Cerita Pendek

Unduh sebagai pptx, pdf, atau txt
Unduh sebagai pptx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

Cerita Pendek

Kelompok 1
Shafarina Nidaul Aulia
Annisa Putri
Hafiz Herla
M. Kevin
Judul Cerita Pendek

Sepotong Kaki untuk Ayah

Bunga Lili di Tenda Pengungsi

Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati

Saran Seorang Pengarang


Sepotong Kaki untuk Ayah Unsur Intrinsik

I Nyoman Wirata
1 Tema : Tidak ada kata menyerah.

2 Alur : Campuran (maju-mundur).

3 Setting : - Tempat : Rumah dan hutan


- Waktu : Petang dan pagi
- Suasana : Mengharukan

4 Tokoh dan karakter : -Aku : Baik dan berbakti kepada orangtua.


- Ayah : Baik, sabar, dan tidak mudah menyerah.

5 Penokohan : Teknik analitik langsung.

Amanat : Jangan mudah menyerah, upayakan selalu membaca ulang


6
seluruh kenangan hidup yang paling pahit untuk menguatkan akar
kehidupan.
Sepotong Kaki untuk Ayah
7 Rangkuman : Dia aku sebut saja pohon ayah. Sebab memiliki kekuatan hidup bertahan pada akarnya. Dia sangat
tabah walau badai menerpanya dari waktu ke waktu. Tidak akan ada kata menyerah dan selanjutnya benih-
benih kehidupan baru tumbuh. Kemudian dia terancam dikerangkeng kembali tidak bisa ke mana-mana
karena kakinya diamputasi. Dia sangat gembira. Agak ceria dan mulai banyak bicara seperti sebelum
kakinya diamputasi. Dia senang dengan kaki palsu kayu pertama buatanku. Di hari ketujuh dia menyerah.
Tapi dia tetap percaya kaki palsu buatanku selanjutnya akan lebih baik. Dulu ketika masih punya sepeda,dia
sering mengajakku ke Umadui atau Paon. Kenangan itu mengembalikan suasana hatinya kemudian menjadi
obrolan panjang. Dia memiliki cerita menarik tentang isi kitab kuno yang ditulis di atas daun ental atau
rontal. Itu mungkin sebabnya, dia seperti pohon, memiliki akar yang kuat karena nyastra atau hubungan
intens dengan ajaran dalam karya sastra. Karena itulah dia mengajarkan agar selalu membaca ulang seluruh
kenangan hidup yang paling pahit untuk menguatkan akar kehidupan. Petualangan menemukan kayu
dimulai dari belukar ke belukar. Waru tumbuh subur di muntig atau tanah timbul di tengah payau. Les waru
atau inti kayu waru memiliki alur melingkar dan berwarna, bagus untuk patung celeng.Kaki kedua selesai.
Kemudian yang ketiga lalu yang keempat. Secara bentuk berani jamin, persis. Suatu hari dia menyuruhku
mengambil sebidang kanvas. Ternyata dia telah menyelesaikan figur-figur aneh di atas kanvas. Kepala yang
tersambung dengan potongan kaki melayang di udara. Sudah lama tak kedengaran dia nembang sambil
ngoceh tentang cerita di balik tembang itu. Setelah badai menerpanya, setelah seluruh daunnya ranggas,
pokoknya kering seperti tak ada harapan hidup, kini pucuk-pucuknya tumbuh. Secercah sinar dari timur di
sana arah kehidupan dimulai, ke sana arah tubuh disujudkan kepada Ilahi. “Ya, sudah! Tak usah mikir kaki
palsu. Meja itu juga cacat, tapi indah walau memiliki tiga kaki. Kamu sudah menakik, mengukir potongan
kayu sisa untuk kaki palsu menjadi meja yang cacat dengan hanya tiga buah kaki tapi indah. Indah karena
mengikuti lekuk dan alur kayu. Kita hanya memberi sedikit ukiran dan membiarkan bagian lain tetap utuh
karena dapat mengingatkan kita tentang meja cacat itu berasal dari sebatang pohon yang kuat
akarnya.”Kemudian saya menemukan kayu, menjadi kaki pengganti kaki ayah yang hilang dan menjadi
bagian ke mana pun dia pergi.
Bunga Lili di Tenda Unsur Intrinsik
Pengungsi
Triyanto Triwikromo 1 Tema : Kebencian.

2 Alur : Maju.

3 Setting : - Tempat : Tenda pengungsian, Jalan Ludwig, Stasiun Ladermuseum.


- Waktu : Pagi.
- Suasana : Menegangkan.

4 Tokoh dan karakter : -Adonis : Pendendam dan menyayangi istrinya.


-Amara : Baik hati

5 Penokohan : Penggambaran fisik dan perilaku tokoh


Penggambaran oleh tokoh lain

6 Amanat : Jika merasa ada ketidakadilan dalam suatu negara, maka tuntutlah
keadilan secara baik-baik, Jangan menyimpan dendam.
7 Rangkuman : Bunga Lili di Tenda Pengungsian

Rencana untuk membakar seluruh gedung dan tenda-tenda pengungsi itu kudengar
semalam dari mulut Adonis Perseus, suamiku. Tentu saja aku heran. Aku yakin dia tidak sedang
mabuk. Karena itu, aneh jika penulis cerita yang biasanya lembut hati itu, ingin melakukan
tindakan yang mencederai kemanusiaan.
Pagi itu, selain seperti bertemu dengan satu dari mungkin 1.000 jiwa buruk suamiku, aku
terganggu oleh bau yang menguar dari tubuh Adonis. Aku mencium bangkai 100 tikus. Aku
mencium bau mayat busuk. Aku merasa ada setan-setan tengik pada masa Zeus menyusup ke
tubuh suamiku. Rasanya aku ingin berbalik arah. Tak mengikuti ke mana pun Adonis pergi. Tak
melihat apa pun yang akan dilakukan oleh pria yang saat mabuk selalu menganggap diri sebagai
Herkules, pahlawan Yunani itu. Tidak! Tidak boleh aku membiarkan penulis kisah-kisah imigran-
Yunani di Jerman ini jadi penjahat. Aku harus mengurungkan niat Adonis membakar tenda para
pengungsi.
”Kini jumlah pengungsi yang masuk ke Jerman mendekati 1.000.000, Amara. Berapa lagi
yang akan dibiarkan menjadi musuh bangsa ini pada masa depan? Angela Merkel telah
melakukan
kesalahan besar.”
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Adonis. Yang aku tahu, pemerintah memang
membutuhkan banyak pekerja berharga murah. Ini memungkinkan Merkel menerima
pengungsi-pengungsi dari Suriah dan Afganistan dengan tangan terbuka.
“Mengapa orang-orang keturunan Yunani di Jerman, seperti kita ini, diperlakukan semata-mata sebagai
Lanjutan pekerja atau sekadar robot. Aku dan kau jelas-jelas lahir di Jerman, menghirup udara, dan makan makanan
rangkuman Jerman tetapi mengapa kita diperlakukan sebagai orang asing, sebagai gelandangan tengik? Hanya karena
sekarang Yunani bangkrut, lantas mereka boleh menganggap kita sebagai budak?”
Bukan hanya tertekan dengan ucapan Adonis.Pada saat sama, Aku tertekan juga oleh bau busuk Adonis
yang kian menyengat.Bau itu bisa berubah dengan cepat dan tampaknya berbanding lurus dengan kemunculan
hasrat jahat Adonis.Apakah Adonis juga merasakan bau itu? Mungkin tidak. Karena ibuku pernah bilang,
”Keluarga kita dikutuk untuk mahir mengendus bau kematian pasangan hidupnya, Amara. Mati hidup
kekasihmu bisa kau ketahui dari bau tubuhnya. Kian busuk bau tubuh kekasihmu, kian dekat dia dengan
kematian. Orang yang akan hidup lama, bau tubuhnya sewangi bunga lili. Sebaliknya mereka yang akan mati,
bau tubuhnya sebusuk ribuan mayat tanpa pengawet dan pewangi.”
Tentu saja aku tidak ingin Adonis cepat mati. Tetapi Adonis tetap memaksaku untuk menjadi saksi hidup
menyaksikan ia membom tenda pengungsian, ia berjalan sambil menyeretku.Karena terus-
menerus diperlakukan sebagai binatang, aku justru memberontak. Aku melepaskan diri dari gandengan
Adonis. Aku berlari secepat mungkin menuju tenda para pengungsi yang tidak dijaga dengan
ketat itu. Adonis berusaha mengejarku, tetapi agaknya dia terhalang oleh kerumunan manusia yang kian lama
kian banyak.
Aku menerobos masuk kedalam tenda.Ada wangi bunga lili di tenda ini. Tetapi, tidak terlalu harum.
Bau-bau lain—anggur busuk, kentut, dan darah beku—juga menebar dari tubuh-tubuh para pengungsi.
Apakah bau campur aduk ini mengisyaratkan sebagian pengungsi akan segera mati?
Aku tidak tahu. Yang jelas, tak lama kemudian, Adonis mulai tampak. Bau gabungan antara pesing air
kencing, tinja lumer di pispot, koreng basah, keringat orang tak mandi 100 hari, dan mayat dikerubung lalat
menguar dengan sengit lagi.Mungkin bom Molotov akan segera dilemparkan ke tenda dan aku tidak tahu
apakah aku berbau wangi bunga lili atau tidak. Saat itu aku hanya bisa berteriak.
Kopi dan Cinta yang Tak Unsur Intrinsik
Pernah Mati
Agus Noor Tema : Pennyesalan seorang pembunuh.
1

2 Alur : Campuran (maju-mundur).

3 Setting : - Tempat : Kedai kopi dan jalan raya


- Waktu : Siang dan malam
- Suasana : Menegangkan

4 Tokoh dan karakter : - Ia : Pengecut


- Anak laki-laki : Pendendan.

5 Penokohan : Penggambaran fisik dan perilaku tokoh

Amanat : Janganlah menjadi seorang pengecut dan janganlah


6
menjadi seorang yang pendendam.
7 Rangkuman :
Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati
Kebebasan selalu layak dirayakan. Maka selepas  keluar penjara, yang diinginkan ialah mengunjungi
kedai kopi ini. Kebahagiaan akan semakin lengkap bila dinikmati dengan secangkir kopi. Hanya di kedai
kopi ini ia bisa menikmati kopi terbaik yang disajikan dengan cara paling baik. 
Panas udara siang membuat aroma kopi terasa semakin kental. Tak akan pernah dilupakannya harum
kopi yang menenteramkan ini, seolah aroma itu dicuri dari surga. Ketika ditugaskan ke kota ini, komandannya
memberi tahu agar tak melewatkan kedai kopi ini dari ‘daftar yang harus dikunjungi’: Kedai kopi yang
menyediakan kopi terbaik. Kedai kopi yang bukan saja istimewa, tetapi juga berbahaya.
Bertahun lalu, ia dikirim ke kota ini untuk menghabisi seorang pembangkang yang dianggap berbahaya
bagi negara. Saat itu demonstrasi nyaris meledak setiap hari. Kota ini menjadi kota yang selalu rusuh oleh
gagasan gila perihal kemerdekaan.
Sebagai agen intelijen terlatih iapun dengan cepat mengetahui, bagi orang-orang dikota ini kedai kopi
bukan sekadar tempat untuk menikmati kopi. Di kedai kopi waktu seperti berhenti. Orang bisa sepanjang hari
duduk di kedai kopi untuk berkumpul, berbual atau menyendiri, mempercakapkan hal-hal rahasia, kasak-
kusuk perlawanan, juga tempat paling tepat untuk menyelesaikan masalah. Pertengkaran bisa diselesaikan
dengan secangkir kopi. Semua informasi di kota ini akan dengan mudah didapatkan di kedai kopi.
Dari informasi yang dimiliki ia mengenali lelaki yang mesti dihabisi. Yang dianggap musuh negara paling
berbahaya ternyata bukan seorang berperawakan kekar, tetapi  hanya bertubuh kecil, nyaris kurus, berkulit
gelap, rambut agak ikal. Ia terlihat keras, tetapi selalu berbicara dengan intonasi santun. 
Anak muda penyaji kopi itu telah berdiri di dekatnya, menyodorkan secangkir kopi.
“Ini kopi terbaik yang kusajikan untukmu yang di dalamnya tersimpan rahasia, yang hanya
Lanjutan bisa kau ketahui setelah kau meminumnya.” Anak muda itu menatapnya. “Tapi aku tak yakin
rangkuman apakah kamu bernani meminumnya habis.”
“Duduklah,” akhirnya ia berkata. “Seperti yang selalu dikatakan orang-orang di kota ini, mari
kita selesaikan semuanya dengan secangkir kopi.”
“Seperti ketika kamu menghabisi ayah aku!”
“Kau pasti membenciku.” Ia mengisap rokok dalam-dalam.
“Ini bukan soal benci atau dendam. Ini soal keadilan,” tatapan anak muda itu makin tajam.
“Aku bukan pengecut!” Suaranya terdengar mengambang di udara.
“Kalau begitu, minum kopi itu, dan kita tunggu apa yang terjadi.”
Ketika ia hanya terdiam gamang memandangi cangkir kopi, anak muda itu tertawa masam.
Ia diam-diam melirik pada poster di tembok kayu itu; wajah lelaki berkumis tebal itu tak
akan pernah mungkin dilupakannya.
Langit gelap dan kosong ketika keluar dari kedai itu. Tapi perasaan kosong dalam hatinya
menghamparkan kehampaan melebihi luas langit yang dipandanginya.
Tak akan pernah berani lagi ia kembali ke kedai kopi itu. Kopi yang disajikan anak muda itu
benar-benar telah membuatnya diluapi perasaan takut; ia mengingatkannya pada peristiwa saat
ia menuangkan arsenik ke dalam cangkir kopi lelaki berkumis itu. Ia melihat seorang gadis
berjalan bergegas menyeberang jalan. Gadis itu memakai kaos bergambar sablon wajah lelaki
berkumis itu. Kematian seorang pengecut seperti dirinya tak akan pernah mendapat kehormatan
seperti kematian lelaki yang dibunuhnya.
Unsur Intrinsik
Saran Seorang Pengarang
Sori Siregar Tema : Mengejar mimpi.
1

2 Alur : Maju.

3 Setting : - Tempat : kantor penerbit


- Waktu : Pagi.
- Suasana : Serius.

4 Tokoh dan karakter : - Ikra : Ramah, baik hati, dan pintar.


- Radit : Ambisius dan pendengar yang baik.

5 Penokohan : Dialog antar tokoh.

Amanat : Berbagilah ilmu dan pengalaman kepada generasimu agar


6
mereka berhasil.
Saran Seorang Pengarang
7 Rangkuman :
Ikra memberikan tanggapan awal untuk karya pertama Radit yang dimuat di sebuah surat kabar Jakarta pagi
itu.Kalau menulis jangan meliuk-liuk begitu.Langsung saja. Lugas. Gambaran yang melelahkan itu, misalnya,
kutemukan pada kalimat “Tubuhku saat ini membutuhkan asupan karbohidrat, karena memang waktunya telah
tiba. Tak dapat ditunda lagi. Karena
keterlambatan akan membuat lambungku menjerit. Itu yang tidak kuinginkan’. Mengapa tidak disingkatkan saja
menjadi ‘Aku lapar.Kalau tidak segera makan lambungku sakit’.
Radit yang cerpennya baru pertama kali dimuat di surat kabar, mengangguk mengiyakan.“Kalimat-kalimat
pendek jauh lebih kuat.Bertele-tele itu penyakit, metafora juga jangan terlalu banyak.”Pengarang muda yang masih
merasa dirinya perlu banyak belajar itu mengangguk lagi. Ini yang membuat Ikra senang. Pendapat dan sarannya
pun mengalir dan
melimpah-ruah tidak tertahan.
Masih banyak yang lain yang harus kamu ketahui. Kalau karyamu telah banyak dan kamu ingin
menerbitkannya dalam sebuah buku, jangan lupa meminta pengantar dari pengarang terkenal. Disampul belakang
buku juga jangan lupa dicantumkan pendapat sejumlah pengarang, dosen, redaktur atau tokoh penting. Bukumu
bisa laku dengan pengantar dan komentar itu.Jangan lupa sebagai pengarang kau harus sabar.Jika mengirimkan
karangan ke sebuah media cetak kau harus siap untuk menunggu Godot (Merujuk kepada karya Samuel Beckett,
“Waiting for Godot”). Artinya,tidak ada kepastian kapan karya itu akan dimuat.Sebelum ada kepastian karyamu
ditolak atau dimuat,jangan coba-coba mengirimkan karanganmu itu kepada media cetak yang lain. Kalau itu kau
lakukan, kau akan masuk “daftar hitam” para redaktur yang sangat menentukan itu.Mungkin kau bertanya-tanya
mengapa karya sastra yang bagus jarang sekali difilmkan atau tidak ditoleh oleh para produser. Agar kau tidak terus
bertanya- tanya,haruslah kau ketahui bahwa karya sastra adalah anaktiri yang terpinggirkan. Sudah anak tiri
terpinggirkan lagi. Yang laris itu karya tulis populer yang dicetak belasan kali dan diterjemahkan ke dalam puluhan
bahasa asing. Mata para produser sangat tajam seperti mata elang. Karena itu mereka berani memfilmkan karya-
karya populer itu yan dijamin pasti laris dan menggemukkan pundi-pundi.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai