bangsa yang telah
langka tersebuar di pelosok-pelosok yang nyaris punah, karena
xvi
tidak terperhatikan, ataupun terjamah. Untuk itulah kepada mereka
yang masih menggeluti secara konsisten karya-karya seni tersebut,
memiliki nilai strategis dalam memberikan penghargaan dalam
bentuk insentif atau pun santunan. Melalui program insentif ini
diharapkan proses pewarisan berlangsung dari generasi satu ke
genarasi berikutnya.
Dari kedua penghargaan ini, Kementerian Pendidikan dan
kebudayaan sebagai instansi yang menangani bidang kebudayaan,
juga mengambil peran dalam proses dan mekanisme penghargaan
yang akan diberikan oleh negara untuk mereka yang telah berjasa.
Dalam hal ini kapasitas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
hanya sebagai instansi pengusul namun mengingat pencapaian
tokoh dan kekaryaannya sangat luar biasa, maka paresiasi pun patut
diberikan dari sisi instansi teknis. Untuk kelas Bintang Budaya Parama
Dharma, ini adalah penghargaan tertinggi dalam bidang kebudayaan.
Oleh karena itu, negara mencatatnya. Umumnya proses pemberian
penghargaan dari Presiden ini, mengambil dua momentum untuk
penyerahannya, yaitu saat hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17
Agustus, atau pada saat peringatan Hari Pahlawan 10 November.
Sementara dengan perkembangan zaman dan kontinuitas
dari nilai-nilai budaya yang tersirat dalam karya-karya budaya,
Pemerintah pun mulai memperhatikan kinerja anak/pelajar/
remaja yang berdedikasi terhadap kebudayaan. Oleh sebab itu
muncul kategori anak/pelajar/remaja yang berdedikasi terhadap
kebudayaan.
Hal yang tidak kalah penting dalam program apresaiasi ini,
bukan hanya memberikan anugerah atau penghargaan semata
kepada tokoh-tokoh secara seremonial. Lebih dalam lagi, menyangkut
esensi dari proses transformasi nilai keteldanan dan transfer
pengetahuan, keterampilan serta penghayatan terhadap karya-karya
xvii
seni yang dihasilkan. Pengalaman estetis secara langsung ini yang
sesungguhnya diharapkan.
Pengalaman estetis sebagai kepuasan kontemplatif atau
kepuasan intitutif dalam konteks ini bisa didapat pada beberapa
tahapan. Termasuk saat berlangsungnya malam Anugerah
Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi tahun 2017 ini, diharapkan
menjadi arena penghayatan. Di tengah arena ini, seorang penikmat
dan juga penghayat ada dalam pencaharaian pengalman estetis yang
akan mendorong motivasi dirinya memasuki pengalaman estetis
menjadi habitus yang tercerahkan.
xviii
PROFIL TIM PENILAI
ANUGERAH KEBUDAYAAN DAN PENGHARGAAN
MAESTRO SENI TRADISI 2017
1. TANDA KEHORMATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA:
Edi Sedyawati
Budayawan, Akademisi
Malang,28
Oktober 1938
Pendidikan:
1. Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia
2. Pengukuran Pendidikan Universitas Indonesia
3. Etnomusicology, East West Center, Amerika Serikat
4. Program Doktor Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Wagiono Sunarto
Budayawan, Akademisi
Bandung, 20 Mei
1949
Pendidikan:
1. Fakultas Seni Rupa, jurusan Seni Grafis ITB
2. Communication Design, Pratt Institute, Graduate
Program, New York, Amerika Serikat
3. Program Doktor, Ilmu Sejarah, FIB Universitas Indonesia
Azyumardi Azra
Akademisi, Cendekiawan
Padang,
4 Maret 1955
Pendidikan:
1. Porgram sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta
2. Program master di Language and Culture of Eastern
Departement, Columbia University
3. Program master di History Department, Columbia
University
4. Master of Philosophy dari Columbia University
1
Taufik Abdullah
Akademisi, Cendekiawan
Pendidikan:
1. Program doktor di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika
Serikat
Bukit Tinggi,
3 Januari 1936
Mukhlis Pa Eni
Akademisi
Pendidikan:
1. Program sarjana Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada
2. Program master Antropologi Sosial, Universitas of Oslo,
Rappang,
Norwegia
Sulawesi Selatan, 3. Program doktor Antropologi Sosial, Universitas of Oslo,
7 Mei 1948
Norwegia
2. TIM PENILAI PENCIPTA, PELOPOR DAN PEMBARU:
Sibolga, Sumatera
Utara, 31 Oktober
1953
Dolorosa Sinaga
Akademisi, Seniman
Pendidikan:
1. Program sarjana Fakultas Seni Rupa Insitut Kesenian
Jakarta
2. Program pasca sarjanaSt. Martin’s School of Art,
London, Inggris
3. Magang di Karnarija Lubliyana, Yugoslavia, Piero’s Art
Foundry Berkely, Amerika Serikat
Julianti Laksmi Parani
Seniman, Akademisi
Pendidikan:
1. Fakultas Sastra UI
2. Archivist Nederlandse Archief School, Belanda
Jakarta, 19 Juli 1939 3. Gelar Doktor dari National University of Singapore
2
Bens Leo
Wartawan, Pengamat Musik
Pendidikan:
1. Program sarjana S1 Fakultas Hukum Universitas
Jayabaya
Pasuruan,
8 Agustus 1952
M. Yoesoef
Akademisi, Penulis
Kuningan, 31
Desember 1958
Pendidikan:
1. Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1988)
2. Magister Humaniora Program Pascasarjana UI (1994)
3. Program S3 Bidang Ilmu Sastra FIB UI (2013)
Riri Riza
Sutradara
Pendidikan:
1. Program sarjana jurusan musik Institut Kesenian Jakarta
2. Program master jurusan penulisan skenario dari Royal
Holloway University of London
Ujung Pandang, 2
Oktober 1970
3. TIM PENILAI PELESTARI:
Junus Satrio Atmodjo
Arkeolog, Akademisi
Pendidikan:
Cimahi, 10
November 1956
1.
Program sarjana, Arkeologi Universitas Indonesia
2.
Program master Humaniora Universitas Indonesia
3.
Program doktor, Arkeologi Universitas Indonesia
3
Linda F. Adimidjaja
Pengamat, Praktisi dan Peniliti Kuliner, editor boga
Pendidikan:
1. Program sarjana
Padjajaran
Bogor, 20 Mei 1950
Sastra
Prancis,
Universitas
Bre Redana
Wartawan
Salatiga, 27
November 1957
Pendidikan:
1. Program sarjana jurusan Bahasa Inggris, Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga
2. School of Journalism, Darlington College of
Technology, Inggris
Wa Ode Siti Marwiah Sipala
Akademisi, Seniman
Muna, Sulawesi
Tenggara, 19
Februari 1953
Pendidikan:
1. Akademi Tari – Lembaga Pendidikan Kesenian
Jakarta
2. Fakultas Ekonomi Universitas Haluoleo, Kendari
3. Fakultas Seni Pertunjukan – Institut Kesenian
Jakarta
4. Pasca sarjana Fakultas Ilmu-ilmu Budaya,
Universitas Gajah Mada
5. Dance Dept. New York University
6. Graham Dance School, New York. Alwin Nicolas
– Murry Louis Dance School, New York. Peptesy
Bethel Dance School, New York. Canadian Dance
School
Gufron Ali Ibrahim
Akademisi
Ngofagita,
Maluku Utara, 28
September 1963
4
Pendidikan:
1. Sarjana Universitas Negeri Manado
2. Program Pascasarjana S2 dan S3 di bidang
Antropolinguistik Universitas Hasanuddin
4. TIM PENILAI ANAK DAN REMAJA:
Nina Mutmainnah
Akademisi, Aktivis
Jakarta, 26 Maret
1964
Pendidikan:
1. Program sarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas
Indonesia
2.
Program master Ilmu Komunikasi Fisip Universitas
Indonesia
3. Program doktor Ilmu Komunkasi FISIP UI
Ahmadun Yosi Herfanda
Penulis
Jawa Tengah, 17
Januari 1958
Pendidikan:
1. S1 Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKSS IKIP
Yogyakarta (1986)
2. Magister Teknologi Informasi Universitas Paramadina
Mulia, Jakarta (2005)
Niniek L. Karim
Akademisi, Seniman
Mataram,
14 Januari 1949
Pendidikan:
1. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Jabatin Bangun
Etnomusikolog
Pendidikan:
1. Program sarjana Etnomusikologi, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara
Kabanjahe, 18
Oktober 1967
5
Rina Pranawati
Aktivis
Kebumen, 6 April
1977
Pendidikan:
1. Sastra Asia Barat, Fakultas Sastra Universitas Gajah
Mada (2000)
2. Program master Agama dari Interdisiplinary Islamic
Studies UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2006)
3. Master of Arts bidang sosiologi dari Faculty of Arts
Monash University, Australia (2013)
5. TIM PENILAI MAESTRO SENI TRADISI:
Sulistyo S. Tirtokusumo
Seniman, Koreografer
Pendidikan:
1. Program sarjana tahun 1986
2. Program master tahun 1997
Solo, 6 Juli 1953
Kenedi Nurhan
Wartawan
Palembang, 24 Januari
1964
Pendidikan:
1. Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya
Norbertus Riantiarno
Seniman, Budayawan
Pendidikan:
1. Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI, Jakarta
2. Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta
Cirebon, 6 Juni 1949
6
Elly D. Luthan
Koreografer
Pendidikan:
1. Sekolah Tinggi Teknik Nasional jurusan Bangunan
Makassar, 27 Juli
1952
Pudentia Maria MPSS
Antropolog
Muntilan, 8 Mei 1956
Pendidikan:
1. Program doktor bidang Tradisi Lisan Universitas Leiden
Belanda
6. TIM PENILAI PEMERINTAH DAERAH:
Ryass Rasyid
Pakar Otonomi Daerah
Gowa, Sulawesi Selatan,
17 Desember 1949
Pendidikan:
1. Program Doktor di Universitas Hawaii, Amerika
Serikat
Komaruddin Hidayat
Akademisi
Pendidikan:
1. Program Doktor jurusan filosofi
Magelang, 18 Oktober
1953
7
Hajriyanto T. Thohari
Cendekiawan
Pendidikan:
1. Program sarjana Sastra Arab UGM Yogyakarta
2. Program pasca sarjana Antropologi UI
3. Program Doktor Antropologi UI
Karanganyar,
26 Juni 1960
Siti Zuhro
Akademisi, Cendekiawan
Pendidikan:
1. Program sarjana Ilmu Hubungan Internasional
FISIP, Universitas Jember
2. Program pasca sarjana Ilmu Politik The Flinders
Unviersity, Adelaide
Blitar, 7 November 1958
3. Program Ph. D Ilmu Politik dari Curtin University,
Perth, Australia
Nunus Sapardi
Akademisi
Pendidikan:
1. IKIP Malang (1970)
19 Agustus 1943
7. TIM PENILAI KOMUNITAS:
Endo Suanda
Etnomusikolog
Pendidikan:
1. Program Ph. D Etnomusikologi
University, Amerika Serikat
Majalengka, 14
1947
Washington
Juli
Taufik Rahzen
Budayawan
Pendidikan:
1. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Semarang, 5 Agst. 1946
Indonesia
8
Alpha Amirrachman
Akademisi, Cendekiawan
Pendidikan:
1. Program Ph.d Amsterdam Institut for Social Science
Research (AISSR)
Jakarta, 28 November
1970
Rizaldi Siagian
Etnomusikolog
Pendidikan:
1. Program master di San Diego State University
Kota Binjai, 25 Januari
1951
Idham Bachtiar Setiadi
Akademisi
Pendidikan:
1. Program Ph. D di National University of Singapore
8. TIM PENILAI PERORANGAN ASING:
Arthauli Tobing
Diplomat
Pendidikan:
1. Program sarjana Sastra Inggris di Universitas
Indonesia
2. Program master bidang American Studies di
George Washington University
Pematang Siantar, 17
Agustus 1960
9
Mudji Sutrisno
Budayawan, Akademisi
Pendidikan:
1. Seminari Mertoyudan
2. Sekolah Tinggi Driyakara Jakarta
3. Universitas Gregoriana
Surakarta, 12 Agustus
4. Summer Course Religion and Art Ichigaya
1954
Sophia University of Tokyo
Makarim Wibisono
Diplomat
Mataram, 8 Mei 1947
Pendidikan:
1. Universitas Gadjah Mada
2. Program master di The Paul Nitze School di
John Hopkins Unviersity Washington DC
3. Program master dan Ph.D di Political Economy
di Ohio State University
Chusnul Mariyah
Akademisi, Cendekiawan
Pendidikan:
1. Program sarjana jurusan Ilmu Politik, FISIP,
Universitas Indonesia
2. Program amster di University of Sydney
Lamongan,
Philips Jusario Vermonte
Cendekiawan
Pendidikan:
1. Jurusan Sospol Universitas Adelaide, Australia
Manila, 14 Juli 1972
10
Tanda Kehormatan Kelas Bintang
Budaya Parama Dharma
11
12
Soedjatmoko:
Sosok Pembelajar, Pencari dan Pemikir Yang Mandiri
Siang itu, cahaya matahari menyelusup dari muka pintu utama kediaman
(alm) Soedjatmoko. Di ruang utama, istri dan dua anak perempuannya
telah duduk menanti kedatangan kami. Ratmini Soedjatmoko (istri) dengan
air muka penuh kehangatan dan semangat berkisah tentang sosok sang
suami, yang semasa hidupnya banyak memberikan “pengaruh” pada
dirinya, anak, keluarga, bangsa dan negara.
Dengan bibir yang sedikit bergetar, Ratmini
berkisah mengenai perjumpaan dan perkenalan
dirinya dengan Soedjatmoko pada sekitar 1957.
Waktu itu ia masih menjadi guru sekaligus
anggota olahraga layar disebuah perkumpulan
yang dinamakan Pulau Seribu.
Perjumpaan dan perkenalan itu sendiri dimulai
ketika Ratmini beserta temannya berkumpul di
rumah Ali Budiardjo, dan Soedjatmoko turut
serta. Ratmini mengungkapkan, semasa hidupnya hingga sekarang,
yang paling berkesan dari mendiang sang suami adalah perihal
kepintarannya. “Soedjatmoko adalah sosok pembelajar, pencari dan
pemikir yang mandiri,” katanya.
Pernyataan tersebut kemudian dibenarkan oleh putri
sulungnya, Kamala Chandrakirana. Menurut Kamala, sekembalinya
mendiang dari Jepang (sebagai rektor di Universitas PBB), ia dan
teman-teman Soedjatmoko selalu menyampaikan agar ayahnya
menuliskan biografi hidupnya karena hidupnya cukup menarik.
Tapi memang, mendiang sulit sekali duduk untuk menulis. “Karena
masih terlalu senang untuk belajar hal-hal yang baru. Itulah jawabnya
ketika saya bertanya kenapa tak kunjung menulis tentang dirinya,”
kata Kamala.
13
Hal tersebut terbukti ketika mendiang diundang oleh suatu
kelompok yang baru atau komunitas lain, baik di Indonesia maupun
di luar negeri, Soedjatmoko tidak pernah menolak. Sebab, baginya
ini adalah kesempatan untuk belajar. “Jadi, iaterus-menerus ingin
belajar sampai ayah tidak punya waktu menulis tentang dirinya.
Sebab, semangat belajarnya sangat tinggi,” tuturnya.
Kamala juga sempat bertanya kepada ayahnya tentang nilai
dan ingatan—nanti kalau meninggal, “Apa yang paling penting
diingat orang tentang sang ayah. Dengan sangat cepat mendiang
menjawab: ‘Saya ingin diingat sebagai pemikir yang mandiri
(independent thinker)’,” kenangnya.
Demikianlah, mendiang Soedjatmoko terus-menerus mencari
pengetahuan, pemahaman dari berbagai macam sumber. Bukan
hanya dari buku, tapi juga dari diskusi dengan anak muda, dengan
orang di jalanan. “Bahkan mendiang menyampaikan kalau kami juga
harus belajar dari mana saja dan dari siapa saja, baik itu dari penjual
bakso di jalanan, sekolah, buku, dan lain-lain. Intinya, semangatnya
untuk belajar dan menjadi pemikir yang mandiri itu penting sekali,”
papar Kamala.
Hal senada juga dinyatakan oleh putri kedua Soedjatmoko,
Isna Marifa Sjadzali, bahwa sejak kecil mendiang sudah menanamkan
arti penting dari pendidikan. Bagi Soedjatmoko, pendidikan adalah
yang nomor satu. Hal itu kemudian tampak dalam kesehariannya,
baik sebagai pembelajar maupun sebagai ayah buat anak-anaknya.
“Ketika kami meminta apapun yang berkaitan dengan pendidikan,
misalkan soal buku, mendiang tidak banyak tanya, langsung
diberikan. Dan, hal itu selalu ditanamkan ayah kepada kami, belajar
tidak pernah berhenti,” ujarnya.
Itulah alasannya kenapa mendiang selalu belajar, membaca,
menulis, selalu mencari informasi-informasi baru. Ketika ia mendapat
14
buku baru, terlebih setelah dibaca, ia selalu berbagi tentang buku
baru dibacanya di mejamakan. Selain itu, ketika ia diundang ke
berbagai negara untuk menjadi pembicara atau melakukan perjalanan
luar negeri maupun luar kota, mendiang selalu bercerita tentang
perjalanannya atau tentangapa yang diamati dan dipelajari.
Ketika mengantar ibu belanja, kenang Isna, mendiang tidak
ikut masuk toko karena ia bercakap-cakap alias nongkrong bersama
tukang tahu pong. Tahu pong itu makanan kesukaannya. Selain itu,
semasa kecil selalu ada mahasiswa berbagai tingkatan, jurusan, juga
dari berbagai generasi, yang datang ke rumah untuk diskusi. “Mereka
berdiskusi bisa sampai berjam-jam. Karena ayah mengetahui bahwa
mereka juga dalam proses pencarian. Maka, ayah selalu berbagi
tentang pemikirannya atau hal-hal yang ke depan bisa berarti atau
tentang hal-hal yang akan menjadi tantangan Indonesia atau dunia,”
imbuhnya.
Cerita itu pun dibenarkan kembali oleh kakaknya, Kamala,
kalau pintu rumahmereka tidak pernah tertutup. Orang tidak hentihentinya datang berdiskusi dengan mendiang, baik dari generasi
sebaya saya, anak-anak muda, dari daerah, internasional, termasuk
suku Baduy. “Mereka selalu diterima, pintu selalu terbuka, selalu
mendengar dengan seksama dan merasa ini adalah pertukaran
gagasan dan pengalaman,” ungkapnya.
Soal keseharian mendiang, Ratmini bercerita kalau di dalam
hidup dan kehidupannya, (alm) Soedjatmoko selalu membawa dan
membaca buku ke manapun ia pergi. Yang jelas, lanjutnya, ia cukup
perhatian pada saya, pada anak-anak, dan hangat pada keluarga. Soal
buku-buku bacaannya, kata sang istri, itu antara lain karena mendiang
merupakan anak seorang dokter yang memang punya banyak buku.
“Jadi, sejak kecil ia selalu membaca buku-buku bapaknya. Artinya,
saya ingin mengatakan kalau dia sejak kecil memang sudah senang
membaca,” jelasnya.
15
Perihal penghargaan Bintang Budaya Paramadharma yang
diberikan untuk Soedjatmoko (alm), Ratmini merasa terharu.
Sebenarnya, mendiang sudah banyak mendapatkan penghargaan
dari luar negeri. Dari dalam negeripun ia pernah mendapatkan
penghargaan Bintang Maha Putra. “Untuk penghargaan ini, saya
merasa terharu, di negeri sendiri beliau dihargai, meskipun sudah
tidak ada,” tandasnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh anak pertamanya yang
sangat mengapresiasi penghargaan untuk sang ayah. “Ayah sudah
28 tahun meninggal dunia. Dulu ketika masih hidup pintu rumah
kami tidak pernah tertutup. Kalau dengan penghargaan ini, akan
muncul perhatian dari generasi muda pada Soedjatmoko, alangkah
baiknya. Mudah-mudahan lewat penghargaan ini, dari kehidupan
dan perjalanan hidup orang Indonesia seperti ayah kami, bisa jadi
teladan serta tempat belajar generasi muda,” ujar Kamala.
16
Hal yang sama juga disampaikan Isna Marifa Sjadzali,
yang turut terharu karena masih ada yang ingat kepada almarhum.
Katanya, sebetulnya tulisan mendiang ayahnyabanyak yang sifatnya
multi-generasi, terutama dalam hal peranan aspek kemanusiaan
dalam pembangunan, pendidikan secara umum. “Saya berharap,
cuplikan kearifan-kearifan yang ada dalam tulisan ayah bisa diadopsi
serta diterbitkan kembali,” kata Isna, di akhir perbincangan.
17
Biodata:
Nama
Lahir
Wafat
: Soedjatmoko
: Sawahlunto, 10 Januari 1922
: 21 Desember 1989
Penghargaan:
• Ramon Magsaysay Award (1978)
• Asia Society Award (1985)
• Universities Field Staff International Award for Distinguished
Service to the Advancemenet of International Understanding
(1986)
• Honorary Degree dari Yale University, Cedar Crest College and
Williams College di Amerika Serikat; Kwansei Gakuin University
di Jepang; Asian Institute of Technology di Thailand; dan
Universitas Sains Malaysia
Karya:
• An Introduction to Indonesian Historiography (1965)
• Transforming Humanity: The Visionary Writings of Soedjatmoko
(1993)
• The Primacy of Freedom in Development (1985)
• Economic Development as a cultural problem (1954)
• An Approach to Indonesian History: Towards an Open Future;
anAddress Before the Seminar on Indoneisan History, Gadjah Mada
University (1957)
18
Dullah:
Maestro Lukisan Realis yang Revolusionis
Dullah adalah pelukis realis yang menghasikan ribuan lukisan. Lukisannya
menjadi koleksi para kolektor dan pejabat negara di dalam dan luar negeri.
Pelukis revolusi ini juga merekam perjuangan era revolusi bersama anak
didiknya. Tak kurang dari 100 lukisan revolusi menjadi saksi peristiwa
revolusi bangsa Indonesia. Pelukis istana di masa Presiden Sukarno ini
juga guru lukis yang menumbuhkan pelukis-pelukis andal di Tanah Air.
Lukisan perempuan bersanggul, mengenakan
kebaya dan kain, anggun tercapak di dinding
museum. Tatapannya bijak. Ia duduk dengan
latar gedhek, dinding rumah yang terbuat
dari bambu. Lukisan bertajuk “Ibu Kati”
adalah lukisan seorang perempuan yang telah
melahirkan Dullah.
Pelukis realis ini lahir di Solo pada 19 September
1919. Ayahnya, Sudarso, seorang pengusaha
batik. Dullah tumbuh di lingkungan yang dekat dengan seni rupa.
Matanya akrab dengan para pengrajin batik yang menyungging dan
mendesain aneka corak batik.
Ketika duduk di sekolah dasar, anak sulung dari lima
bersaudara ini mulai menunjukan bakat melukisnya. Ia melukis
bintang Hollywood yang sedang trend di masa itu. Lukisannya
mulai dikenal di kalangan keluarga dan teman-temannya. Di masa
pertumbuhannya itu, Ibu Kati sering mendongengkan mitologi Jawa
yang mengajarkan untuk hidup bersahaja dan tidak memandang ke
atas.
Dullah adalah remaja yang hidup di era revolusi tergerak
untuk melibatkan diri dalam perjuangan mengusir penjajah. Ia
menggambar poster-poster yang mengobarkan perlawanan dan
19
menggangkat senjata. Karena itu, pelukis berbakat ini juga diburu
Belanda dan keluar-masuk sel Hoofd Bureau van Politie. Diakui,
Dullah belajar melukis dari S Sudjojono dan Affandi, akan tetapi
karyanya memiliki ciri tersendiri yang berbeda dari gurunya. Ia
banyak melukis potret, pemandangan, kehidupan di desa, dan
peristiwa revolusi dalam corak realis.
Tahun 1949, saat Belanda melakukan Agresi Militer II di
Yogyakarta, ia bersama beberapa anak didiknya, antara lain
Mohamad Toha, melukis langsung peristiwa tersebut. Karya
revolusi Dullah antara lain “Jumpa di Tengah Kota” dan “Gadis
Kurir”. Tak kurang dari 100 lukisan dihasilkan anak didiknya yang
menggambarkan berbagai peristiwa saat Yogyakarta menjadi ibu kota
RI di masa pendudukan Belanda itu. Melalui lukisan mereka, bangsa
ini memiliki rekaman peristiwa bersejarah tersebut. Kiprahnya
ini membuat ia dikenal sebagai pelukis revolusi. Beberapa tahun
kemudin Dullah mendokumentasikan karya-karya mereka dalam
buku Karya Dalam Peperangan dan Revolusi (1982).
Dalam gairah melukis dan nyala revolusi, Dullah jatuh hati
dengan Bibi Fatima. Lukisan perempuan cantik ini kini banyak
menghiasi museum yang didirikannya. Mereka mengangkat anak
dari putra adiknya Bibi Fatima yang diberi nama Sawarno. Putra
20
kesayangan mereka ini yang hingga saat ini merawat karya-karya
Dullah.
Tahun 1950, Presiden RI Sukarno meminta Dullah menjadi
pelukiskIstana. Di masa itu, selain melukis, Dullah juga merestorasi
lukisan koleksi Istana yang rusak dan menjadi bagian tim penyusun
buku koleksi lukisan Presiden Sukarno. Setelah 10 tahun menjadi
pelukis Istana, Dullah yang sudah dianggap adik oleh Sukarno
meminta persetujuan Presiden RI itu untuk meninggalkan Istana.
Kemudian Dullah sempat bermukin di Bali. Alam, budaya, dan
kehidupan masyarakat Bali menjadi polesan besar dalam koleksi
lukisannya, antara lain “Jati Penari Cilik”, “Rangda”, “Gunung Batur
di Kintamani”, dan “Warung di Desa Pejeng Bali”. Di Pulau Dewata
ini ia mendirikan Sanggar Pajeng (1974).
Selain berkarya, Dullah juga seorang guru lukis yang
menumbukan pelukis-pelukis piawai. Kecintaannya mengajar tidak
mengganggu kreativitas dan mutu kepelukisannya. Karya-karya
Dullah semakin dikenal dan reputasi komersial lukisannya meroket.
Banyak kolektor seni dan pejabat negara di dalam dan luar negeri
mengoleksi lukisan Dullah, antara lain Presiden Sukarno, Wakil
Presiden Mohammad Hatta dan Adam Malik, Presiden Amerika
Serikat Eisenhower, Wakil Presiden Amerika Serikat Walter Mondale,
Perdana Menteri Australia Rudolf Menzies, dan museum seni lukis
di Ceko.
Dari hasil penjulan karyanya itu Dullah mendirikan Museum
Dullah di Jalan Cipto Mangunkusumo 15, Solo, Jawa Tengah. Ia
mendesain sendiri arsitektur museumnya dengan semangat ramah
lingkungan, sehingga bila siang hari pencahayaan untuk ruangan tidak
memerlukan lampu. Atap bangunan museum didesiain sedemikian
rupa, memungkinkan cahaya matahari jatuh pada lukisan yang di
tata di dinding museum. Di dalam museum seluas 500 meter persegi
ini terpajang 500 karya Dullah. Ia juga menampilkan koleksi karya
21
anak didiknya dan karya pelukis lain, seperti Raden Saleh, Abdullah
Suriosubroto, S Sudjojono, Basoeki Abdullah, Ernest Dezenthe dan
Lee Man-fong. Sebagian juga karya pelukis negara lain seperti karya
pelukis Argentina, Mexico, Belanda, Mesir, India, China dan Filipina.
Yang menarik di museum ini juga pengunjung dapat menikmati
lukisan karya Presiden Sukarno. Di dalam museum terdapat ruang
tersendiri yang memuat koleksi lukisan klasik Jawa dan Bali, patung
klasik Bali, bernagai ukiran, topeng dan karya berbahan perunggu.
Selain melukis, Dullah juga menulis puisi. Karya puisinya
dimuat dalam Bunga Rampai Sastra Indonesia yang di himpun oleh HB
Jassin. Sebagian puisi Dullah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dan terbit dalam sebuah kumpulan di Pakistan.
Pelukis yang dikenal “maestro potrait” ini meninggal dunia di
Yogyakarta pada 1 Januari 1996. Tetapi karya-karyanya dapat terus
kita nikmati di Istana negara dan Musium Dullah. Masih banyak
lukisan Dullah yang menjadi koleksi keluarga. Sawarno, putra
kesayangnya, saat ini sedang menyiapkan untuk membuka Museum
Dullah yang ke-2 di Surabaya, Jawa Timur, untuk mempertemukan
lebih banyak karya Dullah dengan masyarakat penyuka lukisan dan
sejarah bangsa.
22
Biodata:
Lahir : Solo, 19 September 1919
Wafat : Yogyakarta, 1 Januari 1996
Istri
: (alm) Bibi Fatima
Anak : Sawarno
Pendidikan :
- Tweede Inlandsche school (sekolah dasar)
- Taman Siswa Solo
Keahlian :
Melukis corak realisme dan mendokumentasikan revolusi bangsa
melalui lukisan
Karier :
- Pelukis Istana masa Presiden Sukarno
23
- Pendiri Himpunan Budaya Surakarta (HBS).
- Pendiri sanggar Pejeng di Bali.
Karya Lukis, antara lain :
- Pertempuran di Surabaya
- Bunga Jambu Air
- Sebuah Kampung di Bali
- Kakek Bawa Tongkat Caping
- Isteriku Bibi Fatima
- Gunung Lawu Jawa Tengah
- Halimah Gadis Aceh
- Hutan di Gunung Merapi, Jawa Tengah
- Kebun Sayur
- Landscape Ngarai
- Ngarai Minangkabau Sumatara Utara
- Pemandangan di Kintamani
Pameran :
-
Pameran pertama di Gedung Agung Yogyakarta
-
Pameran kedua di Jakarta dibuka Wakil Presiden Adam Malik
Penghargaan :
-
Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma (2017)
-
Didirikannya Museum Dullah di Surakarta
-
Pelukis istana selama 10 tahun sejak awal tahun 1950-an, dengan
tugas merestorasi lukisan (memperbaiki lukisan-lukisan yang
rusak) dan menjadi bagian dalam penyusunan buku koleksi
lukisan Presiden Sukarno
24
Toeti Heraty Noerhadi Roosseno:
Ahli Filsafat, Penyair, dan Aktivis Perempuan
---------------------------------------------------------------------------------------Di dunia pemikiran filsafat di Indonesia nama Toety Heraty sudah
menjadi legenda. Siapa pun yang pernah bersentuhan dengan filsafat
dapat dipastikan tidak akan pernah luput dari nama tersebut. Ia
adalah sosok perintis filsafat di Indonesia, seorang aktivis feminis,
seorang seniman yang sayapnya sudah berkibar sampai ke ujung
Eropa.
---------------------------------------------------------------------------------------Kepribadiannya yang begitu bersahaja disertai
pemikiran yang logis, cemerlang dengan logika
yang sangat runut dan argumentatif menjadikan
perbincangan dengan professor filsafat ini
begitu mengalir bak aliran sungai jernih menuju
samudera luas. Ketika kami bertandang ke
rumah seninya di daerah Menteng nan asri,
beliau banyak bercerita tentang pengalaman
hidupnya yang paling berkesan. Meski usia
sudah tidak lagi muda, namun nampak dari raut wajahnya optimisme
dan gairah hidup yang luar biasa.
Toety Heraty lahir di Bandung, 27 November 1933, dari
seorang ayah bernama Rooseno Soerjohadikoesoemo dan ibunya, RA
Oentari. Kebesaran sang ayah yang merupakan guru besar di Institut
Teknologi Bandung dan pernah menjadi Menteri Perhubungan
dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo serta beberapa jabatan penting
lainnya tidak menjadikan Toety kecil manja, apalagi bermalasmalasan untuk sekolah. Ia menempuh pendidikan sarjana muda
kedokteran di Universitas Indonesia (1955), kemudian melanjutkan
studi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1962), dan pada
tahun 1974 ia menjadi sarjana filsafat dari Rijk Universiteit, Leiden,
25
Belanda. Pada tahun 1979 ia dapat menuntaskan studi doktornya
dari Universitas Indonesia.
Ia bercerita bahwa ketika ia menggeluti ilmu kedokteran, ia
merasa ilmu tersebut tidaklah mencukupi untuk mengerti lebih baik
tentang hakikat manusia. Itulah yang mendorong dirinya untuk
kemudian mendalami ilmu psikologi. Ketika ia mendalami ilmu
psikologi ia punya harapan baru untuk mengerti hakikat manusia
lebih dalam lagi. Meski sudah mendalami ilmu tentang kejiwaan
tersebut, ia masih saja merasa kurang. Ia membutuhkan ilmu lain
untuk mengerti arti manusia secara utuh. Itulah yang mendorong
dirinya kemudian menekuni dunia filsafat. Di dalam dunia filsafatlah
ia menemukan beberapa jawaban yang selama ini ia cari.
Mungkin karena itu, selain dukungan otak dan ketekunan,
Toety menganggap banyak hal yang terjadi dalam hidupnya—
termasuk perjalanan studinya—sebagai sebuah kebetulan. Banyak
hal yang tidak disengaja yang justru terjadi dalam hidupnya. Tidak
disengaja menjadi penulis dan penyair, tidak disengaja masuk bisnis
serta hak dan kekayaan inteleketual (HAKI), dan sebagainya.
26
Ketika ditanya apa sebenarnya yang mendorongnya
mendalami filsafat, ia menyampaikan bahwa dirinya itu memiliki
jiwa yang bebas. Melalui jiwa yang bebas inilah ia bebas untuk
mengukir hidupnya sendiri tanpa terpengaruh oleh orang lain.
Sebagai konsekuensinya, ia harus menerima risiko apa pun sebagai
konsekuensi dari pilihan hidup yang sudah diambilnya. Untuk
melukiskan perasaan jiwanya yang terus menggelora, ia merasa
tidak cukup hanya lewat narasi bahasa yang biasa. Untuk itu ia
pun berpuisi guna menyampaikan hal-hal apa yang dipikirkan dan
dirasakannya.
Sebagai pengalaman hidup, Toety pernah mengajar di
Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran di Bandung. Ia juga pernah
menjadi ketua Jurusan Filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
ketua Program Pascasarjana Universitas Indonesia Bidang Studi
Filsafat. Ia pun pernah menjadi rektor Institut Kesenian Jakarta dan
Direktur Biro Oktroi Rooseno. Pada tahun 1994, mengikuti jejak sang
ayah sebagai profesor, ia menjadi guru besar luar biasa pada Fakultas
Sastra Universitas Indonesia. Pada tahun 1968 sampai 1971 ia menjadi
anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan pada 1982-1985 menjadi
ketua DKJ.
Di samping mengajar, Toety aktif mengikuti berbagai festival
internasional, seperti Festival Penyair International di Rotterdam
(1981) dan International Writing Program di Universitas Iowa (1984).
Saat ini puisi-puisinya telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa
asing, seperti bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Perancis. Puisipuisinya, karena barangkali juga latar belakang pendidikannya yang
menggeluti filsafat, sulit untuk dimengerti. Puisi-puisinya banyak
menyuarakan persoalan perempuan di masyarakat yang patriarkat.
Ia banyak membela para perempuan di dalam puisi-puisinya. Ia
menerbitkan kumpulan puisi pertamanya berjudul “Sajak-Sajak 33”
pada tahun 1974, termasuk di dalamnya “Dua Wanita”, “Siklus” dan
“Geneva Bulan Juli”. Kumpulan puisinya yang kedua, Mimpi dan
27
Pretensi terbit tahun 1982. Ia juga melakukan editing sebuah terbitan
puisi berbahasa Belanda dan Indonesia dan sebuah koleksi puisi
dari para penyair wanita. Puisinya yang berjudul “Calon Arang: the
Story of A Woman Victimized by Patriarchy” adalah lirik setebal buku,
yang memberikan pandangan kritis atas persepsi dari figur tipikal
Indonesia, Calon Arang. Puisi ini menghadirkan gambaran tiga
dimensi dari seorang wanita yang mencoba bertahan hidup terhadap
lingkungan yang patriarkat dan represif, namun malangnya ia
dianggap sebagai penyihir legendaris.
Tulisan-tulisan Toety, baik dalam bentuk puisi maupun prosa,
banyak menyoroti persoalan wanita di Indonesia. Tidak heran jika
kemudian Toety dianggap sebagai salah seorang pemikir feminis
Indonesia pertama yang sangat berpengaruh. Ia merupakan salah
satu pendiri Jurnal Perempuan, sebuah majalah feminis yang banyak
28
mengangkat persoalan wanita terkait dengan kehidupan sehari-hari.
Untuk advokasi persoalan wanita dan berbagai problematikanya,
ia mengabadikan diri pada Suara Ibu Peduli, suatu organisasi nonpemerintah yang banyak memperjuangkan pemberdayaan wanita.
Kecintaan Toety terhadap dunia seni tidak dapat diragukan. Di
samping banyak menulis puisi, ia juga aktif mengumpulkan barangbarang berharga untuk dikoleksi di rumah pribadinya. Koleksi
barang tersebut tidak sembarang koleksi, melainkan memiliki nilai
seni yang sangat tinggi. Persis di kawasan Menteng, tepatnya di Jln
Cemara 6, rumah yang ditinggalinya berubahsuai menjadi galeri seni
yang menyimpan sejumlah koleksi penting, seperti lukisan karya
Affandi S Sudjojono atau Srihadi Soedarsono. Di rumah tersebut ia
juga menyediakan aula yang sangat artistik untuk penyelengaraan
berbagai event kebudayaan. Di sana juga terdapat beberapa kamar
yang sengaja disewakan, khususya bagi para seniman dari daerah
yang memang hendak melaksanakan kegiatan kesenian di Jakarta.
29
Rumah yang asri itu memiliki juga sejumlah koleksi buku tentang
filsafat, psikologi, sosial politik, ekonomi dan lain sebagainya.
Kehadiran rumah galeri di Jakarta seperti oase yang terus mengaliri
padang pasir sekitarnya yang gersang.
Sosok Toety Heraty sudah menjadi legenda di negeri ini,
maka wajar jika ia pantas diberikan penghargaan yang tertinggi di
Indonesia ini. Ia merupakan sosok yang jarang di negeri ini. Selain
ahli filsafat, ia menyukai seni dan lebih daripada itu ia pun banyak
terlibat dalam persoalan yang menyangkut peran wanita. Selamat
Prof!
30
Biodata:
Nama : Toeti Heraty Noerhadi Roosseno
Lahir : Bandung, Jawa Barat, 27 November 1933
Pendidikan :
- SD, Bandung (1945)
- SMP Putri, Yogyakarta (1948)
- SMA I, Jakarta (1951)
- Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung (sarjana
muda, 1955)
- Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (S1, 1962)
- Rijks Universiteit, Leiden (sarjana filsafat, 1974)
- Fakultas Sastra Universitas Indonesia (doktor filsafat, 1979)
Karier :
- Dosen Universitas Padjadjaran, Bandung (1958-1966)
- Dosen Universitas Indonesia (1974-1985)
- Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1968-1971)
- Ketua Program Pascasarjana Bidang Studi Filsafat UI (1991-2000)
- Rektor Institut Kesenian Jakarta (1990-1996)
- Direktur Utama Biro Oktroi Roosseno
Kegiatan Lain :
- Wakil Ketua Yayasan Pengembangan Kreativitas
- Anggota Dewan Penyantun YLBHI
Keluarga :
Ayah : Prof. Ir. Roosseno
Ibu
: R. Ay. Oentari
Suami : Prof. Dr. Eddy Noerhadi
Anak : 1. Cita Citrawinda Priapantja
2. Inda Citraninda Noerhadi
3. Migni Myriasandra
31
Alamat Rumah :
Jalan Cemara 6, Gondangdia Menteng, Jakarta 10350
Telepon 324505, 3905837
Faksimili 325890
Karya-karya:
• Sajak-sajak 33 (kp, 1973)
• Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (ap, 1979, ed)
• Mimpi dan Pretensi (kp, 1982)
• Aku dalam Budaya (s. 1984)
• Manifestasi Puisi Indonesia – Belanda (ap, 1986, Ed. bersama A.
Teeuw)
• Antologi Puisi Indonesia 1997 (ap, 1977)
• Sembilan Kerlip Cermin (ap, 2000)
• Berpijak Pada Filsafat (2013)
• Tentang Manusia Indonesia (2016)
Penghargaan:
• Gelar dan Tanda Kehormatan dari Presiden RI kategori Bintang
Budaya Paramada Dharma
Referensi
http://ahmad.web.id/sites/apa_dan_siapa_tempo/profil/
T/20030630-82-T_2.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Toeti_Heraty
32
Tanda Kehormatan Kelas
Satyalancana Kebudayaan
33
34
Andjar Asmara:
Dari Teater ke Fim
Nama Andjar Asmara tidak hanya dikenal sebagai seorang wartawan
dan pekerja teater, tetapi juga sutradara film dan penulis naskah. Ia
putra Indonesia pertama yang jadi sutradara.
Mulanya Andjar Asmara dikenal sebagai wartawan
selepas dari sekolah. Akan tetapi kariernya di bidang
jurnalistik di Jakarta tidak berjalan mulus. Pria asal
Sumatera Barat ini pun pulang kampung ke Padang
dan menjadi wartawan di media Sinar Sumatera.
Tahun 1925 ia memberikan banyak masukan
kepada kelompok opera Padangsche Opera.
Bahkan ia melakukan perubahan drastis dalam cara
pementasan grup ini: dari opera yang biasanya selalu
menampilkan dialog dengan menyanyi atau dialog seperti orang membaca
puisi ke dialog seperti orang berbicara sehari-hari.
Perubahan yang dilakukan oleh Andjar Asmara juga sampai pada
naskah yang dipakai. Naskah yang dipentaskan tidak lagi cerita tentang
pangeran atau stambul, akan tetapi kisah kejadian sehari-hari. Andjar
mementaskan, antara lain, naskah yang ditulis Parada Harahap, yaitu
“Melati van Agam”. Ia juga mengadaptasi Sitti Nurbaya, sebuah roman
yang ditulis pada tahun 1923 oleh Marah Roesli. Sandiwara-sandiwara ini
diterima dengan baik. Tampaknya pembaharuan yang dilakukan oleh Andjar
Asmara dilakukan pula Thio Tek Djien dalam sandiwara kelompok Miss
Ribut Orion di Jawa.
Dari mana bakat sang wartawan itu di bidang teater? Sejak kanakkanak ia sudah hidup di lingkungan teater. Neneknya memiliki rombongan
sandiwara. Saat masih kecil, Andjar sudah terbiasa menonton sandiwara.
35
Bahkan bersama teman-teman sepermainannya, ia sering menirukan
permainan sandiwara pada malam hari.
Dunia kewartawanan rupanya tidak lenyap dari dirinya. Maka, akhir
1930-an, ia kembali ke Jakarta untuk kembali terjun jadi wartawan di media
Bintang Timoer dan Bintang Hindia. Lalu ia memimpin majalah Dunia
Film, edisi Indonesia dari majalah berbahasa Belanda, Filmland. Isi majalah
ini dipenuhi tulisan mengenai teater dan film produksi lokal.
Andjar banyak menulis tentang karya teater dan film lokal. Menurut
Salim Said, kritikus film Indonesia, Andjar menjadi penasihat untuk
pemasaran film Njai Dasima pada tahun 1929. Pemasaran itu menegaskan
bahwa semua pemain Njai Dasima orang pribumi. Pada tahun 1930 Andjar
meninggalkan Doenia Film dan posisinya sebagai redaktur digantikan
oleh Bachtiar Effendi.
Seperti ditulis dalam Apa Siapa Orang Film Indonesia 1926-1978,
sebagai wartawan ia banyak bergaul dengan orang film, akan tetapi belum
tertarik untuk bergabung dengan dunia tersebut. Ia kembali terjun ke dunia
sandiwara. Ia ikut bergabung dengan rombongan sandiwara Dardanella. Ia
36
lebih banyak menulis skenario sandiwara daripada ikut main di panggung.
Ia dibolehkan menggunakan mesin cetak portable untuk mencetak naskah
sandiwara. Namun dalam perjalanan waktu ia lebih banyak dikenal sebagai
penulis naskah dan sutradara. Ia banyak membenahi gaya pementasan
Dardanella yang pada masa itu sangat populer.
Tahun 1936 Andjar ikut rombongan Dardanella dalam lawatan
mereka ke India. Rombongan ini melakukan kerja sama dengan Radha Film
Coy Calcutta untuk mengangkat naskahnya, “Dr Samsi”, ke film. Naskah
ini menceritakan seorang doktor yang diperas setelah asistennya setelah
mengetahui bahwa doktor itu mempunyai anak di luar nikah. Namun, film
itu tidak jadi dibuat dan Andjar meninggalkan India bersama istrinya, Ratna
Asmara, yang kemudian dikenal sebagai sutradara perempuan pertama di
Indonesia.
Pulang dari India, Andjar membentuk grup sandiwara Bollero, tahun
1936. Namun usia kelompok ini tidak panjang. Ia kembali lagi ke dunia
penerbitan dan ia sempat pindah ke Surabaya dan menjadi redaktur dari
penerbitan untuk buku-buku seri cerita film. Pekerjaan ini membuka peluang
baginya untuk berkarya dalam dunia film.
Empat tahun kemudian, 1940, ia kembali ke Jakarta dan bergabung
dengan Java Industrial Film milik The Teng Chun. Ia mengajak sejumlah
anggota rombongan Dardanella untuk terjun ke film, seperti Tan Tjeng Bok,
Inu Perbasari, dan Rd Ismail. Film pertama yang disutradarainya adalah
Kartinah, sebuah film tentang cinta yang dibintangi istrinya, Ratna.
Dunia perfilman menggantungkan harapan besar pada pundaknya untuk
meningkatkan mutu film saat itu. Namun Jepang keburu datang tahun 1942.
Pada zaman revolusi, Andjar ikut berjuang dengan caranya sendiri,
yaitu menularkan pengetahuannya tentang film kepada masyarakat lewat
sejumlah diskusi. Tokoh film nasional Usmar Ismail dan Djajakusum ikut
hadir dalam diskusi-diskusinya ini. Tahun 1948 ia menyutradarai film Djauh
Dimata. Ketika menyutradarai film Gadis Desa tahun 1949, ia mengangkat
37
Usmar Ismail yang baru keluar dari tahanan Belanda sebagai asistennya.
Film lain karyanya adalah Anggrek Bulan (1948), Sedap Malam ( 1950),
Pelarian dari Pagar Besi (1951), Musim Bunga di Selabintana (1951), dan
Dr Samsi (1952).
Akan tetapi tampaknya Andjar tak bias lepas dari dunia penerbitan.
Ia pun meninggalkan dunia film dan kembali bergelut di dunia penerbitan.
Terakhir ia memimpin majalah Varia sampai meninggal dunia (1961) ketika
dalam perjalanan ke Bandung. Namun, ia tetap dikenang sebagai salah satu
tokoh besar dunia teater Indonesia dan salah satu sutradara pribumi pertama.
Biodata:
Nama
Nama Asli
Lahir
Wafat
Istri
Pekerjaan
: Andjar Asmara
: Abisin
: Alahan Panjang, 26 Februari 1902
: Cipanas, 20 Oktober 1961
: Ratna
: Wartawan, Sutradara Teater dan Film, Kritikus
Pendirikan:
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setara dengan SMP sekarang)
Penghargaan
2017 : Gelar dan Tanda Kehormatan dari Presiden RI Joko Widodo untuk
Kategori Satyalancana Kebudayaan
Karya sinematografi:
• Kartinah (1940)
• Noesa Penida (1941)
• Djaoeh Dimata (1948)
• Anggrek Bulan (1948)
• Gadis Desa (1949)
• Sedap Malam (1950)
• Pelarian dari Pagar Besi (1951)
• Musim Bunga di Selabintana (1951)
• Dr Samsi (1952)
38
Teuku Iskandar:
Pencatat Peradaban Aceh dan Melayu
Aceh pada abad ke-16 hingga abad ke-18 melahirkan banyak
karya ulama-ulama besar seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin
as-Sumatra’i dan Nuruddin al-Raniri. Tetapi tradisi
keilmuan yang pesat itu terganggu ketika Aceh mengalami
perang berkepanjangan melawan penjajah Belanda. Situasi
itu mengakibatkan kitab-kitab karya pemikir besar itu tak
terdokumentasi dengan baik di Aceh. Sebagian berpindah ke
perpustakan di Universitas Leiden, Belanda.
Teuku Iskandar adalah salah satu putra Aceh
yang tergerak untuk menelusuri kitab-kitab yang
merekam warisan peradaban bangsa tersebut.
Anak uleebalang (hulubalang) ini memutuskan
studi dan kemudian menjadi guru besar di
Universitas Leiden untuk menekuni manuskripmanuskrip tersebut. Karya-karyanya terkait
Aceh dan Melayu, seperti De Hikayat Atjeh
dan Catalogue of Malay, Minangkabau, and South
Sumatran Manuscripts in the Netherlands, telah menjadi rujukan para
scholar dan peneliti di dunia. Ayah dari tiga anak ini juga diminta
Sukarno, Presiden Pertama RI, untuk mendirikan universitas negeri
di Aceh yang bernama Universitas Syiah Kuala.
Seorang pemuda
mengenakan
sarung Melayu pergi
menemui Gubernur Belanda di Aceh untuk menanyakan apakah ia
suatu saat kelak bisa mendapatkan beasiswa untuk belajar di Leiden.
Tahun 1947, satu hari setelah Ratu Juliana mendapatkan mahkotanya,
pemuda berumur 18 tahun itu telah dapat merayakan kegemarannya
membaca di Universitas Leiden. Pemuda itu tak lain bernama Teuku
Iskandar, anak seorang hulubalang yang lahir di Trienggadeng, Pidie,
Aceh. Tahun 1955, ia meraih gelar doktor dari Leiden University
39
dengan disertasi yang kemudian diterbitkan menjadi buku, De
Hikajat Atjeh. Tema Aceh menjadi pilihan disertasinya, menurut
Tjutnjak Ubit Iskandar), putri kedua Teuku Iskandar, karena pada
saat itu ayahnya bagian dari generasi pertama Aceh yang belajar di
Universitas Leiden. Apalagi di masa itu buku-buku Aceh yang ditulis
bumiputra juga belum sebanyak buku bertema Jawa dan sukusuku lain di Sumatera. Selain itu, Teuku Iskandar sangat mencintai
kebudayaan Aceh, sebagaimana sering ia ceritakan kepada putraputrinya.
Tahun 1960-an, Sukarno dan para tokoh pendidikan di
Aceh meminta Teuku Iskandar pulang ke Aceh untuk membangun
perguruan tinggi negeri. Ia pun terlibat mendirikan Universitas
Syiah Kuala dan sempat menjabat Dekan untuk Fakultas Ekonomi.
Ketekunannya mendalami sastra dan kebudayaan Melayu
membawanya ke Malaysia. Selama 13 tahun di Malaysia, ia mengajar
di beberapa universitas dan bekerja di Dewan Bahasa dan Pustaka.
Perjalanannnya ini melahirkan karya Kamus Dewan yang terbit
pertama kali tahun 1970. Di masa yang sama, ia juga diminta Sultan
Brunei Darussalam untuk mengajar di Universitas Brunei Darussalam
dan ia mendapat gelar profesor dari universitas tersebut.
Teuku Iskandar kembali ke Leiden untuk mengajar dan
menetap di Negeri Kincir Angin tersebut. Di almamaternya itu ia
menjadi guru besar untuk bidang Sastra Aceh dan Melayu, juga
memberikan kelas khusus bahasa Aceh. Penyuka masakan Aceh
ini juga terus melahirkan karya-karyanya, antara lain Catalogue of
Acehnese Manuscripts yang disusun bersama Voorhoeve, dua jilid besar
Catalogue of Malay, Minangkabau and South Sumatra, dan Manuscripts
in the Netherlands: Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad.
Menekuni manuskrip-manuskrip kesusastraan klasik adalah
pekerjaan yang tidak banyak orang dapat melakukannya. Butuh
passion, ketekunan, ketelitian dan konsentrasi yang tinggi. Tetapi,
40
memang, sifat-sifat seperti itu rupanya melekat pada Teuku Iskandar.
“Papa orangnya memang suka history dan art,” tutur Ubit.
Teuku Iskandar sangat teliti bahkan dalam membaca bukubuku yang menjadi rujukannnya. Ubit sering menemukan catatancatatan tangan ayahnya pada buku-buku rujukan, yang memberi
keterangan bahwa informasi dalam buku-buku itu dapat dirujuk atau
dipertanyakan. Ubit juga menuturkan kalau ayahnya adalah tipe orang
yang banyak membaca dan merenung. Walaupun pengetahuannya
melimpah, dia bukan orang yang ‘ke luar’ atau banyak bicara. Tidak
semua teman bicaranya juga dapat membuatnya tertarik berbincang.
Tetapi kalau ia berjumpa dengan teman bicara yang menurutnya
tajam, ayah tiga anak ini akan menjadi pencerita yang luar biasa.
“Bila ada momen seperti itu, ibu saya biasanya meminta saya agar
membawa alat perekam untuk menyimpan perbincangan menarik
tersebut,” kenang Ubit.
Teuku Iskandar juga seorang cendikia dan orang yang
memegang prinsip. Dia bukan tipe orang yang ingin menyenangkan
41
orang lain tetapi lebih menjadi diri sendiri. Di mata Ubit, ayahnya
bukan orang yang berminat dengan politik dan meski ia sangat
mencintai kebudayaan Aceh dan Melayu, dia intelektual yang
membawa diri sebagai warga dunia.
Juga tak banyak orang tahu bila Teuku Iskandar sangat
menyukai sejarah arsitektur. Menurut Ubit, bisa dikatakan first
love—cinta pertama—ayahnya itu justru pada arsitektur. Akan tetapi
karena kemampuan kimianya tidak memadai untuk menjadi scholar
arsitektur ia kemudian memilih mendalami sastra. Gairah Teuku
Iskandar pada arsitektur dapat ditemui pada rumah kediamannya
di Jakarta yang ia desain sendiri. Ia juga membangun rumah
peristirahatan dengan kebun bergaya english garden di Bogor, yang
juga arsitekturnya ia desain sendiri. Di rumahnya di Belanda, Teuku
Iskandar mendesain perapian yang terbuat dari kayu bekas jembatan
dari abad ke-17 dengan dekorasi Aceh. Kesukaan lainnya adalah
membuat sketsa. Teuku juga pernah menyampaikan mimpinya
pada putra-putrinya, ia ingin membangun rumah pertanian di Aceh.
“Bapak ada mimpi di Aceh,” begitu Ubit mengenang ayahnya.
Dalam salah satu karyanya, buku yang membahas Bustan
42
as-Salatin karya Nuruddin ar-Ranniry, Teuku Iskandar meminta
Ubit untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Bertahuntahun ayah dan anak menekuni buku karya ulama abad ke-17 yang
menjadi bacaan ulama dan sultan di Kerajaan Aceh. Buat Ubit, itu
pengalaman yang luar biasa yang tak terlupakan.
Sebagai cendekia yang disegani, Teuku Iskandar orang yang
sangat bersahaja. Cut Rosmanida, putri pertamanya yang tinggal
di Medan, menuturkan, “Bapak itu orang yang rendah hati dan
sederhana. Pembawaannya biasa-biasa saja. Bila pulang kampung
ke Aceh, Bapak selalu minta dimasaki masakan Aceh. Dia suka
semua masakan Aceh.” Ajaran yang berharga dari ayahnya bahwa ia
selalu mengingatkan untuk bangga menjadi orang Aceh dan bangga
berbahasa Aceh.
Menanggapi penghargaan Satyalancana Kebudayaan
yang diberikan pemerintah kepada ayahnya, Cut Rosmanida
menyampaikan rasa syukurnya. “Saya senang dan gembira, bapak
menjadi salah seorang penerima penghargaan. Saya bersyukur
kepada Tuhan dan berterima kasih kepada pemerintah,” tutur Cut
Rosmanida berseri-seri.
43
Biodata:
Tanggal lahir : Trienggadeng, Pidie, Aceh, 5 September 1929
Pendidikan :
- Meraih gelar doktor dari Universitas Leiden
- Meraih gelar profesor dari Universitas Brunei Darussalam
Keahlian:
- Filolog yang mendalami dan menulis buku tentang manuskrip
peradaban Aceh dan Melayu.
Karier :
- Pediri Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
- Dekan pertama Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala
- Peneliti di Universitas Leiden
- Mengajar di beberapa universitas di Malaysia dan Brunei
Darussalam
Karya Buku :
- De Hikayat Atjeh (1959)
- Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad (1996)
- Kamus Dewan (1984)
- Catalogue of Malay, Minangkabau, and South Sumatran Manuscripts in
the Netherlands (1999)
- Some Aspects Concerning the Work of Copyists of Malay Historical
Writings (1968)
- Catalogue of Acehnese Manuscripts yang disusun bersama Voorhoeve
Penghargaan :
Gelar dan Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan dari
Presiden Republik Indonesia (2017)
44
Sumarsam:
Gamelan sebagai Ikon Seni Pertunjukan dan Peradaban Jawa
Usianya yang senja tak menjadi halangan untuk melemahkan
semangatnya ketika bercerita tentang gamelan sebagai ikon seni
pertunjukan dan peradaban Jawa. Dengan air muka yang penuh
gairah, Sumarsam bercerita perihal awal mula dirinya berkecimpung dan jatuh cinta terhadap seni gamelan.
Di sebuah desa kecil di Jawa Timur, ketika usia
Sumarsam masih sekitar tujuh atau delapan
tahun, ia sudah sering menonton pertunjukan
seni gamelan dan wayang. Tak hanya itu, pada
saat yang bersamaan ia juga mulai bermain
gamelan. Adapun hal yang paling ia sukai dari
gamelan adalah instrumen kendang dan gender.
Sebab, katanya, pada gamelan ada banyak tipe gong, tipe bilah, vokal, alat gesek, suling dan sebagainya,
sehingga bunyinya menjadi kompleks dan menarik. “Dari sana jelas
bahwa gamelan itu merupakan ansambel besar yang memunyai berbagai macam bentuk instrumen,” tutur Sumarsam.
Dengan kata lain ensambel gamelan memiliki tingkatan instrumen yang mudah dan sukar untuk dimainkan. Selain itu, struktur komposisi gamelan tersebut lain daripada komposisi musik Barat.
Komposisi gamelan sifatnya melingkar atau repetisi, sehingga gerak
lingkarannya bisa dipersempit atau diperpanjang untuk memberikan
ruang pada instrumen-instrumen agar bervariasi.
Dari sana pulalah kali pertama ia menyukai sekaligus jatuh
cinta pada gamelan dan wayang, lalu menekuninya, baik secara for-
45
mal maupun informal. Secara informal ia sudah menonton dan memainkan gamelan sejak kecil. Secara formal, pada 1961, Sumarsam
masuk Konservatori Karawitan Indonesia, Surakarta, kemudian
pada 1965 melanjutkan ke Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI,
sekarang ISI Surakarta), serta melanjutkan pendidikan etnomusikologi di luar negeri.
Selulus dari ASKI, pada 1970 Sumarsam bersama rombongan
dikirim pemerintah ke Jepang untuk pameran. Tak berselang lama,
ia ditugaskan mengajar gamelan di KBRI Canbera, Australia. Pada
1972 ia diundang Wesleyan University di Middletown, AS, untuk
mengajar gamelan di sana hingga kini.
Baginya, gamelan bukan sekadar alat musik. Maka, keindahan
gamelan bisa dicari dan diapresiasi lewat sejarah teori dan praktik,
lalu mengabarkan keindahan tersebut lewat berbagai macam pertunjukan seni budaya dan ceramah-ceramah di beberapa negara. “Sebab,
saya merasa gamelan itu ikon seni pertunjukan orang Jawa dan ikon
peradaban,” ujarnya.
46
Tersebab gamelan ikon seni pertunjukan Jawa dan ikon peradaban, maka topik dan isunya banyak. Oleh karena itu, Sumarsam
tak pernah berhenti mendalami dan memainkan gamelan, wayang,
dan hal-hal yang berkaitan dengan seni tersebut dari kecil sampai
usia senja.
Dalam proses terus belajar tersebut tentu ada banyak kendala,
terutama terkait masalah teknis dan paradigma. Secara paradigma,
baik ketika belajar maupun mengajar gamelan, misalnya, masyarakat pada umumnya masih menganggap rendah status para penabuh
gamelan. Menyikapi hal ini, Sumarsam dan para pegiat gamelan
memiliki beberapa cara untuk meluruskan paradigma keliru tersebut. “Salah satunya, ketika memainkan gamelan di suatu pesta, kami
memakai jas dan dasi sehingga lebih beriwibawa juga dihormati,”
ujarnya.
Adapun kendala ketika mengajar gamelan di luar negeri
adalah soal komunikasi (bahasa). Lebih-lebih kalua mengajar di universitas yang mendasarkan pada filsafat liberal art education atau pendidikan umum. Di sini dibutuhkan strategi bagaimana mengajar me-
47
mainkan gamelan dalam konteks pendidikan umum tetapi sasaran
tetap mengena. Untuk itu, Sumarsam menyiasatinya dengan selalu
mencari materi yang cocok dengan umur mahasiswa, sehingga mereka tidak bosan dalam belajar memainkan gamelan.
Sebab, kata Sumarsam, ketika mengajar mahasiswa Amerika
Serikat ada di antara mahasiswa yang tidak tahu mana Indonesia dan
mana Jawa. Maka, selain mengajar memainkan gamelan, Sumarsam
dan rekannya juga memberikan informasi dan pengetahuan tentang
kebudayaan Jawa, terutama tentang bagaimana gamelan dalam konteks budayanya, dan lain sebagainya.
Mengenai minat generasi muda di Indonesia—di Jawa khususnya—terhadap permainkan gamelan, Sumarsam tidak terlalu
khawatir, apalagi pesimistik. Sikap optimistik ini didasarkan pengamatannya di ISI Surakarta yang ada di jurusan gamelan tampak begitu dimintai. Perlu bukti? “Mahasiswanya ada, dan banyak,” ujarnya.
Beberapa bulan lalu, tambahnya, ada lomba wayang wong
yang diikuti oleh anak-anak usia enam sampai belasan tahun. Lomba berlangsung selama tiga hari, dan setiap harinya ada lima grup
wayang bocah yang tampil, lalu setiap grupnya ada 20 anak. “Jadi,
saya kira kita tidak perlu pesimistis. Kalau dibandingkan dengan
pemuda-pemudi di AS, persoalannya lain karena konteks pengenalan gamelan di AS berbeda dengan di Indonesia,” jelasnya.
Setiap semester, Sumarsam punya 30-40 mahasiswa AS yang
mengambil mata kuliah gamelan praktik, berdasarkan peningkatan.
Sumarsam sendiri sudah mengajar di sana selama 40 tahun. “Maka,
berarti jumlahnya sudah ribuan. Akan tetapi, jika dibandingkan
dengan peminat di Indonesia, maka jumlah tersebut tentu masih sangat kecil,” tuturnya.
Terkait dengan regenerasi, Sumarsam mengaku terus berupaya menularkan pengetahuan atau ilmu-ilmunya kepada teman, ko-
48
lega, maupun masyarakat, baik di Indonesia maupun di AS, dalam
bentuk artikel dan buku. Buku-buku tersebut ada yang ditulis dengan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Hingga kini sudah
empat buku tentang gamelan dan wayang yang ia tulis: dua dalam
bahasa Inggris dan dua dalam bahasa Indonesia. Belum lagi artikelartikelnya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Indonesia, Italia, Perancis, dan bahasa Mandari (China). Melalui buku-buku
49
dan artikel-artikel tersebut, Sumarsam berharap pengetahuan tentang gamelan dan wayang bisa menjadi suatu warisan serta bermanfaat bagi mahasiswa dan masyarakat Indonesia.
Pengabdian yang tak kenal lelah untuk terus menghidupi
gamelan dan wayang hingga ke mancanegara tersebut berbuah anugerah pada Sumarsam, berupa penghargaan Satya Lencana dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Menurut Sumarsam,
memang sudah selayaknya pemerintah memberikan penghargaan
kepada seniman-seniman tradisi, seperti halnya juga bisa ditemukan
di negara lain seperti AS dan China.
“Mudah-mudahan penghargaan seperti ini bisa dilanjutkan
untuk masa depan. Hal semacam ini merupakan suatu kewajiban dari
pemerintah untuk mendukung seniman, sehingga dengan penghargaan semacam ini mereka lebih bersemangat dalam berkarya. Dengan demikian bisa membantu kelanggengan seni tradisional yang
ditekuni,” ujarnya.
50
Haji La Side Daeng Tapala (Alm):
Berjuang Memajukan Pendidikan dan Kebudayaan
Haji La Side Daeng Tapala telah berpulang 37 silam.
Namun perjuangannya untuk memajukan kebudayaan
dan pendidikan tak pernah dilupakan. Tahun 2017,
Presiden RI Joko Widodo menganugerahinya gelar
tanda kehormatan berupa Satyalancana Kebudayaan.
Gelar tanda kehormatan tersebut disambut
anak-anak dan cucu La Side dengan rasa
bangga. Lukman Rasyid Ali, putra keenamnya,
mengatakan bahwa ayahnya telah memberi
perhatian besar pada bidang kebudayaan,
pendidikan, dan sejarah. Oscar Sulaeman
Ali, putra kedelapan, menambahkan bahwa
ayah mereka memiliki minat luar biasa pada
kebudayaan.
Dari tangan La Side telah lahir banyak buku dan berbagai
tulisan mengenai kebudayaan, sejarah, sastra dan pendidikan.
Tahun 1936, tatkala masih berusia 24 tahun, bukunya berjudul Roman
Bajak Laut telah diterbitkan oleh Balai Pustaka dan terbit ulang tahun
1938. Bersama Harun Kadir dan Mukhlis PaEni, ia ikut menulis buku
Sejarah Daerah Sulawesi Selatan.
Salah satu karya pentingnya adalah ikut menerjemahkan I La
Galigo (1967) dari bahasa Bugis kuno ke bahasa Belanda atas permintaan
Prof R A Kern dari Universitas Leiden, Belanda. I La Galigo adalah
epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan
yang ditulis di antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi
berbahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf lontara kuno Bugis. La
Side memiliki kemampuan yang mumpuni dalam membaca lontara
dan mahir berbahasa Belanda. “Perkerjaan itu berlangsung sampai
51
tahun 1970-an,” tutur Oscar. Kern kemudian memintanya untuk
menerjemahkan I La Galigo dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia
tahun 1980.
Anak-anak La Side menuturkan, ayah mereka biasanya
menulis atau menerjemahkan buku mulai pukul sembilan malam
(pukul 21.00) sampai larut malam. “Beliau mengurus ekonomi pada
siang hari. Kami punya usaha transportasi, bus-bus kecil. Ada lima.
Ayah yang mengurusnya,” tutur Oscar.
La Side dikenal juga sebagai tokoh pendidikan. Lukman
menuturkan, ayahnya memiliki keyakinan bahwa hanya melalui
pendidikan kita dapat memperbaiki hidup. Ia menyelesaikan
pendidikannya di Kwekschool, dan memulai karier sebagai guru
SD di tanah kelahirannya di Soppeng, kemudian menjadi penilik
sekolah. Kariernya terus menanjak dan akhirnya diangkat menjadi
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan
pensiun tahun 1964. Ia berjasa mendirikan SGA (sekolah guru A),
SKKP (sekolah kejuruan kepandaian putri), SMEP (sekolah menengah
ekonomi pertama), SMP, dan SD di Soppeng.
52
Haji Ahmad Saransi, Kepala Bidang Pembinaan dan
Pengembangan Layanan Kearsipan, menuturkan bahwa La Side
juga menggubah lagu “Alla Masea-masea” yang artinya ajakan bagi
masyarakat Sulawesi Selatan untuk mengikuti pendidikan kalau mau
maju. Meski demikian, Lukman mengatakan bahwa ia tak pernah
mendengar ayahnya berdendang. Ayahnya suka mendengar musik.
Sementara Erwin mengatakan bahwa ayahnya sangat menyukai lagulagu Ebiet G Ade karena syairnya puitis. “Beliau paling suka lagu
yang syairnya tentang rumput yang bergoyang,” tutur Erwin Hidayat
Ali, putra ketujuh La Side tentang lagu “Berita Kepada Kawan”-nya
Ebiet G Ade yang menjadi pavorit La Side (alm).
Tentang jalan budaya dan sejarah yang telah digeluti La Side,
anak-anaknya merasa bangga. Sinta Werorilangi, cucu pertama La
Side, mengatakan bahwa nama “Werorilangi” yang kini dipakainya
adalah pemberian kakeknya tersebut. Semula ia tak suka nama itu,
tetapi setelah tahu nama itu diambil dari kisah I La Galigo yang
berarti “cahaya di langit”, ia sangat menghargai sikap kakeknya yang
menggeluti kebudayaan dan sejarah.
“Bangsa besar seperti Amerika Serikat mewajibkan pelajaran
sejarah bangsa mereka di sekolah-sekolah untuk membentuk karakter
agar bisa mencintai negeri sendiri. Apalagi negeri kita yang sangat
beragam ini,” ujarnya.
Lukman mengatakan, pengertian budaya baginya pada
saat awal masih samar-samar. Namun saat sudah memasuki dunia
kerja, ia menyadari kebudayaan itu perlu sebab kebudayaan dapat
memajukan bangsa. “Ternyata insting ayah saya, kebudayaan itu
tidak bisa dipisahkan dari pendidikan kalau kita mau maju,” tegasnya.
“Budaya sangat penting diserap oleh bangsa kita. Tiap bangsa punya
nilai budaya, kalau bisa dihimpun, ini bisa jadi kekuatan suatu
bangsa,” tambah Oscar.
La Side adalah seorang pejuang juga. Ketika Jepang datang,
53
tahun 1942 La Side mengirim adiknya ke Jawa untuk bertempur.
Tahun 1946-1948 ia melakukan pergerakan perjuangan mengusir
tentara NICA di Makassar. Gara-gara itu, ia sempat dipenjarakan
oleh Belanda. Oscar mengatakan ayahnya adalah Veteran Golongan
A. “Kami lagi mencari nomor register keanggotaan veterannya,”
kata Oscar.
Demikianlah, selain sebagai tokoh pendidikan dan pejuang,
La Side telah mewarnai perjalanan sejarah dan kebudayaan Sulawesi
Selatan bersama tokoh-tokoh lainnya. Karena itulah, ia dianugerahi
Gelar dan Tanda Kehormatan dari Presiden RI untuk Kategori
Satyalancana Kebudayaan.
54
Biodata:
Nama : Haji La Side Daeng Tapala
Lahir : Soppeng, Sulawesi Selatan, Desember 1912
Wafat : 1980
Istri
: Yulia Daeng Tajiur
Pendidikan :
Kwekschool, 1931
Penghargaan :
2017: Gelar dan Tanda Kehormatan dari Presiden RI untuk kategori
Satyalancana Kebudayaan
Kegiatan Organisasi:
• Sekretaris Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan
• Sekretaris/Bendahara Yayasan Pusat Kebudayaan Indonesia di
Makassar
Karya:
• Roman Bajak Laut (Balai Pustaka, 936 dan 1938)
• Wajeng Pajeng Jilid 1-4, Buku pelajaran bahasa Bugis untuk SD di
Sulawesi Selatan (Versluis, 1939)
• Sulo, Jilid 1-4, Kitab bacaan bahasa Bugis untuk SD Tahun 1949
(Versluis, 1949)
• Sejarah daerah Sulawesi Selatan ( Bersama Harun Kadir dan Mukhlis
PaEni)
• Dalle’ Ta’buwa, Jilid 1-4 Kitab bacaan Bahasa Makassar (Versluis,
1948)
• Lontara Pette MalampeE Gemme’na, Jilid 1-3 (Yayasan Lektur Batu
Putih, Makassar, 1970)
55
Anak Agung Gede Sobrat:
Seniman Besar yang Peduli Sesama
Membicarakan seni lukis modern yang tumbuh di Bali, maka
nama Anak Agung Gede Sobrat pantas disebut sebagai salah satu
pelopor. Bersama seniman lukis lainnya, pada 1957, Anak Agung
Gede Sobrat menggerakan pembaruan seni lukis di Ubud dengan
mendirikan organisasi Pita Maha. Organisasi tersebut sekaligus
menandakan kepedulian Sobrat pada dunia seni dan nasib sesama
seniman lukis kala itu.
Anak Agung Gede Sobrat lahir tahun 1912 di
Padangtegal, Bali. Lahir dari pasangan seniman
Anak Agung Putu Yasa dan Jero Gambir, masa
kecil Sobrat—panggilan
akrabnya—dipenuhi
berbagai suasana tarian dan upacara Bali yang
sakral. Ayahnya dikenal masyarakat Ubud
sebagai penari gambuh tersohor di desanya.
Selain dari garis ayah, bakat seninya juga
menurun dari garis ibu, yakni dari kakeknya
yang bernama I Seleseh, seorang undagi—seniman arsitektur
tradisional Bali—tersohor di desa mereka.
Sobrat dikenal sebagai seorang pelukis alam. Sebagai pelukis
dengan anugerah bakat alami. Sobrat kecil sudah pandai membuat
wayang dari bahan apa saja yang ditemuinya di alam. Dia pernah
membuat wayang dari daun kamboja. Lantas, begitu semakin mahir,
dia pun membuat wayang dari bambu. Semua tentang wayang ia
pelajari sebagian besar dari sang kakek dari pihak ibu. Kakeknya
pula yang menempa dasar-dasar kemampuannya sebagai seniman
rupa dan pengetahuan mengenai dunia pewayangan Bali.
56
Awal 1930-an, Anak Agung Sobrat memberanikan diri
bertemu dan belajar pada pelukis Walter Spies dan Marcel Bonnet.
Spies dan Bonnet adallah orang yang dianggap sebagai pelopor seni
rupa modern Bali, yang mengajari dan menyebarluaskan teknik dan
cara pandang modern dalam melukis. Setelah belajar dari Spies dan
Bonnet, Sobrat semakin kuat menapakkan jejaknya sebagai seniman
seni rupa di Bali. Jika sebelumnya Sobrat hanya menggambar wayang,
setelah bertemu Spies dan Bonnet, tema lukisan dan tekniknya
menjadi meluas. Dia mulai menangkap tema-tema keseharian dalam
lukisannya. Sebutlah seperti kehidupan pasar, lukisan potret, penari,
alam pedesaan dan lain sebagainya.
Sobrat juga rajin mengikuti berbagai pameran. Tahun 1958,
dia mengadakan pameran di Yogyakarta atas sponsor Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun 1963, mengadakan pameran di
Jakarta, disusul kemudian (1970) mengadakan pameran di Surabaya
dengan sponsor Lembaga Indonesia Amerika. Tahun 1971, ia
pameran di Jakarta atas sponsor dari Goethe Institute.
57
Pada tahun 1957 hingga 1959 Sobrat menjadi pengajar di
Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta. Ia pun terus
berkarya, hingga akhirnya pada tahun 1980-an Sobrat mendapat
penghargaan dari pemerintah (Wijaya Kusuma dan Dharma
Kusuma).
Sampai kini, karya-karyanya tersebar di berbagai tempat,
seperti di Taman Budaya Denpasar, Bali; Museum Neka dan Ubud
di Bali; Museum Sono Budoyo di Yogyakarta; Tropenmuseum di
Amsterdam dan juga di Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden,
Belanda. Ada juga di Museum Puri Lukisan Ratna Warta, di Singapore
Art Museum (1994) dan di Centre for Strategic and International
Studies (CSIS) Jakarta.
Seniman besar Anak Agung Gede Sobrat menghembuskan
napas terakhirnya di Bali pada 1992. Anak Agung Gede Sobrat
memiliki sembilan orang putra dan putri. Sebagian besar di antaranya
berkecimpung juga dalam dunia seni, baik itu seni rupa, tari atau seni
lainnya.
“Setidaknya semua anak-anak Pak Sobrat punya kecintaan
pada seni. Karena ayah kami ini mengajarkan kearifan seni budaya
secara bijaksana kepada kami, anak-anaknya, juga kepada masyarakat
luas,” kata Oka Katjipta, putra pertama Sobrat di suatu pertemuan di
kediaman keluarga Agung Sobrat, beberapa waktu lalu. Oka Katjipta
ditemani adik-adiknya, yakni Anak Agung Netri dan Anak Agung
Rai Putri menceritakan perjalanan hidup ayah mereka.
Oka menceritakan bagaimana sang ayah sangat peduli pada
kesejahteraan para seniman lukis di Bali. Dia ingat betul saat rumah
mereka sering dijadikan tempat berkumpul para seniman yang
tergabung dalam organisasi Pita Maha. “Saya ingat waktu itu banyak
teman ayah berkumpul membicarakan kesenian. Saya sebagai anak
muda tentu saja sangat tertarik. Saya pun mencoba mengikuti jejak
ayah sebagai seniman, tapi lebih pada pendidikan seni,” ujar Oka.
58
Netri, salah satu putri Anak Agung Sobrat, diakui oleh
keluarga sebagai anak yang paling menuruni bakat ayah mereka
dalam hal melukis. Itu karena Netri seringkali dijadikan objek lukisan
potret oleh sang ayah dan diajarkan secara seksama bagaimana gaya
melukis sang ayah. “Saya senang sekali belajar melukis bersama
ayah kami. Beliau sosok yang humoris dan sangat demokratis dalam
mendidik kami, anak-anaknya,” kata Netri yang kini berprofesi
sebagai guru kesenian di sebuah sekolah negeri di Ubud.
Oka mengaku sangat gembira ketika mengetahui ayahnya
terpilih sebagai penerima Satyalancana Kebudayaan dari Pemerintah
RI. Menurutnya, penghargaan ini adalah pelengkap kebahagiaan dan
kebanggaan keluarga pada sosok mengagumkan ayah mereka.
59
Johanna Maria Pattinaja Seda:
Mencintai Indonesia melalui Kain Tenun
“Sepanjang pengetahuan saya, mulai mengoleksi kain tenun ketika
awal menikah dengan ayah saya, yaitu tahun 1961. Selain memang
tertarik pada tenun ikat, ia mengoleksi kain-kain itu supaya tetap
berada di Indonesia, tidak keluar, ke tangan orang asing. Selain
untuk melestarikan, ia juga punya harapan agar generasi yang akan
datang dapat belajar banyak dari koleksi ibu.”
Begitulah salah satu sisi dari sosok mendiang
Johana Maria Pattinaja Seda—lebih dikenal
khalayak dengan sapaan Bu Jo Seda (12 Mei
1937-23 Maret 2015)—dalam ingatan salah
satu putrinya, Yoanessa Maria Yosea Seda.
Ribuan kain tenun (sebagian besar dari Nusa
Tenggaran Timur, NTT) yang dikumpulkan
Jo Seda dari berbagai pelosok Nusantara itu,
selama berpuluh tahun, kini tersimpan rapi
di lantai dua rumah warisan almarhumah
dan suaminya (Frans Seda, juga sudah berpulang) di kawasan
Pondok Indah, Jakarta Selatan. Kain-kain tenun itu merupakan bukti
sejarah bahwa di Indonesia pernah lahir sosok yang sangat tekun
mengumpulkan kain-kain dari berbagai daerah. Hampir seluruh
hidupnya didedikasikan guna mengumpulkan kain-kain tenun
tersebut.
Sesuai cita-citanya agar kain tenun—terutama yang bermotif
unik dan langka—tetap berada dan tinggal di Indonesia, Jo Seda
tidak pernah hitung-hitungan secara material. Seperti tidak pernah
lelah, ia pergi ke berbagai pelosok di Indonesia dengan biaya sendiri
dari hasil tabungannya. Pernah sekali waktu anak-anaknya bertanya,
“Mengapa Ibu rela mengeluarkan uang yang begitu banyak hanya
untuk membeli satu kain yang sudah robek? Ia pun menjawab bahwa
ia membeli kain itu supaya ia tetap tinggal di Indonesia.”
60
Menurut Yoannessa, proses mengoleksian kain-kain tenun
Nusantara itu mulai dilakukan oleh ibu mereka tidak lama setelah
menikah dengan sang bapak, Frans Seda, pada 1961. Terlebih
setelah Frans Seda diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi Menteri
Perkebunan (1964-1966), kesempatan untuk banyak berkeliling dari
satu daerah ke daerah lain, mengikuti kunjungan sang menteri,
semakin terbuka. Termasuk, tentu saja, keliling ke pelosok NTT,
tanah kelahiran Frans Seda.
“Sudah menjadi kebiasaan orang NTT, baik di Flores, di
Timor, Rote dan sebagainya, ketika ada tamu datang akan diberikan
kain. Jadi, sirih-pinang dan kain itu merupakan cara orang NTT
menyambut tamu yang datang. Di saat Ibu mendampingi Bapak, Ibu
sering diberi kain,” kata Francisca Xaveria Sika Seda—putri sulung
Jo Seda—ikut menimpali perbincangan.
Alhasil, yang tadinya disimpan untuk koleksi sendiri
lama-kelamaan menjadi banyak. Dari sana Jo Seda mulai tertarik
mendalami informasi tentang kain dan secara otodidak ia pun
mempelajarinya. Dengan latar belakang guru SMA Bahasa Perancis
dan Bahasa Jerman di Santa Ursula di kawasan Lapangan Banteng,
Jakarta Pusat, kecintaan tersebut mendorongn Jo Seda untuk terus
belajar mengenal kain dengan baik. “Dia memang dari SD sampai
SMP menyelesaikan pendidikannya di Ursula. Bahkan setelah lulus
pendidikan B1 (1957-1960) ia menjadi guru di sana. Sesudah itu,
tahun 1961, menikah dengan Bapak dan tidak lama setelah mereka
menikah Bapak menjadi pejabat. Dari sana, Ibu membaca sendiri,
mendalami sendiri, mulai dari motifnya yang beragam. Seperti di
Flores sendiri memiliki lima suku yang berbeda, di mana kainnya
walaupun tekniknya sama-sama tenun ikat tetapi motifnya berbeda,”
tutur Fransisca dengan tenang.
Meskipun tidak memiliki sanggar tenun sendiri, Jo Seda
tidak pernah berputus asa. Ia melanjutkan kecintaan pada kain
61
tenun dengan cara membantu para pengrajin di NTT. Ia pun
menjadi donator, selain—tentunya—merawat koleksinya sendiri
selama bertahun-tahun. Ia pun bergelut di Wastraprema, organisasi
“pecinta kain adati”, mulai dari pengurus sampai menjadi ketua
selama dua periode. Selama aktif, ia banyak berinisiatif membuat
pameran-pameran kain bekerja sama dengan pemerintah, termasuk
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, seperti Pameran Kain Ikat
Gringsing Bali. Ketika itu, beberapa pengurus pergi ke sana sendiri,
termasuk Jo Seda, bahkan mereka sampai masuk ke kampungkampung untuk mempelajari langsung dari para penenun. Mereka
kemudian membuat katalognya, selain untuk dikoleksi juga sebagai
persiapan jika di masa depan ada pertanyaan tentang wastra
tradisional dari generasi muda. Jo Seda sangat senang jika sedang
pameran atau di museum, terutama saat anak-anak sekolah datang
untuk melihat-lihat.
Diceritakan pula, sekali waktu Jo Seda ingin mengadakan
pameran kain batik koleksi Sri Sultan Hamengkubuwomo dari
62
Yogyayakarta. Untuk itu. ia rela datang ke Yogya untuk nyekar terlebih
dahulu di Imogiri (tempat pemakaman raja-raja Jawa—Ed) agar kain
yang sakral tersebut dapat dibawa ke Jakarta untuk dipamerkan. Pada
akhirnya ia pun berhasil membawa kain-kain tersebut ke Jakarta.
Dalam pameran itu, dipertontonkan juga bagaimana cara membuat
kain. Jo Seda tidak pernah putus asa dalam upaya mengumpulkan
kain-kain yang khas, meski tak jarang harus melalui berbagai upacara
terlebih dahulu. Ia menyadari bahwa boleh jadi kain yang seperti itu
tidak akan dihasilkan kembali, maka dari itu perlu sesegara mungkin
dikoleksi untuk dilestarikan.
Bukti kecintaan Jo Seda pada kain tenun terlihat dari sikap
dan dedikasi yang ia tunjukkan. Jo Seda bisa berhari-hari menyusun
sendiri alias meng-‘katalogisasi’ kain-kain yang ada secara otodidak.
Ia mau mengorbankan waktu, tenaga dan uang untuk itu. Ia memiliki
passion sangat kuat di sana. Ia juga membangun relasi dengan para
pengrajin untuk mendaur ulang motif-motif yang lama agar dapat
terus terlestarikan. Itulah cara Jo Seda melakukan konservasi tenun.
Guna menambah wawasan terkait tenun, ia mewawancari para
penenun dan mencatat apa saja yang disampaikan terkait dengan
informasi seputar kain tenun tersebut.
Meski sudah memiliki banyak informasi yang sangat kaya
terkait kain tenun, ia tetap saja masih merasa kurang. Anak-anak,
bahkan sang suami tercinta, pernah mengusulkan kepadanya agar
menulis buku, akan tetapi tetap saja ia masih merasa belum cukup.
Itulah barangkali cara dia mendidik dirinya sendiri sekaligus
membantu para penenun agar melestarikan wawasannya. “Ibu
itu mencatat sampai detail, termasuk benangnya dari apa dan
bahan dasarnya dari apa, warnanya dari akar mengkudu dan lain
sebagainya.”, tutur Fransisca Xaveria Sika Seda atau lebih dikenal
dengan panggilan Eri Seda.
Ada cerita menarik saat satu kali Jo Seda pulang kampung
63
bersama sang suami ke NTT. Ketika pulang kampung itu ia datang ke
pasar yang memang buka hanya pada hari-hari tertentu saja. Waktu
itu persis di hari Sabtu, saat pasar itu sedang buka. Jo Seda mengajak
putrinya untuk main ke pasar. Di sana ia berjumpa dengan seorang
penjual yang memakai kain tenun dengan motif yang sangat bagus.
Tanpa menunggu lama, Jo Seda memohon dengan sopan kepada
penjual tersebut untuk dapat menjual kain yang sedang dipakainya
itu. Jo Seda tidak peduli apakah kain itu bekas, dalam arti sudah
dipakai lama atau masih baru, selama ia memiliki motif yang unik
dan jarang dijumpai pasti akan diupayakan untuk didapatkannya.
Begitu pun ketika berkunjung ke daerah-daerah pedalaman,
tak jarang Jo Seda meminta pertolongan kepada para penerjemah
agar ia dapat mudah mendapatkan kain yang diinginkan. Ia
menggunakan tabungannya sendiri untuk membeli kain.
Ia tidak mau bergantung pada sumber donasi apa pun. Ia sengaja
menabung selama puluhan tahun untuk melestarikan kain. Jo Seda
64
jarang membeli perhiasan, bahkan untuk baju saja lebih sering jahit
sendiri dan tidak pernah beli kecuali bahannya.
Selain menyukai kain tenun, Jo Seda juga berhubungan baik
dengan orang-orang yang suka menawarkan barang-barang antik.
Tempat tidur dari Putri China dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon
misalnya, menjadi koleksinya yang lain. Ia selalu beralasan bahwa
dengan membelinya semoga barang-barang tersebut tetap ada di
Indonesia. Ia memiliki cita-cita tinggi, yaitu agar koleksi yang ada
dirapikan dan masyarakat bisa mengenal budaya Indonesia agar
tidak hilang di kalangan generasi muda.
“Pesan bahwa orang itu harus bisa membuat prioritas dalam
hidup, lalu yang dipilih oleh Ibu adalah melestarikan warisan budaya
Indonesia. Dan, itu tidak sembarangan karena harus bersikap jujur,
sederhana serta penuh disiplin,” demikian tutur.
Selain dunia kain tenun, Jo Seda juga dikenal sebagai
aktivis pendidikan. Ia memiliki kontribusi besar dalam pendirikan
Universitas Katolik Atma Jaya pada 1 Juni 1960. Ia pun mampu
menggalang dana dan merintis beasiswa di awal-awal pendirian
kampus tersebut.
Kini warisan berupa tenun yang nilanya tiada terhingga
tersebut sedang dirapikan dan direncanakan akan dijadikan sebagai
museum. Pada saatnya nanti, demikian impian mendiang Jo Seda,
anak-anak sekolah dapat mengunjugi museum tersebut dan belajar
tentang kain tenun di Indonesia. Neneng Iskandar, sahabat Jo Seda,
sedang membantu mewujudkan mimpi Jo Seda tersebut. Semoga
apa yang telah dirintis akan senantiasa abadi dan berkembang dalam
kebaikan bersama.
65
Biodata:
Nama
Lahir
Meninggal
Suami
Putri
: Johanna Maria Pattinaja Seda
: Malang, 12 Mei 1937
: Jakarta, 23 Maret 2015
: Frans Seda (1926-2009)
: 1) Francisca Xaveria Sika Seda
2) Yoanessa Maria Yosea Sipi Seda
: B1 (1960)
: Guru
Pendidikan
Profesi
Prestasi :
1). Melestarikan Kain Ikat
2). Mendirikan Universitas Katolik Atma Jaya
Penghargaan:
Gelar dan Tanda Kehormatan dari Presiden RI Kategori Satyalancana
Kebudayaan
66
Orang Kaya Nizami Jamil:
Perawat Kebudayaan Melayu Riau
Haji Orang Kaya Nizami Jamil—biasa disapa
OK Nizami—meyakini pembinaan kebudayaan daerah akan
mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai upaya
untuk melestarikan dan mewariskan budaya Melayu Riau telah ia
lakukan. Praktisi dan birokrat kebudayaan ini telah menulis 25 buku
mengenai sejarah dan kebudayaan Melayu Riau. Ia juga mencipta
banyak tari langgam Melayu, salah satunya tari makan sirih
Persembahan yang menjadi tarian khas dari Provinsi Riau. Pediri
Lembaga Warisan Budaya Melayu Riau ini berharap pergelaranpergelaran kesenian daerah kembali dihidupkan oleh negara untuk
menjaga rasa kesatuan dan kekayaan bangsa.
Selamat datang tuan dan puan
tepak pengasih dari tuan puteri
doa dan rahmat kami persembahkan
semoga tuan dan puan senang hati
Bait lagu Makan Sirih mengalun diiringi musik
Melayu. Para perempuan menari gemulai,
salah satunya mempersembahkan “tepak
sirih” (kotak kayu berukir tempat menyimpan
sirih) kepada tamu. Siapa sangka tarian itu
diciptakan oleh pemuda Riau yang masih
duduk di bangku SMA: OK Nizami Jamil
bersama rekan sebayanya, Johan Syarifudin.
Keduanya mencipta tarian itu untuk Kongres
Pemuda Riau (1957) dalam semangat mempertahankan kesatuan
Riau dengan NKRI dalam suasana di bawah kekuatan politik PRRI
(Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).
Saat itu Riau masih menjadi bagian dari Provinsi Sumatera
67
Tengah yang ingin melepaskan diri jadi provinsi sendiri. Suasana
ini ditangkap PRRI yang berpusat di Padang dengan menjanjikan
akan memberikan kemandirian Provinsi Riau di bawah negara
PRRI. Masyarakat yang menolak tawaran itu mengadakan Kongres
Pemuda, Pelajar, Mahasiswa Masyarakat Riau di Pekan Baru. OK
Nizami yang saat itu bertanggung jawab sebagai ketua kesenian
untuk perlehatan kongres, bersama Johan menggarap Tari Makan
Sirih untuk pembukaan konggres, karena waktu itu belum ada tari
Melayu yang khas dari Riau. Menurut OK Nizami, tarian ini terilhami
oleh masyarakat Melayu Riau dan Kerajaan Siak yang terbuka dan
menghargai orang yang datang ke tanah mereka, yang berada di
persimpangan antara Timur dan Barat di Selat Malaka dan Laut
China Selatan.
Kedekatan OK Nizami dengan adat Melayu Riau tumbuh sejak
dalam kandungan bunda. Ayahnya, Orang Kaya Muhammad Djamil,
sekertaris pribadi Sultan Syarif Kasim II di Kerajaan Siak. Ibundanya,
E Mariah, dayang-dayang yang juga diasuh dalam adat istiadat
Istana. OK Nizami kecil tumbuh di lingkungan istana. Sejak kanak-
68
kanak, penglihatan dan pendengarannya akrab dengan tarian tradisi
Melayu seperti tarian Zapin dan teater Makyong, yang setiap malam
minggu digelar di istana. Anak bungsu dari 15 bersaudara ini juga
telah menari dan melukis potret pahlawan-pahlawan nasional sejak
kelas II SD. Saat orangtuanya mengirim OK Nizami ke SMP Kurai di
Bukit Tinggi, remaja ini mendalami kebudayaan Minangkabau dan
diangkat menjadi Ketua Kesenian Persatuan Siswa Minangkabau
(PSM). Ia kembali ke Riau saat terjadi pemberontakan PRRI.
Dalam suasana diawasi CPM PRRI, yang saat itu memiliki
kekuatan besar di Riau, strategi berkesenian menjadi pilihan yang
dirasa tepat untuk tetap mendukung persatuan NKRI. Di rumah
orangtuanya di Jalan. Jawa 14, Pekanbaru, OK Nizami mengundang
teman-temanya. Mereka berlatih tari Serampang 12, Mak Inang Pulau
Kampai, Tanjong Katong, Zapin, dan tari Joget. Para penarinya terdiri
atas pemuda-pemudi yang berjuang untuk Provinsi Riau. Saat Riau
bebas dari pengaruh PRRI dan sepenuhnya kembali ke NKRI (1958),
para penari ini lulus SMA.
Meskipun ayahnya mengharapkan OK Nizami melanjutkan
ke Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di Malang, anak
laki-laki satu-satunya ini malah memilih melanjutkan ke Akademi
Seni Rupa Indonesia (ASRI) di YogYakarta. Di samping membuat
spanduk, poster, baleho dan pameran seni rupa, di Kota Gudeg
ini ia membuka kelas tari-tari Melayu dan terus mengembangkan
karya perdananya, tari Persembahan. Di kemudain hari (2009), ketika
ia menjadi pediri Lembaga Warisan Budaya Melayu Riau, tarian
ini dibakukan. Sejarah, filosois dan tata gerak tari ini ia tulis dan
diterbitkan dalam buku Pembakuan Tari Persembahan.
Usai kuliah, OK Nizami kembali ke Pekanbaru. Ia menjadi
guru gambar dan reklame di beberapa sekolah menengah dan
menjadi wakil kepala sekolah di SGA Hang Tuah. Ia pernah
menyelenggarakan pameran seni rupa di garasi rumah orangtuanya.
Di pameran itu pula untuk pertama kali lukisannya dipamerkan di
69
Pekanbaru, bersama pelukis kawakan, antara lain, pelukis naturalis
Bahir Louis dan Tenas Effendy. Berkat pameran karyanya itu ia
dipanggil untuk menjadi pegawai negeri di bidang kesenian. Sejak
1962, berbagai jabatan telah ia jalani, antara lain, Kepala Kantor
Pembinaan Kesenian Perwakilan Departemen P & K Provinsi Riau,
Kepala Kanwil Dikbud Provinsi Riau, dan terakhir menjabat sebagai
anggota DPRD Provinsi Riau.
Dalam rentang waktu itu beberapa upaya untuk melestarikan
budaya Melayu Riau ia lakukan. Karena minimnya dana dari negara
untuk kesenian, ia bersama Tenas Effendy, Toga Hutabarat dan A
Sulaiman Syafei membentuk Badan Pembinaan Kesenian Daerah
yang dapat menggalang dana sendiri. Badan ini telah menghasilkan
karya antara lain orkes simfoni yang dimainkan 80 pemusik Riau,
penulisan Sejarah Cerita Rakyat Riau, Selayang Pandang Antrologi Riau
dan Sejarah Tenun Siak. Mereka juga menciptakan Tari Melayu Riau
yang diambil dari tari Zapin, Lenggang Patah 9, gerak Mak Inang, gerak
Joget dan gerak Silat Pangean, Silat Pedang dan gerak suku agama asli
seperti OLang-olang, Serunting Melayang dan Bukian dalam upacar
per-bomo-an. Ia juga membuat program untuk memberikan pelatihan
tari Persembahan kepada guru-guru SMP dan SMA, baik yang ada di
Riau daratan maupun di pelosok Riau kepulauan.
Untuk mewarisi kebudayaan Melayu Riau pada generasi
selajutnya, bersama rekan-rekannya, ia juga mendirikan Lembaga
Warisan Budaya Melayu Riau. Di samping menciptakan banyak tari
langgam Melayu, OK Nizami juga sudah menulis sekitar 25 buku
mengenai sejarah dan kebudayaan Melayu Riau. Ini belum termasuk
tiga buku yang belum diterbitkan, yaitu buku mengenai arsitektur
Melayu dan perlawanan rakyat Siak melawan Portugis dan Belanda,
yang menurutnya belum banyak direkam dalam dokumentasi sejarah
bangsa Indonesia.
Merawat kebudayaan bangsa menjadi pilihan OK Nizami. Ia
ingin membekali generasi bangsa yang mengenal adatnya sendiri. Ia
70
juga berharap pergelaran-pergelaran antar-kesenian daerah kembali
dihidupkan oleh negara untuk menjaga rasa kesatuan dan kekayaan
bangsa. Menanggapi Gelar dan Tanda Kehormatan Satyalancana
Kebudayaan dari Presiden Republik Indonesia (2017), ia bersyukur
kepada Tuhan dan berterima kasih kepada orangtua juga isteri
terkasih, Hj Yusnalis, yang telah memberi dukungan penuh padanya
untuk berkarya. “Ya Allah, rupanya ada juga orang mengingat
saya. Tak terpikir akan menerima penghargaan ini. Saya berterima
kasih kepada Bapak Presiden dan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Semoga Allah memberkati kita semua untuk membina
kebudayaan Indonesia,” tutur OK di akhir perbincangan.
71
Biodata:
Lahir
: Kampung Dalang Siak Sriindrapura, Riau 21 Desember
1936
Isteri
: Yurnalis
Anak
: OK Pulsiamitra dan Kiapma Dewi OK
Karier :
- Pembina Utama Golongan IV E Pegawai Negeri Sipil
- Kepala Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi
Riau (1993)
- Kepala Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud Provinsi Riau (1975)
- Wakil Ketua Lembaga Adat Melayu (1996 – 2010)
- Andalan Nasional Gerakan Pramuka RI untuk wilayah Sumatera
(2004 – 2009)
- Ketua Kwartir Daerah 04 Gerakan Pramuka Riau (1995-1999 dan
1999-2004)
- Ketua Kesenian MTQ Ke-17 Tingkat Nasional di Pekanbaru (1994)
- Ketua I Badan Pembinaan Kesenian Daerah Riau (1970 – 1975)
- Ketua Kesenian Ikatan Pelajar Riau (IRP) di Jogjakarta (1958 1961)
- Ketua Kesenian Ikatan Pelajar Riau (IRP) di Bukit Tinggi (19561958)
- Ketua Kesenian di Sekolah Mengah Atas Pendidikan Minangkabau
(1956-1958)
Karya Tari :
Banyak tarian langgam Melayu, antara lain:
- Tari Persebaktian
- Tari Joggeng
- Tari Persembahan
Karya Buku :
Sekitar 25 buku, antara lain:
- Sejarah Riau Pra Sejarah
72
-
Selayang Pandang Antropologi Riau
Arsitektur Melayu Riau
Adat Perkawinan Siak, Kepulauan Riau dan Pasir Pangaraian
Tenunan tradisional Riau
Tari Klasik Melayu Riau
Tari Persembahan Dearah Riau (Tari Makan Sirih)
Tari Zapin Siak
Adat Istiaddat Raja Siak dan Rakyatnya
Sejarah Raja Kecik Pahlawan Melayu di Selat Malaka
Siak Negeri Pengabdianku Biografi Orang Kaya Muhammad Djamil
Sekertaris Pribadi Sultan Syarif Kasim II
Penghargaan :
- Gelar dan Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan dari
Presiden Republik Indonesia (2017)
- Anugerah Pengabdian Seni sebagai Budayawan Riau dari Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau (2005)
- Anugerah Bintang Melati Gerakan Pramuka Indonesia dari
Presiden RI (2003)
- Anugerah Bintang Gemilang Presiden dari Pengakap Negeri
Melaka (2001)
- TandaPenghargaan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Riau atas
jasa di bidan kesenian (1961)
73
Syofyani Yusaf:
Hidup untuk Tarian Minangkabau
Jika hidup ibarat matahari, maka Syofyani Yusaf—maestro tari
Minangkabau—telah berada di ujung senja. Tapi justru di situlah
hebatnya. Pada usia 81 tahun, di mana 75 tahun terakhir ia baktikan
hidupnya untuk seni tari, khususnya tari Minangkabau—Syofyani
menerima Satyalancana Kebudayaan dari Presiden Republik
Indonesia. Gelar dan tanda kehormatan ini selain melengkapi
sejumlah penghargaan yang diraih sebelumnya, juga bentuk
apresisasi atas dedikasi dan pencapaiannya sebagai seorang penari,
pencipta tari (koreografer), guru dan pelatih tari dalam rentang
waktu lebih dari tujuh dasa warsa: tanpa putus!
Ani, panggilan akrabnya, belajar menari sejak
rusia enam tahun pada kakek dan ayahnya
yang memiliki grup randai dan juga seorang
guru pencak silat di kota Bukittinggi, Sumatera
Barat. Ia dilatih gerakan-gerakan tari piring
yang juga mengandung gerakan silat, dua kali
dalam seminggu. Pada usia 12 tahun, Sofyani
mulai diajari kakeknya menari piring di atas
pecahan kaca.
Tahun 1953, bersama Yusaf Rahman yang juga adalah
suaminya, ia mendirikan Sofyani Dance and Music Ensemble Group.
Grup ini kemudian melakukan pertunjukan di dalam dan luar
negeri, seperti di Pakistan, Yunani, Italia, Spanyol, Australia, Swiss,
Belanda, Korea, Jepang, Brasil, Amerika Serikat. Seluruh negara
anggota ASEAN sudah mereka jelajahi. Pada tahun 2012, Sofyani
Dance and Music Ensemble Group diundang ke Perancis untuk ikut
berpartisipasi dalam Festival De Montoire.
Kini namanya menjulang di antara dua maestro tari
74
Minangkabau yang telah mendahuluinya, yakni Huriah Adam dan
Gusmiati Suid. Berbeda dengan kedua perempuan koreografer
Minangkabau itu yang hijrah ke Jakarta, dan membesarkan diri di
Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Sofyani memilih ‘hanya’ hijrah
dari Bukittinggi ke Padang. Di Padang ia kemudian membuka sanggar,
lalu berkeliling dunia memperkenalkan tari-musik Minangkabau,
terutama hasil ciptaan dirinya bersama suami, ataupun ciptaan
suaminya sendiri, Yusaf Rahman (alm).
“Karya Huriah, Gusmiati Suid, dan saya sebetulnya dasarnya
sama, yakni silat. Namun karya saya berada di tengah, agak lembut.
Mungkin karena saya mengambil silat dari sisi bunga-bunganya
saja,” ujar Syofyani saat ditemui di sanggarnya, Agustus 2017.
Boleh jadi nada tari agak lembut ciptaan Syofyani sedikit
banyak dipengaruhi oleh musik ciptaan Yusaf Rahman yang
mengiringi karya-karya ciptaannya. Sudah menjadi rahasia umum,
Yusaf dikenal luas sebagai maestro musik Minang, yang telah
berjasa menjadikan instrumen tradisional Minang, talempong, yang
semula bernada pentatonik bisa dikembangkan dalam tangga nada
diatonik. Setelah menjadi alat musik diatonik, talempong pun dapat
digabungkan bersama alat-alat musik modern lainnya dalam satu
komposisi orkestra.Sang suami juga dikenal sebagai pencipta lagulagu Minang yang dinyanyikan Elly Kasim dan Tiar Ramon.
Lalu apa jasa-jasa Syofyani pada Minangkabau khususnya,
Indonesia dan dunia pada umumnya? Pertama-tama tentu saja
adalah karya-karya tarinya yang ia sebut sebagai semi tradisional
Minangkabau. Dalam arti, tradisi yang sudah ia harap dengan
pendekatan modern, akan tetapi roh tradisinya tetap terasa, Di antara
puluhan karyanya, yang boleh dianggap masterpiece di antaranya
“Tari Pasambahan”, “Tari Manggaro”, “Tari Payung (Berbendibendi)”, dan “Tari Piring di Atas Pecahan Kaca”.
Kini “Tari Pasambahan” yang menggambarkan tradisi
75
Minang dalam memulai sebuah acara dengan menyuguhkan sirih
dalam carano itu telah dipentaskan di mana-mana, bahkan sudah
mendunia, tanpa diketahui bahwa Syofyani penciptanya. Bahkan
pelaku tari dari negara tetangga pun pernah mendakunya, bahwa
karya itu ciptaan mereka. Setelah diklarifikasi, mereka pun urung.
Diduga ini terjadi karena Syofyani pernah mengajar di Malaysia,
termasuk mengajarkan tarian itu di sana, yang akhirnya meluas.
“Tari Manggaro” yang menggambarkan keunikan masyarakat
Miangkabau mengusir burung dengan bunyi-bunyian dari alat
bambu (dakak-dakak), pernah ikut festival di Jepang. Bahkan, belum
lama ini, digunakan sebagai materi ajar program “Beasiswa Seni
Budaya Indonesia (BSBI)” Kementerian Luar Negeri selama tiga
bulan, melibatkan 11 pemuda dari Bulgaria, Kamboja, Republik Ceko,
Kazakstan, Fiji, Perancis, Jepang, Kyrgistan, Myanmar, Polandia,
Kazakstan, dan Indonesia.
“Tari Piring di Atas Pecahan Kaca” merupakan andalan
yang selalu ia tarikan sendiri semasa masih muda. Tarian yang
menggambarkan
kehidupan masyarakat Minangkabau dalam
bercocok tanam ini, gerakannya banyak meniru gerakan mencangkul,
76
membajak, menanam, dan lain sebagainya. Tidak sembarang orang
bisa menarikannya karena harus memakai doa agar selamat saat
menginjak-injak beling.
Sumbangan lain Syofyani, ia telah menciptakan metode latihan
tari berdasar huruf , ibarat notasi Silaban dalam musik. Huruf-huruf
itu menyerupai gerak dasar bunga silat bagi karya-karyanya. “Metode
Syofyani” ini, menggunakan 13 huruf yang sebagian besar mati, yaitu
E,F,G,K,N,P,Q,R,S,T,W,Y,Z. Ia bercerita bahwa para pengajar tari di
ISI Padang Panjang—juga para murid-murid di sanggarnya—telah
mengetahui metodenya ini dan mempraktikannya. Dan, mengingat
usia, maka sudah saatnya Syofyani—tentu dengan bantuan keluarga
atau kalau perlu pemerintah—mematenkan metode tarinya ini.
Sebab, metodenya ini tidak hanya mahkota, akan tetapi juga jalan bagi
penyebaran tarian Minangkabau, terutama karya-karya ciptaannya.
77
Biodata:
Nama asli
: Sofyani Bustamam
Lahir
: Bukittinggi, 14 Desember 1934
Pasangan
: Yusaf Rahman (alm)
Anak
: Yosi, Yovi, Yosa, Soni, Sandra, Sofi Yuanita
Karier :
- Mengelola Sanggar Tari dan Musik Syofyani
= Dosen Jurusan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Padang
(1975-sekarang)
= Dosen Koreografi Tari Jurusan Sendratasik IKIP Padang (19771995)
- Dosen Budaya pada Univrsitas Malaya-Malaysia (1978-1980)
- Pengajar Tari Taman Kebudayaan Serumpun
- Aktif terlibat dalam Festival Kebudayaan Serumpun Melayu di
Padang (2003)
Alamat :
Jln Nuri No 7, Air Tawar Barat, Padang, Sumatera Barat
Penghargaan:
- Lifetime Achievement Award pada West Sumatera Tourism
Award (2009)
- 63 Tahun Berkarya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Sumatera Barat (2008)
- Sebagai Jasawan dari Gubernur Sumatera Barat, atas
pengabdiannya yang tak henti dalam mengembangkan kesenian
(1997)
- Pengabdian Masyarakat Cemerlang (PMC) dari Yang Dipertuan
Agung Malaysia (1996)
- Gelar dan Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan dari
Presiden RI (2017)
78
Kategori Pencipta, Pelopor,
dan Pembaru
79
80
Addie MS:
Simfoni Musik dan Perayaan Keragaman
------------------------------------------------------------------------------------------Di tengah suasana politik di Ibu Kota tengah menuju titik kulminasi,
penuh ketegangan di tingkat akar rumput sebagai buntut dari
kontestasi pemilihan gubernur DKI Jakarta, tiba-tiba musisi Addie
MS menggelar pertunjukan orkestra. Bukan di gedung pertunjukan
yang megah dengan tiket selangit, akan tetapi justru di hadapan
ribuan warga yang memadati halaman Balaikota. Pertunjukan itu
sendiri ibarat oase yang senantiasa mengeluarkan kesegaran di
tengah padang pasir yang sedang kering kerontang.
------------------------------------------------------------------------------------------Addie MS, pria yang akrab berkacamata itu
menuturkan kisahnya dengan gamblang. Apa
yang dipertunjukkannya kala itu bukanlah
untuk mendukung salah satu kandidat, akan
tetapi didorong oleh kekuatan dari dalam yang
bersumber dari hati nurani bahwa ada yang
tidak beres pada perpolitikan kala itu. Ia harus
menyampaikan ke publik, tentu dengan caranya
yang apik, bahwa masyarakat Indonesia meski
berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Keragaman pun dirayakan lewat
lantunan simfoni musik yang begitu indah.
Addie MS adalah seorang musisi fenomenal, bahkan
legendaris. Ia selalu mengerjakan apa pun berdasarkan panggilan hati
nuraninya. Banyak hal yang bisa digali dari pria kelahiran 7 Oktober
1959 ini, yang bernama lengkap Addie Muljadi Surimaatmaja, terkait
perjuangannya menggeluti dunia musik. Meski sang ayah, Bandi
Sumaatmadja, pernah melarangnya menggeluti dunia musik dan
lebih mendorongnya untuk mendalami bidang lain, tapi Addie MS
81
remaja tetap bersikukuh untuk menekuni dunia musik. Sebab, ia
merasa dunia musik adalah pilihan hidupnya. Di sanalah ia merasa
menemukan kebahagiaannya yang sejati.
Meski sempat mengalami penolakan dari sang ayah yang
berlatar belakang pengusaha, Addie MS tidak sampai membenci
ayahnya. Ia bahkan menjadikan penolakan itu sebagai pemicu
dan pendorong hidupnya di dunia musik. Ia yakin melalui musik
akan mengantarkannya menuju cakrawala dunia yang begitu luas.
Keyakinan tersebut diwujudkan dalam kesungguhannya belajar
musik. Ia memang sempat belajar piano klasik langsung dengan
Mrs Rotti. Namun, yang menarik, kemampuan bermusik Addie
justru lebih banyak ia peroleh dengan belajar dengan otodidak. Ini
bukti bahwa kekuatan jiwa Addie MS begitu kuat untuk mendalami
musik. Sebagaimana umumnya pembelajaran dengan cara otodidak,
hanya yang memiliki jiwa yang kuat, tegar dan besar-lah yang bisa
melaluinya.
82
Untuk memperhalus bakat musiknya, Addie MS pernah
mengikuti beberapa kursus singkat, seperti Recording Engineering
Workshop di Ohio, Amerika Serikat (1984) dan Conducting
Workshop yang diselenggarakan oleh American Symphony Orchestra
League di Los Angeles, AS (1995). Dalam workshop tersebut ia
mendapat bimbingan langsung dari Jorge Mester, konduktor
Pasadena Symphony Orchestra saat itu, dan Raymond Harvey,
konduktor Fresno Philharmonic Orchestra.
Berangkat dari pengalaman belajar tersebut, bakat Addie MS
terus terasah dan kian terang benderang. Pada tahun 1979, ia mulai
merintis kariernya dengan menjadi arranger dan produser untuk
album rekaman penyanyi-penyanyi pop. Artis-artis ternama seperti
Vina Panduwinata, Utha Likumahuwa, Chrisye maupun Krisdayanti
tak dapat lepas dari pengaruhnya. Dengan kelihaiannya memainkan
balok-balok piano, Addie MS mampu menunjukkan kepada dunia
83
bahwa ia merupakan arranger dan musisi yang bertalenta tinggi. Ia
menjadi arranger bukan hanya untuk artis Indonesia, tetapi juga untuk
artis dari negara lain, seperti Suzanne Ciani dari Amerika Serikat
Addie telah meraih tiga Golden Trophy BASF Awards sebagai
penata musik terbaik, du Golden Records untuk album Vina
Panduwinata, dan dua Silver Records untuk album Chrisye. Addie
pernah membuat tiga orkestrasi dalam album Dream Suite karya
Suzanne Ciani, yang dinominasikan dalam Grammy Awards ke-38
sebagai The Best New Age Album. Pengalamannya dalam dunia musik
antara lain sebagai penata musik dan konduktor untuk lagu “Sayang”
ciptaan Titik Hamzah pada Festival Internacional de la Cancion, Chili,
pada tahun 1983 serta music director untuk BASF Awards selama 7
tahun berturut-turut. Pada tahun 2005 Addie dipercaya memimpin
Manila Philharmonic dalam acara Miss ASEAN di Jakarta. Setelah 15
tahun meninggalkan jalur musik pop dan berkonsentrasi di musik
simfonik, Addie mulai berkiprah kembali di musik pop saat tampil
sebagai music director dan konduktor dalam konser tunggal Vina
Panduwinata, Viva Vina pada tahun 2006.
Pada tahun 1991, Addie bersama Oddie Agam dan pengusaha
Indra Usmansjah Bakrie mendirikan Twilite Orchestra, sebuah ‘pops
orchestra’, yakni orkestra simfoni yang tidak hanya memainkan
musik klasik saja, akan tetapi juga musik film, drama musikal, musik
pop, dan music tradisional yang diaransemen secara simfonik. Tahun
1992, tepatnya bulan Februari, Twilite Orchestra sukses menggelar
konser dengan David Foster di televisi swasta RCTI.
Pada tahun 1998, Addie bersama Youk Tanzil dan Victorian
Philharmonic
Orchestra
membuat
album
rekaman
Simfoni
Negeriku di Australia, di mana untuk pertama kalinya lagu-lagu
nasional dan perjuangan Indonesia diaransemen secara simfonik
dan direkam dalam format CD dan kaset. Bersama Twilite Orchestra,
84
di tahun 2004 ,Addie merilis album La Forza del Destino, sebuah
album rekaman simfonik pertama di Indonesia yang menampilkan
karya-karya musik simfonik klasik Barat dalam bentuk album CD.
Semangat Addie dalam memasyarakatkan musik simfonik tidak
berhenti di rekaman simfonik lagu-lagu perjuangan dan klasik Barat
saja. Pada tahun 2012, Addie MS membuat rekaman lagu-lagu daerah
Indonesia yang digubah secara simfonik, bersama Garuda Indonesia.
Album rekaman yang diberi judul ‘The Sounds of Indonesia’ ini mampu
bertahan beberapa hari di urutan teratas di top album, iTunes.
Addie MS juga menjadi penata musik sejumlah film
dan pertunjukan, antara lain Biola Tak Berdawai, Dealova, Cinta
Pertama, In the Name of Love, Summer Breeze, Sepuluh dan musik
untuk drama musikal Opera Anoman. Pada tahun 2003, Addie
juga diberi kepercayaan oleh Panglima TNI untuk menciptakan
lagu Mars dan Himne TNI. Banyak juga perusahaan dan organisasi
yang memercayakannya untuk menciptakan atau mengorkestrasikan
lagu tema atau mars mereka, seperti Garuda Indonesia, Pertamina,
Summarecon, Agung Podomoro, Sharp, Kading, dan lainnya.
Sejak
tahun
1998,
Addie
bersama
Twilite
Orchestra
melaksanakan misi edukasi melalui konser di berbagai sekolah
maupun universitas. Bersama ‘Sampoerna untuk Indonesia’, Twilite
Orchestra mengadakan konser tahunan untuk mahasiswa di Istora
Senayan dan di beberapa universitas dengan nama Musicademia yang
telah dimulai sejak tahun 2000 sampai 2010. Masih dengan misi
yang sama, Addie mendirikan Twilite Youth Orchestra pada tahun
2004, yakni sebuah orkes remaja yang tampil di sekolah-sekolah
maupun di konser umum. Sebelumnya, Addie MS juga membentuk
Twilite Chorus pada tahun 1995. Pada tahun 2009, Addie bersama
Twilite Orchestra, Twilite Chorus, CIC Choir, dan beberapa solis
mempergelarkan konsernya di Sydney Opera House, Australia, yang
85
merupakan konser orkestra simfoni Indonesia pertama yang tampil
di concert hall bergengsi tersebut. Twilite Orchestra juga menjadi
orkes simfoni Indonesia pertama yang tampil di Eropa ketika pada
tahun 2012 berkonser di Bratislava, Slowakia, dan di Berlin, Jerman,
atas prakarsa Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, KBRI
di Slowakia dan KBRI di Jerman. Di sana Addie MS memimpin 57
musisi dan 40 penyanyi Twilite Chorus.
Kiprak Addie MS di dunia musik begitu banyak. Ia
mengembangkan musik, melakukan inovasi sekaligus edukasi bagi
masyarakat Indonesia, yang merupakan cerminan bahwa Addie MS
adalah sosok anak terbaik bangsa Indonesia. Ia mengembangkan
musik melampaui kepentingannya sendiri. Ia bermusik untuk
Indonesia yang lebih baik. Saat ini Addie MS hidup berbahagia
dengan sang istri, Memes, yang juga seorang penyanyi, dan anak-anak
tercintanya. Sesekali Addie MS membuat pertunjukan musik untuk
menunjukkan bahwa harmoni dalam musik merupakan harmoni
juga untuk jiwa dan itu berarti juga harmoni untuk Indonesia.
86
Biodata:
Nama : Addie Muljadi Sumaatmadja
Lahir : 7 Oktober 1959
Profesi : Konduktor, Komponis, Arranger dan Produser
Istri
: Memes
Anak : 1. Kevin Aprilio
2. Tristan Juliano
Album rekaman
• Opera Anoman (1998) - Yasawirya Indah Megamedia
• Simfoni Negeriku (1998) - Aquarius Musikindo
• La Forza Del Destino (2004) - Aquarius Musikindo
• The Sounds of Indonesia (2012) - Platinum Records
Musik film (film scoring)
• Biola Tak Berdawai (2003) - Warner Music Indonesia
• Dealova (2005)
• Cinta Pertama (2006)
• Summer Breeze (2008)
• In The Name of Love (2008) - Aquarius Musikindo/TASK
• Sepuluh (2009)
Penghargaan
• Anugerah Kebudayaan 2017 Kategori Pencipta, Pelopor dan
Pembaru
• Tiga Golden Trophy BASF Awards sebagai penata musik terbaik
• Dua Golden Records untuk album Vina Panduwinata,
• Dua Silver Records untuk album Chrisye.
• Album Dream Suite karya Suzanne Ciani, yang dinominasikan
dalam Grammy Awards ke-38 sebagai The Best New Age Album.
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Addie_M.S.
87
Marlupi Sijangga:
Suntik Tari Balet dengan Budaya Indonesia
Sampai saat ini tari balet masih dicap sebagai tari dari negara asing.
Anggapan ini tidak dipungkiri oleh maestro tari balet Marlupi
Sijangga. Namun, pendiri Marlupi Dance Academy itu memiliki
misi luhur dari sebuah tari balet, yakni memasukkan unsur budaya
Indonesia ke dalamnya.
Misi itu muncul seperti pada beberapa karya
perempuan kelahiran Surabaya, 27 Maret 1937,
itu. Di antaranya adalah pada komposisi berjudul
“Kabayan” (2016). Tari ini menceritakan orang
yang mencari harta karun. Tepatnya adalah
harta karun peninggalan orangtuanya.
’’Cerita si Kabayan kita kembangkan
sendiri,’’ jelasnya. Kemudian dimunculkan
dalam gerak maupun busana yang dikenakan
para ballerina anak didiknya.
Menurut Marlupi, munculnya tari balet berjudul “Kabayan”
itu cukup menghenyak. Baik itu di kalangan masyarakat umum
maupun pecinta tari balet. Sebab, Marlupi tidak membawakan tari
balet yang mainstream seperti sleeping beauty dan sejenisnya. Dia
berpegang teguh bahwa tari, termasuk balet, adalah sebuah kesenian
universal. Artinya, meski gerak-gerak dasarnya berasal dari luar,
tetapi sebagai sebuah karya koreografi ia bisa diramu dengan budaya
Indonesia. ’’Mengapa? Karena saya cinta Indonesia,’’ jelas ibu dari
Fifi Sijangga, yang ikut mengelola sanggar balet Marlupi Dance
Academy.
Marlupi lantas mengisahkan awal mula sampai ia ’’tercebur’’
di dunia seni tari balet. Dia pertama kali mengetahui apa itu tari
88
balet ketika sekolah di SMP Lian Huo High School, Surabaya. Saat
itu Marlupi ikut kegiatan berenang. Sementara di atas kolam renang
ada aula khusus untuk siswa—kebanyakan anak-anak keturunan
Belanda—latihan menari balet Dan, di sanalah semua bermula. ’’Saya
penasaran, mereka menari apa,’’ tuturnya.
Awalnya Marlupi sembunyi-sembunyi ikut kegiatan tari
balet di sekolahnya. Juga juga untuk membayar uang kursus tari
balet itu, dia juga membayar secara sembunyi-sembunyi karena takut
ketahuan dan dimarahi oranguanya. Namun, belakangan, bungsu
dari enam bersaudara ini akhirnya mendapatkan restu dari orangtua
untuk mengikuti latihan tari balet di sekolah.
Ternyata Marlupi saat itu menunjukkan talenta dalam menari
balet. Tidak lama kemudian, masih di bangku kelas I SMP, dia diangkat
menjadi asisten pelatih tari balet. Beberapa tahun kemudian, pada
awal 1960-an, dia lantas berinisiatif membuka kursus balet sendiri.
Awalnya menyewa sebuah gedung di Surabaya. ’’Awal buka, siswa
yang daftar sepuluh anak,’’ tuturnya. Karena gedung yang dia sewa
kondisinya terbatas, kegiatan latihan tari balet sering terganggu
kondisi alam, seperti kepanasan bahkan sering juga kehujanan.
89
Dalam mengembangkan tari balet ber-“citarasa” Indonesia,
boleh dibilang Marlupi belajar secara otodidak. Memang awalnya
Marlupi mempelajari metode-metode dasar pengajaran balet pada
Elsie Tjiok San Fang dan Farida Oetoyo. Tapi, dalam perkembangan
kemudian ia pun banyak menggali dari unsur-unsur tradisi
Nusantara.
Marlupi adalah pembelajar sejati. Semangatnya untuk
terus menimba pengetahuan, terutama dalam hal tari balet, tak
pernah surut. Usia tak menghalanginya untuk terus belajar dan
belajar. Di usia setengah abad, ketika Marlupi Dance Academy
mulai berkembang, ia memutuskan menambah wawasan dengan
mempelajari teknik-teknik tari balet mutakhir ke pusat-pusat tari
balet dunia. Sejumlah akademi balet di Hogkong, Madrid (Spanyol),
New York (AS), Zurich (Swiss), dan Toronto (Kanada) ia datangi
guna mengikuti kursus-kursus singkat bagaimana teknik belajar
sekaligus mengajarkan balet. Bahkan, di usia kepala enam, Marlupi
menyempatkan mengikuti kursus mengajar balet di Royal Academy
of Dance, London, dan mendapat sertifikat sebagai pengajar tari balet
internasional.
Berkat ketekunan mengelola sanggar tari balet yang dia
dirikan, Marlupi Dance Academi—yang semula hanya berupa kursus
biasa bernama Marry—itu pun berkembang pesat. Saat ini jumlah
siswanya di Surabaya saja sudah mencapai 1.500-an anak. Mereka
berlatih di 18 unit studio. Sementara di Jakarta, siswanya berjumlah
2.500-an anak. Total studio latihan tari balet di Jakarta bejumlah 17
unit.
Menurut Marlupi, dengan belajar balet ada banyak manfaat
yang bisa didapatkan. Di antaranya adalah membuat postur badan
tetap bagus. Selain itu juga menjaga kelenturan tubuh. Dan, yang
tidak kalah penting, dengan belajar balet anak-anak dilatih untuk
disiplin. ’’Idealnya berlatih balet, menurut saya, mulai usia tiga
tahun,’’ ujarnya di akhir perbincangan.
90
Biodata:
Nama
: Marlupi Sijangga
Lahir
: 27 Maret 1937
Suami
: Wiliyanto Sijangga
Anak :
Mar Dwatmaja Sijangga, Mar Dwatmadji Sijangga, dan Fifi Sijangga
Prestasi/Penghargaan :
1.
Best Executive Award dari Singapura (1982)
2.
Adhi Karya Award (1993)
3.
Penghargaan Karier dan Prestasi Pria dan Wanita (1996)
91
Hafiz Rancajale:
Membangun Karakter Lewat Film Dokumenter
Hafiz Rancajale tertarik pada dunia film sejak masih duduk
di bangku kuliah. Pergaulannya dengan teman-teman sineas
menghadirkan rasa ketertarikan luar biasa dan nuansa baru dalam
alam pikirannya. Dia pun merasa perlu terus belajar dan mendalami
dunia film meski saat itu dia mengambil Jurusan Seni Rupa di
Institut Kesenian Jakarta (IKJ)
Bagi saya seni itu bermakna luas. Dan, film
adalah salah satu yang menurut saya sangat
menarik karena medianya yang juga luas. Dalam
film ada suara, gerak, ada dialog, seni peran
dan kerja kreatif lainnya. Di situ saya merasa
tertantang untuk terus menggeluti dunia film,”
ujar pria nyentrik yang akrab disapa ‘Abah’
oleh seniman-seniman muda asuhannya.
Hafiz Rancajale lahir di Pekanbaru, 4
Juni 1971. Dia menyelesaikan studi seni murni di IKJ pada tahun 1994.
Dialah seniman, kurator, pendiri Forum Lenteng dan Ruangrupa
Jakarta. Juga Pemimpin Redaksi www. jurnalfootage.net. Dia juga
Direktur Artistik pada OK Video Jakarta International Video Festival
(2003- 2011). Hafiz juga pernah menjabat sebagai Ketua Komite Seni
Rupa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Kiprahnya dalam dunia seni film dokumenter juga sudah
tidak diragukan lagi. Dia telah diundang dalam berbagai festival
film internasional sebagai narasumber maupun penilai. Di antaranya
festival film Oberhausen, Glasglow, dan Dubai. Juga pada ajang
pameran seni rupa tingkat internasional, antara lain, Istambul
Biennale dan Images Festival Toronto. Hafiz juga seorang pelopor
festival film eksperimental Indonesia, Arkipel, sejak 2013u. Perannya
92
yang terbaru adalah mengadakan Arkipel Penal Colony - 5th Jakarta
International Documentary and Experimental Film Festival 2017 di
Goethehaus Jakarta, pertengahan Agustus 2017.
Kecintaan utama Hafiz pada seni film, khususnya film
documenter, terletak pada aspek kepekaan sosial. Mengapa dia
memilih berkarya di jalur dokumenter, salah satunya adalah adanya
ketulusan dan kejujuran yang tertangkap dalam balutan seni yang
indah tapi sederhana. “Menurut saya film dokumenter itu jujur
menangkap fenomena. Bukan berarti film jenis lain seperti film
panjang itu tidak jujur atau tidak lebih baik, akan tetapi ini soal selera
berkarya saya. Saya merasa di sinilah peran kita sebagai seniman
lebih terasah. Kepekaan sosial ditunjukkan dalam adegan-adegan
tanpa rekayasa. Luar biasa!»imbuh Hafiz.
Hafiz mengaku tidak sendirian di jalur film dokumenter. Saat
dirinya berinisiatif mendirikan komunitas-komunitas seni, termasuk
Forum Lenteng, banyak yang sependapat dengannya. Seperti gayung
93
bersambut, kehausan pada seni membuat film dokumenter telah
dirasakan menyatukan antarsesama anggota komunitas.
«Kami di Forum Lenteng memiliki keresahan yang sama,
yakni bagaimana kami semua bisa membuat film yang bermanfaat
buat orang banyak. Tidak sekadar menghibur, tetapi sebisa mungkin
juga menginspirasi,» kata dia. Forum Lenteng itu sendiri berdiri
tahun 2003. Forum kajian seni rupa dan film itu sendiri dimulai dari
diskusi-diskusi kecil di tempat tinggal Hafiz saat itu di kawasan
Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Dari perdebatan dan argumentasi
yang lahir di setiap pertemuan, muncul ide-ide segar, yang lantas
ditangkap sebagai sebuah cikal bakal karya seni yang unik dan
bermuatan kritik sosial.
Forum Lenteng serius membina bakat-bakat baru di dunia
film dokumenter. Keseriusan itu membuahkan hasil. Sudah ratusan
film dokumenter dihasilkan dan menang dalam berbagai lomba film
dokumenter dunia. Salah satu karya populer dan telah melanglang
buana ke berbagai festival dunia adalah film dokumenter berjudul
‘Dongeng Rangkas’. Film ini adalah hasil kolaborasi penyutradaraan
lima anggota Forum Lenteng. Film ini diputar juga di Copenhagen,
Denmark, 2011, dalam festival film dokumenter bergengsi dunia
bernama CPH Dox.
Lebih dari itu, kritik sosial yang dibangun Forum Lenteng
banyak diminati anak-anak muda. Menurut Hafiz, anak-anak muda
saat ini memang sangat membutuhkan institusi yang menerima alam
pemikiran mereka. Hafiz menyambut senang keingintahuan senimanseniman muda tentang apa saja yang terkait dengan perkembangan
dunia seni, media social, sampai seluk beluk media massa.
«Budaya kritik itu harus ditanamkan pada generasi muda.
Sebab, kritik yang lahir dari ketidakpuasan akan sesuatu itu juga
sesungguhnya adalah filter bagi setiap bentuk karya yang ingin
memasuki alam pikiran mereka,» kata Hafiz.
94
Forum Lenteng kini beranggotakan lebih dari 60 orang.
Mereka terdiri atas berbagai latar belakang sosial dan pendidikan.
Tidak hanya orang-orang yang bergelut di dunia seni film, tapi juga
anak-anak muda yang menganggap perlu untuk tahu lebih banyak
soal film-film yang dianggap baik. Setiap saat ada saja pembahasan
soal seni rupa dan seni film di Forum Lenteng. Kini Hafiz memiliki
tempat yang cukup nyaman di bilangan Tanjung Barat, di selatan
Jakarta, agar siapa saja yang mau belajar tentang film bisa datang.
Kadang dia menghadirkan narasumber yang cukup punya nama di
dunia film untuk memberi masukan-masukan pengetahuan yang
segar.
«Di pentas arkipel saya sangat mendorong anak-anak muda
untuk bergelut secara serius dalam dunia pembuatan film. Kecilkecilan tapi serius. Mungkin masih bersifat eksperimen, tapi kita
semua lahir dari semangat menghadirkan film bermutu,» kata Hafiz.
Sampai saat ini sudah banyak kalangan yang mendatangi
Forum Lenteng untuk belajar bersama. Tidak hanya di Jawa, bahkan
95
sampai ke Sumatera, Sulawesi dan Papua. Dia melihat animo untuk
membuat film dokumenter sangat tinggi. Apalagi untuk kepentingan
sejarah. Lewat film, berbagai pencatatan sejarah atau satu kejadian
tertentu dapat tertata apik dan menarik.
Atas semua sumbangsih tersebut, terutama karena perannya
yang luar biasa sebagai pencipta seni rupa dan seni video, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mencatatkan nama Hafiz Rancajale
sebagai salah satu penerima Anugerah Kebudayaan 2017 kategori
Pencipta, Pelopor dan Pembaru . «Harapan saya masih saja sama.
Saya ingin sekali punya satu institusi pendidikan khusus film. Saya
dan semua insan film tentu saja ingin sekali film-film kita berjaya di
negeri sendiri, bahkan di dunia. Dan, semua itu dapat tercapai kalau
kita punya generasi pembuat film yang andal,» ujar Hafiz.
96
Hasnan Singodimayan:
Jebolan Pesantren yang Getol Perbaiki Citra Banyuwangi
Banyuwangi semakin populer bagi masyarakat Indonesia. Selain
sejumlah destinasi wisatanya yang keren, budaya atau kearifan
lokal di dalamnya juga menjadi perhatian masyarakat. Juga
termasuk citra Banyuwangi sebagai kota santet.
Budayawan kawakan asli Banyuwangi, Hasnan
Singodimayan, memiliki keprihatinan yang
dalam terhadap citra tanah kelahirannya itu.
’’Banyuwangi sebagai kota santet, sebagai pusat
sihir, dan sebaginya, benar-benar membuat
saya prihatin,’’ kata Hasnan.
Beragam cara dia lakukan untuk
’’memperbaiki’’ atau meluruskan citra kota
Blambangan itu. Di antaranya adalah melalui
tulisan atau buku. Seperti buku berjudul Kerudung Santet Gandrung
yang dia tulis pada 2003, di dalamnya Hasnan membeber apa itu
santet. Dan saat ditemui di kediaman di daerah Singodimayan,
Hasnan yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Darussalam,
Gontor itu menceritakan secara panjang lebar tentang santet.
Menurut pria kelahiran Banyuwangi, 17 Oktober 1931, ini, banyak
orang menganggap santet itu sama dengan sihir. ’’Padahal beda,’’
tegasnya.
Hasnan menuturkan bahwa sihir adalah ilmu hitam yang
tujuannya untuk mencelakaan orang. Bahkan bisa sampai untuk
membunuh orang. Adapun santet tidak seperti itu. Santet bukan
digunakan untuk membunuh orang. Sampai saat ini diakuinya masih
banyak orang-orang di Banyuwangi yang memiliki keahlian santet.
Menurut Hasnan, santet lebih banyak digunakan untuk
motif asmara. Misalnya ada seorang cowok yang menaksir cewek,
97
tetapi dari pihak cewek tidak menerima bahkan mencemooh. Maka,
si cowok tadi bisa minta tolong kepada ahli santet untuk melempar
santet Jaran Goyang ke perempuan itu. Jika santet Jara Goyang itu
berhasil, si perempuan tadi mendadak terpikat pada cowok yang
sempat dia tolak bahkan dia cemooh. ’’Sekalipun, misalnya, si
perempuan itu sudah punya suami,’’ jelas Hasnan.
Dia begitu antusias menceritakan soal santet di Banyuwangi.
Contoh lain ada santet yang bisa membuat sebuah rumah tangga
ribut terus. Ada masalah dikit saja, sudah jadi pemantik cekcok
keluarga. Lalu ada juga santet yang dapat membuat seseorang tidak
betah di dalam rumah. Selalu ingin keluar rumah, meski di rumah
sudah ada anak, suami, atau istri. Menurut Hasnan, santet sudah
menjadi kearifan lokal di Banyuwangi. Cukup sulit untuk bisa
menghilangkan 100 persen santet di daerah ini. Yang perlu dilakukan
adalah meluruskan pemahaman masyarakat bahwa santet itu bukan
sihir.
Sebagai budayawan, Hasnan cukup produktif di bidang tulismenulis. Selain menulis sedikitnya tujuh buku, dia juga aktif menulis
98
cerita pendek, cerita bersambung, dan sejumlah artikel di media
masa. Selepas menuntut ilmu di Gontor, sekitar tahun 1960-an, dia
bergabung dan bekerja di koran Terompet Masyarakat, Surabaya.
Biodata:
Nama
Lahir
Istri
: Hasnan Singodimayan
: Banyuwangi, 17 Oktober 1931
: Sayu Masunah
Anak :
Buyung Pramunsyie, Bujang Pratikno, Bonang Prasunan, Rundung
Prahara, Capung Prihatini
Penghargaan :
- Penghargaan Gubernur Jatim bidang Budaya (2003)
- Pemenang II penulisan puisi BBC London (1980)
- Pemenang III penulisan cerpen Dewan Kesenian Surabaya (1973)
99
Irwansyah Harahap:
Musik sebagai Dunia Ekspresi dan Pengetahuan
Berkat ketekunan Irwansyah Harahap, musik tradisi Batak
hadir berpilin dengan orkestra kelas dunia asal Spanyol. Musik
tradisi Batak dan Melayu juga menjadi akar dan warna komposisi
pada karya-karyanya yang bergenre world music. Karya musik
dosen Universitas Sumatra Utara ini pun telah mendapat tempat
di panggung-panggung internasional dari Asia hingga Amerika
Serikat.
Lima puluh komposisi dan tiga buku tentang
pengetahuan musik telah ia lahirkan. Musik
telah menjadi kehidupannya. “Musik adalah
cara ungkap saya kepada Pencipta, kepada
sesama, dan kepada alam di mana saya hidup,”
tutur Ketua Jendela Toba ini.
Irwansyah Harahap lahir dari keluarga
besar penyuka musik. Anak bungsu dari
pasangan Oemar Harahap dan Djarundjung
Tagon Siregar ini bermain musik sejak umur lima tahun. Irwan kecil
yang tumbuh di perkebunan, menikmati malam sunyi bersama
11 saudaranya dengan bermain musik hingga mereka dapat
membentuk band. Satu peristiwa yang membuatnya berhidmat
dengan dunia musik, yakni saat ia kelas V SD. Pada upacara bendera
hari Senin, kepala sekolah mengumumkan bahwa sekolah mereka
mendapatkan sumbangan alat musik angklung. Sang kepala sekolah
pun menyatakan bila ada siswa yang dapat memainkan angklung
diminta maju ke depan dan memainkannya.
Irwansyah yang belum pernah belajar angklung memberanikan
diri memainkannya. Dengan modal melihat angka nada pada
100
angklung, saat itu ia pun memainkan lagu Ibu Kita Kartini. Lapangan
upacara menjadi senyap dan tepuk tangan meriah terdengar di akhir
permainan. “Sejak itu musik menjadi obsesi saya,” tutur Irwansyah.
Menginjak SMP dan SMA, Irwansyah banyak menghabiskan
waktu di kamar untuk bermain musik. Pendalamannya pada musik
tradisi Batak ia mulai sejak kuliah di Fakultas Sastra (sekarang
Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Sumatera Utara (USU). Di masa
itu, ia berguru kepada Marsius Sitohang, seorang maestro musik
Batak, untuk mempelajari musik perkusi taganing. Ia lulus dari
Jurusan Etnomusikologi USU dengan skripsi mengenai musik Batak
yang berfokus pada taganing. Di masa itu juga Irwansyah aktif di
101
Lembaga Kesenian USU yang mempelajari musik tradisi Batak
lainnya. Ia juga menekuni ensembel gordang sambilan khas Mandailing
kepada Dagar Lubis. Kemudian ia melanjutkan studi musik program
master etnomusikologi di Universitas Washington, Seattle, Amerika
Serikat. Di negara Paman Sam itu ia mendalami aneka musik tradisi
dunia atau world music, antara lain, belajar Qawwali, nyanyian sufi
Pakistan, dari Nusrat Fateh Ali Khan.
102
Sekembalinya ke Indonesia, Irwansyah bersama istrinya,
Rithaony Hutajulu, yang menekuni seni vokal,
membentuk
kelompok musik Suarasama (1995). Kelompok musik ini mengkreasi
musik-musik tradisi dunia. Melalui Suarasama, komposisi world
music dengan warna tradisi Batak karya Irwansyah dikenal dunia.
Debut karya mereka pertama kali dipublikasikan oleh Radio
France Internationale in, 1998, yang diputar selama satu bulan di
600 kota-kota di dunia. Suarasama diundang ke berbagai negara,
antara lain, oleh Asia Pacific Performance Exchange (APPEX) 1997
di Univerity of California Los Angeles (UCLA) di Los Angeles, AS;
Minpaku Museum of Ethnology, Osaka, Jepang; Sufi Soul World
Music dan Festival di Lahore, Pakistan. Pasangan pencinta musik ini
juga beberapa kali mendapatkan undangan artist residence. Residensi
itu mempertemukan mereka dengan musisi dari berbagai negara
yang memungkinkan untuk saling belajar. Selain mendalami musik
Batak, Irwansyah kemudian mendalami juga musik dari tradisi
dunia lainnya, seperti tabla dari India dan tradisi Afrika. Ia menyukai
musik India karena unsur metamatika dan kerumitannya.
Irwansyah dan Rithaony juga membentuk kelompok musik
Mataniari, yang secara khusus menyajikan musik tradisi Batak.
Kelompok yang melibatkan maestro pemusik tradisi Batak ini juga
berhasil menarik perhatian dunia. Pertunjukan teranyarnya adalah
kolaborasi mereka dengan kelompok musik orkestra Vinculos
dari Madrid, Spanyol. Kolaborasi ini menampilkan komposisi
musik gondang dan nyanyian Opera Batak yang dielaborasi
dalam format opera. Pertunjukan yang didukung oleh Direktorat
Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI ini mereka gelar di kota
Balige, Laguboti (Kabupaten Tobasa), di Desa Bakkara (Kabupaten
Humbahas), serta di Desa Sianjur Mula-mula, Lumban Suhi-Suhi,
Sigulati (Kabupaten Samosir), dan di Jakarta. Vinculos sendiri
sebuah inisiatif dari Siero Chamber Orchestra (OCAS) Spanyol
yang mengampanyekan integrasi sosial dan budaya melalui musik.
103
Kelompok orkestra ini telah tampil di 12 negara dengan melakukan
lebih dari 300 konser musik dan menyelenggarakan lebih kurang
100 kali kegiatan workshop dan master-class. Semangat Unidad en la
diversidad, Bhinneka Tunggal Ika, menjadi tema pertunjukan mereka.
Membuat komposisi musik adalah kecintaan yang Irwansyah
tekuni sejak masa mahasiswa di USU. Tiga tema yang menarik
perhatiannya dalam berkarya, yaitu spiritual, alam, dan manusia.
Mengenai ketertarikannya pada tema tema spiritual, ia menuturkan,
“Saya hanya punya hipotesis sederhana. Manusia itu paling jujur
ketika ia membuat komposi musik untuk Tuhannya. Kalau ia
mencipta untuk manusia lain biasanya ada maksudnya. Karena itu,
saya ingin menangkap energi kejujuran itu.” Musik spiritual yang
jujur itu juga ia rasakan pada permainan musik gondang dalam tradisi
Batak.
Komposisi spiritualnya antara lain Beauty of Silence. Sebuah
komplilasi instumental bersuasana hening yang menginterprestasi
tentang kesunyian. “Dalam kesunyian ada sesuatu. Suasana yang
intim dengan alam dan Pencipta. Ada yang kita rasakan, sesuatu
yang tak terjelaskan,” demikian Irwan menjelaskan karyanya.
Adapun komposisinya mengenai alam antara lain Lebah, terinspirasi
oleh Kitab Suci umat Islam yang memberikan keistimewaan satu surat
khusus tentang lebah (Quran, Surat An Nahl). Tema kemanusiaan
mengguggahnya karena ketimpangan dan peperangan yang ia amati
dalam realitas saat ini. Dalam menggubah musik, Irwansyah tidak
hanya mengkreasi instrumental, sebagian juga berjalin dengan verbal
atau nyanyian.
Selain mencipta musik, ayah satu anak ini juga melakukan
penelitian dan memublikasikannya dalam bentuk buku. Baginya
musik tidak semata dunia ekspresi, tapi juga dunia pengetahuan.
Ia prihatin dengan dengan pendokumentasian pengetahuan musik
yang masih minim di Indonesia, padahal dalam aspek ekpresi,
104
menurutnya, tak ada negara yang lebih kaya dengan kesenian
dibandingkan Indonesia. Tetapi kekayaan ekpresi seni tersebut
belum diimbangi dengan pendokumentasian pengetahuannya.
Menurutnya, mendokumentasikan pengetahuan musik diperlukan
untuk kelestarian dan perkembangan musik di Indonesia. Hata
Ni Debata Etnografi Kebudayaan Spiritual Musikal Parmalim Batak
Toba adalah salah satu bukunya yang membuat pembaca tidak
hanya mengerti tradisi gondang dari keilmuan musik, tetapi juga
memahami sejarah dan dinamika perkembangan musik gondang
pada kebudayaan dan spiritual masyarakat Parmalin.
Di tengah aktivitasnya membuat komposisi, memenuhi
undangan pertunjukan di berbagai negara dan mengajar, Iransyah
juga menikmati kerja-kerja kemanusiaannya. Saat ini ia tergabung
dengan forum kemanusiaan antarumat beragama dan komunitas
Jendela Toba yang peduli pada kelestraian alam dan kebudayaan
masyarakat di sekitar Danau Toba.
Tahun 2017 ia mendapat Anugerah Kebudayaan untuk kategori
Pencipta, Pelopor dan Pembaharu dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI. Atas penghargaan itu ia menyampaikan, “Saya
bahagia. Penghargaan ini sangat berarti karena diberikan oleh
negara kepada anak bangsanya. Ini penghargaan terbesar yang
diberikan kepada saya. Saya menghormatinya dan bahagia.” Ia juga
berpesan kepada bangsa Indonesia agar musik Indonesia bisa berdiri
tegak di antara bangsa-bangsa lain. “Tetapi musik Indonesia harus
digauli tidak semata artistik, juga konteks pengetahuan agar terjadi
komunikasi, interaksi, diseminasi. Orang Batak harus tahu musik
orang Papua supaya makin mengayakan bukan menghilangkan,
sementara akarnya masih akan tumbuh”.
Musik itu sendiri telah menyatu dengan kehidupan dan
tujuan hidup Irwansyah. “Makna musik bagi hidup saya, hidup saya
itulah musik. Musik itu hidup dalam hidup saya. Musik itu ibadah,
105
bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga memberi sesuatu pada yang
lain. Itulah kehidupan saya. Musik adalah cara ungkap saya pada
Pencipta, sesama ,dan kepada alam di mana saya hidup. Musik itu
sendiri kehidupan,” demikian ia menutup perbincangan.
Biodata:
Lahir
Alamat
Keahlian
: Medan, 21 Desember 1962
: Jln Stela I No. 27 Simpang Selayang Medan Tuntungan
20135 Medan, Sumatera Utara
: Etnomusikologi, komponis dan peneliti
Karier :
- Direktur Kelompok Musik Suarasama
- Ketua Lembaga Jendela Toba, Medan
- Pengajar Departemen Etnomusikologi Program Studi (S2)
Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya USU,
Medan
- Field Consultant Sacred Bridge Foundation Jakarta
- Ketua Program Studi (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas
Ilmu Budaya USU Medan (2011-2016)
106
- Ketua Komisariat Daerah (Komda) Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia (1997-2001)
- Instruktur/Konsultan Program Pelatihan Radio Musik Etnik,
Puskad Jogja-Ford Foundation (1998-2000)
Karya Musik :
Telah menciptakan 50 karya musik (dalam genre world music) sejak
tahun 1987. Beberapa album yang diterbitkan dan diproduksi di
tingkat internasional dan nasional:
- Fajar di Atas Awan, dalam kompilasi album 20, Indonesian Guitaes,
Smithsonian Folkways USA (Radio France Internationale, 1998;
Drag City Chicago, 2008)
- Rites of Passages (Suarasama Indonesia, 2002; Suarasama New
Zealand, 2009)
- Lebah (Suarasama Indonesia, 2008)
- Timeline (SpaceRecord, 2013)
Kompilasi karya musik yang belum diterbitkan:
- Gambus Solo: I One (2004)
- Gambus Hati (2006)
- Born (2007), kompilasi 7 lagu yang ditampilkan dalam konser
musik Suarasama “Melintas Bunyi” (Hibah Kelola, 2007)
- Beauty of Silence (2008), album single karya musik gambus
kontemporer
- Pointe of No Return (2010), 9 karya musik sintesis alat musik
akustik dan computer music untuk acara pertunjukan ballet-music
performace “Pointe of No return (Namarina, 2010)
Buku :
- Hata Ni Debata Etnografi Kebudayaan Spiritual Musikal Parmalim
Batak Toba (Pusat Warisan Seni Sumatera Medan, 2014)
- Exploration Through Understanding and Interpreting Worlds of Music
(Musika Journal 4, 2008)
- Gondang Batak Toba (penulis kedua) (Pusat Penelitian dan
107
Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional
Pendidikan Indonesia, Bandung, 2005)
Universitas
Pertunjukan
:
- An Indonesia – Spanish musical collaboration Vinculos or
Indonesia di Danau Toba dan Jakarta (2017)
- Kuwerdas ng pagkakaisa: Third Rondalla Festival di University of
Philipina Dilman, Quezon City (2011)
- The First International Sufi Music Festival di Aceh (2011)
- Sawah Lunto Internasional Music Festival yang diselenggarkan
Pemerintah Kota Sawah Lunto (2010)
- Music Concert Song of Peace and Reconsiliation di Jogja yang
diselenggarakan Brehm Center Fuller Graduate Schools The
Henry Look Foundation dan ICRS Yogya (2010)
- The 1st Traditional Asian Music Forum yang diselenggarakan
Faculty of Fine Art Srinakharinwirot Univesity, Bangkok (2009)
- Sufi Soul World Music Festival di Pakistan (2001)
- APPEX 1997 Summer Institut at the University of California, Losh
Angeles (1999)
- Pesta Gendang Nusantara 1997 di Medan
Penghargaan:
- Anugerah Kebudayaan untuk kategori Pencipta, Pelopor dan
Pembaharu dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia (2017)
- Artist in Residency Asian-New Zealand Foundation dan Victoria
University of Wellington New Zealand selama tiga bulan
- Mendapatkan Research Grant dari Toyota Foundation tentang
Musik Tradisi Batak Toba (2006 – 2008, 2009)
- Asia Pacific Performance Exchange, workshop seni lintas negara
(Asia-Pacific) selama satu bulan di University of California Los
Angeles (1997)
108
Basri Baharuddin Sila:
Tanpa Musik Hidup Itu Hambar
Keheningan di Sanggar Seni Yayasan Batara Gowa, Makassar,
petang itu pecah oleh bunyi instrumen musik tradisional gendang,
pui-pui, dan kecapi. Musik yang rancak itu terdengar makin keras.
Basri Baharuddin Sila, maestro musik tradisional asal Sulawesi
Selatan, Sila tampak menggebu-gebu memukul kendang diiringi
instrumen lain. Sementara itu, tiga darah manis dengan lemah
gemulai menarikan tarian Malino karya Andi Ummu Tunro yang
tak lain istri Basri.
Begitulah suasana rutin saat petang menjelang
di sanggar seni Yayasan Batara Gowa yang
diasuh oleh Basri. Di tempat itu para muridnya,
baik dari dalam negeri maupun luar negeri,
datang berguru musik tradisional Sulawesi
Selatan. Di sanggar ini mereka juga bisa belajar
tari dan teater. Bahkan perpustakaan untuk
bacaan anak-anak juga tersedia di sini. “Sudah
ratusan murid saya,” katanya.
Basri menuturkan bahwa sejak kecil dirinya telah terbiasa
mendengar musik. Di Makassar banyak ritual dan itu selalu berkaitan
dengan musik. “Musik itulah yang telah merasuki saya sejak kecil
dan saya merasakan itulah dunia saya,” tutur Daeng Bas, begitu ia
selalu disapa.
Ia mulai berguru pada seorang maestro gendang asal Gowa,
yaitu Rapo-anrong. Lalu ia merantau ke Yogyakarta mengikuti
pendidikan kesenian di Padepokan Seni Bagong Kusudihardjo pada
983-1985. Ia juga rela menuntut ilmu sampai keluar negeri. Tahun
1997, misalnya, ia mengikuti Program Indonesian Art Cultural
Exchange di Jepang, Malaysia, dan Singapura.
Dan, ia tak pernah berhenti belajar dan terus menjalin
109
kolaborasi dengan banyak musisi. Bahkan, tahun 2015, Daeng Bas
sempat berkolaborasi dengan grup musik rock terkemuka Indonesia,
Slank, dalam pertunjukan tari dan musik Slank “Reog ‘n Roll”.
Ia juga tidak hanya bertemu dengan orang seni. Tahun 2006
ia mengikuti World Meditation Gathering di Surakarta, Jawa Tengah.
Tahun 2007 ia terpilih mewakili Indonesia pada International
Himalaya Meditation Centre di Risikesh, India. Di sini ia mendapat
penghargaan dari Swami Veda Barathi, pemimpin spiritual Yoga dan
Meditasi Himalaya Internasional. “Musik itu jembatan kemanusiaan,”
katanya tentang sifat musik yang selalu menyatukan.
Buah manis di dunia musik yang kini dipanennya tidak
datang dengan mulus. Ia melakukan perubahan yang luar biasa
terhadap musik tradisional yang digelutinya. “Biasanya musik
tradisional dipakai untuk mengiringi lagu seperti ‘Anging Mamiri’
sampai sekitar tahun 1980-an. Saya rombak musik tradisional itu
dengan sistem perkusi dengan melodi sederhana yang saya buat,”
ceritanya.
Perubahan tersebut tak serta merta diterima. Banyak yang tak
mengerti dan menolak musik yang diciptakan oleh Daeng Bas. Akan
110
tetapi ia jalan terus dengan musik pilihannya. “Sekarang semua bisa
menerima musik saya,” katanya lega.
Bila para pelaut asal Sulawesi Selatan yang ulung itu bisa
keliling dunia karena kemahiran berlayar, Daeng Bas dengan
kemahiran main musik tradisionalnya justru bisa berlayar keliling
lima benua: Afrika, Eropa, Amerika, Asia, dan Australia. Tahun
2005, misalnya, Daeng Bas tampil pada South Sulawesi Performance
Night pada Easter Festival di Cape Town, Afrika Selatan.
Namanya melambung ketika diminta menjadi asisten
komposer dan musisi pada pementasan “I La Galigo” yang
disutradarai oleh Robert Wilson di beberapa kota dunia pada 2004
sampai 2008, yaitu di Singapura, Madrid dan Barcelona (Spanyol),
Lyon (Perancis), Ravenna (Italia), Amsterdam (Belanda), New York
(Amerika Serikat), Melbourne (Australia), dan Taipei (Taiwan).
Tahun 2011 ia kembali dipercayakan menjadi asisten komposer dan
musisi pada pementasan “I La Galigo” di Fort Rotterdam, Makassar.
Dari musik, tari, dan teater, Daeng Bas menjelajahi dunia
perfilman dengan menjadi pengarah musik (music director) untuk
film Atambua 39° Celsius yang disutradarai oleh Riri Riza. Ia juga
111
menggarap musik untuk film dokumenter Rasa karya sutradara
Brune Charvin.
Tak heran bila seniman ini telah mendapat berbagai
penghargaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Penghargaan
terbaru yang diterimanya adalah Anugerah Kebudayaan 2017
untuk kategori Pelopor, Pencipta, dan Pembaharu dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
“Penghargaan ini sungguh membuat saya tambah percaya
diri. Juga memberi motivasi bagi saya untuk terus mengembangkan
dan melestarikan musik asal Sulawesi Selatan,” kata putera
dari Baharuddin Daeng Paewa yang merupakan tokoh pejuang
kemerdekaan Indonesia. Ketika mengucapkan itu, matanya tampak
berkaca-kaca.
“Musik telah memberikan banyak penghargaan bagi saya.
Makna musik bagi saya sendiri, ya, untuk menghibur diri. Musik itu
jembatan kemanusiaan. Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpa
musik. Hidup tanpa musik itu hambar,” kata musisi yang selalu
112
berjuang menyejajarkan musik tradisional di Nusantara dengan
musik-musik dari belahan dunia lain.
Biodata:
Nama lengkap
Nama Panggilan
Lahir
Pekerjaan
Bidang Keahlian
: Basri Baharuddin Sila
: Daeng Bas
: Makassar, 14 Mei 1953
: Direktur Kreatif Yayasan Batara Gowa
: Musik dan Tari
Penghargaan:
2017
: Anugerah Kebudayaan Kategori Pelopor, Pencipta, dan
Pembaharu
2015
: Penghargaan sebagai “Maestro Seni Musik Tradisional”
dari Yayasan Sulapa Eppae
2011
: Certificate of Appreciation “Dancing to Connect” dari
Battery Dance CompanyNew York dan Kedutaan Besar
Amerika Serikat di Jakarta
2010 : Piagam Penghargaan World Expo 2010, Shanghai China
2010
: Piagam Penghargaan dari Kedutaan Besar Republik
Indonesia di Den Haag
Karya:
• Doleng-doleng
• Loods
• Market
• Dumba I
• Badik
Pengalaman Organisasi:
• Dewan Penasihat Lembaga Pengembangan Keseniandan
Kebudayaan Indonesia, Sulawesi Selatan
• Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Sulawesi Selatan
• Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Makassar
• Anggota Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI)
113
Ifa Isfansyah:
Film sebagai Medium Berekspresi
Di satu siang menjelang senja—di sebuah studio yang terletak kawasan
TB Simatupang, Jakarta Selatan—IfaIsfansyah tampak sedemikan sibuk
menjalankan rutinitas penciptaan filmnya. Ditengah kesibukannya, Ifa
(panggilan akrabnya) menyempatkan diri bercerita tentang ketertarikannya
pada film, menekuni dan memilih film sebagai jalan hidupnya.
Semasa
remaja,
Ifa
serupa
pemuda
padaumumnya yang mencoba berbagai hal.
Ketika SMAdansaatkuliah, iasempat mencoba
bidang musik, olahraga, dan lain sebagainya.
Ia tumbuh digenerasi anakmuda yang telah
mengenal dunia digital. Film yang tadinya
merupakan sesuatu yang sangat eksklusif
menjadi sangat memasyarakat. Komputer yang
tadinya hanya bisa untukmengetik, kini bisa
digunakan untukmemotong dan menyambung gambar.
Hanya ketikamengenal medium film, ia merasa belum pernah
menemukan satu mediumpun yang bisa mengembalikan energi
sebesar film kepadanya.Artinya, ketika membuat film dan filmnya
ditonton, ia merasa secara energi lebih berarti sebagai seorang
manusia. Mulai saat itu, ia memutuskan film merupakan medium
untuknya berekspresi, dalam menyampaikan apa yang ingin
diceritakan.
Untuk memperlengkap pengetahuannya, Ifa lalu memutuskan
untuk kuliah di Fakultas Seni Media Rekam, ISI Yogyakarta. Di sanaia
pun bertemu dengan teman yang sama-sama memiliki ketertarikan
terhadap media rekam.
Akan tetapi, ketika memilih dunia perfilman sebagai jalan
114
hidup, ia tidak terlalu didukung—dalam konteks iniia juga tidak
dilarang dalam artian tidak boleh—oleh keluarga.Apalagi ia tumbuh
dan besar di Yogyakarta, yang pada saat itu tidak ada budaya sinema.
Semuaaktivitas perfilman masih terpusat di Jakarta. Begitu juga ketika
timbul keinginan membuat film, semua orang tidak percaya lewat
serangkaian gugatan: bagaimana caranya, bagaimana aksesnya, dan
lain sebagainya.
Orangtua Ifa tentu saja menginginkannya ke jalur yang
lebih akademis, semisal jadi insinyur dandokter gigi, seperti kakakkakaknya: sekolah, kuliah dan menjadi sesuatu.Hingga suatu
ketika ia membuat film pendek, lalu diapresiasi di luar negeri,
diikutsertakan dalam beberapa festival internasional,dan mendapat
penghargaan. Namun, bagi orangtua Ifa, hal tersebut tetap belum
merupakan jaminan. Barusetelah Ifa memenangi Piala Citra
2006 dengan mendapat penghargaan untuk film pendek terbaik,
orangtuanya mulai menyadari bahwa sang anak benar-benar serius
menggeluti dunia sinematografi. Juga, tentusaja, ada prestasi yang
bisa dibanggakan dari sang anak.
Setelah itu, Ifa mendapatkan beasiswa ke Korea selama dua
tahun untuk belajar lebih dalam tentang pembuatan film. Kedua
orang tuanya semakin sadar bahwa dunia film ternyata merupakan
115
sesuatu yang bisa diseriusi dan menjadi media untuk berekspresi
sekaligus sebagai pilihan hidup.
Pada 1999, di Yogyakarta hanya sedikit sekali orang yang
berani bilang, “Saya ingin menjadi pembuat film.”Mengapa? Karena
di sana tidak ada budaya sinema. Ifa masih ingat bagaimana susahnya
berproses membuat film. Sekarang, bisa dibilang Yogya menjadi salah
satu tempat pas buat anak muda untuk belajar membuat film. Lebih
dari 100 komunitas ada Yogya, lebih dari 100 film pendek dibuat di
sana. Bisa dibilang Yogya sudah menjadi kiblatnya film-film yang
lebih lokal, meski film sebagai industri tetap saja adadi Jakarta.
Bicara soal permintaan, menurut Ifa, film sekarang sudah jauh
berkembang. Film yang diproduksi dan pekerja filmnya jauh lebih
banyak. Film sebagai salah satu industri kreatif mendapat ruang. Ifa
mengaku bahwa yang membuat dirinya bisa menjadi seperti sekarang
tak lain adalah konsistensi. Pada saat memulai, banyak teman yang
juga memulai, tapi berhenti di tengah jalan. Sebaliknya, Ifabersama
teman-teman komunitasnya tetap konsisten.
Pada masa-masa transisi, paling susah di saat memulai film
sebagai hobi, kemudian berpikir bahwa hobi saja tidak cukup dan
menjadikan film sebagai media profesional yang mampu memberikan
hidup.Sebab, saat itu sudah banyak sekali tuntutan. Akhirnya, pada
2008-2009, Ifa sudah mulai menganggap dunia film sebagaipekerjaan
yang sifatnya profesional. Film pendek pertamanya pun lahirpada
2001, berjudul Mayar, menghasilkan beberapa penghargaan.
SejauhiniIfa sudah membuat lima film pendek. Salah satunya,
Setengah Sendok Teh, mendapatkan penghargaan sebagai film pendek
Asia terbaik. Pada 2009,Ifa membuat film layer lebar, Garuda di
Dadaku, yang mencapai box office, yaitu mendapatkan lebi hdari1,5
juta penonton. Kemudian, film keduanya, Sang Penari, menyabet
penghargaanPiala Citra dan Ifa sendiri diganjar sebagai sutradara
terbaik.
116
Mengenai dukungan pemerintah terhadap dunia film, Ifa
merasakan selama 10 tahun berkecimpung justru sekarang ini
dukungan pemerintah sedang bagus-bagusnya. Artinya, pemerintah
sedang sadar sekali bahwa film adalah salah satu bagian yang
penting untuk didukung, terutama dibidang SDM perfilman dan
distribusinya.
Apalagi sekarang inibudaya sinema bukan hanya milik
sekelompok orang, mengingat teknologinya sudah sangat
mendukung untuk bisa dijangkau seluas mungkin. Dengan kata
lain,budayasinema sudah berkembang dan bisa diaksessiapa
pun. Artinya, kebutuhan tentang film, baik aktivitas penontonnya
maupun aktivitas pembuatnya sudah harus lebar. Disanalah
pemerintahdapatberperan,
selain—tentusaja—mendukung
di
bidangindustrinya. Sudah waktunya pemerintah memperhatikan
hal-halyang lebih detail, misalnya menemukan bakat-bakat barudan
menggelar festival-festival.
Dalam kaitan inilah dibutuhkan sistem untuk menemukan
bakat-bakat baru, bagaimana sinema bisa dikembangkan secara
lokal. Sebab, budaya sinemalokal memiliki budaya dan cara berbeda.
Perbedaan itu yang membuat sinemamempunyai sistem, gaya
bercerita, dan produksi yang berbeda-beda.
Tahun 2015, Ifa membuat film Siti, yang seluruh dialognya
berbahasa Jawa. Selama ini orang menonton film berbahasa
Inggrisatauberbahasa Indonesia. Akan tetapi,mereka juga harus
disadarkanbahwafilm itu bisamenang di Piala Citra sebagai film
terbaik walaupun belum diputar dibioskop. Di sanalah sebenarnya
kekuatan sinema Indonesia, yaitu sinemayang muncul dari
kelokalannya.
Perihal Anugerah Kebudayaan 2017 untuk kategori Pencipta,
Pelopor dan Pembaharu yang diberikan kepadanya, Ifa mengucapkan
terimakasih dan senang. Tenyata apa yang ialakukan bermanfaat bagi
117
bangsadan negara sehingga dirinya diberikan penghargaantersebut.
“Artinya, apa yang saya lakukan masuk dalam radar pemerintah,
itu yang saya senang. Selain itu, yang saya harapkan, pemerintah
juga lebih peka terhadap orang lain, bisa memotivasi orang lain,”
tutupnya.
118
Biodata:
Nama lengkap : Ifa Isfansyah
Lahir
PEKERJAAN
: Jogjakarta pada 1979
Founder, President Director
PT. Empat Warna Media
(Fourcolours Films)
Founder, Executive Director
Yayasan Jogja-Netpac Asian
Film Festival (JAFF)
Founder, Director
Jogja Film Academy (JFA)
Freelancer, Film Director
Indonesia
Juni 2001 - sekarang
Jogjakarta Indonesia
Juli 2006
Jogjakarta Indonesia
Juni 2014 Sekarang
Jakarta - Indonesia
September 2008 –
Sekarang
FILM PENDEK
Air Mata Surga
Sutradara dan Produser
Indonesia
Maret 2002
PT. Fourcolours Cipta Sinema
Mayar
Sutradara, Produser, Penulis
Skenario dan Editor
Indonesia
Agustus 2002
PT. Fourcolours Cipta Sinema
Harap tenang, ada ujian!
Indonesia
119
Sutradara dan Penulis Skenario
Juli 2006
PT. Fourcolours Cipta Sinema dan PT. Freemovie
Media
Setengah Sendok Teh/Half
Teaspoon
Sutradara dan Penulis Skenario
Indonesia
Februari 2007
PT. Fourcolours Cipta Sinema dan PT. Freemovie
Media
Huan Chen Guang
Indonesia, Korea
Selatan
Sutradara dan Penulis
Skenario
Januari 2008
PT. Fourcolours Cipta Sinema
dan Im Kwon Taek College
Lintang Kemukus Dini Hari
Indonesia
Sutradara dan Penulis Skenario
Juli 2009
PT. Shantikarya Alternatif Komunikatama
Percakapan Ini
Sutradara
Indonesia
September 2010
PT. Babibuta Film
FILM PANJANG
Garuda Di Dadaku
Sutradara
PT. Shantikarya Alternatif
Komunikatama dan PT. Mizan
Media Baru
120
Indonesia
September 2008
Sang Penari
Sutradara dan Penulis
Skenario
Perancis, Indonesia
March 2011
PT. Shantikarya Alternatif
Komunikatama, Les Petites
Lumiere,
PT. Indika Entertainment, PT.
Gramedia Media Nusantara
Ambilkan Bulan
Sutradara
Indonesia
November 2011
PT. Mizan Media Baru
Rumah Dan Musim Hujan
Indonesia
Sutradara, Penulis Skenario,
Produser
April 2012
PT. Fourcolours Cipta Sinema dan Falcon Pictures
9 Summers 10 Autumns
Indonesia – US
Sutradara
September 2012
PT. Angka Fortuna Sinema
Pendekar Tongkat Emas
Sutradara dan Penulis
Skenario
Indonesia
March - June 2014
PT. Miles Films
SITI
Produser
Indonesia
Desember 2014
PT. Fourcolours Media
121
Pesantren Impian
Director
Indonesia
November 2015
PT. MD Entertaiment
TURAH
Indonesia
Produser
Desember 2016
PT. Fourcolours Media
Catatan Dodol Calon Dokter
Director
Indonesia
November 2015
PT. Radikal Films – CJ
Entertainment
PENGHARGAAN
Film Pendek Terbaik
”Harap tenang, ada ujian”
Jogjakarta –
Indonesia
Agustus 2006
Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2006
Bea SIswa Peserta Terbaik
“Asian Film Academy”
Im Kwon Taek College of Film
& Performing
Pusan-South Korea
September 2007
Asian Film Academy Pusan Int’l Film Festival 2006
Film Pendek Fiksi Terbaik
Jakarta – Indonesia
”Harap tenang, ada ujian!”
November 2006
Festival Film KONFIDEN 2006
Piala Citra untuk Kategori
Film Pendek
122
Jakarta – Indonesia
”Harap tenang, ada ujian!”
Desember 2006
Festival Film Indonesia 2006
Film Pendek Asia Terbaik
Hongkong
”Setengah Sendok Teh”
Maret 2008
Hongkong Independent Film & Video Award 2008
Film Anak Terbaik
”Garuda Di Dadaku”
Armenia
September 2010
Armenia International Film Festival 2010
Piala Citra untuk Sutradara
Terbaik
Sang Penari
Indonesia
Desember 2012
Festival Film Indonesia 2011
Piala Citra untuk Film
Terbaik
Sang Penari
Indonesia
Desember 2012
Festival Film Indonesia 2011
Film Terbaik
SITI
Indonesia
November 2015
Apresiasi Film Indonesia 2015
123
Marzuki Hasan:
Seni Tari Indonesia Dikagumi Dunia
Di Tangan Marzuki Hasan, tari tradisi Aceh berhasil menjumpai
penonton di empat benua. Sementara tari kontemporer karyanya
memberikan dampak pemulihan pada anak-anak pengungsi akibat
tsunami di Aceh dan mendekatkan kebudayaan Indonesia dengan
penduduk di Namibia.
Tarian bagi Pak Uki—begitu biasa ia disapa—
memang bukan sekadar hobi. Tarian telah
menjadi dunianya. Sebab, melalui tarian ia
dapat mengungkapkan rasa beragama, etika,
kritik dan semangat pembangunan bangsanya.
Melalui tarian, dosen Institut Kesenian Jakarta
(IKJ) ini mengungkapkan rasa cintanya pada
budaya Indonesia yang ia siarkan ke berbagai
negara.
Marzuki Hasan yang akrab dipanggil Pak Uki membuka
perbincangan dengan mengenang masa kecilnya di Kampung
Meudang Ara, Blangpidie, Aceh Barat Daya. Di kampungnya
terdapat kebiasaan anak laki-laki tidur di meunasah. Di sana Pak Uki
belajar seni tutur dan tari duduk. Sementara di rumahnya, ibunya
yang pandai bersyair menjadi guru pertamanya dalam melantunkan
syair. Kampung Meudang Ara, di masa Uki kecil, kaya akan berbagai
pertunjukan seni tari. Perlombaan tari tradisi sering diselenggarakan.
Pertunjukannya berlangsung lama, dari pagi hingga sore. Tak jarang
Uki kecil menonton pertunjukan tari sampai tertidur di bawah pohon
kelapa.
Ketika duduk di sekolah dasar, Uki mulai mengikuti
perlombaan tari Seudati dan Saman dari kampung ke kampung.
Setelah duduk di bangku SMA, berbagai perlombaan terus ia ikuti.
124
Di usia itu, Uki mulai berlomba dengan penari-penari dewasa.
Keahliannya bersyair pun semakin matang. Tahun 1965, Uki
melanjutkan studi di Jurusan Olahraga di IKIP Yogyakarta (kini,
Universitas Negeri Yogyakarta). Di masa bersamaan ia juga terus
mengembangkan bakatnya. Uki mulai melakukan pertunjukan tari
dan memberikan pelatihan tari tradisi Aceh di Yogya, kota-kota di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tahun 1970, Uki pindah ke Jakarta
dan bertemu dengan sesama seniman Aceh. Saat itulah ia mulai
meyakini bahwa seni tari baginya bukan sekadar hobi, tapi telah
menjadi dunianya.
Tahun 1975, Pak Uki menjadi pengajar di Lembaga Pendidikan
Kesenian Jakarta (LPKJ, sekarang IKJ) hingga saat ini. Ia mengajar
mata kuliah Kesenian Aceh, khususnya tari Seudati dan seni vokal.
Pengajaran seni vokal ini utama dalam tari tradisi Aceh. Ini karena
secara umum musik yang pokok pada seni tradisi Aceh bersumber
dari vokal dan bunyi musik body yang dihasilkan oleh gerak tari.
Walaupun, memang, beberapa di antaranya menggunakan alat
musik seperti musik serune kalee (menyerupai terompet dimainkan
dengan ditiup), rapai (menyerupai rebana dimainkan dengan cara
125
dipukul), geundrang (genderang), dan canang (menyerupai kenong
atau gong kecil). Keselarasan antara tarian dan syair sangat erat.
Antara irama dan power harus harmonis.
“Adanya perpaduan antara vokal dan gerak itulah yang
menjadi tontonan seni tari Aceh, musik hanya satu dua saja,” jelas
Pak Uki.
Selanjutnya, Pak Uki menciptakan tarian yang berakar dari
tradisi Aceh antara lain tarian Hu yang dalam bahasa Aceh bermakna
merah menyala. Hu juga dapat bermakna Allah. Tarian Hu berkisah
tentang manusia yang diturunkan dalam keadaan berkeluh kesah.
Adapun karya yang paling menyentuh rasa kemanusiaannya adalah
tarian Meusaboh Hatee (menyatukan hati). Tarian ini ia gubah
setelah melakukan penelitian di barak-barak pengungsian yang
terpapar tsunami. Sambil berlinang air mata, Pak Uki menuturkan
perjumpaannya dengan anak-anak yang kehilangan orangtuanya.
Perenungannya itu kemudian melahirkan karya tari Meusaboh hatee.
Di masa penelitiannya, Pak Uki juga membuat master class selama
dua minggu yang diikuti oleh para seniman Aceh. Tujuannya,
126
antara lain, untuk mengembangkan pengajaran tari bagi anak-anak
yang menghadapi peristiwa tsunami. Master class tersebut berhasil
memberikan pertunjukan tarian yang diikuti oleh 70 anak-anak yang
tinggal di pengungsian.
Di tangan Pak Uki, tari tradisi Aceh dan karyanya berhasil
berjumpa dengan penonton di empat benua. Tahun 1984, ia
menampilkan pertunjukan tari tradisi di Amerika Serikat dan
Jerman. Ia juga pernah selama 40 hari keliling Amerika Serikat untuk
pertunjukan tari Seudati. Di Eropa, Pak Uki melakukan pertunjukan
keliling untuk tari Rampai Aceh. Pak Uki juga diundang ke Amerika
Latin, Kanada, Nikaragua. Pak Uki juga sempat diundang ke
Konferensi Orang-orang Kaya Se-Dunia di Davos, Switzerland.
Pertunjukan yang paling membekas baginya adalah
saat diundang dan tampil pada acara 50 Tahun Konferensi Asia
Afrika di Namibia. Di sana Pak Uki diminta mengajari penduduk
setempat untuk tampil menari di depan para pemimpin negara yang
menghadiri koferensi. Dengan kemampuan bahasa Inggris yang
terbatas, Pak Uki memberikan pengajaran dalam bahasa Inggris,
Indonesia dan Aceh. Tetapi rupanya tantangan itu membuat Pak
Uki dan peserta memiliki kedekatan tersendiri. Alhasil, pertunjukan
mereka mendapat sambutan meriah dari hadirin. Kenangan manis
lainnya, saat Pak Uki menampilkan pertunjukan tari di Harare
yang sedang mengalami konflik. Karena keadaan tersebut, banyak
media internasional hadir di negara Zimbabwe tersebut. Tak diduga
kehadiran media dalam situasi konflik itu memberi dampak positif
terhadap liputan pertunjukannya. Liputan pertunjukan tarian yang
dibawakan Pak Uki tayang tiga hari berturut-turut di CNN. Tak
heran bila kemudian Duta Besar RI di Zimbabwe menemui Pak Uki
untuk mengucapkan terima kasih karena dianggap telah mengangkat
wajah budaya Indonesia di panggung dunia.
Menurut Pak Uki, tari tradisi itu telah hidup ribuan tahun,
daya pikatnya juga tak bisa disamakan dengan tari kreasi. Namun,
127
bagaimanapun, tari tradisi itu dapat lestari akan sangat bergantung
pada manusianya. “Tapi saya yakin dengan anak-anak bangsa yang
sangat memperhatikan tradisi,” ujar Pak Uki optimistis.
Ia tidak takut tradisi akan hilang. Untuk situasi di Aceh
misalnya, meskipun masyarakatnya pernah melalui masa perang yang
lama, kemudian sempat ada polemik karena adanya pelembagaan
syariat Islam sehinga tarian sempat dilarang oleh ulama-ulama,
akan tetapi kemudian keluar buku hijau yang menjelaskan mana
yang haram dan mana yang tidak. Lalu muncul satu pandangan
yang menjelaskan bahwa yang haram bukan tariannya. Dalam
sejarah masyarakat Aceh, tarian justru berfungsi sebagai dakwah
mengislamkan orang-orang di Aceh. Setelah Islam berkembang,
tarian menjadi milik rakyat. Menurut Pak Uki, dalam tari tradisi
Aceh yang disampaikan tidak hanya soal agama, tapi juga etika,
kritik, dan pembangunan.
Oleh karena itu, Pak Uki berharap agar seniman Indonesia
terus berjuang untuk seni. Berangkat dari pengalaman tampil
dalam pertunjukan di berbagai negara, Pak Uki sampai pada satu
kesimpulan: seni tari Indonesia sangat dikagumi! Kareba itu pula,
ia berharap agar pemerintah lebih memperhatikan dan memberikan
dukungan pada seni tradisi. “Di negara maju saja seni tradisi masih
disubsidi oleh negara, akan tetapi mengapa di Indonesia tidak?”
ujarnya.
Menanggapi anugerah kebudayaan untuk kategori Pencipta,
Pelopor dan Pembaharu yang ia terima dari Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Pak Uki merasa tersanjung karena pemerintah mau
memberikan perhatian. Baginya penghargaan ini juga bermakna bagi
seniman lain yang memelopori dalam mengembangkan seni tradisi.
“Para pengembang seni tradisi ini sudah bekerja dari kecil hingga
tua. Kebanyakan mereka tidak punya apa-apa karena mencurahkan
hidupnya pada seni tradisi. Tentu untuk mereka juga penghargaan
ini,” ujar Pak Uki dengan tatapan haru.
128
Biodata:
Lahir
Isteri
Anak
Alamat
: Blang Pidie, Aceh Barat Daya, 3 Mei 1943
: Suprapti
: Fitriana
: Jln Kintamani 2 No. 45 RT 04 RW 12, Perum Bumi
Bekasi Baru Utara, Rawalumbu Utara Pengasinan
Bekasi
Pendidikan:
Sekolah Guru Olahraga di Yogyakarta, 1965-1970
Keahlian:
Menari tari tradisi Aceh dan menggubah tarian kontemporer berakar
tradisi Aceh
129
Karier:
- Sejak 1975 mengajar tari Aceh pada Institut Kesenian Jakarta
(IKJ)
- Sejak 1965 memberikan pengajaran tari Aceh di Yogya, Jawa
Tengah, Jawa Timur, kemudian ke beberapa negara di Benua
Asia, Afrika, Eropa dan Amerika
Karya Koreografi:
- Tari Rampa digubah bersama grup Cakra Donya (1978)
- Tari Hu
- Tari Rampai Aceh
- Tari Meusaboh hatee
Pertunjukan:
Penari Rampai Aceh pada Maestro Maestro Dailog Tari yang diselenggarakan
Dewan Kesenian Jakarta
Penghargaan:
Anugerah Kebudayaan untuk kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaharu
dari Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI (2017)
130
Kategori Pelestari
131
132
Marayama:
Penjaga Ingatan Tradisi Mandar
Marayama memilih jalan hidup sebagai “pakacaping tobaine”
(pemetik kecapi perempuan) sejak masa penjajahan Jepang.
Hingga kini ia melakukan pewarisan “kacaping” tanpa pamrih
dengan melatih anak-anak muda demi melestarikan seni musik
dan seni tutur Mandar di Sulawesi Barat.
Pertunjukannya hadir di acara-acara syukuran
keluarga, acara adat, acara pemerintahan dan
festival kebudayaan tingkat nasional, antara
lain di Tenggarong (Kalimatan Timur) dan
Makassar (Sulawesi Selatan). Kepiawaiannya
terekam dalam penulisan buku kebudayaan
Mandar, berbagai koran dan juga lewat film
dokumenter di beberapa stasiun televise, seperti
di TVRI, Trans7, dan MetroTV.
Seperti pada siang itu, petikan kacaping menyeruak di antara
pohon-pohon kelapa dan cokelat. Bunyi dawai berpilin dengan
syair berbahasa Mandar, yang dilantunkan suara bariton seorang
perempuan. Nyanyian bertenaga itu datang dari rumah kayu, berkaki
jenjang khas rumah panggung Sulawesi, yang ditempati seorang
diri oleh Marayama. Perempuan berumur 83 tahun itu memangku
kacaping seperti memangku bayi. Sambil duduk bersila, Ia angkat
sedikit kaki kirinya, sehingga tangan kirinya—yang memetik dawai
kacaping—dapat bertumpu dengan baik. Bagian bawah kacaping ia
sandarkan pada kaki kanann. Alat musik terbuat dari kayu itu seolah
bersandar nyaman dalam pangkuan Marayama. Bagian atas kacaping
dihiasi seni ukir Mandar yang indah. Marayama memetik dawaidawai dengan penuh penghayatan. Setiap kali ia menuturkan syair,
133
didekatkannya kacaping ke dadanya dan disentuhkan pipinya ke
batang kacaping.
Kacaping alat musik kecapi yang lahir dalam kebudayaan
Mandar, Bugis dan Makassar. Penciptaan alat musik ini terilhami
suara indah yang dihasilkan tali layar perahu, yang didengar para
nelayan saat mengarungi lautan. Kekuatan pertunjukan kacaping ada
pada keselarasan antara petikan dawai dan kekuatan syair. Tiga tema
yang dituturkan dalam kacaping Mandar adalah tollo yang bercerita
tentang kepahlawanan, tedze yang berisi pujian atau penghargaan
pada seseorang, dan masala yang berupa nyanyian keagamaan.
Walaupun terdapat tiga tema utama tersebut, dalam pertunjukan,
pakacaping (pemain kacaping) dituntut untuk mengembangkan
petikan dawai dan syair yang ia tangkap dari situasi masyarakat
dan suasana penonton saat pertunjukan berlangsung. Seorang
pakacaping adalah seorang penggubah yang mengembangkan syair
dan jenis petikan setiap kali ia melakukan pertunjukan. Oleh karena
itu, permainan kacaping tidak hanya membawa ingatan pada tradisi
leluhur Mandar, tetapi juga menyerap dan merekam suasana
masyarakat saat ini.
134
Pada mulanya seni kacaping dimainkan untuk pelipur
lara dan mengisi waktu luang. Pada perkembangannya, seni ini
dipertunjukkan dalam pesta adat, pernikahan, sunatan, mendirikan
rumah, juga pada acara-acara kebudayaan dan pemerintahan.
Dalam pementasan kacaping tidak memerlukan panggung yang
tinggi, melainkan yang dekat dengan penonton. Sebab, pertunjukan
kacaping membutuhkan interaksi antara pakacaping dan penonton.
Untuk pertunjukan yang digelar dalam acara perkawinan, panggung
biasanya berada di dekat pelaminan. Adapun untuk upacara masuk
rumah, pertunjukan biasanya dilakukan di halaman rumah.
Waktu pertunjukan dilakukan sepanjang malam, biasanya
mulai dari pukul 20.00 hingga pukul 05.00. Umumnya alat petik
ini dimainkan oleh laki-laki. Hanya dalam tradisi Mandar terdapat
pakacaping (pemetik kacapi) perempuan yang disebut pakacaping
tobaine. Pakacaping tobaine dapat bermain sendiri, duet sesama
pakacaping tobaine atau bersama pakacaping laki-laki. Tidak terdapat
banyak perbedaan antara pemetik kacaping perempuan dan lakilaki, selain bentuk kacaping yang mereka mainkan. Meskipun bentuk
kecapinya sama-sama menyerupai perahu, kacaping yang dimainkan
perempuan bentuknya lebih melengkung seperti ayunan.
135
Marayama salah satu dari pakacaping tobaine yang saat ini
semakin langka. Keahliannya ia warisi dari lingkungan keluarga.
Ayahnya, I Jalaq, berasal dari Kambaqjawa, Samasundu. Sementara
ibunya, Maliaya, berasal dari Galung, Majene. Keluarganya
berpindah-pindah tempat untuk berladang, sampai akhirnya tiba di
Desa Tandassura, Polewalimandar, tempat Marayama dilahirkan.
Kakeknya, I Roa, seorang pembuat kacaping. Pamannya, Sumaati, dan
bibinya, Cicci, pakacaping terbaik di zamannya. Marayama berguru
teknik seni kacaping kepada keduanya. Terutama pada Cicci, yang
di masa tuanya tinggal bersama Marayama. Dari bibinya ini juga
Marayama mendapatkan warisan kacaping kuno. Demikian juga
dengan tiga saudara kandungnya. I Yasi, kakak perempuannya,
adalah pakacaping yang andal; juga Lemba, kakak laki-lakinya. Setelah
kedua kakaknya meninggal, Marayama dan adik perempuannya,
Santuni, menjadi pakacaping tobaine yang tersisa di tengah kelangkaan
pelestari tradisi Mandar ini.
Marayama memberikan pertunjukan kacaping sejak zaman
penjajahan Jepang. Kala itu, ia masih remaja. Marayama melakukan
136
pertunjukan dari desa ke desa. Ketika kepiawaiannya semakin dikenal
orang, ia tampil di “panggung” pertunjukan yang jauh dari desanya,
antara lain ke Mamuju dan Makasar, yang memerlukan sekitar tujuh
jam perjalanan darat. Sebelum tahun 1990-an, wilayah Polewali
Mandar cukup terisolasi. Bagi Marayama dan Santuni, yang saat itu
masih perempuan muda, kondisi ini merupakan tantangan tersendiri
untuk melakukan perjalanan jauh dalam berkarya. Kadang-kadang
mereka harus berjalan kaki, terutama untuk memenuhi undangan di
desa-desa pelosok yang tidak dapat dijangkau kendaraan bermotor.
Keduanya mendapatkan bayaran seadanya, bahkan terkadang
dibayar dengan hasil bumi. Saat ini, selain memenuhi undangan
pernikahan, sunatan dan pesta adat, Marayama sering memenuhi
pertunjukan yang diselenggarakan oleh pemerintahan dan festival
kebudayaan. Pertunjukan teranyarnya ia tampilkan pada festival
budaya di Makassar dan Tenggarong.
Selain andal memetik kacaping dan bersyair, Marayama telah
menghasilkan karya dalam bentuk lirik dan jenis petikan. Di antaranya
lirik Tipa layo, Ececcece, Andurudang, Mamole, Mukammaeng, Ma’olo
dan Sirambangan. Sementara jenis petikan yang ia kreasi, antara lain,
137
Pappa’dendang, Tolakasa (Pamboang), Indo Cawewe dan To Mamunyu.
Proses kreatifnya dihidupi oleh pengalaman sehari-harinya. Lirik
Tipa Layo ia cipta ketika mengamati para nelayan yang berlayar,
sedangkan Indo Cawewe dari permainan anak-anak berupa nyanyian
yang ia adaptasi menjadi jenis petikan.
Untuk melestarikan tradisi kacaping, Marayama melakukan
semacam pewarisan kepada anak muda dan berbagai komunitas
budaya. Ia juga membuka diri untuk mejadi duta kesenian Kabupaten
Polewali Mandar.
Seperti halnya seni tradisi di banyak tempat, Maryama dengan
kacaping-nya juga menghadapi perubahan zaman dalam upaya
pelestarian tersebut. Perubahan hiburan pada pesta masyarakat dari
seni kacaping ke organ tunggal dan musik dangdut membuat seni
tradisi ini tersisihkan sehingga sulit diminati generasi muda. Selain
itu, dalam pengalamannya mengajar, Marayama belum berjumpa
dengan murid yang mampu memetik kacaping sekaligus mencipta
syair secara spontan dalam pertunjukan. “Sebagian dapat memetik
kacaping, tapi tak bisa bersyair dan melantunkan nyanyian,” keluh
Marayama.
Ketelatenan Marayama mendapatkan apresiasi dari berbagai
pihak. Sejumlah penghargaan sudah ia raih, bahkan sejak masa
pendudukan Jepang. Terakhir, tahun 2017, perempuan Mandar ini
mendapat anugerah kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia untuk kategori pelestari. Di akhir
perbincangan, Ia berharap generasi muda tidak mudah menyerah
dan terus mempelajari seni kecapi Mandar ini. “Kalau ada yang
mau dan memiliki semangat belajar, saya bersedia mengajar,” tegas
Marayama. Ia juga menyampaikan hal menyenangkan dari dunia
kacaping yang ditekuninya. Apa itu? “Mendapatkan penghasilan,
memberikan hiburan, membuat orang senang dan menerima
sanjungan atas permainan saya,” tuturnya sambil tersenyum bahagia.
138
Biodata:
Lahir
Suami
Pendidikan
Alamat
: Desa Tandasura, Kabupaten Poliwali Mandar,
Sulawesi Barat 1934
: (alm) Baas
: tidak tamat SD
: Pakabang, Dusun Tandasura, Desa Tandasura, Kec.
Limboro, Kab. Polewali Mandar, Sulawesi Barat
Keahlian:
Musik petik dan seni tutur Pakacaping Tobaine
Karya:
- tujuh lirik pakacaping:Tipa layo, Ececcece, Andurudang, Mamole,
Mukammaeng, Ma’olo dan Sirambangan.
- empat
jenis petikan pakacaping: Pappa’dendang, Tolakasa
(Pamboang), Indo Cawewe dan Petikan To Mamunyu
Penghargaan:
- Anugerah Kebudayaan
dari
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia kategori Pelestari (2017)
- Prestasi Sipakaraya dari Sipakaraya Forum di Tinambung (2009)
- Penyaji Terbaik Pentas Seni Musik Tradisional Sulawesi Selatan
(2003)
- Penghargaan berupa pin perak dari Puang Tenggelang Hamma,
pemerintahan setingkat kabupaten di masa penjajahan (1940-an)
139
Kartolo:
Pelawak Kawakan, Tapi Belum Berani “Stand Up Comedy”
Provinsi Jawa Timur, khususnya Surabaya, merupakan lumbungnya
pelawak. Tokoh-tokoh banyolan di pentas lawak Tanah Air banyak
yang berasal dari kota rujak cingur ini. Di antara pelawak kawakan
asal Surabaya yang masih eksis sampai sekarang adalah Kartolo.
Tolo, begitu nama lahirnya, merupakan
pelawak panggung. Dia melawak dari satu
pentas ke pentas ludruk sejak 1960-an. Sampai
saat ini, di usianya yang sudah 70 tahun, Kartolo
masih sering manggung untuk mengocok perut
masyarakat.
Di awal kariernya, setelah ikut beberapa
panggung ludruk, pelawak kelahiran Pasuruan,
2 Juli 1947, ini kemudian mengisi acara ludruk
di RRI. Namanya pun kian moncer. Di wilayah “Tapal Kuda”, Jawa
Timur, nama Kartolo terus berkibar lewat profesinya sebagai pelawak
dengan banyolan-banyolannya yang khas. Hingga kini! Saking
aktifnya dia membawakan lawakan di pentas ludruk, saat ini karya
banyolannya mencapai 112 judul.
’’Setiap judul lawakan durasinya satu jam,’’ kata bapak tiga
anak ini.
Sebetulnya, panggung ludruk yang ia isi dengan lawakanlawakan segar yang bikin “geerr” penonton tersebut bukanlah profesi
pilihan pertamanya. Semula Kartolo terjun di dunia karawitan. Selain
itu, Kartolo muda juga pernah ikut mengiringi pertunjukan wayang.
Tapi, setelah beberapa kali ikut bermain ludruk, terutama ketika
menikmati begitu riuh sambutan penonton lewat sesi banyolanbanyolan yang tampilkan, Kartolo akhirnya memutuskan dunia
lawak-lah sebagai pilihan hidupnya sebagai seniman.
140
Menurut dia, kunci penampilan lawakannya adalah
dibumbui kidungan. Tidak sembarang kidungan yang dia bawakan.
Sebisanya mungkin kidungan harus memiliki makna positif yang
harus disampaikan. Ketika tampil di tengah-tengah pelajar, misalnya,
Kartolo membawakan kidungan yang berisi tentang ajakan mencari
ilmu untuk kepentingan dunia dan akhirat.
Kartolo terus mengikuti dunia komedi Tanah Air. Dia juga
mengamati perkembangan lawakan modern seperti stand up comedy.
Ternyata, meskipun berstatus pelawak alias komedian, Kartolo
mengaku tidak berani manggung di acara stand up comedy. ’’Biar itu
bagiannya Cak Lontong dan teman-temannya,’’ jelasnya.
Dalam membawakan komedi, Kartolo mengatakan memiliki
pakem yang harus dia terapkan, yakni pakem lawakan yang tidak
me-bully partner bermainnya. Dia mengaku tidak suka gaya komedi
yang cenderung mengolok-olok rekan setim. Komedi yang dibumbui
adegan kekerasan juga dia hindari.
Pada masa jawanya, tim panggung Kartolo memiliki
komposisi enam orang. Selain Kartolo, ada Cak Supari, Ning Tini, Cak
Baseman, Cak Slamet, dan Cak Munawar. Kartolo juga menurunkan
141
kemampuan melawaknya itu ke putrinya, Dewi Tianti. Terkait
dengan masa depan pentas-pentas kesenian tradisional di Jawa
Timur, khususnya Surabaya, suami Kustini ini berharap pemerintah
daerah ikut serta melestarikannya. ’’Jangan sampai malah habis
terkena gempuran budaya dari luar negeri,’’ ujarnya.
Bagi Kartolo, tidak masalah bila masyarakat mengetahui
budaya luar negeri. Akan tetapi jangan sampai mereka lalu
meninggalkan budaya tradisional setempat. Sebab, dia melihat bahwa
salah satu ancaman eksistensi budaya tradisional adalah minimnya
minat dari generasi muda saat ini untuk menggelutinya.
Menurut Kartolo, ada beberapa cara yang bisa dilakukan
untuk melestarikan serta mewariskan kesenian tradisional ke generasi
muda. Di antaranya adalah memasukkan kesenian tradisional sebagai
muatan lokal di sekolah. Kemudian, secara berkala dilaksanakan
perlombaan atau kompetisi lintas sekolah. Dengan cara ini Kartolo
optimistis kesenian tradisional bisa terus tumbuh dan tidak hilang
terlindas zaman.
142
Biodata:
Nama
Nama Panggung
Lahir
Nama istri
Karya
: Tolo
: Kartolo
: Pasuruan, 2 Juli 1947
: Kustini
: 112 judul lawakan
Karya lawakan pertama:
“Peking Wasiat & Welut Ndase Ireng”
143
Johar Saad:
“Dulmuluk Sudah Mendarah Daging”
Siang hari menjelang senja, ketika matahari sedang terikteriknya,Johar Saad bin Saad masih terlihat gigih melatih generasi
muda yang tergabung dalam sanggar buatannya: Sanggar Seni
Harapan Jaya yang beralamat di Perum Patra Sriwijaya, Kecamatan
Gandus, Palembang. Sebelum mendirikan sanggar tersebut,
mulanya iamendirikan dan mengajar Dul Cik (Dulmuluk Kecil).
Pada 1972-1973, ia mengajar Dulmuluk remaja. Intinya, sanggar
ini merupakan cara untuk melestarikan seni teater tradisional khas
Sumatera Selatan, Dulmuluk.
Oleh masyarakat danpraktisi seni ataupum
pecinta seni tradisi Dulmuluk di Sumatera
Selatan, Johar Saad lebih dikenal dengan nama
Jonhar. Lelaki kelahiran 15 Agustus1952 ini
mengaku, nama Jonhar diperoleh ketika tampil
membawakan pertunjukan Dulmuluk di TVRI
Palembang. Katanya, waktu itu penulisan
namanya keliru. “Setelah dipikir-pikir, nama
itu bagus juga. Akhirnya saya tidak jadi meralat
penulisan nama yang kelirutersebut. Sejak saat itu, hingga sekarang,
nama Jonhar telah menjadi nama panggung saya,” terangnya.
Mengenai masuknya cerita ini ke Sumatera Selatan,
berdasarkan cerita dari kakeknya, pada 1902 Wak Nang Nong
mengambil pemikiran dari pertunjukan yang ditontonnya. Kemudian
diajarkanlahke Iyek Kamaludin (kakekJohar) dan Iyek Mesir. Masih
menurut cerita kakeknya, saat itu yang belajar teatertradisional
ini datang dari seluruh kabupaten yang di Sumatera Selatan,
sepertidariBangka Belitung, Sekayu,dan Pagar Alam. Namun,
144
yang terkenal hanyaIyek Mesir dan Iyek Kamaludin, karena mereka
terus memainkannya, sedangkan yang di kabupaten lainnya tidak
berlanjut.
Johar sendiri mula berkecimpung di seni teater tradisi
Dulmuluk sewaktu berusia empat tahun. Pada 1958-1959, dirinya
diperkenalkan dan kerap diajak menonton pertunjukan Dulmuluk
oleh kakeknya. Kali pertama tampil adalah ketika duduk dikelas
Isekolah rakyat (SR). Masa itu,iaberperan sebagai anak-anak. Perihal
alasan bermain teater tradisi Dulmuluk, Johar menuturkan bahwa itu
semata-mata atas dasar suka, dan cinta.
Yang tak kalah pentingtentu karena adanya rasa
tanggungjawab untuk melestarikan Dulmuluk. Pasalnya, kakeknya
belajar dan main teater ini. Jika kakeknya sudah tiada lagi, siapa
yang melestarikannya. Lantas, jiwanya pun terpanggil untuk
belajar,bermain, dan melestarikan Dulmuluk. “Sebab, Dulmuluk
sudah mendarah daging serta jadi tanggungjawab kami,” paparnya.
Soal honor yang kecil, Johar tidak terlalu mempersoalkan
karena cintanya yang sudah mendarah itu terhadap seni tradisi
Dulmuluk. Ditambah lagi, pada masa itu ia belum menikah alias
145
belum memiliki tanggungan. Duka lainnya,
pernah dalam satu bulan tidak pulang, uangnya
habis di jalan, atau terkadang mesti jalan kaki
hingga 30 kilometer ke pelosok hanya untuk
memenuhi undangan bermain Dulmuluk.
Johar juga menuturkan tidak sedikit tokoh
maupun pemain atau praktisi teater Dulmuluk
meninggalkan Dulmuluk dengan berbagai
alasan. Maka, kecintaan dan semangat bermain
teater ini ditularkannya kepada anak kandung
dan generasi muda. Hal tersebut dilakukan agar
generasi muda mengenal akar tradisi daerahnya
melalui kesenian tradisi. “Mudah-mudahan, melalui seni tradisi
inimereka juga bisa mendapatkan rezekinya,” harapJohar.
Menurut Johar, secara umum struktur dan konsep pertunjukan
Dulmuluk memiliki banyak kemiripan dengan teater tradisonal
lainnya. Sebutlah seperti pertunjukan teater Bangsawan. Hanya saja,
kata Johar, Dulmuluk mengangkat kisah dari syair karangan Raja Ali
Haji yang berjudul “Sultan Abdul Muluk”.
(Namun, dalam sejumlah catatan sejarah disebutkan bahwa
teks-teks syair Abdul Muluk sesungguhnya karangan penulis
perempuan bernama Saleha, bukan karya Raja Ali Haji. Saleha adalah
saudara perempuan Raja Ali Iba Raja Achmad Iba, Yang Dipertuan
Muda Raja Haji Fi Sabilillah. Ketika pertama kali teks syair Abdul
Muluk diterbitkan pada 1847 diberijudul Kejayaan Kerajaan Melayu—
ed).
Mengenai pakem Dulmuluk, kata Johar, untuk kostum
umumnya sama. Misalkan songket trompa Palembang yang
dipakai panglima atau datu. Akan tetapi nilai dasarnya beragam.
Begitu juga pada musik, yang pakemnya memiliki empat tabuhan.
146
Alatnya menggunakan biola, gendang, beduk, bendi/gong. Tetapi
sekarangalat musiknya sudahditambah piano, melodi, akordeon,
gendang, drum, bas dengan nada diatonis untuk memenuhi
permintaan pasar.
Dalam menekuni Dulmuluk, Johar bertekad untuk tidak
berubah, dalam arti terus bermain Dulmuluk meski tidak dapat rezeki
dari sana. Pepatah lama mengingatkan, Tak lekang karena kepanasan,
tak lapuk karena kehujanan. Dirinya tetap eksis bermain Dulmuluk.
Sebab itu, ia harus bisa meyakinkan anak dan istri. Tak jarang
memberikan uang panjar pada istri untuk biaya hidup keluarga.
Sejak awal hingga sekarang, ia hidup dan menghidupi keluarga serta
membiayai pendidikan anak-anaknya dari bermain Dulmuluk.
Johar adalah generasi ke-3 dari keluarga pemain Dulmuluk.
Sebuah bentuk pewarisan tradisi secara alamiah: dari kakek ke
bapak, dari bapak keanak! Saat ini Johar pun sudah mempersiapkan
generasi penerusnya, generasi ke-4, lewat sang anak: Randi Putra
Ramadhan. Kepada Randi, Joharterus menanamkan kecintaan
terhadap teater tradisi ini agar tidak punah ditelan zaman. Generasi
ke-4 ini beranggotakan ratusan orang, akan tetapi yang aktif sekitar
40-50 orang.
147
Mengenai Anugerah Kebudayaan 2017 yang diberikan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk kategori pelestari
seni tradisi, Johar menyampaikan terimakasih karena pemerintah
telah memperhatikan seni tradisi dan seniman seperti dirinya
lewat pemberian anugerah semacam ini. “Mudah-mudahan
perhatiansemacam ini terus berlangsung agar budaya tradisi kita
tetap eksis dan lestari,” katanya.
Biodata:
Nama
Nama Panggung
: Johar Saad
: Jonhar
Tempat/Tanggal Lahir :
Ogan Komering Ilir, 15 Agustus 1952
Karya-Karya
1. Naskah Sultan Abdulmuluk
2. Naskah Siti 2
3. Naskah Pulau peranggi
4. Naskah Zubaidah siti
5. Naskah Raja Menggala
6. Naskah saudagar bahsan
7. Naskah Sultan Berbari
8. Naskah zainal Abidin syah
9. Naskah bercinta Dalam Mimpi
10. Naskah cinta bersemi
11. Naskah dewa khayangan
12. Naskah DURJAUHARI
148
Christ Fautngil:
Jangan Malu Berbahasa Ibu
Doktor Christ Fautngil sudah 39 tahun mendedikasikan
hidupnya untuk penelitian bahasa-bahasa lokal di Papua.
Penelitiannya menelusuri kekayaan bahasa-bahasa lokal dari
daerah kepala burung, pegunungan, bagian selatan Papua hingga
daerah perbatasan dengan Papua Nugini.
Ia meneliti, antara lain, pemakaian bahasa di
Kepulauan Raja Ampat,
pemetaan bahasa di
Sentani dan Lembah Grime, deskripsi struktur
bahasa Nafiri, Waropen, Biak, Kamoro dan Tobati.
Penelitiannya menghasilkan enam kamus bahasa
(kamus bahasa Indonesia-bahasa lokal) dan tujuh
buku mengenai tata bahasa, serta kajian lain terkait
bahasa-bahasa lokal tersebut. Ketua Asosiasi
Peneliti Bahasa Lokal (APBL) Papua ini berharap penelitiannya dapat
dibarengi oleh kebijakan pemerintah yang memungkinkan sukusuku di Papua mempertahankan dan melestarikan bahasa ibunya.
Christ Fautngil melakukan penelitian bahasa-bahasa lokal
di Papua sejak 1979. Saat itu ia baru menyelesaikan studi Pendidikan
Bahasa Indonesia di Universitas Cendrawasih. Sarjana muda ini
mengikuti penelitian multi-disipliner untuk wilayah Maluku dan
Irian Jaya yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). Penelitian pertamanya mendalami bahasa-bahasa
di Kepulauan Raja Ampat.
Selanjutnya ia melakukan penelitian di daerah-daerah ‘kepala
burung’, Pulau Papua, kemudian ke ibu kota provinsi Jayapura dan
wilayah perbatasan Nafiri, yang memiliki karakteristik satu kampung
149
menggunakan satu bahasa. Penelitiannya kemudian bergerak ke
bagian selatan Papua, antara lain daerah Marin dan Kamoro. Juga
daerah Pegunungan Wamena. Saat ini Christ memperluas penelitian
di Jayapura atas permintaan wali kota setempat. Permintaan itu
karena
muncul kekhawatiran punahnya beberapa bahasa lokal,
terutama yang pemakainya tinggal di kota yang mendapat pengaruh
lebih banyak dari luar.
Menurut dosen Universitas Cendrawasih ini, memang salah
satu yang mengancam kepunahan bahasa-bahasa lokal Papua karena
penuturnya berhadapan dengan kemajuan teknologi dan pengaruh
dari luar, sehingga mereka sulit untuk mempertahankan apa yang
mereka miliki. Umumnya, ancaman yang seperti ini dihadapi oleh
penutur bahasa yang tinggal di kota. Ancaman lain, berkembangnya
cara berpikir yang menganggap menggunakan bahasa nasional lebih
keren dibandingkan bahasa ibu. Ancaman terakhir adalah hadirnya
para pendatang ke Papua yang kurang peduli untuk mempelajari
bahasa setempat.
Keprihatinan atas semakin punahnya bahasa-bahasa lokal di
Papua itu yang mendorong Christ untuk mendedikasikan diri pada
penelitian bahasa-bahasa di provinsi paling timur Indonesia ini.
Fungsi bahasa dalam masyarakat, menurutnya, tidak sebatas sebagai
alat komunikasi. Bahasa juga merupakan sistem pengetahuan pemilik
bahasanya. Bila suku-suku di Papua sudah tidak dapat bertutur
dengan bahasa ibunya, bagaimana mereka dapat melestarikan
keberlangsungan sistem pengetahuan dan kearifan lokal dari
kebudayaan mereka?
Setiap suku di Papua, sebagaimana suku-suku lain di dunia,
sebenarnya punya cara tersendiri untuk mewariskan kearifan
lokal dan pengetahuan yang berakar dari kebudayaannya pada
generasi selanjutnya. “Salah satu sistem pewarisan melalui melalui
150
bahasa ibu,” demikian Christ menjelaskan. Bahasa juga identitas
kebudayaan.
“Bagaimana misalnya seseorang mengidentifikasi
sebagai orang Sentani kalau ia tidak mengerti dan kehilangan bahasa
Sentani,” tutur Christ.
Menghadapi situasi demikian, sebagai peneliti, Christ
berusaha membukukan tiga hal dari hasil penelitiannya. Pertama,
menyusun kamus bahasa Indonesia–bahasa-bahasa lokal
Papua.
Kedua, menyusun tata bahasa dari bahasa-bahasa lokal tersebut
dan menyiapkan buku ajar cara bahasa-bahasa tersebut diajarkan.
Ia berharap dengan menyusun buku ajar tersebut, pemerintah lebih
terdorong untuk menggalakkan pengajaran bahasa ibu di sekolahsekolah. Hingga sejauh ini Christ telah menyusun enam kamus, dua
buku tata bahasa, dan lima buku terkait situasi bahasa-bahasa lokal
di Papua.
Apa yang ia lahirkan itu masih sedikit jika dibandingkan
luasnya Pulau Papua dan kekayaan bahasa yang terkandung di
dalamnya. Christ berupaya sedikitnya melahirkan 10 kamus, 10
buku tata bahasa, dan 10 buku terkait situasi kebahasaan bahasa lokal
Papu, sebelum ia benar-benar tidak dapat lagi melakukan penelitian.
Hasil penelitiannya itu, menurut Christ, perlu dibarengi
kebijakan pemerintah yang dapat mendukung keberlanjutan bahasabahasa yang sedang terancam punah itu. Seperti penyuluhan kepada
masyarakat agar menggunakan bahasa ibunya, terutama mereka
yang tinggal di perkotaan yang banyak berinteraksi dengan bahasa
dari luar. Saat ini, Christ bekerjasama dengan Summer Institute of
Linguistics (SIL) menjalankan program pembelajaran multibahasa
bagi anak-anak di Distrik Kuyawage. Program ini memungkinkan
anak SD dari kelas I sampai kelas III SD untuk menggunakan bahasa
ibu sebagai bahasa disekolah. Dengan demikian anak diharapkan
lebih mudah menangkap ilmu pengetahuan dan secara bersamaan
151
memperkokoh akar bahasa ibunya. Program ini telah mendapatkan
dukungan dari dinas pendidikan setempat dan dijalankan di lima
wilayah untuk penutur bahasa Mei, Sentani, Marin, Merauke, Asmat
dan Kamoro.
Dalam upanya melestarikan bahasa-bahasa lokal ini, Christ
juga menghadapi beberapa tantangan yang tidak mudah untuk
diatasi. Ada suku yang menolak bekerja sama dalam penelitiannya
karena mereka menganggap Christ hanya akan mengambil
keuntungan dari mereka. Tantangan kedua, kurangnya dukungan
dana. Dengan kondisi Pulau Papua yang luas dan daya jangkau yang
sulit mengakibatkan biaya transportasi dan operasional penelitian
menjadi sangat mahal. Keterbatasan dana itu juga yang akhir-akhir
ini membuat Christ lebih banyak melakukan penelitian di sekitar
Jayapura.
Namun demikian, Christ—sebagai dosen—menyarankan
kepada mahasiswanya agar
152
melakukan penelitian terhadap
bahasanya sendiri. “Bila mereka sudah menyadari pentingnya
melestarikan bahasa lokal mereka sendiri, harapan saya mereka juga
mau mengembangkan penelitian pada bahasa-bahasa di tetangga
desanya yang berbeda, sehingga upaya pelestarian lebih mungkin
dilakukan secara berkelanjutan,” harap Christ. Untuk keberlanjutan
penelitian bahasa-bahasa ibu di Papua ini, Christ juga melibatkan
peneliti muda dalam proyek-proyek penelitiannya tersebut.
Menanggapi Anugerah Kebudayaan untuk kategori Pelestari
yang ia terima dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, Christ mengucapkan terima kasih karena
pemerintah dapat melihat apa yang sedang ia upayakan. “Walaupun
sebenarnya saya tidak mengharapkan sesuatu. Selama saya masih
bisa bekerja, ini berkat yang cukup dari Tuhan dan saya bersyukur
dengan apa yang saya terima,” tutur Christ.
Di akhir perbincangan, Christ menyarankan kepada pemilik
bahasa agar jangan malu mengunakan bahasa ibu. Sebab, ketika
bahasa nasional sudah diatur harus digunakan pada momen
153
apa, justru bahasa daerah belum ditempatkan dengan saksama.
Gunakanlah bahasa ibu di rumah dan ciptakan forum di masyarakat
yang memungkinkan untuk menggunakan bahasa lokal. Karena,
menurutnya, bahasa
aspek budaya yang sangat penting bagi
masyarakat dan memberi pengaruh pada perkembangan masyarakat.
Biodata:
Lahir
Alamat
Pendidikan
: Bombay, Tual, 9 September 1948
: Kampung Yoka Distrik Heram, Jayapura, Papua
:
- D3 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas
Cendrawasih
- S1 Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP Bandung
- S2 Linguistik Universitas Indonesia
- S3 Linguistik Universitas Udayana
Keahlian
: Peneliti bahasa-bahasa lokal di Papua
Karier
:
- Ketua Asosiasi Peneliti Bahasa Lokal (APBL)
Papua (2013 – sekarang)
- Anggota Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI)
(1998 – sekarang)
- Ketua Wilayah Papua Himpunan Pembina Bahasa
Indonesia (HPBI) (1997 – sekarang)
Bidang Penelitian :
- Penelitian sosiolinguistik
- Pemakaian bahasa di Kepulauan Raja Ampat,
- Sastera Asmat
- Sastera Jayapura
- Pemetaan Bahasa di Jayapura
- Pemetaan Bahasa Sentani
- Pemetaan Bahasa-bahasa di Lembah Grime,
Jayapura
154
Deskripsi struktur bahasa:
- Bahasa Noi (Sorong)
- Bahasa Nafiri (Jayapura)
- Bahasa Biak (Biak Numfor)
- Bahasa Marind (Merauke)
- Bahasa Waropen (Waropen)
- Bahasa Demta (Jayapura)
- Bahasa Kamoro (Mimika)
- Bahasa Kayo Pulau (Jayapura)
- Bahasa Tobati (Jayapura)
Karya Kamus :
-
Kamus Bahasa Indonesi - Sentani
Kamus Bahasa Indonesia - Biak
Kamus Bahasa Indonesia - Waropen
Kamus Bahas Indonesia - Marind.
Kamus Bahasa Indonesia - Hubula (Wamena)
Kamus Bahasa Indoensia – Kei Evav
Karya Buku :
- Tata Bahasa Kayo Pulau (2014)
- Tata Bahasa Tobati (2014)
- Beberapa Catatan tentang Fonologi Bahasa Kamoro
Ragam Ai’owe (2013)
- Bahasa-Bahasa di Tanah Papua Dahulu, Kini dan
Masa Depan (2013)
- Proses Derivasi dalam Bahasa Biak (2011)
- Linguistik Pengantar Umum (2011)
- The Marginalisation of the Languages of Papua (2010)
Penghargaan :
Anugerah Kebudayaan untuk kategori Pelestari dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (2017)
155
Rudolf Joppy Sajow:
Mencintai Indonesia, Melestarikan Kolintang
Segala sesuatu yang bermula dari cinta akan senantiasa berbuah
kesuksesan. Meski pada mulanya sesuatu itu biasa saja, akan tetapi
lambat laun akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Demikianlah
kira-kira kiasan pengalaman hidup sebagaimana yang dialami oleh
Rudolf Joppy Sajow, seniman kolintang yang sudah menancapkan
kecintaannya kepada musik kolintang sejak usia belia.
Rudolf Joppy Sajow bercerita panjang lebar
tentang awal mula ketertarikannya menekuni
kolintang. Sampai-sampai pada usia sembilan
tahun ia sudah pandai membuat kolintang
melodi untuk dimainkannya sendiri. Pada usia
16 tahun ia bahkan sudah bisa membuat 1 set
kecil yang terdiri dari 1 kolintang melodi dan 2
kolintang pengiring.
Pria kelahiran 21 Maret 1950 di Tomohon ini
tampaknya sudah ditakdirkan sejak kecil untuk
menggeluti dunia kolintang. Ia begitu mencintai music kolintang
sejak masih belia. Rasa cinta itu terus tumbuh besar hingga saat ini.
Berkat konsistensi dan kerja keras yang hampir tidak terbatas, Joppy
Sajow mampu melampaui mimpi anak-anak seusianya. Bakat yang
terpendam sejak kecil terus tumbuh besar dan mengantarkannya
menjadi sosok yang dikagumi di dunia kolintang. Lewat kolintang
inilah, Jopp Sajow dapat berkeliling Indonesia, juga mendapatkan
undangan ke luar negeri.
Kolintang adalah seperangkat alat musik yang terdiri atas
barisan gong kecil yang diletakkan mendatar. Alat musik ini dimainkan
dengan diiringi gong tergantung yang lebih besar dan drum. Kolintang
merupakan bagian dari budaya gong Asia Tenggara, yang telah
156
dimainkan selama berabad-abad. Alat musik ini berkembang dari
tradisi pemberian isyarat sederhana menjadi bentuk seperti sekarang.
Kegunaannya bergantung pada peradaban yang menggunakannya.
Dengan pengaruh dari Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan Barat,
kolintang merupakan tradisi gong yang terus berkembang.
Di Indonesia, kolintang dikenal sebagai alat musik perkusi
bernada dari kayu yang berasal dari daerah Minahasa, Sulawesi
Utara. Kayu yang dipakai untuk membuat kolintang adalah kayu
lokal yang ringan tetapi kuat, seperti kayu telur (Alstonia sp), kayu
wenuang (Octomeles Sumatrana Miq), kayu cempaka (Elmerrillia
Tsiampaca), kayu waru (Hibiscus Tiliaceus), dan sejenisnya yang
mempunyai konstruksi serat paralel. Nama kolintang berasal dari
suaranya: tong (nada rendah), ting (nada tinggi) dan tang (nada biasa).
Dalam bahasa daerah, ajakan “mari kita lakukan tong ting tang”
adalah: “mangemo kumolintang”. Ajakan tersebut akhirnya berubah
menjadi kata kolintang.
Dan, bagi Joppy, ajakan untuk bermain kolintang itu begitu
merasuk dalam hingga ke relung hati dan jiwanya. Tak sekadar
memainkannya, Joppy yang masih remaja sudah terpikir untuk
membuat kolintang. Alhasil, tahun 1972 ia telah berhasil membuat
satu set kolintang untuk SMP Negeri 1 Manado. Tahun berikutnya,
1973, ia kembali membuat satu set kolintang untuk masyarakat Desa
Kompi, Minahasa. Sejak itu, nama Joppy sebagai pembuat kolintang
mulai dikenal luas. Tak heran bila pada tahun 1976 ia ikut dilibatkan
membantu pembuatan kolintang dalam jumlah besar untuk SMP seSulawesi Utara, sebuah proyek yang didanai oleh Kantor Wilayah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sulut. Ia juga membuat
dua set kolintang untuk dua organisasi keagamaan, yaitu GPDI
dan GMIM di Desa Lalumpe, Minahasa. Karena kepiawaiannya
dalam membuat kolintang, Joppy pernah menerima pesanan satu
set kolintang khusus bilah-bilah nada yang dipesan langsung oleh
Yayasan Maesa di Negeri Belanda. Kemahiran Joppy Sajow bukan
157
hanya dalam membuat alat musik kolintang, tahun 1972—seiring
dengan masa-masa awal kegiatannya membuat kolintang—ia sudah
mampu mengaransemen musik kolintang berdasarkan teori musik
yang ada pada masa itu.
Hal lain yang menarik dari sosok pria bersahaja ini ialah
kecintaannya untuk berbagi dengan sesama. Ia pernah menjadi
pelatih musik kolintang sejak tahun 1971. Ia pun pernah mengajar
musik kolintang di banyak tempat, di antaranya di Buana Ria dan
Nada Maesa IKIP Negeri Manado; SMA Negeri 1 Manado; Tanjung
Maesa Tumaluntung, Minahasa Utara; Nada Tamporot Tumaluntung,
Minahasa Utara; The Santos Manado, Bhayangkara Manado; Tim
Kesenian Sulawesi Utara, serta Tim Sumekolah Universitas Sam
Ratulangi (Unsrat) Manado untuk pergelaran seni di Belanda dan
Belgia dan lain sebagainya. Itu semua merupakan jejak nyata bahwa
Joppy Sajow adalah pelestari sejati musik kolintang.
Selain mengajarkan musik kolintang, Joppy Sajow juga mahir
dalam melatih paduan suara. Ia mulai menjadi pelatih paduan suara
di usia 17 tahun di kalangan jemaat gereja. Ia juga pernah melatih
ibu-ibu Dharma Wanita Pertamina Manado (1982-1985). Joppy pun
158
kerap didapuk sebagai pelatih Paduan Suara Sulawesi Utara dalam
rangka mengikuti festival tingkat nasional, mulai dari tahun 1983,
1985, 1993, 2006, 2009, 2012 dan 2015. Ia juga dikenal sebagai perintis
pembentukan Vocal Group Sulawesi Utara pada 1974.
Joppy Sajow juga pernah melatih musik bambu (bamboo music)
di beberapa tempat, seperti di Satria Laut Tanawangko, Minahasa
(1990-2003); Irama Satria Tanawangko, Minahasa (2002-2012), Satria
Jayua Lemo, Minahasa, dan terakhir menjadi pelatih di Harapan Satri
Ratahan, Minahasa Tenggara (1997-2003).
Mengingat kiprahnya yang begitu luas di dunia musik
kolintang, ia pun sering diundang menjadi pembicara di berbicara
di berbagai tempat. Sebutlah ketika ia diundang untuk menjadi
pembicara dalam Workshop Kesenian Pria/Kaum Bapak Sinode
GMIM oleh Komisi Pelayanan Pria (2011), dan didaulat menjadi
narasumber Temu Seniman di Rurukan-Tomohon oleh UPTD
Taman Budaya Provinsi Sulawesi Utara (2017). Pantaslah jika sosok
pekerja keras ini mendapatkan penghargaan Anugerah Kebudayaan
2017 untuk kategori Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
159
Biodata:
Nama
Lahir
Pekerjaan
Pendidikan
: Rudolf Joppy Sajow
: Tomohon, 21 Maret 1950
: Seniman Tradisi, Pensiunan PNS
: S1
Keahlian :
Seni Kriya dan Pertunjukan (Membuat dan Memainkan Kolintang)
Alamat:
Jln Salak VII, No 26, Lingkungan I, Paniki Dua, Mapanget, Kota
Manado
Karya-karya:
• Aransemen/orkestrasi lagu-lagu kolintang/musik bambu
• Makalah tentang musik kolintang
• Sejumlah buku/bahan ajar teori musik kolintang
Penghargaan:
• Anugerah Kebudayaan 2017 kategori Pelestari
• Pemerhati, Pelestari dan Pelatih Kolintang untuk
Pengembangan Kebudayaan Indonesia oleh Wakil Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, 2014
• Juara I Pertandingan Musik Kolintang Seri A dalam rangka
Peringatan HUT Ke-28 Proklamasi RI oleh Panitia Pelaksanaan
Peringatan HUT Ke-28 Proklamasi RI Provinsi Sulawesi Utara
(1973)
Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Kolintang
160
Haji Ato Hermanto:
Ingat Dodol, Ingat Garut
Salah satu impian Haji Ato Hermanto adalah dodol menjadi ikon
kota Garut. “Begitu orang menyebut dodol, orang akan langsung
teringat Garut,” katanya berapi-api. Oleh karena itu, ia tak pernah
kenal lelah berjuang melestarikan dan mengembangkan dodol agar
tetap eksis dan cocok dengan selera zaman.
Ketika menerima tongkat estafet usaha keluarga
untuk memimpin PT Herlinah Cipta Pratama
yang menghasilkan Dodol Picnic dari generasi
pertama keluarganya, tahun 2000, kondisi dunia
usaha pada umumnya sedang susah-susahnya
akibat krisis moneter. Tak terkecuali usaha
dodol. Kondisi usaha saat itu sungguh berat.
Namun, bagi Ato, kondisi yang berat itu justru
menjadi peluang bagi pengembangan usaha
dodol yang telah dirintis keluarganya sejak tahun 1950-an. Bahkan ia
mau melestarikan kuliner dodol yang telah lama menjadi kekhasan
Garut, kota berhawa dingin yang pernah dikunjungi komedian dunia
Charlie Chaplin sebanyak dua kali, yaitu pada 1927 dan 1932.
“Dunia usaha saat itu sedang susah akibat krisis moneter.
Namun saya melihat krisis itu justru menjadi peluang untuk
membangkitkan usaha kami dalam bidang dodol. Dengan keyakinan
itu saya membangun kembali perusahaan keluarga yang dipercayakan
kepada kami,” tutur Haji Ato tentang awal keterlibatannya dalam
perusahaan keluarga.
Di tangannyalah perusahaan ini melakukan berbagai upaya
perbaikan, penyempurnaan dan pengembangan dalam berbagai
bidang. Mulai dari manajemen, produksi, pengembangan produk,
pemasaran, administrasi, SDM sampai diversifikasi produk aneka
dodol garut.
161
Ia memberanikan diri mengambil kredit dari bank untuk
mengembangkan usahanya. Upayanya untuk mengangkat kembali
dodol jadi makin lebih kompetitif di pasaran membawa hasil.
Perusahaan keluarga itu dapat melewati kondisi krisis dunia usaha
waktu itu. Usahanya kembali berkembang. Bahkan kini sebagian
besar pasar dodol di Tanah Air dikuasainya. Jumlah karyawan yang
bekerja di perusahaannya pun terus bertambah jadi sekitar 350 orang.
Menurut Ato, perusahaan yang ia pimpin bisa terus bertahan
karena memegang teguh visi, misi, dan strategi perusahaan yang
dilandasi oleh tiga prinsip utama manajemen yang diterapkan melalui
pengelolaan manajemen kekeluargaan dan pengabdian menuju ke
arah profesional. “Prinsip-prinsip tersebut adalah mawas diri, tahu
diri, dan harga diri,” paparnya.
Dalam soal produk, perusahaannya mencoba menghasilkan
dodol yang sesuai dengan tren pasar. Maka, ia menambahkan variasi
rasa buah-buahan, brownies, sampai cokelat. Dengan rasa baru itu,
Dodol Picnic bisa terus bersaing dengan jenis panganan lain di pasar.
Rasa Dodol Picnic yang dipasarkan bermacam-macam, yaitu Dodol
Picnic Classic, Dodol Picnic Special Aneka Buah, Dodol Picnic
Special Aneka Rasa, Choco.Dol, dan Dodol Brownies.
Upayanya untuk memajukan dodol tak sampai di sana. Haji
Ato memperkenalkan “Wisata Dodol Picnic”. Ia mengundang
wisatawan untuk menyaksikan langsung bagaimana proses
pembuatan dodol dari beras ketan dan gula pasir. Yang berminat
dapat mengajukan aplikasi lewat surat elektronik minimal tujuh hari
sebelum kunjungan.
“Wisatawan yang dilayani di sini tidak hanya rombongan,
tapi juga bisa perorangan,” ujar Ato dengan penuh semangat. Ia
berharap agar wisatawan mendapat kesan yang mendalam berkaitan
dengan proses pembuatan dodol dan mau berkunjung lagi ke Garut.
Harapan lain dari itu semua adalah pemasaran dodol bisa terus
meningkat.
162
Haji Ato adalah generasi kedua yang mewarisi usaha keluarga.
Ia menerima usaha dodol itu dari tangan Haji Muksin, adik dari Haji
Aam Mawardi (ayah kandung Ato) dan Haji Iton Damiri (uwa/
kakak dari Aam Mawardi). Aam dan Iton yang telah merintis usaha
dodol sejak tahun 1950 sehingga bisa dikenal luas di Bandung dan
Jawa Barat pada umumnya. Sejak tahun 1972, perusahaan dipimpin
oleh H Muksin.
Haji Ato saat ini sedang mempersiapkan generasi ketiga yang
akan memimpin perusahaan keluarga tersebut agar usahanya dapat
terus berlanjut dan makin berkembang. “Saya sudah menyiapkan
calon-calonnya. Ada dari ponakan, tetapi juga ada dari kalangan
profesional. Sekarang eranya kaum profesional,” tuturnya.
Dodol Picnic mendapatkan bahan pembuatan dodol dari
Garut juga. Perusahaan tersebut menggunakan beras ketan produksi
Garut yang kualitasnya, menurut Ato, termasuk terbaik. Karena itu,
perusahaannya menjalin kemitraan dengan para petani beras ketan
di sana. Kemitraan itu membuat perusahaannya tidak kekurangan
pasokan beras ketan, sementara para petani beras ketan tidak perlu
repot-repot mencari pasar.
163
Sejak lama, Garut terkenal sebagai penghasil makanan dodol
yang memiliki cita rasa yang khas dan banyak digemari masyarakat
luas. Potensi inilah yang mendorong Haji Iton Damiri pada tahun
1949 merintis usaha dodol garut. Perusahaan ini mengalami
perkembangan yang sangat pesat, sehingga pada tahun 1957 Haji
Iton mengajak adiknya, Haji Aam Mawardi, untuk bergabung. Atas
prakarsa Haji Aam, merek dagang perusahaan ini diganti dengan
Picnic.
Tahun 1972 Haji Aam meninggal, lalu Haji Muksin, adiknya,
diminta untuk ikut dalam perusahaan. Pada tahun 1973, perusahaan
melakukan desain ulang kemasan untuk menghindari terjadinya
pemalsuan akibat adanya persaingan tidak sehat. Desain diganti
berwarna merah bit dengan latar belakang keemasan bergambar
buah-buahan.
Perusahaan ini kian berkembang pesat, maka (tahun 1979)
perusahaan ini mendirikan pabrik yang lebih besar supaya dapat
meningkatkan produksinya. Pabrik didirikan di atas lahan seluas
sekitar 5000 meter persegi, berlokasi di Jalan Pasundan, Garut,
tempat pabrik ini berdiri hingga sekarang. Pada tahun 1986, status
164
perusahaan perseorangan diubah menjadi perusahaan berbadan
hukum “perseroan terbatas” (PT) dengan nama PT Herlinah Cipta
Pratama. Sejak tahun 2000 terjadi regenerasi kepemimpinan di
perusahaan:
Haji Ato Hermanto dipercaya menjadi direktur
perusahaan.
Biodata:
Nama
Lahir
Pekerjaan
: Haji Ato Hermanto
: 2 Mei 1960
: Direktur PT Herlinah Cipta Pratama
Penghargaan:
• Anugerah Kebudayaan Bidang Pelestari dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2017
• Asian Best Economic Executive Award, 2014
• Indonesia Development Citra Award, 1999
• Pramakarya, 1996
• Siddhakarya, 1995
• Upakarti, 1990
165
Hendrik Boenga:
Jatidiri Kita Ada pada Budaya
Awalnya Hendrik Boenga tak punya perhatian pada seni budaya di
tanah leluhurnya di Pulau Sabu. Memainkan gong saja tidak bisa.
Apalagi memainkan alat musik seperti ukulele. Namun minatnya
pada budaya leluhurnya bangkit setelah ia kuliah dan belajar di Jurusan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Cendana Kupang, awal tahun 1970-an.
Lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT),
Hendrik yang biasa disapa Endy justru memilih
mengajar di SD di Pulau Sabu. Selama di pulau
itu ia mengaku tak tertarik pada budaya. Ia memang melihat orang menari atau bermain ukulele. “Pukul gong saja saya tidak bisa,” tuturnya
mengenang masa lalunya.
Lulusan sekolah guru B (SGB, tapi kerap
disebut sekolah guru bantu) ini memutuskan
meninggalkan Sabu untuk melanjutkan studi di sekolah guru A
(SGA, kerap disebut sekolah guru atas) di Kupang, lalu mengikuti
kuliah di FKIP Universitas Cendana. Di sinilah pikirannya mulai terbuka tentang aspek-aspek kebudayaan dan ia merasa terpanggil untuk menggeluti budaya Sabu.
Ia juga kemudian mengambil keputusan penting dalam kariernya. Ia tidak lagi kembali ke Sabu, tapi melamar bekerja di Kantor
Wilayah Depdikbud Provinsi NTT, tahun 1977, sebagai pelaksana
teknis bidang permuseuman, sejarah, dan kepurbakalaan. Perhatiannya pada budaya adalah bagian dari pekerjaannya sampai pensiun
tahun 1998.
Ternyata minat Endy untuk melestarikan budaya, khususnya
budaya Sabu, tidak ikut pensiun. Ia terus melanjutkannya meskipun
dengan dukungan dana yang sangat terbatas. Tahun 2001 ia mendiri-
166
kan Sanggar Seni Budaya Wuri Wini Hawu di Kupang, tempat ia
memutar roda kegiatannya.
“Dana jadi soal utama. Tidak mungkin ada aktivitas tanpa
uang. Tapi jalan terus saja. Pokoknya saya tidak mau tinggal diam.
Kalau ada sedikit uang, saya bisa bantu peserta sanggar. Saya tidak
bisa minta uang kursus dari mereka yang belajar di sanggar. Beda
dengan kursus bahasa Inggris, orang mau bayar untuk itu. Untuk
seni, susah sekali. Tetapi saya tidak patah semangat,” ujar Endy tentang upayanya melestarikan seni budaya Sabu.
Melalui sanggarnya ini ia telah melestarikan dan mengembangkan tenun Sabu dan seni tari “Ledo Hawu” dan tari “Pedo’a”,
melestarikan tradisi adat perkawinan orang Sabu atau Dou Hawu.
Ia juga melakukan pendokumentasian berupa deskripsi tari “Ledo
Hawu” dan “Pedo’a” melalui rekaman.
Tantangan paling besar, katanya, generasi muda saat ini sudah tidak terlalu tertarik pada budaya Sabu. Globalisasi membuat
mereka tak mau mempelajarinya. “Apalagi bahasa (Sabu). Malu
mereka berbahasa Sabu. Mereka lebih suka bahasa Kupang yang seperti bahasa Indonesia. Ini tantangan bagi saya,” tutur Endy yang juga
meneliti bahasa Sabu.
167
Meski demikian, Endy mengaku tidak pernah patah semangat untuk melestarikan seni budaya Sabu. Ia menegaskan melestarikan budaya itu sangat penting sekali. “Dari cara kita omong, kita
sudah bisa mengetahui latar belakang budaya kita. Saya berbicara
dengan logat orang Sabu, misalnya, itu menjadi jatidiri kita. Itu perlu
bagi setiap orang. Itu tidak bisa ditinggalkan, dibiarkan begitu saja.
Jadi, jatidiri kita pada budaya. Kalau saya tidak pakai kain Sabu,
orang pasti tidak tahu saya orang Sabu. Sebagai orang Sabu saya harus tahu. Jangan sampai lupa akar,” ujarnya.
“Saya membangun sanggar saya ini karena saya mencintai
keberagaman. Keberagaman itu kenyataan dalam negara kita. Kalau
negara kita dirobek-robek, saya mesti pakai paspor ke Jakarta. Itu tidak baik untuk mempertahankan kebinekaan,” lanjutnya.
Menyitir ucapan Ir Sukarno, Proklamator Kemerdekaan dan
Presiden Pertama RI, Hendrik Boenga mengatakan, ”Sukarno pernah bilang begini, ‘Kalau dalam satu taman hanya ada bunga putih,
tidak enak dilihat. Atau juga kalau hanya ada bunga merah. Tapi kalau warna-warni di dalamnya, indahnya akan luar biasa’. Itu pidato
Sukarno dulu.”
Kecintaan akan budaya Sabu ditunjukkan Endy dengan melestarikan dan mengembangkan seni budaya Sabu. Ia menulis nas-
168
kah tentang perlengkapan busana adat pengantin Sabu, pengobatan
tradisional dan kerajinan tradisional daerah NTT. Ia juga sering diminta untuk menjadi pemakalah dalam seminar bahasa dan budaya
Sabu. Tidak hanya budaya Sabu, juga budaya daerah lain di NTT.
Endy juga ikut aktif dalam kegiatan tradisi lisan NTT melalui Pergelaran Tutur Adat untuk memperkokoh karakter dan jatidiri bangsa
yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (Bali, NTB
dan NTT) di Kupang pada 2014.
Atas upaya Hendrik Boenga melestarikan budaya suku Sabu
selama ini, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberi Anugerah Kebudayaan untuk Kategori Pelestari
pada 2017. “Saya terharu. Banyak yang bekerja dalam diam, tak terlihat dalam melestarikan budaya. Saya tidak pernah berharap untuk
mendapat ini. Tetapi ternyata segala upaya saya selama ini dihargai.
Saya bersyukur. Apalagi anugerah tertinggi diberikan oleh Menteri
(Pendidikan dan Kebudayaan). Bukan orang sembarang,” katanya
dengan suara haru.
Hendrik Boenga pun bertekad tidak akan pernah berhenti
melestarikan seni budaya orang Sabu yang menjadi budayanya di
tengah keberagaman Indonesia. “Karena, itu adalah bagian dari jatidiri kita,” ujarnya.
169
Biodata:
Nama
Nama panggilan
Lahir
Istri
: Hendrik Boenga
: Endy
: Kupang, 12 November 1941
: Matelda Boenga Talo
Penghargaan:
2017: Anugerah Kebudayaan Kategori Pelestari dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Karya dan Penulisan:
• Perlengkapan Busana Adat Pengantin Suku Sabu dan Suku Belu,
1983
• Sejarah Sosial Kota Kupang Daerah NTT, 1983 (Anggota Tim
Penulis)
• Pengobatan Tradisional Daerah NTT, 1983 (Ketua Tim Penulis)
• Biografi Singkat Pengabdian dan Perjuangan Isaakh Huru Doko di
Bidang Pendidikan, 1996 (Ketua Tim Penulis)
• Deskripsi Tarian Pedo’a Hawu, 2012
• Sejarah Singkat Gereja Kota Kupang, 2014
170
Endi Agus Riyanto:
Hidup Itu Seperti Gasing
Nama Endi Agus Riyanto yang populer dengan panggilan Endi
Aras tidak bisa dilepaskan dari permainan tradisional anak
Nusantara, khususnya gasing. Ingat gasing, ingat Endi.
Kecintaan Endi terhadap gasing dan permainan
anak Nusantara luar biasa. Bila ada rekanrekannya yang sedang ke daerah, ia tak lupa
menitip pesan agar dibawakan gasing. Ia mau
mengganti berapa pun harga gasing yang
dibeli. Beberapa rekan yang dekat dengannya
menuturkan, bila ke daerah, Endi langsung
blusukan mencari gasing. Ia tak ragu merogoh
sakunya dalam-dalam untuk mendapatkan
gasing atau permainan anak yang langka dari berbagai daerah.
Hidup Endi sendiri bak gasing. Ia “berputar” dari satu
kegiatan permainan anak Nusantara ke kegiatan lainnya. “Hidup
memang seperti gasing. Harus berputar terus. Itu artinya kita harus
menjaga keseimbangan agar tidak jatuh. Kadang dalam berputar
itu kita bersenggolan dengan yang lain, tetapi keharmonisan harus
tetap dijaga agar gasing tetap berputar, agar kehidupan dapat
terus berlanjut,” ujar Endi di rumahnya di kawasan Taman Serua,
Pamulang, Depok, Jawa Barat.
“Filosofi gasing adalah keseimbangan. Gasing bisa berputar
lama karena seimbang. Manusia juga harus bisa hidup seimbang
antara jasmani dan rohani,” ujar Endi tentang filosofi gasing yang
juga jadi filosofi hidupnya.
Di galerinya kini tersimpan tidak kurang 500 gasing dari
berbagai pelosok Nusantara dan sejumlah permainan anak Nusantara.
171
Master gasing yang dikoleksinya adalah Tjero Tri Datu dari Bali, yang
beratnya sampai empat kuintal. Butuh 12 orang untuk mengangkat
gasing berwarna merah dan putih tersebut. Endi membeli gasing
tersebut sekitar Rp 60 juta dan sempat dipamerkan di Tafisa World
di Ancol , Jakarta, 2016.
Ia tidak hanya mengumpulkan gasing dengan mendokumentasikan narasi tentang gasing-gasing itu. Ia mulai mengumpulkan
permainan anak Nusantara dari berbagai daerah yang dikunjunginya.
Ia mulai mengoleksi congklak, bekel, gundu atau kelereng, egrang,
othok-othok, terbangan/tambur dari tanah liat, katapel, yoyo, gatrik/
bentik, kodok-kodokan dari tanah liat, bakiak dan kapal-kapalan.
Di rumahnya, selalu hadir anak-anak yang datang untuk
bermain gasing atau permainan-permainan lainnya. Rumah Endi
memang selalu terbuka untuk anak-anak yang tertarik dengan
permainan tradisional. Tahun 2014 ia mendirikan Sanggar Humpipah
bagi anak-anak di sekitar kompleks perumahannya. Di sini mereka
172
dilatih bagaimana bermain gasing, peraga permainan, dan bermain
teater. Tidak kurang 40 anak tergabung dalam sanggar ini. Seperti
pada sore itu, beberapa anak asyik dengan permainan tradisional
dan beberapa lainnya bermain gasing.
Memperkenalkan gasing dan permainan anak Nusantara di
kota megapolitan seperti Jakarta bukanlah pekerjaan mudah. Endi
sangat menyadari bahwa ia harus berhadapan dengan gelombang
besar globalisasi. Sekarang permainan anak dengan mudah bisa
dibeli dan anak-anak tinggal bermain saja.
Lulusan Psikologi Pendidikan Universitas Satya Wacana,
Salatiga, ini menawarkan hal yang lain dari permainan anak
Nusantara, sesuatu yang tidak dimiliki permainan modern.
Permainan tradisional, kata dia, selalu mengutamakan proses dan
kebersamaan. “Bila kita ingin bermain, pertama-tama kita membuat
mainannya dulu. Jadi, ada prosesnya,” katanya tentang permainan
tradisional.
Endi mencatat, di seluruh Indonesia terdapat tidak kurang
173
2.500 permainan anak yang butuh dilestarikan. Permainan anak
Nusantara itu selalu mengajarkan banyak nilai, seperti kebersamaan,
saling menghargai satu sama lain, dilakukan secara komunal, dan
selalu mengutamakan proses, tidak hanya hasil. Juga dari permainan
tradisional kita belajar untuk berjiwa sportif, ikhlas menerima
kekalahan. Dilihat dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,
pantaslah permainan anak Nusantara itu tidak saja dilestarikan,
tetapi juga perlu dikembangkan terus sesuai dengan tuntutan zaman.
“Kewajiban melestarikan dan mengembangkan permainan
anak Nusantara itu adalah tugas kita semua. Jelas saya tidak bisa
melakukannya sendiri. Saya mengundang anggota masyarakat
lain untuk bersama-sama menyelamatkan permainan anak
Nusantara yang ada saat ini, melestarikannya dan kemudian
mengembangkannya. Ini tugas kita bersama,” tegas penulis buku
Indonesian Gasing Harmony in Diversity ini.
174
Endi mulai jatuh cinta pada gasing tahun 2005, saat ia
melakoni pekerjaan sebagai event organizer (EO). Ia menjadi pelaksana
Festival Gasing Indonesia di Kebun Bintang Ragunan, Jakarta, yang
diselenggarakan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Setelah acara selesai, terbit keinginannya untuk menyimpan dan
merawat gasing-gasing yang berasal dari seluruh penjuru Tanah
Air. “Saat itu saya berpikir kalau gasing-gasing ini tidak ada yang
mengurusi bisa bubar,” tuturnya.
Tahun 2007 dia memberanikan diri menggelar pameran
permainan anak-anak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, selama
satu setengah bulan. Endi yang juga dikenal sebagai jurnalis itu masih
ingat betul ada yang bilang dia “gila” karena berani pameran tanpa
sponsor. Namun hal itu malah makin meneguhkan hatinya untuk
mengoleksi gasing dan permainan anak Nusantara lain.
Gasing dan permainan anak Nusantara telah membawa
Endi tidak saja menjelajah ke sejumlah kota di Indonesia, tetapi juga
ke mancanegara. Tahun 2016, dia tampil pada Pameran Gasing
di London. Sebelumnya ia ikut dalam Festival of Asean Cultural
Expression di Brunei (2014) dan Jambore Pramuka Dunia di Jepang
(2015), serta Olimpiade Olahraga Tradisional Dunia, Tafasa World,
Jakarta (2016).
Tentang Anugerah Kebudayaan 2017 untuk kategori Pelestari
yang diterimanya, Endi berterima kasih atas apresiasi yang diberikan
pemerintah—khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaa—
atas upayanya melestarikan permainan anak Nusantara. “Saya tidak
pernah menyangka akan mendapat penghargaan ini. Saya berharap
makin banyak orang tertarik untuk melestarikan permainan anak
tradisional,” katanya.
175
Biodata:
Nama
Lahir
Pendidikan:
: Endi Agus Riyanto
: Blora, Jawa Tengah, 29 Agustus 1963
- SD Negeri Jegolong, Salatiga
- SD Pangudi Luhur, Salatiga
- SMA Kristen 1, Salatiga
- Psikologi Pendidikan, Universitas Satya Wacana,
Salatiga
Penghargaan:
Anugerah Kebudayaan Kategori
Pendidikan dan Kebudayaan, 2017
Pelestari
dari
Kementerian
Pengalaman:
- Pameran Gasing di Indonesia Weekend, London (2016)
- Olimpiade Olahraga Tradisional, Tafisa World, Jakarta (2016)
- Jambore Pramuka Dunia, Jepang (2015)
- Festival of Asean Cultural Expressions, Brunei (2014)
- Pameran Gasing, Menteng, Jakarta (2007
176
Kategori Anak dan Remaja
177
178
Muhammad De Putra:
Ingin Menghadiahi Indonesia dengan Nobel sastra
Muhammad De Putra menulis puisi sejak kelas III SD. Karyanya
terbit di berbagai harian lokal dan nasional. Tujuh antologi puisinya
terbit dalam buku bersama. Dua buku solonya tampil dengan judul
Kepompong dalam Botol dan Hikayat Anak-anak Pendosa.
Sementara kumpulan cerpen perdananya hadir lewat buku berjudul
Timang Gadis Perindu Ayah Penanya Bulan.
Hingga kelas tiga SMP, enam kejuaran menulis
puisi telah ia raih. Prestasi tertingginya hingga
tahun 2016 adalah juara I lomba menulis puisi
pada Lomba Cipta Seni Pelajar Nasional (2016).
Adapun untuk penulisan cerpen, hingga tahun
2016, sudah empat perlombaan telah Ade raih,
antara lain juara I lomba cipta cerpen pada Bulan
Bahasa UIR Tingkat SMP Se-Indonesia (2016).
Siswa kelas satu SMA yang bercita-cita meraih
hadiah Nobel Sastra ini mengajak anak-anak Indonesia menggeluti
puisi untuk memajukan perpuisian Indonesia di masa mendatang.
Kami belajar mengitung luka di tubuhmu, Pertiwi
Pertiwi terimalah doa di tangan kami
Jangan menangis Indonesia
Dengan penuh penghayatan, Muhammad De Putra
membacakan karyanya.
Ibunda dan neneknya berkaca-kaca
menyaksikan penampilan kesayangan mereka. Di temui di
kediamannya, Muhammad yang akrab dipanggil Ade mengenakan
pakaian Melayu berwarna kuning emas yang dijahit kakeknya.
Kehangatan keluarga yang membesarkan Ade sungguh terasa
Sambil menunjukkan buku puisi terbarunya, Hikayat Anakanak Pendosa, Ade membuka perbincangan dengan mengenang saat
pertama ia jatuh hati pada puisi. Ade masih duduk di kelas III SD saat
179
ia berkenalan dengan pelayan rumah makan bernama Muhammad
Askolanen NST. Saat itu, Askolanen adalah teman kerja ibunya
yang bekerja sebagai juru masak di tempat yang sama. Perkenalan
bermula ketika Askolanen—yang dipanggilnya Bang As oleh Ade—
menunjukkan koran Riau Pos yang memuat puisi karyanya. Ade
begitu takjub ada rekan ibunya yang karyanya bisa terbit di koran.
Sejak itu, Ade berguru puisi pada Bang As yang juga sedang studi
di sebuah universitas dan mendapat penghargaan sebagai pembaca
puisi terpuji untuk tahun 2011.
Bang As mendorong Ade membaca karya-karya puisi bermutu.
Hingga kelas III SD, Ade sebenarnya mengalami kesulitan membaca,
tetapi ia berupaya untuk mengerti puisi. Puisi pertama yang ia baca
“Luka” karya Sutardji Calzoum Bachri. Karena dorongan kuat untuk
belajar puisi, melalui karya Sutardji itu Ade pertama kalinya dapat
membaca dengan benar. Selanjutnya, Ade melatih diri untuk menulis
puisi. Setiap hari Ade membiasakan menulis tiga puisi seusai shalat
magrib. Setelah tiga bulan bergumul dengan tulisan, lahirlah puisi
180
pertamanya bertajuk “Mawar” yang berisi sebaris larik: //Duri itu
tertusuk di kaki ibu//.
Kelas VI SD, Ade bergabung dengan komunitas sastra Pena
Terbang yang diketuai Bang As untuk meningkatkan keahliannya
menggubah dan membacakan puisi. Tema tentang anak, orangorang yang terpinggirkan dan budaya Melayu, tampak mewarnai
puisi-puisi karya Ade.
Tema anak menjadi tema yang intim dengan dunianya
karena hingga saat ini Ade menikmati masa anak dan remajanya.
Ia yakin puisi-puisi bertema anak yang ditulis oleh anak akan lebih
menyentuh pembaca dibandingkan tema anak yang ditulis oleh
orang dewasa. Menurut Ade, puisi juga tak bisa lagi tinggal di lorong
sunyi. Puisi harus mencerap lingkungannya, terutama orang-orang
yang dipinggirkan. Karena itu, Ade sering mengamati anak yang
menjadi peminta-minta dan anak yang putus sekolah karena harus
bekerja. Perenungan dari pengamatannya itu ia tuangkan dalam
puisi.
“Dengan menuliskan hidup mereka, menghadirkan mereka
dalam puisi, kita telah memerdekakan mereka,” tutur Ade. Bela
rasa Ade terhadap anak-anak yang terpinggirkan tak lepas dari
pengalaman masa kecilnya yang prihatin. Waktu Ade dan saudara
kembarnya lahir, ayah mereka meninggal. Ibunya harus menitipkan
Ade dan saudaranya kepada kakek dan nenek agar dapat merantau
untuk bekerja. Dalam keadaan bersahaja, sering Ade berangkat
sekolah tanpa uang jajan. “Ade ingin mengangkat kesedihan mereka
yang juga Ade rasakan,” tuturnya.
Adapun tema Melayu menarik hati Ade sejak ia bergiat
dalam acara Kenduri Puisi yang membawanya pada perjalanan ke
beberapa kabupaten di Provinsi Riau dalam misi membudayakan
puisi. Perjalanan itu membuat siswa yang kini (2017) duduk di kelas
I SMA ini tersadar betapa kaya ragam kebudayaan Melayu. Ia
sendiri sebagai anak Melayu terdorong rasa tanggung jawab untuk
181
melestarikan kekayaan tersebut. Selain menggubah puisi, Ade juga
menulis cerpen. Menurutnya, puisi dekat dengan cerpen. Keduanya
menggundang penulis dan pembaca untuk berpikir.
Puisi-puisi Ade pun terbit di berbagai koran antara lain di
Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Riau Pos, Lampung Pos, Lombok Pos,
Minggu Pagi, Koran Merapi, Radar Surabaya, dan Tribun Jabar. Tujuh
antologi puisinya telah terbit dalam buku bersama penyair yang lain.
Ade juga sudah menelurkan dua buku puisi, Kepompong dalam Botol
dan Hikayat Anak-anak Pendosa; serta satu buku kumpulan cerpen,
Timang Gadis Perindu Ayah Penanya Bulan. Saat ini, Ade sedang
mempersiapkan untuk penerbitan buku puisi ketiganya.
Langkah-langkah Ade dalam berkaya tak lepas dari dukungan
keluarga dan sekolah. Putri Ayu Aulia, saudara kembar Ade, salah
satu alasan Ade berkarya. Ade selalu mengingat perkataan Putri,
“teruslah menulis lalu kau bawa kita terbang bersama”. Kakek,
nenek, dan ibunya juga selalu mendoakan bila Ade harus berpergian
untuk kegiatan berpuisinya. Demikian juga sekolahnya tidak pernah
182
menghambat Ade ketika harus memberikan waktu untuk pertunjukan
atau perlombaan. Tantangan terberat justru datang dari teman
sebayanya yang menganggapnya aneh, lantaran Ade lebih suka
menulis di rumah daripada bermain dengan mereka. Tantangan itu
teratasi setelah Ade memenangi lomba karya cipta puisi. “Sekarang
mereka tahu kalau Ade ini penulis,” kata Ade sumringah.
Terhadap dunia perpuisian Indonesia, Ade berharap agar
para penyair senior dapat menarik anak-anak untuk lebih mencintai
puisi. Karena, seberapa pun ia berusaha, bila tidak banyak anak
yang menekuni puisi maka keberlanjutan perpuisian Indonesia akan
mengkhawatirkan. Ia berharap teman-teman sebayanya menyadari
bahwa Indonesia membutuhkan
mereka untuk memajukan
perpuisian. Ia sendiri tidak akan berhenti belajar untuk mengejar citacitanya meraih hadiah Nobel. Sejak kelas I SMP, Ade menyisihkan
uangnya untuk membeli karya-karya sastra peraih Nobel. Ia sangat
berduka ketika satu-satunya nominator dari Indonesia, Pramoediya
Ananta Toer, meninggal sebelum memenangi penghargaan tersebut.
“Cita-citaku pada tahun 2045, tepat 100 tahun RI berdiri, aku
menghadiahi Indonesia dengan Nobel,” katanya optimistis.
Anugerah kebudayaan yang ia terima dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan untuk kategori anak dan remaja,
ia jadikan semangat untuk semakin bertanggung jawab dalam
menggeluti dan membudayakan puisi.
183
Biodata:
Lahir
Ibu
Ayah
Ayah Sambung
Saudara
Pendidikan
Alamat
Keahlian
: Pekanbaru, 26 Mei 2001
: Evi Susanti
: (alm) Edi Kurnedi Zurtini
: Alimudin
: Putri Ayu Aulia, Tiara Efineldi dan Citra Einelsi
: SMA Negeri 1 Pekanbaru
SMP Negeri 6 Siak Hulu
SD Negeri 024 Tanah Merah
: Jalan Kempas Blok J2, No. 697, Peputra Raya, RW
06, RT 03 Desa Tanah Merah, Kec. Siak Hulu, Kab.
Kampar, Riau
: - Menggubah puisi dan cerpen
- Membacakan puisi
Karya :
Kumpulan Puisi: Kepompong dalam Botol, Hikayat Anak-anak Pendosa
Kumpulan Cerpen: Timang Gadis Perindu Ayah Penanya Bulan
Antologi Puisi: Merantau Malam, Pasie Karam, Pada Mula Hidup
yang Lama, 1550 MDPL, Negeri Awan (Negeri Poci 7), Tera Kota dan
Melankolia Surat Kematian
Penghargaan
:
Lomba Cipta Puisi:
Juara I Lomba Cipta Seni Pelajar Nasional (2016)
Juara I menulis puisi se-Indonesia tema “Cinta Tanah Air” (2016)
Juara I Bulan Bahasa UIR Tingkat SMP se-Indonesia (2016)
Juara I lomba cipta puisi Bulan Bahasa UIR tingkat SMP se-Indonesia
Juara I lomba cipta puisi Praktikum Sastra UR tingkat SMP se-Riau
Juara I lomba menulis puisi di FLS2N Provinsi Riau
Lomba Penulisan Cerpen:
Juara I lomba cipta cerpen Bulan Bahasa UIR tingkat SMP seIndonesia (2016)
Finalis dan pemenang III menulis cerpen se-Indonesia pada Akademi
Remaja Kreatif Indonesia (2016)
Juara I lomba menulis cerpen Public Fest UR se-Riau
Harapan II lomba cipta Cerpen di Bulan Bahasa UIR tingkat SMP
se-Indonesia (2015)
184
Woro Mustiko Siwi:
Melestarikan Budaya Bangsa Tanggung Jawab Anak Muda
Woro Mustiko Siwi belajar seni tradisi Jawa sejak kanak-kanak. Di
usia lima tahun Woro kecil bahkan sudah tampil dalam pertunjukan
nembang Jawa. Tujuh kejuaran untuk seni pedalangan telah pula ia
raih dengan penghargaan tertinggi sebagai juara I Festival Dalang
Bocah Tingkat Nasional 2016. Suara indahnya juga terekam dalam
dua album yang dirilis oleh musisi Erwin Gutawa.
Tahun 2014, Woro mendapat penghargaan
AMI Award untuk kategori artis penyanyi solo
wanita terbaik bidang lagu anak-anak lewat
lagu “Walang Kekek” pada album Di Atas Ratarata. Woro bercita-cita menjadi seniman yang
dapat membawa kebudayaan Indonesia ke
tingkat dunia.
Woro
kecil tinggal bersama eyang
kakung Srihadi, seorang dalang yang tinggal di
Semarang, Jawa Tengah. Di rumah eyang-nya itu, Woro menyaksikan
eyang dan kelompoknya latihan pedalangan dan seni tradisi Jawa
yang lain. Suasana itu mendorong Woro turut mempelajari seni
tradisi Jawa. Bila eyang-nya nembang, Woro pun ikut nembang. Hal itu
mereka jalani dengan santai, biasanya saat duduk-duduk di pagi dan
sore hari. Umur lima tahun Woro mulai naik panggung. Ia tampil
dalam pertunjukan tembang Jawa pada pesta pernikahan. Kelas II
SD, Woro mulai mengikuti perlombaan dan meraih juara I untuk
mocopat. “Saat itu saya senang sekali karena pertama kali ikut lomba
langsung mendapat juara I,” kenang Woro berbinar-binar.
Ketika duduk di kelas III SD, Woro semakin bersunggguhsungguh belajar tari Jawa dan seni pedalangan. Dari berbagai seni
Jawa yang dipelajarinya, belajar dalang-lah yang menurutnya paling
185
menantang. Ia dituntut menguasai musik gamelan yang mengiringi
dalang dan sabetan, cara menggerakan wayang. Yang paling sulit,
menurut Woro, mendalami karakter tokoh-tokoh wayang yang ia
mainkan. Usaha Woro tak sia-sia, dalam usianya yang masih muda,
ia telah meraih prestasi di tujuh kejuaran untuk seni pedalangan.
Penghargaan tertinggi adalah ketika ia tampil sebagai juara I pada
Festival Dalang Bocah Tingkat Nasional pada tahun 2016. Prestasinya
dalam seni pedalangan membuat Woro sering diundang untuk
mendalang. Sudah 13 pertunjukan dalang telah ia lakoni, antara lain
pentas dalang pada Hari Kartini di Auditorium RRI Semarang dan
pentas dalang pada Peresmian Patung Cheng Ho di Sam Po Long,
Semarang.
Selain mendalami mocopat dan pedalangan, Woro menekuni
seni suara. Ia belajar nembang pada eyang kakung-nya dan langgam
keroncong pada bude-nya. Kemudian Woro pun terlibat dalam acara
186
“Di Atas Rata-Rata”-nya Erwin Gutawa. Kerja sama dengan Erwin
Gutawa terus Woro jalani, saat ini sudah mencapai tahun kelima.
Bersama Erwin Gutawa, Woro dapat menambah kemampuan
seni vokalnya, khususnya untuk genre pop, jazz dan rock. Ia juga
belajar kerja tim dengan musisi-musisi handal. Proses kerja sama
itu melahirkan dua album bergengsi: Musik Anak Terbaik dan Di Atas
Rata-Rata. Kolaborasi dengan Erwin Gutawa membawa Woro pada
penghargaan bergengsi: AMI Award untuk kategori artis penyanyi
solo wanita terbaik bidang lagu anak-anak lewat lagu “Walang
Kekek” pada album Di Atas Rata-rata, pada 2014.
Atas capaian tersebut, Woro tak cepat berpuas diri. Ia menyadari
masih banyak yang harus ia pelajari, baik untuk seni tradisi Jawa
maupun karier tarik suara yang sedang dijalaninya. Keberhasilannya
itu juga berkat didikan eyang kakung, bude dan kedua orangtuanya.
Bila Woro mendalang, ayahnya selalu menemaninya dengan ikut
bermain gender. Eyang kakung-nya juga selalu hadir dalam setiap
pertunjukannya.
187
Kecintaan Woro pada seni berangkat dari kesadaran untuk
melestarikan kebudayaan bangsa. “Saya sebagai generasi muda
bertangung jawab melestarikan budaya bangsa. Karena itu, saya
tertarik menekuni seni supaya tidak diambil negara lain,” tutur
Woro. Ia juga berpesan agar anak-anak di Indonesia lebih mencintai
kebudayaan Indonesia daripada budaya asing. Dan, untuk mencintai
budaya, tidak harus langsung menjadi pelaku seni. Anak-anak
bisa juga turut memublikasikan karya-karya kebudayaan bangsa.
Walaupun, menurutnya, jika ada anak yang mau belajar budaya
bangsa tentu itu lebih keren. Woro juga terus menyusun langkah
untuk menjadi seniman yang bisa membawa kebudayaan Indonesia
ke tingkat dunia, sehingga warga dunia mengetahui kekayaan
budaya Indonesia.
188
Biodata:
Lahir
Ibu
Ayah
Alamat
Pendidikan
:
:
:
:
Semarang, 29 Agustus 2002
Retno Musthi Sari
Agus Purwo Murdoko
Demangan RT 1 RW 3 Ngemplak Bothi, Kartasura,
Sukoharjo, Jawa Tengah
: SD Negeri Jagalan 81, Jebres, Surakarta
SMP Negeri 5 Surakarta
SMA Negeri 1 Kartasura
Pertunjukan dalang:
- Pentas dalang pada Adat Pernikahan Tanah dan Air di Desa
Koripan, Delanggu, Klaten, Jawa Tengah (2017)
- Pentas dalang pada Peresmian Patung Cheng Ho di Sam Po Long,
Semarang, Jawa Tengah (2013)
- Pentas dalang pada Wayang Kancil Masuk Sekolah Keliling 3 Kota
(Semarang, Jakarta, Cilacap) Hibah Kelola (2013)
- Pentas dalang pada Wayang Kumon, Acara HUT Kumon di
Yogyakarta (2013)
- Pentas dalang pada Dies Natalis IKIP PGRI Semarang, Jawa
Tengah (2012)
- Pentas Dalang Putri pada Tanggul Budaya di Solo, Jawa Tengah
(2011)
- Pentas dalang pada Hari Kartini di Auditorium RRI Semarang,
Jawa Tengah (2011)
- 6 pentas lainnya di kota-kota di Indonesia
Pertunjukan vokal (menyanyi):
- Konser 60 tahun Astra di Jakarta Convention Center bersama
Erwin Gutawa (2017)
- “Bengawan Solo” di Java Jazz Festival (2016)
- Dalang dan Keroncong Kemayoran di Festival Film Indonesia
(2016)
- Bintang tamu Indonesia Mencari Bakat duet dengan Sandrina dan
duet dengan Vina Candrawati (2013)
189
- Konser ‘Di Atas Rata-rata’ Generasi I (2013)
- Kolaborasi dengan Rossa pada K-20 episode Spesial Rossa (2013)
- Penyanyi di acara kenegaraan di Istana Negara (2013)
Album
:
- Musik Anak Terbaik, persembahan Erwin Gutawa & Gita Gutawa
(2017)
- Di Atas Rata-Rata Erwin Gutawa dan Gita Gutawa untuk lagu
“Walang Kekek” (2013)
- Album Etnik bersama maskapai Garuda Nusantara
Buku Profil :
Genius Kids “Let’s Sing, Woro! diterbitkan Tiga Ananada (2014)
Penghargaan:
- Anugerah Kebudayaan 2017 untuk kategori Anak dan Remaja dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
(2017)
- Juara I Festival Dalang Bocah tingkat Nasional (2016)
- Juara I Dalang Remaja Tingkat nasional di UNY Yogyakarga (2015)
- Juara Favorit Dalang Remaja Tingkat Nasional di UNY (2015)
- Penghargaan AMI Award kategori Artis Penyanyi Solo Wanita
terbaik Bidang Lagu Anak-anak untuk lagu “Walang Kekek”
pada album Di Atas Rata-rata (2014)
- Sebagai dalang ngabehi pada Temu Dalang Bocah Nusantara V
(2013)
- Pemeran Terbaik Putri Festival Wayang Orang Bocah Tingkat
Provinsi Jawa Tengah (2013)
- Juara I Lomba Tembang Dolanan Anak RRI Semarang (2012)
- Juara I Dalang Bocah Tingkat Nasional di UNY Yogyakarta (2012)
- Sebagai dalang berpotensi pada Temu dalang Bocah Nusantara 4
(2011)
- Juara I Lomba Macapat Porseni SD Tingkat Prov. Jateng (2011)
190
Roland Martin Lumbantobing:
Mencintai Tradisi adalah Bahasa Musik Saya
Roland Martin Lumbantobing mencintai musik sejak tangisan
pertamanya di dunia. Dalam asuhan ayahnya yang pemain musik,
musik menjadi darah dan napasnya. Ibunya meneguhkan Roland
untuk menjadi diri sendiri, menjadikan musik tradisi sebagai
identitasnya. Mengajak generasi muda mencintai musik tradisi
adalah bahasa musiknya.
Sepuluh kejuaran terkait musik dan vokal telah
ia raih. Empat karya lagu dan tiga karya musik
telah ia ciptakan. Gitaris Terbaik pada acara
Batak Song Acoustic Festival (2014) ini bercita-cita
memimpin sebuah orkestra yang menggunakan
alat musik Batak.
Pada 12 Desember 1999 di Desa Saitnihuta,
Tarutung, Tionar Sitio melahirkan bayi lakilaki. Tetapi bayi itu tak berhenti menangis
hingga empat hari lamanya. Ketika tanpa sengaja diperdengarkan
musik, bayi itu baru menghentikan tangisannya. Menginjak usia
balita, bayi yang diberi nama Roland Martin Lumbantobing semakin
lekat dengan musik. Ia tak pernah lepas dari pangkuan ayahnya,
Advent Lumbantobing, saat Advent memainkan keyboard untuk acara
pernikahan dan kematian di desa mereka. Roland yang masih balita
begitu menikmati musik. Tangan kecilnya mulai turut menyentuh
bilah-bilah keyboard, hingga ayahnya merasa terganggu dan meminta
Roland untuk pulang, bila ia tidak menghentikannya.
“Semenjak itu, rasa penasaran saya pada musik begitu tinggi.
Alat musik apa pun yang saya lihat, saya pasti ingin mencoba
memainkannya,” begitu Roland mengenang saat pertama kali ia
tertarik belajar musik.
Sejak di taman kanak-kanak (TK) Roland mencoba semua alat
191
musik yang dimainkan ayahnya: mulai dari gitar, seruling hingga
taganing. Setiap kali ayahnya memainkan alat musik, Roland kecil
memberikan perhatian penuh. Ketika ayahnya selesai bermain, ia
asyik belajar sendiri memainkan alat musik di rumah mereka. “Kalau
saya tidak pegang alat musik, saya gelisah. Musik sudah menjadi
darah dan napas saya,” tutur Roland. Ketekunannya mendatangkan
hasil. Dalam usia ke-17 Roland sudah dapat memainkan alat musik
Batak seperti taganing, sulim atau seruling, hasapi, garatung, dan
sarunetek. Ia juga memainkan alat musik modern seperti keyboard,
saksofon, drum dan gitar.
Pertunjukan pertamanya boleh dibilang pertunjukan yang
tidak direncanakan dan di luar dugaan ibu dan ayahnya. Suatu hari
Roland kecil diajak orangtuanya menghadiri pesta pernikahan. Pada
pesta itu, ayahnya diminta untuk memainkan taganing. Tetapi saat
panggung siap dibuka untuk khalayak, ayahnya masih menikmati
makanan. Tanpa meminta persetujuan orangtuanya, Roland naik
ke panggung memainkan taganing menggantikan ayahnya. Kedua
192
orangtuanya terkejut tetapi senang karena tidak menyangka Roland
dapat memainkan taganing—alat musik perkusi khas dari Batak-Toba,
biasanya terdiri atas lima kendang—dengan baik. Sejak itu, ayahnya
selalu mengajak Roland bermain bersama setiap kali memenuhi
undangan bermain musik.
Pertunjukan demi pertunjukan Roland nikmati, keahliannya
pun semakin tumbuh. Roland pun mulai melakukan kolaborasi
dengan musisi yang lain. Antara lain ia pernah berkolaborasi Roland
dengan Maya Hasan, pemain harpa yang meraih The Music Talent
Award. Kolaborasi itu memenuhi undangan Bupati Tapanuli
Utara pada perayaan Natal. Walaupun tanpa latihan, pertunjukan
keduanya memukau penonton. Menurut Roland, pertunjukan
mereka dapat berlangsung baik karena ia dan Maya Hasan samasama sudah menguasai alat musik masing-masing. “Saat itu kami
membuat nada baru tapi melodinya kami samakan. Untuk menjaga
keselarasan, saya dan Bu Maya Hasan saling pandang dan memberi
kode,” kenang Roland. Selain itu, Roland memang punya misi
memanfaatkan penampilan mereka untuk menarik minat teman
sebayanya pada musik tradisi Batak.
Misinya itu tak lepas dari keprihatin Roland terhadap
musik Batak yang semakin ditinggalkan generasinya. Sebagian
besar temannya lebih suka memilih belajar main gitar atau keyboard
dibanding gondang atau hasapi. Ia sempat diejek dan dianggap terlalu
kolot karena lebih tekun belajar musik Batak. “Mereka orang Batak,
tingal di tano Batak, tapi tak suka musik Batak. Padahal budaya itu
identitas kita,” keluh Roland.
Sempat ia juga putus asa karena merasa sunyi di tengah
teman sebayanya yang gandrung pada musik modern. Tetapi ibunya
menjaga semangat Roland. “Kita adalah diri kita,” begitu pesan
ibunya agar Roland terus mencintai musik Batak. Ayahnya juga
selalu memperkenalkan dengan kekayaan musik tradisi Batak.
Kecintaan Roland pada musik Batak bangkit kembali. Ia pun
193
bertekad untuk mengkreasi musik Batak dan musik modern untuk
menarik minat anak-anak muda. Hal itu tampak dalam karya-karya
musiknya. Dalam O Tano Batak Roland memadukan musik taganing,
sulim dan keyboard. Sementara komposisi Parjalan, ia mengkreasikan
perpaduan antara sulim dan gitar. Roland juga mengkreasi lagu-lagu
pop dan hip hop yang sedang digandrungi teman-temannya tetapi
diiringi oleh alat musik Batak. “Saya ingin mereka tahu dan tertarik
bahwa kita bisa mengiringi lagu-lagu yang sedang populer dengan
sulim, taganing, hasapi. Dan, itu bisa dinikmati,” jelas Roland. Ia pun
terus berusaha mewujudkan mimpinya untuk memimpin orkestra
yang alat musiknya menggunakan alat musik Batak.
Menyinggung proses kreatifnya, Roland mengaku sering
butuh pergi sendiri menikmati keindahan tanah kelahiran dan
budayanya. Perenungannya itu yang melahirkan aransemen O Tano
Batak. “Tanah Batak ini tanah yang sangat indah. Banyak budaya
dan musiknya. Banyak adatnya, sehingga saya persembahkan musik
ini untuk tanah Batak,” tutur Roland. Selain mencipta musik, Roland
yang sedang menikmati masa remajanya menciptakan lagu genre
pop yang terinspirasi oleh kisah cinta teman-temannya, seperti lagu
Aku Rela Kamu Pergi dan Renita.
Hingga umurnya yang ke-17, sepuluh kejuaran terkait musik
dan vokal telah Roland raih, antara lain Juara I Lomba Martaganing
Tingkat Pelajar Se-Kabupaten Tapanuli Utara (2010) dan gitaris terbaik
pada acara Batak Song Acoustic Festival (2014). Terkait Anugerah
Kebudayaan 2017 untuk kategori Anak dan Remaja yang diberikan
padanya, Roland mengucapkan terima kasih kepada Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Masih banyak yang ingin Roland pelajari tentang musik, baik
untuk musik tradisi Batak maupun musik modern. Dalam mendalami
seni musik, bagi Roland yang utama bukan bukan semata agar orang
tahu kemampuannya, tetapi untuk keberlangsungan musik Batak.
“Saya ingin menjadi inspirasi bagi anak muda sekarang. Bahwa
194
inilah musik Batak. Bahasa musik saya adalah marilah mencintai
musik tradisi,” tutur Roland. Mahasiswa semester I etnomusikologi
Universitas Sumatera Utara ini berpesan agar generasi muda
mencintai budayanya. “Mencintai budaya kita adalah mencintai
diri sendiri kita sendiri. Ikutilah zamanmu tapi jangan tinggalkan
budayamu,” tegas Roland.
Biodata:
Lahir
Ibu
Ayah
Alamat
Pendidikan
: Tarutung, 12 Desember 1999
: Tionar Sitio
: Advent Lumbantobing
: Desa Saitnihuta, Huta Toruan I, Kecamatan
Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi
Sumatera Utara
: SD Latihan HKBP Pearaja Tarutung
195
SMP Negeri 3 Tarutung
SMA HKBP 1 Tarutung
Universitas Sumatera Utara, Fakultas Ilmu Budaya,
Jurusan Etnomusikologi
Keahlian:
- Memainkan musik tradisi Batak; taganing, sulim (seruling), hasapi,
garantung dan sarune etek
- Mencipta musik tradisi Batak dan musik moderen
- Mencipta lagu
Karya musik:
O Tano Batak
Parjalang
Hip Hop For Haters (perpaduan musik hip hop dan musik taganing)
Karya lagu genre pop:
Akan Kuulangi lagi
Aku Rela Kamu Pergi
Renita
Bintang
Penghargaan:
- Anugerah Kebudayaan untuk kategori Anak dan Remaja dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
(2017)
- Juara II Tim Vokal Grup Pesparawi Tapanuli Utara (2015)
- Juara II Musik Tradisional (2015)
- Juara I Kreativitas Remaja Tapanuli Utara (2015)
- Juara II Trio Korbatsu (2015)
- Gitaris Terbaik pada acara Batak Song Acoustic Festival (2014)
- Juara II Tim Vokal Grup (2014)
- Juara II Lomba Musik Tradisional (2014)
- Juara I Marhasapi TB.Silalahi Center (2012)
- Juara I Tim Vokal Grup (2012)
- Juara I Lomba Martaganing Tingkat Pelajar Se-Kabupaten
Tapanuli Utara (2010)
196
Marvel Gracia:
Mengembangkan Seni melalui Kolaburasi Berbagai bangsa
Marvel Gracia belajar menari sejak umur empat tahun.
Pertunjukan pertamanya memberikan hiburan kepada para
pengungsi yang terpapar erupsi Merapi di Boyolali (2010). Pada
umur lima tahun, Marvel tampil pertunjukan kolaborasi dengan
penari asal Swedia, Virpi Pahkinen dan Oscar Landstrom, pada
Pentas Kolaborasi Indonesia- Swedia di Taman Budaya Jawa
Tengah. Debut tarian solonya, Tarian Hujan, dipertunjukan
pada Festival Hujan Internasional 2015. Pada umur 10 tahun,
siswa kelas V SD ini telah mencipta dua tarian, yaitu Sepeda
Santai dan Garuda, yang terinspirasi dari lingkungan bermain
dan keadaan masyarakat saat ini
Kepala Marvel menyentuh lantai. Jemari
tangannya ia acungkan, mengembang seperti
sayap burung. Tubuhnya yang kayang ditumpu
oleh dua kakinya yang kokoh. Berbalut pakaian
terbuat dari kulit kayu, gerakan Marvel melesat
gagah. Sesekali gerakannya gelisah, sesekali
sigap. Teras rumah berupa pendopo yang luas
menjadi panggung yang dikuasainya. Dalam
tariannya, Marvel berlari, melompat, berpuisi,
menatap tajam penonton yang diajaknya masuk pada jiwa burung
garuda.
Siang itu Marvel memang sedang menjelma menjadi burung
garuda. Burung yang gelisah dengan keadaan masyarakatnya, tapi
optimistis dengan kekuatannya.
Ditemui di rumahnya di Kampung Krapyak, Desa
Pucangan Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, Marvel bersemangat
menceritakan kecintaannya pada seni tari. “Saya menari sejak umur
empat tahun. Waktu itu saya mendengar musik. Musik itu yang
197
membuat saya menari dengan sendirinya. Musik itu bisa cepat bisa
pelan. Dinamikanya itu yang membuat saya terinspirasi menari,”
begitu Marvel mengawali perbincangan.
Sejak itu pula Marvel ikut latihan tari bersama ayah dan
kakak-kakaknya. Pada umur masih tergolong anak balita itu juga
Marvel pertama kali melakukan pertunjukan. Bersama ayahnya,
Marvel sang anak balita menari untuk menghibur para pengungsi
yang terpapar erupsi Merapi di Boyolali (2010).
Bungsu dari tiga besaudara ini tumbuh di lingkungan yang
melimpah seni. Ayahnya, Mugiyono Kasido, pediri Mugidance,
koreografer tari kontemporer yang telah melanglang buana ke
banyak tempat. Kedua kakak laki-lakinya, Magnum Arkan Nala
dan Mumtaz Pajut Nurogo, punya kecintaan yang sama pada seni
tari. Ibunya, Nuri Aryati, selain sosok ibu yang mengerti dengan
kecintaan suami dan anak-anaknya pada seni, juga manajer mereka
dalam perjalanan berkarya.
Marvel telah tampil di berbagai pertunjukan, di antaranya
198
menampilkan tari Regenerasi pada Hari Tari Dunia di ISI Surakarta;
Tari Batik pada Hari Batik diPendopo Taman Budaya Jawa Tengah;
tari Dewa Ruci di Asean Enchanting Puppet Festival, Chiangmai,
Thailand; tari Burung pada Festival Asia di Sukoharjo, Jawa Tengah;
dan tari Lila Ulangun di Balai Soedjatmoko, Solo.
Debut tarian solo Marvel pentaskan pada Festival Hujan
Internasional 2015 dalam tajuk Tarian Hujan. “Itu tarian tentang
hujan. Kalau tak ada hujan kita tak punya air, tak bisa minum. Buahbuahan dan sayuran akan mati. Kalau ada hujan pasti gembira, orangorang pun ingin berhujan-hujanan,” demikian Marvel menceritakan
makna Tarian Hujan.
Marvel juga telah melakukan kolaborasi dengan penari-penari
dari mancanegara sejak umur lima tahun, antara lain pentas kolaborasi
dengan penari asal Swedia, Virpi Pahkinen dan Oscar Landstrom,
pada Pentas Kolaborasi Indonesia- Swedia di Taman Budaya Jawa
Tengah (2011). Pada tahun yang sama, bersama keluarganya,
199
Marvel melakukan residensi dan kolaborasi dengan para penari asal
Korea dan Thailand di Gwangju, Korea Selatan. Proses kolaborasi
tersebut menghasilkan tari Ejecting Human (Kelahiran Manusia)
yang dipentaskan di Gwangju Citizen Arts Center, Korea Selatan.
Tahun 2013, Marvel kembali melakukan pertunjukan kolaborasi
bersama ayahnya dan penari asal Korea dan Amerika Serikat pada
tari Floating Spirit yang dipertunjukan di Bedog Art Festival dan
tari Back to Source pada Solo international Performing Arts (SIPA).
Pertunjukan lainnya, antara lain, kolaborasi dengan Dedek Gamelan
Ensamble pada Kereta Kencana World Music.
Saat penulisan profil ini, umur Marvel baru 10 tahun. Enam
tahun sudah ia menekuni dunia tari. Di umur kesepuluh ini, Marvel
mulai menggubah tarian. Karyanya yang pertama bertajuk Sepeda
Santai. Tarian berkelompok yang terinspirasi dari kesenangannya
bermain sepeda bersama teman-temannya. “Cara menciptanya,
pertama saya membayangkan gerak tari seperti menaiki sepeda.
Kemudian menggunakan lonceng dan suara sepeda menjadi musik
untuk pengiring tarian,” demikian Marvel menuturkan proses
kreatifnya. Teman-teman bersepedanya pula yang kini menjadi
bagian dari para penarinya. Sudah berbulan-bulan mereka berlatih
setiap hari Sabtu dan Kamis di rumah Marvel. Karya keduanya adalah
perpaduan anatara tari dan puisi. Gagasan tersebut terinspirasi saat
Marvel mengikuti perlombaan puisi. Puisi-tari bertajuk Garuda ia
kreasi untuk menghadirkan semangat burung garuda yang kuat
dan tantangan yang sedang dihadapi masyarakat Indonesia.
Kecintaan Marvel pada seni tari ini terinsipirasi oleh ayahnya.
“Melihat bapak menari, latihan bersama teman-teman, saya tertarik
untuk belajar menari sehingga bisa keliling dunia dan banyak
teman. Apalagi kalau bisa membuat karya. Saya bisa memanggil
teman-teman dari provinsi lain di Indonesia dan negara lain untuk
berkolaborasi menciptakan tarian,” ujarnya. Marvel juga berpesan
kepada sesama anak di Indonesia, kalau mereka menyukai sesuatu
200
sebaiknya ditekuni. Yang suka melukis menekuni seni lukis. Yang
suka menari menekuni seni tari. “Juga terus menggali seni yang
disukainya supaya melukisnya bagus, menanrinya bagus. Kemudian
kolaborasilah, penari NTT kolaborasi dengan penari Jawa, lalu
keliling dunia dan kolaborasi dengan penari dari negara lain,”
tuturnya. Menurut Marvel kolaborasi sangat penting untuk saling
belajar dari kebudayaan yang berbeda.
Menanggapi anugerah kebudayaan dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan untuk kategori anak dan remaja yang
diterimanya, Marvel menyampaikan terima kasih atas dukungan
pemerintah pada anak-anak yang berkarya sepertinya. Penghargaan
dari pemerintah juga menurutnya akan mendorong anak-anak
Indonesia untuk semakin menggali seni dan menjaga kebudayaan
Indonesia dan terus mengembangkan seni melalui kolaborasi dengan
berbagai bangsa.
Biodata:
Lahir
Ibu
Ayah
: Solo, 4 November 2006
: Nuri Aryati
: Mugiyono Kasido
201
Saudara
: Magnum Arkan Nala dan Mumtaz Pajut Nurogo
Alamat :
Krapyak RT I RW VII, Desa Pucangan Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Blog mugidance.wordspress.com, mugidancecomunitiy.blogspot.com,
nuriaryati.blogspot.com. Facebook & Instaggram: mugidance twitt = @
mugidance1
Keahlian :
Menari dan menggubah tarian kontemporer
Pendidikan:
Kelas V, SD Pucangan II, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah
Pertunjukan :
- Solo International Performing Art (SIPA)
- Kereta Kencana World Music
- Pentas (Mugidance Community) kolaborasi dengan Paolo Rossi pada
pembukaan pameran International Rain Festival (2015)
- Indonesia Performing Art Mart (IPAM) 2014
- Tarian Pikiran Tubuh (Body’s Thinking) pada perayaan Hari Tari
Sedunia bertema “Dancing Outloud” (2014)
- World Dance Day 2013 “Enchanting Puppet Festival”, Chiangmai,
Thailand
- Pentas dalam Solo International Performing Art (SIPA)
- Kereta Kencana World Music
- Pertama kali pentas pada 2010 untuk menghibur pengungsi korban
letusan Gunung Merapi di pendopo Kabupaten Boyolali
Karya Tari :
- Sepeda Santai (2017)
- Garuda (2017)
Penghargaan:
- Anugerah Kebudayaan Kategori Anak dan Remaja dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (2017)
- Bersama kelompok SD Pucangan II, juara II Festival Seni Budaya
Sukoharjo dalam tarian Nini Thowong (2015)
202
Dian Anindya Bhaswara:
Ajak Kawula Muda Mencintai Budaya Sendiri
Suaranya lantang menggelegar. Sesekali, syair dan tembang pujian
mengalun merdu mengiringi gemuruh gamelan bali nan dinamis
dan menghentak, yang dimainkan oleh dua penabuh gamelan di
belakangnya.
Anin sangat menikmati perannya sebagai
dalang. Kedua tangannya tampak cekatan
memilih wayang dan
memainkan peranan
demi peranan dalam lakon yang malam itu
ia tampilkan, “Bima Jadi Tumbal”. Seketika
itu juga penonton bagikan lupa kalau dalang
bersuara lantang itu belum genap berusia 17
tahun. Remaja yang kesehariannya tampak
pendiam itu ternyata menyimpan potensi
sebagai dalang andal.
Dian Anindya Bhaswara yang akrab disapa Anin, lahir di
Denpasar , 13 Oktober 2000. Sejak usia tujuh tahun ia sudah mahir
mendalang. Seperti orang bijak bilang bahwa belajar di waktu kecil
bagai mengukir di atas batu, maka Anin adalah contoh keberhasilan
menanamkan kecintaan akan seni sejak usia dini.
«Setiap ada kesempatan saya akan mendalang. Seperti itulah
yang dilakukan
ayah dan kakek saya, juga kakek buyut saya,»
kata Anin. Mendengar celotehnya, ayah dan ibu yang ibunya yang
ikut menemani dalam perbincangan di rumah mereka nan asri di
kawasan Ubud, awal Agustus lalu, hanya tersenyum sumringah.
Anin memang istimewa. Ibunya, Juniati Kadek adalah guru yang
mengajarkan kesenian di salah satu SD di daerah Sukowati Banjar,
Bali. Ayahnya, I Ketut Sudiana, adalah dosen pewayangan di Institut
203
Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Dari garis keturunan sang ayahlah
Anin mendapat bakat sebagai seorang dalang.
Selain mendalang, anak pertama dari dua bersaudara ini
sering kali menjuarai lomba mendongeng khas Bali yang disebut
mesatua. Anin bahkan sudah mengikuti festival mendongeng saat
berusia empat tahun. Meski belum meraih juara, keikutsertaan Anin
yang saat itu masih sangat lucu tersebut sangat menarik perhatian.
Anin pun dinobatkan sebagai peserta termuda di ajang tersebut.
Dari ajang itulah keberanian Anin untuk tampil semakin kuat.
Meski kesehariannya nampak pemalu, tapi begitu di atas panggung,
Anin berubah menjadi macan panggung. Gayanya yang penuh
penghayatan dalam membawakan cerita-cerita rakyat, membuat
Anin akhirnya meraih banyak predikat juara di berbagai ajang
mendongeng.
“Saya senang mendongeng dengan bahasa Bali. Itu adalah
hobi yang diajarkan oleh ibu dan bapak saya. Seperti mendalang,
mendongeng juga sangat memerlukan keseriusan dalam menghayati
setiap peran yang akan kita sampaikan kepada penonton,” ujar Anin.
204
Selain mesatua, kesenian Bali lainnya yang suka digeluti Anin
adalah macepet. Macepet adalah mengartikan bahasa Kawi ke bahasa
Bali. Untuk lomba macepet pun banyak prestasi yang diraih Anin.
Prestasi demi presatasi yang diraih Anin tak lepas dari
dukungan kedua orangtuanya. Ayah dan ibunya sangat serius
mengembangkan bakat Anin. Sang ibu yang pandai memainkan seni
tari dan seni peran, telah mengajarkan kepada Anin cara mendongeng
yang baik dan benar. Misalnya menyangkut bagaimana mimik wajah
dan ekspresi gerak tubuh seharusnya ketika menyampaikan pesan
dari sebuah peran. Kekuatan intonasi, mimic, serta gerak tubuh adalah
kunci keberhasilan mendongeng yang baik. Persoalam juara adalah
bonus dari upaya kita yang serius. Sementara ayah yang berasal dari
keluarga dalang telah mewariskan banyak pengetahuan tentang seni
wayang. Bukan sekadar hobi yang tersalurkan, tapi wayang adalah
bagian dari pembentukan karakter Anin.
“Saya harus tahu dan hafal nama masing-masing tokoh
pewayangan. Tapi lebih dari itu, saya juga harus paham karakternya
dan suaranya. Dari situ saya juga tahu inilah karakter jahat dan baik,”
kata Anin.
Anin kini telah duduk sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi
Administrasi Negara (STAN) di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan.
Meski telah memasuki masa remaja dan dunia pendidikan tinggi,
Anin menegaskan tidak akan meninggalkan hobinya bermain wayang
dan mendongeng. “Di kampus saya tetap aktif sebagai pengurus
kesenian Bali. Jadi, berbagai kegiatan terkait seni dari Provinsi Bali,
saya akan ikut terlibat di dalamnya,” ujar Anin penuh semangat.
Anin merasa bersyukur karena lahir dan besar di Bali, sebuah
pulau yang dipenuhi nuansa tradisi yang kuat. Tentu kebanggaan
pada seni Bali sangat tertanam di hatinya. Meski demikian, kini
setelah tinggal dan bertemu banyak orang di luar Bali, Anin justru
205
banyak belajar sekaligus mengagumi berbagai budaya dari Indonesia.
“Ternyata banyak sekali kebudayaan di Nusantara ini yang tak kalah
indah dan menarik dibanding Bali. Jadi saya bingung kalau ada anak
muda yang tidak menunjukkan rasa bangga pada budaya negerinya
sendiri. Begitu kaya Indonesia akan khazanah budaya, kenapa masih
mengagumi budaya negeri lain?” tandas Anin.
Dia mengakui kalau jiwanya sudah terpikat pada seni. Di
mana pun dia berada dan apa pun profesinya kelak ketika dewasa,
Anin berjanji akan tetap menjunjung tinggi tradisi leluhurnya orangorang Bali. “Saya akan mendedikasikan hidup saya pada seni budaya
Bali khususnya, dan Indonesia pada umumnya,” Kata Anin. Dia
menyatakan akan terus belajar dan belajar apa saja tentang seni
tradisional Indonesia. “Saya mengajak generasi muda sebaya agar
ikut melestarikam kekayaan budaya Indonesia. Apakah itu seni
suara, seni tari, lukis, kerajinan, seni patung sampai seni kuliner dan
pakaian. Kalau bukan kita yang melestarikan budaya sendiri, siapa
lagi?”tegas Anindya.
206
Kategori Maestro Seni Tradisi
207
208
Eliza Marthen Kissya:
Sang “Kewang” Penjaga Tradisi “Sasi Lompa”
Pulau Haruku terletak tidak jauh dari kota Ambon. Hanya butuh
waktu sekitar 15 menit perjalanan laut dengan naik perahu
bermotor. Di Pulau Haruku itulah tersimpan suatu tradisi
pelestarian lingkungan laut yang unik, bahkan menarik. “Sasi
Lompa” namanya. Dan, Eliza Marthen Kissya adalah tokoh
penting di balik tradisi yang sudah berlangsung paling tidak sejak
tiga abad lampau tersebut.
Sosok Eliza sangat sederhana, halus budinya,
serta senantiasa bersenandung guna menghibur
para tamu yang menginap di rumahnya, persis
di ujung Pulau Haruku. Dia adalah sosok kewang
(pemangku adat) yang menjaga tradisi Sasi Lompa,
sebuah tradisi yang berkaitan dengan ritual
penangkapan ikan lompa (Trisina baelama, sejenis
sarden kecil) agar lingkungan sekitar perairan—
laut dan sungai—Pulau Haruku tetap lestari.
Eliza lahir di Haruku, 12 Maret 1949. Sehari-hari bekerja sebagai
tani-nelayan dan secara formal hanya mengecap pendidikan sampai
tingkat sekolah rakyat (SR). Akan tetapi, belajar tak hanya sebatas
pendidikan di bangku sekolah. Eliza banyak mengikuti pendidikan
non-formal, di antaranya Pendidikan Konservasi Alam oleh Kantor
Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987); Latihan
Budidaya Perikanan di Politeknik Universitas Pattimura (1989);
Latihan Analisa Dampak Lingkungan oleh Wahana Lingkungan
Hidup (Walhi) dan Yayasan Hualopu (1991); Studi Banding Pertanian
Lahan Kering di Flores (1992); dan Latihan Media Komunikasi Rakyat
oleh SEARICE (1993). Dalam kedudukannya sebagai pemangku atau
kepala pelaksana adat alias kewang desa di Negeri Haruku, Eliza
209
juga terlibat aktif dalam pertemuan-pertemuan regional, antara lain
pada Pertemuan Nelayan se-Indonesia Timur di Lombok (1989) serta
Simposium Sumber Daya Hukum Lingkungan dan Seminar Hukum
Adat Kelautan di Universitas Pattimura, Ambon (1991).
Sehari-hari ia dipanggil dengan nama akrab Oom Elli.
Sejak 1979, bersama Berthy Ririmase—raja (kepala desa) Haruku
saat itu—dan masyarakat di sana, Eliza menghidupkan kembali
lembaga dan hukum adat daerahnya untuk mengelola lingkungan
hidup secara lestari. Salah satu tugas yang diemban oleh lebaga
adat ini adalah penyempurnaan hukum sasi (larangan adat) untuk
melindungi populasi dan habitat ikan lompa di perairan Haruku.
Untuk kepeloporannya ini, Kantor Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup menganugerahkan penghargaan tertinggi
nasional di bidang lingkungan hidup, Hadiah Kalpataru, pada tahun
1985. Sampai kini Oom Elli masih tetap gigih melakukan penghijauan
di pesisir pantai Haruku untuk mengembangkan kawasan habitat
burung maleo. Ia aktif juga menentang pengeboman ikan dan
terumbu karang serta pengerukan kerikil pantai di Haruku, yang
210
bahkan pernah menjadi kasus hingga sampai tingkat pengadilan.
Ia pun rajin mencatatkan semua “pemberontakan” hatinya
dalam bentuk pantun-pantun indah. “Beta ini orang kaya, beta tinggal
di Tomohon, kalau tahu itu berbahaya, mengapa Anda menebang pohon,”
ucap Eliza sambil berkaca-kaca ketika menceritakan pengalamannya
melakukan penentangan untuk pemngeboman ikan tersebut. Ia pun
melanjutkan kisah pengalamannya itu sambil mengutip pantunnya
berikut: “Ada orang yang menyerang kami, kami lari menebang bakau,
kalau takut dihantam tsunami, jangan Anda menebang bakau.”
Eliza menyampaikan betapa penting melestarikan lingkungan
dan mengajarkan hal tersebut kepada anak-cucu Negeri Haruku.
Manusia tanpa lingkungan tentu akan mati. Itu juga alasan mengapa
Eliza begitu aktif membikin taman-taman konservasi di sekitar
tempat tinggalnya, baik untuk burung, ikan, dan lain sebagainya.
Dengan posisinya sebagai kewang, Eliza dapat memiliki pengaruh
kuat terhadap masyarakat Negeri Haruku agar mereka senantiasa
menjaga lingkungan. Tentu aturan-aturan yang dibuatnya kemudian
akan menjadi aturan bersama yang diikuti bersama oleh masyarakat
sekitarnya. Di sela perbincangan, ia pun berpantun lagi: “Mari mendaki
gunung binaya, bersama temanku bernama Daut, kalau tahu itu berbahaya,
211
mengapa buang sampah di laut.” Bagi Eliza, laut dan daratan adalah
hidupnya, maka melestarikan keduanya merupakan panggilan
hidupnya yang paling suci.
Di Haruku sendiri, tempat di mana Eliza tinggal dan memiliki
peran sangat penting, sebagaimana telah disinggung di atas, terdapat
suatu tradisi pelestarian lingkungan yang sangat khas yang dikenal
dengan istilah Sasi Lompa, yakni sasi (harfiah berarti larangan) atas
ikan lompa (Thryssa baelama, sejenis ikan sardin kecil). Jenis sasi ini
dapat dikatakan endemik Maluku. Lebih unik lagi karena sasi ini
merupakan perpaduan antara sasi laut dan sasi kali. Hal ini tidak lepas
karena keunikan hidup ikan lompa itu sendiri yang mirip perangai
ikan salmon yang dikenal luas di Eropa dan Amerika Utara: dapat
hidup baik di air laut maupun di air kali. Setiap hari, dari pukul 04.00
dinihari sampai pukul 18.30 petang, ikan-ikan lompa tetap tinggal di
air Kali Learissa Kayeli di Pulau Huruku, sampai kurang lebih sejauh
1.500 meter dari muara. Pada malam hari, hingga dinihari, barulah
ikan-ikan ini keluar ke laut lepas untuk mencari makan dan kembali
lagi ke kali pada subuh hari. Yang menakjubkan adalah bahwa
Kali Learissa Kayeli yang menjadi tempat hidup dan istirahat ikan
lompa sepanjang siang hari, menurut penelitian Fakultas Perikanan
Universitas Pattimura, ternyata sangat miskin unsur-unsur plankton
sebagai makanan utama ikan-ikan ini. Walhasil, tetap menjadi
pertanyaan sampai sekarang, di mana sebenarnya ikan lompa ini
bertelur untuk memperbanyak generasi baru mereka. Tapi, yang
sudah jelas, berkat tangan dingin Eliza-lah ikan-ikan lompa tetap
menjadi lestari.
Eliza adalah bukti bahwa pelestarian lingkungan tidak
melulu dapat diselesaikan lewat teori-teori Barat, melainkan dapat
dikembangkan dari tradisi dan adat setempat. Eliza dengan segala
ketekunannya sudah mampu melestarikan lingkungan sekitar
dengan tetap menjaga dan memelihara tradisi lokal. Inilah kearifan
lokal yang sebenarnya tersebar luas di bumi Nusantara.
212
Biodata:
Nama
Lahir
Profesi
: Eliza Marthen Kissya
: Haruku, 12 Maret 1949
: “Kewang” alias Ketua Pemangku Adat Negeri
Haruku
Pendidikan : Sekolah Fakyat
Kegiatan Pelatihan :
• Pendidikan Konservasi Alam oleh Kantor Menteri Kependudukan
dan Lingkungan Hidup (1987)
• Latihan Budidaya Perikanan di Politeknik Universitas Pattimura
(1989)
•
Latihan Analisa Dampak Lingkungan oleh WALHI dan Yayasan
Hualopu (1991)
•
Studi Banding Pertanian Lahan Kering di Flores (1992)
•
Latihan Media Komunikasi Rakyat oleh SEARICE (1993).
Penghargaan:
• Anugerah Kebudayaan untuk kategori Maestro Seni Tradisi,
2017
• Hadiah Kalpataru, Kementerian Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup, 1985.
Referensi:
• Eliza Kissya. Sasi Aman Haru-Ukui. Jakarta: The SEJATI
Foundation, 1995.
• Eliza Kissya, Kepata Kewang Haruku & Sasi Aman Haru-ukui.
Makassar: Ininnawa & Layar Nusa, 2013.
213
Irang Awai:
Musik Menjaga Keseimbangan Alam
Seperti napas, musik bagi Irang Awai adalah anugerah yang
diberikan Tuhan untuk dijaga kelangsungannya. Musik di sekeliling
Irang adalah energi yang membuatnya tetap bertahan dalam segala
suka dan duka kehidupannya.
Selama saya hidup, selama itu pula saya akan
terus melestarikan musik tradisional yang
diwariskan dari leluhur saya. Tidak ada kata
menyerah. Seluruh perhatian saya adalah
melestarikan musik dan seni pembuatan
alat musiknya,” kata Irang, saat ditemui
di rumahnya di Desa Miau, Kecamatan
Kongbeng, Kabupaten Kutai Timur, Agustus
2017 lalu.
Irang Awai lahir di Desa Pura, di tengah-tengah keluarga suku
Dayak Kenyah Kahayan di Kutai, Kalimantan Timur, 62 tahun lalu.
Dia dikenal sebagai maestro musik tradisional Dayak, khususnya alat
musik sape. Alat musik petik khas suku Dayak ini sudah dimainkan
Irwang secara baik sejak dia duduk di kelas III SD. Keahliannya
memainkan sape itulah yang membawanya terbang ke berbagai
wilayah di Tanah Air. Bahkan, berkat keahlian itu pula Irang Awai
bisa menapaki berbagai negara, mulai dari negara tetangga Malaysia,
Singapura, Thailand, sampai Amerika Serikat dan beberapa negara
di Eropa.
Tidak hanya alat musik sape yang pandai dimainkan Irang.
Beragam alat musik khas Dayak lainnya seperti seruling, kadire
dan kulinteng sangat mahir dimainkannya. Mendengarkan Irang
memainkan sape dan alat musik lainnya itu, penonton akan dibuat
terbuai karena merdunya. Selain membuat alat musik sape sekaligus
214
memainkannya, ia juga sangat piawai menciptakam syair-syair indah
untuk didendangkan sebagai lagu dalam bahasa Dayak Kayan Nak
Long. Tidak hanya musik dan syair. Irang juga andal menciptakan
berbagai jenis tarian. Bapak empat anak dan kakek delapan cucu ini
juga dikenal sebagai tokoh adat yang sangat disegani di kampungnya
saat ini, Desa Miau.
Menjaga kelestarian alat musik sape seperti yang
dilakoninya kini bukanlah tanpa tantangan. Saat membuat alat
musik, baik itu sape ataupun seruling, Irang mengaku sangat
kesulitan mencari bahan baku berupa kayu. Jenis pohon arai
untuk dibuat sebagai bahan dasar sape kini sangat sulit didapat.
“Tapi saya pantang menyerah. Kalau saya dengar kabar ada pohon
arai di satu tempat, saya segera ke sana, menyewa kendaraan dan
membawanya ke rumah. Harga berapa pun akan saya beli, asalkan
saya ada bahan untuk membuat sape,” ujar Irang, penuh kesungguhan.
Kecintaan Irang pada seni tradisional memang sudah teruji sejak
1972. Dia mengingat, sejak saat itulah dia mulai serius ikut membina
kelestarian seni musik sape dan yang lainnya. Dia sendiri mengaku
belajar musik sape secara otodidak. Dia mengaku senantiasa
215
mendapat ketenangan saat bermain musik dan mengungkapkan isi
hatinya lewat syair-syair Dayak nan indah.
“Saya juga menciptakan lagu dan aransemen musik sape
untuk menunjukkan hubungan kasih sayang yang luar biasa antara
ayah dan anak. Saya menciptakan lagu itu untuk ayah saya yang
sudah tiada sejak saya masih di dalam kandungan ibu,” ujar Irang,
sambil menerawang jauh. Tak lama kemudian, petikan sape nan
lembut membuai di tengah percakapan.
Irang bertekad akan terus menjaga kelestarian musik sape
yang kini mulai langka dipetik di pelosok Kalimantan. Sungguh dia
tak ingin melihat musik tradisional warisan leluhurnya ini hilang
ditelan bumi karena tak ada lagi yang memainkan.
Lebih dari itu, menurut Iwang, musik adalah penjaga
keseimbangan alam ini. Ketika seseorang lelah bekerja di ladang,
maka memainkan musik dan bersenandung adalah obat penghilang
penat yang sangat ampuh. Begitu juga saat kita tengah dilanda
kesedihan atau kegembiraan, musik dan tari adalah obat pelipur lara.
Saat ini Irang sudah memiliki sanggar pelestarian kesenian
tradisional di Desa Miau. Anggotanya tidak hanya orang-orang tua
216
atau dewasa, melainkan juga anak-anak usia dini dan para remaja.
Mereka belajar memainkan alat musik tradisional, menyanyi dan
menari serta belajar bagaimana membuat alat musik sendiri.
Dalam setiap kesempatan mengajarkan musik dan tari dalam
sanggar seni di desanya, Irang senantiasa berpesan agar generasi
muda tidak mudah terpengaruh budaya modern yang kini tengah
melanda. «Bagaimana supaya tidak mudah terpengaruh? Tentu saja
dengan memperkuat jati diri kita sendiri. Jati diri kita adalah kesenian
kita, budaya dan adat istiadat kita, seni tradisi kita. Saya tanamkan
kata-kata saya itu setiap saat kepada anak-anak dan cucu saya, juga
seluruh generasi penerus adat suku Dayak Kayan yang sangat saya
cintai,» ujar Irang.
Pengabdian Irang dalam menjaga kelestarian musik tradisional
sape sejak usia remaja tak sia-sia. Kini, setiap ada perhelatan akbar
atau acara penyambutan tamu kehormatan di desa, kita dapat
menyaksikan anak-anak, remaja—perempuan dan laki-laki—menari
bersama. Ada juga grup musik tradisional yang sudah banyak
mengikuti perjalanan bermusik Irang: dari Sabang rampai Merauke!
217
Al Mujazi Mulku Zahari:
Penjaga Tradisi Kabanti, Pewaris Naskah Buton
Di tangan Al Mujazi Mulku Zahari, naskah-naskah Buton masih
terpelihara dengan baik. Ia telah mendedikasikan dirinya untuk
menjadi pelestari Pusaka Walio dan Naskah Kuno Nusantara.
Al Mujazi Mulku Zahari adalah sosok pria
bersahaja. Kini hidupnya ia didedikasikan
untuk menjaga naskah-naskah Buton, pekerjaan
yang ia warisi dari sang ayah, Abdul Mulku
Zahari. “Ayah memang pernah berpesan agar
saya melanjutkan tugasnya sebagai penjaga
naskah-naskah Buton,” kata Al Mujazi. Dan,
begitu ayahnya berpulang, pesan tersebut ia
emban tanpa keraguan sedikit pun.
Secara materi tentu dunia yang digelutinya itu tidak
menghasilkan banyak keuntungan material. Akan tetapi, boleh
jadi karena buah dari ketulusan, kegigihan dan konsistensinya
melanjutkan peran sang ayah, ada saja “rezeki” sehingga ia mampu
membesarkan anak-anaknya hingga sukses di bidang mereka masingmasing.
Ayah Al Mujazi, Abdul Mulku Zahari, adalah tokoh
masyarakat dan budayawan Buton yang hasil karyanya saat ini
sudah menjadi objek penelitian ilmu pengetahuan baik di tingkat
lokal, regional, nasional, bahkan internasional. Semasa hidupnya,
Abdul Mulku Zahari menjabat sebagai sekretaris Sultan Buton ke38, Yang Mulia Sultan La Ode Muhammad Falihi. Sebagai orang
kepercayaan sultan, kerap ia diutus ke berbagai daerah mendampingi
dan mewakili sultan dalam setiap kegiatan, di antaranya menjadi
juru bicara Sultan Buton padai pertemuan Raja-raja Nusantara di
Sungguminasa, Goa, Sulawesi Selatan pada tahun 1954. Ia pun
218
pernah menjadi ketua delegasi Buton menemui gubernur Sulawesi
dterkait sengketa swapraja dengan DPRD Buton ,tahun 1954. Ia pula
yang mewakili sultan dalam penyelesaian sengketa tanah antara
Rongi dan Hendea di Distrik Sampolawa, tahun 1958. Abdul Mulku
Zahari pun pernah menjadi juru bicara Sultan Buton pada pertemuan
persiapan pembentukan daerah tingkat II dan I Sulawesi Tenggara.
Selain itu, pada tahun 1964, ia pun pernah menjabat sebagai kepala
Distrik Lassalimu dan juga pernah menjabat sebagai sekretaris daerah
Buton.
Dari sederetan perjalanan hidup sebagaimana kisah di atas,
ternyata peran Abdul Mulku Zahari yang teramat penting justru
terkait dengan penerjemahan naskah-naskah kuno peninggalan
leluhur Buton ke dalam bahasa Indonesia. Peran inilah yang
kemudian dilanjutkan oleh Al Mujazi Mulku hingga saat ini.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Achdiati Ikram
dkk, tahun 2001, sedikit terdapat 320 naskah yang terdiri atas kurang
lebih 6.505 halaman. Sebuah warisan itu tentunya hanya dapat
dilahirkan dari kerajaan/kesultanan yang memberi perhatian dan
daya hidup bagi intelektualisme. Dan, kalua saja bukan karena
ketekunan dan tanggung jawab moral akan masa depan pemikiran
Kesultanan Buton, Abdul Mulku Zahari mungkin tidak akan sesetia
itu menjaga naskahnya. Kini tanggung jawab tersebut berada di putra
bungsunya, yaitu Al Mujazi Mulku Zahari.
Menurut Al Mujazi, berangkat dari pesan sang ayah, ada
beberapa peran penting yang mesti ia jalani sebagai “penjaga” adat dan
budaya Buton. Pertama, dari sang ayah ia belajar terkait konsistensi
menjaga naskah. Ia meyakini bahwa jantung kebudayaan Kesultanan
Buton ada di dalam naskah-naskah tersebut. Jika naskah-naskah
itu hilang atau tidak terurus, maka dapat dipastikan masyarakat
Buton khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya akan
kehilangan jejak masa silamnya. Itu berarti akan menjadi kecelakaan
sejarah bagi masyarakat Buton sendiri. Kedua, harus belajar banyak
219
cara untuk mensyukuri hidup dan senantiasa berbahagia di atasnya.
Meski secara finansial tidak mendapatkan hal yang seimbang dari
kegiatan menjaga naskah, termasuk museum di dalamnya, akan tetapi
ia tetap bersyukur atas itu semua. Ketiga, belajar mencintai pekerjaan
secara total sebagaimana yang dilakukan oleh sang ayahnya. Dunia
menjaga naskah dan museum Kesultanan Buton menjadi dunia yang
sangat berarti bagi Al Mujazi. Ia tidak pernah mengeluh sedikit pun
untuk melaksanakan amanah tersebut. Ia selalu memiliki api cinta di
dalam menjalankan pekerjaannya itu.
Ternyata, berkat ketulusan, kerja keras dan cinta yang dimiliki
Al Mujazi Mulku Zahari atas pekerjaannyaitu, ia pun mendapatkan
banyak anugerah dan tidak terhitung jumlahnya. Mulai dari anakanaknya yang mendapatkan banyak beasiswa ketika sekolah,
kemudian juga mereka mudah mendapatkan pekerjaan yang layak.
Meski demikian ada relung kesedihan di dalam diri Al Mujazi.
Sebab, salah satu anaknya yang ia idam-idamkan untuk melanjutkan
pekerjaan menjaga naskah di kemudian hari, justru meninggal dunia
persis di depan rumah mereka karena jatuh dari motor. Kejadian
tersebut sempat membuatnya shock, akan tetapi ia dapat kembali
bangkit untuk melanjutkan amanah menjaga naskah-naskah Buton
serta melestarikannya.
220
Dua di antara banyak naskah Buton yang paling banyak
dibicarakan adalah Kabanti Bula Malino karya Sultan Muhammad
Idrus dan Ajonga Inda Malusya karya Haji Abdul Ganiyu. Ratusan
naskah lainnya kini masih berada di rak dan sebuah peti tua.
Naskah-naskah tersebut berisikan tentang bahasa, hikayat, hukum,
Islam, sejarah, silsilah, surat-surat, syair, dana pa yang dinamakan
Kitab Martabat Tujuh. Berkat koleksi naskah tersebut, telah ratusan
peneliti dan pakar sejarah dan budaya yang memanfaatkannya untuk
kepentingan karya ilmiah maupun penulisan karya sastra.
221
Saat ini Al Mujazi sedang melakukan penulisan ulang atas
naskah-naskah klasik Buton tersebut serta berusaha menerjemahkan
dan menerbitkannya dalam bahasa Indonesia. Dengan begitu, ia
berharap anak-anak generasi muda dapat membaca naskah-naskah
tersebut dan dapat belajar dari masa lalu untuk mengantisipsi
setiap tantangan yang datang di masa depan. Berkat kerja keras
dan ketenukannya inilah, Al Mujazi mendapatkan apresiasi dan
penghargaan sebagai Maestro Seni Tradisi 2017.
Biodata:
Nama
Profesi
Alamat
: Al Mujazi Mulku Zahari
: Penjaga Museum Kesultanan Buton dan Pewaris
Naskah-Naskah Buton
: Kelurahan Baadia, Kecamatan Wolio, Kota Baubau
Penghargaan:
• Anugerah Kebudayaan 2017 kategori Maestro Seni Tradisi
• Anugerah Tampil Mesra 2016 Kategori Penghargaan Bidang
Budaya
Referensi:
Abdul Mulku Zahari. Islam di Buton Sejarah dan Perkembangannya.
Baubau: CV. Dia dan Aku, 2017.
https://syaifuddinganisalubulung.wordpress.com/2015/01/20/
abdul-mulku-zahari-bapak-dokumentator-naskah-buton/
222
Harun A Rahman:
“Kabata” sebagai Identitas Manusia Tidore
Sejak lima belas tahun lalu, Harun A Rahman telah memberikan
hidupnya pada kabata, salah satu tradisi lisan Tidore dalam
bentuk syair atau pantun yang dinyanyikan. Menulis syairpantun kabata baginya detak hidup yang tak bisa dilewatkan
dalam keseharianya.
Bagi Harun, kabata bukan sekadar seni tutur.
Kabata adalah falsafah hidup, identitas manusia
Tidore, Maluku Utara, yang harus membela
yang benar dan bukan membela siapa-siapa,
sebagaimana dipesankan para leluhur. Bersama
syair-pantun kabata, Harun hadir dalam acara
adat dan acara pemerintahanan. Melalui syairsyair kabata itu pula Harun menjaga ingatan
masyarakat Tidore pada nilai-nilai luhur yang
diamanatkan para leluhur dan tak sungkan memberi kritik pada
pemerintah saat ini.
Kabata diwariskan oleh leluhur masyarakat Tidore dari
generasi ke generasi. Tradisi lisan ini menyentuh seluruh aspek
kehidupan masyarakat Tidore. Tema-tema dalam syair kabata
membentang dari tema pujian kepada Yang Transenden, kebijakan
terkait kebudayaan, kehidupan sehari-hari, hingga kritik kepada
negara. Kabata dipertunjukan pada momen-momen istimewa, seperti
syukuran saat panen tiba, musyawarah pemilihan Sultan Tidore, atau
pada upacara kematian pemimpin adat. Kabata juga hadir dalam
kehidupan pribadi masyarakat Tidore. Syair kabata dipercaya dapat
memberi pemulihan pada keluarga-keluarga yang kesusahan dan
orang sakit yang sulit disembuhkan secara medis.
Harun A Rahman berasal dari Desa Gura Bunga, sebuah desa
223
adat yang terletak di pinggang Gunung Kie Matubu. Di desa adat ini,
para sowohi atau penghubung antara pihak Kesultanan Tidore dengan
roh para leluhur bertempat tinggal. Desa yang bermakna taman
bunga ini adalah satu di antara 11 desa di Kota Tidore Kepulauan
yang penduduknya masih menghidupkan tradisi lisan kabata
Harun mulai tertarik pada kabata sejak menjadi pengajar
di SD, berawal dari kegemarannya menonton pertunjukan kabata.
Setelah pertunjukan demi pertunjukan ia nikmati, Harun mulai
menulis syair-syair yang dilantunkan pada kabata. “Sampai sekarang
saya tidak bisa melalui hari tanpa menulis syair kabata,” tutur Harun
sambil menunjukan nukilan syair-syair kabata yang diberi bingkai di
dinding rumahnya.
Syair-syair itu ditulis dalam bahasa Arab dan Tidore. Harun
menunjukkan syair terpanjang yang dipajang di belakang sofa yang
bermakna pujian pada Sang Pencipta. Adapun syair yang dipajang
di atas pintu rumahnya bermakna penyembuhan. Bukan hal mudah
untuk menyusun syair-syair tersebut. Sebagian syair ditulis merujuk
pada pakem yang diwarisi turun-temurun, seperti syair terkait pujian
224
pada Yang Transenden dan kebijakan terkait kebudayaan. Sebagian
syair bahkan dituntut lahir spontan, mengikuti suasana dan maksud
dari pertunjukan digelar.
Setelah menekuni syair-syair kabata, Harun terlibat dalam
pertunjukan. Ia bergabung dengan kelompok kabata di Desa Gura
Bunga. Kabata memang tidak dapat dimainkan seorang diri. Dalam
satu kelompok kabata dibutuhkan 8-10 orang. Biasanya, ketika kabata
dipergelarkan, mereka duduk berpasangan sembari berbalas pantun
secara selaras sambil memainkan musik dari lesung dan alu. Kabata
dimainkan oleh lebih dari satu kelompok. Kelompok pertama akan
menyampaikan dua bait pantun yang akan dibalas oleh kelompok
yang lain. Kekompakan, kemampuan spontanitas, keindahan
bahasa, kemerduan suara, kedalaman dan penghayatan pada syair
merupakan seni yang pilin-memilin dalam pertunjukan kabata.
Keandalan Harun dan kelompoknya dikenal di Tidore. Tak heran
bila mereka sering diundang dalam setiap pertunjukan kabata.
Harun juga memenuhi udangan menjadi juri perlombaan
kabata. Menurutnya, menjadi juri
membutuhkan ketekunan
tersendiri. Sedikitnya, ia harus memberikan penilaian bahasa yang
digunakan peserta dalam syair, apakah bahasanya tepat dan indah.
225
Kemudian kekompakan gerak dan suara, termasuk juga apakah suara
pelantunnya tepat dan merdu atau masih ada yang sumbang. Namun,
penilaian yang utama ada pada penghayatan peserta terhadap syair
yang mereka lantunkan.
Penghayatan para pemain kabata memang menjadi bagian
terbesar dari keprihatinan Harun. Kabata sebagai pertunjukan
berbalas pantun dan bermain musik lesung masih mudah ditemui
di Tidore, tetapi pemain yang menghayati syairnya tidak mudah
ditemui. Kabata sejatinya memang bukan sekadar seni pertunjukan.
Kabata sarat dengan pewarisan nilai-nilai hidup dari leluhur.
Salah satu nilai yang diajarkan adalah pembelaan pada
kebenaran. “Syair atau pantun dalam kabata berpesan bahwa leluhur
tidak pernah membela siapa-siapa, melainkan membela pada yang
benar,” tegas Harun. Mengenai perjumpaan seni kabata dengan ajaran
Islam, Harun menjelaskan melalui syair kabata yang dipesankan
leluhur, yang dalam bahasa Indonesia dapat disampaikan berikut:
“Beduk berbunyi di rumah adat jangan halangi bedug di mesjid”.
Maknanya, dalam hal berkebudayaan—menjalankan kabata—mesti
sejalan dan sejalin dengan agama Islam. Menurut Harun, kebudayaan
kabata sendiri lahir atas kehendak-Nya. Ber-kabata, bagi Harun adalah
juga dikrullah—mengingat dan berserah diri pada kehendak Allah.
“Kita mesti jaga kabata sambil mengingat-Nya karena kebudayaan
tanpa mengingat-Nya dapat menjadi syirik,” demikian Harun
menjelaskan.
Keindahan dan kedalaman dari nilai-nilai seni kabata itu juga
yang mendorong Harun untuk mengabdikan hidupnya pada kabata.
Selain itu, ia merasakan khasiat kabata bagi keharmonian hidupnya,
juga bagi masyarakat dan kehidupan bernegara di Tidore. Dalam
kehidupan pribadi dan masyarakat, sudah ratusan keluarga yang
datang menemuinya guna menikmati syair-syair kabata yang ia
lantunkan untuk penyembuhan. Dalam kehidupan sosial, kabata
hadir di setiap musim panen tiba. Dalam pemilihan Sultan Tidore,
226
syair kabata pun turut hadir dalam musyawarah pemilihan. Kabata
juga hadir menjadi media kritik kepada pemerintah untuk perbaikan
layanan publik atau masalah lain yang sedang dihadapi masyarakat.
Gerak politik di Tidore memang tak lepas dari dukungan akar
budayanya.
Kabata, menurut Harun, adalah manusia dan masyarakat
Tidore itu sendiri. Karena itu, ia juga ikhlas menghabiskan waktunya
untuk mengajarkan dan mewariskan tradisi lisan itu kepada generasi
muda. Ia ingin mewujudkna generasi penerus yang tak hanya pandai
bersyair, tetapi benar-benar menghayati falsafah kabata sebagai jalan
hidup, sebagai identitas manusia Tidore. Atas penghargaan sebagai
Maestro Seni Tradisi yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan RI, Harun menanggapi, “Karena kehendak-Nya
227
saya mendapatkan penghargaan ini. Nikmat ber-kabata, nikmat
menerima penghargaan ini juga atas kehendak-Nya.” Harun juga
menyampaikan terima kasih kepada pemerintah. Penghargaan ini
baginya juga adalah dorongan untuk semakin telaten mewariskan
seni tutur tradisi ini kepada generasi saat ini.
Di akhir perbincangan laki-laki pensiunan kepala SD berusia
68 tahun ini berpesan kepada generasi muda, khususnya anak cucuk
Tidore, agar mau belajar dan melestarikan kabata hingga penerusnya
merasakan khasiat dan makna dari falsafah kabata. “Guraci fu ige
karabanga foban fonga [maknanya, guraci (emas) ini penuh khasiat],
bukan hanya dilihat dari bentuknya sebagai emas tetapi isinya
yang penuh makna. Mudah-mudahan anak-cucu terpanggil untuk
mempelajarinya, sehingga akan terwujud makna yang terkandung
dalam emas (kabata) ini.”
Biodata:
Lahir
Istri
Anak
Alamat
Pendidikan
Keahlian
:
:
:
:
Tidore, 1 Juli 1949
Rusna Laha
2 (dua) orang
Kelurahan Tomagoba, Jl. Sultan Mansur,
Kecamatan Tidore, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi
Maluku Utara
: SPG Tidore
: Kabata, sastra lisan tradisi Tidore
Penghargaan :
Maestro Seni Tradisi 2017 dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia
228
Kategori Komunitas
229
230
Komunitas Kampung Tarung
Masyarakat Adat Itu Pelestari Budaya:
Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat, Sumba, Nusa
Tenggara Timur, sedang beranjak jadi kota modern. Namun kota ini
memiliki oase budaya menarik. Di atas sebuah bukit, yang tingginya
sekitar seratus meter, berdiri sebuah kampung adat, yaitu Kampung
Tarung. Sudah beratus tahun kampung ini teguh melestarikan adat
istiadatnya di tengah kehidupan modern saat ini.
Perjalanan ke kampung ini tak butuh waktu
lama dari kota Waikabubak. Setelah menanjak
sebentar, tampaklah rumah-rumah asli Sumba
dengan atap alang-alang atau ilalang (Imperata
cylindrica) seolah ingin menusuk langit. Rumah
dengan arsitektur vernakuler itu disebut uma.
Kampung ini sekilas seperti berbentuk
oval, memanjang di atas bukit. Sekitar seratusan
uma berdiri di kampung ini. “Panjang kampung
ini bisa mencapai satu kilometer,” kata Rato Lado Regi Tera,
pemimpin spiritual komunitas Kampung Tarung.
Sesuai peruntukannya, di sini terdapat uma tempat tinggal,
uma ndewa yang menjadi rumah keramat untuk ritual kepercayaan
Merapu (kepercayaan asli Sumba), dan uma bokulu yang menjadi
tempat musyawarah adat. Di tengah kampung ada pelataran. Di sana
terdapat sejumlah kubur batu berbentuk altar.
Rumah adat Sumba atau uma adalah bangunan adat arsitektur
vernakular pencakar langit. Strukturnya segi empat di atas panggung
yang ditopang kerangka utama berupa empat tiang lurus yang
disebut kambaniru ludungu. Kemudian, ada 36 tiang atau kambaniru
berupa struktur portal dengan sambungan pen memakai kayu.
Rato Lado Regi menjelaskan, uma terdiri atas tiga bagian.
231
Bagian pertama adalah atap rumah berbentuk kerucut seperti menara
yang difungsikan untuk menyimpan pusaka dan hasil panen. Bagian
kedua adalah tempat hunian atau bei uma yang tidak menyentuh
tanah. Di sini terdapat tungku yang digunakan sebagai dapur
bersama, serta ruang untuk pria dan wanita, juga beranda berlantai
bambu untuk tempat bermusyawarah disebut bangga. Bagian ketiga
adalah kali kabunga atau bagian bawah yang biasa dijadikan kandang
232
ternak seperti kerbau, kuda, kambing atau babi.
“Rumah-rumah di sini harus memakai alang-alang. Bagi kami,
rumah seperti manusia juga. Alang-alang itu seperti rambut manusia.
Tiang-tiangnya ibarat kerangka tubuh dan syaraf-syarafnya. Ini
kepercayaan Merapu kami,” katanya.
Penduduk di kampung itu, kata Rato, juga harus menggunakan
tungku api. “Pengasapan dengan api tungku membuat rumah ini jadi
awet. Kalau pakai kompor, pengasapan tidak cukup karena asapnya
tak banyak,” jelasnya. “Tapi kami tak menolak listrik. Listrik penting
bagi kami untuk penerangan. Kadang kami membuat acara pada
malam hari, dan butuh penerangan listrik,” lanjutnya.
Di tengah pelataran terdapat uma ndewa, yaitu pondok
ilalang berukuran kecil. Hanya Rato yang boleh masuk ke sini untuk
berdoa. Di sini Rato berdoa meminta perlindungan, pertolongan,
dan kesejahteraan bagi warga Kampung Tarung khususnya dan
masyarakat Sumba umumnya. Juga menyampaikan ucapan syukur
kepada leluhur pertama Sumba, Sudi Womanyoba, sebagai penjaga
tertinggi.
233
Tiap rumah di sini dihuni 3-4 keluarga. Tidak kurang sekitar
400 keluarga hidup di kampung ini. Semua memeluk kepercayaan
Merapu, yaitu kepercayaan asli masyarakat Sumba mengenai Tuhan.
Masyarakat di sini meyakini bukit tempat Kampung Tarung berdiri
merupakan tempat tinggal pertama leluhur Sumba, Sudi Wonanyoba.
Ia menjaga pasangannya yang disebut Tarung.
Setahun sekali masyarakat Kampung Tarung menggelar ritual
adat Wula Phodu atau bulan suci pada Oktober atau November. Ritual
ini sudah berlangsung selama ratusan tahun.
“Saat menyambut acara ini kami harus menyucikan diri. Besok
mau melakukan ritual, saya harus sucikan diri agar apa yang kita
buat tidak boleh masuk dalam rumah suci. Semua anggota keluarga
juga harus menyucikan diri. Masuk pelataran tidak boleh bawa yang
kotor. Bahkan saya tidak boleh tidur bersama istri,” jelas Rato yang
mulai menjadi pemimpin komunitas itu sejak 2005.
Menurut dia, komunitas Kampung Tarung masih dapat terus
bertahan sampai sekarang karena adanya ritual sakral tersebut. Ritual
ini dititipkan oleh Sang Pencipta. Tujuannya untuk melestarikan,
menjaga, dan melindungi budaya di Kampung Tarung dan Sumba
pada umumnya.
Pada 2017, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan memberikan Anugerah Kebudayaan untuk Kategori
Komunitas kepada komunitas adat Merapu dari Kampung Tarung
karena dinilai berhasil mempertahankan kepercayaan tradisi dan
mentransformasikannya dalam masyarakat majemuk. Di bawah
kepemimpinan Rato, Kampung Tarung juga menjadi perintis
pemulihan hak-hak sipil komunitas kepercayaan Merapu dengan
cara dialog dan damai.
“Pemerintah memperhatikan masyarakat adat di berbagai
Nusantara, termasuk di Kampung Tarung. Saya ucapkan banyak
terima kasih. Ini sejarah baru,” ujar Rato menanggapi penghargaan
234
tersebut. “Semua masyarakat adat yang ada di Indonesia adalah
pelestari, penjaga dan pelaku budaya. Tanpa itu, mungkin pendidikan
saja yang ada, kebudayaan tidak,” lanjutnya.
Rato meyakini bahwa kebudayaan sangat penting bagi
Indonesia. Menurut dia, yang hadir lebih dahulu dalam kehidupan
manusia adalah kebudayaan. Bahkan moral leluhur sebenarnya
sudah terkandung di dalamnya. Semua komunitas di Indonesia dan
bahkan dunia memiliki aturan adat masing-masing. Segala larangan
yang boleh dan tidak boleh sudah ada. Itu yang perlu dikembangkan.
“Komunitas itu penting karena komunitas adalah penjaga,
pelestari, dan pelaku budaya. Tanpa komunitas, siapa yang menjadi
penjaga kebudayaan? Tanpa komunitas, siapa yang menjadi
pelestari kebudayaan? Tanpa komunitas siapa yang menjadi pelaku
kebudayaan?” jelas Rato dengan gaya retoris tentang pentingnya
keberadaan komunitas kebudayaan di Tanah Air.
235
Komunitas Kiai Kanjeng
Pada Mulanya Adalah Konsep Nada:
Sejatinya, Kiai Kanjeng bukanlah nama grup musik, melainkan
nama sebuah konsep nada pada alat musik tradisional gamelan.
Nada itu berada di tengah-tengah antara pelog dan slendro, yang
dicipta oleh Novi Budianto. Sebuah konsep nada unik, yang lahir
dari pengalaman Novi Budianto sebagai penata musik-puisi Emha
Ainun Nadjib alias Cak Nun bersama pertunjukan-pertunjukan
Teater Dinasti tahun 1980-an.
Bahwa kemudian masyarakat lebih mengenal Kiai Kanjeng
sebagai sebuah komunitas alias grup musik yang beranggotakan Novi
Budianto, Joko Kamto, dan Totok Raharjo, boleh dibilang itu adalah
berkah dari sebuah alur sejarah perjalanan mereka berkesenian.
Terlebih ketika gamelan Kiai Kanjeng bersama Emha Ainun Nadjib
menelorkan album musik bertajuk Kado Muhammad dengan lagu
“Tombo Ati”-nya yang sangat populer, nama Kiai Kanjeng kian
terangkat. Bahkan kini nama Kiai Kanjeng tak bisa lepas dari nama
Emha Ainun Nadjib bersama kelompok pengajian Padang mBulan
dan jamaah Maiyah-nya
Kiai Kanjeng pada dasarnya sama seperti gamelan (Jawa)
236
pada umumnya. Bahan dan bentuknya sama-sama berangkat dari
konsep atau sistem tangga nada pentatonis, yang terbagi atas dua
jenis nada: pelog dan slendro. Akan tetapi pada gamelan yang diusung
Kiai Kanjeng kedua jenis nada ini diperkaya—baik bilahanya maupun
penggunaan instrumen biola, suling, gitar akustik, gendang dan
alat-alat perkusi sehingga Kiai Kanjeng juga merambah memasuki
wilayah sistem tangga nada modern: diatonis.
Sempat mengalami masa fakum, Kiai Kanjeng sebagai sebuah
kelompok kemudian melahirkan semacam grup musik bernama
Gamelan Kiai Kanjeng. Selain nama-nama seperti Novi Budianto,
Joko Kamto, Totok Raharjo dan tentu saja Emha Ainun Nadjib, di
sana juga tercatat nama Indra Tranggono, Butet Kertaredjasa, dan
Djaduk Ferianto. Tiga nama terakhir ini belakangan membentuk
kelompok Kua Etnika, sementara Kiai Kanjeng tetap dihidupi oleh
Novi, Joko, Totok dan Emha. Hingga kini!
Sebagai sebuah konsep tangga nada, Kiai Kanjeng yang
bukan pelog dan bukan slendro tersebut terus melakukan eksperimen
pelarasan nada di bawah arahan Novi Budianto. Nada gamelan Kiai
Kanjeng yang belum sempurna kembali diperkaya dengan instrumen
saron, bonang, dan sebagainya. Lalu lahirnya apa yang mereka
namaka “ngeng”, suatu metode kesepakatan bunyi yang lahir dari
naluri musikal dan kepekaan akan pijakan nada. Inilah sistem notasi
yang dipakai oleh musik Kiai Kanjeng. Potensi sense of ngeng inilah
yang menjadi faktor mendasar dalam berolah musik. Ngeng juga
menjadi partitur abstrak dalam pe-notasi-an dan acuan penciptaan
musik Kiai Kanjeng. Meskipun demikian—sebagai tertuang di
laman Kiai Kanjeng dan tercatat dalam dokumentasi Progress Jogja—
Kiai Kanjeng tidak menutup kemungkinan penggunaan sistem
notasi yang lain, sebagaimana diambil oleh para pemain musik dari
berbagai latar belakang, keberangkatan, dan kemampuan musikal
yang berbeda.
Sebagaimana diakui Totok Raharjo, eksplorasi musik Kiai
237
Kanjeng hampir tidak membatasi dirinya pada jenis atau aliran
musik. Karena secara musikal peralatan yang dimainkan Kiai Kanjeng
memiliki berbagai kemungkinan, maka pengembaraan cipta mereka
pun sangat ragam: dari eksplorasi musik tradisional Jawa, Sunda,
Melayu dan China, termasuk penggalian dari berbagai etnik lain
seperti Madura, Mandar, Bugis dan lainnya. Bahkan ketika berulang
kali tampil dalam Festival Gamelan Internasional, Kiai Kanjeng juga
tidak menutup dirinya untuk memainkan nomor-nomor musik Barat
modern, pop, blues, dan bahkan warna musik jazz pun dimunculkan
saat mereka tampil pada Festival Jak-Jazz. Begitu pula dangdut.
Ketika tur di enam kota di Mesir, Kiai Kanjeng mengkhususkan
diri mengaransir kembali lagu-lagu “Si Bintang Timur” Ummi
Kaltsum dan memperoleh sambutan tak terduga hangatnya dari
masyarakat Mesir. Selain ke Mesir, Kiai Kanjeng sudah mengembara
jauh ke berbagai penjuru dunia dan mendapat penghargaan luar
biasa oleh masyarakat musik dan meraih penghargaan masyarakat
(musik) dunia.
Dari dalam negri Kiai Kanjeng secara formal belum pernah
mendapatkan penghargaan resmi. Sebagai komunitas musik, baru
kali ini Kiai Kanjeng mendapatkan penghargaan dan apresiasi
berupa Anugerah Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Namun, di luar penghargaan bersifat, apresiasi
yang mereka dapatkan dari masyarakatan adalah bentuk lain dari
penghargaan atas kehadiran Kiai Kanjeng yang ikut memberi
pencerahan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebetulah ketika pada tahun 1996—bersama Cak Nun—Kiai
Kanjeng meluncurkan album Kado Muhammad, sambutan masyarakat
sangat luar biasa. Salawat dan syair-syair yang direkam dalam
kumpulan lagu pada album tersebut ikut memperkaya khazanah
masyarakat, khususnya masyarakat Muslin, dan mendapat
perhatian secara nasional. Lagu “Tombo Ati” yang begitu dikenal
luas dilantunkan di berbagai forum. Dalam posisi ini, tak salah bila
238
disebutkan bahwa Kiai Kanjeng ikut menaikkan harga diri kultural
umat Islam. Mungkin ada kaitannya, mungkin juga tidak, setelah itu
banyak album-album ”religi” muncul dengan mengambil salawatsalawat atau syiir populer di masyarakat sebagai materinya. Dengan
kata lain, lewat album Kado Muhammad, Kiai Kanjeng menjadi
semacam kelompok musik plus yang menampilkan, menghargai,
dan menghidupkan kekayaaan budaya Islam di Tanah .
239
Komunitas Ulu Ambek Nagari Lubuk Pandan
Bertahan di Tengah Arus Perubahan Zaman:
Semua mata penonton dan niniak mamak tertuju pada dua pesilat
yang sudah berdiri berhadapan-hadapan di atas laga-laga, sebuah
panggung tradisional terbuat dari galar bambu, beralas seng.
Tangan mereka saling memukul dan menangkis dari jauh, dengan
hentakan kaki: brak! Lama-lama, laga-laga dipenuhi suara sahutmenyahut brak, brak, brak, brak, brak. Diiringi musik vokal tetua
adat yang melantunkan pantun dengan vibra dan teknik melodi
yang unik dan magis.
Itulah secuwil pertunjukan ulu ambek yang dimainkan
Komunitas Ulu Ambek Nagari Lubuk Pandan, Padang Pariaman,
Sumatera Barat, Agustus 2017. Disaksikan Wakil Bupati Padang
Pariaman Suhatri Bur, Camat 2x11 Enam Lingkung Azwarman, Wali
Nagari Lubuk Pandan Melsy Anrany serta para warga.
Tetua-tetua adat di sana menjelaskan bahwa ulu ambek juga
disebut silek bayang (silat bayangan) karena pertarungan silat khusus
kaum pria yang dipimpin seorang janang (wasit pria), dilakukan oleh
240
dua orang pendekar melalui gerakan menyerang maupun gerakan
menangkis, tanpa saling menyentuh tubuh lawannya. Mereka hanya
ber pedoman pada adab yang tersirat dalam ungkapan “lalu jo syarak
diambek jo syarak; lalu jo adaik, diambek jo adaik (diserang dengan agama,
[maka] ditangkis dengan agama; diserang dengan adat, [maka]
ditangkis dengan adat).
Istilah ulu ambek berasal dari bahasa Minang, yakni lalu
(menyerang) dan ambek (menangkis). Si penyerang disebut pa-alua,
sedangkan si penangkis disebut pa-ambek. Keduanya bertarung
untuk memperebutkan pakaian yang menjadi perlambang kebesaran
serta simbol kehormatan kepemimpinan dan martabat niniak mamak,
yaitu ikat kepala (detar), kain samping, dan baju yang mereka pakai.
Tapi ada juga yang berbeda pandangan bahwa dalam ulu ambek ,
terutama saat ini, tidak lagi bicara kalah menang. Sebab, yang
lebih dipentingkan adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kesabaran,
keikhlasan, dan memelihara silaturrahim.
Komunitas ulu ambek adalah perkumpulan-perkumpulan
penggiat permainan rakyat yang disebut ulu ambek di Minangkabau,
khususnya di nagari-nagari (pemerintahan desa tradisional) Kabupaten
Pariaman, Sumatera Barat. Komunitas penyokong dan penyemarak
kegiatan tradisional alek nagari (festival desa) ini didukung oleh tokohtokoh masyarakat dan pemuka adat yang disebut niniak mamak, yakni
pangulu (pemimpin) dan rajo (raja)) serta anggota masyarakat biasa
seperti para pemuda, pendekar, pemburu, seniman, dan mereka
yang ikut berpartipasi dalam semarak kegiatan permainan rakyat
ini. Ulu ambek—juga disebut luambek—itu sendiri adalah gelanggang
pertunjukan seni bela diri (silat) tradisional yang diselenggarakan
dalam keramaian adat alek nagari, festival desa, yang diselenggarakan
dari rakyat untuk rakyat dan menjadi instrumen pencerahan tradisi
kepemimpinan yang berlangsung dari generasi ke generasi.
Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang penting dan menjadi
alasan utama untuk menggelar permainan rakyat ulu ambek itu
241
didasari oleh tujuan alek nagari yang bermuara pada kepentingan
masyarakat, baik dalam ranah simbolik maupun kehidupan nyata.
Kegiatan-kegiatan itu meliputi upacara Batagak Pangulu, yaitu
pemilihan dan pengangakatan tokoh-tokoh dan pemimpin adat
pangulu (pemimpin) dan rajo (raja); pemilihan dan pengangkatan
Kapalo Mudo, yaitu kepemimpinan kaum muda yang selalu
menjadi inisiator dalam kegiatan-kegiatan masyarakat; pemilihan
pengangkatan para pemburu yang di tengah-tengah masyarakat
petani berperan mengawal sistem pertanian dari serangan hama babi
dan tupai kelapa, disebut Muncak Buru; peresmian balai adat nagari,
dan peresmian pasar-pasar tradisional yang baru, tempat mereka
berinteraksi dalam sistem ekonomi mereka.
Dalam bahasa orang Pariaman, ulu ambek diekspresikan
sebagai “suntiang niniak mamak—pamainan nan mudo-mudo”.
Ungkapan tradisional ini menempatkan ulu ambek sebagai simbol
kebesaran adat dan kepemimpinannya. Oleh sebab itu, di tengahtengah perkembangan dan derasnya arus perubahan sekarang ini,
komunitas-komunitas yang dengan sadar memelihara dan melakukan
transformasi warisan pengetahuan tradisi budaya di tengah-tengah
tantangan kehidupan modern dan global seperti sekarang dinilai
telah berhasil mengawal martabat dan kebesaran kepemimpinan
adat yang melekat sebagai simbol di dalam tradisi ulu ambek itu. Di
sisi lain, tradisi pertarungan dalam permainan ulu ambek itu sendiri
merupakan metafora persaingan yang sehat melalui pertarungan
gerak silat non-kontak.
242
Dalam percakapan dengan Komunitas Ulu Ambek Nagari
Lubuk Pandan, muncul dua fenomena penting yang membutuhkan
solusi, terutama oleh para pemangku kepentingan. Pertama, tidak
diragukan lagi bahwa mereka secara umum bertekad melestarikan
ulu ambek sebagai warisan tradisi sampai kapan pun. Pasalnya,
selain sebagai identitas kultural, karya budaya ini memiliki fungsi
sosial yang begitu banyak, serta di dalamnya menyimpan nilai-nilai
moral, bahkan religiositas. Akan tetapi, realitasnya, untuk bisa terus
mempertahankan hal itu semakin membutuhkan kerja keras, lantaran
perkembangan masyarakat kita secara umum semakin pragmatis dan
materialistis. Kedua, kalangan remaja semakin tidak tertarik untuk
bergabung di komunitas ulu ambek untuk mempelajari silek bayang.
Mereka lebih tertarik pada hal-hal kekinian. Seperti diakui oleh
pesilat remaja David Ariyaldi—siswa kelas III SMP Pakandangan
yang juga anggota Komunitas Ulu Ambek Nagari Lubuk Pandan—
bahwa kawan-kawannya tidak suka terhadap tradisi kuno itu, dan
lebih tertarik atau memilih main “media sosial” lewat gawai yang
mereka nilai lebih keren. “ Kalau saya ikut ulu ambek karena saya
243
ingin ikut melestarikan tradisi yang banyak mengandung nilai-nilai
kebaikan,” tuturnya.
Nah, sudah barang tentu jika para remaja tidak menyukai
ulu ambek maka proses kaderisasi akan terganggu dan mengancam
kelestarian ulu ambek di masa depan. Inilah beberapa pekerjaan
rumah kita di tengah arus perubahan zaman.
244
Kategori Pemerintah Daerah
245
246
Kota Banda Aceh:
Bersendi Kebudayaan Menuju Kota Madani
Belum hilang dari ingatan kita tragedi amuk tsunami, 26 Desember
2004, yang menewaskan ratusan ribu nyawa dan hancurnya 60%
bangunan di Kota Banda Aceh. Kini, duka itu telah berubah menjadi
senyum, seiring langkah maju Banda Aceh menuju kota madani
yang bersendikan kebudayaan.
Adapun yang dimaksud dengan bersendikan kebudayaan
adalah berkaitan erat dengan museum, perpustakaan, maraknya
kegiatan kebudayaan/festival, dan penguatan sumber daya
kebudayaan melalui budaya baca-tulis. Tentu saja tanpa menafikan
sektor-sektor lain yang memberikan kontribusi terhadap kemajuan
pembangunan Banda Aceh.
Semua itu telah tumbuh dan berkembang sejak Wali Kota Illiza
Sa’aduddin Djamal (2012-2017), hingga saat ini Banda Aceh di bawah
kepemimpinan wali kota yang baru, Aminullah Usman (2017-2022).
Menuju Banda Aceh madani yang dimaksudkan tak lain adalah yang
247
apa mereka sebut sebagai kota yang berwajah smart city, green city,
dan liveable city. Reformasi birokrasi, terutama soal modernisasi tata
kelola pemerintahan—melalui e-Government—telah menunjukkan
hasil menggembirakan. Di dalam e-Government terdapat banyak
aplikasi, di antaranya aplikasi e-Kinerja yang memungkinkan wali
kota bisa menilai kinerja bawahannya dengan objektif. Juha apilkasi
e-Absensi di bidang pendidikan, sehingga kehadiran siswa bisa
dipantau secara daring alias online. Hasilnya, Banda Aceh banyak
mendapat penghargaan terkait dengan tata kelola pemerintahan,
pelayanan, perizinan, presdikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian)
dari BPK) , Adipura, tata tertib lalu lintas, pemberdayaan perempuan,
tata nugraha, dan lain sebagainya.
Kota Banda Aceh, yang pernah bernama Kuta Raja, terletak di
jantung Provinsi Aceh, sekaligus sebagai ibu kota provinsi “Serambi
Mekah” tersebut, dan menjadi pusat kegiatan ekonomi, politik,
sosial dan budaya. Dikenal sebagai kota Islam yang paling tua di
Asia Tenggara, Aceh tempo dulu adalah ibu kota dari Kesultanan
Aceh. Lebih dari 97 persen, warganya beragama Islam, selebihnya
Kristen, Katholik, Hindu dan Buddha. Jumlah penduduknya pada
tahun 2016 tercatat 249.980 jiwa, terdiri atas suku Aceh, Jawa, Batak,
Minang, dan lain-lain, yang tersebar di sembilan kecamatan, 73 desa
(gampong), dan 17 kelurahan.
248
Sebagai wadah ingatan masa lalu, yang berguna sebagai
wahana belajar pada masa kini dan menjadi bekal pengetahuan
menyongsong masa depan, Banda Aceh punya Museum Negeri
Banda Aceh (Rumoh Aceh), Museum Ali Hasjmi, hingga Museum
Tsunami. Dari sana, terdapat informasi perjalanan sejarah Banda Aceh
sejak masa kesultanan yang ditandai dengan berbagai artefak—mulai
makam, meriam, hingga lonceng Cakra Donya hadiah Kaisar China
yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho untuk kerajaan Samudra
Pasai—dalam perspektif lokal, nasional, regional dan internasional.
Monumen yang relatif baru adalah Museum Tsunami, yang
membawakan ingatan kita terkait tragedi memilukan di penghujung
2004 tetapi sekaligus menggugah kewaspadaan bersama.
Tempat-tempat yang menyimpan “ingatan” kolektif
masyarakat tersebut menjadi salah satu unggulan destinasi wisata
di Banda Aceh, yang tak pernah sepi pengunjung. Selain itu, masih
banyak peninggalan sejarah yang telah masuk situs cagar budaya,
yang selama ini telah menjadi sumber ilham, pengetahuan dan
penelitian, serta memperkuat identitas lokal. Dari 58 situs yang ada,
di antaranya Masjid Raya Baiturrahman (di bangun pada masa Sultan
Iskandar Muda, 1607-1639), saat ini dilengkapi payung-payung ala
Masjid Nabawi. Masjid Baiturrahim di Ulee Lheu dibangun Tuanku
Teungoh tahun 1924 di tepi pantai Ulee Lheu, yang ketika tsunami
menerjang, gelombang dahsyat itu lewat dengan ‘membelah diri’
(menurut saksi mata yang selamat) di sana. Juga ada Taman Sari
Gunongan, tempat bermain permaisuri Putri Kamaliah (Potroe
Phang) yang dibangun saat pemerintah Sultan Iskandar Muda pada
abad ke-16. Tak ketinggalan, makam Sultan Iskandar Muda.
Sepanjang tahun, Banda Aceh menggelar banyak festival
yang berbasis pertunjukan, kuliner, religiositas; baik yang bernada
dakwah, hiburan, berdimensi bisnis, hingga campuran dari itu semua,
dalam skala lokal hingga internasional. Sebut misalnya Banda Aceh
Coffee Festival, Wonderful Muharam, Festival Baiturrahman (Zikir
249
ASEAN), Kuah Belangong, Khanduri Maulid, Piasan Seni, Dakwah
Umum, hingga Geulanyang Tunang.
Meski punya festival kopi, Banda Aceh mengandalkan kopi
Gayo karena tidak punya kebun kopi sendiri. Terlepas dari itu,
menurut Kepala Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh M Rizha, budaya
ngopi telah menjadi bagian hidup masyarakat Banda Aceh selama
ini. Lihat, kedai kopi tersebar di mana-mana, dengan pengunjungnya
dari berbagai lapisan sosial, sehingga hingga kota ini dijuluki “Kota
1001 Warung Kopi”. Jangan lupa, warung-warung kopi di kota ini
telah menjadi semacam sarana pertukaran infomasi dan kegiatan
myangkut persoalan A hingga Z, termasuk obrolan ngalor-ngidul
berbagai isu lokal, nasional hingga internasional. Oleh para politisi
dan pejabat publik, warung kopi dianggap sebagai sumber informasi
penting.
Kota yang terkenal dengan tarian Saman dan Seudati, hingga
kuliner Mie Aceh ini dalam perkembangan budayanya secara resmi
dikawal oleh Majelis Adat Aceh, agar tidak keluar dari akar tradisi
(Islam). Meskipun dalam pratiknya, seperti diakui para pengurusnya,
itu tidak selalu mudah karena pengaruh dinamika global yang
digelontorkan oleh media massa dan media sosial.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Banda Aceh
Syaridin menambahkan bahwa masjid-masjid dan sekolah-sekolah
terus bergerak menjadi sumber peradaban. Khusus dalam upaya
meningkatkan minat baca dan tulis, digalakkan perpustakaan di
sekolah-sekolah hingga ke desa-desa, yang ditempatkan di masjidmasjid. Adapun untuk melestarikan pantun di bumi MelayuAceh, wali kota secara khusus mengeluarkan SK yang mewajibkan
menggunakan pantun pada acara-acara adat.
Walhasil, berbagai upaya yang dilakukan Kota Banda Aceh
menuju masyarakat madani berhasil meredam praktik korupsi dan
kekerasan dalam masyarakat. Dan, pelestarian adat menjadi tiang
penyangga syariat Islam dan kebudayaan.
250
Kota Gorontalo:
Merawat Kebudayaan, Mendorong Kemajuan
Kota Gorontalo merupakan kota yang memiliki tingkat korupsi
sangat rendah. Di samping itu, ia dikenal juga sebagai daerah
penghasil jagung yang sering dikirim ke Pulau Jawa dan pulaupulau lainnya di Indonesia. Di samping memiliki kekuatan
sumber daya alam, ternyata Gorontalo menyimpan juga khazanah
budaya yang sangat kaya. Hal ini semakin memperkuat Kota
Gorontalo sebagai pusat ekonomi sekaligus pusat budaya. Belum
lama ini Kota Gorontalo juga meraih Adipura Karya. Ini bukti
bahwa Kota Gorontalo dapat dijadikan sebagai referensi sebagai
kota yang terus menggeliat maju.
Tentu saja pencapaian tersebut tidak didapat begitu saja, perlu
kerja keras di dalam mewujudkannya. “Salah satu faktor kemajuan
Kota Gorontalo adalah karena sudah terjalinnya kerja sama yang
baik antara pemerintah dengan masyarakat, termasuk juga dengan
para pemangku adat di daerah ini,” kata Marten A Taha, Wali Kota
Gorontalo.
251
Khusus terkait upaya konservasi budaya Gorontalo, baik
budaya tutur atau budaya implementatif dalam bentuk wisata
kuliner, fashion—termasuk upacara perkawinan dan lain sebagainya,
Pemeritah Kota Gorontalo banyak bekerja sama dengan para
pemangku adat dan tokoh-tokoh masyarakat. Keterlibatan mereka
ini, menurut Marten A Taha, penting guna menjaga sakralitras
budaya itu sendiri. Budaya tutur di Gorontalo dikenal lewat
berbagai kisah-kisah yang senantiasa dilantunkan dalam budaya
cerita yang bernama Tanggomo. Tanggomo adalah sastra lisan
bahasa Gorontalo yang diungkap secara berirama, berbentuk puisi
naratif dan tidak terikat oleh baris. Tanggomo berisi peristiwa dan
kejadian yang sumber ceritanya berasal dari kejadian atau peristiwa
nyata, dari cerita rakyat, dan dari rekaman pencerita sendiri. Pada
awalnya tanggomo diucapkan layaknya membaca puisi tanpa iringan
alat. Dalam perkembangan selanjutnya ada juga tanggomo yang
dilantunkan dengan diiringi petikan gambus atau kecapi. Tanggomo
jika diartikan secara harfiah adalah menampung.
Kemudian ada juga seni tradisi bernama Lohidu, sebuah cerita
tutur dalam bentuk pantun berbahasa Gorontalo yang biasanya
dilantunkan diiringi petikan gambus dan senantiasa dipergelarkan
dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Biasanya Lohidu ditampilkan
pada pesta rakyat atau pesta pernikahan. Pantun umumnya
mengadung pesan moral yang dalam dan mampu menyentuh sisi
kehidupan sehari-hari masyarakat Gorontalo.
Pada menjelang akhir Ramadhan, juga ada perayaan yang
disebut Tumbilo Tohe, ditandai dengan pemasangan lampu-lampu
tradisional yang dijadikan alat penerangan seluruh negeri. Saat tradisi
Tumbilo Tohe digelar, wilayah Gorontalo jadi terang-benderang, nyaris
tak ada sudut kota yang gelap. Gemerlap lentera tradisi tumbilo tohe
yang digantung pada kerangka – kerangka kayu yang dihiasi dengan
janur kuning atau dikenal dengan nama alikusu (hiasan yang terbuat
dari daun kelapa muda) menghiasi Kota Gorontalo. Di atas kerangka
252
di gantung sejumlah pisang sebagai lambang kesejahteraan dan tebu
sebagai lambang keramahan dan kemuliaan hati menyambut Idul
Fitri.
Tradisi menyalakan lampu minyak tanah pada penghujung
Ramadhan di Gorontalo sangat diyakini kental dengan nilai agama.
Dalam setiap perayaan tradisi ini, masyarakat secara sukarela
menyalakan lampu dan menyediakan minyak tanah sendiri tanpa
subsidi dari pemerintah. Tanah lapang yang luas dan daerah
persawahan dibuat berbagai formasi dari lentera membentuk gambar
masjid, kitab suci Al-Quran, dan kaligrafi yang sangat indah dan
memesona. Tradisi Tumbilo Tohe juga menarik ketika warga Gorontalo
mulai membunyikan meriam bambu atau atraksi bunggo dan festival
bedug. Pada tahun 2007, tradisi Tumbilo Tohe ini masuk Museum
Rekor Indonesia (MURI) karena lima juta lampu menyemarakkan
tradisi ini dan menghiasai wajah Kota Gorontalo
Di Kota Gorontalo juga adalah tradisi yang disebut walimah,
yakni tradisi zikir sepanjang malam di masjid, berikut penyajian
makanan, minuman dan lain sebagainya. Kegiatan adat budaya itu
dilakukan oleh para pemangku adat. “Sejak leluhur kita ini semua
sudah ada nilai-nilai budayanya. Nilai-nilai yang kita jaga dan kita
lestarikan. Jangan sampai budaya hancur,” tegas Marten A Taha.
Kota Gorontalo merupakan salah satu kota tua di Sulawesi,
selain Makassar, Parepare dan Manado. Kota Gorontalo pada saat
itu menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia
timur. Seiring dengan penyebaran agama Islam, Kota Gorontalo
menjadi pusat pendidikan dan perdagangan masyarakat di wilayah
sekitar, seperti Bolaang, Mongondow, Buol, Toli-Toli, Luwuk Bangai,
Donggala, bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara. Kota Gorontalo
menjadi pusat pendidikan dan perdagangan karena letaknya yang
strategis: menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut
Sulawesi (bagian utara).
253
Sebagai pusat pengembangan kebudayaan Islam di Indonesia
timur, Kota Gorontalo dikenal sebagai Kota Serambi Mandinah.
Hal ini disebabkan pada zaman dahulu pemerintahan Kerajaan
Gorontalo telah menerapkan syariat Islam sebagai dasar pelaksanaan
hukum, baik dalam bidang pemerintahan, kemasyarakatan, maupun
pengadilan. Hal ini dapat dilihat dari filosofi budaya Kota Gorontalo
yang berbunyi, “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan
Kitabullah”. Syara’ adalah hukum yang berdasarkan syariat Islam.
Kota Gorontalo ditetapkan sebagai salah satu dari 19 daerah hukum
adat di Indonesia.
Di samping itu, Kota Gorontalo juga memiliki banyak objek
wisata yang menarik seperti Benteng Otanaha yang mirip Koloseum
di Roma. Benteng ini diperkirakan dibangun pada 1522, berdiri gagah
di atas bukit di Kelurahan Dembe I, Kec. Kota Barat, Kota Gorontalo.
Benteng ini terdiri atas empat tempat persinggahan dan 348 buah
anak tangga untuk mencapai puncak lokasi benteng. Benteng ini
merupakan bangunan bersejarah peninggalan Portugis pada abad
ke-15, yang terdiri dari tiga benteng, yaitu Benteng Otanaha, Benteng
Otahiya dan Benteng Ulupahu. Ada juga Danau Tomini yang begitu
indah dipandang mata.
254
Berbagai kekayaan alam dan budaya Kota Gorontalo itu
patut mendapatkan apresiasi yang tepat. Meski Gorontalo memiliki
dukungan sumber daya alam yang banyak, tidak kalah dengan itu,
dukungan manusia serta budayanya juga begitu kuat. Pemberian
penghargaan kebudayaan bagi Kota Gorontalo adalah bentuk
apresiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas pencapaian
yang sudah diraih oleh Kota Gorontalo.
Keunggulan:
1. Tingkat korupsi rendah
2. Tingkat kekerasan dalam masyarakat rendah
3. Memiliki perpustakaan seperti Perpustakaan Daerah dan
Arsip Kota Gorontalo, Perpustakaan Anyelir, Perpustakaan
ACT El-Gharantaly
4. Memiliki museum seperti Museum Pendaratan Pesawat
Amphibi Soekarno (di atas bangunan yang berdiri pada
1936, sebagai peringatan peristiswa pendaratan Pesawat
Amphibi Soekarno pada 1950).
255
Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Tumbilo_tohe
Andi Nur Fitri Balasong. Marten A. Taha. Nahkoda Apeksi Komwil VI
(2014 – 2017). Gorontalo: Pustaka Sawerigading, 2017.
Ali Mobiliu (ed.). Buah Pena Sang Guru SMART CITY Memaknai
Visi Pemkot Gorontalo & Membangun Optimisme. Gorontalo: PGRI
Gorontalo Press, 2014.
256
Kota Sawahlunto:
Dari Tambang ke Budaya
Ketika Indonesia belum lahir dan Nusantara masih dalam
cengkeraman penjajah, Sawahlunto pada tahun 1920-an telah
menjadi kota industri perdagangan modern berkat berkah tambang
batubara. Ironisnya, setelah penambangan berlangsung lebih dari
satu abad—dimulai oleh C De Groet tahun 1850, pemerintahan
kolonial Belanda , pendudukan Jepang, sampai Republik
Indonesia—batubara pun habis. Tak terelakkan, kota cantik yang
terletak di jajaran Pegunungan Bukit Barisan itu pada awal tahun
2000 jatuh miskin dan menuju kota hantu.
Perusahaan tambang yang mengeksplorasi batubara di sana,
PT Bukit Asam (Persero), pun ikut terpuruk. Banyak orang angkat
kaki. Penduduk yang tertinggal hanya sekitar 7.000-an orang. Mereka
ini sebagian besar penduduk asli Sawahlunto. Pepatah lama bilang,
“ada gula, ada semut”, ada benarnya. Dan, tragedi Sawahlunto
257
mengajarkan hal sebaliknya: “tidak ada gula, tidak ada semut.” Dari
titik nadir inilah Kota Sawahlunto di Provinsi Sumatera Barat bisa
bangkit dalam waktu relatif cepat. Apa rahasianya?
Dari percakapan dengan salah satu tokoh Sawahlunto, Ali
Yusuf, mantan ketua DPRD Kota Sawahlunto yang kini memangku
jabatan wali kota Sawahlunto, kata kuncinya terletak pada tiga hal,
dan semuanya bersumber dari kearifan lokal. Pertama, musyawarah.
Kedua, bertolak dari warisan yang ada. Ketiga, melakukan gerakan
budaya berlandaskan pepatah Minangkabau: “Adat bersendi syarak,
syarak bersendi kitabullah”.
Musyawarah tahun 2001 yang menjadi mufakat masyarakat
Sawahlunto dijadikan arah dan pegangan untuk bangkit, sekaligus
visi bahwa “Sawahlunto tahun 2020 menjadi Kota Wisata Tambang
yang Berbudaya”. Bertolak dari yang ada, Sawahlunto memiliki
banyak warisan aset berupa bekas kawasan tambang batubara
yang ikonik dan populer di seluruh dunia, lengkap dengan sejarah,
sarana dan prasaranya. Warisan seni budaya (tradisi multikultur)
yang melimpah dan dipelihara sebagai kearifan lokal oleh berbagai
suku asli dan pendatang (Minangkabau, Jawa, Batak, Tionghoa, dll)
yang telah membaur rukun di masyarakat. Selain itu, tentu saja,
momentum industri pariwisata yang sedang ngetren.
Dari sanalah penelitian dan kerja sama dengan berbagai
pihak pun digerakkan. Di antaranya penelitian dan kerja sama
dengan Balai Suaka Purbakala (sekarang Balai Pelestarian Cagar
Budaya/BPCB), kerja sama dengan Badan Warisan Sumatera Barat,
kerja sama dengan Institut Teknologi Bandung dan perguruan tinggi
lainnya. Dan, untuk mengupayakan revitalisasi kawasan historis
pusat kota lama Sawahlunto, dilakukan kerja sama penelitian
dengan Programma Oitzending Managers (PUM) Belanda, ICOMOS
Belanda, dan Universitas Katolik St Thomas Medan.
Upaya itu menghasilkan kekayaan ratusan Cagar Budaya
258
yang berpotensi untuk dilestarikan, baik yang bersifat
tangible
(benda) maupun yang intangible (tak benda). Tinggalan budaya
tangible berupa bangunan, kawasan, situs, kompleks bangunanbangunan. Di antaranya bekas Lubang Tambang Barat dijadikan
sebagai Museum Situs Lubang Tambang Mbah Soero (tokoh Samin
asal Blora yang dipekerjakan di sana), bekas Dapur Umum sebagai
Museum Goedang Ransoem, Perkampungan China sekarang
dikenal Pasar Remaja, Ombilin Mijnen Kantor PT BA Upo. Bahkan,
saat ini bekas Tambang Batubara Ombilin—berikut jalur kereta
api dari Sawahlunto menuju Emma Haven alias Pelabuhan Teluk
Bayur—sedang diajukan sebagai nominasi dari Indonesia untuk
diperjuangkan menjadi Warisan Budaya Dunia (World Heritage) oleh
UNESCO. Seiring dengan itu dilakukan regulasi dan kelembagaan,
sejalan dengan cita-cita pelestarian warisan Sawahlunto sebagai jalan
menuju Warisan Dunia UNESCO.
Kota Sawahlunto, yang pada 2017 berpenduduk 64.852 orang,
terdiri bermacam suku, agama, ras, dan golongan, tersebar di empat
kecamatan dan 27 desa. Luas wilayahnya 27.345 hektar atau 273,445
km2. Berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar di sebelah utara,
Kabupaten Solok di sebelah selatan dan barat, dan Kabupaten
Sijunjung di sebelah timur, suhu kawasan bentang alam Sawahlunto
berkisar antara 22-28 derajat Celsius pada siang hari dan 5-7 derajat
pada malam hari. Sebuah kota persinggahan yang cukup sejuk untuk
menarik minat wisatawan.
Di samping pendidikan dan perpustakaan, seni budaya
digunakan sebagai wahana pembinaan karakter masyarakat
Sawahlunto sebagai bagian dari NKRI. Selain itu, upaya pelestarian
adat terus digalakkan dengan tujuan agar masyarakat tidak
kehilangan akarnya di era global ini. Untuk itulah jajaran Pemerintah
Kota Sawahlunto menaruh perhatian pada pengelolaan warisan tak
benda (intangible), baik warisan dari etnik dan budaya Minangkabau
itu sendiri maupun warisan dari budaya Jawa, dan lainnya. Maka,
259
jangan kaget jika di sana berkembang Wayang Sawahlunto alias
Wayang Soero, lengkap dengan bahasa, gending dan gamelan Jawa.
Jika ritual Tunggal/Sedulur Sekapal yang berbau ajaran Samin
Soerosentiko. Dikembangkan pula bahasa dan sastra lokal, foklor,
dan kuliner lokal.
Aneka jenis pertunjukan seperti Randai, Silat, Salawat
Dulang, Musik Keroncong, Tonil bahasa Tansi dan Silungkang, Lukah
Gilo, Kuda Kepang/Luping, Campur Sari, Tari Orang Rantai, Tari
Pasambahan, Tari Paneman Talawi, kini semakin digalakkan. Juga di
sektor seni rupa dan kerajinan. Bahkan kerajinan tenun dan songket
(Silungkang) dikembangkan lengkap dengan acara karnavalnya
yang mulai popular, bertajuk Sawahlunto International Songket
Carnival/ SISCA. “Tradisi, selain memberikan hiburan, juga
menyampaikan ajaran-ajaran moral yang efektif untuk pembinaan
karakter dan kebangsaan,” ujar sang wali kota di sela kegiatannya
ikut bermain Randai.
Sudah dua tahun ini Sawahlunto melakukan gerakan “Magrib
Mengaji”. Jangan kaget kalau pada jam-jam tersebut, saat magrib
260
hingga isya’, rumah-rumah mematikan TV dan menghentikan
kegiatan ber-sosmed. Kini gerakan itu bertambah: gerakan “Subuh
Berjamaah”. Tujuannya untuk menanamkan hingga memperkokoh
nilai-nilai dan karakter dalam keluarga. Sementara keluargakeluarga non-Muslim juga ikut berikhtiar memperkokoh keluarga
dengan nilai-nilai religiositasnya masing-masing. Dampaknya,
diyakini sebagai tiang kedamaian warga Sawahlunto, sekaligus
rendahnya tingkat kekerasan di masyarakat.
Bagi Ali Yusuf, memperkokoh nilai keluarga merupakan
tugas mendesak untuk membentengi moralitas dari penyalahgunaan
keterbukaan, kebebasan dan penagruh buruk media sosial. Semoga
dengan penghargaan Anugerah Kebudayaan Kategori Pemerintah
Daerah Tahun 2017 ini—juga penghargaan yang pernah diterima
sebelumnya, di antaranya Adipura dan Anugerah Kebudayaan PWI
2016—pahlawan nasional Moh Yamin, putra Sawahlunto yang lahir
dan jasadnya menjaga kota itu, bisa ikut tersenyum.
261
Kabupaten Wakatobi:
Kabupaten Maritim, Permata dari Timur Indonesia
Apa yang terbayang di benak ketika mendengar nama suatu daerah
di timur Indonesia, yaitu Wakatobi? Bagi mereka yang melek
informasi tetapi belum pernah berkunjung ke daerah ini, tentu yang
akan terbayang adalah gugusan pulau-pulau yang begitu indah
di tengah-tengah hamparan lautan nan luas. Bahkan keindahan
alam hayati bawah lautnya telah menjadikan Wakatobi begitu
terkenal hingga ke mancanegara. Lokasi yang indah bagi mereka
yang menyukai diving, snorkeling dan lain sebagainya. Sampaisampai ketika nama itu muncul, banyak orang akan langsung
mengaitkannya dengan aktivitas wisata bawah laut.
Pesawat untuk menuju Wakatobi memang harus transit
terlebih dahulu di Kendari. Dari Kendari baru berganti pesawat kecil
yang akan mengantarkan Anda menuju Pulau Wangi-wangi, tempat
pusat pemerintahan Kabupatean Wakatobi berada. Nama Wakatobi
262
itu sendiri sebetulnya singkatan dari empat nama pulau yang relatif
agak besar di wilayah kabupaten kepulauan ini: Wangi-Wangi,
Kaledupa, Tomia, Binongko. Dulu, semasa kawasan perairan laut dan
pulau ini masih bagian dari Kabupaten Buton, orang menyebutnya
Kepulauan Tukang Besi lantaran Pulau Binongko terkenal dengan
kerajinan “pandai-besi”-nya.
Berpenduduk hampir 117.00 jiwa, secara keseluruhan
luas Kabupaten Wakatobi mencapai 1,39 juta hektar, di mana luas
daratannya hanya sekitar 823 kilometer persegi. Terdiri atas delapan
kecamatan, 25 kelurahan, dan 75 desa. Wakatobi tercatat sebagai
salah satu destinasi wisata andalan Indonesia, berada di antara 10
teratas destinasi pariwisata nasional.
Sebagai kabupaten kepulauan yang sebagian besar (97
persen) wilayahnya berupa laut, Kabupaten Wakatobi—sebagaimana
dikemukakan oleh Arhawi yang saat ini menjadi Bupati Wakatobi—
akan didorong menjadi kabupaten maritim yang berdaya saing. Sebab,
pengembangan wilyah laut dinilai menjadi hal paling strategis untuk
kemajuan Wakatobi di masa mendatang. Konsep pembangunan
di bidang kelautan ini sesungguhnya sudah dimulai sejak 2006,
263
dan akan terus dilanjutkan dan dioptimalkan, tanpa—tentu saja—
mengabaikan perhatian pada penataan sektor di daratan. Dengan
demikian diharapkan segala kekuatan dan potensi yang berada di
bawa laut akan digali dan dikelola menjadi sebuah kekuatan yang
akan menyejahterakan masyarakat Kabupaten Wakatobi.
“Dalam hal parisiwata, tentu di dalamnya bukan hanya
potensi bawah laut, di dalamnya juga ada kekuatan lain, yaitu
bagaimana kita mengangkat nilai-nilai budaya yang ada di Wakatobi
karena Kabupaten Wakatobi ini sangat unik dibanding dengan
daerah-daerah lainnya,” demikian tutur Arhawi penuh semangat.
Optimisme itu tentu bukan tanpa alasan, mengingat Wakatobi
sendiri memiliki suku-suku besar seperti suku Wangi-Wangi,
Kaledupa, Tomia, dan suku Bajo serta suku Cia-Cia. Berangkat
dari keragaman etnis ini tentu di dalamnya juga terjadi keragaman
budaya yang sangat khas. Guna merawat keragaman budaya
sekaligus semacam pameran potensi, setiap tahun diselenggarakan
festival budaya di Pulau Wangi-Wangi. Di Kaledupa juga ada tarian
unik bernama Lariangi, yang sampai sekarang tetap lestari. Lariangi
menampilkan para penari yang menampilkan gerak-gerak lemah
gemulai, sembari mereka melantunkan syair-syair yang berkisah
tentang kapal-kapal yang memasuki Kaledupa pada masa lalu. Di
Tomia juga ada tari Balumpa yang penuh keceriaan.
Melihat keragaman budaya ini, Pemerintah Kabupaten
Wakatobi telah menginisiasi berbagai kebijakan untuk melestarikan
budaya yang ada dengan membentuk beberapa sanggar di masingmasing pulau. Begitu pula terhadap tradisi masyarakat lewat
kerajinan tenun tradisional, pemerintah setempat ikut menaruh
perhatian dengan mempromosikannya sampai level nasional. Jika
ada tenun ikat Sulawesi Tenggara, kata Arhawi, justru di Wakatobilah tempatnya dibuat alias diproduksi. Kebijakan lain yang diinisiasi
oleh Pemerintah Kabupaten Wakatobi adalah pembentukan struktur
perangkat adat mulai dari Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia sampai
Binongko. Keberadaan perangkat adat ini diyakini menjadi sebuah
264
kekuatan karena, setelah diberi tanggung jawab, mereka dengan
sendirinya akan menjaga dan memelihara berbagai kebiasaan
adat yang pernah ada dulu dan hingga saat ini menajdi hal yang
diperhatikan masyarakat. Bahkan beberapa kebiasaan adat akan
menjadi sangat sakral apabila diikuti oleh perangkat adat ini. Selain
itu, pemerintah setempat juga memfasilitasi keberadaan beberapa
tempat pergelaran budaya, seperti yang ada di Benteng Liya Togo di
Pulau Wangi-Wangi, Benteng Patua di Pulau Tomia, dan di beberapa
benteng lainnya di daerah ini.
Ini merupakan kekuatan besar Wakatobi yang tidak dimiliki
daerah lain. “Kita berharap semua kekuatan yang memiliki nilai
jual yang tinggi tetap dijaga dan dipelihara dan pemerintah tetap
memberikan dukungan yang besar akan menjadikan Wakatobi
menjadi destinasi wisata bagi orang-orang yang meminati pariwisata,”
demikian Arhawi.
Pemerintah Kabupaten Wakatobi bahkan sudah me-launching
program mereka di Kementerian Pariwisat agar semua kegiatan
budaya yang ada di Waktobi bisa menjadi agenda daerah yang
manasional. Dengan begitu diharapankan kekayaan potensi bawah
265
laut Wakatobi bisa relevan dengan kegiatan budaya yang ada di
darat. Inilah yang akan melahirkan kekuatan daerah Wakatobi.
Setelah launching tersebut, Kabupaten Wakatobi memiliki 12 kalender
budaya yang akan dilaksanakan setiap tahunnya. Dari beberapa
kekuatan yang dimiliki dan kebijakan yang mendukungnya, maka
diharapkan setelah Pemerintah Kabupaten Wakatobi ditetapkan
sebagai satu di antara 10 destinasi unggulan parisiwata nasional
akan mendorong kebudayaan di Wakatobi terus berkembang. “Kami
berusaha menjadikan Wakatobi seperti Bali kedua pada masa yang
akan datang,” harap Arhawi.
Melihat kesungguhan yang begitu optimal dari Pemerintahan
Kabupaten Wakatobi disertai dukungan yang baik dari masyarakat,
maka wajar jika mereka yang bercita-cita jadi kabupaten maritim
ini mendapatkan Anugerah Kebudayaan 2017 untuk Kategori
Pemerintah Daerah dari Pemerintahan Republik Indonesia melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Wakatobi memang
permata dari timur Indonesia.
Keunggulan:
1. Tingkat korupsi rendah
2. Tingkat kekerasan dalam masyarakat rendah
3. Memiliki perpustakaan seperti Perpustakaan Terapung di
Pelabuhan Wanci, Perpustakaan Umum Wakatobi, Taman
Bacaan Rakyat di Pelabuhan Wanci, Kantor Perpustakaan
Daerah, PDE dan Arsip
4. Memiliki Museum Bajo
5. Memiliki kegiatan budaya seperti Wakatobi Melalla Festival
2017
Penghargaan
Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2017 Kategori
Pemerintah Daerah
266
Kabupaten Kutai Timur:
Alam dan Budaya Ikon Pengganti Tambang dan Mineral
Potensi sumber daya alam Kutai Timur memang luar biasa kaya.
Minyak dan gas bumi atau mineral dan batubara memang sudah
jadi andalan kabupaten ini menarik investasi dari luar. Namun,
semua orang tahu, pada satu saat sumur-sumur minyak itu akan
mengering dan material dari lubang-lubang tambang akan habis.
Kini, mulai ada kesadaran untuk mengeksplorasi sumber “mata”
tambang baru itu yang selama ini belum banyak dilirik tetapi
sangat potensial untuk dikembangkan: budaya!
Potensi Kabupaten Kutai Timur di sektor budaya ternyata
begitu kaya dan beragam. Belum lagi potensi kepariwisataannya.
Keduanya merupakan sumber daya yang tak akan pernah habis
untuk dieksplorasi. Bahkan semakin digali ia malah akan terus
berkembang, yang pada gilirannya akan memberi dampak langsung
pada kesejahteraan masyarakat setempat.
“Sumber daya alam itu suatu saat akan habis. Tapi sumber
daya manusia berkualitas dan budayanya yang lestari adalah satu
267
kekuatan yang akan kita wariskan kepada anak cucu,” kata Bupati
Kutai Timur, Haji Ismunandar.
Untuk tujuan itulah dibentuk Dinas Kebudayaan Kabupaten
Kutai Timur. Langkah dapat dipandang sebagai sebuah terobosan
besar. Tidak hanya bagi Kabupaten Kutai Timur, tetapi juga patut
menjadi masukan bagi daerah-daerah lain di seluruh Indonesia.
Mengapa? Sangat jarang, bahkan mungkin hanya Kabupate Kutai
Timur yang memiliki dinas kebudayaan sendiri, terpisah dengan
unit satuan kerja lainnya. Di daerah-daerah lain umumnya bidang
kebudayaan digandengkan (baca: hanya pelengkap) dengan bidang
pendidikan, atau disatukan dengan sektor pariwisata maupun
bidang kepemudaan.
Kabupaten Kutai Timur dengan pusat pemerintahahan di
Sangatta adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Kutai pada 1999.
Bersamaan pembentukan Kutai Timur, pada tahun yang sama juga
terbentuk Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Nunukan, dan Kota
Bontang yang juga merupakan hasil pemekaran dari kabupaten
induknya: Kabupaten Kutai, yang kemudian bersalin nama menjadi
Kabupaten Kutai Kartanegara.
Kutai Timur terletak di wilayah garis khatulistiwa, memiliki
268
luas wilayah 35.747 km2. Penduduknya saat ini (2017) tercatat 262.972
jiwa dengan kepadatan 7,1 jiwa/km2, tersebar di 135 desa/kelurahan
yang ada di 18 kecamatan. Luasnya kabupaten memang tampak tak
sebanding dengan jumlah penduduk. Apalagi sebaran penduduk
juga tidak merata. Sangatta Utara merupakan kecamatan dengan
penduduk terbanyak atau 25 persen dari total penduduk Kutai
Timur, dan yang paling sedikit penduduknya adalah Kecamatan
Long Mesangat, yakni 1,7 persen dari total penduduk atau 4.250
jiwa. Hal ini sangat dimaklumi, mengingat konsentrasi penduduk
ada di wilayah industri dan perkebunan seperti Sangatta Utara dan
Kongbeng.
Terkait pembentukam Dinas Kebudayaan Kutai Timur,
menurut Ismunandar ini adalah langkah strategis. Payung hukumnya
adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah dan Peraturan Bupati
Kutai Timur Nomor 26 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi
Perangkat Daerah. Dalam praktik di lapanga, dinas kebudayaan tidak
bekerja sendiri, terutama dalam upaya pelestarian cagar budaya serta
peningkatan sumber daya manusia. Ada juga dewan kesenian dan
269
sejumlah komunitas adat seperti komunitas adat Dayak yang siap
berjalan bersama.
Dinas kebudayaan memiliki empat bidang, terdiri atasi
bidang pelestarian cagar budaya, bidang sejarah, bidang kesenian
tradisi dan perfilman, serta bidang pengembangan budaya.
«Pembentukan dinas budaya yang dibuat tersendiri adalah bagian
penting dari upaya Kutai Timur melestarikam khazanah budayanya
supaya terbangun manusia berkarakter dan Kutai Timur yang lebih
baik,»kata Ismunandar.
Kutai Timur memiliki beberapa pilar kebudayaan, yakni
kebudayaan pedalaman dan kebudayaan pesisir dari etnis Kutai
Timur, kebudayaan berlatar agama serta kebudayaan berdasar etnis
pendatang.
Kebudayaan pedalaman adalah kebudayaan yang tumbuh
dan berkembang di tengah masyarakat adat etnis Dayak. Beberapa
di antaranya dalam bentuk seni tari, seperti tari perang, tari enggang,
tari berburu, dan tari gentar. Selain itu juga dalam bentuk ritual dan
upacara-upacara adat, di antaranya berupa pesta adat lomplai, hudoq,
dan belian. Seni tradisi tersebut tetap bertahan dan bahkan tumbuh
270
berkembang, termasuk cerita-cerita rakyat. Senu rupa dan kriya yang
berbasis kebudayaan lokal sangat berkembamg, seperti ukiran dan
kehidupan komunitas rumah adat (rumah panjang/lamin), mandau,
tombak dan talabang. Seni musiknya juga khas, seperti sampe, seni
bermain gong dan tari gong, kelentangan, kulintang, gendang, dana
pa yang mereka sebut suling dewa.
Salah satu upacara khas suku Daya di daearh ini yang
menarik adalah apa yang mereka namakan Lomplai, semacam pesta
adat yang digelar masyarakat yang bermukim di sepanjang daerah
aliran Sungai Wahea dan Sungai Telen, Kecamatam Wahau. Lomplai
mengandung arti mengantisipasi agar tidak sakit atau selalu sehat
dan panjang umur. Namun, lomplai bisa juga diartikan sebagai pesta
masa panen padi.
Lomplai adalah salah satu bentuk kearifan lokal terkait
bagaimana masyarakat di sana menghargai alam dan lingkungan
sekitar sebagai tak terpisah dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Karena itu, upacara ini mengandung banyak makna pujian dan
rasa terima kasih kepada alam dan sang pencipta. Tumbuhan padi
dalam pesta ini dijadikan ikon, sehingga semua manusia menghargai
tumbuhan sebagai sesama ciptaan Tuhan. Prosesnya ditandai dengan
pemukulan gong yang dijuluki ngesea agung dan diikuti tetabuhan
yang disebut tewung. Pesta adat warisan leluhur yang hingga kini
terus dipertahankan ini membuat masyarakat masa kini dapat
melihat peninggalan budaya masa lalu yang masih tetap lestari.
Selain potensi budaya—benda (tangible) dan takbenda
(intangible), potensi alam juga tengah dipopulerkan oleh Pemerintah
Kabupaten Kutai Timur. Adalah kawasan karts seluas 1,86 juta
hektar yang tengah ramai diperbincangkan di dunia maya.
Letaknya meliputi kawasan Gunung Nyapa, Tandoyan, Marang,
Gergaji, Beriun, Tatunumbo sampai Gunung Sekerat. Kawasan
karst ini berupa bentang alam yang didominasi oleh batu gamping
yang memiliki ekosistem dinamis. Pulau Karts—begitu mereka
271
menamakan kawasan ini—ternyata berfungsi juga sebagai reservoar
air yang sangat penting bagi utai Timur.
“Melihat banyaknya potensi budaya dan alam nan indah itu,
bagaimana mungkin kita tidak menjaganya dalam satu lembaga yang
kokoh di pemerintahan. Karena itu, kami memandang satuan kerja
dinas kebudayaan mesti berdiri sendiri. Ketika sumber tambang dan
mineral sudah habis, maka kebudayaan dan sumber daya manusia
yang berkualitas dan berkarakterlah yang akan mencegah Kutai
Timur dari julukan kota mati,” kata Ismunandar.
272
Kategori Perorangan Asing
273
274
Annabel Teh Gallop:
Penjaga Manuskrip dan Cap Kuno Indonesia dari Inggris
Mungkin banyak orang tak membayangkan bahwa sejak ratusan
tahun lalu banyak naskah kuno asal Indonesia berada dan dimiliki
oleh negara lain. Lalu muncul pertanyaan, berapa banyak dan
untuk apa naskah-naskah itu dikoleksi? Motivasi apa mereka
mengoleksi naskah-naskah kuno milik bangsa lain? Bagaimana
mereka melestarikan dan mendapatkan informasi sejarah dari
naskah-naskah kuno tersebut?
Terlepas dari apa pun jawabannya, yang juga
mesti kita ketahui, meskipun naskah-naskah
tersebut bukan milik bangsanya, mereka
sangat peduli terhadap kekayaan milik bangsa
lain. Terbukti, di Inggris naskah-naskah dari
Nusantara terinventarisasi secara teliti dan rapi
dalam katalogus dan digital, seperti yang sudah
disusun oleh P Voorhoeve, MC Ricklefs, dan
Annabel Teh Gallop. Dua nama terakhir adalah
penerima Anugerah Kebudayaan kategori Perorangan Asing tahun
2016 dan 2017.
Sebenarnya Annabel Teh Gallop meneruskan kerja yang
sudah dirintis oleh Ricklefs dalam menyusun katalogus mengenai
naskah-naskah kuno yang ada di Inggris, terutama di Perpustakan
Inggris (British Library). “Saya sangat berterimakasih pada pengkaji
sebelum saya yang pernah menghasilkan katalog, oleh P Voorhoeve
dan MC Ricklefs pertama kali di tahun 1977, yang menyusun daftar
semua naskah Indonesia di semua perpustakaan di Inggris,” ungkap
Annabel.
Annabel Teh Gallop adalah kepala Koleksi Asia Tenggara di
British Library, London, Inggris. Dia menyelesaikan pendidikan di
275
Bristol University dan School of Oriental and African Studies (SOAS),
London University, di mana dia mendapatkan gelar doktor (PhD)
pada 2002 dengan disertasi Malay Seal Inscriptions: A Study in Islamic
Epigraphy from Southeast Asia. Minat utama penelitiannya adalah
manuskrip, surat, dokumen, dan cap Melayu, serta seni Al-Quran di
Asia Tenggara.
Di antara publikasinya—bersama Venetia Porter—
adalahLasting Impressions: Seals from the Islamic World (Kuala Lumpur:
Islamic Arts Museum Malaysia, 2012); “Islamic Manuscript Art of
Southeast Asia” dalam James Bennett (ed), Crescent Moon: Islamic Art
and Civilisation from Southeast Asia (Adelaide: Art Gallery of South
Australia, 2005: 156-183); The Legacy of the Malay Letter/Warisan Warkah
Melayu (London: British Library, 1994); dan Golden Letters: Writing
276
Traditions of Indonesia/Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia (London:
British Library; Jakarta: Lontar, 1991). Dia juga menjabat ko-direktur
proyek penelitian yang didanai British Academy (2009-2012): Islam,
Trade and Politics Across the Indian Ocean: Investigating Ottoman Links
with Southeast Asia.
Annabel menjelaskan, naskah-naskah itu teridentifikasi
ditulis dalam berbagai bahasa daerah, seperti Aceh, Bali, Batak,
Bugis, Jawa (kuno), Kalimantan, Lampung, Madura, Makassar,
Melayu, Minangkabau, Nias, Rejang, Sangir, Sasak, Sunda (kuno),
dan Sulawesi (di luar Bugis dan Makasar). Seluruh naskah berjumlah
lebih dari 1.200. Semua tersimpan rapi di 20-an perpustakaan dan
museum di beberapa kota di Inggris. Di tempatnya bekerja tersimpan
berbagai macam hikayat, syair, primbon, surat, sampai bukti transaksi
dagang dari masa abad ke-15. Bahan-bahan itu kerap dimanfaatkan
para peneliti Barat dan Indonesia.
Koleksi terbanyak berada di British Library dan School of
Oriental and African Studies (SOAS). Di kedua tempat itulah para
arkeolog, sejarawan, dan filolog dari seluruh dunia—termasukdari
Indonesia—seringmelakukan riset kepustakaan. “British Library
277
memiliki koleksi Nusantara sebanyak 600-an naskah. Naskah Jawa
paling banyak, kira-kira 300-an naskah, Melayu 100-an naskah, Bugis
40 naskah, Makassar 10 naskah, Batak 40 naskah, dan Bali 40 naskah.
Tugas saya sebagai kurator untuk mengetahui sedikit banyak isi
naskah tersebut dan dimuat dalam katalog dan membantu para
peneliti yang membutuhkan data atau memahami naskah,” kata
Anabel, dosen yang mengajar di SOAS, University of Oxford, dan
King’s College London.
Wanita kelahiran 5 Agustus 1961 ini mengatakan, pihaknya
berperan membuat versi digital agar dapat diakses oleh siapa saja
dan gratis. Sebelum naskah-naskah itu benar-benar hilang dan tidak
bisa diakses lagi, demikian Annabel, diperlukan sebuah upaya
penyelamatan melalui pengkajian dan penelitian naskah yang masih
bisa ditemukan. “Yang menjadi kendala untuk dilakukan digitalisasi
adalah apabila naskah secara fisik sudah rusak, tulisan sudah pudar
dimakan rayap dan tidak bisa dibaca. Namun kebanyakan naskah
Indonesia dalam keadaan cukup baik, kecuali yang ditulis di daun
lontar,” paparnya.
278
Di dalam naskah-naskah kuno tersebut, lanjut Annabel,
terkandung aturan adat, kearifan lokal, serta batas-batas wilayah
masyarakat di suatu daerah. Untuk bisa mengkaji naskah kuno itu
setidaknya dibutuhkan tiga kemampuan dasar, yakni filologi untuk
mengkaji isi naskah, kodikologi untuk mengakaji fisik naskah, dan
pengetahuan terhadap konteks sosio-budaya masyarakat pemilik
naskah. ”Jika penyelamatan naskah melalui penelitian seperti ini
tak segera dilakukan, maka aturan lokal yang tercantum di dalam
naskah tersebut akan hilang dan tidak bisa memberikan manfaat
kepada masyarakat di masa yang akan datang,” katanya.
Ternyata Annabel tidak hanya berfokus pada isi naskahnaskah kuno, tetapi juga semua unsur luaran dalam naskah tersebut.
Sosok wanita yang masih memiliki garis keturunan dari Malaysia
inimenegaskan, banyak informasi sejarah yang dapat digali dari
sebuah cap peninggalan masa lalu, lebih-lebih lagi cap raja-raja
lokal yang pernah berkuasa di Nusantara, karena cap tersebut pada
hakekatnya representasi dari diri orangnya sendiri. Dari kajian
mengenai cap ini, Annabel berhasil menyelesaikan gelar doktornya
pada 2002 dengan disertasi berjudul Malay Seal Inscriptions: A Study
in Islamic Epigraphy from Southeast Asia.
“Dalam mengkaji mengenai surat, saya sangat tertarik karena
di dalamnya mengandung banyak fakta sejarah yang sangat penting.
Tapi bukan hanya surat, juga hiasannya, kaligrafinya, dan stempel
atau capnya. Jadi, sebetulnya saya ingin sekali menekuni semuanya,
akan tetapi saya memutuskan untuk memfokuskan mengkaji pada
cap. Disertasi saya mendalami surat-surat raja dan hiasan-hiasannya
yang indah dengan cap-capnya dari seluruh Nusantara, yang sudah
digunakan selama 300 tahun,” jelas wanita yang lahir di Inggris akan
tetapi dibesarkan di Brunei Darussalam ini.
Kecintaannya pada Indonesia membuat Annabel tertarik
mendalami manuskrip, surat, dokumen, dan cap Melayu,
serta seni Al-Qquran yang ada di Indonesia. “Hal yang sangat
279
berpengaruhpada saya adalah karena saya pergi ke Indonesia pada
umur 17 tahun dan menghabiskan satu tahun di Lembang, Bandung.
Ketika itu saya benar-benar jatuh cinta dengan Indonesia. Dan, ketika
saya mendalami Indonesia di University of London, dari sini saya
berubah sama sekali, saya semakin cinta dengan Indonesia,” papar
Annabel yang juga telah membuat catatan dan mengangkat karyakarya S Rukiah sebagai bahan disertasinya.
Annabel berharap generasi muda di Indonesia mau mengkaji
manuskrip, surat, dokumen dan cap di Nusantara ini yang masih
banyak membutuhkan penelitian atau kajian yang baru. Apa yang
sudah ia lakukan merupakan tahap permulaan untuk membuka
pintu bagi orang lain untuk mengkaji lebih banyak dari warisan
budaya Indonesia yang kaya. “Sebenarnya ini adalah suatu bidang
yang begitu menarik karena masih banyak yang belum dikaji, banyak
280
sesuatu yang baru. Misalnya tentang cap atau stempel dengan tulisan
aksara Arab, tapi banyak juga cap Jawa. Saya hanya menganggap diri
saya pada tahap permulaan, dan semoga membuka pintu bagi orang
lain untuk mendalaminya. Masih banyak sekali yang belum disentuh
dan dibaca,” kata Annabel.
“Indonesia memiliki warisan kebudayaan yang begitu kaya,
begitu banyak, dan begitu membanggakan bagi setiap orang Indonesia.
Dan karena begitu banyak, kadang-kadang kita perlu membuka
mata, melihat, menilai, mendalami, dan mengapresiasikannya. Saya
begitu senang menjadi orang yang pertama membuka karya buku
atau naskah yang belum pernah diteliti selama 100 tahun dan belum
pernah dihargai. Saya kira untuk anak muda Indonesia, di lingkungan
sekitar mereka pasti ada sesuatu yang indah dan bersejarah tapi
belum dihargai dan mendapat penghargaan sepatutnya. Maka,
fokuskanlah pada hal yang indah itu dan buat hal itu menjadi sumber
belajar,” pesan Annabel.
Biodata:
Nama
Tanggal Lahir
Posisi
Alamat
e-mail
: Annabel Teh Gallop
: Inggris, 5 Agustus 1961
: Kepala Koleksi Asia Tenggara di British Library,
London, Inggris
: The British Library, 96 Euston Road, London
NW1 2DB
:
[email protected]
Pendidikan :
- PhD, SOAS, University of London, Malay seal inscriptions: a study
in Islamic epigraphy from Southeast Asia, 2002.
- MA (with distinction) Indonesian and Malay Studies, SOAS, University of London. Dissertation on ‘The work of S Rukiah Ker-
281
-
tapati’, 1983-1985.
B.Sc. (Hons) Mathematics (2.2), University of Bristol, 1979-1982.
Cranbrook School, Kent, UK, 1976-1978.
Wadhurst College, Sussex, UK, 1975-1976.
Sufri Bolkiah English School, Tutong, Brunei, 1972-1974.
St. Angela’s Convent School, Seria, Brunei, 1966-1971.
Karier :
- Head of Southeast Asia section, The British Library, 2002- Curator for Maritime Southeast Asia, The British Library, 1986- Senior Producer, Indonesian & Malay Section, BBC World Service1985-86
- Presenter & researcher, English section, Radio Television Brunei,
1983
282
Richard Harry Chauvel:
Masyarakat Indonesia Itu Terbuka
Mata kuliah tentang Asia Tenggara telah mengantarkan Richard
Harry Chauvel mencintai Indonesia. Kini ia dikenal sebagai
ahli dalam bidang sejarah dan politik Indonesia, hubungan
Australia-Indonesia dan kebijakan luar negeri Australia.
Empat pulau tahun silam, Chauvel yang
tertarik pada mata kuliah tentang Asia
Tenggara mendarat di Medan, tepatnya tahun
1967. Seorang pegawai Imigrasi Medan bahkan
memberi tumpangan di rumahnya. Ia mengaku
sangat tertolong mendapat berbagai gambaran
tentang Indonesia dari pegawai tersebut.
Lantas, ia melakukan perjalanan di
Sumatera, mulai dari Medan, Aceh, Toba,
Bukit Tinggi (Sumatera Barat), hingga ke Jawad dan Bali. Perjalanan
tersebut membangkitkan ketertarikannya pada Indonesia dengan
masyarakatnya yang terbuka dan beragam.
Letak Indonesia yang berada di persimpangan jalur laut
membuat banyak budaya Indonesia bertemu dengan berbagai
budaya mulai dari China, India, Timur Tengah sampai Eropa.
Pertemuan budaya ini saling memperkaya. Kenyataan ini sungguh
menarik perhatian Chauvel yang saat itu sedang mencari tema untuk
program doktornya.
Semula Chauvel yang gemar makan rendang tertarik untuk
mempelajari sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Namun ada yang
menyarankannya untuk mempelajari kawasan Indonesia timur.
Lantas ia memutuskan memilih Ambon. Di sini pun ia menemukan
sejarah Ambon dan Maluku pada umumnya tidak kalah dalam
mendapatkan pengaruh dari budaya luar seperti daerah-daerah
283
lain. Indonesia makin menarik baginya karena tak jauh dari negeri
asalnya, Australia.
Akibat pengaruh perdagangan, terutama perdagangan
rempah pada masa lalu, daerah Ambon dan sekitarnya banyak
menerima pengaruh dari luar. Juga karena sistem penjajahan yang
berlaku saat itu. Bahkan Belanda telah mendirikan sekolah di sana
sejak abad ke-19 sehingga banyak orang Ambon yang terdidik dan
ditugaskan di mana-mana di Indonesia.
Pria yang suka makan papeda dan ikan colo-colo ini
menuturkan, masyarakat Ambon yang dilihatnya 40 tahun silam
sudah berbeda dengan saat ini. Keberagaman itu terus bertumbuh dari
waktu ke waktu. Perhatian Chauvel juga melebar sampai ke Papua.
Dari tangannya telah lahir, antara lain, buku Nationalists,
Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands foto Colonialism to Revolt
(1990), lalu artikel-artikelnya tentang Papua, di antaranya “Papua as a
multilateral issue for Indonesia and Australia” dalam buku Tim Lindsey
da David McRae (Ed), Strangers Next Door? Australia-Indonesia
Relations in the Asia Century.
Chauvel saat ini memang dikenal sebagai ahli dalam bidang
284
sejarah Indonesia dan politik, hubungan Australia-Indonesia dan
kebijakan luar negeri Australia. Penelitiannya banyak menekankan
pada isu-isu persatuan nasional, hubungan pusat-daerah dan
desentralisasi serta perubahan politik dan sosial di Indonesia timur,
terutama Maluku dan Papua. Ia tidak hanya melakukan penelitian
dan menulis buku di Indonesia, tetapi juga membimbing mahasiswa
program S2 dan S3. Tahun 1987-1992 ia mengajar di Universitas
Indonesia. Lalu menjadi konsultan untuk International Crisis Group
di Papua dan laporannya diterbitkan dengan judul Ending Repression
in Irian Jaya pada 2001. Lalu, dari 2007 sampai 2013 dan 2016 ia
menjadi anggota Joint Selection Team for Australian Development
Scholarships (sekarang Australia Awards) di Indonesia.
Sebagai seorang peneliti dan penulis buku, kebahagiaan
Chauvel adalah kalau bukunya makin banyak dibaca dan dibahas.
Syukur-syukur kalau bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk
mengambil keputusan. “Saya berharap buku yang saya tulis bisa
memberikan inspirasi kepada siapa saja, khususnya melakukan
penelitian lebih lanjut dari apa yang pernah saya lakukan dan tulis.
Itu yang paling penting,” ujar pria yang suka musik Ambon ini.
Ketika hadir dalam sebuah seminar di Ambon, tahun 2016,
285
ia terkejut karena banyak peserta seminar sudah membaca bukunya.
“Saya yakin mungkin banyak orang tidak terlalu setuju dengan apa
yang saya tulis. Itu tidak penting bagi saya. Yang penting, saya telah
memberi inspirasi dan mendorong perdebatan mengenai sejarah
masyarakat itu sendiri,” paparnya.
Chauvel terkejut ketika mendapat kabar dirinya mendapat
Anugerah Kebudayaan Kategori Perorangan Asing dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2017. “Penghargaan ini luar
biasa. Tapi saya tidak pernah mengharapkan mendapat penghargaan
ini. Tapi ternyata Pemerintah Indonesia memberikan apresiasi
terhadap apa yang saya lakukan selama ini dan mengakui kontribusi
akademis dari luar negeri. Itu sangat mengesankan,” katanya.
Suami dari Janet Alice itu mengemukakan, ketika ia pertama
kali terjun meneliti di Indonesia, sebagian besar sejarawan dan ahli
politik bukan orang Indonesia. Sekarang kondisinya sudah berubah.
Sudah banyak ahli tentang Indonesia justru orang Indonesia sendiri.
“Pakar politik dan sejarah justru banyak dari Indonesia. Itu
menyenangkan. Prosesnya seharusnya seperti ini. Senang sekali
untuk membimbing begitu banyak mahasiswa,” kata pria yang
menyukai tenun tradisional dari provinsi Nusa Tenggara Timur ini.
286
Biodata:
Nama
Istri
Anak
: Richard Harry Chauvel
: Janet Alice
: - Hugla
- Emily
Pekerjaan:
- Dosen Asia Institute, Universitas Melbourne, Australia
- Dosen Universitas Indonesia (1987-1992)
Penghargaan:
2017 : Anugerah Kebudayaan Kategori Perorangan Asing dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Karya Tulis:
•
Nationalists, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands foto
Colonialism to Revolt, 1990
•
“Papua as a multilateral issue for Indonesia and Australia” dalam
buku Tim Lindsey da David McRae (Ed), Strangers Next Door?
Australia-Indonesia Relations in the Asia Century, 2017
•
“Lingkungan Strategis Australia: Masalah Papua” dalam
Chusnul Mariyah (Ed) Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan
Politik Bilateral, Granit, Jakarta
•
Constructing Papuan Nationalism: History, Ethnicity and Adaption,
East West Center Washington, 2005
•
Chauvel dan Ikrar Nusa Bhakti, The Papua Conflict: Jakarta’s
Perception and Policies, Policy Studies 5, East West Center, 2004.
287
Mitsuo Nakamura:
Jembatan Pemahaman Islam, Indonesia, dan Jepang
Bagi negara yang minim pemahaman maupun persinggungan
dengan kebudayaan dan ajaran Islam seperti Jepang, Indonesia
merupakan sebuah negara yang menarik untuk dikaji. Terlebih lagi
pada dekade belakangan ini, Indonesia merupakan mitra ekonomi,
politik dan budaya yang strategis bagi Jepang di kawasan Asia
Tenggara.
Mitsuo Nakamura, lewat serangkaian penelitian
dan karyanya tentang Indonesia yang sudah
ia terbitkan, menjadi sosok penting bagi
pemerintah ataupun pelaku ekonomi, politik
dan sosial budaya Jepang untuk memahami
seluk beluk serta dinamika perkembangan
Islam di Indonesia guna membangun kerja sama
antarkedua negara. Dalam konteks ini pula,
sosok Mitsuo Nakamura menjadi semacam
jembatan penghubung antara kedua negara yang tak tergantikan
keberadaannya.
Mitsuo Nakamura lahir dari keluarga Jepang beragama
Kristen pada 19 Oktober 1933 di Dalian, sebuah kota di bagian
Timur Laut Manchuria, yang sekarang bagian dari Republik Rakyat
Tiongkok (RRT). Nakamura muda tumbuh dan berkembang di
antara masyarakat Manchuria. Ia menyaksikan penderitaan yang
ditimbulkan oleh imperialisme Jepang, terlebih masalah kesenjangan
dalam hal kesejahteraan hidup yang terlihat dan dirasakan langsung
oleh Mitsuo muda antara penduduk lokal dengan orang Jepang
yang hidup di sana. Semasa menjadi mahasiswa, Mitsuo muda
sempat menyaksikan Konferensi Asia Afrika yang diadakan di
Bandung pada tahun 1955. Saat itu ia terkesan melihat perwakilan
288
dari berbagai negara Asia dan Afrika yang baru merdeka hadir dan
berkumpul untuk medeklarasikan penentangan terhadap penjajahan
maupun neokolonialisme, sebuah pengalaman yang semakin
menguatkan dirinya untuk aktif dalam gerakan-gerakan sayap kiri
yang menentang nuklir dan kebangkitan militerisme di Jepang.
Perkenalan Mitsuo muda dengan Indonesia diawali saat ia
bertemu dengan sosok Selo Sumardjan, sosiolog kenamaan asal
Indonesia, ketika Prof Selo diundang sebagai pembicara dalam
seminar internasional tentang “Class Formation” yang diadakan oleh
Chie Nakane, dosen pembimbing Mitsuo pada saat itu, di Tokyo,
Jepang. Selo memberikan tesisnya yang berjudul Social Change in
Yogyakarta kepada Chie, yang kemudian memberikan buku tersebut
ke Mitsuo muda. Buku itulah yang menjadi inspirasi dan motivasi
bagi Mitsuo muda untuk mengenal lebih jauh mengenai Indonesia.
Dia menyelesaikan pendidikan S1 di bidang filosofi Barat (1960)
dan S2 dalam bidang antopologi (1965) di Tokyo Daigaku (Univesitas
Tokyo). Ia melanjutkan pendidikannya di Cornell University, AS,
dan kembali mendapatkan gelar S2 di bidang antropologi, serta juga
PhD (S3), dari penelitian berbasis observasi lapangan yang ia lakukan
atas pergerakan Muhammadiyah di Kota Gede, Yogyakarta, dengan
pembiayaan dari Carnegie Foundation. Disertasinya merupakan
salah satu penelitian dengan pembiayaan Barat yang terawal dalam
menyaksikan dan memprediksi proses Islamisasi di Indonesia pada
akhir abad ke-20.
Setelah menetap untuk beberapa waktu di University of
Adelaide, Australia, sebagai pengajar senior (1974-1975), ia kemudian
direkrut oleh Profesor Selo Seomardjan dari Universitas Indonesia
untuk bergabung dengan Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial
(PLPIIS) sebagai peneliti rekanan untuk daerah Jakarta, yang terikat
pada Fakultas Ilmu Sosial UI. Ia dibiayai oleh Canadian International
Development Research Centre (Pusat Penelitian Pengembangan
Internasional Kanada) semasa dia bekerja di PLPIIS.
289
Setelah bekerja dua tahun untuk PLPIIS di Jakarta (1976-1977),
Mitsuo kembali ke Australia sebagai peneliti rekanan sementara di
Research School of Pacific Studies, Australian National University
(ANU), (1978-1980), didukung oleh pendanaan dari Toyota
Foundation. Mitsuo kemudian bertemu dengan Profesor William
Graham dari Harvard University yang datang menghadiri konferensi
internasional yang diadakan di ANU untuk merayakan dimulainya
abad ke-15 penanggalan Hijriyah. Profesor Graham memperkenalkan
dan mengajak Mitsuo untuk bergabung dengan Pusat Pembelajaran
Agama-agama Dunia (Center for Study of World Religions) Harvard
sebagai pelajar tamu di tahun 1981 hingga 1982.
Selagi di Harvard, ia menyelesaikan revisi disertasi
doktoralnya untuk diluncurkan sebagai buku, yang di kemudian
hari menjadi maha karya terbesar Mitsuo, yaitu, The Crescent Arises
Over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in
a Central Javanese Town (Bulan Sabit Terbit dari Balik Pohon Beringin:
290
Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Yogyakarta), yang
diterbitkan oleh Penerbit Universitas Gadjah Mada pada tahun 1983.
Selain itu, Mitsuo mengembangkan lingkup penelitiannya ke
Nadlatul Ulama (NU), sayap Islam tradisionalis Indonesia, mengikuti
anjuran (alm) KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang pada saat
itu adalah ketua umum PBNU. Gus Dur mengundang Mitsuo untuk
menghadiri Muktamar Ke-26 NU pada tahun 1979 sebagai pengamat.
Pengalaman ini dituangkan oleh Mitsuo ke dalam sebuah artikel
(1981) yang membuat namanya terkenal sebagai peneliti karena
menjadi yang pertama kali meneliti mengenai NU yang dianggap
terlalu terbelakang dan kampungan bagi kebanyakan peneliti lain
pada saat itu.
Pada tahun 1983, Mitsuo diberikan jabatan profesor dan
mengajar antropologi di Chiba Daigaku, Jepang. Dengan bantuan
istrinya, Hisako—yang juga seorang antropolog dan sebagai guru
besar studi internasional di Bunko Daigaku, juga kawan-kawannya
yang lain—Mitsuo mendirikan Study Group on Islam in Southeast
Asia (Kelompok Belajar tentang Islam di Asia Tenggara). Melalui
291
institusi yang ia dirikan tersebut ia mengundang sejumlah tokoh
intelektual Islam dari Indonesia, di antaranya Gus Dur, Munawir
Sjadzari, Nurcholish Madjid (Cak Nur), Ahmad Syafi’i Ma’arif, dan
mendorong para peneliti dan mahasiswa di sekitarnya untuk meneliti
tentang Islam dan komunitas Islam di Indonesia.
Dalam beberapa dekade di akhir abad ke-20, kebangkitan
organisasi masyarakat Islam di ranah publik negara mayoritas
Islam maupun minoritas Islam di Asia Tenggara semakin kentara.
Sumbangsih mereka atas demokratisasi dan pemajuan pendidikan,
kesejahteraan dan keadilan sosial di setiap negara semakin signifikan
dan telah dibahas sebagai topik penelitian akademis. Maka, pada
tahun 1999, Mitsuo mengadakan sebuah lokakarya internasional
mengenai “Islam and Civil Society in Southeast Asia”, bekerja sama
dengan beberapa akademisi-aktivis setempat, termasuk di antaranya
Cak Nur dan Amin Abdullah dari Indonesia. Hasil lokakarya ini
diterbitkan menjadi buku pada tahun 2001 dengan judul yang sama:
Islam and Civil Society in Southeast Asia.
292
Pada tahun 1998, pemerintah dan masyarakat Jepang sangat
khawatir dengan Indonesia yang baru saja dilanda krisis ekonomi
dan politik. Pemerintah Jepang akhirnya mengutus tim monitor
untuk mengawasi pemilu Indonesia yang diadakan untuk pertama
kalinya setelah kejatuhan Soeharto. Mitsuo dan Hisako, istrinya, ikut
dalam tim monitoring tersebut. Ia juga dipercaya oleh Japan Bank
for International Cooperation (JBIC) untuk menjadi peneliti dan
penasihat untuk menilai sovereign risk Indonesia. Ia menjalankan
tugasnya dengan mengunjungi beberapa wilayah Indonesia untuk
melakukan observasi lapangan dan mewawancarai tokoh-tokoh
kunci. Mitsuo kemudian memberikan laporannya kepada JBIC, yang
kemudian diterbitkan pada tahun 2003 dengan judul Religious,
Ethnic and Social Problem in Indonesia and Prospect for its National
Re-Integration (Permasalahan Agama, Etnis dan Sosial di Indonesia
dan Prospek Re-integrasi Indonesia sebagai Sebuah Bangsa). alam
laporannya ini ia menekankan bahwa Indonesia telah memasuki
sebuah proses demokratisasi yang tidak dapat dibendung, yang akan
berkontribusi positif bagi Jepang.
Sejak tahun 2004 hingga 2005, semasa Mitsuo menjabat
sebagai peneliti tamu senior di Center for Middle Eastern Studies di
Harvard University, ia dan Hisako secara sukarela bergabung dengan
International Observation Corps (Rombongan Observasi Internasional)
untuk mengobservasi jalannya Pemilu dan Pilpres 2004 di Indonesia.
Hasil observasi Mitsuo diterbitkan oleh Harvard pada tahun 2005
sebagai sebuah buklet berjudul, Islam and Democracy in Indoensia:
Observations on the 2004 General and Presidential Elections.
Beberapa tahun terakhir ini, Mitsuo kembali berkonsentrasi
pada studi gerakan-gerakan sosial Islam, seperti Muhammadiyah
dan NU, pasca-kejatuhan Soeharto. Ia mengunjungi kembali pusat
Muhammadiyah di Kotagede, Yoguakarta, pada tahun 2008 dan
2009 untuk melakukan penelitian lanjutan. Temuan hasil penelitian
lapangannya itu ia terbitkan dalam sebuah edisi revisi yang lebih
293
besar terhadap buku lamanya, yaitu The Crescent Arises Over the
Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central
Javanese Town, c 1910s-2010. Edisi baru ini ditambahkan Bagian
Kedua, yang membahas mengenai perkembangan Muhammadiyah
di Kotagede selama hampir 40 tahun (1972-2010), bersama dengan
Bagian Pertama (cetakan awal buku Pohon Beringin). Buku baru ini
melacak sejarah Muhammadiyah di Kotagede selama hampir 100
tahun, yakni dari tahun 1910 hingga 2010. Ia memandang karya ini
sebagai proyek pribadinya untuk merayakan peringatan 100 tahun
Muhammadiyah sejak berdiri tahun 1912.
Selain itu, pada tahun 2012, Mitsuo bersama dengan Profesor
Azyumardi Azra (mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta) dan Dr Ahmad Najib Burhani, seorang
peneliti muda di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan
beberapa koleganya di Indonesia dan luar negeri, mengadakan
konferensi penelitian internasional perayaan 100 tahun pendirian
Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang. Hasil
konferensi yang brencananya akan diterbitkan dalam bentuk
buku tersebut berisikan penilaian akademis tetapi simpatik atas
pergerakan Muhammadiyah, yang tidak diragukan lagi merupakan
salah satu organisasi Islam tertua, terbesar, dan progresif, yang
bergerak di bidang pendidikan dan kesejahteraan sosial di dunia
Islam kontemporer.
Mitsuo dan Hisako Nakamura telah menjadi peserta tetap
Forum Perdamaian Dunia yang diadakan dua tahun sekali oleh
Muhammadiyah dan Cheng-Ho Multicultural Education Trust
Malaysia sejak tahun 2006, sebuah forum yang menjunjung ide “Satu
Kemanusiaan, Satu Nasib, Satu Tanggung Jawab”, sebuah ide yang
sejalan dengan Mitsuo Nakamura, sang Jembatan Pemahaman antara
Islam, Indonesia, dan Jepang.
294
Biodata:
Family name : Nakamura
Given name
: Mitsuo
Born
: October 19, 1933, in Dalian, North East China
Gender
: Male
Nationality
: Japanese
Current position:
Professor Emeritus, Chiba University, Japan
Home address:
4-10-20 Josuihoncho, Kodaira-shi, Tokyo, JAPAN 187-0022
Mobile phone: +81-(0) 80-5111-3297
E-mail: <
[email protected]>
Expertise:
Islamic social movements in Southeast Asia, especially in Indonesia;
area studies on Southeast Asia (Indonesia); modern history of Islam;
anthropology of religion
Languages:
Japanese, English, and Indonesian
Education:
Ph.D. in Anthropology, Cornell University (1976)
M.A. in Anthropology, Cornell University (1968)
M.A. in Anthropology, Tokyo University (1965)
B.A. in Philosophy, Tokyo University (1960)
295
Past Positions:
- Visiting Fulbright Scholar, Center for Middle Eastern Studies,
Harvard University, 2004-05
- Senior Research Advisor (Sovereign Risk Assessment), Japan Bank
for International Cooperation (JBIC), 2001-03
- Visiting Professor, Graduate School of Policy Studies, Chuo
University, 2001- 02
- Professor of Anthropology, Faculty of Letters, Chiba University,
1983-99
- Lecturer, Graduate School of International Development Studies,
Nagoya University, 1992-98
- Fulbright Senior Research Fellow and Visiting Scholar, Center for
Middle Eastern Studies, Harvard University, Spring1993
- Visiting Scholar, Center for the Study of World Religions and
Department of Anthropology, Harvard University, 1981-82
- Visiting Fellow, Research School of Pacific Studies and Faculty of
Asian Studies, The Australian National University, 1978-80
- Foreign Expert, Social Science Research Training Station, Faculty
of Social Sciences, University of Indonesia, 1976-78
- Senior Teaching Fellow, Department of Anthropology, University
of Adelaide, 1974-75
Major Academic Works:
2016
“Kauman” in Encyclopedia Islam - Three, Brill.
2015
“Another Islam in Indonesia” (in Japanese), Mail Magazine
Alter, No.144 (December 2015).
2013
“Fakih Usman” in Encyclopedia Islam - Three, Brill.
2012
The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of the
Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town c.
296
1910-2010. Second Enlarged Edition. (Singapore: Institute
of Southeast Asian Studies).
2011
“Anthropology of Civilization: Personal Reflections on
Anthropological Approach in the Study of Muslim Societies
in Southeast Asia,” paper presented at International
Seminar on the Study of Malay Civilization, held at IAIN
Raden Fatah, Palembang, September 2011.
2010a
“Rationality and Enlightenment: A Comparison of
Educational Reforms Promoted by Gülen Movement
and Muhammadiyah,” paper presented at International
Conference on Gülen Educational Movement held at UINUI, Jakarta, October 2010. (On-Line Publication, Fetullah
Gülen’s Webiste)
2010b
“Democratization at Grass Roots Level: The Case of
Kotagede, Yogyakarta, focusing on the Muhammadiyah
movement,”paper presented at meetings held at UIN
Alaudin, Macassar and IAIN Sunan Ampel, Surabaya,
October 2010.
2010c
“Political, social and economic role of Muhammadiyah
and Nahdlatul Ulama, Two Biggest Islamic Organizations
in Indonesia,” lecture given at ERIA (Economic Research
Institute for ASEAN and East Asia), Jakarta, July 2010.
2010d
“Penting,
Keterlibatan
Ilmuwan
Sosial
Dalam
Muhammadiyah,” Media
Inovasi: Jurnal Ilmu dan
Kemanusiaan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(Edisi Khusus Muktamar Satu Abad Muhammadiyah),
Yogyakarta: June 2010, pp. 74-76.
2010e
“Harapan terhadap NU Pasca-Gus Dur, ” Mohamad
Sobary (ed.), NU dan Keindonesiaan, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010, pp. 223-228.
2008
“Purbahan Sosial dan Dinamika Kehidupan Beragama: Hasil
297
Peninjauan Kilat terfokus pada Gerakan Muhammadiyah
di Kotagede, Yogyakarta,” paper presented at a seminar
held at PSKK (Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan),
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, February 2008.
2005a
ISLAM
AND
DEMOCRACY
IN
INDONESIA:
OBSERVATIONS ON THE 2004 GENERAL AND
PRESIDENTIAL ELECTIONS, (Cambridge, M.A., Islamic
Legal Studies Program, Harvard Law School, Occasional
Publications 6, December 2005).
2005b
“Muhammadiyah faces the challenge of democracy,”
in MUHAMMADIYAH MENJEMPUT PERUBAHAN,
Mukhaer Pakkanna & Nur Achmad (eds.), (Jakarta: P3SE
STIE Ahmad Dahlan & Penerbit Buku Kompas, 2005).
2003a
(Translation) KISAH PERJUANGAN REFORMASI (A Story
of Struggle for Reformasi) edited by Selo Soemardjan,
translation into Japanese from Indonesian in collaboration
with AOKI Takenobu, OGUNI Kazuko, SUZUKI Seiko,
and MIZUKAMI Hiroshi (Tokyo: Akashi Shoten, 2003).
2003b
RELIGIOUS, ETHNIC AND SOCIAL PROBLEMS IN
INDONESIA AND PROSPECTS FOR ITS NATIONAL
RE-INTEGRATION, (in Japanese), JBIC Research Report
No.25, (Tokyo: Japan Bank for International Cooperation).
2001
ISLAM AND CIVIL SOCIETY IN SOUTHEAST ASIA,
edited with Sharon Siddique and Omar Farouk Bajunid,
(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2001).
2000a
(Translation) CULTURAL CHANGE IN RURAL
INDONESIA: IMPACT OF VILLAGE DEVELOPMENT,
by Selo Soemardjan and Kennon Breazeal, translation
into Japanese from English in collaboration with AOKI
Takenobu, IKEDA Kanji, OGUNI Kazuko, OKUNO
Katsumi, NAKAMURA Hisako, and MIZUKAMI Hiroshi
298
(Tokyo: Akashi Shoten, 2000).
2000b
“Ideas of Gus Dur and Indonesia’s Strategic Change of
Direction,” (in Japanese), GAIKO FORUM, No. 139,
March 2000 (monthly journal sponsored by the Ministry
of Foreign Affairs, Japanese Government).
1999
“Prospects for Islam in Post-Soeharto Indonesia,” ASIAPACIFIC REVIEW 6:1 (Institute for Policy Studies,
Australia, 1999).
1998
“Foreign Policy of Indonesia: Islam and Politics,”
(in Japanese) in FOREIGN
POLICY OF ISLAMIC
COUNTRIES, edited by KOSUGI Yasushi, (Japan Institute
of International Affairs, 1998).
1997
“Resurgence of Islam in Southeast Asia: Threat to Japan or
Partner for Co-Prosperity?” (in Japanese), JOURNAL OF
WORLD AFFAIRS, 45:6 (Takushoku University).
1995a
Articles of “Nahdlatul Ulama” and “Abdurrahman
Wahid,” in OXFORD ENCYCLOPEDIA OF THE
MODERN ISLAMIC WORLD, editor in chief, John L.
Esposito, (Oxford University Press, 1995).
1995b
“Munawir Sjadzali: A scholar, diplomat, and statesman,” in
Sulastorno et al. editors, KONTEKSTUALISASI AJARAN
ISLAM: 70 TAHUN PROF. DR. H. MUNAWIR SJADZALI,
(Jakarta: IPHI & Yayasan Waqaf PARAMADINA, 1995)
1994a
“Islamic Network in North America: E-mail networks
among Indonesian Muslim students,” (in Japanese), in
MUSLIM LIFE AND SOCIETY, edited by KATAKURA
Motoko (Yubunsha 1994)
1994b
“Development of Islamic Higher Education in
Indonesia,” in collaboration with NISHINO Setsuo, in
EAST ASIAN HIGHER EDUCATION: TRADITIONS
299
AND TRANSFORMATIONS, edited by Albert H. Yee,
(Pergamon 1994).
1994c
“Emergence of New Middle Class and the Mainstreaming
of Islam in Indonesia -- Social Background for the
Establishment of ICMI,” (in Japanese), GENDAI AJIA
(Contemporary Asia) Vol. 3, edited by HAGIWARA
Yoshinobu, (Tokyo University Press, 1994).
1991a
“Islam, Java and Indonesia – An Observation through the
Figure of A.R. Fachruddin, Chairman of Muhammadiyah,”
(in Japanese), TONAN AJIA NO BUNKA (Cultures of
Southeast Asia), edited by MAEDA Narifumi, (Tokyo:
Kobundo).
1991b
ZEN JAWA KAIKYO JOKYO CHOSASHO (Survey Report
on Islam in Java and Madura), (in Japanese), editor and
introduction, (reproduction of the 1942 survey report
compiled by the 16th Japanese Army), (Tokyo: Ryukei
Shosha).
1989a
“Acceptance and Development of Islam in Southeast Asia:
Mysticism of Hamzah Fansuri,” (in Japanese), in TOYO
SHISO (Oriental Thoughts), editors, IZUTSU Toshihiko et
al., (Tokyo: Iwanami Shoten).
1989b
“Rural-Urban Differentiation in Islamic Social Movements
of Indonesia: The Case of Muhammadiyah in Indonesia,”
Proceedings of the International Conference on Urbanism
in Islam (Tokyo).
1988a
“Islam in Southeast Asia (in Japanese),” in NEW
HANDBOOK ON SOUTHEAST ASIA, edited by
TAKIZAWA Tsutomu under the supervision of
MATSUMOTO Shigeharu, (Tokyo: Kodansha).
1988b
“Freedom in the Interpretation of Islam: Interview with
Prof. Mukti Ali, Indonesia’s Former Religious Affairs
300
Minister (in Japanese),” Asahi Shimbun, December 20,
1988.
1985
“Indonesia Aspires to be the Leader of the Islamic World
on the Solid Foundation of Pancasila – Observation of the
NU’s 28th National Congress in
Situbondo, East Java (in Japanese),” THIS IS (Yomiuri Shimbun, June
1985).
1984a
“The Cultural and Religious Identity of Javanese Muslims:
The Case of Muhammadiyah,” PRISMA, No.31 (LP3ES,
Jakarta, 1984).
1984b
(Translation into Japanese), INDONESIA, by John D.
Legge, (The Simul Press).
1983
THE CRESCENT ARISES OVER THE BANYAN TREE: A
STUDY OF THE MUHAMMADIYAH MOVEMENT IN
A CENTRAL JAVANESE TOWN, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1983).
1982
Tradisionalisme Radikal NU di Indonesia, Surakarta:
Haspara, 1982.
1981
“The Radical Traditionalism of the Nahdlatul Ulama
in Indonesia: A Personal Account of Its 26th National
Congress, June 1979, Semarang,” TONAN AJIA KENKYU
(Southeast Asian Studies), 19:2 (CSEAS, Kyoto University,
1981).
1980a
“Sufi Elements in Muhammadiyah? Notes from Field
Observation,” PRISMA IX-8, (LP3ES, Jakarta).
1980b
“The Reformist Ideology of Muhammadiyah,” in
INDONESIA: THE MAKING OF A CULTURE, J. J. Fox et
al., editors, (Canberra: RSPacS, ANU).
1979
Agama dan Lingkungan Kultural Indonesia, Surakarta:
Haspara, 1979.
301
1977
“Professor Haji [Abdul] Kahar Muzakkir and the
Development of the Muslim Reformist Movement in
Indonesia,” in RELIGION AND SOCIAL ETHOS IN
INDONESIA, with Benedict Anderson and Mohamed
Slamet, (Melbourne: CSEAS, Monash University).
1971a
“Masalah Gerakan Islam di Kotagede”, Brosur Lebaran,
No. 9, AMM Kotagede, 1391H/1971M.
1971b
(Translation from Bahasa Indonesia to English),
Kuntowidjojo, “Economic and Religious Attitudes
of Entrepreneurs in a Village Industry: Notes on the
Community of Batur,” INDONESIA, No. 12 ((Modern
Indonesia Project, Cornell University).
1970
“General Imamura and the Early Period of Japanese
Occupation,” INDONESIA, No. 10 (Modern Indonesia
Project, Cornell University).
302