Academia.eduAcademia.edu

Kualitas Kompos Limbah Solid Sawit Dengan Berbagai Biodekomposer

Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia

Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang banyak dibudidayakan di Indoneisa, salah satunya yaitu di Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kualitas kompos limbah solid sawit. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini bertempat di Rumah Kompos Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat dan Laboratorium Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2021 hingga November 2021. Penelitian ini terdiri dari empat perlakuan yaitu P0= solid sawit + kotoran ayam, P1= solid sawit + kotoran ayam + EM4, P2= solid sawit + kotoran ayam + M21, dan P3= solid sawit + kotoran ayam + Tangguh. Hasil penelitian menunjukkan kualitas kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer sesuai SNI 2004, kecuali pH, C-organik, dan rasio C/N. Kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer EM4 sesuai SNI 2004, kecuali pH dan r...

Available at: https://ejournal.unib.ac.id/index.php/JIPI DOI: https://doi.org/10.31186/jipi.24.2.109-119 p-ISSN 1411-0067 e-ISSN 2684-9593 BIOPENGOMPOSAN LIMBAH KELAPA SAWIT PADAT DENGAN DEKOMPOSER YANG BERBEDA DAN KRITERIA FISIKOKIMIA UNTUK PENILAIAN KUALITAS KOMPOS Najirul Hafizah1, Jumar1, Riza Adrianoor Saputra1* 1 Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat, Jalan A.Yani Km. 36 Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 70714, Indonesia *Corresponding Author: [email protected] ABSTRACT [BIO-COMPOSTING OF SOLID OIL PALM WASTE WITH DIFFERENT DECOMPOSERS AND PHYSICOCHEMICAL CRITERIA FOR COMPOST QUALITY ASSESSMENT] The quantity of produced wastes by oil palm industry is increasing and may lead to significant environmental concerns and the use of these wastes as compost is considered to overcome their negative impacts. However, very few studies have been conducted to develop an effective composting process of the biomass waste using different decomposers. Therefore, the objective of this study was to assess the different physicochemical and biological quality of compost produced by biocomposting of solid oil palm waste with three different commercial decomposers. This study was conducted from September 2021 to November 2021 at the Compost House, Faculty of Agriculture, University of Lambung Mangkurat. A certain period of bio-decomposition process was employed by using commercial bio-decomposers. Physicochemical and biological analyses of the composted solid waste were conducted after decomposer application. The experiment consisted of four treatments (i.e., solid oil palm waste + chicken manure, solid oil palm waste + chicken manure + EM4, solid oil palm waste + chicken manure + M21, and solid oil palm waste + chicken manure + Tangguh) and they were arranged in completely randomized design with three replicates. Results showed that quality of all compost met the SNI 400 standard except for pH, organic-C, and C/N ratio for the treatment without bio-decomposer, pH and C/N ratio for the treatment EM4 bio-decomposer, water content, pH, organic-C, and C/N ratio for M21 bio-decomposer, and pH, organic-C, and C/N ratio for the treatment with Tangguh biodecomposer, respectively. The maximum germination test obtained was recorded at 70%, 80%, 94%, and 86% in compost media without bio-decomposer, with EM4, 94% with M21, and with Tangguh, respectively. The maximum number of microbes were recorded at 3.2 x 10 6 µg/g, 2.9 x 105 µg/g, 1.3 x 106 µg/g, and 8.0 x 105 µg/g for compost without bio-decomposer, with EM4, with M21, and with Tangguh bio-decomposer, respectively. —————————————————–————————————————————————————–Keyword: bio-composting, waste management, oil palm trunk, empty fruit bunch, microbial decomposer ABSTRAK Kuantitas limbah yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit terus meningkat dan dapat menyebabkan masalah lingkungan sehingga penggunaan limbah ini sebagai kompos dianggap dapat mengatasi dampak negatif tersebut. Namun, sangat sedikit penelitian yang telah dilakukan tentang pengembangan pengomposan yang efektif dari limbah biomassa padat kelapa sawit menggunakan dekomposer yang berbeda. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini mengealuasi perbedaan kualitas fisikokimia dan biologi kompos yang dihasilkan melalui biopengomposan limbah padat kelapa sawit dengan dekomposer yang berbeda. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2021 hingga November 2021 di Rumah Kompos Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Proses biodekomposisi limbah selama jangka waktu tertentu dilakukan dengan menggunakan tiga biodekomposer komersial. Analisis fisikokimia dan biologi kompos dilakukan setelah aplikasi dekomposer. Percobaan terdiri atas empat perlakuan (yaitu limbah padat kelapa sawit + kotoran ayam, limbah padat kelapa sawit + kotoran ayam + biodekomposer EM4, limbah padat kelapa sawit + kotoran ayam + biodekomposer M21, dan limbah padat kelapa sawit + kotoran ayam + biodekomposer Tangguh) yang disusun dalam rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas semua kompos memenuhi standar SNI 400 kecuali pH, C-organik, dan rasio C/N untuk perlakuan tanpa biodekomposer, rasio pH dan C/N untuk perlakuan biodekomposer EM4, kadar air, pH, C-organik, dan rasio C/N untuk bio-dekomposer M21, dan rasio pH, C-organik, dan C/N untuk perlakuan dengan bio-dekomposer Tangguh. Uji daya kecambah maksimum yang diperoleh berturut-turut adalah 70%, 80%, 94%, dan 86% pada media kompos tanpa biodekomposer, dengan biodekomposer EM4, dengan biodekomposer M21, dan dengan biodekomposer Tangguh. Jumlah populasi mikroba tercatat berturut-turut sebesar 3,2 x 106 µg/g, 2,9 x 105 µg/g, 1,3 x 106 µg/g, dan 8,0 x 105 µg/g untuk kompos tanpa biodekomposer, dengan biodekomposer EM4, dengan biodekomposer M21, dan dengan bio-dekomposer Tangguh. —————————————————–————————————————————————————– biopengomposan, pengelolaan limbah, batang kelapa sawit, tandan kosong kelapa sawit, mikroba Kata kunci: pengurai JIPI. 24(2), 109-119 (2022) 109 HAFIZAH et al. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, dimulai pada Bulan September 2021 sampai dengan Bulan Tanaman perkebunan banyak dibudidayakan November 2021, yang terdiri dari dua bagian yaitu di Indoneisa, salah satunya tanaman kelapa sawit. penelitian di lapangan (pembuatan kompos) dan anaSalah satu provinsi yang banyak membudidayakan lisis di laboratorium. Pembuatan kompos bertempat tanaman kelapa sawit yaitu Kalimantan Selatan. Lu- di Rumah Kompos Jurusan Agroekoteknologi Fakultas asnya perkebunan kelapa sawit menjadikan banyak Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, pula berdirinya industri pengolahan kelapa sawit. sedangkan analisis kompos bertempat di LaboratoriHidayanto (2008) menambahkan pabrik kelapa sawit um Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas (PKS) menghasilkan limbah sebanyak 840-1.260 kg Lambung Mangkurat Banjarbaru. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif solid decenter dengan rendemen 4-6% untuk solid decenter dari tandan buah segar (TBS) yang diolah. (analisis di laboratorium) dan kualitatif (pengisian Menurut Pramudyanto (2003), perkembangan di sektor kuesioner). Data yang digunakan pada penelitian ini industri memberikan dampak negatif terhadap ling- yaitu hasil analisis laboratorium dan pengisian kuesioner kungan apabila limbah industri tidak dikelola dengan oleh 30 orang responden yang terdiri dari praktisi pertanian, petani dan masyarakat umum, serta data yang baik. Solid memiliki kandungan air sekitar 75%, pro- diperoleh dari jurnal, buku, dan hasil penelitian terkait. tein kasar 11,14%, dan lemak kasar 10,14% (Kamal, Variabel yang diamati pada penelitian ini yaitu kuali2012). Limbah solid tanpa dikomposkan memiliki masa- tas kompos, baik dari karakteristik fisik, kimia, dan lah secara fisik, jika basah akan lunak dan jika kering biologis kompos. Terdapat empat perlakuan yang diguakan keras, sehingga akan mempengaruhi fisik tanah nakan pada penelitian ini, yaitu: P0 = solid sawit + (Okalia et al., 2017). Oleh karena itu, perlu adanya kotoran ayam; P1 = solid sawit + kotoran ayam + penambahan bahan lain seperti kotoran ternak untuk EM4; P2 = solid sawit + kotoran ayam + M21; dan P3 = solid sawit + kotoran ayam + Tangguh. memenuhi kekurangan dari solid. Pelaksanaan penelitian dimulai dengan pengambiProses pengomposan memerlukan jumlah mikroorganisme yang cukup (±106 cfu/g) mikroorganisme utama lan bahan utama pembuatan kompos yaitu limbah solid seperti bakteri, jamur, actinomycetes untuk mem- sawit di PT. Nusa Persada Indonesia, Rantau, Kalimantan bangkitkan proses pengomposan (Eulis, 2009). Pe- Selatan,Indonesia (-2.949102, 115.156512). Pengomposan nambahan biodekomposer dapat menambah popu- limbah solid sawit menggunakan bahan-bahan sebagai lasi mikroorganisme dan mempercepat proses de- berikut: 40 kg kg limbah solid sawit, 5 kg kotoran komposisi kompos. Salah satu cara untuk menge- ayam, 250 g arang sekam, 250 g dedak, 5 kg kapur dolotahui kematangan kompos yaitu dengan cara pengu- mit, 50 mL biodekomposer (EM4, M21, Tangguh), 50 mL jian perkecambahan dengan menggunakan media tetes tebu, dan air hingga kadar air 30% (dengan cara mengepalkan campuran hingga menggumpal tapi tidak kompos (Saputra et al., 2019). Melihat banyaknya limbah industri kelapa sawit mengeluarkan air). Bak pengomposan berbentuk kokhususnya solid sawit, maka perlu dilakukan penelitian tak dengan ukuran 60 cm x 60 cm x 60 cm. bak kompemanfaatan solid sawit sebagai kompos. Pentingnya pos terbuat dari kayu dengan bentuk kobus tanpa tutup dan kualitas kompos yang dihasilkan, maka perlu meru- alas. Bagian atas bak kompos akan ditutup dengan karung juk pada kriteria-kriteria standar yang telah ditetap- sehingga selama peroses pengomposan kompos tidak kan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan terpapar sinar matahari langsung dan air hujan. Pembuatan kompos limbah solid sawit memiliki 4 kualitas kompos limbah solid sawit dengan berbagai perlakuan berbeda. Faktor yang digunakan adalah perbebiodekomposer sesuai dengan SNI 2004, mendapatdaan biodekomposer. Pembuatan kompos dilakukan kan persentase perkecambahan benih edamame yang dengan memasukkan 40 kg limbah solid sawit, 5 kg tumbuh pada media kompos limbah solid sawit dengan kotoran ayam, 5 kg kapur dolomit, 250 g arang sekam, berbagai biodekomposer, dan mendapatkan total mikroba pada kompos limbah solid sawit dengan berbagai 250 g dedak, kemudian diaduk hingga tercampur rata. Selanjutnya disiram dengan larutan 50 mL biodekomposer biodekomposer. (EM4/M21/Tangguh) yang sudah ditambahkan 50 mL tetes tebu dan air secukupnya (sekitar 1 L air). Setelah METODE PENELITIAN disiramkan di atas tumpukan bahan, selanjutnya diBahan dan alat yang digunakan pada penelitian aduk kembali hingga tercampur rata. Berikutnya, bak yaitu solid sawit, kotoran ayam, arang sekam, dedak, kompos ditutup dengan karung goni. Pengomposan dolomit, tetes tebu, biodekomposer EM4, M21, dan dilakukan selama 21 hari (Irawan & Padmawati, 2014). Tangguh, kertas label, air sumur, benih edamame, cangkul, Pembalikan kompos dilakukan setiap dua hari sekali. Pengamatan yang dilakukan meliputi: (a) Suhu timbangan, karung, bak kompos, kamera, kantong plastik, kompos: diukur menggunakan termemoter raksa (°C). nampan, dan alat tulis. PENDAHULUAN 110 JIPI. 24(2), 109-119 (2022) BIOPENGOMPOSAN LIMBAH KELAPA SAWIT Pengukuran dilakukan setiap pukul 16.30 WITA dari hari pertama hingga hari terakhir proses pengomposan. Suhu yang diamati pada penelitian ini adalah suhu kompos dan suhu udara; (b) Kadar air: mengoven sampel kompos pada suhu 105 °C selama 16 jam. Rumus yang digunakan untuk mengukur kadar air kompos berdasarkan Eviati & Sulaeman (2009); (c) Reaksi (pH): pengukuran pH penting dilakukan di akhir proses pengomposan menggunakan pH meter elektroda (Eviati & Sulaeman, 2009); (d) C-organik: menggunakan metode Walkley & Black (Eviati & Sulaeman, 2009) dengan satuan persen (%) pada akhir proses pengomposan; (e) N-total: menggunakan metode Kjehldahl (Eviati & Sulaeman, 2009) dengan satuan persen (%) pada akhir proses pengomposan; (f) C/N rasio: hasil C-organik dan N-total kompos dirasiokan, sehingga diperoleh C/N rasio kompos; (g) Ptotal: menggunakan metode spektrofotometri (Eviati & Sulaeman, 2009) dengan satuan persen (%) pada akhir proses pengomposan; (h) K-total: menggunakan metode flamefotometri (Eviati & Sulaeman, 2009) dengan satuan persen (%) pada akhir proses pengomposan; (i) Total mikroba: menggunakan metode MPN (Wiparnaningrum, 2013) yang dilakukan pada akhir pengomposan; (j) Aroma dan warna kompos: menggunakan metode kantong plastik. Kompos limbah solid sawit yang telah matang apabila ditempatkan ke dalam kantong plastik tidak akan berbau dan warna tidak akan berubah. Sampel kompos limbah solid sawit ditempatkan pada kantong plastik, kemudian dilakukan inkubasi selama satu minggu. Hasil uji kantong plastik akan dianalisis aroma dan warna kompos limbah solid sawit menggunakan Buku Munsell Soil Color Chart (MSCC). Analisa dilakukan oleh 30 orang responden untuk mengetahui kematangan kompos; (k) Uji perkecambahan benih bertujuan untuk mengetahui kematangan kompos (Saputra et al, 2019). Benih yang digunakan pada uji perkecambahan ini adalah benih edamame sebanyak 50 benih. Benih edamame disemai pada media kompos limbah solid sawit yang ditempatkan pada nampan sebanyak satu buah. Persemaian dilakukan selama 7 hari dan dilakukan penyiraman setiap hari. Kemudian benih yang berkecambah akan dihitung jumlahnya dan dilakukan perhitungan persentasenya (%). Data kuantitatif hasil pengamatan (N-total, Ptotal, K-total, nilai pH, C-organik, kadar air, dan total mikroba) dibandingkan dengan SNI 19-70302004. Jika data-data tersebut sesuai dengan standar pengomposan, maka data tersebut dapat dijadikan salah satu informasi tentang pengomposan limbah solid sawit dengan berbagai dekomposer, sedangkan data kualitatif yang diamati yaitu warna dan aroma kompos yang selanjutnya akan dibandingkan dengan ciri-ciri fisika kompos matang. Menurut Sutanto (2002), kompos yang berkualitas baik secara visual JIPI. 24(2), 109-119 (2022) dicirikan dengan warna yang cokelat kehitaman menyerupai tanah, bertekstur remah, dan tidak menim bulkan bau busuk. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Limbah Solid Sawit Hasil analisis limbah solid sawit sebelum dikomposkan menunjukkan hasil N-total 1,32%, Ptotal 0,56%, K-total 0,51%, C-organik 47,59%, Rasio C/N 35,97, dan pH 6,05. Suhu Kompos Berdasarkan pengomposan yang dilaksanakan selama 21 hari, terlihat dinamika suhu kompos yang menggambarkan proses pengomposan berlangsung baik. Suhu tertinggi pada kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer berlangsung pada hari ke-2 (53 °C), kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer EM4 berlangsung pada hari ke-2 (48°C), kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer M21 berlangsung pada hari ke-3 (49 °C), dan kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer Tangguh berlangsung pada hari ke-3 (48 °C). Suhu lingkungan merupakan suhu kontrol pada penelitian ini. Suhu akhir pengomposan kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer yaitu 31 °C, kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer EM4 yaitu 30 °C, kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer M21 yaitu 31 °C, dan kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer Tangguh yaitu 31 °C (Gambar 1). Gambar 1. Suhu Pengomposan limbah solid sawit dengan berbagai biodekomposer. Hasil penelitian Ginting et al. (2017) menunjukkan solid sawit mengandung protein kasar 12,63%, serat kasar 9,98%, lemak kasar 7,12%, kalsium 0,03%, fosfor 0,003%, hemiselulosa 5,25% dan selulosa 26,35%. Kandungan protein, lemak, dan selulosa 111 HAFIZAH et al. yang begitu tinggi menjadi pemicu salah satu mikroorganisme dapat tumbuh dengan baik pada limbah solid sawit (Pahan, 2008). Penguraian bahan organik oleh mikroba dapat menggambarkan suhu selama pengomposan. Semakin sulit bahan terurai oleh mikroba, maka aktivitas mikroba akan meningkat yang menyebabkan suhu kompos lebih tinggi. Suhu kompos menggambarkan pula karakteristik proses pengomposan yang sedang berlangsung, bahkan menjadi parameter kematangan kompos. Suhu pada proses pengomposan kompos limbah solid sawit diukur setiap hari untuk memastikan kondisi lingkungan dan tumpukan kompos terjaga. Hasil pengamatan suhu kompos limbah solid sawit dengan berbagai biodekomposer menunjukkan proses pengomposan berlangsung baik. Suhu kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer mengalami fase termofilik selama 3 hari, dimulai dari hari ke-1 hingga hari ke-3. Suhu tertinggi berlangsung pada hari ke-3 yaitu 53 ºC. Kemudian memasuki fase mesofilik pada hari ke-4 (43 ºC). Kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer EM4 mengalami fase termofilik selama 3 hari, dimulai dari hari ke-1 hingga hari ke-3. Suhu tertinggi berlangsung pada hari ke-2 yaitu 48 ºC. Selanjutnya memasuki fase mesofilik pada hari ke-4 (40 ºC). Kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer M21 memasuki fase termofilik dimulai dari hari ke-1 hingga hari ke-3, suhu tertinggi berlangsung pada hari ke-3 yaitu 49 ºC. Kemudian memasuki fase mesofilik pada hari ke-4 (43 ºC). Kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer Tangguh memasuki fase termofilik pada hari ke-1 hingga hari ke-3, suhu tertinggih berlangsung pada hari ke-3 yaitu 48 °C. Selanjutnya memasuki fase mesofilik pada hari ke-4 (43 °C). Semua perlakuan mengalami fase pengomposan yang baik, selama proses pengomposan suhu terus menurun hingga minggu terakhir suhu kompos mulai stabil dan mendekati suhu lingkungan (30 ºC-31 °C). Pengomposan mengalami 3 fase, yaitu fase termofilik, fase mesofilik dan fase pematangan. Pada fase termofilik mikroba yang tumbuh adalah mikroba termofilik yang hidup pada suhu 45 °C – 65 °C. Mikroba ini bertugas mengkonsumsi karbohidrat dan protein agar bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat sehingga suhu meningkat. Pada fase kedua, kompos memasuki fase mesofilik, mikroba mesofilik hidup pada suhu 25 °C-45 °C dan bertugas memperkecil ukuran partikel bahan organiK (Djuarnani, 2015). Mikroorganisme mesofilik hadir secara cepat karena dipengaruhi oleh udara dan senyawa organik sehingga menyebabkan suhu meningkat (Irawan & Padmawati, 2014). Fase yang terakhir yaitu fase pematangan. Fase pematangan kompos ditandai dengan terjadinya kestabilan suhu. Suhu kompos stabil 112 menandakan proses degradasi karbon organik selesai dan proses pengomposan hampir selesai. (Isroi (2007). Suhu kompos yang tinggi menggambarkan aktivitas mikroba yang tinggi dalam mengurai bahan organik dan juga dapat membunuh bakteri-bakteri pathogen dan bibit gulma yang terbawa. Panas pada kompos terjadi karena mikroba mulai aktif memanfaatkan oksigen dan mulai mengurai bahan organik menjadi gas CO2, uap air dan panas (Isroi, 2007) . Setelah semua bahan terurai maka suhu akan berangsur mengalami penurunan. Pada fase ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut yaitu pembentukan kompleks liat humus. Selain menurunnya aktivitas mikroba, penurunan suhu juga disebabkan karena pembalikkan kompos yang dilakukan setiap 2 hari sekali. Karakteristik Kompos Limbah Solid Sawit dengan Berbagai Biodekomposer Hasil analisis karakteristik kompos limbah solid sawit dengan berbagai biodekomposer dibandingkan dengan SNI kompos disajikan pada Tabel 1. Kadar air. Kadar air adalah persentase kandungan air dari suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan bobot segar (wet basis) atau berdasarkan bobot kering (dry basis) (Widarti et al., 2015). Kadar air sangat berpengaruh dalam mempercepat terjadinya perubahan dan penguraian bahan-bahan organik yang digunakan dalam proses pengomposan. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) kompos, kadar air kompos maksimal 50%. Pengamatan kadar air pada penelitian ini dilakukan pada akhir pengomposan. Hasil analisis menunjukkan kadar air kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer 30,82%, kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer EM4 41,35%, dan kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer Tangguh 38,75%. Hal ini menunjukkan bahwa kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer, kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer EM4 dan kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer Tangguh memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) kompos yang menyatakan bahwa kompos yang berkualitas memiliki kadar air maksimal 50% dan tidak ada batas minimum. Kompos solid sawit tanpa biodekomposer menunjukkan kadar air paling rendah dibandingkan perlakuan yang lainnya. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan kadar air kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer M21 yaitu 51,82%. Hal ini menunjukkan bahwa kompos limbah solid sawit dengan dekomposer M21 tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) kompos yang menyatakan bahwa kompos yang berkualitas memiliki kadar air maksimal 50% dan tidak ada batas minimum. Perlakuan ini menunjukkan kadar air tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. JIPI. 24(2), 109-119 (2022) BIOPENGOMPOSAN LIMBAH KELAPA SAWIT Tabel 1. Karakteristik kompos solid sawit dengan berbagai biodekomposer Sifat Kompos Hasil Analisis SNI Kontrol EM4 M21 Tangguh Min. Mak. Kadar air (%) 30,82 41,35 51,82 38,75 - 50 pH 6,66 6,34 6,24 6,44 6,8 7,49 C-organik (%) 9,25 16,54 8,87 8,16 9,8 32 N-Total (%) 1,43 2 2,19 2,12 0,4 - C/N (%) 6,5 8,27 4,1 3,8 10 20 P-Total (%) 0,45 0,71 0,73 0,71 0,1 - K-Total (%) 0,24 0,37 0,4 0,37 0,2 * 2,9 x 105 1,3 x 106 8,0 x 105 - - Total mikroba 3,2 x 106 (µg/g) Keterangan: *nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum Kondisi anaerob tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Oleh karena itu, dilakukan pembalikan agar kondisi tumpukan kompos menjadi normal kembali. Pembalikan memberikan sirkulasi udara yang diperlukan untuk mengurangi kadar air dan menghindari kondisi anaerobik. Penurunan kadar air selama proses pengomposan disebabkan karena penguapan air menjadi gas akibat adanya aktivitas mikroorganisme (Isroi, 2008). pH kompos. Hasil penelitian menunjukkan pH kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer 6,66, kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer EM4 6,34, kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer M21 6,24, dan kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer Tangguh 6,44. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), kompos yang berkualitas memiliki pH minimal 6,80 dan maksimal 7,49, sedangkan hasil penelitian kompos limbah solid sawit untuk semua perlakuan memiliki nilai di bawah nilai SNI. Rendahnya pH kompos di duga karena bahan utama yang digunakan memiliki pH awal 6,05. Meskipun pH kompos limbah solid sawit untuk semua perlakuan tidak memenuhi kompos berkualitas sesuai SNI, tetapi kompos limbah solid sawit untuk semua perlakuan telah memenuhi syarat sebagai kompos yang matang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yuwono (2007) yang menyatakan pH kompos matang biasanya antara 6 sampai 8. C-organik. Hasil penelitian kompos limbah solid sawit dengan berbagai biodekomposer menunjukkan JIPI. 24(2), 109-119 (2022) kadar C-organik kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer 9,25%, kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer EM4 16,54%, kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer M21 8,87%, dan kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer Tangguh 8,16%. Berdasarkan hasil penelitian, kompos limbah solid sawit yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) hanya pada penambahan dekomposer EM4, sedangkan perlakuan lainnya masih memiliki nilai di bawah batas minimal SNI. Dalam proses dekomposisi, semakin rendah nilai C maka semakin cepat proses dekomposisi karena C dalam bahan organik akan digunakan sebagai sumber energi mikroorganisme dan akan dilepaskan sebagai gas CO2. Nilai C-organik pada penambahan biodekomposer M21 dan Tangguh diduga karena aktivitas mikroba yang lebih banyak. Biodekomposer M21 dan Tangguh memiliki kandunga mikroba perombak yang cukup banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat Graves & Hattemer (2000) yang menyatakan nilai kandungan C-organik yang rendah menunjukkan mikroorganisme bekerja lebih banyak. Penambahan aktivator menyebabkan dekomposisi bahan organik berjalan cepat sehingga terjadi penurunan kadar karbon, sedangkan nilai C-organik pada penambahan biodekomposer EM4 memiliki nilai yang paling tinggi dan sesuai dengan SNI sedangkan tanpa penambahan biodekomposer memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan EM4 dan tidak sesuai dengan SNI, tetapi memiliki nilai yang mendekati batas minimal SNI. Hal ini diduga karena 113 HAFIZAH et al. tinggi tumpukan pada kompos dengan penambahan biodekomposer EM4 lebih rendah dibandingkan dengan tumpukkan kompos EM4, sehingga suhu pada perlakuan EM4 lebih panas dan aktivitas mikroba lebih cepat. Menurut Graves & Hattemer (2000), kondisi tumpukan kompos juga berpengaruh terhadap Corganik karena dapat mengisolasi panas yang cukup sehingga C-organik yang ada dalam bahan kompos dapat terdekomposisi dengan baik. N-total. Unsur N dalam kompos merupakan hasil degradasi bahan organik kompos oleh mikroorganisme dan organisme yang mendegradasi bahan kompos (Hidayati et al. 2008). Menurut Haq et al. (2014), unsur nitrogen dalam pembuatan kompos akan digunakan oleh mikroba sebagai aktivitasi hidupnya, semakin banyak kandungan nitrogen maka akan semakin cepat bahan organik terurai. Kadar N total berhubungan dengan kadar C total kompos karena kedua kandungan kompos tersebut akan menentukan kadar C/N rasio kompos. Hasil penelitian menunjukkan kadar N total pada kompos limbah solid sawit dengan berbagai biodekomposer diperoleh hasil tanpa biodekomposer 1,43%, dengan biodekomposer EM4 2%, dengan biodekomposer M21 2,19, dan dengan biodekomposer Tangguh 2,12%. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa kadar N total tertinggi terdapat pada perlakuan dengan biodekomposer M21. Kadar N-total pada penelitian ini memenuhi syarat sebagai kompos berkualitas sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang menyatakan kompos berkualitas memiliki kadar N total minimal 0,40%. Kompos limbah solid sawit untuk semua perlakuan memiliki nilai N total di atas nilai minimal SNI. Tingginya kadar N pada penelitian ini diduga karena bahan utama pembuatan kompos yaitu solid sawit memiliki kadar N yang cukup tinggi. Unsur hara N pada solid kering yaitu 1,4% (Yuniza, 2015). Selain itu, hasil uji kandungan N bahan sebelum dikomposkan juga menunjukkan nilai yang cukup tinggi yaitu1,32%. Penggunaan biodekomposer yang berbeda juga berperan dalam proses pengomposan yang menghasilkan kompos dengan kandungan N yang berbeda. Kandungan mikroorganisme yang terdapat pada masing-masing dekomposer memiliki perbedaan. Mikroorganisme pada biodekomposer M21 dan Tangguh lebih banyak dibandingkan dengan mikroorganisme pada EM4, sehingga proses dekomposisi berlangsung lebih cepat. Menurut Imran & Zulfitriyani (2020), solid sawit memiliki kandungan mikroorgaisme Pseudomonas sp., mikroorganisme ini juga dimiliki oleh biodekomposer M21, tetapi tidak dimiliki oleh biodekomposer EM4 dan Tangguh. Kandungan N yang tinggi berkaitan dengan nitrat. Selain itu, dalam biodekomposer yang 114 digunakan terdapat bakteri genus Pseudomonas yang dapat mengikat N di udara. Nitrogen akan bersatu dengan mikroba selama proses pengomposan karena untuk menghancurkan bahan organik membutuhkan N dalam jumlah besar. Setelah proses pengomposan selesai, N akan dilepas kembali sebagai salah satu komponen yang terkandung dalam kompos. Rasio C/N. Salah satu tujuan pengomposan yaitu menurunkan rasio C/N bahan organik agar sama dengan rasio C/N tanah (10-12) agar mudah diserap oleh tanaman. Menurut Sutanto (2002), pada rasio C/N diantara 30-40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berlangsung lambat. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan rasio C/N pada kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer 6,5, dengan biodekomposer EM4 8,27, dengan biodekomposer M21 4,1, dan dengan biodekomposer Tangguh 3,8. Rasio C/N pada tertinggi pada penelitian ini terdapat pada perlakuan penambahan biodekomposer EM4 yaitu 8,27, sedangkan hasil terendah pada perlakuan penambahan biodekomposer Tangguh yaitu 3,8. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio C/N kompos limbah solid sawit untuk semua perlakuan tidak memenuhi syarat sebagai kompos yang berkualitas, karena nilai rasio C/N kompos limbah solid sawit untuk semua perlakuan di bawah nilai rasio C/N minimal kompos Standar Nasional Indonesia (SNI) yang memiliki nilai minimal 10 dan maksimal 12. Menurut Harada et al. (1993), kompos dengan kandungan C/N rendah akan banyak mengandung amoniak (NH3) yang dihasilkan oleh bakteri amoniak, kemudian dapat dioksidasi lebih lanjut menjadi nitrit dan nitrat yang mudah diserap oleh tanaman. Rasio C/N terlalu rendah juga menyebabkan terbentuknya gas amoniak sehingga nitrogen mudah hilang di udara. P-total. Unsur P diperlukan oleh mikroorganisme untuk membangun sel (Stofella & Khan, 2001). Adanya perombakan bahan organik dan proses asimilasi fosfor terjadi karena adanya ezim fosfatase yang dihasilkan oleh sebagian mikroorganisme. Fosfor akan kurang termanfaatkan apabila jumlah mikroorganisme dalam proses pengomposan kurang, karena proses perombakan bahan organik dan proses asimilasi fosfor oleh mikroorganisme akan kurang. Jika jumlah mikroorganisme dalam pengomposan cukup, maka proses perombakan bahan organik akan berjalan dengan sempurna (Tumimbang et al., 2016). Hasil penelitian menunjukkan kadar P total pada kompos limbah solid sawit dengan berbagai biodekomposer diperoleh hasil tanpa biodekomposer 0,45%, dengan biodekomposer EM4 0,71%, dengan JIPI. 24(2), 109-119 (2022) BIOPENGOMPOSAN LIMBAH KELAPA SAWIT biodekomposer M21 0,73%, dan dengan biodekomposer Tangguh 0,71%. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kadar P total tertinggi terdapat pada perlakuan dengan biodekomposer M21. Berdasarkan hasil penelitian, kadar P-total pada penelitian ini memenuhi syarat sebagai kompos berkualitas sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang menyatakan kompos berkualitas memiliki kadar P total minimal 0,10%. Kompos limbah solid sawit untuk semua perlakuan memiliki nilai P total di atas nilai minimal SNI. Nilai P-total yang cukup tinggi diduga karena bahan utama pembuatan kompos memiliki nilai P-total yang cukup tinggi, hal ini sesuai dengan hasil uji kandungan P-total pada bahan sebelum dikomposkan yaitu 0,56%. K-total. Kalium merupakan salah satu unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Menurut Selian (2008), kalium berperan dalam peroses metabolisme tanaman seperti mengaktifkan kerja enzim, membuka dan menutup stomata, transportasi hasil-hasil fotosintesis, meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kekeringan dan penyakit tanaman. Kalium memiliki peran penting dalam proses fotosintesis dalam pembentukan protein dan selulosa yang berfungsi untuk memperkuat batang tanaman (Ekawandani & Kusuma, 2018). Hasil penelitian menunjukkan kadar K total pada kompos limbah solid sawit dengan berbagai biodekomposer diperoleh hasil tanpa biodekomposer 0,24%, dengan biodekomposer EM4 0,37%, dengan biodekomposer M21 0,4%, dan dengan biodekomposer Tangguh 0,37%. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kadar K total tertinggi terdapat pada perlakuan dengan biodekomposer M21. Berdasarkan hasil penelitian, kadar K-total pada penelitian ini memenuhi syarat sebagai kompos berkualitas sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang menyatakan kompos berkualitas memiliki kadar K total minimal 0,20%. Kompos limbah solid sawit untuk semua perlakuan memiliki nilai K total di atas nilai minimal SNI. Nilai kalium yang cukup tinggi disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang mengurai bahan organik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widarti et al. (2015) yang menyatakan aktivitas dekomposisi oleh mikroorganisme mengubah bahan organik komplek menjadi organik sederhana yang menghasilkan unsur kalium yang dapat diserap tanaman. Perbedaan kecepatan mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik saat fermentasi menjadi penyebab adanya variasi nilai kadar kalium kompos (Mulyadi & Yuvina, 2013). Total mikroba. Proses pengomposan yang melibatkan kondisi aerobik, dengan kombinasi suhu mesofilik dan termofilik merupakan proses biologis yang sangat dinamis. Kondisi aerob menyebabkan JIPI. 24(2), 109-119 (2022) jumlah mikroba tanah sebagian besar meningkat (Hajoeningtijas, 2012). Berdasarkan hasil analisis total mikroba pada penelitian ini diperoleh hasil total mikroba kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer 3,2 x 106 µg/g, kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer EM4 2,9 X 105 µg/g, kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer M21 1,3 x 106 µg/g, dan kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer Tangguh 8,5 x 105 µg/g. Dari hasil analisis dapat dilihat bahwa kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer memiliki total mikroba paling banyak dan paling sedikit terdapat pada kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer EM4. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Imran & Zulfitriany (2020) menunjukkan bahwa decanter solid memiliki kandungan mikroba penyubur tanah seperti Aspergillus niger, Aspergillus fimigatus, Cellvibrio sp., Pseudomonas sp., dan Micrococcus sp. Oleh karena itu, pengomposan limbah solid sawit tanpa penambahan biodekomposer tetap menghasilkan mikroba yang beragam karena limbah solid sawit itu sendiri telah memiliki mikroba. Selain itu, kadar air juga berpengaruh terhadap aktivitas mikroba. Perbedaan total mikroba pada penelitian ini diduga dipengaruhi oleh kandungan mikroba pada bahan dasar pembuatan kompos. hasil penelitian Imran dan Zulfitriany (2020) yang menunjukkan bahwa decanter solid memiliki kandungan mikroba penyubur tanah seperti Aspergillus niger, Aspergillus fimigatus, Cellvibrio sp., Pseudomonas sp., dan Micrococcus sp. Kandungan total mikroba pada perlakuan kontrol sedikit lebih banyak dibandingkan perlakuan penambahan biodekomposer terbaik yaitu M21. Hal ini diduga karena terdapat peranan kadar air yang berbeda pada kompos. Kadar air di bawah 30% dapat mengakibatkan berkurangnya populasi mikroba pengurai karena terbatas habitat yang ada, sedangkan kadar air yang terlalu tinggi dapat menghambat aktivitas mikroba karena ruang antar partikel penuh oleh air sehingga mencegah gerakan udara. Kadar air pada penambahan biodekomposer M21 memiliki kadar air di atas 50%, hal ini diduga mempengaruhi aktivitas mikroba dibandingkan dengan perlakuan kontrol yang memiliki kadar air 30,82%. Selain itu, suhu pada awal pengomposan juga cenderung lebih tinggi pada perlakuan kontrol dibandingkan perlakuan yang lainnya. Suhu yang tinggi menunjukkan adanya aktivitas mikroba yang lebih besar. Aroma dan Warna Kompos Berdasarkan hasil kuesioner 30 orang responden yang terdiri dari praktisi pertanian, petani, dan masyarakat umum, diperoleh hasil aroma kom- 115 HAFIZAH et al. pos limbah solid sawit tanpa biodekomposer 14 orang (46,7%) menyatakan beraroma tanah, 14 orang (46,7%) beraroma tanah tipis dan 2 orang (6,6%) menyatakan beraroma abu (sekam bakar) (Gambar 2a)., sedangkan warna kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer diperoleh 4 orang (13,33%) menyatakan berwarna abu (gray 6/N), 7 orang (23,33%) menyatakan berwarna abu (gray 5/ N), dan 19 orang (63,3%) menyatakan berwarna abu terang (light gray 7/N) (Gambar 2b). Hasil kuesioner terhadap 30 orang responden yang terdiri atas praktisi pertanian, petani dan masyarakat umum, diperoleh hasil aroma kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer EM4 12 orang (40%) menyatakan beraroma tanah sangat tipis, 13 orang (43,3%) beraroma tanah tipis, 1 orang (3,3%) beraroma sawit tipis, dan 4 orang (13,3%) menyatakan beraroma tanah (Gambar 2c), sedangkan warna kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer EM4 diperoleh 5 orang (16,7%) menyatakan berwarna abu tua (dark gray 4/N), 15 orang (50%) menyatakan berwarna abu muda (light gray 7/N), 3 orang (10%) menyatakan berwarna abu (gray 5/N) dan 7 orang (23,3%) mengatakan berwarna abu (gray 6/N) (Gambar 2d). Hasil kuesioner 30 orang responden yang terdiri dari praktisi pertanian, petani dan masyarakat umum, diperoleh hasil aroma kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer M21 25 orang (83,3%) menyatakan beraroma tanah, 4 orang (13,4%) beraroma tanah tipis dan 1 orang (3,3%) menyatakan beraroma tanah apek (Gambar 2e), sedangkan warna kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer M21 diperoleh 5 orang (16,7%) menyatakan berwarna abu tua (dark gray 4/N), 8 orang (26,7%) menyatakan berwarna abu muda (light gray 7/N), 12 orang (40%) menyatakan berwarna abu (gray 5/N) dan 5 orang (16,67%) menyatakan berwarna abu (gray 6/N) (Gambar 2f). Aroma kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer Tangguh 7 orang (56,7%) menyatakan beraroma tanah dan 13 orang (43,3%) beraroma tanah tipis (Gambar 2g)., sedangkan warna kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer Tangguh diperoleh 3 orang (10%) menyatakan berwarna abu tua (dark gray 4/N), 18 orang (60%) menyatakan berwarna abu muda (light gray 7/N) dan 9 orang (30%) menyatakan berwarna abu (gray 5/N) (Gambar 2h). Aroma merupakan salah satu parameter yang dapat menunjukkan kematangan kompos. Aroma yang dihasilkan pada proses pengomposan merupakan suatu tanda bahwa terjadi aktivitas dekomposisi oleh mikroba (Hafifudin , 2015). Pengamatan aroma kompos dilakukan pada akhir pengomposan dengan melibatkan 30 orang responden yang terdiri dari 116 praktisi pertanian, petani dan masyarakat umum. Pengamatan aroma kompos menggunakan indra penciuman, kemudian dilakukan scoring. Gambar 2. Aroma dan warna kompos solid sawit dengan berbagai dekomposer. Keterangan: (a) aroma kompos solid sawit tanpa biodekomposer; (b) warna kompos solid sawit tanpa biodekomposer; (c) aroma kompos solid sawit dengan biodekomposer EM4; (d) warna kompos solid sawit dengan biodekomposer EM4; (e) aroma kompos solid sawit dengan biodekomposer M21; (f) warna kompos solid sawit dengan biodekomposer M21; (g) aroma kompos solid sawit dengan biodekomposer Tangguh; (h) warna kompos solid sawit dengan biodekomposer Tangguh. Hasil aroma kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer 14 orang (46,7%) menyatakan beraroma tanah, 14 orang (46,7%) beraroma tanah tipis dan 2 JIPI. 24(2), 109-119 (2022) BIOPENGOMPOSAN LIMBAH KELAPA SAWIT orang (6,6%) beraroma abu (sekam bakar). Kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer EM4 12 orang (40%) menyatakan beraroma tanah sangat tipis, 13 orang (43,3%) beraroma tanah tipis, 1 orang (3,3%) beraroma sawit tipis, dan 4 orang (13,3%) menyatakan beraroma tanah. Kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer M21 25 orang (83,3%) menyatakan beraroma tanah, 4 orang (13,4%) beraroma tanah tipis dan 1 orang (3,3%) menyatakan beraroma tanah apek. Kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer tangguh 17 orang (56,7%) menyatakan beraroma tanah dan 13 orang (43,3%) beraroma tanah tipis. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa kompos limbah solid sawit dengan berbagai biodekomposer untuk semua perlakuan memenuhi syarat sebagai kompos berkualitas karena menghasilkan kompos yang beraroma seperti tanah. Hal ini sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mengatakan kompos berkualitas memiliki aroma seperti tanah. Walaupun ada beberapa responden yang menyatakan kompos limbah solid memiliki aroma tanah yang sangat tipis, tetapi kompos limbah solid sawit tidak mengeluarkan bau busuk. Kompos limbah solid sawit memiliki aroma seperti tanah karena selama proses pengomposan berlangsung dilakukan pembalikan yang merata sehingga tidak menyebabkan timbunan gas amoniak yang mengeluarkan bau busuk. Menurut SNI kompos, kompos yang telah matang berwarna coklat kehitaman. Perubahan warna kompos tergantung bahan campuran yang digunakan. Pengukuran warna kompos dilakukan pada akhir penelitian dengan melibatkan 30 orang responden yang terdiri dari praktisi pertanian, petani dan masyarakat umum. Pengukuran warna kompos dilakukan dengan membandingkan warna kompos dengan Munsell Soil Color Chart. Berdasarkan hasil kuesioner diperoleh data warna kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer 11 orang (36,7%) menyatakan berwarna abu dan 19 orang (63,3%) menyatakan berwarna abu muda. Kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer EM4 5 orang (16,7%) menyatakan berwarna abu tua, 15 orang (50%) menyatakan berwarna abu muda dan 10 orang (33,3%) menyatakan berwarna abu. Kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer M21 5 orang (16,7%) menyatakan berwarna abu tua, 8 orang (26,7%) menyatakan berwarna abu muda dan 17 orang (56,6%) menyatakan berwarna abu. Kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer Tangguh 3 orang (10%) menyatakan berwarna abu tua, 18 orang (60%) menyatakan berwarna abu muda dan 9 orang (30%) menyatakan berwarna abu (Gambar 2). Hasil kuesioner menunjukkan bahwa kompos limbah solid sawit dengan berbagai biodekomposer JIPI. 24(2), 109-119 (2022) untuk semua perlakuan tidak memenuhi kompos Standar Nasional Indonesia (SNI) yang menyatakan bahwa kompos berkualitas memiliki warna coklat kehitaman. Kompos solid sawit pada penelitian ini memiliki warna abu muda sampai dengan abu tua. Hal ini diduga karena penambahan dolomit sebanyak 5 kg untuk setiap perlakuan, padahal warna bahan dasar pembuatan kompos hitam. Uji Perkecambahan Benih Hasil perkecambahan benih pada masing-masing perlakuan menujukkan persentase edamame yang berkecambah sebesar 86% pada perlakuan biodekomposer Tangguh, 94% dengan biodekomposer M21, 80% dengan biodekomposer EM4, dan perlakuan kontrol atau tanpa biodekomposer 70% (Gambar 3). Gambar 3. Persentase perkecambahan benih edamame Pengujian perkecambahan benih pada penelitian ini menggunakan benih edamame sebanyak 50 biji benih pada masing-masing perlakuan. Perkecambahan dilakukan selama 7 hari dengan penyiraman dilakukan setiap harinya agar kelembaban media persemaian tetap terjaga. Saputra et al, (2019) menyatakan perkecambahan benih bertujuan untuk mengetahui kematangan kompos. Kompos yang matang dapat langsung digunakan sebagai media tanam dan dapat dilihat dari tanaman yang tumbuh ketika media tersebut digunakan. Dari hasil uji perkecambahan 50 benih edamame pada masing-masing perlakuan kompos solid sawit diperoleh data perkecambahan dengan persentase benih tumbuh berbeda-beda. Persentase benih tumbuh pada kompos solid sawit tanpa biodekomposer yaitu 70% benih tumbuh, kompos solid sawit dengan biodekomposer EM4 80% benih tumbuh, kompos solid sawit dengan biodekomposer M21 94% benih tumbuh, dan kompos solid sawit dengan biodekomposer Tangguh 86% benih tumbuh. Hal ini menunjukkan bahwa kompos solid sawit pada masing-masing perelakuan telah matang dan dapat diaplikasikan pada tanaman. Dari semua perlakuan kompos solid sawit, kompos solid sawit dengan biodekomposer M21 yang memiliki persentase terbanyak yaitu 94% benih tumbuh. 117 HAFIZAH et al. Berdasarkan hasil penelitian, kompos dengan kandungan hara N, P, dan K terbaik terdapat pada perlakuan penambahan biodekomposer M21. Hal ini sesuai dengan hasil uji perkecambahan yang menunjukkan perlakuan penambahan biodekomposer M21 memiliki persentase benih tumbuh terbanyak. Dekomposer M21 adalah formula organisme detritivore sebagai pengurai bahan organik yang baik (Agroprobiotik, 2017). Organisme yang terkandung dalam biodekomposer M21 merupakan pengurai dan berkontribusi dalam siklus hara. Oleh karena itu, pertumbuhan benih berlangsung lebih baik pada biodekomposer M21 karena diduga kebutuhan hara benih terpenuhi lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Selain itu, kadar air yang terdapat pada kompos limbah solid sawit dengan penambahan M21 lebih tinggi sehingga berpengaruh terhadap perkecambahan benih. KESIMPULAN Kualitas kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer tidak sesuai SNI 2004, kecuali kadar air, N-total, P-total dan K-total. Kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer EM4 tidak sesuai SNI 2004, kecuali kadar air, C-organik, N-total, P-total dan K-total. Kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer M21 tidak sesuai SNI 2004, kecuali Ntotal, P-total dan K-total. Kompos limbah solid sawit dengan biodekomposer Tangguh tidak sesuai SNI 2004, kecuali kadar air, N-total, P-total, dan K-total. Uji perkecambahan benih edamame pada media kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer 70%, biodekomposer EM4 80%, biodekomposer M21 94%, biodekomposer Tangguh 86%. Total mikroba kompos limbah solid sawit tanpa biodekomposer 3,2 x 106 µg/g, biodekomposer EM4 2,9 x 105 µg/g, biodekomposer M21 1,3 x 106 µg/g, dan biodekomposer Tangguh 8,0 x 105 µg/g. DAFTAR PUSTAKA Agroprobiotik. (2017). M21 Dekomposer Formula Membuat Pupuk Organik Alami. Retrieved July 3, 2021, from https://agroprobiotik.com/ m21-decomposer-formula-membuat-pupukorganik-alami/. Djuarnani, N., Kristian & Setiawan, B. S. (2015). Cara Cepat Membuat Kompos. Cetakan Pertama. AgroMedia Pustaka, Jakarta. Ekawandani, N. & Kusuma, A.A. (2018). Pengomposan sampah organik (Kubis dan Kulit Pisang) dengan menggunakan EM4. TEDC, 12 (1), 38-43. DOI: https://10.31227/ osf.io/3gt26. Eviati & Sulaeman. (2009). Analisis Kimia Tanah,Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah, Bogor. 118 Eulis T.M., (2009). Biokonversi Limbah Industri Peternakan. UNPAD Press., Bandung. Ginting, T., Zuhry, E. & Adiwirman, A. (2017). Pengaruh limbah solid dan NPK tablet terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di pembibitan utama. Jurnal Online Fakultas Pertanian Universitas Riau, 4(2), 115. Graves, R.E. & Hattemer, G.M. (2000) Chapter 2 Composting. Part 637 Environmental Engineering National Engineering Handbook. United States Department of Agriculture. Natural Resources Conservation Service. 210-VI-NEH. Hafifudin, T. (2015). Pengolahan Limbah. Diakses pada 20 Maret 2022. http://pengelolahanlimbah. wordpress.com/category/ekompos-daun/. Haitami, A. & Wahyudi. (2019). Pengaruh berbagai dosis kompos solid plus (KotakPlus) dalam memperbaiki sifat kimia tanah Ultisol. Jurnal Ilmiah Pertanian, 16(1), 56-63. DOI: https:// doi.org/10.31849/jip.v16i1.2351. Hajoeningtijas, O.W. (2012). Mikrobiologi Pertanian. Graha Ilmu, Yogyakarta. Haq, A.S., Nugroho,W.A., Lutfi, M.. (2014). Pengaruh perbedaan sudut rak segitiga (600, 900 dan 1200) pada pengomposan sludge biogas terhadap sifat fisik dan kimia kompos. Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem, 2(3), 225-233. DOI: https:// doi.org/10.21776/ub.jkptb. Harada, Y., Haga, K., Osada,T. & Koshino, M. (1993). Quality of compost from animal waste. JAQR, 26(4), 238-246. Hidayanto, M. (2008). Limbah Kelapa Sawit Sebagai Sumber Pupuk Organik dan Pakan Ternak. Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Ternak, Puslitbang Peternakan, Jakarta.. Hidayati, Y.A., Harlia, E., Marlina, E.T. (2008). Upaya pengolahan feses domba dan limbah Usar (Vitiveria zizanioides) melalui berbagai metode pengomposan. Jurnal Ilmu Ternak Universitas Padjadjaran, 8(1), 87-90. Imran & Mustaka, Z D.(2020). Identifikasi kandungan kapang dan bakteri pada limbah padatan (Decanter solid) pengolahan kelapa sawit untuk pemanfaatan sebagai pupuk organik. Jurnal Agrokompleks, 20(1), 16-21. DOI: 10.51978/ japp.v20i1.196. Irawan, B. & Padmawati, M. (2014). Pengaruh Susunan Bahan Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Pasar pada Komposter Beraerasi. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi (SNAST). Akademi Kimia Industri St. Paulus Semarang, Semarang. JIPI. 24(2), 109-119 (2022) BIOPENGOMPOSAN LIMBAH KELAPA SAWIT Isroi. (2007). Pengomposan Limbah Padat Organik. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor. Isroi. (2008). Kompos. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor. Kamal, N. (2012). Karakteristik dan Potensi Pemanfaatan Limbah Sawit. Skripsi Teknik Kimia. ITENAS. Bandung. Pahan, I. (2008). Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya, Jakarta. Pramudyanto, B. (2003). Pemeriksaan Industri dalam Pengendalian Pencemaran. Agung, Semarang. Saputra, R.A., Gazali, A., Heiriyani, T., Santoso, U., Wahdah, R., Nugraha, I., Mulyana, R. (2019). Kualitas Kompos Limbah Jerami Padi di Wilayah Tungkaran Desa Ulin Kecamatan Simpur dengan Penambahan Kotoran Ternak yang Berbeda. Prosiding Seminar Nasional TAJAK BANUA, 1(1), 1-8. Selian, A. R. K. (2008). Analisa Kadar Unsur Hara Kalium (K) dari Tanah Perkebunan Kelapa Sawit Bengkalis Riau Secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan. JIPI. 24(2), 109-119 (2022) Stofella, P.J & Khan, B.A. (2001). Compost Utilization in Holticultural Croping Systems. Lewis Publishers, USA. Sutanto, R. (2002). Penerapan Pertanian Organik. Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Penerbit Kanisius, Jakarta. Tumimbang, M., Tamod, Z.E. & Kumolontang, W. (2016). Uji kualitatif kandungan hara kompos campuran beberapa kotoran ternak peliharaan. Eugenia, 22(3), 123-133. DOI: https:// doi.org/10.35791/eug.22.3.2016.14106. Widarti, B.N., Wardhini, W.K. & Sarwono, K. (2015). Pengaruh rasio C/N bahan baku pada pembuatan kompos dari kubis dan kulit pisang. Jurnal Integrasi Proses, 5(2), 75-80. DOI: http:// dx.doi.org/10.36055/jip.v5i2.200. Wiparnaningrum, L.P.M. (2013). Uji Potensial Bakteri Selulotik dari Kumbang Tinja (Dung beetles) Sebagai Bio-Toilet. Skripsi. Universitas Airlangga, Surabaya. Yuwono, D. (2007). Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta. 119