Academia.eduAcademia.edu

Wacana Vera Mbasa Wini : Kearifan Lokal Dalam Tradisi Etnik Rongga

2014

Tulisan ini membahas tentang Vera Mbasa wini yakni tradisi ritual berupa tarian disertai nyanyian etnik Rongga yang terdapat di kecamatan kota Komba di Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Vera mbasa wini adalah salah satu bagian dari tradisi ritual vera haimelo mbuku sa’o (ritual syukuran yang berkaitan dengan pertanian). Ritual ini memiliki corak yang khas sebagai pembeda dengan etnik yang lain, sarat dengan berbagai nilai budaya dan sebagai kearifan lokal budaya Rongga. Makalah ini memaparkan karakteristik wacana vera mbasa wini sebagai wacana bergaya sastra dan perannya sebagai media pewarisan nilai-nilai luhur para leluhur sebagai kearifan lokal. Nilai kearifan lokal tersebut terkait dengan kehidupan manusia dalam keberadaanya sebagai mahkluk individu, mahkluk sosial, dan mahkluk berbudaya. Nilai-nilai itu tertuang dalam bait-bait syair lagu berupa nasihat atau petuah tentang nilai kehidupan. Nilai-nilai kehidupan yang dimaksud berkenaan dengan kepercayaan etnik Rongga terhadap keku...

View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by Digital Repository IKIP PGRI Bali WACANA VERA MBASA WINI : KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI ETNIK RONGGA1 Oleh Ni Wayan Sumitri Dosen Kopertis Wilayah VIII dpk di IKIP PGRI Bali [email protected] Tulisan ini membahas tentang Vera Mbasa wini yakni tradisi ritual berupa tarian disertai nyanyian etnik Rongga yang terdapat di kecamatan kota Komba di Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Vera mbasa wini adalah salah satu bagian dari tradisi ritual vera haimelo mbuku sa’o (ritual syukuran yang berkaitan dengan pertanian). Ritual ini memiliki corak yang khas sebagai pembeda dengan etnik yang lain, sarat dengan berbagai nilai budaya dan sebagai kearifan lokal budaya Rongga. Makalah ini memaparkan karakteristik wacana vera mbasa wini sebagai wacana bergaya sastra dan perannya sebagai media pewarisan nilai-nilai luhur para leluhur sebagai kearifan lokal. Nilai kearifan lokal tersebut terkait dengan kehidupan manusia dalam keberadaanya sebagai mahkluk individu, mahkluk sosial, dan mahkluk berbudaya. Nilai-nilai itu tertuang dalam bait-bait syair lagu berupa nasihat atau petuah tentang nilai kehidupan. Nilai-nilai kehidupan yang dimaksud berkenaan dengan kepercayaan etnik Rongga terhadap kekuatan adimanusiawi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan, leluhur dan roh alam yang sangat menentukan keberadaan dan keberlajutan hidup mereka di dunia, dan terkait dengan nilai etika dan moral sebagai tuntunan hidup yang masih sangat relevan diterapkan dalam konteks kehidupan masa kini. Kata kunci : wacana vera mbasa wini, kearifan lokal, tradisi 1 Makalah disajikan pada acara Forum Ilmiah X (Seminar dan Lokakarya Internasional) FPBS UPI dengan tema :Kajian-kajian Mutakhir dalam Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya untuk Memperkokoh Jati Diri Bangsa” yang diselenggarakan pada hari Rabu-Kamis, 19-20 November 2014, di Kampus UPI Jalan Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung. 1.Pendahuluan Tulisan ini memaparkan hasil penelitian tentang tradisi vera mbasa wini. Tradisi vera mbasa wini merupakan salah satu bagian dari tradisi ritual vera etnik Rongga. Etnik Rongga merupakan salah satu etnik minoritas di Indonesia yang berlokasi di kecamatan kota Komba di Kabupaten Manggarai Timur, Flores Nusa Tenggara Timur. Jumlah penduduk etnik Rongga sekitar 8.000 dari 11.957 jumlah penduduk (statistik kecamatan kota Komba 2011) (Sumitri dan Arka, 2013:727). Vera adalah sebuah tradisi ritual yang diwarsikan turun temurun secara lisan dari generasi ke generasi. Tradisi ritual ini vera ini berkaitan dengan pertanian dan kehidupan manusia berupa sebuah pertunjukan tarian disertai nyanyian. Tarian dan nyanyian ini dibawakan oleh penari dewasa baik laki-laki maupun perempuan dalam bentuk dua baris dengan seorang pemimpin tarian yang disebut noa lako. Barisan depan diisi oleh penari perempuan (daghe) dan barisan belakang diisi oleh penari laki-laki (woghu). Pertunjukan vera dilaksanakan di halaman rumah adat suku pemilik gendang pada tengah malam, dan berakhir pada pagi hari menjelang matahari terbit. Pertujukan vera ditutup dengan nyanyian yang disebut tangi jo. Berdasarkan konteksnya tradisi ritual vera terdiri atas beberapa jenis termasuk vera mbasa wini, yakni tradisi ritual yang berkaitan dengan pertanian. Secara leksikal, kata Mbasa berarti ‘basah’ dan kata wini berarti ‘bibit’. Istilah mbasa wini berarti memerciki bibit dengan darah korban (ayam atau babi) sebagai ungkapan permohonan kepada Tuhan yang disampaikan dengan perantaraan leluhur. Permohonan yang disampaikan itu dengan harapan supaya Tuhan memberkati bibit agar bertumbuh subur dan memberikan hasil berlimpah pada tahun musim yang akan datang. Upacara vera mbasa wini dilaksanakan pada awal musim tanam sesuai kalender adat etnik Rongga, yang biasanya jatuh pada bulan Oktober. Dilihat dari bentuk satuan kebahasaan yang digunakan wacana vera mbasa wini memiliki karaktersitik struktur yang khas. Kekhasan itu sebagai salah satu fitur pembeda dengan etnik yang lain, yang di dalamnya terkandung pula nilai luhur para leluhur sebagai kearifan lokal. Nilai kearifan lokal tersebut terkait dengan nilai budaya dan nilai filosofis kehidupan manusia dalam keberadaanya sebagai mahkluk individu, mahkluk sosial, dan mahkluk berbudaya. Nilai itu tertuang dalam bait-bait syair lagu dalam bentuk nasihat atau petuah tentang nilai kehidupan yang terkait dengan kepercayaan atau sikap religius etnik Rongga terhadap eksistensi kekuatan adimanusiawi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan, leluhur dan roh alam. Selain itu, terkait pula dengan nilai kehidupan tentang etika dan moral yang masih relevan sebagai pedoman dalam menata pola perilaku laku dalam konteks kehidupan masa kini. Dari uraian di atas, dalam tulisan ini akan dipaparkan karakteristik struktur wacana vera mbasa wini dan perannya sebagai media pewarisan nilai-nilai luhur para leluhur etnik Rongga. Metode yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan etnografi. Lokasi penelitian meliputi dua kelurahan dan dua desa yakni kelurahan Tanarata, Watu Nggene, desa Bamo dan desa Komba di kecaamatan kota Komba, Kabupaten manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Analisis data beraras pada data primer dan data sekunder. Data primer berupa rekaman audio/video pertunjukan vera mbasa wini dan teks trasnkripsi syairsyair vera, tuturan wacana serta hasil wawancara dengan pelaku vera mbasa wini. Data sekunder berupa buku yang relevan dan penelitian dari hasil peneliti lain juga digunakan sebagai acuan sebagai pendukung dalam analisis. Pembahasan akan dipaparkan sebagai berikut. Uraian mengenai karakteristik wacana vera mbasa wini pada 2.1, Vera mbasa wini sebagai media pewarisan nilai-nilai luhur para leluhur pada 2.2. kesimpulan diberikan pada bagian 3. 2. Hasil Penelitian dan Bahasan 2.1 Karakteristik Struktur Wacana Vera Mbasa Wini Karakteristik teks wacana vera mbasa wini yang dimaksud dalam hal ini adalah dilihat dari satuan kebahasaannya. Wacana vera mbasa wini memiliki karakteristik bentuk satuan kebahasaan yang diracik secara tipikal berupa penggunaan ungkapan berpasangan yang berisikan pola kata-kata atau irama dalam paduan dengan penggunaan kata-kata arkais seperti ndeta ‘di atas sana’, ndale ‘di bawah’ yang sulit dipahami oleh orang awam khsusunya kaum muda etnik Rongga karena itu, dituntut kemampuan khusus dan pengetahuan yang memadai. Meskipun demikian, ditilik dari perspektif kesastraan, penggunaan kata-kata arkais tersebut dapat diidentifikasi sebagai fenomena retak dalam teks demi menunjang kepekatan makna dan kesakralan bahasa yang digunakan dalam teks wacana vera mbasa wini. Terkait dengan karakteristik bentuk tekstual satuan kebahasaan yang digunakan, wacana Vera mbasa wini dapat digolongkan sebagai sastra lisan. Hal ini selaras dengan pandangan Hutomo (1991:1) yang menyatakan bahwa sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan turun temurun secara lisan (dari mulut ke mulut). Pandangan itu diperkuat pula dengan pendapat Soetarto (2003:37) yang menyatakan, sastra lisan adalah produk budaya lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi dari mulut ke mulut atau disampaikan secara lisan. Ditelaah dari aspek bentuk, teks wacana tradisi lisan vera mbasa wini diidentififikasi sebagai bentuk puisi rakyat berbentuk syair sebagai model ekspresi gagasan yang ingin disampaikan. Hal itu bertalian dengan pandangan Jakobson (1994:63) yang menyatakan bahwa hakikat puisi adalah pamakaian bahasa atau puisi dalam tindak kata (atau tindak tutur bisa wujud kata). Dijelaskan lebih lanjut oleh Jakobson bahwa puisi adalah ungkapan yang terarah ke mode ekspresinya sehingga fungsi puitik bahasa berpusat pada pesan itu sendiri (Teeuw, 1988:73). Fungsi puitik yang penting bukan terletak pada referensi atau acuan di luar bahasa, tetapi terletak pada kata atau pemakaian bahasa itu sendiri yang menjadi pusat perhatian, walaupun ada fungsi-fungsi lain dalam puisi. Menurut Jakobson (1994:71), puisi adalah ekuivalensi karena memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari poros pemilihan menuju poros kombinasi sesuai kemungkinan yang disediakan oleh sistem bahasa. Dalam bahasa puitik, kemungkinan dari segi tertentu menonjolkan ekuivalensi yang dapat terwujud dalam gejala beranekaragam. Ekuivalensi bunyi dalam bentuk rima, aliterasi, asonansi, tetapi dalam skema matra, seperti dalam kidung dan kakawin, mempunyai kesejajaran antara larik dengan larik, antara pupuh dengan pupuh dan di dalam larik ada macam-macam kesejajaran, yang seluruhnya disebut sitem sastra (Teeuw, 1988:76-77). Wacana tradisi lisan vera mbasa wini sebagai suatu bentuk puisi memiliki struktur tersendiri yang memadukan sistem bunyi teratur dan terpola dengan formulasi ekspresiekspresi dan kata-kata berirama dengan memanfaatkan fitur paralelisme sebagai ciri utama bahasa ritual di Indoensia bagian Timur (Fox, 1974:73; Grimes et al,1977). Formulasi tersebut disertai guratan makna yang bersifat khas sesuai kekhususan konteks ritual yang melatarinya. Ditilik dari perspektif linguistik formal, bentuk tekstual satuan kebahasaan yang digunakan dalam wacana tradisi lisan vera mbasa wini memiliki karakteristik antara lain : (1) Struktur dalam baris, sering melalui pengulangan; (2) menunjukkan keterpaduan secara leksikal dan diwahanai memanfaatkan fitur paralelisme seperti paralelisme fonologis (asonansi, aliterasi, dan rima) dan paralelisme leksikosemantis (sinonim dan antonim) yang diuraikan berikut ini 2.1.1 Struktur dalam Baris Karakter tipikal struktur wacana vera mbasa wini adalah sruktur dalam dari baris yang menunjukkan perpaduan secara leksikal melalui pengulangan. Formula setiap baris dalam pasangan terdiri dari dua bagian, satu bagian sering menunjukkan sebuah pengulangan yang tepat dari baris yang lain seperti tampak pada data berikut. (01) Ema po soro, ma’e rero ma’e ghewo ‘Ayah beri nasihat, jangan ribut jangan lupa’. Ine reku lelu, ma’e rero ma;e ghewo ‘Mama beri nasihat jangan ribut jangan lupa’. Petuah: Jangan meremehkan nasihat orang tua (02) ana halo pae raku, ne arhe waru ‘Yatim piatu miskin jahit pakai tali waru’. Ana halo pae dhepe, ne arhe tere ‘Yatim piatu miskin jahit pakai tali sukun hutan’. Petuah: hidup dalam kesederhanaan dan apa adanya. Pada data (01) dan (02) di atas struktur dalam dari baris pembentuk bait terdiri dari dua bagian, antara bagian pertama dengan bagian kedua dipisahkan oleh koma. Satu bagian sering menunjukkan sebuah pengulangan yang tepat dari baris yang lainnya. Seperti tampak pada (01) bagian kedua , ma’e rero ma’e ghewo ‘jangan ribut jangan lupa’ diulang pada baris kedua pada posisi yang sama. Pada data (02) yakni ana halo pae ‘anak yatim miskin’ diulang pada baris kedua juga pada posisi yang sama. Bentuk pengulangan seperti dengan tujuan untuk memeperlancar aktivitas penuturan, menciptakan makna estetis, dan sebagai ciri kelisanan. 2.1.2 Pemanfaatan Fitur Paralelisme : Paralelisme Fonologis dan Leksiko Semantis 2.1.2.1 Paralelisme Fonologis Secara formal linguistik, wacana vera mbasa wini tersusun dalam baris dan bait yang menunjukkan perpaduan secara leksikal melalui pengulangan dengan memanfaatkan fitur paralelisme. Keindahan bahasa yang digunakan dalam wacana vera mbasa wini tidak terletak pada deretan kata yang membentuknya, melainkan ditentukan oleh bunyi yang muncul melalui perulangan, baik perulangan vokal maupun perulangn konsonan, baik sebagian ataupun keseluruhan pembentuk kata. Perulangan itu terdapat pada tataran fonologis yang berkaitan dengan asonansi, aliterasi, rima. Penggunaan pola bunyi berasonansi merupakan salah satu ciri paralelisme fonologis paling menonjol dalam wacana vera mbasa wini. Asonansi adalah penggunaan bunyi vokal yang sama dalam kata-kata berdekatan yang diikuti atau dikelilingi berbagai macam bunyi konsonan (Reaske, 1966:21; Pradopo, 1996 ). Rajutan fungsi dan makna bernilai tinggi dalam struktur wacana vera mbasa wini didukung pola bunyi sehingga terasa berkesan dalam benak pendengar. Pola bunyi berasonansi yang terjadi pada tataran kata merupakan perangkat diad dasar dengan salah satu kata atau lebih sebagai perluasannya. Perangkat diad dasar tersebut membuat teks wacana vera mbasa wini tampil sebagai sebuah teks wacana yang utuh, seperti terlihat pada contoh berikut. (03) Jara mosa bhara, posa jara ngarha ‘Kuda jantan putih, katanya kuda ternama’. Peko maju pengga,mbau-mbau pengga ‘Kejar rusa mau tikam, tidak jadi tikam’ Petuah: Orang yang tidak tetap pendirian (04) Embo sosa ndau lau wiri nonga ‘Ombak berbunyi di sana batas pantai’. Meti ndili seli, meti reta wiri penda Surut/keringdi bawah gelap surut berhenti di batas pandan Petuah: hambatan yang dialami oleh setiap orang dalam mengerjakan sesuatu. (05) Ndili no ndele moe kowa palo rajo ‘bawah dan atas seperti sampan beriringan’. Ndeta no ndele moe bondo wa’u waju ‘Atas dan bawah seperti lumbung turun tumbuk’. Petuah : Bekerja bersama-sama atau bergotong royong. Asonansi terlihat pada data (03), kata jara ‘kuda’ pada bagian pertama berasonansi vokal dengan kata bhara ‘putih’ dan jara ‘kuda’ dengan kata ngarha ‘ternama’ pada bagian kedua pada baris pertama. Bunyi yang berasonansi adalah bunyi vokal a-a. Pada data (04) pada baris pertama, kata sosa ‘berbunyi’ pada bagian pertama‘ berasonansi vokal dengan kata nonga ‘pantai’ pada bagian kedua dan kata ndau ‘itu’ berasonansi vokal dengan kata lau ‘di sana’ Bunyi vokal yang berasonansi adalah o-a dan gabungan bunyi vokal adalah au-au. Pada baris kedua, kata meti ‘surut’ berasonansi vokal dengan kata seli ‘gelap’, kata ndili ‘di bawah’ berasonansi vokal dengan kata wiri ‘batas’, dan kata reta ‘berhenti’ berasonansi vokal dengan kata penda ‘pandan’. Bunyi fonem vokal yang beransonansi adalah bunyi fonem vokal e-i, i-i, dan e-a. Asonansi pada data (03) adalah asonansi berstruktur simetris yang dimarkahi oleh fenomena permainan fonem vokal sepadan, yakni bunyi a-a dalam salah satu perangkat diad pada baris fragmen. Sedangkan pada data (04), selain berasonansi simetris oleh permainan bunyi sepadan berupa bunyi i-i, juga asonansi berstruktur asimetris yang dimarkahi dengan fenomena permainan fonem vokal tidak sepadan, yakni bunyi e-i dan e-a, dalam salah satu perangkat diad dalam baris fragmen. Penggunaan bunyi asonansi pada struktur teks wacana vera mbasa wini untuk menampilkan keindahan bentuk dan menimbulkan efek musikalitas ketika dituturkan. Aliterasi sebagai salah satu fitur paralelisme pada tataran fonologis terdapat pula dalam struktur teks wacana vera mbasa wini. Aliterasi berkaitan dengan pengulangan bunyi konsonan pada awal suku kata atau kata secara berurutan. Bentuk paralelisme ini menjadikan rajutan ungkapan lebih terasa dan berkesan dalam benak pendukung wacana vera mbasa wini seperti terlihat pada data (05). Aliterasi kosnonan nd berdistribusi pada posisi awal dalam kata ndili ‘bawah’ dan ndele ‘atas’ dan konsonan w pada kata wa’u turun’ dengan waju ‘tumbuk’. Rima sebagai pola perulangan bunyi yang sama yang muncul secara berurutan pada kata, frasa, atau klausa seperti tercermin pada data (05). Terdapat rima tengah pada frasa preposisi ndili seli ‘di bawah gelap’ ditandai dengan permainan fonem konsonan l, dan pada frasa verbal meti reta ‘surut berhenti’ Penggunaan rima tersebut untuk menciptakan keharmonisan estetis bunyi. 2.1.2.2. Paralelisme Leksikosemantis Paralelisme leksikosemantis merujuk pada sifat hubungan makna kata yang merupakan unsur perangkat diad dan sifat hubungan makna antara unsur kata, frasa dan kalimat dalam satu ungkapan. Karakter tipikal dari pararlelisme adalah struktur dalam dari baris yang menunjukkan perpaduan secara leksikal melalui pengulangan dan sinonim, dan antonim. Sinonim adalah penggunaan kata-kata yang memiliki makna yang sama (lihat Keraf, 1999). Antonim adalah penggunaan kata-kata yang menyatakan kata yang berlawanan. Paralelisme leksikosemnatis yang terdapat dalam wacana vera mbasa wini dapat disimak pada fragmen berikut. (06) Ine po soro, kau rero ma’e ghewo ‘Ibu menasehati kamu jangan ribut jangan lupa’ Ema reku lelu, kau rero ma’e ghewo ‘Ayah menasihati kamu jangan ribut jangan lupa’ Jangan meremhkan nasihat orangtua. (07) Hongga lari, lari lari huki sapi ‘Pemuda ganteng, ganteng karena kulit sapi’. Mbu’e milo-milo milo wae nio ‘Gadis cantik, cantik karena air kelapa’. Kegantengan dan kecantikan yang tidak asli Pada data (06) baris pertama bagian kedua, yakni Kau rero ma’e ghewo, ‘jangan ribut jangan lupa, diulang pada baris kedua bagian kedua. Baris pertama menunjukkan keterpaduan dengan menggunakan sinonim dan antonim, seperti kata po ‘nasihat’ pada klausa ine po soro ‘ibu menasihati’ bersinonim dengan kata reku ‘nasihat’ pada klausa ema reku lelu ‘bapak menasihati’. Ungkapan itu memiliki makna janganlah meremehkan nasihat orang tua. Pada (07), kata hongga ‘pemuda’ dalam frasa nomina hongga lari pada baris pertama, bentuk antonim dari kata mbu’e ‘gadis’ dalam frasa nomina mbu’e milo ‘gadis cantik pada bagian pertama baris kedua. Kedua frasa itu memiliki makna mengias kepada orang yang kecantikannya dibuat-buat tidak alami. Pada bagian lain, seperti kata lari lari ‘ ganteng- ganteng dan kata milo milo ‘cantik-cantik sebagai bentuk reduplikasi diulang pada bagian kedua, yakni lari huki sapi ‘ ganteng karena kulit sapi, dan milo wae nio ‘cantik karena air kelapa. Pengulangan kata itu memiliki makna penegas, bahwa seseorang cantik, tetapi kecantikannya tidak bersifat alamih atau dibuat-buat. 2.2 Vera Mbasa Wini : Media Pewarisan Nilai-nilai Kearaifan Lokal Vera mbasa wini adalah produk dan praktek budaya warisan nenek moyang etnik Rongga yang diwariskan turun temurun secara lisana dari generasi ke generasi. Sebagai produk budaya dan warisan leluhur, tradisi vera mbasa wini mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, seperti sistem nilai, kepercayaan, dan norma-norma sosial kemasyarakatan yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menapaki ziarah kehdiupan di dunia. Dalam kehidupan etnik Rongga praktik ritual adalah suatu kewajiban budaya, kesinambungan tradisi, dan memenuhi kehendak nenek moyang. Vera mbasa wini sebagai wujud budaya Rongga dapat memperkuat dan meneruskan nilai tradisi, yang merupakan bagian integral dari budaya Rongga. Ritual ini menyoroti bagian penting dari ikatan leluhur dan berkat leluhur dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, kesinambungan tradisi ritual dengan jalan yang benar diyakini etnik Rongga dapat memberi kedamaian dan kemakmuran. Oleh karena itu, vera mbasa wini sebagai salah satu identitas etnik Rongga memiliki peran penting sebagai media pewarisn nilai luhur para leluhur. Vera mbasa wini diwariskan turun temurun secara lisan dengan dua cara yakni (1) secara alamiah melalui mekanisme unjuk libat tari dalam kegiatan vera mbasa wini, dan (2) secara non-alamiah melalui pelatihan. Cara pertama terkait dengan pementasan vera mbasa wini karena tuntutan rirual sebgai suatu kewajiban budaya. Dalam aktivtas ini memberikan kesempatan kepada orangtua yang sudah mahir untuk menarikan vera dan juga kesempatan kepada generasi muda untuk melihat dan belajar ikut menari (lihat Sumitri dan Arka, 2013:728-729). Kejadian alamiah ini dilakukan secara berulang-ulang ini memberikan wahana sebagai alih keterampilan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mekanisme pewarisan dengan cara yang kedua adalah dengan pelatihan berdasarkan kebutuhan. Pelaksanaan pelatihan biasanya dilakukan seminggu menjelang pementasan vera yang dilaksanakan pada hari yang sudah ditentukan. Pada saat itu generasi terlibat langsung ikut dalam latihan menari dan menyanyi yang dibawakan oleh para orangtua yang sudah mahir menarikan dan menyanyikan vera mbasa wini. Aktivitas vera mbasa wini dilaksankan selain sebagai kewajiban karena tuntutan ritual juga sebagai wadah penerusan nilai budaya dari generasi ke generasi sebagai salah satu kearifan lokal budaya Rongga. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai atau pengetahua asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai leluhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat (Sibarani, 2013:130). Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam wacana vera mbasa wini fungsinya dalam menata pola perilaku kehidupan etnik Rongga. Nilai kearifan lokal itu terkait dengan nilai budaya dan nilai filosofis kehidupan manusia dalam keberadaannya sebagai mahkluk individu, mahkluk sosial, dan mahkluk berbudaya. Nilai-nilai budaya dan filosofis itu tertuang dalam bait-bait syair lagu berupa nasihat atau petuah tentang kehidupan selain berkenaan dengan etika dan moral juga kerkenaan dengan kepercayaan etnik Rongga terhadap kekuatan adimansiawi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan, leluhur, dan roh alam. Ketiga kekuatan itu dipahami etnik Rongga sebagai kekuatan yang sangat menentukan keberadaan dan keberlanjutan hidupnya di dunia. Semuanya itu masih relevan sebagai pedoman dalam bertingkah laku dalam konteks kehidupan masa kini. Berikut beberapa contoh syair-syair vera mbasa wini yang menunjukkan kandungan nilai budaya dan filosofis sebagai nilai kearifan lokal etnik Rongga berdasarkan data terkumpul. Tabel : 1 Kandungan Nilai Budaya dan Filosofis Wacana Vera Mbasa Wini No 1. Nilai budaya/filosofis Kepercayaan kepada : Tuhan, leluhur, dan roh alam Teks Asli Terjemahan 1) Ua ndele poso, lando sorhi ndewa ‘ ‘ To’e leu rhe , kamu lore mitu ‘ Di gunung ujungnya ke atas tangkap dewa’ Aur padang akarnya tembus jauh ke bawah’ Petuah: Memiliki cita-cita yang tinggi selalu memuja Tuhan 2) Watu susu Rongga, rhua ndoa ndoa rhua Leke ema komba, rhua ndoa ndoa rhua 2. Keharmonisan 3) Mbawarani nggana rie pimbe inerie Bhutu ndala nu rie pimbe inerie ‘Batu susu di Rongga dua berpasangan, berpasangan dua ’ ‘Menetap Bapa Komba dua berpasngan, berpasnaga dua Petuah : Bapa Komba hidup dilindungi oleh kekuatan batu ‘Bintang pagi berdampingan dengan gunung inerie’ ‘Muncul bintang lain berdampingan dengan inerie’ Petuah: hubungan 3. 4. Pengendalian diri Kebjikasnaaan 4) Peko lakolau kau ma’e tolo paru keharmonisan ‘Kejar anjing di sana jangan sembarang lari’. Peko lako rhele kau ma’e tolo hewe ‘Kejar anjing di atas kau jangan sembarang dengar’. 5) Putungguru luwu nggere rhele lena ‘Bakar aur luwu (nama tempat) terang di atas Lena (nama temapt)’. Renggo bheto tenggo ndara lau arha ‘Lindungi betung Tenggo (nama tempat) terang arah sana’’. Pemimpin yang memiliki sifat bijaksana/mengayomi 5. Keteguhan hati 6) Topo liro mbao ra’a mbiwa ra Wara tumbu kembi ate mbiwa leli ‘Parang kilatan darah tidak turun’. ‘Angin kencang menghantam dinding hati hati tidak gentar’. Tidak gentar tantangan 6. Toleransi 7) Maghi poma Sambi tau ngambu nana wati menghadapi ‘Lontar Poma Sambi (nama tempat)lumayan buat anyam baku’. Maghi poma merhe tau ngambu nana mbere ‘Lontar poma merhe (nama tempat) lumayan buat anyam keranjang’ Menerima kelebihan keurangan setiap orang 7. Kerukunan 8) Nggoti uma nggoli wawi ka manu ka Ndua uma waru wawi ka manu ka dan ‘Tanam kebun Nggoli daging babi di makan daging ayam dimakan’. ‘Pergi kerja kebun Waru daging babi dimakan daging ayam dimakan’. Selalu hidup rukun dalam keluarga dan masyaraakat 8. Kejujuran 9) Sei nunu kau ma’e rewo ko’e ‘Siapa beritahu kau jangan bohong lagi’. Sei posa kau ma’e mbaje ko’e ‘siapa beritahu kau jangan bohong lagi Menjadilah orang yang jujur 9. Kewaspadaan 10) Pale ghae mena rhale ne ate ngitu ngape Dhoma romab ngesu maru ne ate ngitu ngape 10. Sindiran 11) Nggote nunu merhe nggote nunu Ana embu la’a lerha nde Jono mawo nde ‘Berkeliaran sana sini dengan hati waspada’. ‘Biasa pagi akrab sore dengan hati waspada’. Berhati-hati bergaul/bersosialisasi dalam ‘Kasihan beringin kasihan beringin’. besar Anak cucu jalan panas berteduh di naungan mana’ Menyindir kepala suku yang tidak bijaksana 11. Tanggunjawab 13) Foru muku natu ndau ngia kau Ka sesepi ma’e dholo dheli ‘Harum pisang mukamu’ beranga ‘makan sesisir jangan sulit mengunyah’. Tahu berbuat tanggungjawab 12. Persatuan kesatuan dan 14) Ngguru tara woso, woso arhi woso ka’e Besi singga lina, lina riwu lina ngasu di tahu ‘Bambu hutan ranting banyak, banyak adik banyak kakak’. ‘Kesukuan dan persaudaraan kita menjadi himpunan yang besar’ Persatuan dan klestuan Nilai tradisi yang diwariskan vera mbasa wini sangatlah kaya yang bersifat universal. Nasihat-nasihat atau petuah-petuah patutlah dijunjung tinggi bukan saja ditujukan kepada masyarakat Rongga itu sendiri, juga untuk masayarakat lainnya. Nilai itu sangatlah relevan diterapkan dalam kehidupan modern yang penuh dengan tantangan hidup. 3. Kesimpulan Tulisan ini memaparkan perihal vera mbasa wini, sebuah tradisi ritual yang berkaitan dengan konteks pertanian. Wacana vera mbasa wini memiliki karakterisrik struktur yang khas sebagai sastra lisan dengan memanfaatkan fitur paralelisme berupa pola kata-kata atau irama dalam bentuk paralleisme fonologis seperti asonansi, aliterasi dan rima, serta paralelisme leksikosemantis berupa sinomim dan antonim. Vera mbasa wini merupakan bagian integral dari budaya Rongga yang menyimpan berbagai nilai budaya dan berperan sebagai media pewarisan nilai luhur para leluhur. Nilai budaya itu melingkupi berbagai nilai kehidupan seperti kepercayaan terhadap Tuhan, roh leluhur, dan roh alam yang dipahami etnik Rongga ikut menentukan keberadaan, dan keberlanjutan hidupnya di dunia dan nilai etika dan moral seperti keharmonisan, pengendalian diri, kebijaksanaan, keteguhan hati, toleransi, kerukunan, kejujuran, kewaspadaan, ketabahan, tanggungjawab, dan pesartuan dan kesatuan. Semuanya masih sangat relevan untuk kehidupan sekarang ini. Sudah sepatutnya nilai budaya Rongga ini terus digali, dipahami dan diterapkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari serta dipertahankan keberadannya mengingat derasnya budaya global yang tanpa mengenal batas. Daftar Pustaka Arka, I Wayan. 2010. Maintaning Vera in Rongga, Strugle Over culture, Tradition, and language in modern Manggarai, Flores, Indonesia dalam Endangered Language of Austronesian. Margaret Florey (editor). Oxford University Press. Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Menegnai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta Jambatan. Fox, James J. 1974. Our Ancestors Spoke in Pairs in J Scherzer (ed), Eksplorations in the Etnography : of Speaking 65-85.Cambridge University Press. Grimes, Barbara. 1997. “Knowing your Place, Representing Relation of Precedence and Origin on The Buru Landcape, J.J Fox (ed), The Poitic Power of place: Comparative Perspektives on Austronesian Idea of Locality:116-31. Canberra: Departemen of Anthroplology, Research School of Pasifik and Asian Studies, Australian National University. Hutomo, Sadi Suripan. 1991. Mutiara yang Terlupakan :Pengantar Studi Sastra Lisan. Jawa Timur : HISKI. Jakobson, R. 1992. “Linguistik dan Bahasa Puitik” dalam Serba-serbi Semiotika. Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (Ed). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Keraf, Gorys. 1999. Diksi dan Gaya Bahasa.jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi Analisis Strata Norma dan Analisis Struktur dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sumitri, Ni Wayan dan Arka, I Wayan 2013. Foklor Ritual Vera dari Etnik Rongga Flores : Jendela Kini untuk Masa Lalu dan Masa Depan dalam Folklor dan Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern: Kesatuan dan Keberagaman. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal : Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta. Diterbitkan oleh ATL. Teeuw.A.1988. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka JayaGirimukti Pasaka. WACANA VERA MBASA WINI: KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI ETNIK RONGGA Oleh Ni Wayan Sumitri Makalah Disajikan Pada Forum Ilmiah FPBS UPI 2014 (Seminar Internasional Bahasa, Sastra, Seni, dan Pembelajarnnya) ‘kajian-kajian Muktahir dalam bahasa, Sastra, Seni, dan pemebelajarannya untuk memperkokoh Jati Diri Bangsa” 19-20 Nopember Bandung 2014