Academia.eduAcademia.edu

ISTILAH - ISTILAH THEOLOGIS

Istila - Istilah Theologis, Berisi Penjelasan Dari Penggunaan Kata2 Yang Sukar Atau Sulit Dimengerti Dalam Alkitab.

ISTILAH-ISTILAH THEOLOGI CATATAN KULIAH MERCELLIUS JOHN.L WAROY 0811178 SEKOLAH TINGGI THEOLOGIA BETHEL JAKARTA FAKULTAS THEOLOGI 2008 JENIS-JENIS BAHASA LAMBANG 1 Ada beberapa jenis bahasa lambang dalam Alkitab dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya beberapa istilah utama sbb: 1. METONIMIA — Subjek yang diungkapkan melalui sesuatu yang berkaitan dengan subjek itu sendiri. Contoh: • "Ubanan" dikaitkan dengan orang lanjut usia, jadi melambangkan orang tua (Im 19:32*; TBI: orang ubanan). • "Bibir" atau "lidah" berkaitan dengan berkata atau memerintah. Kedua kata ini dapat dipakai untuk memaksudkan perkataan atau perintah (Ayb 22:22*; Mat 4:4* Allah tidak memiliki mulut; bnd Ams 12:19*). • "Serban kerajaan" atau "tongkat kerajaan" melambangkan kekuasaan (Yeh 21:26*; Kej 49:10*; bnd Yes 62:3*-"serban kerajaan"). Jadi, arti kata-kata ini, bila digunakan sebagai bahasa lambang, dapat diketahui dengan mencari tahu pada hal-hal apa biasanya kata-kata tersebut dikaitkan. 2. SINEKDOKE — Kiasan yang menyebut sebagian untuk memaksudkan keseluruhan (pars pro toto), atau sebaliknya, menyebut keseluruhan untuk memaksudkan sebagian (totem pro parte). Misalnya: • "Semua orang di seluruh dunia" - memaksudkan semua warga kerajaan Romawi hanya sebagian dari dunia (totem pro parte) (Luk 2:1*). • "Orang" - memaksudkan kata ganti diri orang ketiga tidak tentu - tapi ada kalanya memaksudkan pria dan wanita sebagai satu kelompok (manusia), atau segenap umat manusia (pars pro toto) (Ams 3:13*). 3. SIMILE — Kiasan yang membandingkan dua hal yang berbeda dengan menggunakan kata "seperti" atau "bagaikan". Misalnya: Dalam Mzm 1:3,4*, orang berbahagia dikatakan "seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air," sedangkan orang fasik "seperti sekam yang ditiupkan angin". 4. METAFORA — Juga sejenis perbandingan, tapi tanpa menggunakan kata "seperti" atau "bagaikan," melainkan menyebut sesuatu seolah benar-benar merupakan sesuatu yang lain. Contoh: "Tuhan adalah gembalaku" (Mzm 23:1*). Metafora sering digunakan dalam pembicaraan mengenai Allah. Misalnya, Allah dikatakan memiliki perasaan seperti manusia (mis: "menyesallah Tuhan" - Kej 6:6*). Allah juga digambarkan memiliki anggota tubuh seperti manusia (mis: "tangan-Mu" - Mzm 44:2*). Metafora sangat lazim digunakan sehingga ada kalanya kita lupa bahwa metafora sebenarnya adalah bahasa lambang. Metafora tidak boleh dipahami secara harfiah, meskipun ia menggambarkan sesuatu yang riil. 5. LAMBANG — Benda biasa yang menjadi memiliki arti tertentu. Contoh: • Pelangi adalah lambang kasih setia Allah (Kej 9:13-16*; Yeh 1:28*; Why 4:3*). 1 Jenis-jenis Bahasa Lambang @16991, Kompilasi Kamus Alkitab, Sabda (OLB versi Indonesia). • Tanduk adalah lambang kekuatan atau kuasa (Mzm 75:10; 132:17*; 1Sam 2:1*; Dan 7:7-8*; Za 1:18-21*). Semua mimpi dan penglihatan yang tertulis dalam Alkitab memuat banyak lambang. Kitab Why penuh dengan bahasa lambang bermakna rohani. 6. TIPE — Orang atau benda yang memberikan gambaran nyata dari sesuatu atau seseorang yang akan muncul kelak. Ini semacam penggambaran sesuatu dalam nubuat. Contoh: • Air bah Nuh adalah tipe dari baptisan Kristen (1Ptr 3:20,21*). • Melkisedek adalah tipe Kristus (Ibr 7*). Sejarah pengembaraan umat Israel ke tanah Kanaan adalah tipe pengalaman kehidupan Kristen (1Kor 10:1-13*). Kemah Suci dan korban-korban bakaran yang tertulis dalam Kel dan Im mengandung banyak tipe kehidupan dan kematian Kristus, dan cara hidup dalam persekutuan dengan Dia. 7. PERSONIFIKASI — Benda-benda mati yang digambarkan seperti manusia. Contoh: • Dalam Mzm 98:8* pemazmur mengajak segenap ciptaan Tuhan memberi segala hormat kepada Allah, seperti ini: "Biarlah sungai-sungai bertepuk tangan, dan gunung-gunung bersorak-sorak bersama-sama." Contoh lainnya terdapat dalam Mzm 65:12; 93:3*; Yes 55:12* 8. PERUMPAMAAN — Mirip simile, membandingkan dua hal yang berbeda tapi dengan lebih rinci dan panjang. Perumpamaan adalah kisah tentang sesuatu yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tapi tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan kebenaran rohani tertentu. Perumpamaan adalah salah satu cara khas yang dipakai Yesus untuk mengajar selama pelayanan-Nya di dunia (lihat Matius 13*). 9. ALEGORI — Adalah metafora yang diperluas. Seperti metafora, alegori dipakai untuk mengibaratkan sesuatu sebagai sesuatu yang lain, tapi lebih rinci dan panjang daripada metafora. Alegori adalah cerita yang mengajarkan banyak kebenaran melalui pelbagai metafora, sedangkan perumpamaan biasanya hanya mengajarkan satu pokok kebenaran. Berbeda dari perumpamaan, tidak setiap alegori mempunyai alur cerita - walaupun ada juga yang memiliki alur, seperti Gal 4:21-31*. Contoh-contoh alegori lainnya terdapat dalam Mzm 80:7-14*; Ams 5:3-5*; Pkh 12:3-7*; Yoh 15:1-8*; 1Kor 3:10-15*. ALLAH, NAMA-NAMA 2 Dari sekian nama, gelar, atau gambaran tentang Allah dalam PL ada tiga kata dasar utama, yakni ‘el, ‘elohim, dan Yahweh (Yehovah). Adalah perlu dari awal memahami arti ketiga nama itu, dan hubungannya satu dengan yg lain. I. NAMA-NAMA UTAMA a. El El (’ el), dalam Alkitab terjemahan bh Inggris dipakai kata Godatau god (’ Allah’ atau ‘dewa’). Kata padanan ini mempunyai bentuk yg sama asalnya dalam bh-bh Semitis lainnya, dan berarti suatu allah atau dewa dalam pengertian yg paling luas. Benar atau tidak, bahkan berarti suatu patung yg diperlakukan seperti dewa (Kej 35:2*). Karena sifatnya yg umum ini maka kata ini sering dihubungkan dengan kata sifat (ajektif) dan sebutan (predikat) tertentu. Misalnya Ul 5:9* mencatat ‘Aku, TUHAN (Yahweh), Allahmu (’ elohim), adalah Allah (’ el) yg cemburu’, atau Kej 31:13*, ‘Allah (’ el) yg di Betel’. Tapi dalam lembaran-lembaran naskah Ras Syamra, El adalah kata benda nama diri, nama dari ‘Allah akbar’ orang Kanaan yg anaknya adalah Ba’al. Bentuk jamak dari ‘el ialah ‘elohim, dan bila dipakaisebagai jamak diterjemahkan ‘dewa-dewa’ (tapi lih uraian berikut). Ini mungkin hanyalah patung-patung dari kayu dan batu (Ul 4:28*), atau makhluk-makhluk khayalan yg mereka gambarkan (Ul 12:2*). b. Elyon, El Elyon ‘El ‘elyon, ‘Allah Yg Mahatinggi’, adalah gelar Allah seperti yg disembah oleh Melkisedek (lih di bawah). ‘Elyon terdapatdalam Bil 24:16* dan di tempat lain. Dalam Mazm 7:16* sebutan ini dirangkaikan dengan Yahweh, dan dalam Mazm 18:12* sejajar dengan Yahweh. Lihat juga Dan 7:22,25* di mana bentuk jamak bh Aram ‘elyonin digunakan; di tempat lain dalam Kitab Dan bh Aram yg sama artinya dengan bh Ibrani ‘elyon ialah ‘illaya (mis Dan 4:17; 7:25*). c. Elohim Meskipun merupakan bentuk jamak (‘elohim), Elohim dapat dipakai sebagai bentuk tunggal, yg berarti Allah Yg Mahatinggi. Kata tersebut dari sudut tata bahasa dianggap kata benda biasa, mengandung pengertian yg mencakup segala sesuatu yg termasuk konsep Allah, yg berbeda dengan manusia (Bil 33:19*) dan makhluk-makhluk ciptaan lainnya. Penggunaan nama inimengacu kepada hubungannya dengan kosmik dan semesta dunia (Kej 1:1*), karena hanya ada satu Allah Yg Mahatinggi dan benar, dan Ia adalah sang Pribadi; ‘elohim mendekati sifat kata benda nama diri, sedangkan kualitas abstrak dan konseptualnya tidak hilang. 2 KEPUSTAKAAN: W. F Albright, Yahweh and the Gods of Canaan, 1968; A Alt, ‘The God of the Fathers’, dalam Essays on OT History and Religion, 1966, hlm 1-77; F. M Cross, Yahweh and the God of the Patriarchs, HTR 55, 1962, hlm 225-259; 0 Eissfeldt, El and Yahweh, JSS 1, 1956, hlm 25-37; G. T Manley, The Book of the Law, 1957, hlm 3747; J. A Motyer, The Revelation of the Divine Name, 1959; A Murtonen, A Philological and Literary Treatise on the Divine Names ‘el, ‘eloah, ‘elohim and Yahweh, 1952. GTM/JMP. d. Eloah Kata ini (‘eloah) ialah bentuk tunggal dari ‘elohim, dan mempunyai arti yg sama dengan ‘el. Dalam PL kata ini terutama sekali ditemukan dalam puisi (mis Ul 32:15,17*; paling sering dlm Kitab Ayb). Bh Aram yg sejajar dengan kata ini ialah ‘elah. e. Yahweh (Yehowa) Kata Ibrani Yahweh kadang-kadang diterjemahkan Yehowa. Asal nama yg terakhir ini sebagai berikut. Naskah ash bh Ibrani tidak membubuhkan tanda-tanda huruf hidup; pada kurun waktu ‘tetragrammaton’ (4 huruf) YHWH dianggap teramat suci untuk diucapkan; jadi ‘adonay (Tuhan-ku) dipakai sebagai penggantinya bila membacakannya, dan hurufhuruf hidup dari perkataan ini digabungkan dengan huruf-huruf mati YHWH sehingga terbentuklah ‘Yehowa’ (h) suatu bentuk yg pertama kalinya diperkenalkan pada permulaan abad 12 M. Sebutan Yahweh ditampilkan melalui penyalinan huruf (transliterasi) nama tersebut ke bh Yunani dalam kesusastraan Kristen kuno, dalam bentuk iaoue (Klemen dari Aleksandria) atau iabe (Theodoret; pada waktu itu huruf Yunani b diucapkan v). Nama itu tentu dihubungkan dengan bh Ibrani haya, ‘ada’, atau lebih tepat, dengan bentuk kata dasar yg lebih dahulu digunakan yaitu hawa. Tapi kata ini janganlah dianggap sebagai aspek imperfektif dari kata kerja haya; konyugasi Hiph’il, satu-satunya bentuk bagi bentuk tersebut dapat diberikan, tidak terdapat untuk kata kerja ini; dan aspek imperfek dari konyugasi Qal tidak mungkin mempunyai huruf hidup a dalam suku kata pertama. Yahweh harus dipandang sebagai substantif langsung, di mana asal kata HWH didahului oleh preformatif y. Lih L Kochler dan W Baumgartner, Lexicon in Veteris Testamenti Libros, 1958, hlm 368 dst; juga L Kochler, Vom Hebraischen Lexikon, 1950, hlm 17 dst. Sesungguhnya, Yahweh adalah satu-satunya ‘nama’ Allah. Dalam Kitab Kej di mana saja perkataan syem (’ nama’) dihubungkan dengan Allah, nama tersebut adalah Yahweh. Ketika Abraham atau Ishak mendirikan mezbah bagi Tuhan, ‘ia memanggil nama Yahweh’ (Kej 12:8;13:4; 26:25*). Secara khusus Yahweh adalah Allah para Bapak leluhur Israel, justru berulang-ulang ungkapan ‘Yahweh Allah (Elohim) Abraham’ dan kemudian Ishak dan akhirnya ‘Yahweh, Allah Abraham, dan Allah Ishak, dan Allah Yakub’, dan mengenai hal tersebut Elohim berkata, ‘itulah nama-Ku untuk selama-lamanya’ (Kel 3:15*). Karena itu, Yahweh — berbeda dari Elohim — adalah kata benda nama diri, nama diri Oknum meskipun Oknum tersebut adalah Allah. Dalam hal ini menunjukkan Allah sebagai Oknum, dan dengan demikian mempertemukan Allah dengan tokoh-tokoh manusia dalam suatu hubungan, membawa Allah dekat kepada manusia, dan Ia berbicara kepada para Bapak leluhur sebagai teman terhadap yg lain. Penyelidikan atas kata ‘nama’ dalam PL menunjukkan betapabesarnya arti kata tersebut dalam bh Ibrani. Nama bukan hanya sekedar nama, tapi dalamnya terkandung arti kepribadian yg sesungguhnya dari si penyandang nama itu. Nama bisa berasal dari keadaan lingkungan pada waktu ia lahir (Kej 5:29*), atau mencerminkan karakter seseorang (Kej 27:36*), dan pada waktu seseorang membubuhkan ‘nama’-nya pada suatu benda atau kepada orang lain, maka yg lain tersebut berada di bawah pengaruh dan perlindungannya. f. Yahweh Elohim Kedua kata ini digabungkan dalam cerita Kej 2:4* — Kej 3*, meskipun ‘elohim’ saja yg digunakan dalam percakapan antara Hawa dan ular. Jika cerita mengenai Eden berhubungan dengan aslinya dalam bh Sumer, maka kemungkinan cerita itu telah dibawa oleh Abrahamdari Ur, dan dengan demikian ada kemungkinan untuk menerangkan pemakaian nama ini dalam kedua ps ini, yg berbeda dengan ps-ps sekitarnya. g. Bagaimana El, Elohim, dan Yahweh dihubungkan Kini dapatlah dipertimbangkan apakah ketiga kata ini Sama atau berbeda dalam pemakaiannya. Kendati kadang-kadang salah satu dari ketiga kata ini digunakan untuk Allah, ketiganya benar-benar tidaklah sama, bahkan dapat dipertukarkan. Dalam cerita Kej 14*, yg dianggap sebagai cerita yg memberikan gambaran ygbenar tentang situasi pada awal milenium kedua sM, disajikan peristiwa pertemuan Abraham dengan Melkisedek, seorang imam ‘el ‘elyon, ‘Allah Yg Mahatinggi’. Di sini kita lihat ‘nama’ atau gelar Melkisedek yg mengacu kepada Allah yg ia sembah. Akan nyata jelas suatu kekeliruan bila el ‘elyon diganti baik dengan Elohim atau ‘Yahweh’ (Kej 14:18*). Melkisedek memberkati Abraham dalam nama ‘el ‘elyon,‘Pencipta langit dan bumi’, di mana ia menunjuk ‘el ‘elyon sebagai Allah Yg Mahatinggi (Kej 14:19,20*). Raja Sodom memberikan harta benda kepada Abraham, yg dia tolak sambil mengangkat tangannya kepada Yahweh,‘el ‘elyon, ‘Pencipta langit dan bumi’ (Kej 14:22*). Ia maksudkan bahwa ia juga menyembah Allah Yg Mahatinggi, Allah yg sama (karena hanya ada satu Allah),tapi ia mengenal-Nya dengan nama ‘Yahweh’. Menurut Kej 27:20* Yakub menipu ayahnya dengan kata-kata, ‘Karena Yahweh Allah-mu (Elohim) membuat aku mencapai tujuanku’. Untuk mempertukarkan ‘Yahweh’ dan ‘Elohim’ di sini tidaklah mungkin. Yahweh adalah nama yg dengannya ayahnya menyembah Allah (Elohim) Yg Mahatinggi. II. PENYATAAN KEPADA MUSA Penyataan Allah kepada Musa di belukar duri yg menyala-nyala adalah salah satu peristiwa yg paling khas mencolok dan paling meyakinkan dalam Alkitab. Sesudah katakata pembukaan, Allah memperkenalkan diriNya demikian, ‘Aku-lah Allah (Elohim) ayahmu’ (Kel 3:6*). Hal ini sertamerta menyatakan bahwa Musa pasti mengetahui nama dari Allah ayahnya. Ketika Allah menyatakan maksud-Nya untuk melepaskan Israel melalui tangan Musa, Musa menunjukkan keseganan dan berdalih. Musa bertanya, ‘Apabila … orang-orang Israel … bertanya, apakah (mah) nama-Nya? Apakah yg harus kujawab kepada mereka?’ (Kel 3:13*). Cara biasa menanyakan nama seseorang ialah memakai kata ganti mi; memakai mah memerlukan jawaban yg lebih jauh, dan memberikan arti (’ apa?’) atau hakekat dari nama tersebut. Hal ini membantu untuk menjelaskan jawaban yg diberikan, ‘AKU ADALAH AKU’ (’ ehyeh ‘asyer ‘ehyeh), dan Allah berkata, ‘Beginilah kau katakan kepada orang Israel itu: AKU-LAH AKU telah mengutus aku kepadamu’ (Kel 3:14*). Dengan penyataan ini tidak akan timbul pikiran dalam benak Musa bahwa Allah mengumumkan suatu nama baru; dan ungkapan ini tidak menyebut suatu ‘nama’; inilah arti pokok dan asasi dari nama yg Musa kenal. Di sini kita mendapati permainan kata; ‘Yahweh’ diartikan dari kata’ehyeh. M Buber menerjemahkan kata ini dengan ‘Aku akan ada seperti Aku akan ada’, dan menjelaskannya sebagai janji tentang kuasa Allah dan kehadiran-Nya yang terusmenerusbersama mereka dalam proses pembebasan (Moses, hlm 39-55). Bahwa arti katakata tersebut adalah demikian, yg terjemahannya kedengarannya mengandung teka-teki, diperlihatkan dalam ay berikut yg berbunyi, ‘Yahweh, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-Ku untuk selama-lamanya’ (Kel 3:15*). Isi lengkap dari nama itulah yg pertama diberikan, nama itu sendiri menyusul kemudian. III. INTERPRETASI KEL 6:3-4* Dalam Kel 6* terdapat lanjutan dari penyataan sebelumnya:Yahweh selanjutnya menginstruksikan Musa tentang bagaimana caranya berurusan dengan Firaun dan dengan bangsanya sendiri (Kel 6:2-7*). Ay yg diperdebatkan ialah, ‘Aku-lah TUHAN; Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yg Mahakuasa tetapi dengan nama-Ku TUHAN Aku belum menyatakan diri’ (Kel 6:3*). Penyataan sebelumnya, yaitu kepada para Bapak leluhur Israel, adalah mengenai janji-janji yg penggenapannya masih jauh di depan; maksudnya bahwa mereka harus diyakinkan bahwa Ia, Tuhan (Yahweh), adalah Allah (’ el) Yg Mahakuasa (syadday) yg sanggup memenuhi janji-janji tersebut. Penyataan Allah di semak belukar yg bernyala-nyala adalah lebih hebat dan lebih mendalam, kuasa Allah dan kehadiran-Nya yg selalu dan terus-menerus di tengah-tengah mereka, semuanya itu terjalin dalam namaYahweh yg mereka kenal itu. Selanjutnya, ‘Aku-lah TUHAN (Yahweh), Allah-mu’ (Kel 6:7*) adalah ungkapan yg memberikan kepada mereka segala kepastian yg mereka perlukan tentang maksud-Nya, kehadiran-Nya dan kuasa-Nya. Lihat Kej 17:1; 35:11; 48:3* untuk keterangan penyataan diri Allah kepada para Bapak leluhur Israel sebagai Tuhan Yg Mahakuasa (’ el syadday) pada saat Ia memulai atau menguatkan perjanjian-Nya dengan mereka. Sayang ay-ay tersebut dalam ‘hipotesis dokumenter’ dianggap karangan I (P), yg tak masuk akal. IV. NAMA-NAMA KHUSUS YG MENGANDUNG EL ATAU YEHOVAH a. ‘El ‘Olam Di Bersyeba Abraham menanam sebatang pohon tamariksa, dan ‘memanggil di sana nama Tuhan (Yahweh), ‘el ‘olam’ (Kej 21:33*). Di sini ‘TUHAN’ (Yahweh) adalah nama-Nya, dan penjelasan nama itu disebutkan sesudahnya yaitu, ‘Allah yg kekal’. FM Cross meminta perhatian terhadap bentuk asli dari nama ini, yaitu ‘El dhu-’Olami, yg berarti Allah kekekalan (bnd W. F Albrightdlm Bibliotheca Orientalis 17, 1960, hlm 242). b. ‘El-’Elohe-Israel Yakub, ketika tiba di Sikhem, membeli sebidang tanah dan di sana ia mendirikan mezbah dan menamakannya ‘el-’ elohe-Yisra’el (Kej 33:20*), yg berarti ‘Allah (’ el) adalah Allah (’ elohim) dari Israel’. Dengan cara ini ia memperingati pertemuan yg baru saja ia alami dengan malaikat di tempat yg ia namai Pniel( peni-’el, yg berarti ‘muka Allah’, Kej 32:30*). Jadi ia menerima Israel sebagai namanya dan taat beribadah kepada Allah. c. Yehovah-Yireh Dalam Kej 22* ketika malaikat Tuhan menunjukkan seekor domba jantan sebagai Korban bakaran pengganti Ishak, Abraham menamai tempat itu Yahweh yir’eh, yg berarti ‘TUHAN menyediakan’ (Kej 22:8,14*). d. Yehovah-nissi Dalam cara yg agak sama, Sesudah mengalahkan orang-orang Amalek, Musa mendirikan sebuah mezbah dan menamainya Yahweh nissi, yg berarti ‘TUHAN-lah panji-panjiku’. Tapi ini bukanlah nama-nama Allah, melainkan sebagai peringatan terhadap peristiwaperistiwa tersebut. e. Yehovah-Syalom Ini adalah nama yg diberikan oleh Gideon kepada mezbah yg ia dirikan di Ofra, Yahweh syalom, ‘TUHAN adalah keselamatan’ (Hak 6:24*). f. Yehovah-Tsidkenu Ini adalah nama yg dengannya Mesias akan dikenal, Yahweh tsidqenu, artinya ‘TUHAN keadilan kita’ (Yer 23:6; 33:16*) bertentangan dengan raja Yehuda yg terakhir, yg tidak pantas memikul nama Zedekiah (tsidqiyahu, yg berarti ‘TUHAN adalah keadilan’). g. Yehovah-Syamma Nama ini diberikan kepada kota dalam penglihatan Yehezkiel,Yahweh-syamma, yg berarti ‘TUHAN hadir di situ’ (Yeh 48:35*). h. TUHAN Semesta Alam Berbeda dari nama-nama di atas, Yahweh seba’ot, ‘TUHAN semesta alam’ adalah gelar Allah. Nama ini tidak terdapatdalam Kitab-kitab Pentateukh; pertama kali muncul dalam 1Sam 1:3* sebagai gelar yg dengannya Allah disembah di Silo. Nama ini dipakai oleh Daud waktu ia menghadapi Goliat, orang Filistin itu (1Sam 17:45*); dan Daud menggunakannya lagi sebagai klimaks dari nyanyian kemenangan yg gilang-gemilang (Mazm 24:10*). Nama ini biasa dipakai dalam kitab nabi-nabi (88 kali dlm Yer), dan dipakai untuk menunjukkan bahwa TUHAN setiap saat adalah Penyelamat dan Pelindung bagi umat-Nya (Mazm 46:6,10*). Anti harfiah seba’ot ialah tentara. Yg dimaksud mulamula mungkin tentara Israel (bnd 1Sam 17:45*), tapi segera diperluas menjadi seluruh tentara langit, siap sedia untukmelaksanakan perintah Allah, jadi TB memakai ‘Tuhan semesta alam’. I. Tuhan Allah Israel Gelar ini (Yahweh ‘elohe Yisra’el) ditemukan mula-mula dalam nyanyian Debora (Hak 5:3*), dan seringkali dipakai oleh para nabi (mis Yes 17:6*; Zef 2:9*). Gelar ini mengikuti urutan ‘Allah Abraham, Ishak, dan Yakub’. Dalam Mazm 59:4* gelar ini digabungkan dengan gelar yg disebut terdahulu. j. Yg Mahakudus Allah Israel Gelar ini (qedosy Yisra’ el) adalah gelar yg sangat digemari Yesaya (29 kali — Mazm 1:4* dab) baik dalam nubuat-nubuatnya yg terdahulu maupun yg kemudian, dan juga dalam Yer dan Mzm. Agak sama dengan gelar ini ialah ‘Sang Mulia dari Israel’ (Netsakh Yisra’el, 1Sam 15:29*) digunakan oleh Samuel, dan ‘abir Yisra’el (Yes 1:24* dll), ‘Yg Mahakuat Pelindung Israel’ k. Yg Lanjut Usia-Nya Ini adalah gambaran (Aram ‘attiq yomin) yg diberikan oleh Daniel, yg menggambarkan Allah dan takhta pengadilanNya, mengadili kerajaan dunia yg besar (Dan 7:9,13,22*). Gelar ini digunakan bergantian dengan gelar ‘Yg Mahatinggi’ (Aram ‘illaya, ‘elyonin, Dan7:18,22,25,27*). ALLAH 3 Bagi pengertian Kristen, Alkitab adalah satu-satunya sumber ajaran tentang Allah. Dalam Alkitab kita menemukan penyataan Allah tentang diriNya sendiri. I. KATA-KATA IBRANI UNTUK ALLAH a. ‘el, ‘eloah, ‘elohim Sebutan el berakar pada suatu kata yg berarti kekuatan atau tenaga. Dengan arti ini el digunakan dalam PL untuk manusia, dan secara abstrak digunakan untuk benda, selain untuk Allah. Apabila mengacu kepada Allah, maka kata itu sering dirangkai dengan julukan seperti ‘Yg Mahakuasa’, misalnya el-shaddai, Allah Yg Mahakuasa, atau Maha sempurna. Kata eloah (jarang digunakan kecuali dlm puisi) dan elohim juga digunakan; bentuk jamaknya, elohim, lazim digunakan. Ada yg melihat penggunaan bentuk jamak ini sebagai sisa politeisme, yg lain melihatnya sebagai tanda yg mengacu kepada Trinitas. Tapi lebih mungkin ialah contoh penggunaannya yg lazim dalam bh Ibrani, dimana penggunaan bentuk jamak dimaksudkan untuk mengintensifkan atau memperluas gagasan yg dikemukakan dalam bentuk tunggal. Dengan demikian elohim mengarahkan perhatian kepada kepenuhan Allah yg tak kunjung habis, kepada kelimpahan hidup di dalam Allah. b. Yahweh Nama ini, sering ditulis Jehovah, diterjemahkan ‘TUHAN’ dalam Alkitab terjemahan LAI. Yahweh adalah nama diri Allah, seperti Elohim adalah nama umum bagi Allah. Jadi pada khususnya Yahweh adalah nama dari Allah yg hidup yg dinyatakan oleh Alkitab. Asal mulanya tidak pasti, meskipun mungkin berasal dari kata dasar hwh atau hyh, yg mengandung pengertian ‘eksistensi yg mandiri dan tidak bermuasal’. Ketika pertama kalinya dinyatakan kepada Musa dari nyala api yg keluar dari semak duri (Kel 3:11-15*), api yg berasal dari dirinya sendiri dan bukan dari sekelilingnya, adalah pertanda dari eksistensi yg mandiri. Penyingkapan Allah tentang arti nama ‘AKU ADALAH AKU’, atau mungkin lebih tepat ‘AKU AKAN ADA YANG AKU AKAN ADA’, mengumumkan kesetiaan Allah dan Allah yg tidak pernah berubah. Ia tetap sama, kemarin, hari ini dan selama-lamanya. Sementara Kel 6:4* nampaknya mengemukakan bahwa nama Yahweh belum dikenal sebelumnya, sedang dalam terang Kej 15:7; 28:13* sudah diperkenalkan, maka Kel 6:4* mengartikan bahwa Nama itu belum dinyatakan sebelumnya dalam pengertian yg sebenarnya dan dalam makna kualitasnya. Perlu diperhatikan bahwa dalam penyataan ini Yahweh menyatakan diriNya bukan sebagai Allah yg baru atau Allah yg asing, sesungguhnya tidak ada yg lain, kecuali ‘Yahweh, Allah nenek moyangmu’ (Kel 3:16*). 3 KEPUSTAKAAN: J. J Crawford, The Fatherhood of God, 1868; J Orr, The Christian View of God and the World, 1908; A. S Pringle-Pattison, The Idea of God, 1917; G Vos, Biblical Theology, 1948; H Bavinck, The Doctrine of God, 1951; J. I Packer, Knowing God, 1973; J Schneider, C Brown, J Stafford Wright, NIDNTT 2, hlm 66-90; H Kleinknecht dll, TDNT 3, hlm 65-123. RAF/JMP. c. ‘adonay Ini juga bentuk jamak, mengacu kepada Allah sebagai penuh kehidupan dan kuasa. Artinya ‘Tuhan’, atau dalam bentuknya yg lebih diperkuat, ‘Tuhan dari segala tuan’, dan ‘Tuhan semesta’, yg menunjukkan Allah sebagai Pemerintah yg kepada-Nya segala sesuatu tunduk dan kepada-Nya manusia dihubungkan sebagai hamba (Kej 18:27*). Sebutan ini paling disukai oleh para penulis Yahudi di kemudian hari, dan nama itulah yg diambil untuk mewakili nama suci YHWH. Anggapan bahwa pemakaian nama-nama ini menunjukkan adanya perbedaan antara Allah yg lebih tinggi dan yg lebih rendah dalam pemikiran penulis-penulis PL, tidak cocok dengan fakta-fakta, dan apabila hal itu dijadikan patokan bagi penentuan sumber-sumber maka akan menyebabkan kekacauan belaka. Memang penulis-penulis PL menekankan aspek-aspek yg berbeda tentang sifat Allah, tapi hal ini tidak mendukung pandangan evolusioner tentang agama Israel yg berkembang dari polidemonisme sampai kepada monoteisme. Kecenderungan umum yg berlaku di Israel ialah arah yg sebaliknya, yaitu mundur dari`monoteisme murni dan menerima pengaruh politeisme dari bangsa-bangsa di sekitarnya. Walaupun terdapat perkembangan sejarah tentang penyataan din Allah kepada Israel, sifat dasar dan tabiat-Nya tetap tidak pernah berubah selama-lamanya. Allah yg dinyatakan oleh Kitab Suci adalah Allah Yg Hidup, berpribadi, yg sendirinya ada dan tidak dijadikan, sadar akan diriNya, Pencipta alam semesta, Sumber kehidupan dan berkat. Kehidupan-Nya, sifat-Nya dan kehendak-Nya adalah tema-tema pokok yg menjiwai pemikiran-pemikiran para penulis Alkitab. II. KEBERADAAN ALLAH Adalah benar bahwa Alkitab tidak pernah membicarakan keberadaan Allah terlepas dari sifatsifat-Nya, karena Allah adalah Apa yg Ia sendiri nyatakan tentang diriNya. Tapi adalah mungkin untuk memikirkan keberadaan Allah dalam hubungan dengan keberadaan kita manusia, atau dari segi kesamaan maupun kebalikannya, sekalipun hakikatnya tetap tak dapat dipahami. Dapat dikatakan bahwa Allah adalah Roh, Roh Sejati, berpribadi dan tidak terbatas. Menurut penyataan Kristus kepada wanita Samaria, Allah adalah Roh (Yoh 4:24*), dan kita harus memahami Dia sebagai Roh Sejati, dengan pengertian bahwa Ia bukanlah kumpulan atau terdiri dari bagian-bagian, melainkan tanpa tubuh atau wujud jasmaniah, dan justru tak dapat dilihat dengan indra jasmaniah (Yoh 1:18*). Alkitab juga jelas menyatakan bahwa Allah adalah Roh, berpribadi, rasional, sadar akan diriNya, mengambil keputusan dari diriNya, dan pelaku moral yg piawai. Allah adalah Akal yg tertinggi, dan sumber dari segala rasionalitas yg ada dalam seluruh ciptaan-Nya. Allah adalah Roh Yg Mahakuasa, tanpa ikatan dan batasan apa pun atas keberadaan-Nya atau atas salah satu sifatNya, dan setiap aspek dan unsur dari kodrat-Nya tidak terbatas. Terkait dengan waktu, ke-’tanpa-batas’-an-Nya disebut kekekalan. Terkait dengan ruang atau tempat Ia disebut omnipresen (hadir di mana-mana). Terkait dengan semesta alam Ia dinyatakan baik transenden maupun immanen. Yg dimaksud dengan Allah yg transenden ialah, keterlepasanNya dari seluruh ciptaan-Nya sebagai Pribadi yg berdaulat dan bebas bertindak sendiri dan yg ‘ada hadir’ sendirinya. Ia tidak dikungkung oleh alam, tapi tanpa batas Ia diagungkan di atasnya. Bahkan bagian-bagian Alkitab yg secara khas menyingkap manifestasi-Nya yg temporal dan lokal menekankan keagungan-Nya dan kemahakuasaan-Nya (omnipoten) sebagai Pribadi luar dunia, Pencipta dan Hakim Yg Mahakuasa (bnd Yes 40:12-17*). Yg dimaksud dengan Allah yg immanen ialah kehadiran dan kuasa-Nya yg senantiasa berlaku dalam ciptaan-Nya. Ia tidak berdiri jauh dari dunia, tidak masa bodoh dan berpangku tangan menonton dari jauh hasil karya ciptaan-Nya; Ia merasuki segala sesuatu yg organik dan yg anorganik, bertindak dari dalam ke luar, dari titik pusat setiap atom dan dari sumber paling dalam pikiran dan kehidupan dan perasaan, yaitu suatu rangkaian bersinambungan, dari sebab dan akibat. Dalam Yes 57:15* terdapat ungkapan tentang Allah yg transenden sebagai ‘Yg Mahatinggi dan Yg Mahamulia, yg bersemayam untuk selamanya dan Yg Mahakudus namaNya’, dan tentang Dia yg immanen sebagai ‘Yg juga bersama-sama orang yg remuk dan rendah hati’. III. SIFAT-SIFAT ALLAH Jika Allah adalah Pribadi, maka sebagai pelaku moral Ia memiliki tabiat. Jadi kita dapat berbicara tentang sifat-sifat yg dapat dihubungkan dengan tabiat Allah. Sekalipun tidak ada sifat yg dapat menjelaskan keadaan Allah, namun sifat-sifat yg sedemikian banyak dikemukakan dalam Alkitab memberikan penjelasan yg memadai tentang transendensi dan immanensi-Nya. Tapi haruslah diingat bahwa sifat-sifat Allah adalah tercakup dalam keberadaan-Nya, justru sifat-sifat-Nya itu adalah koeksistensif dengan kodrat-Nya. Di dalam Allah sifat-sifat dan keberadaan adalah satu. Di dalam manusia tidak demikian halnya. Sifat-sifat manusia — karena dia makhluk — adalah terbatas. Di dalam manusia ada perbedaan antara keberadaan, kehidupan, pengetahuan dan kemauan. Yg sangat kita harapkan ialah keempat hal tersebut dapat berimbang. Dalam ihwal Allah, sifat-sifat-Nya tetap berdaya rasuk dan masing-masing tidak terhingga dan tanpa batas. Sebagai contoh, tak dapat dikatakan bahwa Allah adalah sebagian kasih dan sebagian adil karena seantero diriNya adalah kasih dan sekaligus seantero diriNya adalah adil. Setiap sifat Allah pada diriNya adalah Allah sendiri, dan Allah diekspresikan sepenuhnya dalam setiap sifat-Nya itu. Manusia tetap manusia sekalipun ia tidak memiliki salah satu sifat manusia tertentu: Allah bukanlah Allah tanpa segenap sifat-Nya. Adalah tepat membagi sifat-sifat Allah dalam dua jenis. Pertama, sifat-sifat yg dapat dikomunikasikan atau diberikan atau diteruskan; dan yg kedua, sifat-sifat yg tidak dapat dikomunikasikan (kadang-kadang disebut sebagai ‘berhubungan’ dan ‘tidak berhubungan’). Sifat-sifat yg dapat dikomunikasikan (dlm batas tertentu) kepada makhluk ciptaan-Nya yg berakal dan berbudi pekerti, antara lain ialah: kebijaksanaan, kebaikan, kebenaran, keadilan, kasih — yakni sifat-sifat yg menyatakan immanensi Allah. Sifat-sifat yg tidak dapat dikomunikasikan atau diteruskan ialah: kesempurnaan Allah yg tidak mempunyai kesamaan dalam (diri) manusia — misalnya: Allah tidak diciptakan, tidak berubah, mahatahu, kekal — yakni sifat-sifat yg menekankan transendensi-Nya. Kendati demikian, sifat-sifat terakhir ini dapat dimengerti. Yg dimaksud dengan ihwal ‘tidak diciptakan’, ialah Allah mempunyai keberadaan-Nya sendiri — berbeda dari semua makhluk ciptaan-Nya — Ia tidak menggantungkan keberadaan-Nya kepada yg ada di luar diriNya sendiri. Yg dimaksud dengan ketidakberubahan Allah, ialah Ia tidak memiliki perubahan apa pun dalam diriNya, dalam kesempurnaan-Nya, maksud-maksud-Nya dan janji-janjiNya. Semua saran tentang perubahan yg ditujukan kepadaNya dalam Alkitab adalah kata-kata kiasan, yg disesuaikan dengan sudut pandangan manusia biasa. Yg dimaksud dengan keabadian-Nya, ialah Allah berada di atas batas-batas waktu, tanpa awal dan tanpa akhir, dan tanpa pergantian waktu. Hal ini akan lebih mudah dimengerti dengan mengingat bahwa waktu tidak ada baik di dan oleh dirinya sendiri, dan hanyalah merupakan iringan dari kejadian. Dalam Allah tidak ada waktu, tidak ada ‘menjadi’; Ia adalah yg kekal ‘Aku Ada’, dan kekinian-Nya adalah kekal. Yg dimaksud dengan kemahatahuan Allah dan kehadiran-Nya di mana-mana, ialah bahwa Ia berada di atas batas-batas tempat dan ruang. Pengetahuan Allah adalah bagian dari sifat-Nya dan tidak perlu dipelajari-Nya, berbeda dari hal setiap manusia. Justru pengetahuan-Nya adalah mutlak lengkap dan mutlak sempurna, dan mencakup waktu lampau, kini dan waktu yg akan datang. Kemahatahuan-Nya menyertai kehadiran-Nya di mana saja, sebab pengetahuan Allah meliputi kehadiran Allah di segala tempat dan ruang dan pada segala waktu. Bukan bahwa Allah berada di mana-mana, melainkan di mana-mana itulah Dia dan ada pada Dia. Lagipula, Ia utuh seluruhnya, bukan sebagian Dia saja, hadir di mana-mana. Yg dimaksud dengan kemahakuasaan Allah, ialah sesuatu yg sangat berbeda dari kuasa yg ada pada manusia. Pada manusia kuasa adalah usaha kemauan yg memanfaatkan atau menggunakan kuasa yg telah tersedia ada sebelumnya; pada Allah kemahakuasaan adalah sifat yg memiliki daya cipta, suatu ‘daya kemampuan’ menciptakan segenap karya ciptaan yg ada dari yg tiada. Dalam Allah semua kuasa adalah kreatif. Kekudusan dapat disebut sebagai sifat Allah yg paling khas, kemilau dari segala keberadaanNya. Dan kekudusan-Nya-lah yg paling khas memisahkan Dia dari segenap ciptaan-Nya — karena hanya Dia yg kudus — dan itulah pula yg membuat Dia tidak terhampiri dalam segala kesempurnaan-Nya. Kekudusan-Nya itulah semarak dan kemegahan intelektual dan moralNya, kemurnian etis yg olehnya Ia menyukai kebaikan dan membenci yg jahat (*KEKUDUSAN). IV. KEHENDAK ALLAH Kehendak atau kemauan Allah terutama menyatakan ‘sifat menentukan sendiri’ yg olehnya Allah bertindak sesuai kemahakuasaan-Nya dan ke-Allah-an-Nya yg abadi. Meskipun kehendak Allah tidak dapat dikatakan terbatas, kesempurnaan-Nya memberikan keyakinan bahwa Ia tidak akan pernah melakukan sesuatu apa pun yg bertentangan dengan tabiat-Nya. Para teolog membedakan kehendak Allah memutuskan sendiri, yg dengannya Ia memutuskan sendiri apa pun yg terjadi, dari kehendak-Nya menyuruh, yg dengannya Ia menugasi makhluk-makhluk-Nya melakukan tugas-tugas yg harus mereka lakukan. Dapat dimengerti, bahwa kehendak memutuskan sendiri selalu tuntas, sedangkan kehendak menyuruh sering tidak ditaati. Jika kita memikirkan kedaulatan kuasa kehendak Allah, kita mengakui bahwa kekuasaan tersebut memperlihatkan Allah sebagai dasar mutlak dari segala keberadaan, dan dasar mutlak dari segala sesuatu yg pernah terjadi, atau secara aktif menyebabkan sesuatu terjadi, atau secara pasif membolehkan sesuatu terjadi. Jadi, masuknya dosa ke dalam dunia dikaitkan dengan kehendak Allah yg bersifat membolehkan. Ciri-ciri khas dari kehendak Allah ialah, di balik kehendak-Nya terdapat kebijaksanaan dan kekudusan-Nya yg tidak terbatas, dan kehendak-Nya itu dilaksanakan-Nya dengan penuh anugerah dan kebaikan, dan tindakan-Nya dilakukan tanpa syarat atau secara mutlak sebab kehendakNya itu tidak bergantung kepada sesuatu apa pun di luar Allah sendiri. Tujuan dari semuanya ini adalah untuk kemuliaan-Nya, atau dapat dikatakan, manifestasi dari kemuliaanNya di mana dalamnya terletak berkat sepenuhnya kepada makhluk-makhluk-Nya. Segi kehendak Allah yg paling sering disinggung dalam Alkitab ialah tujuan-Nya yg berkuasa. Maksud dan tujuan Allah itu mencakup dan meliputi semuanya. Ini sesuai dengan kodrat Allah yg hakiki, sebab pengetahuan-Nya adalah langsung, serta merta dan lengkap, dan Ia tidak perlu menunggu terbentangnya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian, tidak seperti manusia harus menunggunya. Jadi Ia sanggup mencakup segala hal dalam satu rencana. Dikatakan bahwa tujuan-Nya adalah bebas, berkuasa dan tidak berubah — bebas dalam arti bahwa Ia tidak dapat di bawah pengaruh suatu apa pun atau oleh siapa pun di luar diriNya sendiri; Allah berkuasa sebab Ia mempunyai kemahakuasaan untuk melakukan maksud-maksud-Nya; Allah tidak berubah karena tidak ada perubahan dalam Allah, sebab perubahan mengacu kepada lemahnya kebijaksanaan dalam membuat rencana, atau kurangnya kuasa melaksanakan sesuatu. Justru dikatakan selanjutnya, sebab tidak akan ada keadaan darurat atau bahaya di luar dugaan, dan tidak ada kekurangan dalam batas kemampuan, maka dalam Dia tidak akan pernah ada penyebab mungkinnya terjadi perubahan. Jika kita tidak mampu ‘memadankan’ kemahakuasaan Allah dengan tanggung jawab manusia, maka ketidakmampuan itu adalah sebab kita tidak mengerti pengetahuan Allah dan pemahaman-Nya tentang segala hukum yg menguasai tingkah laku manusia. Seantero Alkitab mengajarkan, bahwa seluruh kehidupan manusia dijalaninya atas topangan dan kekuatan yg berasal dari kuasa Allah ‘yg di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada’ (Kis 17:28*), dan seperti burung bebas bergerak di udara dan ikan bebas hidup di laut, masing-masing di tempatnya yg sewajarnya, demikianlah manusia mempunyai kebebasan yg sebenarnya dalam kehendak Allah yg menciptakan dia bagi diriNya. V. KEBAPAKAN ALLAH Penyataan Kristen tentang Allah ialah Allah sesungguhnya adalah Bapak. Sebutan itu paling sering dipakai oleh Yesus terhadap Allah. Dalam teologi Kristen sebutan Bapak terutama mengacu kepada Oknum Pertama dari Tritunggal. Tapi karena Oknum Pertama dianggap sebagai sumber dari Allah Yg Ilahi, yaitu yg melambangkan martabat, kehormatan, dan kemuliaan Tritunggal, maka sebutan Bapak kadang-kadang dipakai apabila menunjuk kepada Allah atau Allah Yg Mahatinggi (bnd 1Pet 1:17*; Yak 1:27*; juga Yes 9:6*, di mana Mesias disebut ‘Bapak yg kekal’ sebagai hunjukan kepada Allah Yg Mahatinggi). Pengertian tentang Allah sebagai Bapak tidak berasal dari ajaran Yesus, walaupun Ia memberikan kepadanya konsep baru dan dalam. Pemikiran ini terdapat dalam PL dengan hubungan yg kreatif dan hubungan yg teokratif. Hubungan dasariah Allah kepada manusia yg Ia ciptakan dalam gambar-Nya, mendapat gambar padanan paling lengkap dan tepat pada hubungan alami itu yg meliputi pemberian hidup. Maleakhi mengajukan pertanyaan, ‘Bukankah kita sekalian mempunyai satu Bapak, bukankah satu Allah menciptakan kita?’ (Yes 2:10*). Yesaya berseru, ‘Sekarang, ya Tuhan, Engkaulah Bapak kami! Kamilah tanah liat dan Engkau-lah yg membentuk kami; dan kami sekalian adalah buatan tanganMu’ (Yes 64:8*). Tapi dalam arti rohanilah terutama hubungan ini diajukan. Dalam Ibr 12:9* Allah disebut ‘Bapak segala roh’, dan dalam Bil 16:22* disebut ‘Allah dari roh segala makhluk’. Paulus, ketika berbicara dari atas Areopagus, memakai pikiran ini untuk menekankan irasionalitas manusia rasional yg menyembah berhala-berhala dari kayu dan batu, dengan mengutip penyair Aratus (’ Karena kita juga adalah keturunan’) untuk menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk Allah. Jadi manusia sebagai makhluk adalah padanan dari ke-Bapak-an Allah pada umumnya. Tanpa Bapak Pencipta tidak ada warga manusia, tidak ada keluarga umat manusia. Acuan atau sebutan Bapak dalam PL juga mengungkapkan hubungan perjanjian Allah kepada umat-Nya, Israel. Dalam pengertian ini hubungan tersebut adalah hubungan kolektif, bukan hubungan perseorangan. Israel sebagai umat perjanjian adalah anak Allah, justru ditantang untuk mengakui dan menanggapi hubungan Bapak — anak ini, ‘Jika Aku ini Bapak, dimanakah hormat yg kepada-Ku itu?’ (Mal 1:6*). Tapi karena hubungan perjanjian itu bersifat menyelamatkan dalam pengertian rohaninya, hubungan ini dapat dianggap sebagai pertanda penyataan ke-Bapak-an Allah dalam PB. Dalam PB sebutan Bapak dipakai dalam pengertian khas dan sangat pribadi. Kristus memakainya terlebih dahulu, mengenai hubungan-Nya sendiri dengan Allah. Terdapat bukti mencolok bahwa hubungan ini adalah unik dan tidak dapat dibagikan dengan makhluk apa pun juga. Allah adalah BapakNya melalui kelahiran yg kekal, istilah yg menggambarkan hubungan hakiki dan abadi. Adalah penuh arti betapa Yesus dalam ajaran-Nya kepada ke-12 murid-Nya tidak pernah memakai sebutan ‘Bapak kita’, mencakup baik diriNya dan muridmurid-Nya. Dalam amanat-Nya setelah kebangkitan-Nya, Ia menunjukkan dua hubungan yg berbeda yaitu ‘BapakKu dan Bapak-mu’ (Yoh 20:17*); tapi kedua hubungan tersebut terangkai sedemikian rupa, sehingga yg satu menjadi dasar bagi yg lain. Ia sebagai Anak, meskipun dalam tingkat yg sama sekali unik, adalah dasar dari status murid-murid sebagai anak. Inilah hubungan yg menyelamatkan bagi semua orang percaya. Dalam konteks penyelamatan, hal ini dilihat dari dua segi, yaitu dari kedudukan mereka di dalam Kristus dan dari pekerjaan Roh Kudus yg membaharui di dalam mereka. Dari segi pertama, mereka — dalam persekutuan yg hidup dengan Kristus — diterima masuk ke dalam keluarga Allah dan dengan demikian diberikan segala hak istimewa sebagai anak; ‘dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris’ (Rom 8:17*). Dari segi kedua, mereka dianggap sebagai dilahirkan ke dalam keluarga Allah melalui kelahiran kembali. Yg pertama adalah segi obyektif, sedangkan yg kedua adalah aspek subyektif. Oleh kedudukan mereka yg baru (pembenaran) dan hubungan (pengangkatan) kepada Allah Bapak di dalam Kristus, mereka diikutsertakan dalam kodrat ilahi (2Pet 1:4*) dan dilahirkan ke dalam keluarga Allah. Jelaslah bahwa ajaran Yesus tentang ke-Bapak-an Allah, membatasi hubungan itu terhadap umat-Nya yg percaya. Tidak pernah dilaporkan bahwa Ia menganggap hubungan ini terjadi antara Allah dan orang yg tidak percaya. Ia bukan hanya tidak mengisyaratkan Allah sebagai Bapak yg menyelamatkan semua orang, tapi Ia mengatakan dengan sangat tajam kepada orang-orang Yahudi yg suka bertengkar, ‘Iblislah yg menjadi bapakmu’ (Yoh 8:44*). Dalam hubungan Bapak inilah PB menunjukkan segi-segi yg lebih lembut dari tabiat Allah, kasih-Nya, pemeliharaan-Nya, karunia-Nya dan kesetiaan-Nya. Dalam mendidik ke-12 murid-Nya Kristus memakai gambaran dan hubungan bapak duniawi kepada anak-anaknya dan dari sana terus maju ke tingkat yg lebih tinggi: ‘Betapa terlebih lagi Bapak-mu yg di sorga….’ “SEMOGA CATATAN SINGKAT INI BERMANFAAT. TIDAK SEMPURNA TAPI AKAN DISEMPURNAKAN OLEH MEREKA YANG MELUANGKAN WAKTU UNTUK MEMBACA.” TUHAN MEMBERKATI