Pertemuan Ke 3

Unduh sebagai pptx, pdf, atau txt
Unduh sebagai pptx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

HUKUM, HAKIM, MAHKUM FIH

DAN MAHKUM ‘ALAIH


Oleh :
DR. Nazaruddin,. MA/Zanzibar, S.Sos.I, M.Sos
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Lhokseumawe
PENGERTIAN HUKUM
 Hukum secara etimologi, bermakna Al-Man’u yakni
mencegah. Hukum juga memiliki
pengertian qodho yang memiliki arti putusan. Dapat
pula hukum diartikan dengan ‘’Menetapkan sesuatu
atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya.’’
 Menurut istilah ahli fikih, yang disebut hukum adalah
bekasan dari titah Allah atau sabda Rasulullah.
Apabila disebut syara’, maka yang dikehendaki adalah
hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia,
yaitu yang dibicarakan dalam ilmu fikih, bukan hukum
yang berkaitan dengan akidah dan akhlaq. Mayoritas
ulama’ membagi hukum kepada dua jenis,
yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i.
 Hukum takhlifi
 Hukum taklifi  adalah tuntunan Allah yang berkaitan dengan
perintah untuk berbuat atau perintah untuk meninggalkan
suatu perbuatan. Atau hukum taklifi adalah sesuatu yang
menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf  atau ,menuntut
untuk berbuat atau memberikan pilihan kepadanya antara
melakukan dan meninggalkannya. Hukum taklifi dapat
diartikan pula sebagai titah Allah yang berhubungan
dengan mukallaf  dalam bentuk tuntutan dan pemberian
pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat.
 Hukum wad’i
 Hukum wad’i  adalah sesuatu yang menuntut penetapan
sesuatu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain atau menjadi
syarat baginya atau menjadi penghalang baginya. Contohnya
adalah sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai
sebab sesuatu yang lain. Hukum wad’i  dapat diartikan pula
sebagai titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu yang
berkaitan dengan hukum-hukum taklifi.
PENGERTIAN HAKIM
 Hakim secara etimologi, mempunyai dua
pengertian:
 Pembuat, yang menetapkan, yang
memunculkan dan sumber hukum.
 Yang menemukan, menjelaskan,
memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum.
 Adapun yang menetapkan hukum adalah Allah.
Allah yang menurunkan peraturannya kepada
para rasulnya, baik dalam bentuk wahyu Al-
Qur’an maupun wahyu dalam bentuk sunnah
 Hakim secara terminology, adalah sebagai
berikut:
 Hakim merupakan persoalan mendasar dan
penting dalam ushul fiqih, karena berkaitan
dengan, ‘’siapa pembuat hukum sebenarnya
dalam syariat islam’’, ‘’siapa memberikan pahala
dan dosa’’.
 Semua hukum tersebut bersumber dari Allah,
melalui nabi, maupun ijtihad para mujtahid yang
didasarkan kepada metode istimbath lainnya.
 Hakim adalah Allah, dialah pembuat hukum dan
satu-satunya sumber hukum yang di titahkan
kepada seluruh mukallaf, baik berkaitan dengan
hukum takhlifi atau pun hukum wad’i.
 adapun yang menjadi persoalan adalah siapakah yang
menjadi hakim terhadap perbuatan mukallaf  sebelum
rasul diutus. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa
sebelum rasul diutus, akal menusia itulah yang menjadi
hakim, karena akal manusia dapat mengetahui baik atau
buruknya suatu perbuatan karena hakikatnya atau karena
sifatnya.
 Golongan Al-Asy’ariyyah berpendapat bahwa sebelum
datangnya syara’, maka tidak diberi suatu hukum
perbuatan-perbuatan mukallaf. Titik persoalan antara
golongan Mu’tazilah dan Al-Asy’ariyyah adalah tentang
apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala dan
siksa, tergantung pada perbuatan, walaupun syara’ belum
menerangkannya, sedangkan golongan jumhur ulama’
berpendapat bahwa tidak disiksa atau tidak diberi pahala
manusia sebelum datangnya syara’, kendati akal bisa
mengetahui baik buruknya suatu perbuatan.
PENGER TI AN MAHKUMFI H / OB JEK HUKUM

 Yang dimaksud sebagai objek hukum atau mahkum


fih adalah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat
hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh
manusia atau dibiarkan oleh pembuat hukum
untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulama’
ushul fiqih, yang disebut mahkum fih atau objek
hukum adalah ‘’Perbuatan’’ itu sendiri. Hukum itu
berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat.
Umpamanya ‘’daging babi’’. Pada daging babi itu
tidak berlaku haram, baik suruhan atau larangan.
Berlakunya hukum larangan adalah pada
‘’memakan daging babi’’ yaitu sesuatu perbuatan
memakan, bukan pada zat daging babi itu.
 Para ahli ushul fiqih menetapkan beberapa syarat
untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum, yaitu:
 Perbuatan itu sah dan benar adanya, tiduk mungkin
memberatkan seorang melakukan sesuatu yang
tidak mungkin di lakukan seperti ‘’mencat langit’’.
 Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui
oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat di
bedakan dengan perbuatan lainnya.
 Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh
mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk
melakukannya.
 Tuhan tidak menginginkan manusia dalam
kesulitan. Selanjutnya menjadi pembahasan pula
‘’kesulitan’’ atau masyaqqah dalam hubungannya
dengan objek hukum. Dalam hal ini ulama’
membagi kesulitan atau masyaqqah itu pada dua
tingkatan :
 Masyaqqah yang mungkin dilakukan dan
berketerusan dalam melaksanakannya.
 Masyaqqah yang tidak mungkin seorang
melakukannya secara berketerusan atau tidak
mungkin di lakukan kecuali dengan pengarahan
tenaga yang maksimal.
 Sehubungan dengan persyaratan bahwa objek
hukum itu harus sesuatu yang jelas keberadaannya,
para ulama’ ushul memperbincangkan kemungkinan
berlakunya taklif terhadap sesuatu yang mustahil
adanya. Dalam hal ini ulama’ ashul membagi
mustahil menjadi lima tingkatan:
 Mustahil adanya menurut zat perbuatan itu sendiri.
 Mustahil menurut adat.
 Mustahil karena adanya halangan berbuat.
 Mustahil karena tidak mampu berbuat saat
berlakunya taklif meskipun saat melaksanakan ada
kemungkinan berbuat seperti taklif pada umumnya.
 Mustahil karena menyangkut ilmu Allah seperti
keharusan beriman bagi orang yang jelas kafirnya.
 orang lain berhubungan erat dengan kaitan taklif
dengan objek hukum. Dalam hal ini objek hukum
terbagi menjadi tiga:
 Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri
pribadi yang dikenai taklif umpamanya salah dan
puasa.
 Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan
dengan harta benda pelaku taklif umpamanya
kewajiban zakat.
 Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri
pribadi dan harta dari pelaku taklif umpamanya
kewajiban haji
PENGERTIAN MAHKUM ‘ALAIH
 Subjek hukum atau pelaku hukum ialah
orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk
berbuat, dan segala tingkah lakunya telah
diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah
itu. Dalam istilah Ushul Fiqh, subjek hukum
itu disebut Mukkalaf atau orang-orang yang
dibebani hukum, atau mahkum’ alaih yaitu
orang yang kepadanya diperlakukan hukum.
 Syarat taklif atau subjek hukum, penjelasannya
sebagai berikut :
 Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut
yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari
Allah. Paham itu sangat berkaitan dengan akal;
karena akal itu adalah alat untuk mengetahui dan
memahami. Hal ini sesuai dengan sabda nabi:
 Alladziina huwalaqlu laa diina liman laa ‘aqlulahu
 “Agama itu didasarkan pada akal; tidak ada arti
agama bagi orang yang tidak berakal.”
 Ia telah mampu menerima beban taklif dan beban
hukum yang dalam istilah ushul diseut ahlul al-
taklif. Kecakapan menerima taklif adalah kepantasan
untuk menerima taklif. Kepantasan itu ada dua
macam, yaitu kepantasan untuk dikenai hukum dan
kepantasan untuk menjalankan hukum.
 Kepantasan dikenai hukum (ahliyah al-wujub) dibagi
menjadi :
 Ahliyah al-wujub naqish (kecakapan dikenai hukum
secara lemah) yaitu kecakapan seorang manusia untuk
menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban atau
kebalikannya. Sifat lemah pada kecakapan ini
disebabkan karena hanya salah satu kecakapan pada
dirinya diantara dua kecakapan yang harus ada
padanya.
 Ahliyah al-wujub kamilah (kecakapan dikenai hukum
secara sempurna) yaitu, kecakapan seseorang untuk
dikenai kewajiban dan juga menerima hak. Kecakapan
ini berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia
masih bernafas.
 Ahliyah al-ada’ (kecakapan untuk menjalankan
hukum)
 Yaitu, kepantasan seseorang manusia untuk
diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum.
Hal ini berarti bahwa segala tindakannya, baik
dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah
mempunyai akibat hukum. Ahliyah al-ada’ terdiri
dari tiga tingkat :
 ‘Adim al-ahliyah atau tidak cakap sama sekali,
yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai
umur 7 tahun.
 Ahliyah al-ada naqishah atau cakap berbuat secara
lemah,  yaitu manusia yang telah mencapai umur
tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa.
 Ahliyah al-ada kamilah atau cakap berbuat hukum
secara sempurna, yaaitu manusia yang telah
mencapai umur dewasa.
Hukum Hakim Mahkum Bih Mahkum ‘alaih

·        
·         Orang-
Orang yang Perbuaatan/
Menetapkan orang yang
membuat tingkah laku
sesuatu atas dibebani hukum
Hukum dalam itu sendiri
sesuatu ·         Yang
Ushul Fiqh ·         Sesuatu
berupa mengetahui
pembuat yang jelas
aturan- tuntutan Allah
hukum adalah keberadaan-
aturan dan ia mampu
Allah SWT nya
melaksanakannya
 

Anda mungkin juga menyukai