Askariasis
Ascaris lumbricoides | |
---|---|
Cacing dewasa betina. | |
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
Filum: | |
Kelas: | |
Ordo: | |
Famili: | |
Genus: | |
Spesies: | A. lumbricoides
|
Nama binomial | |
Ascaris lumbricoides Linnaeus, 1758
|
Askariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Nematoda Ascaris lumbricoides yang menyerang usus manusia[1]. Askariasis adalah penyakit kedua terbesar yang disebabkan oleh makhluk parasit.
Hospes dan distribusi
[sunting | sunting sumber]Hospes atau inang dari Askariasis adalah manusia. Di manusia, larva Ascaris akan berkembang menjadi dewasa dan mengadakan kopulasi serta akhirnya bertelur.
Penyakit ini sifatnya kosmopolit, terdapat hampir di seluruh dunia. Prevalensi askariasis sekitar 70–80%.
Morfologi
[sunting | sunting sumber]Cacing jantan memiliki panjang sekitar 10–31 cm dan berdiameter 2–4 mm, sedangkan betina memiliki panjang 20–35 cm dan berdiameter 3–6 mm. Pada cacing jantan ditemukan spikula atau bagian seperti untaian rambut di ujung ekornya (posterior). Pada cacing betina, pada sepertiga depan terdapat bagian yang disebut cincin atau gelang kopulasi. Cacing betina memiliki tubulus dan duktus sepanjang kurang lebih 12 cm dan kapasitas sampai 27 juta telur.
Cacing dewasa hidup pada usus halus manusia. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur per harinya. Telur yang telah dibuahi berukuran 50–70 × 40–50 mikron. Sedangkan telur yang tak dibuahi, bentuknya lebih besar sekitar 90 × 40 mikron. Telur yang telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia. Telur cacing A. lumbricoides dilapisi lapisan albumin dan tampak berbenjol-benjol.[2]
Siklus hidup
[sunting | sunting sumber]Siklus hidup A. lumbricoides dimulai dari keluarnya telur bersama dengan feses, yang kemudian mencemari tanah. Telur ini akan menjadi bentuk infektif dengan lingkungan yang mendukung, seperti kelembapan yang tinggi dan suhu yang hangat.[3] Telur bentuk infektif ini akan menginfeksi manusia jika tanpa sengaja tertelan manusia.
Telur akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia akan beredar mengikuti sistem peredaran darah, dimulai dari pembuluh darah vena, vena portal, vena cava inferior dan akan masuk ke jantung dan ke pembuluh darah di paru-paru.
Pada paru-paru akan terjadi siklus paru di mana cacing akan merusak alveolus, masuk ke bronkiolus, bronkus, trakea, kemudian di laring dan memicu batuk. Dengan terjadinya batuk larva akan tertelan kembali masuk ke saluran cerna. Setibanya di usus, larva akan menjadi cacing dewasa.
Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini membuang tinjanya tidak pada tempatnya.[2]
Patologi klinik
[sunting | sunting sumber]Askariasis | |
---|---|
High number of ascaris worms - visible as black tangled mass - are filling the duodenum, the first portion of the bowel after the stomach, of this South African patient (X-ray image with barium as contrast medium) | |
Informasi umum | |
Spesialisasi | Penyakit menular, helminthologist |
Gejala klinis akan ditunjukkan pada stadium larva maupun dewasa.
Pada stadium larva, Ascaris dapat menyebabkan gejala ringan di hati dan di paru-paru akan menyebabkan sindrom Loeffler. Sindrom Loeffler merupakan kumpulan tanda seperti demam, sesak napas, eosinofilia, dan pada foto Roentgen thoraks terlihat infiltrat yang akan hilang selama 3 minggu.
Pada stadium dewasa, di usus cacing akan menyebabkan gejala khas saluran cerna seperti tidak nafsu makan, muntah-muntah, diare, konstipasi, dan mual. Bila cacing masuk ke saluran empedu makan dapat menyebabkan kolik atau ikterus. Bila cacing dewasa kemudian masuk menembus peritoneum badan atau abdomen maka dapat menyebabkan akut abdomen.
Cara diagnosis
[sunting | sunting sumber]Diagnosis askariasis dilakukan dengan menemukan telur pada tinja pasien atau ditemukan cacing dewasa pada anus, hidung, atau mulut.
Tata Laksana
[sunting | sunting sumber]Tata laksana dari askariasis ini bisa dibagi menjadi dua, yaitu terapi obat dan tindakan operasi.
Terapi obat yang dapat digunakan antara lain adalah albendazole (400 mg) dan mebendazole (500 mg) dosis tunggal. Bisa juga digunakan levamisole (2,5 mg/kgBB) ataupun pirantel pamoat (10 mg/kgBB), selain itu bisa diberikan nitazoxanide (500 mg per hari selama tiga hari)
Tindakan operasi yang dapat dilakukan adalah laparotomi. Tindakan operasi diberikan pada keadaan di mana pasien tidak merespons pengobatan.[4]
Prognosis
[sunting | sunting sumber]Pada umumnya, askariasis memiliki prognosis yang baik. Kesembuhan askariasis mencapai 70% hingga 99%.
Epidemiologi
[sunting | sunting sumber]Di Indonesia, prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak-anak. Penyakit ini dapat dicegah di indonesia dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan yang baik. Pemakaian jamban keluarga dapat memutus rantai siklus hidup Ascaris lumbricoides ini.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Parker, Sybil, P (1984). McGraw-Hill Dictionary of Biology. McGraw-Hill Company.
- ^ a b Cook GC, Zumla AI. Manson’s Tropical Diseases, 22nd Edition. 22nd ed. Saunders Ltd.; 2008
- ^ Kim M-K, Pyo K-H, Hwang Y-S, Park KH, Hwang IG, Chai J-Y, et al. Effect of Temperature on Embryonation of Ascaris suum Eggs in an Environmental Chamber. Korean J Parasitol. 2012 Sep;50(3):239–42.
- ^ Cook GC, Zumla AI. Manson’s Tropical Diseases, 22nd Edition. 22nd ed. Saunders Ltd.; 2008.
- Gandahusada, Srisasi, Prof. dr. 2006. Parasitologi Kedokteran. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
- Padmasutra, Leshmana, dr. 2007. Catatan Kuliah:Ascaris lumbricoides. Jakarta:Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta.