Academia.eduAcademia.edu

JURNAL-IKHSAN2

The presence of the Indonesian National Police in carrying out their main duty as guardian, protector, counselor and as law enforcement officers, of course, the police are faced with one of the tasks is to give protection to children in conflict with the law, and take action that is in the process of investigating child to get treatment reasonable and justice and protection. Juvenile Court includes all inspection activities and termination cases that concern the interests of the child. Interests of the children should be the center of the court perahatian children. Historically ever happened complaint in case the child because the Juvenile Court only addressed in the response to a bad situation with respect to deviate behavior and offenses committed by children. Noting these developments deviant behavior by children and to protect them from the unhealthy development of the child's attention has begun to be considered. This is proven by various scientific meetings held by the government as evidence that the problem of a naughty child should get special protection.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TAHANAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PINDANA TANPA HAK MEMILIKI, MENYIMPAN NARKOTIKA GOLONGAN I BUKAN TANAMAN PADA RUMAH TAHANAN NEGARA KELAS II A SAMARINDA Mokhamad Iksan Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Prija Djatmika Pembimbing I, Dosen bidang hukum pidana di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Sarosa Hamongpranoto Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM PROVINSI KALTIM ABSTRACT The presence of the Indonesian National Police in carrying out their main duty as guardian, protector, counselor and as law enforcement officers, of course, the police are faced with one of the tasks is to give protection to children in conflict with the law, and take action that is in the process of investigating child to get treatment reasonable and justice and protection. Juvenile Court includes all inspection activities and termination cases that concern the interests of the child. Interests of the children should be the center of the court perahatian children. Historically ever happened complaint in case the child because the Juvenile Court only addressed in the response to a bad situation with respect to deviate behavior and offenses committed by children. Noting these developments deviant behavior by children and to protect them from the unhealthy development of the child's attention has begun to be considered. This is proven by various scientific meetings held by the government as evidence that the problem of a naughty child should get special protection. Key Words: Legal Protection, Child Prisoners, Narcotics ABSTRAKSI (Keberadaan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai pengayom, pelindung, pembimbing dan sebagai aparat penegak hukum, tentunya Polri dihadapkan dengan salah satu tugas yaitu memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, serta melakukan tindakan yang nyata dalam proses penyidikan anak agar mendapatkan perlakuan yang wajar dan keadilan serta perlindungan. Pengadilan Anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Kepentingan anak harus merupakan pusat perahatian dalam pengadilan anak. Secara historis pernah terjadi pengaduan dalam perkara anak karena Pengadilan Anak hanya ditujukan pada upaya penanggulangan keadaan yang buruk sehubungan dengan prilaku menyimpang dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak. Memperhatikan berbagai perkembangan tingkah laku menyimpang yang dilakukan anak dan untuk melindungi mereka dari suatu perkembangan yang tidak sehat perhatian terhadap anak sudah mulai diperhatikan. Hal ini terbukti dengan berbagai pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh pemerintah sebagai bukti bahwa masalah anak yang nakal harus mendapatkan perlindungan secara khusus). Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Tahanan Anak, Narkotika Latar Belakang Keberadaan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai pengayom, pelindung, pembimbing dan sebagai aparat penegak hukum, tentunya Polri dihadapkan dengan salah satu tugas yaitu memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, serta melakukan tindakan yang nyata dalam proses penyidikan anak agar mendapatkan perlakuan yang wajar dan keadilan serta perlindungan. Harapan dari semua pihak, pemerintah, orang tua dan keluarga dalam penyelesaian masalah anak yang telah melakukan penyimpangan ataupun kejahatan untuk mendapatkan perhatian yang khusus, tidak dipungkiri dijumpai di lapangan, hukum pidana anak nakal diperlakukan secara anak dewasa kecil, sehingga seluruh proses perkaranya dilakukan sama dengan orang dewasa. Keadaan kepentingan anak sebagai anak-anak kadang-kadang sedemikian rupa diabaikan tanpa adanya perlakuan khusus. Sebagai akibat telah terjadinya berbagai ekses, anak nakal terkadang ditempatkan sama dengan tempat penahanan orang dewasa. Masa penahanan disamakan bahkan dapat diperpanjang seperti orang dewasa. Perlakuan semacam ini sangat merugikan perkembangan si anak. Pengadilan Anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Kepentingan anak harus merupakan pusat perahatian dalam pengadilan anak. Secara historis pernah terjadi pengaduan dalam perkara anak karena Pengadilan Anak hanya ditujukan pada upaya penanggulangan keadaan yang buruk sehubungan dengan prilaku meyimpang dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak. Memperhatikan berbagai perkembangan tingkah laku menyimpang yang dilakukan anak dan untuk melindungi mereka dari suatu perkembangan yang tidak sehat perhatian terhadap anak sudah mulai diperhatikan. Hal ini terbukti dengan berbagai pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh pemerintah sebagai bukti bahwa masalah anak yang nakal harus mendapatkan perlindungan secara khusus. Dalam proses penyidikan, pembimbingan kemasyarakatan dari Bapas berperan melakukan penelitian Kemasyarakatan (Litmas) juga membantu memperlancar tugas penyidik. Bertitik tolak dari kasus kejahatan tindak pidana tanpa hak memiliki, menyimpan narkotika golongan I bukan tanaman yang dilakukan oleh anak, Penulis akan menganalisa bagaimana perlindungan hukum dan keadilan yang diterima sesuai dengan vonis Pengadilan Negeri Samarinda atau tidak, selain itu penulis akan mengkaji penerapan diversi dan keadilan restorative dan persesuaian dengan Undang-Undang yang berkaitan dengan masalah-masalah anak. Anak sebagai pelaku tindak pidana masih tetap membutuhkan perlindungan hukum karena penanganan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, khususnya narkotika, dapat terjadi pelanggaran terhadap hak-haknya. Oleh karena itu anak perlu mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan peraturan perundang-undangan lainnya. Penanganan terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika di Kota Samarinda kadang-kadang melanggar hak-hak anak, untuk itu perlu dilakukan perlindungan hukum dan dalam pelaksanaannya masih sering terjadi hambatan atau kendala yang dialami oleh pihak Rutan dalam memberikan perlindungan hukum. Pembahasan Negara Hukum dan Perlindungan Hak Pemikiran atau konsepsi manusia merupakan anak zaman yang lahir dan berkembang dalam situasi kesejarahan dengan berbagai pengaruhnya. Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum juga lahir dan berkembang dalam situasi kesejarahan. Oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, pada dataran implementasi ternyata memiliki karakteristik beragam. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh-pengaruh situasi kesejarahan tadi, di samping pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara, dan lain-lain. Atas dasar itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Alquran dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila. Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 63. Konsep-konsep negara hukum ini memiliki dinamika sejarahnya masing-masing. Meskipun demikian, tulisan ini hanya melakukan “moment opname” terkadap sejarah kemunculan negara hukum, khususnya Eropa Kontinental (rechtssraar), yang memiliki kaitan langsung dengan munculnya ilmu Hukum Administrasi Negara. Secara embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya. Sementara itu, dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Politicos, belum muncul istilah negara hukum. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Ibid, hlm. 66 Gagasan Plato tentang negara hükum ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur dan pemerintahan yang berkonstitusi yaitu pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik. Dalam kaitannya dengan konstitusi, Aristoteles mengatakan bahwa konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir dan setiap masyarakat. Selain itu, konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut. Dikutip dari Azhary, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1995, hlm. 20-21 Pengertian Anak Pengertian anak berlaku bagi seorang anak adalah berumur di bawah usia 18 tahun (UU No. 23 Tahun 2002 tentang Kesejahteraan Anak). Masalah pokok yang dihadapi sebagian negara sedang berkembang termasuk Indonesia, yaitu masih banyaknya anak-anak yang harus memikul tanggung jawab di luar batas kemampuannya; sebagai akibat kehidupan sosial, ekonomi dan nilai budaya yang kurang mendukung anak dalam memenuhi hak-hak dasarnya, sehingga tidak dapat hanya dipahami secara yuridis saja, tetapi menyangkut faktor sosial ekonomi budaya dan anak di mana dia berada (sesuai wilayahnya). Supaya berdaya guna dan berhasil guna, perlindungan hukum bagi kehidupan anak harus memenuhi syarat-syarat (1) faktor ekonomi dan sosial yang dapat menunjang keluarga anak; (2) Nilai budaya yang memberi kebebasan bagi pertumbuhan anak; dan (3) Solidaritas anggota masyarakat untuk meningkatkan kehidupan anak. Perlindungan Hak Anak dalam Peraturan Perundang-Undangan Anak mempunyai eksistensi sebagai anak manusia yang merupakan totalitas kehidupan dan kemanusiaan. Benarkah hak-hak anak sudah menjadi realitas dunia, masih banyak bentuk-bentuk eksploitasi, kekerasan, diskriminasi baik secara nyata maupun terselubung. Sampai saat ini problematika anak belum menarik masyarakat dan pemerintah. Pengertian perlindungan anak (Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002) adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidüp, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi. Secara singkat ditegaskan bahwa anak-anak harus dibesarkan dalam semangat/jiwa yang penuh pengertian, toleransi, persahabatan antar bangsa, perdamaian dan persaudaraan yang bersifat universal. Di Indonesia masih berlaku baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis sehingga perlindungan anak termasuk juga ketentuan-ketentuan hukum adat. Hukum perlindungan anak sebagai hukum tertulis maupun tidak tertulis yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Pada tahun 1979 dikeluarkan Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Anak telah menjadi perhatian khusus bagi banyak kalangan tidak hanya di tingkatan nasional, pada dataran global, anak mendapatkan porsi khusus dalam hal perlindungan dan pemenuhan serta pengaturan hak-hak mereka. Hal ini telah lama berlangsung, mengingat anak merupakan tunas dan penerus generasi kehidupan bangsa dan negara. Tindakan Pemerintah Dalam Perlindungan Hak Anak Sejak indonesia meratifikasi Konvensi Hak Internasional pada tanggal 25 Agustus 1990 dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, maka Indonesia berkewajiban untuk mengimplementasikan Hak-hak Anak ke dalam Hukum Nasional Indonesia. Hal tersebut tetah mewajibkan pemerintah Indonesia untuk segera menentukan: Tindakan Yuridis Tindakan yuridis di sini mewajibkan pemerintah untuk segera membentuk Undang-Undang Nasional yang sesuai dengan kaidah Konvensi Hak Anak Internasional disertai dengan Penegakan Hak-hak Anak tersebut sesuai dengan ketentuan undang-undang. Program Aksi Program aksi yang dimaksud di sini mencakup program yang bersifat administratif maupun program kegiatan yang khusus diperuntukkan bagi keperluan anak yang meliput (1) Pembentukan KomisiNasjonal Hak Anak; (2) Penyusunan program aksi nasional untuk anak; dan (3) Pembuatan laporan nasional kepada Children’s Emergency Fund (UNICEF) sebaga lembaga Monitoring yang dibuat secara berkala, yaitu 2 (dua) tahun setelah ratifikasi dibuat dan setiap 5 (lima) tahun sekali berikutnya secara periodik. Gambaran Anak yang Berhadapan Dengan Hukum Anak yang berhadapan dengan hukum disebut anak nakal, yaitu Anak yang melakukan tindak pidana, atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Di Indonesia umumnya anak yang berhadapan dengan hukum berusia sekitar 13 – 17 tahun dan jumlah pelaku lebih didominasi oleh anak laki-laki. Latar belakang dari tindakan mereka kebanyakan adalah karena faktor ekonomi, keluarga dan rasa ingin tahu yang besar. Demikian pula digambarkan oleh seorang sarjana Zakiah Darajat mengatakan bahwa anak yang akan menuju generasi muda sangat terasa didalam aktivitas yaitu mudah cemas tergoncang emosinya bahkan mudah tersinggung dan sangat peka terhadap kritikan karena jiwanya belum stabil terkadang mereka ingin terlepas dari aturan yang ada bahkan mudah menerima pengaruh dari luar lingkungannya dan ingin hidup dengan gayanya sendiri. Maka tidak heran jika banyak anak melakukan penyimpangan dan kejahatan ditempat umum seperti minum-minuman keras dipinggir jalan, coret-coret tembok atau bangunan-bangunan, kebut-kebutan di jalan umum, mencuri dan sebagainya. Zakiah Darajat, Problema Remaja di Indonesia, Cetakan Kedua, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 219. Pelanggaran Hukum yang Biasa Dilakukan Anak Istilah kenakalan anak berasal dari Amerika Serikat yaitu dari kata Juvenile delinquency yang artinya: “Kenakalan anak, kenakalan remaja, dan sebagainya”. B. Simandjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja (Etiplogi juvenile delinquency), Alumni, Bandung, 1979, hlm. 55. Ditinjau dari sudut yuridis, maka kita tidak boleh lepas dari hukum yang berlaku dinegara kita baik hukum yang tertulis seperti KUHP maupun hukum tidak tertulis. Bila kita lihat KUHP, disana kita dapat melihat bahwa tindak pidana dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu kejahatan yang terletak pada buku II dan pelanggaran pada buku III. Lalu bagaimana halnya dengan istilah kenakalan itu kita samakan dengan kejahatan ataukah sama dengan pelanggaran. Istilah kenakalan dapat kita lihat atau temukan dalam KUHP Bab I pasal 489 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Kenakalan terhadap orang atau barang, yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan denda paling banyak lima belas rupiah”. K.U.H.P, Terjemahan Prof. Moeljatno, Cetakan ke XIII, 1988. Secara yuridis formal kita tidak dapat mengatakannya demikian sebab perbuatan seseorang dikatakan jahat apabila dinyatakan oleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Inilah yang oleh Ny. Singgih D. Gunarso dan Singgih D. Gunarso disebut sebagai : “Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum bilamana dilakukan oleh orang dewasa”. Y. Singgih D Gunarsa & Singgih D Gunarsa, Psykologi Remaja, Cetakan XI, BPK Gunung Mulia Kwintang, Jakarta, 1990, hlm. 19. Peran Pilar Sistem Pengadilan Anak Kepolisian sebagai pintu gerbang dari sistem Pengadilan dan pihak berwenang yang pertama kali menentukan posisi seseorang yang berhadapan dengan hukum, menyisakan banyak tempat dalam ingatan anak. Untuk kepentingan penyelidikan, Polisi melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, perampasan barang dan lain-lain tindakan sesuai dengan KUHAP. Proses penyelidikan kasus kejahatan dapat diumpamakan sebagai serangkaian pintu masuk tindakan evaluasi dan penilaian tertentu harus dibuat sebelum memasuki pintu berikut. Dalam melakukan penyidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan dan meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. Proses penyidikan terhadap perkara anak nakal wajib dirahasiakan seperti diatur dalam Pasal 42 (3) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Penuntut Umum Anak diangkat berdasarkan surat keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Untuk dapat diangkat sebagai Penuntut Umum Anak diatur didalam Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengaadilan Anak, yang memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut: (1) telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; dan (2) mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Menurut Pasal 9 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pemeriksaan sidang anak nakal dilakukan oleh hakim khusus, yaitu Hakim Anak. Pengangkatan Hakim Anak ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan surat keputusan, dengan mempertimbangkan usul Ketua Pengadilan Tinggi tempat hakim bersangkutan bertugas melalui Ketua Pengadilan Tinggi pengangkatan hakim anak oleh Ketua Mahkamah Agung bukan oleh Menteri Kehakiman, karena hal tersebut menyangkut teknik yuridis pengadilan dan merupakan pengangkatan hakim khusus (spesialis). Pengertian Narkotika Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan ke dalam tubuh. Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 33 Istilah narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah “narcotics” pada farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug”, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai. Pada mulanya zat narkotika ditemukan orang yang penggunaannya ditujukan untuk kepentingan umat manusia, khususnya di bidang pengobatan. Dengan berkembang pesat industri obat-obatan dewasa ini, maka kategori jenis zat-zat narkotika semakin meluas pula seperti halnya yang tertera dalam lampiran Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009. Zat-zat narkotika yang semula ditujukan untuk kepentingan pengobatan, namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya perkembangan teknologi obat-obatan maka jenis-jenis narkotika dapat diolah sedemikian banyak seperti yang terdapat pada saat ini, serta dapat pula disalahgunakan fungsinya yang bukan lagi untuk kepentingan di bidang pengobatan, bahkan sudah mengancam kelangsungan eksistensi generasi suatu bangsa. Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana Tanpa Hak Memiliki, Menyimpan Narkotika Golongan I Bukan Tanaman Berdasarkan RPJMN Tahun 2010-2014, kebijakan peningkatan perlindungan anak diarahkan pada (a) peningkatan akses terhadap pelayanan yang berkualitas, peningkatan partisipasi anak dalam pembangunan dan upaya menciptakan lingkungan yang ramah anak dalam rangka mendukung tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak; (b) peningkatan perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi; dan (c) peningkatan efektivitas kelembagaan perlindungan anak. Dalam rangka mencapai arah kebijakan tersebut, perlindungan anak dilaksanakan melalui tiga fokus prioritas. Peningkatan kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak, antara lain melalui: Peningkatan aksesibilitas dan kualitas program pengembangan anak usia dini; Peningkatan kualitas kesehatan anak; dan Peningkatan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja. Perlindungan anak dari segala bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi, antara lain melalui: Peningkatan rehabilitasi dan perlindungan sosial anak; Peningkatan perlindungan bagi pekerja anak; Penghapusan pekerja terburuk anak; dan Peningkatan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak, antara lain melalui: Penyusunan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait perlindungan anak; Peningkatan kapasitas pelaksana perlindungan anak; Peningkatan penyediaan data dan informasi perlindungan anak; dan Peningkatan koordinasi dan kemitraan antar pemangku kepentingan terkait pemenuhan hak-hak anak, baik lokal, nasional maupun internasional. Dalam rangka melaksanakan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum maka kebijakaannya diarahkan kepada penyelesaian perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif yang dilakukan oleh berbagai instansi.lembaga terkait, bagi penegak hukum, pemerintah, pemerintah provinsi, kabupaten/kota, maupun organisasi/lembaga/badan sosial kemasyarakatan, pengacara, dan lembaga kemasyarakatan lainnya dengan jejaring secara sistematis, komprehensif, berkesinambungan dan terpadu. Setelah memeriksa rencana tersebut di atas, maka fasilitator mulai melakukan perundingan dengan melibatkan keluarga pelaku, keliarga korban (untuk musyawarah keluarga). Untuk musyawarah masyarakat perlu juga melibatkan tokoh masyarakat/tokoh agama. Keputusan hasil musyawarah harus mendapatkan persetujuan korban dan keluarganya, serta persetujuan anak sebagai pelaku dan keluarganya. Hasil kesepakatan keadilan restoratif dapat berupa: Perdamiaan dengan atau tanpa ganti kerugian; penyerahan kembali kepada orang tua/wali; keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan ke lembaga pendidikan, lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial atau lembaga kesejahteraan sosial; atau pelayanan masyarakat. Setelah memeriksa rencana tersebut di atas, maka fasilitator mulai melakukan perundingan dengan melibatkan keluarga pelaku, keliarga korban (untuk musyawarah keluarga). Untuk musyawarah masyarakat perlu juga melibatkan tokoh masyarakat/tokoh agama. Keputusan hasil musyawarah harus mendapatkan persetujuan korban dan keluarganya, serta persetujuan anak sebagai pelaku dan keluarganya. Register perkara anak dengan penyelesaian pendekatan keadilan restoratif pada kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan dibuat secara khusus. Pengawasan atas proses penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab pada setiap tingkat pemeriksaan. Selama proses keadilan restoratif berlangsung dan setelah keadilan restoratif dilaksanakan, pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan pembimbingan dan pengawasan. Dalam hal kesepakatan keadilan restoratif tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan dalam kesepakatan, pembimbing kemasyarakatan segera melaporkan kepada pejabat yang bertanggung jawab. Pejabat yang bertanggung jawab tersebut wajib menindaklanjuti laporan. Anak yang keberadaan orang tua/walinya tidak diketahui, maka pengasuhannya menjadi tanggung jawab kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidangsosial dan dinas/instansi sosial. Pengasuhan tersebut dilaksanakan di lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang direkomendasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial dan dinas/instansi sosial. Perkembangan yang salah pada masa anak-anak menyebabkan penyimpangan tingkah laku kemudian anak melakukan perbuatan yang menyebabkan anak berhadapan dengan hukum. Proses Pengadilan sebagai suatu keadaan yang menakutkan dan menebabkan tekanan bagi anak, baik sebagai tersangka, korban ataupun sebagai saksi. Efek dari keadaan tersebut adalah kegelisahan, ketegangan, kegugupan, kehilangan kontrol emosional, menangis, gemetaran, malu, depresi, gangguan kemampuan untuk berfikir, termasuk ingatan, dan gangguan kemampuan berkomunikasi untuk memberi keterangan atau kesaksian dengan jelas. Berdasarkan data yang diperoleh di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IIA Samarinda, data anak pria dan wanita yang ada di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Samarinda sebagai berikut: Tabel 3.1. Data Anak Pria dan Wanita pada Rutan Kelas IIA Samarinda Tahun 2010-2012 No Tahun Jumlah Ket 1 2010 59 orang 2 2011 105 orang 3 2012 53 orang Jumlah 217 orang Sumber: Rutan Kelas IIA Samarinda, tahun 2012 Berdasarkan data di atas, anak yang ditahan di Rutan Kelas IIA Samarinda berusia di bawah 18 tahun. Adapun pidana yang dijatuhkan kepada anak tersebut sangat bervariasi dan penjatuhan pidana tersebut disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut, yaitu dari yang paling sedikit di pidana 1 bulan 21 hari dan yang paling lama 5 tahun 6 bulan. Sedangkan tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut juga sangat bervariasi, antara lain pencurian, membawa senjata tajam, pengeroyokan, pemerasan, narkotika, penganiayaan, psikotropika, kesusilaan, lakalantas, penadahan, dan pembunuhan. Kendala-Kendala yang Dihadapi Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana Tanpa Hak Memiliki, Menyimpan Narkotika Golongan I Bukan Tanaman Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Samarinda, diperoleh data bahwa terdapat kendala-kendala dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana tanpa hak memiliki, menyimpan narkotika golongan I bukan tanaman. Adapun kendala-kendala tersebut antara lain: Tidak adanya sistem dan kelembagaan administrasi pengadilan anak yang terpisah, dan ketiadaan lembaga pengadilan khusus anak dan alternatifnya. Tidak adanya rumah tahanan khusus anak dan sangat terbatasnya jumlah Lembaga Permasyarakatan Anak (bukan berarti menambah jumlah LP Anak adalah solusinya). Tidak dipisahkannya penempatan anak sipil dengan Anak yang dituduh/didakwa/terbukti melanggar hukum pidana. Kelemahan praktek penanganan anak tanpa didampingi oleh penasihat hukum di kepolisian, mulai dari penangkapan, pemeriksaan, dan penahanan. Sangat jarangnya dilakukan diskresi terhadap kasus anak. Kelemahan praktek penanganan di kejaksaan dan pengadilan. Kelemahan praktek penanganan di Lembaga Permasyarakatan. Kelemahan posisi petugas Bappas dalam sistem pengadilan anak secara keseluruhan. Tidak berfungsinya prosedur complaint sehingga kasus-kasus penanganan yang abusive tidak dapat ditangani secara efektif. Masih ditemukannya liputan dikalangan insane pers (mass media, media elektronik) yang berlebihan dalam pemberitaan tanpa memperhatikan kepentingan anak. Dari rumusan kesulitan maupun hambatan implementasi konvensi hak anak terhadap anak yang berhadapan dengan hukum penulis berpendapat sebagai berikut: Tidaklah memprihatinkan bahwa apa yang dirumuskan sebagai hambatan dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dan sistem pengadilan anak sebagaimana disusun dalam Laporan Periodik I pada tahun 2000, masih juga menjadi hambatan sampai hari ini. Atau apa yang menjadi perhatian dari hasil pengamatan Komite Hak-Hak Anak untuk Indonesia pada tahun 1994, sampai saat ini belum mendapat perbaikan yang berarti? Ini adalah peringatan untuk semua pitar sistem pengadilan anak, dan sekaranglah waktunya untuk melakukan perbaikan. Ketika Konvensi Hak Anak membicarakan soal hak-hak anak, KHA juga berbicara soal kewajiban Negara. Anak-anak kita membutuhkan kita untuk melindungi hak-hak mereka. Mereka membutuhkan kita untuk menyadari hak-hak tersebut. Ini adalah tugas kita semua untuk anak-anak kita. Untuk menangani perkara pidana anak, Undang-undang Pengadilan Anak menghendaki petugas Hukum yang khusus. Berkenaan dengan hal tersebut kemudian dikenal adanya penyidik anak, penuntut umum anak, dan hakim anak. Petugas-petugas hukum tersebut yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menangani perkara pidana anak sesuai dengan tingkat pemeriksaan masing-masing. Mereka ditunjuk oleh instansinya masing-masing sebagai petugas hukum yang khusus untuk perkara pidana anak. Anak yang diduga melakukan tindak pidana, tidak tertutup kemungkinannya untuk ditahan di dalam Rumah Tahanan Negara, tahanan Rumah atau Tahanan kota. Undang-Undang Pengadilan Anak tidak melarang petugas untuk menahan seorang anak ketika dilakukan pemeriksaan perkaranya. Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan kepentingan masyarakat. Undang-undang Pengadilan Anak pada prinsipnya sama dengan KUHAP, bahwa tersangka atau terdakwa dapat dilakukan penahanan. Karena istilah “dapat” ditahan, maka penahanan terhadap seorang anak dalam perkara pidana tidak selalu harus dilakukan. Hal ini tergantung kepada petugas pemeriksa, apabila setelah berhadapan dengan anak yang terlibat tindak pidana, petugas merasa tidak khawatir bahwa anak tersebut akan melarikan diri dan tidak akan mempersulit jalannya pemeriksaan, maka anak tersebut tidak perlu ditahan. Ia harus patuh untuk setiap diperlukan wajib datang dan memperlancar pemeriksaan. Apabila seorang anak ditahan, maka petugas yang melakukan penahanan harus memberikan tembusan surat Perintah penahanan kepada keluarganya (Pasal 21 ayat (3) KUHAP). Hal ini dimaksudkan agar keluarga si anak mengetahui secara pasti keberadaan anaknya di dalam tahanan. Tempat penahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa (Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997). Berdasarkan ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ditentukan bahwa Anak Didik Pemasyarakatan yang terdiri dari anak pidana, anak negara dan anak sipil ditempatkan di Lembaga Permasyarakatan Anak yang harus terpisah dari orang dewasa. Adapun pengertian dari Anak Didik Pemasyarakatan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan. Pengertian dari Anak Didik Pemasyarakatan adalah: Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 tahun. Anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 tahun. Anak Sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 tahun. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kesimpulan Dalam rangka melaksanakan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum maka kebijakaannya diarahkan kepada penyelesaian perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif yang dilakukan oleh berbagai instansi.lembaga terkait, bagi penegak hukum, pemerintah, pemerintah provinsi, kabupaten/kota, maupun organisasi/lembaga/badan sosial kemasyarakatan, pengacara, dan lembaga kemasyarakatan lainnya dengan jejaring secara sistematis, komprehensif, berkesinambungan dan terpadu. Berdasarkan RPJMN Tahun 2010-2014, kebijakan peningkatan perlindungan anak diarahkan pada peningkatan akses terhadap pelayanan yang berkualitas, peningkatan partisipasi anak dalam pembangunan dan upaya menciptakan lingkungan yang ramah anak dalam rangka mendukung tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak; peningkatan perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi; dan peningkatan efektivitas kelembagaan perlindungan anak. Kendala-kendala dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana tanpa hak memiliki, menyimpan narkotika golongan I bukan tanaman antara lain: Tidak adanya sistem dan kelembagaan administrasi pengadilan anak yang terpisah, dan ketiadaan lembaga pengadilan khusus anak dan alternatifnya. Tidak adanya rumah tahanan khusus anak dan sangat terbatasnya jumlah Lembaga Permasyarakatan Anak (bukan berarti menambah jumlah LP Anak adalah solusinya). Tidak dipisahkannya penempatan anak sipil dengan Anak yang dituduh/didakwa/terbukti melanggar hukum pidana. Kelemahan praktek penanganan anak tanpa didampingi oleh penasihat hukum di kepolisian, mulai dari penangkapan, pemeriksaan, dan penahanan. Sangat jarangnya dilakukan diskresi terhadap kasus anak. Kelemahan praktek penanganan di kejaksaan dan pengadilan. Kelemahan praktek penanganan di Lembaga Permasyarakatan. Kelemahan posisi petugas Bappas dalam sistem pengadilan anak secara keseluruhan. Tidak berfungsinya prosedur complaint sehingga kasus-kasus penanganan yang abusive tidak dapat ditangani secara efektif. Masih ditemukannya liputan dikalangan insane pers (mass media, media elektronik) yang berlebihan dalam pemberitaan tanpa memperhatikan kepentingan anak DAFTAR PUSTAKA Anonim, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Azhary, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1995 Azhary, Tahir, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992 Budiarjo, Miriam, Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1987 D., Soedjono, Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara, Bandung, 1976 Darajat, Zakiah, Problema Remaja di Indonesia, Cetakan Kedua, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1975 Gunarsa, Y. Singgih D. & Singgih D Gunarsa, Psykologi Remaja, Cetakan XI, BPK Gunung Mulia Kwintang, Jakarta, 1990 Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1982 Prakoso, Djoko, et.al.., Kejahatan-Kejahatan Yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Bina Aksara, Jakarta, t.t. Sasangka, Hari, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003 Simandjuntak, B., Latar Belakang Kenakalan Remaja (Etiplogi juvenile delinquency), Alumni, Bandung, 1979 Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1980 Woodhouse, Stephen J., Konvensi Hak Anak. UNICEF 2 2