Pak Aam, Sutradara di Panggung Kata
Di sebuah lorong ilmu yang penuh cahaya,
Berdiri Pak Aam, dosen muda nan gagah,
Ilmu yang dimilikinya bagai lautan luas,
Menyapa mahasiswa dengan senyum hangatnya.
Wajahnya berseri, penuh kecerdasan,
Pak Aam, sang maestro bahasa dan sastra,
Keren tak hanya dalam penampilan,
Namun dalam setiap helaian kata yang diutarakan.
Puisi-puisi megah mengalir dari bibirnya,
Seperti sungai kata yang tak pernah kering,
Mahasiswa duduk, terpesona mendengar,
Pak Aam, dosen yang menghidupkan huruf dan makna.
Keren dalam kepintaran, hangat dalam senyuman,
Pak Aam, dosen yang menyinari kelas,
Ilmu yang dimiliki tak hanya teori,
Tapi juga cerita dan pesona sastra.
Ilmu mengalir dalam setiap kalimat,
Seperti arus sastra yang mengalun indah,
Dalam kelasnya, cerita jadi puisi,
Dan puisi menjadi jendela dunia.
Terima kasih, Pak Aam, sang penerang kata,
Dosen yang tak hanya mengajar,
Tapi juga menciptakan petualangan kata,
Dalam sastra Indonesia, Beliau adalah Bintang.
Bullet Tugas
Di panggung pikiran yang luas,
Ballet tugas kuliah berlenggak-lenggok.
Para penari, pikiran-pikiran yang keroyokan,
Menyerbu seperti badai, tak kenal lelah.
Pertama datang si Matematika, langkahnya tegap,
Melompat-lompat mengajukan teorema dan rumus.
Disusul si Sejarah, geraknya gemulai,
Membawa kisah-kisah masa lalu yang mengalir deras.
Si Bahasa, penari yang lihai,
Melakukan pirouette dengan tatanan kata.
Di belakangnya, si IPS menyusul,
Menggoyangkan pinggul membahas fenomena sosial.
Tiba-tiba muncul si Fisika, loncatan-loncatannya tinggi,
Memperlihatkan hukum-hukum alam yang tak terbantahkan.
Tak ketinggalan si METOPEN, langkahnya tegas,
Menyusun strategi untuk memecahkan masalah.
Mereka semua berdansa di atas panggung pikiran,
Seiring waktu, gerakan semakin kompleks.
Tak cukup satu panggung untuk menampung,
Ballet tugas kuliah yang tak kunjung usai.
Pikiran kita seperti auditorium,
Menjadi saksi pertunjukan tugas yang megah.
Namun, di balik gemerlap penari,
Ada kerja keras dan keringat yang tak terlihat.
Dalam seni ini, kita adalah koreografer,
Menyusun langkah-langkah pikiran dengan hati-hati.
Walau terkadang keroyokan menyerbu,
Kita tetap menari, menghadapi tugas-tugas yang berdansa.
Ballet tugas kuliah, seni yang abadi,
Tak terhingga gerakannya dalam setiap semester.
Dengan semangat dan ketekunan,
Kita terus berdansa di panggung pikiran yang tak pernah mati.
Kata-Kata
Dalam diamnya, kata-kata terbentang,
Merajut makna di benak yang terpencil,
Mereka adalah pahlawan tanpa senjata,
Membawa perubahan, mengubah realita.
"Kata", selendang tak terlihat di angkasa,
Melayang di hati, terukir di ruang hampa,
Mereka bersatu, membentuk puisi,
Menyiratkan rahasia, menyentuh jiwa.
Kata-kata seperti pena di tangan waktu,
Menyulam kisah di lembaran kosong,
Mereka adalah pelukis di atas kanvas pikiran,
Mewarnai hidup dengan warna dan warni.
Dalam perdebatan, kata-kata bergulat,
Menyampaikan pemikiran, menjelma argumen,
Namun, di puncak mereka bertemu,
Menjadi jembatan, bukan jurang pemisah.
"Kata" adalah senjata tanpa darah,
Mampu menyembuhkan, juga merobek luka,
Dalam doa dan harapan, mereka bersimpuh,
Membentuk doa yang mengarungi langit biru.
Kata-kata, petir di balik awan gelap,
Menerangi kegelapan, membuka pintu hati,
Mereka adalah musik di antara huruf,
Menjadi puisi dalam sunyi malam.
Dalam judul kisah kehidupan kita,
Kata-kata berperan, membuka babak baru,
Sebuah perjalanan tanpa ujung,
Bersama "Kata", kita merajut makna.
Sang Ilmuwan Ruang Kelas
Di antara buku dan pena yang bijaksana,
Berdiri dia, dosen yang arif nan penuh makna.
Ruang kelas tempatnya menyampaikan ilmu,
Menerangi mentari hati yang sering gelap gulita.
Matahari di langit pelajaran bercahaya,
Diceritakannya kisah-kisah ilmu seperti dongeng yang mengagumkan.
Dia bukan hanya penyampai, tapi pencerah hati,
Menanamkan benih-benih kebijaksanaan di bumi siswa.
Suaranya mengalun seperti melodi kedamaian,
Menggugah jiwa untuk terbang tinggi menuju pengetahuan.
Setiap kata yang terucap adalah bekal perjalanan,
Membimbing langkah-langkah kecil menuju mimpi dan aspirasi.
Tangan-tangan lincahnya menari di atas buku,
Seperti seorang maestro menyusun simfoni pendidikan.
Penuh sabar mengarahkan langkah siswa-siswa,
Membawa mereka dari kegelapan ke terangnya pengetahuan.
Gelar profesornya bukan hanya angka atau huruf,
Tapi jalan panjang pengalaman dan dedikasi.
Dia adalah pahlawan tanpa tanda kebesaran,
Yang membimbing generasi, membantu mereka mencapai puncak.
O dosen yang penuh hikmah dan pemahaman,
Engkau adalah pelita di kegelapan ketidaktahuan.
Puisi ini adalah penghormatan, penghargaan kecil,
Untukmu, sang ilmuwan ruang kelas yang mulia.
Harapan yang Tersimpan
Di dalam gelap, diam-diam mencinta,
Sebuah rahasia yang hanya dipahami batin.
Hatiku seperti kapal yang terombang-ambing,
Cinta yang belum tersampai, tapi harus berakhir.
Seperti bunga yang tak pernah mekar,
Rasa ini tumbuh namun tak pernah terungkap.
Di mataku, bintang-bintang membentuk cerita,
Tentang cinta yang takkan pernah sampai pada kita.
Kata-kata terbungkus dalam senyap malam,
Seperti lagu yang tak pernah terdengar oleh telinga.
Dalam hati, cinta ini tumbuh liar,
Tapi tak ada kata yang berani terucap.
Kita seperti dua lautan yang terpisah,
Meski begitu dekat, namun terpisah oleh takdir.
Cinta ini bagai surga yang tak tersentuh,
Sebuah impian yang harus kukubur dalam hati.
Percikan cinta yang tak pernah menyala,
Bagaikan lilin yang terus redup dalam gelap.
Harapku adalah angin yang membawa pesan,
Namun takdir berkata, cinta ini harus berakhir.
Bukan karena tak ingin mengungkapkan rasa,
Tapi karena alasan yang tersembunyi dalam waktu.
Cinta yang belum tersampai, tapi harus berakhir,
Seperti kisah yang tak pernah menemui akhir.
Meski demikian, hati ini tak pernah menyerah,
Mencintaimu dalam diam, sebagai cinta yang tak terungkap.
Harapanku tersimpan dalam doa yang terucap,
Semoga cinta ini, di tempat lain, akan tersampaikan.
Langkah Anak Desa
Dari desa yang teduh, langkah kaki merintih,
Anak desa berdusta di bawah langit biru.
Kota menatapnya dengan gemerlapnya,
Anak desa menatap kota, tak tahu apa yang menunggu.
Di peluk kampung halamannya, ia lahir,
Penuh dengan rintihan angin dan senyuman sawah.
Namun, mimpi-mimpi membawanya ke kota,
Jauh dari gemericik sungai dan tawa desa.
Perpisahan terjadi di bawah pohon beringin,
Anak desa melangkah dengan penuh semangat.
Langit kota menawarkan janji-janji tinggi,
Namun bintang-bintang desa tak pernah pudar.
Berkas ransel dipikul di pundak kecil,
Ia menghadap dunia, mencari ilmu di kota.
Rindu melingkar di hati, seperti benang kusut,
Antara dunia yang ditinggalkan dan yang akan ditemui.
Di antara gedung beton dan jalan berliku,
Anak desa menapaki jejak baru.
Namun, di matanya tetap ada kilau,
Cahaya dari desa yang tetap membimbingnya.
Meski kota menuntutnya beradaptasi,
Akarnya tetap menjalar di tanah leluhurnya.
Ia belajar bukan hanya dari buku-buku,
Tapi juga dari kenangan-kenangan desa yang selalu hadir.
Pendidikan adalah jembatan antara dua dunia,
Anak desa tumbuh, berkembang di kota yang ramai.
Namun, dalam hatinya, desa tetap hidup,
Sebuah tempat yang tak pernah pudar dalam kenangannya.
Oh, anak desa, teruslah melangkah,
Bawa pulang ilmu dan pengalaman baru.
Jadilah bintang yang menerangi desamu,
Dengan cinta dan kebijaksanaan yang kau peroleh.
Luhur Amanah di Laut Lelah
Dalam lautan buku, kita berlayar lelah,
Beban ilmu menyeret, dalam deru waktu yang ganjil.
Di kantung mata, bayang lelah menggelayut,
Namun, kita teguh, mengemban amanah dari orang tua.
Kelas-kelas berderap, seakan meratap,
Dunia pendidikan memintal kenangan yang pahit.
Namun, di dada kita, terukir amanah suci,
Kita terus maju, meski tubuh terasa remuk.
Orang tua di sana, jauh dari sorot matahari,
Mengirimkan harapan, dalam doa dan nafas terakhir.
Mereka yang tak bisa kita hampiri,
Mengemban beban kita, tak henti memberi semangat.
Dunia pendidikan seperti badai tanpa henti,
Namun kita adalah kapal yang mengarungi.
Di hamparan buku, kita menyusuri lautan ilmu,
Mengemban amanah, meski rintangan tak terhitung.
Capek ini seakan teman sehari-hari,
Menuntut tekad yang terukir dalam tulang dan sumsum.
Meski terkadang ingin terkulai,
Kita terus berdiri, menjaga amanah yang tersemat.
Jangan padamkan cahaya di hati ini,
Meski dunia pendidikan membakar semangat.
Amanah orang tua adalah bintang pemandu,
Dalam kegelapan, kita tetap berlayar.
Capeknya dunia pendidikan adalah ujian,
Namun kita takkan menyerah pada gelombang.
Dengan amanah di pundak kita,
Kita tetap melangkah, menjemput mentari esok.
Lezatnya Keterbatasan
Di dapur kecil, aroma merayu,
Anak kos bersiap, di tengah perjuangan,
Panci dan wajan menjadi sahabat setia,
Makanan anak kos, menu harian yang damai.
Nasi putih di atas piring sederhana,
Ia bukan kemewahan, namun anugerah,
Sayuran rebus, simpel namun berharga,
Makanan anak kos, kelezatan dalam keterbatasan.
Telur ceplok, sambal menari di sudut piring,
Rasa pedas menyala, mengusir sepi,
Anak kos berkumpul, di meja sederhana,
Makanan sederhana, menjadi persembahan.
Di wajan berdenting, mie goreng tercipta,
Gulungan asap, menari ke angkasa,
Makanan anak kos, kreasi di balik pintu kamar,
Berbagi hidangan, memupuk kebersamaan.
Roti bakar, teman malam yang setia,
Di atas kompor listrik, ia bertransformasi,
Selimut selai, menghangatkan hati,
Makanan anak kos, nikmat simpel yang mengenyangkan.
Tidak ada kemewahan, namun cukup,
Anak kos belajar, menghargai setiap suap,
Di dalam keterbatasan, ada kekayaan,
Makanan anak kos, pelajaran hidup yang lezat.
Janganlah meremehkan hidangan sederhana,
Di setiap gigitan terkandung cerita,
Makanan anak kos, bukan sekadar lauk,
Tapi simbol kebersamaan, dalam kehidupan yang terbatas.
Bayang Tanpa Nama
Di kebun hati yang penuh harapan,
Menggelayut pada kehidupan yang cemerlang,
Ada sesuatu yang belum sempat tumbuh,
Namun harus merunduk, layu sebelum waktunya.
Bibit kebahagiaan terpendam dalam tanah,
Mencari sinar matahari, mencari pelukan air,
Namun takdir memutuskan untuk menanggalkan,
Daun-daun masa depan yang belum sempat mengembang.
Bunga yang tak kunjung mekar,
Di tepi jalan waktu yang tak terduga,
Keinginan yang memudar tanpa terlukis,
Sebelum sempat diarak angin.
Ada sesuatu yang berkecamuk dalam dada,
Mengharapkan keberlanjutan, namun takdir berkata lain,
Bayang tanpa nama, seperti lukisan yang tak tercipta,
Meninggalkan sejuta tanya di kebun hati yang rapuh.
Terhempas tanpa penjelasan,
Sesuatu yang tak sempat berkisah,
Bayang tanpa nama, telah melintas,
Sebelum sempat mengukir jejak di kanvas waktu.
Duka mengalir, meski tak ada kehadiran,
Sesuatu yang tak pernah mencicipi matahari,
Hanya tinggal bayang-bayang di antara pepohonan,
Bayang tanpa nama, merajut kisah pilu dalam hening.
Lelah di Puncak Ilmu
Sudah mulai terasa, beban di pundak,
Kuliah yang seperti panjang rentang malam,
Ilmu-ilmu bertumpuk, menyusun teka-teki,
Dalam hati, capek telah menggelayut.
Duduk di antara buku dan catatan,
Kulit buku mulai pudar oleh mata yang lelah,
Jauh di sana, terlihat diploma bersinar,
Namun di depan, terhampar rasa penat yang merayap.
Setiap kuliah, seperti perjalanan tanpa akhir,
Hari berganti hari, semester berlalu,
Mulai terdengar, desahan kelelahan,
Cita-cita di awal, kini terasa semakin jauh.
Dalam reruntuhan rasa semangat,
Hati ini mencari setitik sinar,
Capek bukan hanya fisik, tapi juga jiwa,
Di persimpangan, tanda tanya mulai muncul.
Namun di tengah segala kelelahan,
Harus diingat, ini adalah perjalanan,
Walaupun capek, tetaplah berdiri,
Puncak ilmu menanti, di ujung perjalanan.
Istirahatlah sejenak, serap udara segar,
Dan ingatlah, capek adalah sahabat perjalanan,
Tetaplah melangkah, walaupun lambat,
Karena di puncak kelelahan, terhampar keindahan ilmu.
Rasa yang Terpendam
Di relung hati, sakit terukir lara,
Menahan cinta, beban yang terus tumbuh,
Seperti bunga yang tak bisa mekar,
Rasa terpendam, berbisik dalam sunyi.
Sakitnya menahan kata yang terpatri,
Dalam dada yang terikat rasa terluka,
Cinta terbungkam, seperti angin yang tercekik,
Dalam pelukan diam, tangisan hati merintih.
Rasa yang terpendam, seperti api yang menyala,
Menghangatkan namun juga membakar,
Hati berteriak, ingin melepaskan,
Namun cinta terdiam, tak berdaya di balik keruh.
Sakitnya menahan rindu yang meluap,
Dalam doa yang terus terucap,
Seakan langit pun tahu kegelisahan hati,
Menahan cinta, melukis sepi dalam senyap.
Dalam setiap detik yang dilewati,
Cinta yang tertahan menjadi derita,
Seperti ombak yang berkecamuk di dalam dada,
Sakit menahan, rasa yang terpendam tak terkata.
Namun, dalam setiap luka yang tercipta,
Ada kekuatan cinta yang tak terhingga,
Meski sakit menahan, cinta terus hidup,
Seperti bintang yang bersinar di kegelapan.
Desiran Ombak Pengetahuan
Di tepian pantai ilmu yang luas,
Desiran ombak menyapa dalam bisikan,
Rahasia tersembunyi, pelajaran yang tiada terhitung,
Seperti gelombang, ilmu mengalir begitu dalam.
Dalam lautan buku, kita berlayar,
Mengarungi halaman, menjelajahi kata-kata,
Setiap halaman adalah ombak yang membawa,
Hikmah dan pengetahuan yang tak terduga.
Ombak pertama, seperti babak awal,
Menyentuh kaki dengan kelembutan,
Ilmu dasar yang membentuk fondasi,
Bagai pasir di tepi pantai yang setia.
Ombak kedua, lebih besar dan kuat,
Pemahaman yang mendalam, memecah batas,
Seakan menyapu pikiran dengan kebenaran,
Menyiratkan kebijaksanaan yang mendalam.
Ombak ketiga, menciptakan dentuman,
Penemuan baru, ide-ide yang mencolok,
Bagai ombak yang memecah di karang,
Mengguncang keyakinan, membuka wawasan.
Desiran ombak ilmu yang tak pernah surut,
Mengajarkan kesabaran dan ketekunan,
Seperti lautan yang luas dan tak terbatas,
Ilmu menjadi petualangan yang tak berkesudahan.
Bagi yang memperdalam ilmu,
Biarkan dirimu terbawa oleh desiran ombak,
Jadilah pelaut yang penuh semangat,
Menjelajahi samudra pengetahuan yang tak terbatas.
Melodi Coretan Kertas Putih
Di halaman putih kertas, diamku berbicara,
Coretan tak kasat mata, namun penuh makna.
Dalam sunyi, pena melukis rasa,
Seperti tarian bayangan, merayakanasa.
Ketika kata-kata menari di atas kertas,
Mereka membentuk puisi, indah tak terbatas.
Coretan putih menjadi teman setia,
Menyimpan cerita, rahasia yang terpahat di sana.
Pena menjadi pelukis, hati yang berbicara,
Mengukir jejak perasaan, dalam setiap goresan yang tercipta.
Halaman putih bukan lagi kosong,
Melainkan ladang imaji, cerminan batin yang terbongkar.
Dalam coretan kertas putih, ada kehidupan,
Sebuah dunia baru, tercipta dari tinta dan pikiran yang menyatu.
Jadi, mari kita terus menari di atas kertas putih,
Mengukir cerita, merangkai kata, dalam harmoni yang tak tergoyahkan.
Diksi Kesulitan
Di ruang kuliah, dosen memayungi,
Mahasiswa berjibaku, di lautan pengertian yang misterius.
Judul tugas, sebagai misteri tanpa kunci,
Dosen tersenyum, mengaduk rasa penasaran.
Pertanyaan seperti labirin tak berujung,
Mahasiswa mencari jalan, tanpa peta dan petunjuk.
Slide presentasi, seolah puisi sulit dimengerti,
Dalam kelas, mahasiswa bertanya, tapi jawaban berkabut.
Dosen, pengajar tanpa terang,
Mengajar atau menguji, batasnya seperti samudera yang tak terjangkau.
Mungkin ini ujian, pikir mahasiswa,
Bukan hanya menghafal, tapi meramu logika yang abstrak.
Namun, di antara tantangan, ada kilau harapan,
Setiap kesulitan adalah peluang belajar yang tersembunyi.
Mahasiswa melangkah, meski berliku,
Dengan keyakinan, mereka menulis kisah perjuangan.
Sebab, di balik dosen yang mempersulit,
Ada peluang tumbuh, mengasah potensi yang terpendam.
Jerit dalam Ketukan
Di malam sunyi, dalam kamar gelap,
Suara ketikan laptop memecah kesunyian.
Tak tik tuk, seperti deru hujan kecil,
Namun, dalam setiap ketukan terselip rahasia.
Suara mesin berbicara, ingin mengeluarkan jeritan,
Dalam setiap ketukan, ada cerita yang ingin terungkap.
Ketukan keras, bagai teriakan yang terkekang,
Sebuah desakan dalam dunia maya, mencari pembebasan.
Hingar bingar huruf-huruf menari di layar,
Menggambarkan gejolak dalam kata yang terkandung.
Laptop bagai saksi bisu, menyimpan cerita gelap,
Jerit dalam ketukan, menyuarakan kegelisahan hati.
Ingin berteriak, tapi hanya dapat menari dalam ketukan,
Sebuah keinginan yang terperangkap dalam kerangka teknologi.
Tapi lihatlah, dalam ketidakmampuan bersuara,
Ada kekuatan dalam setiap ketukan yang terucap.
Laptop mengetikkan kisah-kisah yang terpendam,
Jeritan dalam ketukan, menjadi puisi yang tak terungkap.
Bahagia dalam Pelukan Mamak-Bapak
Dalam pelukan lembut, hangatnya terasa,
Kasih sayang orang tua, tak pernah tergantikan.
Seperti matahari pagi, memeluk dunia,
Cahaya kasihmu, menerangi hatiku.
Dalam senyum yang lembut, terpancar kebaikan,
Orang tua, purnama dalam malam kelam.
Ketika dunia terasa dingin dan sepi,
Pelukanmu, sentuhan hangat yang tak terlupakan.
Kau bagaikan selimut hangat saat hujan,
Melindungi setiap jejak langkah kecilku.
Doamu seperti angin lembut yang menghembus,
Mengusir duka, membawa kedamaian.
Setiap tangisan, menjadi nyanyian pelukan,
Hangatnya kasih sayangmu, tak pernah luntur.
Seperti bunga yang mekar di pagi hari,
Cinta orang tua, mekar dalam setiap waktu.
Dalam nasihatmu, terukir kebijaksanaan,
Seolah kata-kata adalah benang hangat.
Jiwa yang resah, menemukan ketenangan,
Dalam pangkuan kasih sayangmu yang tak terhingga.
Orang tua, pelita dalam kegelapan,
Dalam pelukanmu, dunia terasa damai.
Hangatnya kasih, puitis dalam kesederhanaan,
Dalam setiap detik, kau adalah pelipur lara terindah.
Anak Petani Bersemi di Ladang Ilmu
Di sawah terbentang, bermula sebuah mimpi,
Anak petani bercita-cita, ingin tancapkan cahaya di hati.
Bibit harapan tumbuh di tanah subur,
Dalam hatinya terbakar api sukses yang menggema.
Dari benih sederhana, tumbuh tekad megah,
Menanti pagi menyingsing, menantikan matahari cerah.
Di bawah langit terbentang biru,
Anak petani mengejar pelangi, mengejar ilmu.
Bapaknya di ladang, ibunya di sungai,
Mengajarinya nilai-nilai, bahwa ilmu adalah harta yang hakiki.
Dalam mimpi kecilnya, ia bersumpah,
Akan menjadikan pena pedang, bukan sekadar hiasan di tas.
Keringat ayah bercampur lumpur sawah,
Menjadi semangat, api perjuangan dalam benaknya.
Bukan hanya rumah sederhana di pinggir desa,
Inginnya, gurun ilmu dan oase keberhasilan.
Setiap buku adalah bekal perjalanan,
Pertanian di ladang bukanlah batasannya.
Dia merangkul pena, menggenggam harapan,
Mengukir cerita baru, meretas jalan ke pendidikan.
Dalam dirinya terpatri cita-cita,
Demi bangkitkan derajat, demi tuntaskan kisah sepi.
Petani kecil bermimpi besar,
Menjadi pelajar yang gemilang, bukan hanya sebatas rindang padi.
Mimpi anak petani adalah bunga yang mekar,
Di puncak bukit ilmu, mereka akan melambai.
Suksesnya nanti, bukan sekadar pribadi,
Tapi nyanyian kemenangan bagi bapak dan ibu di balik deretan padi.
Layangan Putus
Dalam terbang tinggi layangan, dunia tampak begitu indah,
Langit biru jadi panggung mimpi, bebas tanpa beban.
Namun, seringkali kita melupakan,
Di antara seribu angan, jalanan penuh liku dan lubang.
Seperti layangan putus yang terhempas,
Kita sering terjebak dalam angan tanpa landasan.
Menatap langit, melupakan tanah di bawah,
Terjatuh karena lubang yang tak terduga.
Jalanan hidup, penuh dengan batu dan pasir,
Namun, kita terlena oleh keindahan langit di atas sana.
Lupa akan aturan main di bumi yang keras,
Dan kadang-kadang, kita harus menerima kejatuhan dengan getir.
Bagaikan melihat langit yang biru,
Namun, kita tak sadar tentang mendung yang mendekat.
Layangan putus di hembus angin,
Hidup bagai petualangan, kadang mengecewakan.
Tapi janganlah lelah, berdirilah kembali,
Pelajari setiap lubang, jadikan itu pelajaran.
Sebab di dalam kejatuhan, kita temukan kekuatan,
Dan layangan putus bisa terbang lagi dengan anggun.
Pesan Terpendam untuk Adik
Di taman kehidupan, adek kecilku bermain sendiri,
Hilang dalam keramaian, namun hatimu penuh tawa.
Orang tua sibuk mengejar matahari terbenam,
Biaya kuliahku menjadi bayang yang melayang.
Duniamu kecil, namun hatimu besar,
Menyimpan rindu yang tak terucapkan.
Moment berharga terabaikan, seperti buku di laci,
Ketika orang tua sibuk, menjaga mimpi kakakmu.
Dalam senyummu, ada kerinduan yang tak terucap,
Sebuah tatapan penuh tanya, namun tak kesalahan.
Kau, kecil dan polos, menjadi pelipur hati,
Di saat kesejukan pelukan orang tua tergantung waktu.
Aku minta maaf, adikku yang tercinta,
Kau yang kecil, namun hatimu besar.
Biarkan puisi ini menjadi pelukan hangat,
Menghapus jejak waktu yang hilang begitu saja.
Di setiap mainan yang kau genggam,
Ada keinginan untuk diperhatikan.
Aku berjanji, meski waktu tak terganti,
Cinta ini abadi, tak tertandingi.
Aku terima, rindumu yang terpendam,
Di dalam hatimu yang masih polos.
Aku berjanji, kelak nanti,
Aku akan menggenggam waktu, untukmu.
Maafkan aku, adik kecilku,
Yang terpaksa kehilangan moment bersama.
Namun percayalah, di setiap detik hidup,
Ada cinta yang tumbuh, dan takkan pernah pudar.
Kaleidoskop Hidup
Dalam perjalanan hidup, ada seribu cerita,
Setiap langkah, sebuah babak dalam perjalanan panjang.
Pagi membawa cahaya berwarna optimis,
Seperti matahari pertama yang menyapa di ufuk timur.
Siang membentang dalam kesibukan dan dinamika,
Setiap tugas dan tantangan, sebuah petualangan.
Sore menyusuri keindahan senja yang damai,
Seperti kisah yang tenang setelah sepanjang hari berjuang.
Malam, saat sunyi bercerita tentang mimpi,
Dan bintang-bintang menyaksikan rahasia di hati.
Ada cinta dan kehilangan, senyuman dan air mata,
Pengalaman menyusun kisah, tak henti-hentinya.
Pada setiap jatuh dan bangkit, kita belajar,
Dalam setiap cerita, ada potongan warna yang berbeda.
Begitu banyak rasa, terkumpul dalam kalbu,
Seolah-olah kita menjalani kehidupan seperti menyusuri warna-warna pelangi.
Kaleidoskop pengalaman, memadukan setiap warna dan bentuk,
Membuat hidup menjadi lukisan yang indah, unik dalam setiap inci.
Jadi, nikmati setiap momen, pelajari setiap cerita,
Karena di dalam berbagai pengalaman, kita menemukan diri kita sendiri.
Perjalanan Ilmu
Jauh terhampar lautan pengorbanan,
Perjalanan jauh dari pelukan kasih ibu bapak.
Di desa, di mana senyum menyapa matahari,
Kulihat impian tumbuh di ladang dan merayap di sungai.
Namun, langit panggilan ilmu berbisik lembut,
Menuntun langkah ke dunia yang lebih luas, lebih jauh.
Rela kulangkahkan kaki jauh dari rumah,
Bukan untuk melupakan, tapi untuk merajut masa depan.
Desakan mimpi tak tertahankan,
Menyusuri jalan tanpa rintangan, kuhadapi dengan keyakinan.
Jauh dari desa, dalam asingnya kota,
Tapi mata tetap menatap langit, bermimpi kembali ke pangkuan tanah.
Ilmu adalah cahaya yang menerangi gelapnya malam,
Bukan hanya untuk diri, tapi juga untuk cahaya rumah yang ditinggalkan.
Meski jarak memisahkan, kasih tak terpisahkan,
Ikhlas dari hati, setiap langkah adalah doa.
Pergulatan menatap layar hitam putih,
Mengubahnya menjadi warna-warni kehidupan yang bermakna.
Jauh dari desa, tapi dekat dengan cita-cita,
Rela menempuh jarak demi ilmu, untuk masa depan yang lebih baik.
Patah Sebelum Merekah
Di hutan sunyi, di bawah cahaya pagi,
Muncullah kehidupan, tumbuh dari tanah gersang.
Muda dan rapuh, rebah dalam kesejukan,
Namun, takdir berkata, ia harus patah sebelum merekah.
Bibit yang halus, sulur yang merangkak,
Menyusuri perjalanan singkat dalam kehidupan.
Namun, sayangnya, angin keras menyapa,
Menghempaskan impian, sebelum kembangnya mekar.
Cantik dalam ketidaksempurnaan,
Seperti senyum yang terpotong oleh kesedihan.
Rindu untuk terbang, tapi sayap terputus,
Hanya sebentar menjadi, sebelum keheningan merajai.
Namun, di reruntuhan itu, ada keindahan terselip,
Cerita yang diceritakan oleh sejumput debu.
Kisah yang singkat, namun abadi dalam kenangan,
Tentang sesuatu yang baru muncul, namun terpaksa patah.
Begitulah takdir, seperti tarian yang kompleks,
Di antara riang gembira dan kesedihan yang pahit.
Dan dalam setiap patahan, ada kehidupan yang terbangun,
Menjadi bagian dari kisah alam yang tak pernah usai.
Labuh Cinta di Helm Satpam
Di lorong waktu, pandangan bertemu,
Cinta tumbuh dalam wajah yang asing.
Hati terperangkap dalam kilatan sorot mata,
Saat meminjam helm dari mas satpam di pintu gerbang.
Helm di tangan, tak hanya pelindung,
Tapi juga saksi bisu cerita yang dimulai.
Cinta berlabuh, seperti perahu di pelabuhan,
Ketika mata kita bertemu dalam takdir yang terjalin.
Pelukan helm, getaran getar hati,
Seperti detik-detik yang berdenting merdu.
Rona merah memeluk wajah yang tersipu,
Ketika cinta merayap, tak terduga seperti mimpi.
Mas satpam tersenyum, melihat kejadian itu,
Seolah tahu, bahwa takdir telah bertindak.
Helm menjadi saksi bisu cinta yang tumbuh,
Di antara kita, di dalam pandangan pertama.
Bagaikan puisi, terukir indah dalam hati,
Ketika cinta berlabuh, tanpa seizin waktu.
Helm yang dipinjam jadi simbol pertemuan,
Sebuah kisah cinta, diantara gerbang yang terbuka.
Memori Cinta Pertama
Dalam malam yang sunyi, hatiku memanggil,
Rindu ini mengalir bagai lautan yang tenang.
Dia, cinta pertama yang menghiasi mimpi,
Kenangan bersamamu abadi dalam kalbuku.
Rindu ini tak pernah pudar, seperti bintang yang tetap bersinar,
Setiap detik, setiap hembusan angin, namamu terukir di sanubariku.
Dulu, kita berdua seperti burung-burung yang bebas terbang,
Mengarungi langit biru, tanpa batas dan bebas.
Senyumu masih mengembang di benakku,
Suaramu bagai melodi yang mengusik hatiku.
Hingga kini, dalam sepi, aku terpaku,
Memikirkan detik-detik indah bersamamu.
Namun, waktu terus berjalan, membawa kita berdua menjauh,
Hanya kenangan yang tersisa, mewarnai sepi hatiku.
Cinta pertama, seperti bunga yang mekar,
Menghiasi taman kenangan, meski tak lagi bersama.
Mungkin takdir berkata lain, memisahkan kita berdua,
Namun, cintaku padamu tetap abadi, tak terhapus oleh waktu.
Aku rindu, rindu akan cinta pertama,
Yang meninggalkan jejak di hatiku selamanya.
Melodi Suaka Cinta yang tak Terucapkan
Dalam langit yang tak bertepi, angan terbang bebas,
Mengikuti bayangannya, di mana ilmu membentang lepas.
Rindu yang tetap terukir, seperti tulisan di awan,
Menyatu dalam doa, mengalun dalam hembusan angin malam.
Perjalanan jauhnya, seperti babak baru di buku tak terbaca,
Aku, di sini, mengikuti jejak langkahnya yang kian menjauh.
Namun dalam perpisahan, hati ini tetap bersyukur,
Bahwa cinta dan doa, tak terbatas oleh jarak dan waktu.
Di setiap sudut kota yang pernah ia sapa,
Kenangan berserak, menyusuri kisah yang telah berlalu.
Jejaknya yang tak terlihat, seakan menari di atas hujan,
Menitipkan pesan dalam setiap butir air yang jatuh.
Malam-malam sendiri, bintang-bintang menjadi teman setia,
Mengiringi doa yang terus terangkai dalam kata.
Aku berharap, ilmu yang ia genggam di sana,
Menjadi cahaya dalam setiap langkah yang diambilnya.
Dalam heningnya hati, rahasia suka ini bersuara,
Seperti melodi yang terdengar di malam sunyi.
Aku suka, dalam ketidakpastian yang melambai,
Seperti puisi yang terus terurai, tanpa akhir yang pasti.
Bunga Harapan, Anak Cewek Pertama dalam Pelukan Kasih
Di pangkuan kasih yang memeluk erat,
Aku, anak cewek pertama, harapan dalam setiap langkah.
Matahari pertama yang menyinari keluarga kecil,
Di mata orang tua, aku adalah bintang terang yang membawa harapan.
Mereka menatapku dengan senyuman penuh arti,
Pandangan mata penuh doa, mimpi yang tak terbatas.
Aku, si kecil yang menjadi pelita rumah,
Dalam pelukan harapan, membangun masa depan yang cerah.
Dalam doa-doa terucap di tengah malam sunyi,
Aku merasakan sayap-sayap doa yang terbentang.
Menjadi penerus, pembawa estafet cinta dan cita,
Anak pertama, di pundakku mereka letakkan segala harapan.
Setiap langkahku diiringi doa restu,
Dalam setiap usaha dan setiap kegagalan.
Aku, sebagai bunga yang mekar di taman keluarga,
Menjadi inspirasi, membawa kebahagiaan yang abadi.
Mimpi orang tua memburu langit yang tinggi,
Dan aku, adalah sayap yang membantu mereka terbang.
Menjadi dokar pelita di malam kelam,
Aku merangkai cerita keberhasilan, sebagai harapan yang hidup.
Tak hanya beban, tetapi anugerah penuh cinta,
Menjadi pilar kuat di hari hujan dan terik.
Aku, si anak cewek pertama, memegang teguh janji,
Menjadi pelita harapan, membawa cahaya di setiap jalan.
Dalam setiap tawa dan tangis yang terlukis,
Aku menyadari tanggung jawab yang mengalir di darah.
Menjadi impian yang hidup, setapak di waktu yang berlalu,
Anak pertama, dengan bangga kugenggam harapan dan cita.
Nganu, Melodi Seribu Makna
Seribu arti tersusun dalam setiap katanya.
Dalam keseharian, ia adalah tawa yang melingkar,
Sebuah peluk hangat dalam percakapan yang mengalir.
Nganu, itu lebih dari sekadar kata,
Mengandung cerita dan warna kehidupan.
Seperti pesta kata yang meriah di desa hati,
Menyemai keceriaan di antara penatnya hari.
Dalam setiap gelak tawa, nganu adalah serpihan sukacita,
Sejuta makna terselip di balik riuhnya obrolan.
Mungkin nganu adalah ungkapan yang tak terucap,
Namun begitu berat di hati, seperti senyum di tengah duka.
Nganu, seperti puzzle yang belum terpecahkan,
Setiap makna adalah potongan kehidupan yang terlipat.
Dalam kebingungan dan tawa yang tak terbendung,
Nganu adalah lukisan yang menghidupkan jalinan kata.
Di setiap tempat, nganu memetik bunga-bunga makna,
Menyirami dengan kegembiraan di ladang perbincangan.
Janganlah dianggap sepele, nganu adalah kehidupan,
Seribu makna di setiap seruannya, seperti bait puisi yang tak terbatas.
Jadi, biarkan nganu berkisah dalam seribu rasa,
Sebuah persembahan makna di panggung kehidupan.
Dalam ragamnya, nganu adalah puisi tak terhingga,
Menyuarakan harmoni di antara kata-kata yang berderai.