View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
brought to you by
CORE
provided by Digital Repository IKIP PGRI Bali
WACANA VERA MBASA WINI :
KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI ETNIK RONGGA1
Oleh
Ni Wayan Sumitri
Dosen Kopertis Wilayah VIII dpk di IKIP PGRI Bali
[email protected]
Tulisan ini membahas tentang Vera Mbasa wini yakni tradisi ritual berupa tarian disertai
nyanyian etnik Rongga yang terdapat di kecamatan kota Komba di Kabupaten Manggarai
Timur, NTT. Vera mbasa wini adalah salah satu bagian dari tradisi ritual vera haimelo
mbuku sa’o (ritual syukuran yang berkaitan dengan pertanian). Ritual ini memiliki corak
yang khas sebagai pembeda dengan etnik yang lain, sarat dengan berbagai nilai budaya dan
sebagai kearifan lokal budaya Rongga. Makalah ini memaparkan karakteristik wacana vera
mbasa wini sebagai wacana bergaya sastra dan perannya sebagai media pewarisan nilai-nilai
luhur para leluhur sebagai kearifan lokal. Nilai kearifan lokal tersebut terkait dengan
kehidupan manusia dalam keberadaanya sebagai mahkluk individu, mahkluk sosial, dan
mahkluk berbudaya. Nilai-nilai itu tertuang dalam bait-bait syair lagu berupa nasihat atau
petuah tentang nilai kehidupan. Nilai-nilai kehidupan yang dimaksud berkenaan dengan
kepercayaan etnik Rongga terhadap kekuatan adimanusiawi dalam wujud kepercayaan
terhadap Tuhan, leluhur dan roh alam yang sangat menentukan keberadaan dan keberlajutan
hidup mereka di dunia, dan terkait dengan nilai etika dan moral sebagai tuntunan hidup yang
masih sangat relevan diterapkan dalam konteks kehidupan masa kini.
Kata kunci : wacana vera mbasa wini, kearifan lokal, tradisi
1
Makalah disajikan pada acara Forum Ilmiah X (Seminar dan Lokakarya Internasional) FPBS UPI dengan tema
:Kajian-kajian Mutakhir dalam Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya untuk Memperkokoh Jati Diri Bangsa”
yang diselenggarakan pada hari Rabu-Kamis, 19-20 November 2014, di Kampus UPI Jalan Dr. Setiabudhi No.
229 Bandung.
1.Pendahuluan
Tulisan ini memaparkan hasil penelitian tentang tradisi vera mbasa wini. Tradisi vera
mbasa wini merupakan salah satu bagian dari tradisi ritual vera etnik Rongga. Etnik Rongga
merupakan salah satu etnik minoritas di Indonesia yang berlokasi di kecamatan kota Komba
di Kabupaten Manggarai Timur, Flores Nusa Tenggara Timur. Jumlah penduduk etnik
Rongga sekitar 8.000 dari 11.957 jumlah penduduk (statistik kecamatan kota Komba 2011)
(Sumitri dan Arka, 2013:727). Vera adalah sebuah tradisi ritual yang diwarsikan turun
temurun secara lisan dari generasi ke generasi. Tradisi ritual ini vera ini berkaitan dengan
pertanian dan kehidupan manusia berupa sebuah pertunjukan tarian disertai nyanyian. Tarian
dan nyanyian ini dibawakan oleh penari dewasa baik laki-laki maupun perempuan dalam
bentuk dua baris dengan seorang pemimpin tarian yang disebut noa lako. Barisan depan
diisi oleh penari perempuan (daghe) dan barisan belakang diisi oleh penari laki-laki (woghu).
Pertunjukan vera dilaksanakan di halaman rumah adat suku pemilik gendang pada tengah
malam, dan berakhir pada pagi hari menjelang matahari terbit. Pertujukan vera ditutup
dengan nyanyian yang disebut tangi jo.
Berdasarkan konteksnya tradisi ritual vera terdiri atas beberapa jenis termasuk vera
mbasa wini, yakni tradisi ritual yang berkaitan dengan pertanian. Secara leksikal, kata Mbasa
berarti ‘basah’ dan kata wini berarti ‘bibit’. Istilah mbasa wini berarti memerciki bibit dengan
darah korban (ayam atau babi) sebagai ungkapan permohonan kepada Tuhan yang
disampaikan dengan perantaraan leluhur. Permohonan yang disampaikan itu dengan harapan
supaya Tuhan memberkati bibit agar bertumbuh subur dan memberikan hasil berlimpah pada
tahun musim yang akan datang. Upacara vera mbasa wini dilaksanakan pada awal musim
tanam sesuai kalender adat etnik Rongga, yang biasanya jatuh pada bulan Oktober.
Dilihat dari bentuk satuan kebahasaan yang digunakan
wacana vera mbasa wini
memiliki karaktersitik struktur yang khas. Kekhasan itu sebagai salah satu fitur pembeda
dengan etnik yang lain, yang di dalamnya terkandung pula nilai luhur para leluhur sebagai
kearifan lokal. Nilai kearifan lokal tersebut terkait dengan nilai budaya dan nilai filosofis
kehidupan manusia dalam keberadaanya sebagai mahkluk individu, mahkluk sosial, dan
mahkluk berbudaya. Nilai itu tertuang dalam bait-bait syair lagu dalam bentuk nasihat atau
petuah tentang nilai kehidupan yang terkait dengan kepercayaan atau sikap religius etnik
Rongga terhadap eksistensi kekuatan adimanusiawi dalam wujud kepercayaan terhadap
Tuhan, leluhur dan roh alam. Selain itu, terkait pula dengan nilai kehidupan tentang etika
dan moral yang masih relevan sebagai pedoman dalam menata pola perilaku laku dalam
konteks kehidupan masa kini.
Dari uraian di atas, dalam tulisan ini akan dipaparkan karakteristik struktur wacana
vera mbasa wini dan perannya sebagai media pewarisan nilai-nilai luhur para leluhur etnik
Rongga. Metode yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan etnografi.
Lokasi penelitian meliputi dua kelurahan dan dua desa yakni kelurahan Tanarata, Watu
Nggene, desa Bamo dan desa Komba di kecaamatan kota Komba, Kabupaten manggarai
Timur, Nusa Tenggara Timur. Analisis data beraras pada data primer dan data sekunder. Data
primer berupa rekaman audio/video pertunjukan vera mbasa wini dan teks trasnkripsi syairsyair vera, tuturan wacana serta hasil wawancara dengan pelaku vera mbasa wini. Data
sekunder berupa buku yang relevan dan penelitian dari hasil peneliti lain juga digunakan
sebagai acuan sebagai pendukung dalam analisis.
Pembahasan akan dipaparkan sebagai berikut. Uraian mengenai karakteristik wacana
vera mbasa wini pada 2.1, Vera mbasa wini sebagai media pewarisan nilai-nilai luhur para
leluhur pada 2.2. kesimpulan diberikan pada bagian 3.
2. Hasil Penelitian dan Bahasan
2.1 Karakteristik Struktur Wacana Vera Mbasa Wini
Karakteristik teks wacana vera mbasa wini yang dimaksud dalam hal ini adalah dilihat
dari satuan kebahasaannya. Wacana vera mbasa wini memiliki karakteristik bentuk satuan
kebahasaan yang diracik secara tipikal berupa penggunaan ungkapan berpasangan yang
berisikan pola kata-kata atau irama dalam paduan dengan penggunaan kata-kata arkais seperti
ndeta ‘di atas sana’, ndale ‘di bawah’ yang sulit dipahami oleh orang awam khsusunya kaum
muda etnik Rongga karena itu, dituntut kemampuan khusus dan pengetahuan yang memadai.
Meskipun demikian, ditilik dari perspektif kesastraan, penggunaan kata-kata arkais tersebut
dapat diidentifikasi sebagai fenomena retak dalam teks demi menunjang kepekatan makna
dan kesakralan bahasa yang digunakan dalam teks wacana vera mbasa wini.
Terkait dengan karakteristik bentuk tekstual satuan kebahasaan yang digunakan,
wacana Vera mbasa wini dapat digolongkan sebagai sastra lisan. Hal ini selaras dengan
pandangan Hutomo (1991:1) yang menyatakan bahwa sastra lisan adalah kesusastraan yang
mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan turun temurun
secara lisan (dari mulut ke mulut). Pandangan itu diperkuat pula dengan pendapat Soetarto
(2003:37) yang menyatakan, sastra lisan adalah produk budaya lisan yang diwariskan dari
generasi ke generasi dari mulut ke mulut atau disampaikan secara lisan.
Ditelaah dari aspek bentuk, teks wacana tradisi lisan vera mbasa wini diidentififikasi
sebagai bentuk puisi rakyat berbentuk syair sebagai model ekspresi gagasan yang ingin
disampaikan. Hal itu bertalian dengan pandangan Jakobson (1994:63) yang menyatakan
bahwa hakikat puisi adalah pamakaian bahasa atau puisi dalam tindak kata (atau tindak tutur
bisa wujud kata). Dijelaskan lebih lanjut oleh Jakobson bahwa puisi adalah ungkapan yang
terarah ke mode ekspresinya sehingga fungsi puitik bahasa berpusat pada pesan itu sendiri
(Teeuw, 1988:73). Fungsi puitik yang penting bukan terletak pada referensi atau acuan di luar
bahasa, tetapi terletak pada kata atau pemakaian bahasa itu sendiri yang menjadi pusat
perhatian, walaupun ada fungsi-fungsi lain dalam puisi.
Menurut Jakobson (1994:71), puisi adalah ekuivalensi karena memproyeksikan
prinsip ekuivalensi dari poros pemilihan menuju poros kombinasi sesuai kemungkinan yang
disediakan oleh sistem bahasa. Dalam bahasa puitik, kemungkinan dari segi tertentu
menonjolkan ekuivalensi yang dapat terwujud dalam gejala beranekaragam. Ekuivalensi
bunyi dalam bentuk rima, aliterasi, asonansi, tetapi dalam skema matra, seperti dalam kidung
dan kakawin, mempunyai kesejajaran antara larik dengan larik, antara pupuh dengan pupuh
dan di dalam larik ada macam-macam kesejajaran, yang seluruhnya disebut sitem sastra
(Teeuw, 1988:76-77).
Wacana tradisi lisan vera mbasa wini sebagai suatu bentuk puisi memiliki struktur
tersendiri yang memadukan sistem bunyi teratur dan terpola dengan formulasi ekspresiekspresi dan kata-kata berirama dengan memanfaatkan fitur paralelisme sebagai ciri utama
bahasa ritual di Indoensia bagian Timur (Fox, 1974:73; Grimes et al,1977). Formulasi
tersebut disertai guratan makna yang bersifat khas sesuai kekhususan konteks ritual yang
melatarinya. Ditilik dari perspektif linguistik formal, bentuk tekstual satuan kebahasaan yang
digunakan dalam wacana tradisi lisan vera mbasa wini memiliki karakteristik antara lain : (1)
Struktur dalam baris,
sering
melalui pengulangan; (2)
menunjukkan keterpaduan secara leksikal dan diwahanai
memanfaatkan fitur paralelisme seperti paralelisme fonologis
(asonansi, aliterasi, dan rima) dan paralelisme leksikosemantis (sinonim dan antonim) yang
diuraikan berikut ini
2.1.1 Struktur dalam Baris
Karakter tipikal struktur wacana vera mbasa wini adalah sruktur dalam dari baris
yang menunjukkan perpaduan secara leksikal melalui pengulangan. Formula setiap baris
dalam pasangan terdiri dari dua bagian, satu bagian sering menunjukkan sebuah pengulangan
yang tepat dari baris yang lain seperti tampak pada data berikut.
(01)
Ema po soro, ma’e rero ma’e ghewo
‘Ayah beri nasihat, jangan ribut jangan lupa’.
Ine reku lelu, ma’e rero ma;e ghewo
‘Mama beri nasihat jangan ribut jangan lupa’.
Petuah: Jangan meremehkan nasihat orang tua
(02)
ana halo pae raku, ne arhe waru
‘Yatim piatu miskin jahit pakai tali waru’.
Ana halo pae dhepe, ne arhe tere
‘Yatim piatu miskin jahit pakai tali sukun hutan’.
Petuah: hidup dalam kesederhanaan dan apa adanya.
Pada data (01) dan (02) di atas struktur dalam dari baris pembentuk bait terdiri dari
dua bagian, antara bagian pertama dengan bagian kedua dipisahkan oleh koma. Satu bagian
sering menunjukkan sebuah pengulangan yang tepat dari baris yang lainnya. Seperti tampak
pada (01) bagian kedua , ma’e rero ma’e ghewo ‘jangan ribut jangan lupa’ diulang pada baris
kedua pada posisi yang sama. Pada data (02) yakni ana halo pae ‘anak yatim miskin’ diulang
pada baris kedua juga pada posisi yang sama. Bentuk pengulangan seperti dengan tujuan
untuk memeperlancar aktivitas penuturan, menciptakan makna estetis, dan sebagai ciri
kelisanan.
2.1.2 Pemanfaatan Fitur Paralelisme : Paralelisme Fonologis dan Leksiko Semantis
2.1.2.1 Paralelisme Fonologis
Secara formal linguistik, wacana vera mbasa wini tersusun dalam baris dan bait yang
menunjukkan perpaduan secara leksikal melalui pengulangan dengan memanfaatkan fitur
paralelisme. Keindahan bahasa yang digunakan dalam wacana vera mbasa wini tidak terletak
pada deretan kata yang membentuknya, melainkan ditentukan oleh bunyi yang muncul
melalui perulangan, baik perulangan vokal maupun perulangn konsonan, baik sebagian
ataupun keseluruhan pembentuk kata. Perulangan itu terdapat pada tataran fonologis yang
berkaitan dengan asonansi, aliterasi, rima.
Penggunaan pola bunyi berasonansi merupakan salah satu ciri paralelisme fonologis
paling menonjol dalam wacana vera mbasa wini. Asonansi adalah penggunaan bunyi vokal
yang sama dalam kata-kata berdekatan yang diikuti atau dikelilingi berbagai macam bunyi
konsonan (Reaske, 1966:21; Pradopo, 1996 ). Rajutan fungsi dan makna bernilai tinggi
dalam struktur wacana vera mbasa wini didukung pola bunyi sehingga terasa berkesan dalam
benak pendengar.
Pola bunyi berasonansi yang terjadi pada tataran kata merupakan
perangkat diad dasar dengan salah satu kata atau lebih sebagai perluasannya. Perangkat diad
dasar tersebut membuat teks wacana vera mbasa wini tampil sebagai sebuah teks wacana
yang utuh, seperti terlihat pada contoh berikut.
(03)
Jara mosa bhara, posa jara ngarha
‘Kuda jantan putih, katanya kuda ternama’.
Peko maju pengga,mbau-mbau pengga
‘Kejar rusa mau tikam, tidak jadi tikam’
Petuah: Orang yang tidak tetap pendirian
(04)
Embo sosa ndau lau wiri nonga
‘Ombak berbunyi di sana batas pantai’.
Meti ndili seli, meti reta wiri penda
Surut/keringdi bawah gelap surut berhenti di batas pandan
Petuah: hambatan yang dialami oleh setiap orang dalam mengerjakan sesuatu.
(05)
Ndili no ndele moe kowa palo rajo
‘bawah dan atas seperti sampan beriringan’.
Ndeta no ndele moe bondo wa’u waju
‘Atas dan bawah seperti lumbung turun tumbuk’.
Petuah : Bekerja bersama-sama atau bergotong royong.
Asonansi terlihat pada data (03), kata jara ‘kuda’ pada bagian pertama berasonansi
vokal dengan kata bhara ‘putih’ dan jara ‘kuda’ dengan kata ngarha ‘ternama’ pada bagian
kedua pada baris pertama. Bunyi yang berasonansi adalah bunyi vokal a-a. Pada data (04)
pada baris pertama, kata sosa ‘berbunyi’ pada bagian pertama‘ berasonansi vokal dengan kata
nonga ‘pantai’ pada bagian kedua dan kata ndau ‘itu’ berasonansi vokal dengan kata lau ‘di
sana’ Bunyi vokal yang berasonansi adalah o-a dan gabungan bunyi vokal adalah au-au.
Pada baris kedua, kata meti ‘surut’ berasonansi vokal dengan kata seli ‘gelap’, kata ndili ‘di
bawah’ berasonansi vokal dengan kata wiri ‘batas’, dan kata reta ‘berhenti’ berasonansi vokal
dengan kata penda ‘pandan’. Bunyi fonem vokal yang beransonansi adalah bunyi fonem
vokal e-i, i-i, dan e-a. Asonansi pada data (03) adalah asonansi berstruktur simetris yang
dimarkahi oleh fenomena permainan fonem vokal sepadan, yakni bunyi a-a dalam salah satu
perangkat diad pada baris fragmen. Sedangkan pada data (04), selain berasonansi simetris
oleh permainan bunyi sepadan berupa bunyi i-i, juga asonansi berstruktur asimetris yang
dimarkahi dengan fenomena permainan fonem vokal tidak sepadan, yakni bunyi e-i dan e-a,
dalam salah satu perangkat diad dalam baris fragmen. Penggunaan bunyi asonansi pada
struktur
teks wacana vera mbasa wini untuk menampilkan keindahan bentuk dan
menimbulkan efek musikalitas ketika dituturkan.
Aliterasi sebagai salah satu fitur paralelisme pada tataran fonologis terdapat pula
dalam struktur teks wacana vera mbasa wini. Aliterasi berkaitan dengan pengulangan bunyi
konsonan pada awal suku kata atau kata secara berurutan. Bentuk paralelisme ini menjadikan
rajutan ungkapan lebih terasa dan berkesan dalam benak pendukung wacana vera mbasa wini
seperti terlihat pada data (05). Aliterasi kosnonan nd berdistribusi pada posisi awal dalam
kata ndili ‘bawah’ dan ndele ‘atas’ dan konsonan w pada kata wa’u turun’ dengan waju
‘tumbuk’.
Rima sebagai pola perulangan bunyi yang sama yang muncul secara berurutan pada
kata, frasa, atau klausa seperti tercermin pada data (05). Terdapat rima tengah pada frasa
preposisi ndili seli ‘di bawah gelap’ ditandai dengan permainan fonem konsonan l, dan pada
frasa verbal meti reta ‘surut berhenti’ Penggunaan rima tersebut untuk menciptakan
keharmonisan estetis bunyi.
2.1.2.2. Paralelisme Leksikosemantis
Paralelisme leksikosemantis merujuk pada sifat hubungan makna kata yang
merupakan unsur perangkat diad dan sifat hubungan makna antara unsur kata, frasa dan
kalimat dalam satu ungkapan. Karakter tipikal dari pararlelisme adalah struktur dalam dari
baris yang menunjukkan perpaduan secara leksikal melalui pengulangan dan sinonim, dan
antonim. Sinonim adalah penggunaan kata-kata yang memiliki makna yang sama (lihat
Keraf, 1999). Antonim adalah penggunaan kata-kata yang menyatakan kata yang berlawanan.
Paralelisme leksikosemnatis yang terdapat dalam wacana vera mbasa wini dapat disimak
pada fragmen berikut.
(06)
Ine po soro, kau rero ma’e ghewo
‘Ibu menasehati kamu jangan ribut jangan lupa’
Ema reku lelu, kau rero ma’e ghewo
‘Ayah menasihati kamu jangan ribut jangan lupa’
Jangan meremhkan nasihat orangtua.
(07)
Hongga lari, lari lari huki sapi
‘Pemuda ganteng, ganteng karena kulit sapi’.
Mbu’e milo-milo milo wae nio
‘Gadis cantik, cantik karena air kelapa’.
Kegantengan dan kecantikan yang tidak asli
Pada data (06) baris pertama bagian kedua, yakni Kau rero ma’e ghewo, ‘jangan ribut
jangan lupa, diulang pada baris kedua bagian kedua. Baris pertama
menunjukkan
keterpaduan dengan menggunakan sinonim dan antonim, seperti kata po ‘nasihat’ pada klausa
ine po soro ‘ibu menasihati’ bersinonim dengan kata reku ‘nasihat’ pada klausa ema reku lelu
‘bapak menasihati’. Ungkapan itu memiliki makna janganlah meremehkan nasihat orang tua.
Pada (07), kata hongga
‘pemuda’ dalam frasa nomina hongga lari pada baris pertama,
bentuk antonim dari kata mbu’e ‘gadis’ dalam frasa nomina mbu’e milo ‘gadis cantik pada
bagian pertama baris kedua. Kedua frasa itu memiliki makna mengias kepada orang yang
kecantikannya dibuat-buat tidak alami. Pada bagian lain, seperti kata lari lari ‘ ganteng-
ganteng dan kata milo milo ‘cantik-cantik sebagai bentuk reduplikasi diulang pada bagian
kedua, yakni lari huki sapi ‘ ganteng karena kulit sapi, dan milo wae nio ‘cantik karena air
kelapa. Pengulangan kata itu memiliki makna penegas, bahwa seseorang cantik, tetapi
kecantikannya tidak bersifat alamih atau dibuat-buat.
2.2 Vera Mbasa Wini : Media Pewarisan Nilai-nilai Kearaifan Lokal
Vera mbasa wini adalah produk dan praktek budaya warisan nenek moyang etnik
Rongga yang diwariskan turun temurun secara lisana dari generasi ke generasi. Sebagai
produk budaya dan warisan leluhur, tradisi vera mbasa wini mengandung berbagai hal yang
menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, seperti sistem nilai, kepercayaan,
dan norma-norma sosial kemasyarakatan yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam
menapaki ziarah kehdiupan di dunia.
Dalam kehidupan etnik Rongga praktik ritual adalah
suatu kewajiban budaya, kesinambungan tradisi, dan memenuhi kehendak nenek moyang.
Vera mbasa wini sebagai wujud budaya Rongga dapat memperkuat dan meneruskan nilai
tradisi, yang merupakan bagian integral dari budaya Rongga. Ritual ini menyoroti bagian
penting dari ikatan leluhur dan berkat leluhur dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain,
kesinambungan tradisi ritual dengan jalan yang benar diyakini etnik Rongga dapat memberi
kedamaian dan kemakmuran.
Oleh karena itu, vera mbasa wini sebagai salah satu identitas etnik Rongga memiliki
peran penting sebagai media pewarisn nilai luhur para leluhur. Vera mbasa wini diwariskan
turun temurun secara lisan dengan dua cara yakni (1) secara alamiah melalui mekanisme
unjuk libat tari dalam kegiatan vera
mbasa wini, dan (2) secara non-alamiah melalui
pelatihan. Cara pertama terkait dengan pementasan vera mbasa wini karena tuntutan rirual
sebgai suatu kewajiban budaya. Dalam aktivtas ini memberikan kesempatan kepada orangtua
yang sudah mahir untuk menarikan vera dan juga kesempatan kepada generasi muda untuk
melihat dan belajar ikut menari (lihat Sumitri dan Arka, 2013:728-729). Kejadian alamiah ini
dilakukan secara berulang-ulang ini memberikan wahana sebagai alih keterampilan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Mekanisme pewarisan dengan cara yang kedua adalah
dengan pelatihan berdasarkan kebutuhan. Pelaksanaan pelatihan biasanya dilakukan
seminggu menjelang pementasan vera yang dilaksanakan pada hari yang sudah ditentukan.
Pada saat itu generasi terlibat langsung ikut dalam latihan menari dan menyanyi yang
dibawakan oleh para orangtua yang sudah mahir menarikan dan menyanyikan vera mbasa
wini. Aktivitas vera mbasa wini dilaksankan selain sebagai kewajiban karena tuntutan ritual
juga sebagai wadah penerusan nilai budaya dari generasi ke generasi sebagai salah satu
kearifan lokal budaya Rongga.
Kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai atau pengetahua
asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai leluhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan
kehidupan bermasyarakat (Sibarani, 2013:130). Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung
dalam wacana vera mbasa wini fungsinya dalam menata pola perilaku kehidupan etnik
Rongga. Nilai kearifan lokal itu terkait dengan nilai budaya dan nilai filosofis kehidupan
manusia dalam keberadaannya sebagai mahkluk individu, mahkluk sosial, dan mahkluk
berbudaya. Nilai-nilai budaya dan filosofis itu tertuang dalam bait-bait syair lagu berupa
nasihat atau petuah tentang kehidupan selain berkenaan dengan etika dan moral juga
kerkenaan dengan kepercayaan etnik Rongga terhadap kekuatan adimansiawi dalam wujud
kepercayaan terhadap Tuhan, leluhur, dan roh alam. Ketiga kekuatan itu dipahami etnik
Rongga sebagai kekuatan yang sangat menentukan keberadaan dan keberlanjutan hidupnya
di dunia.
Semuanya itu masih relevan sebagai pedoman dalam bertingkah laku dalam
konteks kehidupan masa kini. Berikut beberapa contoh syair-syair vera mbasa wini yang
menunjukkan kandungan nilai budaya dan filosofis sebagai nilai kearifan lokal etnik Rongga
berdasarkan data terkumpul.
Tabel : 1 Kandungan Nilai Budaya dan Filosofis Wacana Vera Mbasa Wini
No
1.
Nilai
budaya/filosofis
Kepercayaan
kepada :
Tuhan,
leluhur,
dan roh alam
Teks Asli
Terjemahan
1) Ua ndele poso, lando sorhi ndewa ‘
‘
To’e leu rhe , kamu lore mitu ‘
Di gunung ujungnya ke atas
tangkap dewa’
Aur padang akarnya tembus
jauh ke bawah’
Petuah: Memiliki cita-cita yang
tinggi selalu memuja Tuhan
2) Watu susu Rongga, rhua ndoa ndoa rhua
Leke ema komba, rhua ndoa ndoa rhua
2.
Keharmonisan
3) Mbawarani nggana rie pimbe inerie
Bhutu ndala nu rie pimbe inerie
‘Batu susu di Rongga dua
berpasangan, berpasangan dua
’
‘Menetap Bapa Komba dua
berpasngan, berpasnaga dua
Petuah : Bapa Komba hidup
dilindungi oleh kekuatan batu
‘Bintang pagi berdampingan
dengan gunung inerie’
‘Muncul
bintang
lain
berdampingan dengan inerie’
Petuah:
hubungan
3.
4.
Pengendalian
diri
Kebjikasnaaan
4) Peko lakolau kau ma’e tolo paru
keharmonisan
‘Kejar anjing di sana jangan
sembarang lari’.
Peko lako rhele kau ma’e tolo hewe
‘Kejar anjing di atas kau
jangan sembarang dengar’.
5) Putungguru luwu nggere rhele lena
‘Bakar aur luwu (nama tempat)
terang di atas Lena (nama
temapt)’.
Renggo bheto tenggo ndara lau arha
‘Lindungi betung Tenggo
(nama tempat) terang arah
sana’’.
Pemimpin yang
memiliki
sifat bijaksana/mengayomi
5.
Keteguhan hati
6) Topo liro mbao ra’a mbiwa ra
Wara tumbu kembi ate mbiwa leli
‘Parang kilatan darah tidak
turun’.
‘Angin kencang menghantam
dinding hati hati tidak gentar’.
Tidak gentar
tantangan
6.
Toleransi
7) Maghi poma Sambi tau ngambu nana wati
menghadapi
‘Lontar Poma Sambi (nama
tempat)lumayan buat anyam
baku’.
Maghi poma merhe tau ngambu nana mbere
‘Lontar poma merhe (nama
tempat) lumayan buat anyam
keranjang’
Menerima
kelebihan
keurangan setiap orang
7.
Kerukunan
8) Nggoti uma nggoli wawi ka manu ka
Ndua uma waru wawi ka manu ka
dan
‘Tanam kebun Nggoli daging
babi di makan daging ayam
dimakan’.
‘Pergi kerja kebun Waru
daging babi dimakan daging
ayam dimakan’.
Selalu hidup rukun dalam
keluarga dan masyaraakat
8.
Kejujuran
9) Sei nunu kau ma’e rewo ko’e
‘Siapa beritahu kau jangan
bohong lagi’.
Sei posa kau ma’e mbaje ko’e
‘siapa beritahu kau jangan
bohong lagi
Menjadilah orang yang jujur
9.
Kewaspadaan
10) Pale ghae mena rhale ne ate ngitu ngape
Dhoma romab ngesu maru ne ate ngitu ngape
10.
Sindiran
11) Nggote nunu merhe nggote nunu
Ana embu la’a lerha nde Jono mawo nde
‘Berkeliaran sana sini dengan
hati waspada’.
‘Biasa pagi akrab sore dengan
hati waspada’.
Berhati-hati
bergaul/bersosialisasi
dalam
‘Kasihan
beringin
kasihan beringin’.
besar
Anak cucu jalan panas
berteduh di naungan mana’
Menyindir kepala suku yang
tidak bijaksana
11.
Tanggunjawab
13) Foru muku natu ndau ngia kau
Ka sesepi ma’e dholo dheli
‘Harum pisang
mukamu’
beranga
‘makan sesisir jangan sulit
mengunyah’.
Tahu
berbuat
tanggungjawab
12.
Persatuan
kesatuan
dan
14) Ngguru tara woso, woso arhi woso ka’e
Besi singga lina, lina riwu lina ngasu
di
tahu
‘Bambu hutan ranting banyak,
banyak adik banyak kakak’.
‘Kesukuan dan persaudaraan
kita menjadi himpunan yang
besar’
Persatuan dan klestuan
Nilai tradisi yang diwariskan vera mbasa wini sangatlah kaya yang bersifat universal.
Nasihat-nasihat atau petuah-petuah patutlah dijunjung tinggi bukan saja ditujukan kepada
masyarakat Rongga itu sendiri, juga untuk masayarakat lainnya. Nilai itu sangatlah relevan
diterapkan dalam kehidupan modern yang penuh dengan tantangan hidup.
3. Kesimpulan
Tulisan ini memaparkan perihal vera mbasa wini, sebuah tradisi ritual yang berkaitan
dengan konteks pertanian. Wacana vera mbasa wini memiliki karakterisrik struktur yang khas
sebagai sastra lisan dengan memanfaatkan fitur paralelisme berupa pola kata-kata atau irama
dalam bentuk paralleisme fonologis seperti asonansi, aliterasi dan rima, serta paralelisme
leksikosemantis berupa sinomim dan antonim. Vera mbasa wini merupakan bagian integral
dari budaya Rongga yang menyimpan berbagai nilai budaya dan berperan sebagai media
pewarisan nilai luhur para leluhur. Nilai budaya itu melingkupi berbagai nilai kehidupan
seperti kepercayaan terhadap Tuhan, roh leluhur, dan roh alam yang dipahami etnik Rongga
ikut menentukan keberadaan, dan keberlanjutan hidupnya di dunia dan nilai etika dan moral
seperti keharmonisan, pengendalian diri, kebijaksanaan, keteguhan hati, toleransi, kerukunan,
kejujuran, kewaspadaan, ketabahan, tanggungjawab, dan pesartuan dan kesatuan. Semuanya
masih sangat relevan untuk kehidupan sekarang ini. Sudah sepatutnya nilai budaya Rongga
ini terus digali, dipahami dan diterapkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari serta
dipertahankan keberadannya mengingat derasnya budaya global yang tanpa mengenal batas.
Daftar Pustaka
Arka, I Wayan. 2010. Maintaning Vera in Rongga, Strugle Over culture, Tradition, and
language in modern Manggarai, Flores, Indonesia dalam Endangered
Language of Austronesian. Margaret Florey (editor). Oxford University Press.
Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Menegnai
Masyarakat Pulau Roti. Jakarta Jambatan.
Fox, James J. 1974. Our Ancestors Spoke in Pairs in J Scherzer (ed), Eksplorations in the
Etnography : of Speaking 65-85.Cambridge University Press.
Grimes, Barbara. 1997. “Knowing your Place, Representing Relation of Precedence and
Origin on The Buru Landcape, J.J Fox (ed), The Poitic Power of place: Comparative
Perspektives on Austronesian Idea of Locality:116-31. Canberra: Departemen of
Anthroplology, Research School of Pasifik and Asian Studies, Australian National
University.
Hutomo, Sadi Suripan. 1991. Mutiara yang Terlupakan :Pengantar Studi Sastra Lisan. Jawa
Timur : HISKI.
Jakobson, R. 1992. “Linguistik dan Bahasa Puitik” dalam Serba-serbi Semiotika. Panuti
Sudjiman dan Aart Van Zoest (Ed). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Keraf, Gorys. 1999. Diksi dan Gaya Bahasa.jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi Analisis Strata Norma dan Analisis Struktur
dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sumitri, Ni Wayan dan Arka, I Wayan 2013. Foklor Ritual Vera dari Etnik Rongga Flores :
Jendela Kini untuk Masa Lalu dan Masa Depan dalam Folklor dan Folklife dalam
Kehidupan Dunia Modern: Kesatuan dan Keberagaman. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal : Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta.
Diterbitkan oleh ATL.
Teeuw.A.1988. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka JayaGirimukti Pasaka.
WACANA VERA MBASA WINI:
KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI ETNIK RONGGA
Oleh
Ni Wayan Sumitri
Makalah Disajikan Pada Forum Ilmiah FPBS UPI 2014
(Seminar Internasional Bahasa, Sastra, Seni, dan Pembelajarnnya)
‘kajian-kajian Muktahir dalam bahasa, Sastra, Seni, dan pemebelajarannya untuk
memperkokoh Jati Diri Bangsa” 19-20 Nopember
Bandung
2014