Nispi, Rizky, Rizqika_3b-Tki_laprak Anaerob

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI

PENGOLAHAN ANAEROBIK
Laporan ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam menempuh mata
kuliah Praktikum Pengelolaan Limbah Industri

Dosen Pembimbing : Endang Kusumawati, Ir., M.T.

Disusun Oleh :
Nispi Yuliani 221411054

Rizky Fauzan 221411060

Rizqika Mutmainnah 221411061


Kelas 3B-TKI

PROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIA


JURUSAN TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2024
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Metode pengolahan air limbah secara anaerobik merupakan metode pengolahan
untuk air limbah yang mempunyai kandungan organik tinggi (> 2000 mg/L). Dengan
tingginya kandungan organik biasanya pengolahan secara aerobik tidak dapat
berlangsung dengan efisien karena waktu yang dibutuhkan untuk dekomposisi bahan-
bahan organik terlalu lama dan ukuran reaktor yang dibutuhkan terlalu besar. Pengolahan
anaerobik juga ditujukan untuk menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber energi. Pengolahan anaerobik membutuhkan bakteri anaerobik yang
pertumbuhannya sangat lambat dan penjagaan kondisi kedap oksigen bebas yang cukup
ketat. Dengan demikian tahap persiapan penumbuhan bakteri anaerobik (tahap start-up)
merupakan salah satu kendala dalam implementasi pengolahan air limbah secara
anaerobik. Penjagaan kondisi kedap oksigen bebas membutuhkan penanganan khusus
dan biaya yang tidak murah. Maka dalam aplikasi di industri pengolahan anaerobik
biasanya dikombinasikan dengan pengolahan aerobik.

1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini yaitu:
1. Menentukan konsentrasi awal kandungan organik (COD) dalam umpan dan
konsentrasi kandungan organik (COD) dalam efluen setelah percobaan
berlangsung selama seminggu
2. Menentukan kandungan Mixed Liquor Volatile Suspended Solid (MLVSS) yang
mewakili kandungan mikroorganisme dalam reaktor
3. Mempersiapkan nutrisi dalam umpan bagi mikroorganisme pendegradasi air
limbah
4. Menghitung efisiensi pengolahan dengan cara menentukan persen (%)
kandungan bahan organik yang didekomposisi selama seminggu oleh
mikroorganisme dalam reaktor terhadap kandungan bahan organik mula-mula
5. Menghitung total gas yang dihasilkan setelah proses berjalan selama seminggu
untuk mengetahui efisiensi pembentukan gas.

II. DASAR TEORI


Proses pengolahan air limbah secara biologi dapat dilakukan secara aerobik dan
secara anaerobik. Pada pengolahan air limbah secara aerobik mikroorganisme
pendekomposisi bahan-bahan organik dalam air limbah membutuhkan oksigen bebas
(O2) dalam sistem pengolahannya. Dengan oksigen yang disuplai oleh aerasi dan bantuan
enzim dalam mikroorganisme maka pada waktu yang sama akan terjadi dekomposisi
bahan-bahan organik dan pertumbuhan mikroorganisme baru karena mikroorganisme
mendapatkan energi pada saat proses dekomposisi bahan-bahan organik berlangsung.
Pada pengolahan air limbah secara anaerobik mikroorganisme pendekomposisi bahan-
bahan organik dalam air limbah akan terganggu pertumbuhannya atau bahkan akan mati
jika terdapat oksigen bebas (O2) dalam sistem pengolahannya. Maka seperti disebutkan
dalam Latar Belakang penjagaan kondisi kedap oksigen bebas yang membutuhkan
penanganan khusus dan biaya yang tidak murah harus diperhatikan.
Berdasarkan pertumbuhan mikroba dalam peralatan pengolah air limbah, terdapat
dua macam pertumbuhan mikroorganisme yakni pertumbuhan secara tersuspensi dan
pertumbuhan secara terlekat. Pertumbuhan mikroba secara tersuspensi adalah tipe
pertumbuhan mikroba dimana mikroba pendegradasi bahan-bahan organik bercampur
secara merata dengan air limbah dalam peralatan pengolah air limbah. Sedangkan
pertumbuhan mikroba secara terlekat adalah jenis pertumbuhan mikroba yang melekat
pada bahan pengisi yang terdapat pada peralatan pengolah air limbah. Contoh peralatan
pengolahan air limbah yang menggunakan sistem pertumbuhan mikroba tersuspensi
secara aerobik diantaranya yaitu Lumpur Aktif dan Laguna Teraerasi. Sedangkan reaktor
yang menggunakan sistem pertumbuhan mikroba terlekat secara aerobik diantaranya
yaitu Trickling Filter, dan Rotating Biological Contactor. Contoh peralatan pengolah air
limbah secara anerobik yang menggunakan sistem pertumbuhan mikroba tersuspensi
diantaranya yaitu Laguna Anaerobik dan Up-Flow Anaerobic Sludge Blanket. Sedangkan
Filter Anaerobik, dan Anaerobic Fluidized Bed Reactor merupakan contoh peralatan
pengolah air limbah/reaktor yang menggunakan sistem pertumbuhan mikroba terlekat
secara anaerobik.
Pengolahan anaerobik terbagi menjadi empat tahap yaitu hidrolisis, acidogenesis,
acetogenesis dan metanogenesis. Hidrolisis merupakan proses pemecahan molekul yang
berukuran besar dan kompleks yang dapat terlarut maupun tidak terlarut menjadi molekul
yang berukuran lebih kecil. Kelompok bakteri yang bekerja untuk menguraikan bahan
organik kompleks adalah bakteri saprofilik. Acidogenesis meruapakan proses merubah
hasil dari tahap sebelumnya yaitu hidrolisis yang berupa glukosa atau monosakarida dan
asam amino menjadi substrat metanogenik dengan bantuan bakteri acidogenik. Hasil dari
proses acidogenesis yaitu H2O, NH3, H2S, asam formiat, asam asetat, asam laktat, asam
butirat, asam propionat, dan etanol. Tahap selanjutnya adalah asetogenesis, dimana hasil
dari proses ini akan dikonversi oleh bakteri asetogenik untuk merubah asam lemak volatil
menjadi asam asetat, hidrogen, dan CO2 sebagai substrat untuk bakteri metanogenik.
Proses metanogenesis adalah proses akhir dimana terjadi pembentukan produk utama
dari proses anaerobik yaitu gas metana dan CO2. Bakteri metanogenik akan mengubah
asam volatil yaitu asam asetat menjadi produk utama.
Berdasarkan jumlah tahapan reaksi dalam pengolahan secara anaerobik terdapat
dua macam sistem pengolahan yaitu Pengolahan Satu Tahap dan Pengolahan Dua Tahap.
Dalam Pengolahan Satu Tahap semua reaksi pengolahan secara anaerobik yakni
hidrolisis, acidogenesis, asetogenesis, dan metanogenesis berlangsung dalam satu
reaktor. Sedangkan dalam Pengolahan Dua Tahap reaksi hidrolisis berlangsung dalam
reaktor pertama dan reaksi acidogenesis, asetogenesis dan metanogenesis berlangsung
dalam reaktor kedua. Reaksi hidrolisis dijaga pada pH 6,5 – 7, reaksi asetogenesis dan
metanogenesis dijaga pada rentang pH 4,5 – 6,0. Dengan pemisahan tahapan reaksi yang
berlangsung pada rentang pH yang berbeda maka pada Pengolahan Dua Tahap
diharapkan akan terjadi pengolahan air limbah dengan efisiensi yang lebih tinggi.
Secara skematis, empat tahapan reaksi degradasi air limbah secara anaerobik
ditunjukkan pada Gambar 1.
Air limbah beserta mikroba tersuspensi dalam air limbah tersebut biasa disebut
dengan mixed liquor. Untuk mengetahui kuantitas mikroba tersuspensi pendekomposisi
atau pendegradasi air limbah maka ditentukan dengan mengukur kandungan padatan
tersuspensi yang mudah menguap (mixed liquor volatile suspended solids/MLVSS)
dalam reaktor.

III. KESELAMATAN KERJA


1. Menggunakan Jas Lab dan sepatu tertutup.
2. Pastikan kabel listrik tidak bersinggungan dengan percikan/tumpahan air.
3. Hati-hati dalam memasukkan maupun mengeluarkan cawan pijar (baik kosong
maupun yang berisi sampel) dari Furnace. Begitu juga hati-hati dalam
memasukkan maupun mengeluarkan kertas saring dari Oven.
4. Gunakan sarung tangan pada saat menuangkan zat-zat pereaksi dalam pemeriksaan
COD.
IV. PELAKSANAAN PRAKTIKUM
4.1 Alat dan Bahan
Alat dan Bahan yang digunakan ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 1. Alat dan Bahan
Alat Bahan
2 buah Labu Erlenmeyer 250 ml Glukosa 4,6875 gram
1 buah Corong Buchner KH2PO4 0,2056 gram
1 buah Cawan Porselin KNO3 1,6908 gram
2 buah Tabung Hach NH4HCO3 0,15 g/L
1 buah Buret lengkap dengan
NaHCO3 0,5 g/L
klem dan statif
1 buah Oven K2HPO4 0,5 g/L
1 buah Desikator Trace Metal Solution A : 1 mL
1 buah Furnace MgSO4.7H2O 5,0 g/L
1 buah Neraca Analitis Trace Metal Solution B : 1 mL
1 buah Hach COD Digester FeCl3 5,0 g/L
1 buah Kertas saring CaCl2 5,0 g/L
FAS 0,1 N
Indikator ferroin

Gambar 1. Skematis empat tahapan reaksi degradasi air limbah secara anaerobik

Skema susunan peralatan Pengolahan Anaeroik Dua Tahap dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema susunan peralatan Pengolahan Anaerobik Dua Tahap

4.2 Prosedur Kerja


Tahapan Percobaan :
1. Lakukan aklimatisasi mikroba dengan jalan memberikan umpan pada laju alir
yang rendah (± 0,3 L/detik). Kemudian naikkan laju alir sebesar 0,2 L/detik
hingga mencapai laju 1,5 L/detik hentikan kenaikan laju alir dan biarkan
reaksi berlangsung selama beberapa hari.
2. Tentukan konsentrasi organik (COD) awal dalam Reaktor 1 maupun Reaktor
2 sebelum penambahan umpan/nutrisi bagi mikroorganisme dalam tangki
tersebut.
3. Tentukan konsentrasi organik (COD) umpan.
4. Tentukan kandungan mikroorganisme dalam Reaktor 1 maupun Reaktor 2
dengan cara menentukan konsentrasi Mixed Liquor Volatile Suspended Solid
(MLVSS) secara gravimetri.
5. Lakukan percobaan inti yang meliputi pengaruh pengolahan dua tahap,
pengaruh suhu, dan pembebanan hidrolisis (detail prosedur percobaan lihat
penjelasan di bawah).
6. Tentukan konsentrasi organik (COD) dari efluen Reaktor 1 maupun Reaktor 2
setelah proses berjalan selama seminggu untuk mengetahui efisiensi
pengolahan.
7. Catat total gas yang terbentuk pada Reaktor 1 maupun Reaktor 2 setelah
proses berjalan selama seminggu untuk mengetahui efisiensi pembentukan
gas.
Penentuan konsentrasi nutrisi bagi mikroorganisme :
Nutrisi bagi mikroorganisme pendegradasi air limbah yang diberikan 2000
mg COD/L. Nutrisi dalam umpan ini dibuat secara sintetis dengan mencampurkan
glukosa, amonium hidrogen karbonat, kalium hidrogen karbonat, natrium hidrogen
karbonat, kalium hidrogen karbonat (lihat Bahan Kimia yang digunakan) dan
penambahan Trace Metal Solution A dan B masing-masing 1 mL menjadi 1 L larutan.
Pengaruh Pengolahan Dua tahap :
1. Atur pH mixed liquor untuk Reaktor 1 sebagai umpan pada Reaktor 2 sebesar
5,8 dengan menggunakan HCl pekat. Atur pH mixed liquor untuk Reaktor 2
pada pH netral.
2. Atur suhu kedua reaktor pada 35-37oC.
3. Lakukan prosedur aklimatiasasi seperti diatas. Gunakan air limbah sintetis
yang telah disiapkan.
4. Gunakan efluen dari Reaktor 1 sebagai umpan pada Rekator 2. Atur laju alir
umpan pada Reaktor 1 sebesar 2,5-3,5 L/detik dan Reaktor 2 pada 1-1,5
L/detik.
5. Lakukan pengumpanan selama seminggu dan amati volume gas yang
terbentuk dan penurunan COD yang terjadi pada masing-masing reaktor.
Penentuan kandungan organik (Chemical Oxygen Demand/COD) dari sampel:
1. Masukkan 2,5 ml sampel ke dalam tabung Hach, kemudian tambahkan 1,5 ml
pereaksi Kalium bikromat dan 3,5 ml pereaksi asam sulfat pekat.
2. Masukkan tabung Hach pada Hach COD Digester dan panaskan pada suhu
150oC selama 1,5 jam.
3. Keluarkan tabung Hach dari Digester dan biarkan dingin pada udara terbuka.
Setelah tabung menjadi dingin titrasi dengan larutan Ferro Amonium (FAS) 0,1
N menggunakan indikator ferroin sebanyak 3 tetes. Titrasi dihentikan jika
terjadi perubahan warna dari hijau menjadi merah bata.
4. Lakukan pekerjaan diatas untuk aquadest sebagai blanko.
Perhitungan:
(𝑎−𝑏)𝑐 𝑥 1000 𝑑 𝑥 𝑝
COD (mg O2/L) = 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
.............. (1)
Dimana:
a = ml FAS untuk blanko
b = ml FAS untuk sampel
c = normalitas FAS
d = berat equivalen Oksigen (8)
p = pengenceran
Penentuan Kandungan Mixed Liquor Volatile Suspended Solid (MLVSS) :
1. Panaskan cawan pijar selama 1 jam dalam Furnace pada suhu 600oC dan
panaskan kertas saring selama 1 jam dalam Oven pada suhu 105oC.
2. Timbang sampai didapat berat konstan dari cawan pijar (a gram) maupun kertas
saring (b gram). Gunakan desikator untuk menurunkan suhu cawan pijar
maupun kertas saring selama penimbangan.
3. Saring 40 ml air limbah sampel dengan menggunakan kertas saring yang sudah
diketahui beratnya.
4. Masukkan kertas saring yang berisi endapan ke dalam cawan pijar dan panaskan
dalam Oven pada suhu 105oC selama 1 jam.
5. Timbang cawan pijar yang berisi kertas saring dan endapan sampai didapat berat
konstan (c gram).
6. Masukkan cawan pijar yang berisi kertas saring dan endapan ke dalam Furnace
pada suhu 600oC selama 2 jam.
7. Timbang sampai didapat berat konstan (d gram).
(𝑐−𝑎)
TSS (mg/L) = 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 106 ................ (2)
(𝑐−𝑑)
VSS (mg/L) = 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 106 ................ (3)

FSS (mg/L) = 𝑇𝑆𝑆 − 𝑉𝑆𝑆 ................ (4)


dimana:
TSS: Total padatan tersuspensi (Total Suspended Solid)
VSS: Padatan tersuspensi yang mudah menguap (Volatile Suspended Solid);
dalam hal ini VSS = MLVSS
FSS: Padatan tersuspensi yang tidak menguap (Fixed Suspended Solids);
dalam hal ini FSS = TSS – VSS

V. DATA PENGAMATAN
5.1 Data Sampel Reaktor Anaerobik
pH = 5,77
Suhu = 27,9 0C

5.2 Data Penentuan Nutrisi


Volume Reaktor = 10 L
COD target = 500 mg/L

5.3 Data Penentuan COD (Chemical Oxygen Demand)


Volume sampel = 2,5 mL
COD akhir = 200 mg/L
Tabel 2. Data Penentuan COD awal
Sampel Titrasi Volume FAS 0,1 N
Blanko 3,55 ml
Sampel 3,40 ml

5.4 Data Penentuan MLVSS (Mixed Liquor Volatile Suspended Solid)


Volume Sampel = 40 mL
Tabel 3. Data Penentuan MLVSS
a (cawan pijar) 43,9287 gram
b (kertas saring) 1,1151 gram
c (kertas saring + endapan + cawan, Oven) 45,0301 gram
d (kertas saring + endapan + cawan, Furnace) 43,9300 gram

5.5 Data Kelompok Reaktor Batch


Hari VSS COD
ke- (mg/L) (mg/L)
0 0 1000
1 510 860
2 690 850
3 700 840
4 800 740
5 850 700
6 900 600
7 920 500
8 950 400
9 1000 300
10 1010 400
11 1020 350
12 1200 380
13 1200 400
14 1200 390

VI. PENGOLAHAN DATA


6.1 Penentuan COD Awal (Chemical Oxygen Demand)
(𝑎−𝑏)𝑐 𝑥 1000 𝑥 𝑑 𝑥 𝑝
COD = 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝑚𝑜𝑙𝑒𝑞 𝑔𝑟𝑎𝑚
(3,55−3,40)𝑚𝐿 𝑥 0,1 𝑥8 𝑥 20
COD awal = 2,5 𝑚𝐿
𝐿 𝑚𝑜𝑙𝑒𝑞

= 960 mg O2/L

6.2 Penentuan MLVSS (Mixed Liquor Volatile Suspended Solid)


(𝑐−𝑎)
• TTS = 𝑥 106
𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
( 45,0301−43,9287)𝑔 1000 𝑚𝐿 1000 𝑚𝑔
= × ×
40 𝑚𝐿 1𝐿 1𝑔

= 27.535 mg/L
(𝑐−𝑑)
• VSS = 𝑥 106
𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
(45,0301−43,9300)𝑔 1000 𝑚𝐿 1000 𝑚𝑔
= × ×
40 𝑚𝐿 1𝐿 1𝑔

= 27.502,5 mg/L
• FSS = TSS – VSS
= 27.535 - 27.502,5 mg/L
= 32,5 mg/L

6.3 Penentuan Efisiensi Pengolahan


𝐶𝑂𝐷 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐶𝑂𝐷 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
Efisiensi pengolahan = × 100%
𝐶𝑂𝐷 𝑎𝑤𝑎𝑙
(960−200) 𝑚𝑔 𝑂2 /𝐿
= × 100%
960 𝑚𝑔 𝑂2 /𝐿

= 79,17%

6.4 Penentuan Kebutuhan Nutrisi Bagi Mikroorganisme


COD : N : P = 100 : 5 : 1
Reaksi oksidasi :
C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O
• Perhitungan Mr O2 dalam Reaksi
Mr O2 dalam reaksi = Mr O2 × Koefisien Reaksi
= 32 g/mol × 6
= 192 g/mol

• Perhitungan Kebutuhan Glukosa


𝑀𝑟 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎
Glukosa = 𝑀𝑟 𝑂 × 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐵𝑂𝐷 × 𝑉𝑅𝑒𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟
2 𝑟𝑒𝑎𝑘𝑠𝑖
180 𝑔/𝑚𝑜𝑙 𝑚𝑔
= 192 𝑔/𝑚𝑜𝑙 × 500 × 10 𝐿
𝐿

= 4.687,5 mg
= 4,6875 gram

• Perhitungan Kebutuhan N dari KNO3


𝑀𝑟 𝐾𝑁𝑂3 101 𝑔/𝑚𝑜𝑙
× 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑔𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 = × 4,6875 𝑔 = 33,8170 gram
𝐴𝑟 𝑁 14 𝑔/𝑚𝑜𝑙
5
Massa KNO3 yang harus ditimbang = 100 × 33,8170 𝑔 = 1,6909 gram

• Perhitungan Kebutuhan P dari KH2PO4


𝑀𝑟 𝐾𝐻2 𝑃𝑂4 136 𝑔/𝑚𝑜𝑙
× 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑔𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 = × 4,6875 𝑔
𝐴𝑟 𝑃 31 𝑔/𝑚𝑜𝑙

= 20,5645 gram
1
Massa KH2PO4 yang harus ditimbang = 100 × 41,1290 𝑔

= 0,2056 gram

6.5 Kurva MLVSS dan COD Terhadap Waktu

Kurva COD dan MLVSS Terhadap Waktu


1400 1400
1200 1200
MLVSS (mg/L)

1000 1000
COD (mg/L)

800 800
600 600
400 400
200 200
0 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Waktu (hari)

MLVSS VS Waktu COD VS Waktu


Berdasarkan kurva COD dan MLVSS terhadap Waktu, dapat disimpulkan
bahwa telah tercapai kondisi tunak karena nilai COD dan MLVSS pada 3 titik
terakhir sudah konstan atau stabil (3 titik terakhir nilainya sama atau mirip).
Kondisi tunak tersebut terjadi pada hari ke 12,13, dan 14. Nilai rata-rata COD
dan MLVSS pada kondisi tunak yaitu :

380+400+390
Rata-Rata COD = = 390 mg O2/L
3

1200+1200+1200
Rata-Rata MLVSS = = 1200 mg/L
3

VII. PEMBAHASAN
• Nispi Yuliani (221411054)
Pengolahan limbah cair secara anaerobik merupakan suatu proses
pengolahan dengan menggunakan cara biologis yang berlangsung tanpa adanya
oksigen. Pengolahan secara anaerobik ini memanfaakan aktivitas dari
mikroorganisme atau metabolisme sel untuk mendegradasi substrat dari senyawa
organik yang terkandung di dalam air limbah. Mikroorganisme mengoksidasi zat
organik di dalam air limbah untuk menghasilkan energi sebagai sumber
pertumbuhan dan metabolismenya (Sawyer et al., 2003).
Menurut Banihani (2009) proses pengolahan limbah secara anaerobik terbagi
menjadi empat tahap yaitu sebagai berikut. Pertama, hidrolisis dimana merupakan
proses degradasi dengan enzim extra cellular menjadi molekul monomer lebih
sederhana. Bakteri anaerobik akan memecah molekul organik kompleks seperti
protein, lignin, lipit, dan selulosa menjadi molekul monomer yang lebih sederhana
yaitu seperti asam amino, glukosa, asam lemas dan gliserol. Setelah itu tahap
selanjutnya merupakan acidogenesis yang merupakan proses penguraian hasil
proses hidrolisis menjadi senyawa-senyawa alkohol dan asam volatil. Hasil dari
proses ini berupa asetik, propionik, asam lemak rantai pendek dan butirat, yang
merupakan asam organik, serta methanol, CO2 dan H2. Pembentukan asam ini
menyebabkan penurunan nila pH. Produk hasil hidrolisis digunakan sebagai substrat
oleh bakteri acidogen. Selanjutnya adalah proses acetogenesis yang merupakan
proses perubahan asam-asam volatil yang terbentuk di proses sebelumnya serta asam
organik menjadi asam asetat, asam formiat, H2 dan CO2. Hasil proses acetogenesis
selanjutnya digunakan oleh bakteri pembentuk metan (metanogen). Terakhir,
merupakan proses metanogenesis yang merupakan proses pembentukan gas metana
dan CO2 dari produk proses sebelumnya oleh mikroorganisme pembentuk metan
(metanogen). Proses ini cenderung membutuhkan waktu yang lama.
Tahap seeding dan aklimatisasi merupakan tahap awal dari proses
pengolahan secara biologi. Proses ini bertujuan agar mikroorganisme anaerobik yang
digunakan dalam proses degradasi dapat beradaptasi terlebih dahulu dengan limbah
yang akan diolah, sehingga mikroorganisme dapat bekerja sacara optimum (Rahayu,
2011).
Seeding dilakukan untuk mengembangbiakan atau menumbuhkan
mikroorganisme yang digunakan nantinya untuk proses pengolahan limbah. Pada
saat proses seeding beberapa pengukuran parameter yaitu pH, temperatur, COD dan
MLVSS. Pada proses seeding penambahan substrat bertujuan untuk memberi nutrisi
pada mikroorganisme agar mikroorganisme dapat tumbuh dengan baik. Pemberian
nutrisi secara rutin ini dilakukan agar mikroorganisme dapat beradaptasi dengan
limbah yang akan diolah dalam proses selanjutnya.
Tahap aklimatisasi meruapakan tahap mengkondisikan mikroorganisme agar
dapat hidup dan melakukan penyesuain diri terhadap lingkungan baru. Pada proses
aklimatisasi mikroorganisme tidak diberikan nutrisi hingga konsentrasi COD turun
yang menandakan telah adanya aktivitas mikroorganisme. Proses aklimatisasi ini
dikatakan selesai ketika efisiensi penyisihan COD telah konstan dengan fluktuasi
yang tidak lebih dari 10% (Herald, 2010).
Dapat diperhatikan kurva MLVSS dan COD terhadap waktu dimana nilai
COD akan menurun sedangkan nilai MLVSS akan menaik dimana kedua nya akan
mencapai titik konstan atau kondisi tunak yang menandakan bahwa proses
aklimatisasi telah selesai, sehingga di dapat nilai MLVSS dan COD pada kondisi
tunak yaitu sebesar secara berturut-turut 1200 mg/L dan 390 O2/L. Dalam proses
aklimatisasi dilakukan selama 2 minggu dimana di dalam proses nya dilakukan
pengukuran berkala setiap harinya dari beberapa parameter yaitu pH, temperatur,
COD dan MLVSS.
Dapat diperhatikan suhu pada reaktor anaerobik yang di dapat yaitu 5,77oC.
Dimana pH optimum untuk proses anaerob yaitu 6,60 - 7,60 (Tchobanoglous, 2004).
Dari nilai pH yang di dapat, nilai pH yang di bawaah 6,60 ini akan mengakibatkan
penurunan efisiensi yang sangat cepat dan akan menghasilkan kondisi asam yang
dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme metanogen (Rahayu, 2011).
Temperatur reaktor yang di dapat yaitu 27,9oC, dimana pada umumnya di
temperatur 25-35oC dapat mendukung laju reaksi biologis secara optimal dan
menghasilkan pengolahan yang lebih konstan atau stabil (Tchobanoglous, 2004).
Dapat diperhatikan melalui kurva MLVSS dan COD terhadap waktu dimana
nilai COD semakin lama akan tunak. Pada proses aklimatisasi nilai COD menjadi
batas penentu apakah suatu substrat sudah siap atau steady state untuk di terapkan
ke sistempengolahan limbah dengan kapasitas yang lebih besar. Kondisi tunak dan
tidak terjadi penurunan nilai COD ladi menandakan bahwa mikroorganisme dapat
beradaptasi dengan melakukan degradasi materi organik di dalam substrat, sehingga
mikroorganisme akan siap untuk melakukan proses anaerob.
Pada praktikum kali ini tidak melakukan proses aklimatisasi tetapi hanya
penentuan nilai COD dan MLVSS, yang dimana kedua parameter tersebut
merupakan parameter yang harus ditentukan saat proses aklimatisasi. COD awal
yang di dapat yaitu sebesar 960 mg O2/L dengan COD akhir yang di dapat yaitu 200
mg O2/L, sehingga di dapatkan efisiensi pengolahan sebesar 79,17%, dimana
efisiensi proses anaerob biasanya diatas 85%, sehingga masih bisa ditingkatkan
kembali dengan meninjau beberapa faktor. Di dapat juga nilai VSS yaitu sebesar
27.502,5 mg/L, dimana merupakan jumlah mikroorganisme, sedangkan nilai TTS
yang merupakan jumlah air limbah dan mikroorganisme ini di dapat sebesar 27.535
mg/L, sehingga zat non organik yang terkandung di dalam reaktor anaerobik saat ini
yaitu sebesar 32,5 mg/L.

• Rizky Fauzan (221411060)


Pada praktikum kali ini, dilakukan proses pengolahan air limbah secara
biologis yaitu dengan metode anaerobik untuk menurunkan kandungan bahan
organik dalam air limbah. Metode anaerobik digunakan untuk mengolah air limbah
dengan kandungan organik yang sangat tinggi (>2000 mg/L) dan biasanya
dilanjutkan dengan pengolahan aerobik sehingga beban pengolahannya lebih ringan
dan dapat lebih efisien. Metode anaerobik memanfaatkan berbagai jenis mikroba
anaerob untuk mendegradasi bahan-bahan organik. Mikroorganisme tersebut
mendegradasi bahan-bahan organik tanpa menggunakan oksigen sehingga perlu
penjagaan kondisi kedap oksigen yang cukup ketat. Keberadaan oksigen dalam
reaktor anaerobik dapat mengganggu pertumbuhan mikroba atau bahkan membunuh
mikroba. Selama proses degradasi bahan organik, mikroorganisme juga
mendapatkan energi sehingga dapat tumbuh dan bertambah banyak. Sistem
pertumbuhan yang diterapkan yaitu sistem pertumbuhan tersuspensi dimana
mikroba pendegradasi bercampur secara merata dengan air limbah dalam reaktor.
Kelebihan dari reaktor anaerobik ini yaitu produk yang dihasilkan berupa biogas
(CH4) dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi.
Pengolahan anaerobik terbagi menjadi empat tahap yaitu hidrolisis,
acidogenesis, acetogenesis dan metanogenesis. Hidrolisis merupakan proses
pemecahan molekul kompleks yang terlarut maupun tidak terlarut menjadi molekul
yang lebih sederhana. Kelompok bakteri yang bekerja untuk menguraikan bahan
organik kompleks adalah bakteri saprofilik. Acidogenesis merupakan proses
mengubah hasil hidrolisis yang berupa glukosa atau monosakarida dan asam amino
menjadi asam-asam organik dengan bantuan bakteri acidogenik. Hasil dari proses
acidogenesis yaitu H2O, NH3, H2S, asam formiat, asam asetat, asam laktat, asam
butirat, asam propionat, dan etanol. Tahap selanjutnya adalah asetogenesis oleh
bakteri asetogenik untuk mengubah asam lemak volatil menjadi asam asetat,
hidrogen, dan CO2. Tahap terakhir adalah metanogenesis dimana terjadi
pembentukan produk utama dari proses anaerobik yaitu gas metana (CH4) dan CO2
oleh bakteri metanogenik.
Rangkaian reaktor anaerobik yang digunakan memiliki 2 reaktor dan 2 gas
collector serta terdapat saluran khusus untuk sampling dan memasukkan nutrisi
karena menjaga kondisi kedap oksigen. Namun, pada praktikum ini reaktor yang
disampling hanya 1 untuk menganalisis suhu, pH, kandungan COD awal, dan
kandungan MLVSS. Pada pengolahan biologis ini, suhu dan pH merupakan
parameter penting yang harus dijaga agar proses degradasi dapat berjalan dengan
optimum. Data kriteria perancangan dan hasil pengukuran kondisi operasi
ditunjukkan pada tabel berikut.

Parameter Kriteria Perancangan Hasil Pengukuran


Alkalinitas 2500 – 5000 mg/L -
pH 6,5 – 7,5 5,77
4 – 60 ℃
Suhu 27,9 ℃
(sebaiknya >35℃)
Ukuran L/D 1,83 – 5,60 -
(Sumber : Kusumawati, 2024)
Data di atas menunjukkan bahwa pH berada di bawah rentang, sedangkan
suhu berada pada rentang kriteria perancangan. Nilai pH yang lebih rendah ini dapat
terjadi karena sampling dilakukan pada saat proses telah berjalan sehingga
kemungkinan besar sudah terbentuk senyawa-senyawa asam. Selain itu, bakteri akan
menghasilkan enzim yang lebih banyak pada temperatur optimum, semakin tinggi
temperatur maka reaksi akan semakin cepat tetapi bakteri akan semakin berkurang
tergantung dari ketahanan bakteri terhadap temperatur. Dalam penelitian Deng et al.
(2024) mengenai penggunaan reaktor AnSBR untuk mengolah air limbah kaya
protein, reaktor dijaga pada pH antara 6,8 - 7,5 dan suhu 36 ± 0.5 ℃, menghasilkan
penghilangan COD total maksimum sebesar 90%, efisiensi degradasi protein
melebihi 80%, dan efisiensi konversi COD menjadi metana lebih dari 70%.
Parameter yang diukur pada praktikum ini adalah COD (Chemical Oxygen
Demand) dan MLVSS (Mixed Liquor Volatile Suspended Solid). COD merupakan
jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara
kimiawi (Lumaela et al., 2013). Dari hasil perhitungan didapat nilai COD awal
sebesar 960 mg O2/L dan COD akhir sebesar 200 mg O2/L dengan efisiensi
pengolahan sebesar 79,17%. Efisiensi yang baik dapat mencapai 85%, nilai yang
diperoleh masih belum optimum dapat disebabkan karena pH reaktor berada di
bawah kriteria rancangan.
MLVSS berkaitan dengan konsentrasi mikroba yang terdapat dalam reaktor
anaerobik. Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai MLVSS sebesar 27.502,5 mg/L.
Nilai MLVSS menunjukkan angka yang sangat tinggi, hal ini dapat disebabkan
karena penentuan dengan metode gravimetri tidak dilakukan sampai konstan,
sehingga perlu dilakukan pemanasan kembali sampai mencapai berat yang konstan
untuk memperoleh data yang lebih akurat. Selain itu, dihitung juga kebutuhan nutrisi
bagi mikroorganisme untuk COD target 500 mg/L dengan perbandingan COD : N :
P = 100 : 5 : 1. Dari hasil perhitungan, diperoleh kebutuhan nutrisi untuk volume 10
L yaitu glukosa sebanyak 4,6875 gram; KNO3 sebanyak 1,6909 gram; dan KH2PO4
sebanyak 0,2056 gram. Seharusnya dilakukan juga pengamatan volume gas sebagai
konversi dari penurunan COD, namun pada praktikum ini belum bisa dilakukan.
Praktikum ini termasuk ke dalam tahap seeding yaitu tahap
mengembangbiakkan mikroba menggunakan glukosa sebagai sumber C (substrat).
Tahap ini dilakukan sampai mencapai kondisi tunak dalam hal penurunan COD dan
peningkatan konsentrasi MLVSS (3 titik terakhir nilainya hampir sama). Jika
efisiensi saat kondisi tunak masih terlalu kecil, dapat dilakukan lagi penambahan
nutrisi dan ditunggu sampai mencapai kondisi tunak lagi. Selanjutnya, dilakukan
tahap aklimatisasi yaitu mengganti glukosa dengan limbah asli secara bertahap,
misalnya mulai dari 90% glukosa dan 10% limbah, 80% glukosa dan 20% limbah,
sampai seluruh glukosa diganti oleh limbah sehingga mikroba sudah bisa beradaptasi
dan mengolah limbah yang sebenarnya sampai tercapai kondisi tunak. Setelah itu,
dapat dilakukan tahap running ataupun pengolahan secara kontinyu yang diterapkan
di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Berdasarkan grafik MLVSS dan COD terhadap Waktu, terlihat bahwa terjadi
penurunan nilai COD dan kenaikan nilai MLVSS seiring dengan berjalannya waktu.
Penurunan nilai COD terjadi karena bahan organik telah didegradasi oleh
mikroorganisme sedangkan kenaikan nilai MLVSS terjadi karena selama proses
degradasi bahan organik, mikroorganisme juga mendapatkan energi sehingga dapat
tumbuh dan bertambah banyak. Dari grafik yang diperoleh, dapat disimpulkan
bahwa telah tercapai kondisi tunak karena nilai COD dan MLVSS pada 3 titik
terakhir sudah konstan atau stabil (3 titik terakhir nilainya sama atau mirip). Kondisi
tunak tersebut terjadi pada hari ke 12,13, dan 14. Nilai rata-rata COD dan MLVSS
pada kondisi tunak yaitu 390 mg O2/L dan 1200 mg/L. Karena telah tercapai kondisi
tunak, maka tahap seeding ini telah selesai dan dapat dilanjutkan dengan tahap
aklimatisasi.

• Rizqika Mutmainnah (2214110)


Pada percobaan kali ini dilakukan pengolahan limbah dengan metode
anaerobik. Anaerobik adalah proses pengolahan limbah cair yang mengandung
senyawa organik tinggi dapat dilakukan secara biologi (anaerobik atau aerobik).
Pengolahan dilakukan dengan proses degradasi senyawa organik oleh bakteri
anaerobik tanpa oksigen/udara menjadi air (H2O) dan biogas atau metana (CH4)
,CO2, dan lainnya. Limbah industri yang mempunyai kadar/zat organik tinggi (BOD
>3000 mg/l) akan lebih efisien bila diterapkan proses tanpa udara.
Dalam percobaan ini, nutrisi ditambahkan ke sampel limbah untuk memberi
mikroorganisme makanan. Mikroorganisme ini akan memecah bahan organik,
sehingga kandungan organik dalam sampel dapat diturunkan. Untuk mengetahui
seberapa efektif pengolahan, pengukuran kandungan organik dilakukan sebelum dan
setelah proses, dan pengukuran COD dilakukan sebelum dan setelah proses.
sementara MLVSS untuk menghitung jumlah mikroba yang mengubah bahan
organik.
Faktor yang mempengaruhi proses anaerobik adalah yang pertama adalah
pH, yang berkisar dari 6,5 - 7,5 atau sekurang-kurangnya 6,2. Jika ada konsentrasi
sulfat yang cukup tinggi, pH yang diperlukan harus antara 7–8 untuk mencegah
keracunan H2S. Kedua adalah Kebutuhan nutrisi, untuk pengolahan anaerobik ini
produksi lumpur 0,1 kg VSS/kg COD yang tersisihkan diperlukan. Selanjutnya,
konsentrasi nitrogen harus meningkat menjadi 8–12%; fosfor harus meningkat
menjadi 1,5–2,5%; dan asupan nutrisi yang diperlukan untuk proses anaerobik
adalah satu per lima. Dan yang terakhir adalah suhu, suhu pada proses anaerobik
biasanya >30oC karena pada suhu ini mikroba dapat berkembangbiak pada
pengolahan anaerob. Sedangkan pada hasil percobaan, pH yang diperoleh sebesar
5,77 dengan penambahan nutrisi sebesar 500 mg/L dan suhu sebesar 27,9 oC. Hasil
ini menunjukkan bahwa proses aklimatisasi yang dilakukan masih dalam kondisi
kurang optimum. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai COD awal pada


sampel limbah adalah 960 mg/L. Nilai COD sebelum proses masih tinggi sehingga
dilakukanlah proses dekomposisi bahan organik untuk menurunkan kandungan
organiknya secara anaerobik. Sedangkan, nilai COD setelah proses dilakukan
sebesar 200 mg/L dan memperoleh efisiensi pengolahan sebesar 79,17%.. Nilai
COD setelah proses ini lebih kecil dibanding nilai COD sebelum proses, hal ini
menunjukkan adanya penurunan kandungan organik pada sampel limbah, dimana
penurunan kandungan organik ini disebabkan mikroorganisme yang
mendekomposisi bahan organik tersebut menjadi CO2, H2O dan NH4 sehingga
kandungan organik setelah proses menurun dan nilai efisiensi pengolahan yang
optimum adalah >85%.

Uji MLSS dilakukan untuk menghitung jumlah padatan tersuspensi total


yang tersedia di sistem aerasi. Ini dapat dengan menyaring padatan tersuspensi dan
mengeringkannya selama 1 jam dalam oven pada suhu 105°C. Sebaliknya, MLVSS
yang akan mengukur konsentrasi padatan tersuspensi yang mudah menguap.
MLVSS sangat penting untuk mengetahui kondisi operasional pada sistem biologis.
Padatan yang mudah menguap dalam sampel ditunjukkan oleh berat yang hilang dari
proses pemanasan padatan. Dimana endapan pada sampel hasil MLSS dipanaskan
sampai 600°C ke dalam furnace. Dalam hasil percobaan nilai MLVSS diperoleh
sebesar 32,5 mg/L, hal ini mengakibatkan mikroorganisme kurang baik pada proses
mencerna lumpur (makanan) dalam reaktor.
Seharusnya, pada percobaan ini dilakukan pengamatan terhadap volume gas,
karena gas merupakan salah satu produk yang dihasilkan pada proses anaerobik dan
pada Gambar 6.5 menunjukkan kondisi tunak yang diinginkan/seharusnya terjadi.
Namun, pada percobaan kali ini hanya melakukan sampai proses perkembangbiakan
(aklimatisasi), sehingga analisis volume gas belum dapat dilakukan.

VIII. KESIMPULAN
1. Nilai COD awal sebesar 960 mg O2/L dan COD akhir sebesar 200 mg O2/L.
2. Nilai MLVSS sebesar 27.502,5 mg/L.
3. Kebutuhan nutrisi untuk volume 10 L yaitu glukosa sebanyak 4,6875 gram;
KNO3 sebanyak 1,6909 gram; dan KH2PO4 sebanyak 0,2056 gram.
4. Efisiensi pengolahan sebesar 79,17%.
5. Total gas yang dihasilkan belum bisa ditentukan.

IX. DAFTAR PUSTAKA


Arta, T. (2024). Pengolahan Limbah Cair dengan Anaerobic System.
https://www.toyaarta.com/anaerobic-system/.
Banihani, Q. (2009). Anaerobic–Aerobic Treatment of Domestic Sewage for The
Removal of Carbonaceous and Nitrogenous Contaminant. Chemical and
Environmental Engineering, The University of Arizona.
Deng, Z., Sierra, J. M., Ferreira, A. L. M., Garcia, D. C., Spanjers, H., Lier, J. B. V.
(2024). Effect of operational parameters on the performance of an anaerobic
sequencing batch reactor (AnSBR) treating protein-rich wastewater.
Environmental Science and Ecotechnology, 17 (2024). Doi :
https://doi.org/10.1016/j.ese.2023.100296
Herald, D. (2010). Pengaruh Rasio Waktu Reaksi Terhadap Waktu Stabilisasi Pada
Penyisihan Senyawa Organik dari Air Buangan Pabrik Minyak Kelapa Sawit
dengan Sequencing Batch Reactor Aerob. Sumatra Barat : Jurusan Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Andalas.
Kusumawati, E. (2024). Proses Biologis (Anaerob). Power Point. Jurusan Teknik
Kimia Politenik Negeri Bandung.
Lumaela, A. K., Otok, B. W., Sutikno. (2013). Pemodelan Chemical Oxygen
Demand (COD) Sungai di Surabaya Dengan Metode Mixed Geographically
Weighted Regression. JURNAL SAINS DAN SENI POMITS, 2(1).
Rahayu, N.S. (2011). Kemampuan Upflow Anaerobic Fixed Bed (UAFB) Reaktor
dalam Mempertahankan Kondisi Optimum dalam Penyisihan Senyawa
Organik Pada Biowaste Fasa Cair Tanpa Menggunakan Pengatur pH. Thesis.
Bandung : Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung.
Sari, R.F., Annissa, R & Tuhuloula, A. (2013). Perbandingan Limbah Dan Lumpur
Aktif Terhadap Pengaruh Sistem Aerasi Pada Pengolahan Limbah CPO. Vol
2, no 1, 39-44. Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, UNLAM:
Banjarbaru.
Sawyer, C.N., McCarty, & Parkin G.F. (1994). Chemistry for Environmental
Engineering., 4th Ed, Mc. Graw Hill Book., New York.
Tchobanoglous, G.,H. Theissen,S.A., Vigil. (2004). Integrated Solid Waste
Management, McGraw Hill. USA.

X. LAMPIRAN TUGAS
1. Buat kurva penurunan COD dan kenaikan MLVSS!
Jawab:

Kurva COD dan MLVSS Terhadap Waktu


1400 1400
1200 1200
MLVSS (mg/L)

1000 1000
COD (mg/L)

800 800
600 600
400 400
200 200
0 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Waktu (hari)

MLVSS VS Waktu COD VS Waktu


2. Berapa rata-rata nilai COD dan MLVSS pada kondisi tunak dan pada hari ke
berapa terjadi kondisi tunak tersebut?
Jawab:
Nilai rata-rata COD pada kondisi tunak = 390 mg O2/L
Nilai rata-rata MLVSS pada kondisi tunak = 1200 mg/L
Kondisi tunak tersebut terjadi pada hari ke 12,13, dan 14.

3. Apakah kondisi seperti ini sudah bisa dijalankan secara kontinyu (tahap
running)?
Jawab:
Tahap seeding sudah selesai karena telah tercapai kondisi tunak. Namun, tahap
running belum bisa dijalankan karena masih harus dilakukan tahap
aklimatisasi terlebih dahulu untuk adaptasi mikroorganisme.

4. Industri apa saja yang banyak menggunakan pengolahan limbah secara


anaerobik?
Jawab:
1. Industri Tahu
2. Industri Kelapa Sawit (Palm Oil)
3. Industri Susu

5. Bagaimana pengaplikasian reaktor anaerobik di IPAL suatu industri? (jelaskan


juga fungsinya)
Jawab:
1. Anaerobic Baffled Reactor (ABR) Pada Industri Tahu
ABR ini merupakan jenis reaktor anaerobik yang digunakan untuk
mengolah limbah cair secara biologis tanpa adanya kehadiran oksigen,
reaktor ABR ini digunakan untuk menghilangkan polutan dalam limbah,
termasuk bahan organik terlarut dan terikat seperti bahan organik
kompleks dan padat melalui proses degradasi anaerobik oleh
mikroorganisme. Reaktor ini berukuran persegi yang dibagi menjadi 4
kompartemen berukuran sama, dimana masing-masing kompartemen
dipisahkan dari arah atap dan dasar tangki.
Limbah cair dari industri tahu ini akan dialirkan menuju ke atas dan ke
bawah dinding, dimana saat limbah memasuki kompartemen pertama
terjadi pemisahan dengan mengendapkan partikel padatan yang lebih
berat dari limbah, setelah itu air limbah akan memasuki ketiga
kompartemen tersisa untuk pengolahan secara anaerobik dengan
menghasilkan gas CH4 dan CO2 sebagai produk samping dengan melewati
baffle, dimana buffle ini akan mengarahkan aliran limbah dan
menciptakan kondisi yang mendukung untuk penguraian anaerobik serta
membantu meningkatkan waktu tinggal di dalam reaktor. Air limbah yang
sudah mengalami pengolahan anaerobik akan keluar melalui efluent
sedangkan gas CH4 dan CO2 yang terbentuk akan keluar melalui gas
outlet.

2. Anaerobic Fluidized Bed Reactor (AFBR) Pada Industri Makanan


Jepang Ume Boshi
Reaktor AFBR merupakan reaktor yang terdiri dari zona pengendapan
pada bagian atas dan zona fluidisasi pada bagian bawah, suhu pada reaktor
ini dipertahankan 37oC dengan sirkulasi air pemanas melalui jaket
bioreaktor. Bioreaktor berisis butiran cristobalite sebanyak 90 gram (20
w/v%) dan kultur mikroba sampai bioreaktor penuh.
Pengolahan limbah dengan AFBR ini di awali dengan memasukan cairan
ke dalam bioreaktor yang disirkulasikan dari bagian atas ke dasar
bioreaktor untuk menghomogenisasi dan mengangkat atau memfluidisasi
media filler. Limbah cair diumpankan secara kontinyu ke bioreaktor
dengan bantuan pompa. Air hasil pengolahan akan mengalir secara over
flow menuju ke tangki effluent setelah melewati kolam water seal untuk
memisahkan gas dan cairan. Biogas yang terbentuk selanjutnya
ditampung di dalam gas holder. Cairan yang memasuki reaktor akan tetap
di jaga pH nya diatas 7 dengan mengalirkan larutan 1 N NaOH.

Anda mungkin juga menyukai