Sejarah Gks-Iii

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

UNIVERSITAS KRISTEN ARTHA WACANA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAAN TEOLOGI
Jl. Adisucipto, Oesapa – Kupang – Nusa Tenggara Timur
PO Box 1013 Kode Pos 85010, Tlp. 0380 - 881669
e-Mail: ……………………………….

SEJARAH GEREJA KRISTEN SUMBA (GKS) 1

Bab 5
PERJUMPAAN INJIL PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG DAN PERSIAPAN
MENUJU PEMBENTUKAN GKS: 1942-1947

I. Masa Pendudukan Jepang: 1942-1945


Masa pendudukan Jepang merupakan masa yang paling sukar bagi keberadaan
gereja-gereja di Indonesia termasuk di Sumba sendiri. Dalam Perang Dunia II (8
Desember 1942), Jepang memperoleh kemenangan yang besar di Asia dan di Laut
Pasifik. Dengan kemenagan ini mereka menduduki Sumba karena dianggap
strategis dan dapat dijadikan sebagai basis penyerangannya ke Australia.
Waingapu dibom oleh Jepang pada 1 Februari 1942 sehingga membuat
Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang pada 8 Maret 1942. Dalam
keadaan yang kritis ini guru Injil H. Mbay ditahbiskan oleh Luijendijk sebagai
pendeta di Payeti pada 3 Maret 1942 dan M.H. Malo ditahbiskan oleh Van Dijk
sebagai pendeta pada 16 Maret 1942 sebagai pendeta pribumi.
Pada 14 Mei 1942, Jepang mendarat di Sumba, para pekerja Zending
ditangkap dan dipenjarakan bahkan ada yang dibawa ke Makassar, Kupang, Jawa,
Bangkok sebagai pekerja romusha, Singapura dan Jepang. Dengan ditangkapnya
Luijendijk, keadaan jemaat-jemaat di Sumba Timur dan Tengah seperti kehilangan
pemimpin. Oleh karena itu jemaat-jemaat ini dipimpin oleh pendeta pribumi H.
Mbay. Ia menjalankan pelanyanan sakramen dan tugas pelayanan lainnya namun
dalam pengawasan pemerintah Jepang. Mbay sendiri pada akhirnya dituduh oleh
Jepang sebagai mata-mata Belanda sehingga ia ditangkap dan dipenjarakan dua
kali dan pada bulan Juli 1945, ia dibunuh.
Tugas pelayanan selanjutnya ditangani oleh guru Injil S.H. Dara dari Melolo.
Meskipun demikian, pemerintah Jepang melarang pengajaran agama di sekolah-
sekolah apalagi pengajaran bahasa Sumba sama sekali tidak diijinkan. Pada masa
ini, jemaat-jemaat Zending, Pentakosta dan Ama ratu (jemaat Piatu) bersatu
namun sesudah Perang Dunia II berakhir dan Jepang kalah, maka ketiga gereja
yang menyatu ini kembali ke jalurnya masing-masing seperti semula.
Ketika Jepang menduduki Sumba, tenaga Zending yang bertugas di Sumba
Barat adalah Van Dijk. Pada 17 Mei 1942 tenaga Zending dan orang Belanda
lainnya dibawa ke Waingapu sehingga keadaan jemaat-jemaat di Sumba Barat
ditangani oleh pendeta pribumi M.H. Malo. Ia diberi kewenangan untuk membayar
1
F.D. Wellem, INJIL DAN MARAPU, Suatu Studi Historis-Teologis tentang Perjumpaan Injil dengan
Masyarakat Sumba pada periode 1876-1990, Jakarta: BPK-GM, Cetakan ke-1, 2004, hlm. 1 - 398.
1
gaji para guru Injil dengan uang yang dititipkan oleh Van Dijk sebelum berangkat
dari Sumba Barat. Dalam keadaan ini Malo tampil sebagai sebagai seorang
pendeta yang berani dan bijaksana sehingga dalam berhadapan dengan
pemerintah Jepang ia meyakinkan mereka bahwa orang Kristen bukan mata-mata
dan sahabat pemerintah Belanda melainkan bersahabat malah mau bekerja sama
dengan Dai Nippon dan dipandang sebagai “kakak”. Karena sikap ini, maka
pemerintah Jepang bertindak lunak terhadap penyelenggaran pelayanan rohani
yang berada dalam pimpinan Malo.
Sekolah-sekolah yang ada menjalankan fungsinya sebagaimana biasa dengan
peniliknya H. Ihalaw dan A. Patty. Meskipun demikain, pengajaran agama Kristen,
bahasa Sumba dan nyanyian Kristen dilarang untuk dilaksanakan. Sarana dan
prasarana kesehatan yang ada dipakai untuk kepentingan Jepang. Pendek kata,
masa pendudukan Jepang membuat jemaat-jemaat di Sumba makin menata
organisasinya sehingga pada saat yang sama muncul bakal klasis Sumba Timur
dan klasis Sumba Barat yang didukung oleh jemaat-jemaat yang ada di dalamnya.

II. Persiapan Menuju Pembentukan GKS: 1945-1947


Setelah Jepang menyerah kalah, para pekerja Zending kembali bekerja di Sumba
seperti van Dijk ke Karuni, Lambooij ke Payeti kemudian ia diganti oleh H. van den
Brink yang bekerja di Kodi untuk membendung perkembangan Gereja Katolik
Roma. Luijendijk kembali bekerja di Waibakul, Krijger ke Karuni, van Berge ke
Melolo sebagai pengganti Goossens dan Onvlee kembali melaksanakan tugasnya
sebagai penerjemah Alkitab.
Pada tanggal 13-15 Januari 1947, diadakan persidangan Sinode pertama di
Payeti dan tahun ini dijadikan sebagai tahun berdirinya GKS. Sekolah Rakyat yang
pernah dibuka oleh J.L. Erkelens kembali diefektifkan pada tahun yang sama,
malah dibuka Sekolah Menegah Pertama dan diusulkan agar dibuka pula Sekolah
Kepandaiam Putri dan Sekolah Pertukangan. Di bidang kesehatan, dr. Berg diganti
oleh dr. Oosterhuis sebagai pemimpin Rumah Sakit di Waikabubak sedangkan H.
Krijger diganti oleh dr. Dijk sebagai kepala Rumah Sakit di Payeti dan tenaga
perawat baru yaitu J. Biersteker dan Zuster B. Brouwer.
Kembalinya para pekerja Zending ke Sumba disambut dengan senang hati
oleh para pekerja pribumi yang dinampakkan dalam memberi peralatan rumah
tangga dan melaporkan apa yang dikerjakan selama pendudukan Jepang.
Selanjutnya, untuk kepentingan pelayanan, S.H. Dara dipanggil dan ditahbiskan
sebagai pendeta di Melolo dan Mb. Ratubanju sebagai pendeta di Payeti. Dengan
demikian, pada masa ini terdapat tiga orang pendeta pribumi yaitu H.M. Malo, S.H.
Dara dan Mb. Ratubanju.

Bab 6
PERJUMPAAN INJIL PADA MASA GKS BERDIRI SENDIRI: 1947-1990

Pada periode ini para pekerja pribumi berperan sebagai penanggung jawab, penentu
kebijakan dan pelaksana kegiatan pekabaran Injil kepada sukunya sendiri. Meskipun
demikian, para pendeta utusan tidak diabaikan begitu saja, melainkan mereka
diposisikan sebagai penasihat GKS yang juga berpengaruh dalam setiap pengambilan
keputusan dan kebijakan.

I. Jemaat-jemaat Zending menjadi Gereja yang Berdiri Sendiri dan


Perekembangannya
2
Sekalipun orang Sumba telah mampu memimpin gerejanya sendiri, namun mereka
masih membutuhkan dukungan dana dari pihak Zending. Hal ini tidak bisa
dielakkan oleh Zending karena salah satu tujuan pekabaran Injil adalah
penanaman dan pertumbuhan gereja di daerah pekabaran Injil sehingga
pembentukan suatu gereja yang berdiri sendiri di Sumba disambut dengan
gembira oleh para pendeta utusan.
Pada 15-17 Januari 1947, terjadi persidangan Sinode pertama di jemaat Payeti
yang dipimpin oleh Pdt. H.M. Malo. Dengan demikian GKS berdiri sendiri pada 15
Januari 1947 yang terdiri dari tiga klasis yaitu Sumba Timur, Sumba Tengah dan
Sumba Barat. Pergumulan pertama yang dihadapi oleh gereja ini adalah persoalan
peraturan gereja, pemanggilan dan penahbisan pendeta, pekabaran Injil, urusan
persekolahan dan kesehatan serta nama gereja. Sebutan yang dipergunakan bagi
gereja yang berdiri sendiri ini adalah Gereja Kristen Sumba.
Gereja ini terus berkembang sehingga pada tahun 1951, GKS terdiri 7 buah
klasis, 29 jemaat dewasa, 17 orang pendeta dan sejumlah guru Injil serta penolong
guru Injil. Tahun 1971 terdapat 10 klasis dengan jumlah anggota jemaat mencapai
43.121 orang. Tahun 1990, di GKS terdapat 63 buah jemaat dewasa, 416 buah
jemaat cabang, 60 buah pos pekabaran Injil dan jumlah anggota jemaat mencapai
146.551 orang.

II. GKS dan Pekabaran Injil


Tugas utama GKS adalah memberitakan Injil sehingga hal ini menjadi agenda
utama dalam persidangan Sinode pertama. Sidang tersebut membicarakan dan
memutuskan prinsip-prinsip pekabaran Injil dan merumuskan wawasan misiologis
sebagai berikut:

“Kristus sendiri yang mengutus dan tiap-tiap orang Kristen diutus untuk
memberitakan Injil kepada orang yang belum mengenal Kristus. Pekabaran Injil
itu pertama-tama ditujukan kepada keluarga sendiri. Tujuan pekabaran Injil
adalah supaya semua orang memuliakan dan menghormati akan Allah”

Wawasan misiologis ini kemudian dirumuskan dengan lebih baik di Langgaliru


pada tahun 1960 bahwa dasar dan tugas pekabaran Injil bersumber dari perintah
Tuhan Yesus Kristus kepada rasul-rasul seperti tertulis dalam Matius 28:18-20.
Oleh karena itu, tugas pekabaran Injil ini dilaksanakan oleh segenap warga GKS
dalam aras jemaat, klasis dan Sinode.
Pengorganisasian pekabaran Injil pada tingkat jemaat dibawah pimpinan
majelis jemaat dengan tugas sebagai berikut:
 memperhatikan dan mengatur pekerjaan pekabaran Injil di daerahnya
 Mengangkat, memindahkan dan memberhentikan pekerja-pekerja gereja dalam
lapangan pekabaran Injil setelah mendapat persetujuan klasis.
Tugas klasis dalam bidang pekabaran Injil sebagai berikut:
1. mengawasi kegiatan pekabaran Injil yang dilaksanakan oleh jemaat-jemaat
dalam wilayahnya dan menerima laporan Majelis Jemaat tentang kegiatan
pekabaran Injil
2. menyetujui atau menolak pengangkatan, memindahkan dan memberhentikan
pekerja-pekerja gerejawi dalam lapangan pekabaran Injil di jemaat setempat
3. mengadakan kursus dan latihan bagi para pekerja di lapangan pekabaran Injil
4. melaporkan kepada Deputat Pekabaran Injil Sinode (DEPIS) tentang pekabaran
Injil dalam wilayah klasisnya.
3
Dalam DEPIS, ada perwakilan dari setiap klasis dengan tugas sebagai berikut:
a. mengawasi dan menerima laporan tentang pekerjaan pekabaran Injil dalam
wilayah klasis-klasis se-GKS
b. membantu jemaat-jemaat untuk mengusahakan tenaga dan dana pekabaran
Injil apabila jemaat membutuhkannya
c. mengatur pekabaran Injil di luar daerah Sumba.
Dalam Sinode GKS ke-2 pada tahun 1947 di Waikabubak menetapkan bahwa
seluruh daerah Sumba merupakan tanggung jawab penginjilan GKS. Metode
pekabaran Injil tidak dilakukan dengan cara paksa karena Roh Kudus sendiri akan
bekerja dan meyakinkan hati umat. Kelemah-lembutan harus dinampakkan namun
tidak mengorbankan kebenaran Injil dan pekabaran injil harus disampaikan dalam
bahasa Sumba sehingga Injil dapat dimengerti dan diterima oleh pendengarnya.
Selanjutnya, pekabaran Injil dilakukan oleh para pendeta pribumi dalam bentuk:
 khotbah pada waktu kematian (sebelum penguburan), resepsi pernikahan dan
kebaktian lainnya
 nyanyian gerejawi dengan melodi Sumba yang di dalamnya ada nasihat
 sandiwara Kristen yang dipentaskan pada hari-hari raya gerejawi (Natal)
 kunjungan dan percakapan (dialog) oleh para guru Injil dengan orang yang
menganut Marapu, para bangsawan dan para imam Marapu
 tari-tarian diringi pemukulan gong dan tambur pada hari-hari raya gerejawi
seperti Natal dan Paskah
 memakai bentuk komunikasi pribumi Sumba yaitu Tau Li’i (tanya jawab
penyelenggaraan suatu kegiatan seperti Natal dan Paskah dengan memakai
bahasa sastra Sumba yang sangat puitis)

III. GKS dan Pelayanan di Bidang Pendidikan


Pelayanan di bidang pendidikan yang semula masih berada di tangan Zending
W.M. Popma (1947-1949) dialihkan ke Yayasan Pendidikan Masehi Sumba
(YAPMAS) yang dibentuk pada 10 Maret 1950. Di dalam YAPMAS pengurusnya
terdiri dari unsur wakil masyarakat Sumba (raja-raja), wakil GKS dan wakil para
guru. Sekolah-sekolah yang dimiliki GKS adalah:
a. Pada tahun 1974 terdapat 138 buah Sekolah Dasar Yapmas. 2
b. Sekolah Kejuruan yaitu Sekolah Pertukangan di Melolo kemudian dipindahkan ke
Payeti menjadi Sekolah Teknik Pertama, Kursus Pendidikan Guru diubah menjadi
Sekolah Guru Bawah Kristen (SGBK), Sekolah Guru Atas Kristen di Waikabubak.
Kemudian YAPMAS membuka empat buah Sekolah Menengah Ekonomi Pertama,
sebuah Sekolah Menegah Ekonomi Atas (SMEA) di Waikabubak.

IV. GKS dan Pelayanan di Bidang Kesehatan


Pada tahun 1950, dibentuk sebuah Yayasan yang diberi nama Yayasan untuk
Menyelenggarakan Rumah-rumah Sakit Kristen di Sumba (YUMERKRIS) yang terdiri
dari Rumah sakit Lindimura di Waingapu, Sumba Timur dan Rumah Sakit Lende
Moripa di Waikabubak, Sumba Barat. Pada tahun 1978, yayasan ini memiliki 2
Rumah Sakit, 4 Puskesmas dan 10 balai pengobatan. Pada tahun-tahun berikutnya
puskesmas dan balai pengobatan itu diserahkan kepada pemerintah.

V. GKS dan Pelayanan di Bidang Sosial

2
Selain dari sekolah YAPMAS, pada tahun yang sama, ada 112 buah sekolah pemerintah, 73 buah sekolah Gereja Katolik
Roma, 11 buah sekolah Islam dan 5 buah sekolah Gereja-gereja Bebas Sumba Timur.
4
Di bidang Sosial, GKS membuka Pusat Latihan Petani Kristen (PLPK) di Lewa. Lewat
wadah ini para pemuda Kristen dilatih untuk bertani secara modern. Kemudian
PLPK ditutup dan dialihkan fungsinya menjadi pendidikan formal yaitu Sekolah
Pertanian Pembangunan “Lindi Watu” di Lewa. GKS juga membuka sebuah bengkel
untuk memproduksi berbagai peralatan pertanian yang disebarkan kepada para
petani di seluruh Sumba. Sekarang GKS memiliki sebuah usaha dalam bidang
sosial kemasyarakatn yaitu Proyek Pelayanan Masyarakat (PROPELMAS) di
Lawonda Sumba Barat. Proyek ini menyelenggarakan usaha yang terpadu dalam
bidang kesehatan, gizi, pertanian dan peternakan.

VI. Pekerja Pribumi


Pekerja pribumi ketika GKS berdiri sendiri pada tahun 1947-1949 berjumlah 14
orang pendeta. Untuk kepentingan pelayanan di Sumba, maka pada 22 September
1947 dibuka kembali TOS di Karuni. Di tempat ini para calon guru Injil dibekali
dengan pelajaran Teologi, diajarkan dialek Kambera dan Waijewa, latihan
berkhotbah dalam dua bahasa ini dan pengajaran pekabaran Injil bagi para
penganut Marapu. Selain itu mereka juga belajar bertani, beternak dan ilmu
kesehatan.
Pada tahun 1990, jumlah pekerja pribumi di GKS terdiri dari 73 orang pendeta,
17 orang vikaris, 151 orang guru Injil, 6 orang pekerja wanita dan 307 orang kaum
awam aktif yang melayani 146.551 orang warga jemaat. Pekerja pribumi
bertambah jumlahnya karena ada yang telah menyelesaikan studi teologi di Ujung
Pandang, Kupang, Jogja, dan Jakarta. Pekerjaan para pendeta adalah mengadakan
perkunjungan ke jemaat-jemaat cabang dan pos pekabaran Injil untuk pelayanan
sakramen dan pemberkatan nikah, sedangkan penyelenggaran kebaktian,
katekisasi, penguburan orang mati dan pekabaran Injil menjadi tanggung jawab
Guru Injil. Kedudukan pendeta utusan pada masa Zending diganti oleh pendeta
pribumi.

VII. GKS dan Adat-istiadat, Kebudayaan serta Bahasa Sumba


Dalam rangka melaksanakan kontekstualisasi Injil di Sumba, maka GKS mewujud-
nyatakannya lewat arsitektur gedung gereja/rumah orang Sumba dengan
menggunakan bahan-bahan lokal, mengadakan upacara penerimaan petobat baru
(anggota baptisan) ke dalam gereja karena dengan upacara itu mereka
didamaikan dengan Kristus. Dalam bahasa Sumba disebut Panggara Tau (Siapakah
anda). Kontekstualisasi Injil selanjutnya nampak dalam lambang kuda putih yang
menjadi lambang GKS dan berdasarkan Wahyu 6:2. Kuda merupakan binatang
yang akrab dengan masyarakat Sumba sehingga binatang ini bukanlah binatang
yang asing bagi masyarakat Sumba. Penunggang yang membawa panah
bermakna: tugas dan panggilan gereja di Sumba yaitu memberitakan Injil Kristus
di Sumba walau banyak kesulitan namun tugas itu akan berhasil pada waktunya.

VIII.GKS dan Nyanyian Gerejawi


Upaya awal yang dilakukan oleh para pendeta utusan adalah menerjemahkan
Mazmur dan Nyanyian Rohani ke dalam bahasa Sumba (Na Ihina Hoeratoe dan Na
Loedoe Pamalangoe). Pada tahun 1950, Umbu Hina Kapita Mbanimeha menyusun
Na Ludu Bidi Ana (Nyanyain Baru untuk Anak-anak). Pada tahun 1970, baik
Mazmur, Nyanyian Rohani dan Nyanyian Baru untuk Anak-anak
dimodifikasi/dipadukan menjadi Ludu Pamalangu Dangu Hali Karitu (Nyanyian
Mazmur dan Pujian Kristus). GKS juga menggunakan Mazmur dan Tahlil
5
karangan C.Ch.J. Schroder, Mazmur dan Nyanyian Rohani karangan I.S. Kijne
dan sekarang menggunakan Kidung Jemaat.

IX. GKS dan Katekisasi


Buku Kekisasi yang dipergunakan pada mulanya adalah Katekismus Hedelberg.
Kemudian van Dijk membuat tanya jawab yang membahas Alkitab sebagai
pengetahuan tentang Allah, dosa, sorga dan neraka, Tuhan Yesus, Iman,
sakramen, Sepuluh Hukum kemudian diberi judul Katekismus Hedelberg dan
Buku Pengajaran Katekisasi. Tahun 1985, Pdt M. Jiwa menulis buku dengan judul
Kahahi (Katekisasi) yang di dalamnya terdapat 127 tanya jawab tentang pokok-
pokok Allah, manusia, dosa, Tuhan Yesus, doa, Alkitab, sakramen, persembahan,
jabatan gereja, pernikahan, suanggi, hamba, belis, iblis dan percaya. GKS
berupaya untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya dalam
perjumpaannya dengan adat-istiadat dan kebudayaan Sumba serta menyatakan
ajaran dan pengakuannya dalam konteksnya di Sumba.

X. Faktor-Faktor Pendorong dan Penghambat


Faktor-Faktor yang mendorong sehingga GKS mengalami perkembangan yang
pesat adalah sebagai berikut:
 Bertambahnya tenaga dan bantuan dana dari pihak Zending. Tahun 1881-1947,
34 orang; 1947-1972, 54 orang dan 1972-1990, 13 orang
 Terjadi perluasan bidang pelayanan
 Kepemimpinan tenaga pribumi yang baik dan tersedianya tenaga pribumi yang
cukup
 Terjadi peningkatan kegiatan pekabaran Injil
 Adanya kegiatan di bidang kesehatan, pendidikan dan pembangunan sosial
kemasyarakatan
 Merosotnya kepercayaan terhadap agama Marapu
 Pemerintah berpengaruh dalam pembangunan di Indonesia.
Faktor-Faktor yang menghambat bagi GKS dalam perkembangannya adalah
sebagai berikut:
 Ketergantungan pada tenaga dan bantuan dana Zending
 Kuatnya adat-istiadat Sumba
 Adanya agama-agama dan Gereja-gereja lain
 Pengurangan dana dari pihak pemerintah terhadap sarana kesehatan yang ada
dan penempatan pejabat pemerintah yang beragama lain
 Pulau Sumba yang tidak subur dan tandus sebagai penyebab kemiskinan.

I. Hasil Perjumpaan
Walaupun pada awalnya terjadi penolakan dari orang Sumba terhadap Injil, namun
melalui suatu proses yang panjang, maka orang Sumba pada akhirnya menerima
Injil. Hasil perjumpaan itu adalah adanya orang Sumba Marapu yang bertobat, GKS
lahir, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Sumba sebagaimana yang ada
sekarang.
Pada akhir tulisan ini, Wellem menyampaikan bahwa pejumpaan itu belum
selesai karena ia berada dalam ruang dan waktu. Wellem mengutip pandangan
Jongeneel bahwa “orang Kristen Sumba yang baru keluar dari kepercayaan Marapu
masih dalam perjalanan dari ‘kafir’ menjadi Kristen dengan menempuh jalan yang
kosmis kepada yang historis, dari yang berorientasi kepada masa lampau ke masa
depan, dari yang tertutup ke yang terbuka, dari yang statis ke yang dinamis, dari
6
yang jasmani ke yang rohani, dari yang ritual ke yang etis dan dari yang hukumiah
ke yang Injili”.

Kupang, 9 November 2021


Pengasuh,
TDT
Pdt. Dr. Yuda D. Hawu Haba, M.Th
NIDN: 0802027001
HP/WA 085 253 421 441
E-mail: [email protected]

Anda mungkin juga menyukai