Djanan Tajib
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Nama | Djanan Tajib |
---|---|
Alma mater | Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir |
Djanan Tajib (lahir di Kampung Sarik, Padang, Sumatera Barat, 1891 - Mekkah, Arab Saudi, 1946) adalah seorang ulama, wartawan, dan pengajar asal Indonesia, yang banyak menghabiskan hidupnya di Arab Saudi dan Mesir. Dia merupakan pemimpin Jamaah al-Chairiyah, Mesir dan juga seorang pendiri sekolah Islam Indonesia di Mekkah.[butuh rujukan]
Kehidupan
[sunting | sunting sumber]Djanan Tajib menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sumatera Barat. Setelah menguasai Bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama, pada tahun 1911 saudaranya Yahya yang merupakan seorang saudagar kaya mengirimnya ke Mekkah untuk belajar di Masjidil Haram.[butuh rujukan]
Tahun 1919, ia pergi ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar. Pada tahun 1923, bersama pelajar Indonesia lainnya ia mendirikan al-Jamiyah al-Khairiyah.[butuh rujukan] Ia ditunjuk sebagai ketua pertama lembaga kebajikan yang beranggotakan para pelajar asal Nusantara itu.[1] Tahun 1925, Djanan memimpin majalah bulanan "Seruan Al Azhar" yang berisi tentang materi keagamaan dan kebudayaan. Melalui majalah itu pula ia menyerukan rakyat di Kepulauan Nusantara untuk menentang penjajahan bangsa-bangsa Eropa.[2]
Djanan Tajib adalah orang Indonesia pertama yang mendapatkan ijazah "Al Alimiyah" dari Al-Azhar pada tahun 1926.[3] Pada tahun yang sama ia pergi ke Mekkah untuk tinggal di sana.[butuh rujukan] Setelah menetap di Mekkah, ia mengajukan permohonan kepada Raja Abdul Aziz bin Saud agar menyetujui pendirian sekolah Islam Indonesia di Mekkah.[butuh rujukan]
Pada tahun 1928, permohonan itu dikabulkan oleh Raja Abdul Aziz. Kemudian sekolah itu dinamakan dengan "Al Madrasah Al Indunisiyah" atau "Sekolah Indonesia". Sekolah ini merupakan sekolah asing pertama yang didirikan di Arab Saudi, sejak berdirinya kerajaan itu.[butuh rujukan] Sekolah ini bertujuan untuk menanamkan prinsip ajaran Islam yang moderat kepada siswa-siswa asal Indonesia dan Malaysia. Dimana setelah mereka pulang ke negeri masing-masing, mereka diwajibkan untuk menyebarkan ajaran Islam dan melawan para misionaris Kristen.[butuh rujukan]
Sekolah Indonesia ini terletak di Al Gararah, di gedung Minangkabau, rumah Syeikh Muhammad Nur Salim Al Khalidi. Dalam pembukaan sekolah itu hadir tokoh-tokoh terkenal, ulama, sastrawan Mekkah, dan para pejabat.[butuh rujukan]
Pada tahun 1929, Djanan Tajib bersama dengan sembilan ulama di Masjidil Haram diangkat sebagai anggota pengawas dalam "Biro Pengawas Pelajaran-Pelajaran dan Pengajaran di Masjidil Haram" (Hai'ah Muraqabah Ad Durus Wat Tadris Fil Haram Asy Syarif) yang dipimpin oleh Syeikh Abdullah bin Hasan Aal Syeikh.[butuh rujukan] Melalui keputusan itu pula ia diangkat sebagai pengajar resmi di Masjidil Haram dan hal ini dimuat dalam surat kabar "Ummul Qura" di Mekkah edisi 185, hari Jum'at 18 Muharram 1347 H.[butuh rujukan] Di samping itu Pengadilan Tinggi Agama Mekkah Al Mukarramah mengangkatnya sebagai penghulu (ma'dzun syar'i) bagi orang-orang Nusantara (Melayu).[butuh rujukan]
Syeikh Djanan Tajib mengurus sekolah itu hingga ia meninggal dunia.[butuh rujukan] Kemudian diteruskan oleh Syeikh Abdul Jalil Al Maqdisy hingga ditutup pada tahun 1390 H.[butuh rujukan] Sekolah Indonesia di Mekkah ini memperoleh banyak bantuan dari Rabithah Alam Al Islamy yang berpusat di Mekkah.[butuh rujukan] Sekolah ini telah meluluskan banyak siswa yang kemudian menjadi ulama dan memegang jabatan penting di Indonesia dan Malaysia.[butuh rujukan]
Djanan Tajib wafat pada hari Senin, 10 Rabi'ul Awwal 1365 H di An Naqa, Mekkah, pada umur 68 tahun.[butuh rujukan] Jenazahnya dimakamkan di pekuburan Al Ma'la.[butuh rujukan]
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Zuhairi Misrawi, Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keualamaan; Kompas Media Nusantara, 2010
- ^ Alberta Joy Freidus, Sumatran Contributions to the development of Indonesian Literature, 1920-1942; Asian Studies Program, University of Hawaii, 1977
- ^ Soebagijo Ilham Notodidjojo, 70 Tahun Profesor Dr. H.M. Rasjidi