Papers by Moh. Khuza'i Rofi'
Hati yang hidup dan dapat menerima pendidikan adalah hati yang penuh cinta, maka kata kunci yang ... more Hati yang hidup dan dapat menerima pendidikan adalah hati yang penuh cinta, maka kata kunci yang tepat dalam seminar ini adalah “memulai cinta dengan perspektif Quran”
Penggunaan cara tradisional masih dominan dalam pengajaran Studi Islam di banyak lembaga di negar... more Penggunaan cara tradisional masih dominan dalam pengajaran Studi Islam di banyak lembaga di negara-negara muslim. Metode pengajaran berbasis teknologi hampir tidak dipraktekkan, jika tidak benar-benar diabaikan. Namun, penggunaan teknologi khususnya PowerPoint dalam pengajaran, telah terbukti berhasil dan efektif dalam proses pendidikan di Akademi Studi Islam, Universitas Malaya. Melalui wawancara dengan 20 siswa dari kelas dan jurusan yang berbeda di lembaga tersebut. Kami berpendapat bahwa menggunakan PowerPoint dan teknologi pendidikan pada umumnya dalam proses pengajaran Studi Islam, memainkan peran positif baik dalam arti pedagogis maupun agama.
Para feminis dalam membangun wacana kesetaran gender seringkali memulainya dengan pembedaan antar... more Para feminis dalam membangun wacana kesetaran gender seringkali memulainya dengan pembedaan antara definisi seks dan gender. Dua istilah tersebut lazim kita anggap sama, yakni bermakna jenis kelamin manusia yang terdiri dari lelaki atau perempuan dan sifatnya mutlak harus diterima sebagaimana mestinya. Namun, menurut mereka hal tersebut hanya terbatas pada pembagian manusia secara biologis, inilah yang didefinisikan sebagai seks, sedangkan gender diberi definisi baru sebagai kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki (maskulin) atau perempuan (feminim). Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang meliputi perbedaan organ-organ seks dan juga hormon tidak menjadi perdebatan, namun pendapat tentang ada atau tidaknya pengaruh dari perbedaan tersebut dalam pembentukan sifat maskulin atau feminim masih belum menemukan kata sepakat. Akhirnya, dari dua argumen ini kemudian muncul konsep nature dan nurture.
Para feminis dalam membangun wacana kesetaran gender seringkali memulainya dengan pembedaan antar... more Para feminis dalam membangun wacana kesetaran gender seringkali memulainya dengan pembedaan antara definisi seks dan gender. 2 Dua istilah tersebut lazim kita anggap sama, yakni bermakna jenis kelamin manusia yang terdiri dari lelaki atau perempuan dan sifatnya mutlak harus diterima sebagaimana mestinya. 3 Namun, menurut mereka hal tersebut hanya terbatas pada pembagian manusia secara biologis, inilah yang didefinisikan sebagai seks, 4 sedangkan gender diberi definisi baru sebagai kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki (maskulin) atau perempuan (feminim). 5 Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang meliputi perbedaan organ-organ seks dan juga hormon tidak menjadi perdebatan, namun pendapat tentang ada atau tidaknya pengaruh dari perbedaan tersebut dalam pembentukan sifat maskulin atau feminim masih belum menemukan kata sepakat. Akhirnya, dari dua argumen ini kemudian muncul konsep nature dan nurture.
Modernitas dan teknologi mengarahkan manusia pada temuan-temuan baru dalam berbagai bidang. Ilmu ... more Modernitas dan teknologi mengarahkan manusia pada temuan-temuan baru dalam berbagai bidang. Ilmu pengetahuan kian berkembang dan pemahaman manusia serta aplikasinya juga ikut menyesuaikan dengan perkembangannya. Tanpa ada pegangan dan landasan teoritis manusia akan terombang-ambing oleh perkembangan tersebut, terseret begitu saja oleh masalah-masalah yang ada sebelum menemukan jawabannya. Agar hal tersebut tidak terjadi, Kuhn menawarkan sebuah solusi berupa konsep yang disebut sebagai Paradigma. 3 Pemikiran Kuhn tentang ilmu dan perkembangannya adalah respon terhadap pandangan Positivisme dan Popper. Positivisme menganggap pengetahuan mengenai fakta objektif merupakan pengetahuan yang benar dan secara umum mereka berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman dan proses verifikasi dan konfirmasi. Watertown (1940). Kuhn meraih sarjana (1943) dan master (1946) dalam bidang fisika di Harvard University tetapi memperoleh gelar Ph.D. (1949) dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan. Dia mengajarkan sejarah atau filsafat ilmu di Harvard (1951-1956), Buku pertamanya berjudul The Copernican Revolution (1957), sedangkan bukunya yang terkenal The Structure Of Scientific Revolution 5 ditulis dan diterbitkan di berkeley pada tahun 1962. Keilmuan dan karirnya terus berkembang selama di Princeton dan MIT. Buku-buku Kuhn merevolusi sejarah dan filsafat ilmu, konsepnya mengenai pergeseran paradigma merambah disiplin ilmu lain seperti ilmu politik, ekonomi, sosiologi, dan bahkan manajemen bisnis. Karya-karya terakhir Kuhn berupa kumpulan esai The Essential Tension (1977) dan sebuah studi teknis berjudul Black-Body Theory and the Quantum Discontinuity (1978).
But, Hanafi is different with another figure, he placed tradition and renewal upon his thoughts, ... more But, Hanafi is different with another figure, he placed tradition and renewal upon his thoughts, he interprets it as the reconstruction efforts over the classical Islamic sciences to be adjusted to the realities of contemporary. 2 His interpretation of Islam has also been described as socialist and he has elaborated on the concept called by al-Yassar al-Islami> (Islamic Left). 3 Hanafi is the author of thirty books in the French, English, and Arabic languages. He is also the author of a project entitled ‚al-Turath wa tajdid: Mawqifuna min al-turath al-qadi> m.‛ which is based on three sections consisting of the reconstruction of Islamic classical sciences: theology, philosophy, jurisprudence, mysticism and scriptural sciences. 4 Until now he is engaged in the long-term project of moving the center of gravity of Islamic (and Islamist) thought toward the mutual recognition, with the West, of the constructive role of Islam in defining and shaping human interaction. The book Min al-'Aqi> dah ila al-Thawroh was also part of this project. 5 This paper elaborates part of Hassan Hanafi's thought especially within his book Min al-'Aqi> dah ila al-Thawroh. This may consist of brief biography of Hassan Hanafi,
Keluarga adalah unit terkecil dalam kehidupan bermasyarakat, tidak akan ada masyarakat jika tidak... more Keluarga adalah unit terkecil dalam kehidupan bermasyarakat, tidak akan ada masyarakat jika tidak ada keluarga. Hal ini juga berarti bahwa baik-buruknya masyarakat ditentukan pada baik-buruknya keluarga-keluarga yang membentuk masyarakat tersebut.
Teaching Documents by Moh. Khuza'i Rofi'
Bila ditinjau dari perspektif sosiologis−khususnya dalam kajian teori konflik− perpecahan antara ... more Bila ditinjau dari perspektif sosiologis−khususnya dalam kajian teori konflik− perpecahan antara Islam Sunni dan Syi'ah yang dimulai sejak tahun 632 ini bisa dianalisa dalam beberapa teori.
Pertama, communal closure. Teori ini menyatakan bahwa sebuah komunitas yang mulai beranjak membesar punya peluang untuk memunculkan para skismatis. Semakin besar sebuah kelompok semakin rawan menimbulkan perpecahan. Hal tersebut bisa dilihat dari luasnya kekuasaan Islam dan pesatnya peningkatan jumlah Muslim di masa khulafa’ al-Rosyidin. Luasnya daerah kekuasaan tidak mampu dikontrol dari pusat kekhalifaan, terlebih saat itu sedang terjadi sengketa mengenai pengganti khalifah yang sah setelah meninggalnya Ustman.
Kedua, Teori Identitas. Menurut teori identitas, konflik disebabkan karena ancaman terhadap identitas kelompok yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu. Bani Umayah yang merupakan sub bani Abd al-Syams merupakan pesaing dari Bani Hasyim sejak dulu dalam pengelolaan Ka’bah di Makkah, seiring dengan melemahnya Bani Hasyim setelah wafatnya Abd al-Mutholib, Bani Umayah semakin mendapat kedudukan di Makkah. Munculnya Muhammad ibnu Abdullah dari Bani Hasyim dengan risalah kenabiannya dianggap mengganggu kekuasaan mereka di Makkah, sehingga Bani Umayah di bawah pimpinan Abu Sofyan banyak memberikan penentangan dan perlawan kepada Nabi. Bani Umayah kembali mendapat kekuasaan dengan diangkatnya Utsman ibnu Affan sebagai khalifah ketiga, namun pasca meninggalnya Khalifah Utsman ternyata Ali ibnu Abi Tholib yang diangkat sebagai penggantinya, hal inilah yang mendorong Mu’awiyah ibnu Abi Sofyan dan Marwan ibnu al-Hakam melakukan perlawanan. Identitas kesukuan Bani Umayah ditengarai menjadi salah satu penyebab timbulnya konflik Antara Ali dan Muawiyah yang memicu skisma antara Sunni dan Syi’ah.
Ketiga, Teori hubungan masyarakat berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan, dan permusuhan antara kelompok berbeda dalam masyarakat. Perbedaan tersebut umumnya menyangkut suku, agama, ras antargolongan, maupun ideologi politik. Pilihan politik Syi’ah yang hanya mengakui Ali dan keturunannya sebagai khalifah yang sah, Bani Umayah yang ingin mempertahankan dominasinya, dan ditambah lagi dengan munculnya Khawarij yang keluar dari kedua kelompok tersebut, perbedaan politik ini kemudian dilegitimasi dengan dalil-dalil agama, sehingga perbedaan tersbut merembet ke doktrin aqidah yang berujung pada skisma dalam Islam menjadi Sunni dan Syi’ah.
Keempat, Teori Permainan. Menurut teori permainan, konflik sama halnya dengan permainan, di mana dua pihak atau lebih menggunakan taktik atau strategi tertentu guna mengalahkan pihak lawan. Yang paling tampak adalah peristiwa tahkim al-siyasi (arbitrase politik) yang mengakhiri perang Shiffin antara Pendukung Ali dan Muawiyah. Peristiwa tersbut dianggap sebagai sebuah permainan taktik, khususnya oleh Amr ibnu al-Ash.
Kelima, Teori Negosiasi Prinsip. Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik adakalanya disebabkan oleh posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Skisma dalam Islam adalah akibat gagalnya negosiasi prinsip Syi’ah tentang khalifah yang harus berasal dari Ahl al-Bayt, Bani Umayah−khususnya Muawiyah ibnu Abi Sofyan dan Marwan ibnu al-Hakam−yang menentang dan merasa dirugikan karena kekhalifaan dan jabatan strategis lainnya tidak lagi dipegan Bani Umayah, serta prinsip khawarij yang menginginkan persamaan manusia, sehingga siapapun berhak menjadi khalifah asalkan patuh dan mampu menegakkan ajaran agama.
Keenam, Teori Proses Konflik. Teori ini menjelaskan adanya sejumlah tahapan dalam proses perkembangan konflik. Dalam kasus skisme Islam, proses konflik dimulai dari tradisi Arab yang masih kental dengan kesukuan, meskipun belum terjadi permusuhan. Tahap berikutnya adalah ketidakpuasan salah satu pihak kepada yang lain yang memicu terjadinya konflik, ketidakpuasan Muawiyah atas pengangkatan Ali sebagai khalifah memicu konflik frontal yang lebih luas antara pendukun Ali dan Bani Umayah. Tahap berikutnya adalah semakin parahnya konflik karena disalurkan dengan cara yang salah, seperti dengan peperangan antara pasukan Ali melawan Muawiyah (perang Shiffin) atau pembunuhan Ali ibnu Abi Tholib yang dilakukan Abdurrahman Bin Muljam dari kaum Khawarij karena ketidakpuasannya atas tahkim.
Uploads
Papers by Moh. Khuza'i Rofi'
Teaching Documents by Moh. Khuza'i Rofi'
Pertama, communal closure. Teori ini menyatakan bahwa sebuah komunitas yang mulai beranjak membesar punya peluang untuk memunculkan para skismatis. Semakin besar sebuah kelompok semakin rawan menimbulkan perpecahan. Hal tersebut bisa dilihat dari luasnya kekuasaan Islam dan pesatnya peningkatan jumlah Muslim di masa khulafa’ al-Rosyidin. Luasnya daerah kekuasaan tidak mampu dikontrol dari pusat kekhalifaan, terlebih saat itu sedang terjadi sengketa mengenai pengganti khalifah yang sah setelah meninggalnya Ustman.
Kedua, Teori Identitas. Menurut teori identitas, konflik disebabkan karena ancaman terhadap identitas kelompok yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu. Bani Umayah yang merupakan sub bani Abd al-Syams merupakan pesaing dari Bani Hasyim sejak dulu dalam pengelolaan Ka’bah di Makkah, seiring dengan melemahnya Bani Hasyim setelah wafatnya Abd al-Mutholib, Bani Umayah semakin mendapat kedudukan di Makkah. Munculnya Muhammad ibnu Abdullah dari Bani Hasyim dengan risalah kenabiannya dianggap mengganggu kekuasaan mereka di Makkah, sehingga Bani Umayah di bawah pimpinan Abu Sofyan banyak memberikan penentangan dan perlawan kepada Nabi. Bani Umayah kembali mendapat kekuasaan dengan diangkatnya Utsman ibnu Affan sebagai khalifah ketiga, namun pasca meninggalnya Khalifah Utsman ternyata Ali ibnu Abi Tholib yang diangkat sebagai penggantinya, hal inilah yang mendorong Mu’awiyah ibnu Abi Sofyan dan Marwan ibnu al-Hakam melakukan perlawanan. Identitas kesukuan Bani Umayah ditengarai menjadi salah satu penyebab timbulnya konflik Antara Ali dan Muawiyah yang memicu skisma antara Sunni dan Syi’ah.
Ketiga, Teori hubungan masyarakat berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan, dan permusuhan antara kelompok berbeda dalam masyarakat. Perbedaan tersebut umumnya menyangkut suku, agama, ras antargolongan, maupun ideologi politik. Pilihan politik Syi’ah yang hanya mengakui Ali dan keturunannya sebagai khalifah yang sah, Bani Umayah yang ingin mempertahankan dominasinya, dan ditambah lagi dengan munculnya Khawarij yang keluar dari kedua kelompok tersebut, perbedaan politik ini kemudian dilegitimasi dengan dalil-dalil agama, sehingga perbedaan tersbut merembet ke doktrin aqidah yang berujung pada skisma dalam Islam menjadi Sunni dan Syi’ah.
Keempat, Teori Permainan. Menurut teori permainan, konflik sama halnya dengan permainan, di mana dua pihak atau lebih menggunakan taktik atau strategi tertentu guna mengalahkan pihak lawan. Yang paling tampak adalah peristiwa tahkim al-siyasi (arbitrase politik) yang mengakhiri perang Shiffin antara Pendukung Ali dan Muawiyah. Peristiwa tersbut dianggap sebagai sebuah permainan taktik, khususnya oleh Amr ibnu al-Ash.
Kelima, Teori Negosiasi Prinsip. Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik adakalanya disebabkan oleh posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Skisma dalam Islam adalah akibat gagalnya negosiasi prinsip Syi’ah tentang khalifah yang harus berasal dari Ahl al-Bayt, Bani Umayah−khususnya Muawiyah ibnu Abi Sofyan dan Marwan ibnu al-Hakam−yang menentang dan merasa dirugikan karena kekhalifaan dan jabatan strategis lainnya tidak lagi dipegan Bani Umayah, serta prinsip khawarij yang menginginkan persamaan manusia, sehingga siapapun berhak menjadi khalifah asalkan patuh dan mampu menegakkan ajaran agama.
Keenam, Teori Proses Konflik. Teori ini menjelaskan adanya sejumlah tahapan dalam proses perkembangan konflik. Dalam kasus skisme Islam, proses konflik dimulai dari tradisi Arab yang masih kental dengan kesukuan, meskipun belum terjadi permusuhan. Tahap berikutnya adalah ketidakpuasan salah satu pihak kepada yang lain yang memicu terjadinya konflik, ketidakpuasan Muawiyah atas pengangkatan Ali sebagai khalifah memicu konflik frontal yang lebih luas antara pendukun Ali dan Bani Umayah. Tahap berikutnya adalah semakin parahnya konflik karena disalurkan dengan cara yang salah, seperti dengan peperangan antara pasukan Ali melawan Muawiyah (perang Shiffin) atau pembunuhan Ali ibnu Abi Tholib yang dilakukan Abdurrahman Bin Muljam dari kaum Khawarij karena ketidakpuasannya atas tahkim.
Pertama, communal closure. Teori ini menyatakan bahwa sebuah komunitas yang mulai beranjak membesar punya peluang untuk memunculkan para skismatis. Semakin besar sebuah kelompok semakin rawan menimbulkan perpecahan. Hal tersebut bisa dilihat dari luasnya kekuasaan Islam dan pesatnya peningkatan jumlah Muslim di masa khulafa’ al-Rosyidin. Luasnya daerah kekuasaan tidak mampu dikontrol dari pusat kekhalifaan, terlebih saat itu sedang terjadi sengketa mengenai pengganti khalifah yang sah setelah meninggalnya Ustman.
Kedua, Teori Identitas. Menurut teori identitas, konflik disebabkan karena ancaman terhadap identitas kelompok yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu. Bani Umayah yang merupakan sub bani Abd al-Syams merupakan pesaing dari Bani Hasyim sejak dulu dalam pengelolaan Ka’bah di Makkah, seiring dengan melemahnya Bani Hasyim setelah wafatnya Abd al-Mutholib, Bani Umayah semakin mendapat kedudukan di Makkah. Munculnya Muhammad ibnu Abdullah dari Bani Hasyim dengan risalah kenabiannya dianggap mengganggu kekuasaan mereka di Makkah, sehingga Bani Umayah di bawah pimpinan Abu Sofyan banyak memberikan penentangan dan perlawan kepada Nabi. Bani Umayah kembali mendapat kekuasaan dengan diangkatnya Utsman ibnu Affan sebagai khalifah ketiga, namun pasca meninggalnya Khalifah Utsman ternyata Ali ibnu Abi Tholib yang diangkat sebagai penggantinya, hal inilah yang mendorong Mu’awiyah ibnu Abi Sofyan dan Marwan ibnu al-Hakam melakukan perlawanan. Identitas kesukuan Bani Umayah ditengarai menjadi salah satu penyebab timbulnya konflik Antara Ali dan Muawiyah yang memicu skisma antara Sunni dan Syi’ah.
Ketiga, Teori hubungan masyarakat berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan, dan permusuhan antara kelompok berbeda dalam masyarakat. Perbedaan tersebut umumnya menyangkut suku, agama, ras antargolongan, maupun ideologi politik. Pilihan politik Syi’ah yang hanya mengakui Ali dan keturunannya sebagai khalifah yang sah, Bani Umayah yang ingin mempertahankan dominasinya, dan ditambah lagi dengan munculnya Khawarij yang keluar dari kedua kelompok tersebut, perbedaan politik ini kemudian dilegitimasi dengan dalil-dalil agama, sehingga perbedaan tersbut merembet ke doktrin aqidah yang berujung pada skisma dalam Islam menjadi Sunni dan Syi’ah.
Keempat, Teori Permainan. Menurut teori permainan, konflik sama halnya dengan permainan, di mana dua pihak atau lebih menggunakan taktik atau strategi tertentu guna mengalahkan pihak lawan. Yang paling tampak adalah peristiwa tahkim al-siyasi (arbitrase politik) yang mengakhiri perang Shiffin antara Pendukung Ali dan Muawiyah. Peristiwa tersbut dianggap sebagai sebuah permainan taktik, khususnya oleh Amr ibnu al-Ash.
Kelima, Teori Negosiasi Prinsip. Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik adakalanya disebabkan oleh posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Skisma dalam Islam adalah akibat gagalnya negosiasi prinsip Syi’ah tentang khalifah yang harus berasal dari Ahl al-Bayt, Bani Umayah−khususnya Muawiyah ibnu Abi Sofyan dan Marwan ibnu al-Hakam−yang menentang dan merasa dirugikan karena kekhalifaan dan jabatan strategis lainnya tidak lagi dipegan Bani Umayah, serta prinsip khawarij yang menginginkan persamaan manusia, sehingga siapapun berhak menjadi khalifah asalkan patuh dan mampu menegakkan ajaran agama.
Keenam, Teori Proses Konflik. Teori ini menjelaskan adanya sejumlah tahapan dalam proses perkembangan konflik. Dalam kasus skisme Islam, proses konflik dimulai dari tradisi Arab yang masih kental dengan kesukuan, meskipun belum terjadi permusuhan. Tahap berikutnya adalah ketidakpuasan salah satu pihak kepada yang lain yang memicu terjadinya konflik, ketidakpuasan Muawiyah atas pengangkatan Ali sebagai khalifah memicu konflik frontal yang lebih luas antara pendukun Ali dan Bani Umayah. Tahap berikutnya adalah semakin parahnya konflik karena disalurkan dengan cara yang salah, seperti dengan peperangan antara pasukan Ali melawan Muawiyah (perang Shiffin) atau pembunuhan Ali ibnu Abi Tholib yang dilakukan Abdurrahman Bin Muljam dari kaum Khawarij karena ketidakpuasannya atas tahkim.