Academia.eduAcademia.edu

TRADISI SLAMETAN PADA MASYARAKAT JAWA MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

2023

Tulisan ini membahas tentang perjalanan dan signifikansi tradisi slametan dalam masyarakat Jawa dan mengaitkannya dengan evolusi agama serta kebudayaan Islam di Indonesia. Dimulai dengan penjelasan mengenai evolusi agama Islam dan pengaruhnya terhadap budaya lokal, membahas siklus, pola, makna, serta berbagai macam variasi slametan dalam masyarakat Jawa. Disertai dengan penafsiran Islam terhadap tradisi ini serta dorongan masyarakat Jawa dalam mempertahankannya. Tulisan ini mencoba untuk menggali aspek sosial, budaya, dan keagamaan dari tradisi slametan masyarakat Jawa. Dengan menyoroti aspek kebersamaan, penjagaan warisan adat, doa, dan antusiasme. Tulisan ini juga memberikan wawasan tentang pentingnya tradisi slametan bagi masyarakat Jawa serta relevansinya dengan nilai-nilai Islam.

TRADISI SLAMETAN PADA MASYARAKAT JAWA MENURUT PERSPEKTIF ISLAM Muhammad Muktasimbillah Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang e-Mail: [email protected] Abstrak Tulisan ini membahas tentang perjalanan dan signifikansi tradisi slametan dalam masyarakat Jawa dan mengaitkannya dengan evolusi agama serta kebudayaan Islam di Indonesia. Dimulai dengan penjelasan mengenai evolusi agama Islam dan pengaruhnya terhadap budaya lokal, membahas siklus, pola, makna, serta berbagai macam variasi slametan dalam masyarakat Jawa. Disertai dengan penafsiran Islam terhadap tradisi ini serta dorongan masyarakat Jawa dalam mempertahankannya. Tulisan ini mencoba untuk menggali aspek sosial, budaya, dan keagamaan dari tradisi slametan masyarakat Jawa. Dengan menyoroti aspek kebersamaan, penjagaan warisan adat, doa, dan antusiasme. Tulisan ini juga memberikan wawasan tentang pentingnya tradisi slametan bagi masyarakat Jawa serta relevansinya dengan nilai-nilai Islam. Kata Kunci: Slametan; Jawa; Islam; Budaya; Siklus; Abstract This article delves into the journey and significance of the slametan tradition within Javanese society, tracing its continuity alongside the evolution of religion and Islamic culture in Indonesia. It begins by explaining the evolution of the Islamic religion and its impact on local culture. The article then explores the cycles, patterns, meanings, and various variations of slametan observed in Javanese society. It also includes the Islamic interpretation of this tradition and highlights the encouragement for the Javanese people to uphold it. By examining the social, cultural, and religious facets of the Javanese slametan tradition, this article sheds light on aspects such as togetherness, heritage preservation, prayer, and enthusiasm. Moreover, it provides insights into the tradition's importance for Javanese society and its alignment with Islamic values. Keywords: Slametan; Java; Islam; Culture; Cycle. A. Pendahuluan Perkembangan Islam di Indonesia telah membawa perubahan yang signifikan dalam masyarakat. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Indonesia memeluk beragam kepercayaan, termasuk animisme, dinamisme, dan kepercayaan Hindu-Budha yang memberikan dampak besar pada budaya dan kehidupan mereka. Kedatangan Islam membawa akidah 1 Islamiyah dan syari’ah yang memengaruhi pola pikir, perilaku, dan tatanan sosial masyarakat. Proses ini membuka ruang bagi pemeluk agama baru tersebut untuk memunculkan kreativitas (cipta), perasaan (rasa), dan kemampuan berpikir (karsa) yang mengarah pada perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam proses evolusi ini, elemen-elemen budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam secara perlahan tergeser dan menghilang dengan sendirinya. Sementara itu, aspek-aspek budaya yang sejalan dengan nilai-nilai kepatuhan, moralitas, dan kesopanan tetap hidup dan berkembang di dalamnya. Hal ini telah menciptakan suatu hal yang harmoni di mana unsur-unsur budaya yang baik dapat berdampingan dan berintegrasi dengan ajaran Islam serta ke khasan budaya lokal tetap terlihat. Pentingnya evolusi ini terletak pada kesadaran masyarakat untuk menyaring nilai-nilai budaya yang sesuai dengan ajaran agama baru yang dianutnya. Penyaringan ini memungkinkan budaya lokal yang sejalan dengan nilai-nilai Islam untuk tetap hidup dan terus berkembang, sementara unsur-unsur yang bertentangan perlahan terkikis dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Perkembangan Islam dari Jazirah Arab ke seluruh dunia telah membawa tantangan dalam menjaga keseimbangan antara ajaran agama dan budaya lokal di berbagai wilayah. Disaat Islam menyebar ke berbagai wilayah, ajaran dan ritual keagamaan yang semula sangat kental dengan budaya Arab menjadi terbuka terhadap pengaruh budaya setempat di masing-masing daerah. Pakaian, ritual, dan kebiasaan yang berkaitan erat dengan budaya Arab, semakin lama mengalami adaptasi dan akulturasi dengan budaya lokal masyarakat setempat. Hal ini membuka jalan bagi berbagai penafsiran lokal dan praktik keagamaan yang menggabungkan nilai-nilai Islam dengan kebudayaan setempat. Proses ini telah membentuk variasi dalam praktik 2 keagamaan, kebiasaan, bahasa, seni, dan aspek-aspek lain dari kehidupan yang berbeda-beda di berbagai wilayah di mana Islam berkembang. Adapun pakaian yang dipakai umat Muslim, meskipun awalnya mengadopsi pakaian khas Arab yang dipakai pada zaman Nabi Muhammad, saat ini telah mengalami transformasi sesuai dengan tuntutan budaya, iklim, dan kebiasaan setempat di berbagai belahan dunia. Dalam proses penyebarannya, Islam telah menyesuaikan diri dengan berbagai budaya tempat ia berkembang, memungkinkan adanya keragaman yang kaya dalam praktik keagamaan dan budaya pada masyarakat Muslim di seluruh dunia. Hal ini menunjukkan fleksibilitas Islam dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan budaya baru, namun tetap mempertahankan inti dari ajaran dan nilai-nilai islam. Tulisan ini akan mengkaji tentang tiga hal. Pertama, bagaimana siklus slametan pada masyarakat Jawa? Kedua, bagaimana pandangan islam mengenai tradisi slametan pada masyarakat Jawa? Ketiga, apa yang mendorong masyarakat Jawa untuk tetap melestarikan tradisi slametan hingga saat ini? B. Siklus Slametan pada Masyarakat Jawa Slametan (terkadang juga disebut dengan istilah kenduren) berasal dari bahasa Arab yaitu “salamah” yang memiliki arti selamat, bahagia, sentausa. Selamat juga dapat diartikan sebagai keadaan selamat atau telah terhindar dari ancaman-ancaman yang tidak dikehendaki.1 Dalam masyarakat Jawa slametan merupakan upacara keagamaan yang paling umum dilakukan, karena slametan merupakan wadah kebersamaan masyarakat untuk berkumpul dan mempererat tali persaudaraan diantara Ryko Adiansyah, “Persimpangan Antara Agama dan Budaya (Proses Akulturasi Slametan dalam Budaya Jawa)”, Jurnal Intelektualita, Vol. 6 No. 2 (2017), hlm. 304. 1 3 mereka. Di dalamnya terdapat kesatuan mistis dan sosial yang menyatu. Dalam tradisi slametan para sanak saudara, tetangga, teman, bahkan arwah setempat juga ikut duduk melingkar dengan rapi. Slametan biasanya diadakan untuk memperingati sesuatu seperti kelahiran, sunatan, perkawinan, kematian, menempati tempat baru, pembangunan, dan masih banyak lagi. Sebagian peringatan tersebut ada yang dilaksanakan secara meriah dan penuh kebahagiaan, ada juga yang penuh haru. Dalam peringatan tersebut juga terdapat hidangan yang berbedabeda tergantung pada peristiwa apa yang diperingatinya. Serangkaian acara dalam slametan juga berbeda-beda tergantung pada peristiwanya, namun biasanya hal yang pasti ada dalam slametan yaitu pembacaan doa-doa islam yang dipimpin oleh tokoh agama setempat serta sambutan dari tuan rumah yang disampaikan dengan bahasa jawa tinggi. Selalu terlihat tata krama yang sopan dan sikap malu-malu, yang paling berkesan meskipun upacara slametan dilakukan dengan ringkas namun di dalamnya terdapat makna penting tersendiri.2 1. Pola Slametan Biasanya slametan dilaksanakan pada malam hari setelah matahari terbenam atau setelah jamaah salat maghrib selesai. Pada siang hari para wanita bertugas untuk menyiapkan segala hidangan yang nantinya akan disuguhkan pada saat upacara berlangsung. Biasanya pada slametan kecil-kecilan hanya anggota keluarga saja yang ikut serta mempersiapkannya, namun dalam slametan yang lebih besar beberapa sanak keluarga akan dimintai tolong untuk membantunya. Upacara slametan hanya diikuti oleh kaum laki-laki, sementara para wanita berada di mburi (belakang) sembari menyiapkan hidangan. 2 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), hlm. 14. 4 Orang-orang yang diundang dalam upacara tersebut merupakan para tetangga dekat disekeliling rumah dimana slametan tersebut berlangsung, undangan tersebut bersifat territorial: keluarga atau bukan, teman atau bukan, semua yang tinggal di sekelilingnya wajib menghadiri slametan tersebut. Biasanya undangan disampaikan oleh utusan tuan rumah (seringkali anaknya sendiri) melalui lisan maupun undangan cetak. Dalam undangan yang disampaikan secara lisan penyampaiannya dilakukan sepuluh menit sebelum slametan dimulai, serta orang-orang yang diundang harus segera meninggalkan kegiatan apapun yang sedang dilakukannya untuk menghadiri undangan tersebut. Begitu tiba di rumah pelaksana, para tamu langsung duduk melingkar di atas tikar yang telah disediakan oleh tuan rumah, mereka duduk dengan posisi silah (dua kaki dilipat bersilangan ke dalam) dan melingkar lebar mengelilingi hidangan yang telah disiapkan, serta tidak ada aturan khusus dalam posisi tempat duduk. Ketika lingkaran sudah terisi penuh maka slametan pun segera dimulai. Slametan dibuka oleh sambutan tuan rumah atau orang yang mewakilinya dengan menggunakan bahasa krama jawa. Setelah tuan rumah selesai mengutarakan sambutannya maka selanjutnya ia meminta kepada salah seorang (biasanya tokoh agama setempat) yang hadir untuk memimpin doa dalam bahasa Arab. Ketika pemimpin doa membaca doanya para tamu yang lain duduk sembari menengadahkan tangan mereka dan mengucapkan kata “amin”, lalu ketika selesai mereka mengusapkan tangan ke wajah dan ditutup dengan bacaan al-Fatihah bersama. Setelah itu para tamu dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan, hidangannya biasanya berupa nasi, dan berbagai 5 macam lauk pauk, serta dilengkapi dengan segelas teh sebagai minumannya. 2. Makna Slametan Pada masyarakat Jawa slametan diyakini sebagai sarana spiritual untuk mengatasi segala bentuk kekacauan yang melanda dan dapat mendatangkan keberkahan bagi mereka yang melaksanakannya. Slametan ini juga merupakan sarana untuk mengagungkan Allah SWT. serta mendoakan para leluhur yang telah wafat. (Kamajaya, 1995: 247). Menurut masyarakat Jawa slametan ini dilakukan karena untuk menumbuhkan kerukunan antar sesama dan mempererat tali silaturahmi diantara mereka, selain itu slametan juga dapat menghindarkan kita dari roh-roh jahat yang akan mengganggu kehidupan kita hal inilah yang disebut slamet dalam bahasa jawa yang artinya “tidak ada apa-apa” atau “tidak terkena apa-apa”.3 3. Macam-macam Slametan dalam Masyarakat Jawa Dalam masyarakat jawa terdapat berbagai macam jenis slamatan yang disesuaikan dengan fungsinya. Hampir semua tradisi jawa disertai dengan slametan, dari mulai peristiwa senang hingga peristiwa sedih semuanya disertai dengan slametan. Hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan ketenangan batin dan keselamatan dalam berbagai situasi dan kondisi. Hal ini juga mengingatkan kita untuk tidak berlebihan dalam merasakan sesuatu baik senang maupun sedih, semuanya harus seimbang agar selaras dalam menjalani kehidupan.4 Menurut Geertz (2014: 31) berdasarkan makna dan perhitungan harinya macam-macam slametan dibagi menjadi empat yaitu: 3 Ibid, hlm. 18. Debi Setiawati, “Slametan dalam Spiritualisme Orang Jawa Pada Masa Lalu Sampai Sekarang”, Jurnal Pendidikan Sejarah dan Sosiologi, Vol. 1 No. 1 (2019), hlm. 78. 4 6 a. Slametan yang berhubungan dengan siklus kehidupan Dalam kepercayaan Jawa setiap siklus kehidupan mengalami perkembangan dan pertumbuhan baik fisik maupun psikis, serta dipercayai akan terus menghadapi tantangan, sehingga perlu diadakannya slametan agar dapat terhindar dari gangguan makhluk halus dan selamat dalam menghadapi segala rintangan yang ada. Siklus kehidupan tersebut dimulai dari masa di dalam kandungan, kelahiran, perkawinan, hingga kematian. Pelaksanaan slametan yang berkaitan dengan siklus kehidupan ditentukan berdasarkan petungan (perhitungan hari), perhitungan hari tersebut harus dilakukan dengan teliti karena memiliki pengaruh dalam kehidupan seseorang. Lalu, untuk slametan kematian dan kelahiran pelaksanaannya tidak didasarkan pada petungan, karena kejadian tersebut merupakan kehendak Tuhan YME. Tata cara pelaksanaan slamatan juga berbeda-beda di setiap daerah, namun pemaknaan dan tujuannya tetap sama. Berikut slamatan yang berhubungan dengan siklus kehidupan: 1.) Kehamilan Pada masa kehamilan terdapat tiga slametan yang perlu dilakukan yaitu neloni yang dilakukan ketika kandungan berusia tiga bulan, mitoni dan siraman yang dilakukan ketika kandungan berusia tujuh bulan, serta procotan yang dilakukan ketika kandungan berusia sembilan bulan. Slametan pada masa kehamilan ini dilakukan dengan maksud agar janin dan ibunya dapat selamat dari bahaya dan gangguan dari makhluk halus serta agar dimudahkan dalam proses persalinan (Sutyono, 2013: 4). 2.) Kelahiran 7 Pada saat bayi baru lahir dapat diadakan slametan brokohan dengan maksud sebagai tanda rasa syukur kepada Allah SWT. yang telah memberikan kelancaran dalam proses persalinan. Dalam upacara brokohan selain slametan juga diadakan penanaman ari-ari yang dilakukan oleh dukun bayi, namun seiring berjalannya waktu dukun bayi sudah jarang ditemukan sehingga penanaman dan pembersihan ari-ari bayi dilakukan oleh ayahnya. Selanjutnya pada saaat tali pusar bayi telah mengering dan lepas, dapat dilakukan slametan puputan atau bubaran. Slametan ini merupakan bentuk dari rasa syukur kepada Allah SWT. yang telah memberikan kesehatan dan keselamatan kepada bayi. Dalam pelaksanaannya dibeberapa wilayah slametan puputan digabung dengan pemberian nama bayi, dan pada malam harinya diadakan lek-lekan atau menjaga bayi sampai waktu subuh. Hal ini biasanya dilakukan oleh para laki-laki dan dimaksudkan untuk menjaga bayi agar tidak diganggu oleh makhluk halus, diberi keselamatan, kesehatan serta umur yang panjang. 3.) Khitanan Khitanan atau sunatan ini dilakukan untuk anak laki-laki dengan maksud untuk memberikan tanda bahwa anak telah memasuki akil balik atau masa remaja. Biasanya dilakukan pada anak berusia 1015 tahun. Sebelum anak dikhitan atau disunat biasanya dilakukan slametan terlebih dahulu pada sore hari atau sebelum dilaksanakan khitan.5 4.) Pernikahan 5 Ibid, hlm. 82. 8 Dalam masyarakat Jawa upacara pernikahan merupakan tradisi upacara yang prosesnya paling panjang dan memerlukan banyak sesaji yang harus disiapkan. Sebelum pernikahan dilaksanakan biasanya dilakukan slametan terlebih dahulu dengan maksud agar upacara pernikahan dapat berjalan dengan lancar dan terhindar dari gangguan makhluk halus. Selain itu slametan ini juga bermaksud untuk mendoakan kepada calon pengantin agar diberi kelanggengan dan mempunyai ketenangan batin dalam menjalani kehidupan rumah tangga. 5.) Kematian Slametan dalam upacara kematian dilakukan untuk memperingati hari kematian seseorang dan untuk mendoakan arwahnya agar diberi ketenangan di alam kubur. Ada berbagai macam peringatan diantaranya yaitu mitung dino atau peringatan ketujuh hari meninggal, matang puluh dino atau peringatan hari keempat puluh meninggal, nyatus atau peringatan hari keseratus meninggal, mendak pisan atau peringatan satu tahun meninggal, mendak pindo atau peringatan dua tahun meninggal. b. Slametan yang berhubungan dengan hari besar Islam Pada slametan yang berkaitan dengan hari besar islam tidak ada ubarampe atau sesaji khusus yang harus disediakan, melainkan hanya makanan berupa nasi dan lauk pauk yang disediakan dengan maksud untuk bersedekah. Slametan yang berhubungan dengan hari besar islam diantaranya yaitu: 1.) Peringatan 10 Muharram Slametan ini dilaksanakan pada malam ke-10 bulan Muharram atau akrab disebut dengan tradisi suronan. Tujuan diadakannya 9 slametan ini yaitu untuk memperingati peristiwa yang dialami oleh para Nabi dan Rasul.6 2.) Muludan Slametan ini dilaksanakan pada malam ke-12 bulan Rabi’ul Awal. Tujuan slametan ini yaitu untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. biasanya slametan ini diisi dengan kegiatan pembacaan shalawat nabi yang dilantunkan bersama-sama dengan iringan rebana. 3.) Peringatan nisfu Sya’ban Slametan ini dilaksanakan pada malam ke-15 bulan Sya’ban. Tujuan diadakannya slametan ini yaitu untuk memperingati hari dimana semua catatan perbuatan manusia diserahkan kepada Tuhan dan diganti dengan lembaran baru. Selain itu juga terdapat bentuk pengharapan agar semua manusia mempunyai catatan amal perbuatan yang baik. 4.) Peringatan malam Lailatul Qodar Slametan ini dilaksanakan pada malam ke-21 bulan Ramadhan, tujuannya yaitu untuk mendapatkan keberkahan dari malam Lailatul Qodar. Karena malam tersebut merupakan malam yang sangat istimewa bagi umat muslim. Jika kita melakukan amalanamalan yang dianjurkan pada mala mini, maka kita akan mendapatkan keberkahan dan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.7 Ahmad Qodim Suseno, “Peristiwa Pada 10 Muharram”, diakses pada 9 Desember 2023 melalui: https://unissula.ac.id/peristiwa-pada-10muharram/#:~:text=Dan%20pada%20hari%20Jumat%20ini,dengan%20berpuasa%20dan%20aneka%20kebaikan. 7 Azki, “Mengenal Lailatul Qodar dan Amalan-amalannya” diakses pada 9 Desember 2023 melalui: https://baznas.jogjakota.go.id/detail/index/27016#:~:text=Malam%20Lailatul%20Qadar%20adalah%20malam,berba gai%20keberkahan%20dari%20Allah%20SWT. 6 10 c. Slametan yang berkaitan dengan tradisi Contoh dari slametan yang berkaitan dengan tradisi ini diantaranya yaitu merti desa, rasulan dan nyadran. Slametan merti desa atau rasulan biasanya diadakan sebagai bentuk syukur atas hasil bumi yang baik dan melimpah dalam kurun waktu satu tahun, selain itu masyarakat juga berharap agar diberi keberhasilan dalam menanam di tahun depan. Kemudian untuk tradisi nyadran biasanya dilakukan pada tanggal 25 Sya’ban, pada slametan nyadran diisi dengan pembacaan tahlil secara bersama-sama dan berdoa untuk para leluhur agar diampuni segala dosanya serta diterima amal ibadahnya.8 C. Tradisi Slametan Masyarakat Jawa Menurut Pandangan Islam Dalam tradisi slametan terdapat salah satu unsur yang tidak dapat dihilangkan yaitu penyembahan, penghormatan, penghambaan kepada sang khaliq yaitu Allah SWT. dengan memberikan hidangan kepada sesama atau lebih akrab disebut dengan sedekah. Tradisi slametan sudah melekat kuat di dalam jiwa masyarakat Jawa, sehingga tidak dapat dihapuskan dari kehidupan mereka. Hampir setiap siklus hidup masyarakat Jawa selalu disertai dengan tradisi slametan. Lagipula Islam masuk ke tanah Jawa juga tidak menggunakan cara yang merusak kebudayaan Jawa yang telah ada lebih dulu, namun Islam mencoba untuk tetap mempertahankan kebudayaan Jawa dengan mengakulturasikan antara budaya Jawa dengan ajaran Islam. Sehingga keduanya dapat berjalan dengan seimbang dan selaras. Akulturasi antara budaya Jawa dan ajaran Islam yang berbentuk tradisi yaitu salah satunya adalah slametan yang merupakan salah satu ciri khas Na’afi Annisa dan Amika Wardana, “Tradisi Slametan pada Masyarakat Jlatren, Jogotirto Berbah, Sleman, Yogyakarta”, Vol.8 No.1 (2019), hlm. 8. 8 11 Islam Jawa. Geertz berpendapat dalam penelitiannya bahwa ritual slametan biasanya dilakukan oleh masyarakat abangan, serta menurutnya slametan merupakan ritual yang sederhana, formal, dilakukan jauh dari keramaian, dan menjangkau seluruh sistem masyarakat Jawa. Berbeda dengan pendapat Marx Woodward yang membagi slametan menjadi tiga bagian. Pertama, slametan merupakan hasil dari penafsiran dari teks-teks Islam yang dimengerti dan disepakati oleh umat muslim. Kedua, slametan bukan ritual yang berasal dari pedesaan melainkan ritual kerajaan. Ketiga, slametan berasal dari tradisi Hinduisme sebelum Islam masuk ke Indonesia.9 Pada penelitian Geertz lebih menekankan bahwa tradisi slametan hanya dilakukan oleh masyarakat abangan. Namun menurut Andrew Beatty tradisi slametan tidak hanya dilakukan oleh kaum abangan saja, melainkan kaum santri juga memiliki kaitan erat dengan tradisi slametan ini. Kemudian, seiring berkembangnya waktu masyarakat Islam Jawa didominasi oleh keluhuran budaya Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Martin Van Bruinessen yang mengatakan bahwa dalam kurun waktu 60 tahun yang lalu, kaum priyayi dan abangan dipermasalahkan mengenai keyakinan mereka. Dimana mereka merasa dilema karena telah muncul keyakinan baru. Hingga akhirnya mereka meninggalkan kepercayaan yang lama dan lebih memilih kepercayaan baru, karena pada saat itu terjadi islamisasi yang sangat luar biasa dikalangan priyayi dan abangan. Peristiwa ini lebih dikenal dengan sebutan santrinisasi. Santri dalam beberapa pengertian disebut sebagai agamawan, meskipun dalam praktiknya para santri masih menggunakan sesajen. Mereka memadukan lantunan zikir dan 9 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), hlm. 8. 12 doa yang bersumber dari ajaran agama Islam, namun mereka juga tetap memberikan sesaji kepada roh nenek moyang dan membakar kemenyan. 10 Berdasarkan uraian di atas dapat kita pahami bahwa ritual slametan pada masyarakat Islam Jawa telah melalui perjalanan yang panjang. Mulai dari tingginya kepercayaan masyarakat Jawa terhadap animisme dan dinamisme kemudian beralih menjadi bentuk tradisi slametan. Di dalam tradisi slametan tidak hanya pembacaan doa saja yang menjadi unsur penting, melainkan hidangan sesajen yang berupa makanan juga tak kalah penting. Dalam ajaran Islam makanan yang dibagikan kepada tetangga dan sanak saudara merupakan bentuk dari Shodaqoh. Dengan harapan supaya orang yang berhajat mendapatkan keberkahan dan keselamatan. Dari situlah kita dapat melihat bahwa slametan merupakan bentuk hubungan dari kebudayaan dan agama. Slametan yang dulunya sebelum Islam masuk ke dalam masyarakat Jawa belum dikenal, dan masyarakat Jawa pada saat itu hanya mengenal kepercayaan nenek moyang. Kemudian berubah menjadi bentuk tradisi slametan yang merupakan hasil dari akulturasi dari kebudayaan Jawa dan ajaran Islam. Munculnya kepercayaan baru ini membuat kebudayaan jawa dapat dimenyatu dengan ajaran Islam. Slametan yang merupakan ciri khas dari tradisi masyarakat Jawa tetap mampu bertahan diera banyaknya kepercayaan baru bahkan ajaran pemurnian Islam sekalipun.11 D. Dorongan Masyarakat Jawa dalam Mempertahankan Tradisi Slametan 1. Menjaga Warisan Adat 10 Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), hlm. 64. Nurul Qolbi dan Farhan Agung, “Ritual Slametan Sebagai Bentuk Akulturasi Budaya Jawa dan Islam dalam Perspektif Antropologi”, An-Nas: Jurnal Humaniora, Vol. 6 No.1, hlm. 60. 11 13 Menjaga warisan adat merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh banyak orang. Warisan adat ini umumnya dibuat dan dijalankan untuk kepentingan sekelompok orang atau masyarakat yang melestarikannya. Menjaga warisan adat ini juga tidak dapat terlepas dari dukungan masyarakatnya. Warisan adat atau yang sering dikenal sebagai kearifan lokal, umumnya meliputi segala aspek budaya manusia mulai dari bahasa, religiusitas, teknologi, ekonomi, pendidikan, struktur sosial, dan seni. Pelestarian warisan adat dimulai dari ide atau konsep yang kemudian diterapkan dalam praktik budaya.12 2. Meminta Keselamatan (berdoa) Doa berasal dari kata Da’a, Yad’u, Doa’ yang berarti memanggil. Menurut istilah Arab, berdoa berarti meminta sesuatu atau mencari sesuatu ke yang lebih tinggi. Secara istilah doa berarti memohon atau meminta suatu kebaikan atau keselamatan atau keteguhan iman kepada Allah SWT.13 Berdoa yaitu memohon kepada Allah SWT. dengan penuh kerendahan hati untuk memperoleh kebaikan atau manfaat dari-Nya. Berdoa agar memperoleh keselamatan merupakan kewajiban bagi setiap orang islam, karena pada dasarnya kehidupan manusia saling memiliki ketergantungan antara satu sama lain. Disaat kita saling mendoakan untuk keselamatan maka kita akan terlindung dari berbagai kesulitan dan lain sebagainnya.14 Dalam sisi keyakinan, pada zaman dahulu masyarakat Jawa menganggap bahwa slametan dapat menolak bala atau ancaman-ancaman yang akan Christeward Alus, “Peran Lembaga Adat dalam Pelestarian Kearifan Lokal Suku Sahu di Desa Balisoan Kecamatan Sahu Kabupaten Halmahera Barat”, dalam Jurnal Acta Diurna Nomor 4, (2014), hlm. 1. 13 Kurnia Muhajarah, “Konsep Doa Studi Komparasi Konsep Doa Menurut M. Quraish Shihab dan Yunan Nasution dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam”, Jurnal Hikmatuna, Vol. 2 No. 2, (2016), hlm. 214. 14 Agustin, Pengertian Doa (Prayer), 2014. Diakses pada tanggal 09 Desember 2023 melalui: https://repo.iaintulungagung.ac.id 12 14 menimpa kita, namun pada zaman sekarang ini slametan telah menjadi hal yang lumrah karena merupakan bentuk permohonan kita kepada Allah SWT. agar selalu melindungi kita. 3. Menciptakan Kebersamaan Menciptakan rasa kebersamaan merupakan hal yang wajib dilakukan oleh setiap masyarakat, supaya dapat terjalin hubungan kerukunan antar sesama.15 Jika masyarakat menganggap bahwa tradisi slametan itu biasabiasa saja, dan itu tidak menjadikan kewajiban supaya doa dapat terkabul. Maka perasaan sosial lah yang menjadikan alasan masyarakat Jawa dalam mempertahankan tradisi slametan ini. 4. Rasa Antusias yang Tinggi Pada setiap kegiatan slametan di sebuah desa, terdapat serangkaian tradisi yang sangat mementingkan gotong royong, yang dapat kita sebut dengan perasaan antusias yang tinggi. Para tetangga dengan sukarela berkumpul untuk memberikan bantuan dalam bentuk waktu, tenaga, dan terkadang materi untuk upacara slametan para tetangga mereka.16 Antusiasme masyarakat terhadap tradisi slametan hingga saat ini masih tergolong tinggi. Masyarakat di Jawa semakin yakin bahwa apa yang telah mereka lakukan secara turun temurun tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, sehingga mereka tetap melestarikan tradisi tersebut hingga saat ini. Sebagai individu yang berpegang teguh pada ajaran Islam, mereka ingin memastikan bahwa kebiasaan yang mereka lakukan tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam. Mayoritas dari mereka yang telah K.S. Maifianti, S. Sarwoprasodjo dan D. Susanto, “Komunikasi Ritual Kanuri Blang Sebagai Bentuk Kebersamaan Masyarakat Tani Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh”, dalam Jurnal Komunikasi Pembangunan Nomor 2, (2014), hlm. 2. 16 Dwi Susanti dan Puji Lestari, “Tradisi Rewangan: Kajian Tentang Pergeseran Tradisi Rewangan Di Dusun Ngireng-Ngireng Panggungharjo Sewon Bantul” (skripsi Sejarah dan Budaya, Universitas Yogyakarta, 2014), hlm. 4. 15 15 mengikuti tradisi slametan merasa gembira karena bisa berbagi dengan sesama di desa. Masyarakat Jawa masih mempertahankan tradisi perayaan karena mereka melihatnya sebagai suatu kewajiban terhadap generasi selanjutnya. Mereka ingin memastikan bahwa nilai-nilai budaya yang sudah ada tidak hilang begitu saja. Dengan melanjutkan tradisi slametan ini, mereka secara tidak langsung meneruskan dan mewariskan apa yang telah menjadi bagian dari tradisi turun temurun kepada generasi muda saat ini.17 E. Kesimpulan Dalam konteks Jawa, tradisi slametan muncul sebagai bagian integral dari kehidupan sosial dan keagamaan. Slametan adalah acara keagamaan yang melibatkan berbagai peristiwa kehidupan, menyatukan masyarakat dalam doa, kebersamaan, dan makan bersama. Keselamatan dan kebahagiaan menjadi inti dari tradisi slametan, dan ini tercermin dalam berbagai peristiwa kehidupan yang dirayakan dengan slametan. Dalam masyarakat Jawa, slametan tidak hanya terkait dengan peringatan seperti kelahiran, kematian, atau pernikahan, tetapi juga berkaitan dengan hari besar Islam. Arti dan makna slametan berkembang seiring dengan kehidupan masyarakat, membentuk pola dan variasi yang unik. Tradisi slametan, dalam pandangan Islam, tidak hanya menjadi ritual formal, tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual yang melibatkan doa dan kebersamaan. Slametan merupakan hasil dari akulturasi antara kebudayaan Jawa dengan ajaran Islam, memungkinkan hubungan yang harmonis antara keduanya. Masyarakat Jawa secara aktif mempertahankan tradisi slametan karena melihatnya sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan bagi generasi mendatang. Pemeliharaan tradisi ini juga melibatkan doa, rasa antusias yang tinggi, menciptakan kebersamaan, dan menjaga nilai-nilai Nadhiratun Hayati, “Tradisi Kenduri pada Masyarakat Jawa di Desa Sedie Jadi Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah”, (Banda Aceh: UIN Ar-Raniry Darussalam, 2019), hlm. 64. 17 16 adat. Dalam konteks ini, slametan memainkan peran penting dalam melestarikan kearifan lokal sambil mempertahankan nilai-nilai Islam. F. Daftar Pustaka Adiansyah, R. 2017. Persimpangan Antara Agama dan Budaya (Proses Akulturasi Islam dengan Slametan dalam Budaya Jawa), Jurnal Intelektualita, 6(2). Ahmad Qodim Suseno, “Peristiwa Pada 10 Muharram” diakses pada 09 Desember 2023 https://unissula.ac.id/peristiwa-pada-10 melalui muharram/#:~:text=Dan%20pada%20hari%20Jumat%20ini,dengan%20berpuasa%20dan %20aneka%20kebaikan. Annisa, N. dan Wardana, A. 2019. Tradisi Slametan Pada Masyarakat Jlatren, Jogotirto Berbah, Sleman, Yogyakarta. Dimensia: Jurnal Kajian Sosiologi, 8(1). Azki, “Mengenal Lailatul Qadr dan Amalan-amalannya” diakses pada 09 Desember 2023 melalui https://baznas.jogjakota.go.id/detail/index/27016#:~:text=Malam%20Lailatul%20Qadar %20adalah%20malam,berbagai%20keberkahan%20dari%20Allah%20SWT. Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa. (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya). Hayati, Nadhiratun. 2019. Tradisi Kenduri Pada Masyarakat Jawa di Desa Sedie Jadi Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah. (Banda Aceh: UIN Ar-Raniry Darussalam). Kamaja, Harkono. 1995. Kebudayaan Jawa: Perpaduan dengan Islam. (Yogyakarta: Ikatan Penerbit Indonesia). Muhajarah, K. 2016. Konsep Doa: Studi Komparasi Konsep Doa Menurut M. Quraish Shihab dan Yunan Nasution dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam, Jurnal Hikmatuna, 2(2). Qolbi, N. dan Agung, F. 2022. Ritual Slametan Sebagai Bentuk Akulturasi Budaya Jawa dan Islam dalam Perspektif Antropologi, An-Nas Jurnal Humaniora, 6(1). Setiawati, D. 2019. Slametan dalam Spiritualisme Orang Jawa pada Masa Lalu sampai Sekarang, MaharSi Jurnal Pendidikan Sejarah dan Sosiologi, 1(1). 17