Bab II-revisi

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 18

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Berdarah Dengue

1. Epidemiologi

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat,

dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di

seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15

per 100.000 penduduk pada tahun 1989 hingga 1995, dan pernah

meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk

pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga

mencapai 2% pada tahun 1999. Penularan infeksi virus dengue terjadi

melalui vektor nyamuk genus Aedes. Peningkatan kasus setiap tahun

berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat

perindukan bagi nyamuk betina (Suhendro, 2006).

2. Etiologi

Virus dengue yang merupakan penyebab DBD dibawa oleh nyamuk Aedes

sp yang termasuk kedalam famili Flaviviridae genus Flavivirus yang

berukuran sangat kecil (34-35 nm). Memiliki 4 serotipe virus dengue,

yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Pada kasus sporadik,terjadi pada

transmisi endemik dan penyakit endemik. Peningkatan penyebaran dari


10

nyamuk vektor pada tropik dan subtropik,mengakibatkan semakin luasnya

wilayah penyebaran demam dengue (Harrison,2005).

3. Pathogenesis

Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi

pertama kali mungkin memberi gejala seperti DD. Reaksi tubuh merupakan

reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda

akan tampak bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus

dengue yang berlainan. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi

anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen

antibodi (kompleks virus antibodi) yang tinggi.

Terdapatnya komplek virus-antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan

hal sebagai berikut :

1. Kompleks virus-antibodi akan mengaktivasi sistem komplemen,


berakibat dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a.C5a menyebabkan
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan
menghilangnya plasma melalui endotel dinding tersebut, suatu keadaan
yang amat berperan dalam terjadinya renjatan. Pada DSS kadar C3 dan
C5 menurun masing-masing sebanyak 33% dan 89%. Nyata pada DHF
pada masa renjatan terdapat penurunan kadar komplemen dan
dibebaskannya anafilatoksin dalam jumlah besar, walupun plasma
mengandung inaktivator ampuh terhadap anafilatoksin, C3a Dan c5a
agaknya perannya dalam proses terjadinya renjatan telah mendahului
proses inaktivasi tersebut. Anafilaktoksin C3a dan C5a tidak berdaya
untuk membebaskan histamin dan ini terbukti dengan ditemukannya
kadar histamin yang meningkat dalam air seni 24 jam pada pasien
DHF.
11

2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan


mengalami metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan
metamorfosis akan dimusnahkan oleh sistem retikuloendotel dengan
berakibat trombositopenia hebat dan perdarahan. Pada keadaan
agregasi, trombosit akan melepaskan amin vasoaktif (histamin dan
serotonin) yang bersifat meninggikan permeabilitas kapiler dan
melepaskan trombosit faktor III yang merangsang koagulasi
intravaskular.
3. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir
terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses
aktivasi ini, plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam
pembentukan anafilatoksin yang penghancuran fibrin menjadi fibrin
degradation product. Disamping itu aktivasi akan merangsang sistem
kinin yang berperan dalam proses meningginya permeabilitas
dinding pembuluh darah.
12

DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu

diantara hari ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan

hipotesis meningkatnya reaksi imunologis, yang dasarnya sebagai berikut:

1. Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit,


makrofag dan sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi
verus dengue.
2. Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun
spesifik pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk
melekatnya virus dengue pada permukaan sel fogosit mononukleus.
3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit
mononukleus yang telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan
terjadinya DHF dan DSS ialah jumlah sel yang terinfeksi.
4. Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated
intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya
mediator-mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu.
Mediator tersebut berupa monokin dan mediator lain yang
mengakibatkan aktivasi komplemen dengan efek peninggian
permeabilitas dinding pembuluh darah, serta tromboplastin yang
memungkinkan terjadinya DIC (suhendro, 2006).

4. Manifestasi Klinis

Demam dengue dan demam berdarah dengue memiliki manifestasi klinis

demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam,

limfadenopati, trombositopenia, dan diastesis hemoragik. Pada DBD

terjadi pembesaran plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi

(peningkatan hematokrit) atau penumpukkan cairan di tubuh. Sindrom

renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue

yang ditandai oleh renjatan dan syok (suhendro, 2006).


13

5. Diagnosis

Berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan penunjang maka

diagnosis dapat ditegakkan. Berikut ini adalah kriteria WHO (1997) untuk

menegakkan diagnosis DBD :

1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2 - 7 hari biasanya bifasik.

2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung

positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa;

hematemesis dan melena.

3. Trombositopenia ( jumlah trombosit <100.000/ ml ).

4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:

a. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai

umur dan jenis kelamin.

b. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

c.Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura dan asites.

6. Terapi

Demam Dengue

Medikamentosa:

Antipiretik (apabila diperlukan) : paracetamol 10 – 15 mg/kg BB/kali,

3 kali/hari. Tidak dianjurkan pemberian asam asetilsalisilat/ibuprofen

pada anak yang dicurigai DD/DBD.

Edukasi orang tua:

Anjurkan anak tirah baring selama masih demam.


14

Bila perlu, anjurkan kompres air hangat.

Perbanyak asupan cairan per oral: air putih, ASI, cairan elektrolit, jus

buah, atau sup. Tidak ada larangan konsumsi makanan tertentu.

Monitor keadaan dan suhu anak dirumah, terutama selama 2 hari saat

suhu turun. Pada fase demam, kita sulit membedakan antara DD dan

DBD, sehingga orang tua perlu waspada.

Segera bawa anak ke rumah sakit bila : anak gelisah, lemas, muntah

terus menerus, tidak sadar, tangan/kaki teraba dingin, atau timbul

perdarahan.

Demam Berdarah Dengue

Fase demam

Prinsip tatalaksana DBD fase demam sama dengan tatalaksana DD.

Antipiretik: paracetamol 10 – 15 mg/kg BB/kali, 3 kali/hari.

Perbanyak asupan cairan oral.

Monitor keadaan anak (tanda-tanda syok) terutama selama 2 hari saat

suhu turun. Monitor trombosit dan hematokrit secara berkala.

Penggantian volume plasma

Anak cenderung menjadi dehidrasi. Penggantian cairan sesuai status

dehidrasi pasien dilanjutkan dengan terapi cairan rumatan. Jenis cairan

adalah kristaloid : RL, 5% glukosa dalam RL, atau NaCl

(Suhendro,2006).
15

7. Pencegahan Demam Berdarah Dengue

Disadari bahwa penanggulangan penyakit DBD masih bertumpu pada

pengelolaan vektor dan pemutusan siklus hidupnya. Teknologi yang

dikembangkan untuk pengendalian vektor tersebut baik yang berbasis

alam, fisik-mekanik, kimia maupun masyarakat.

Beberapa alternative biologis yang telah dilakukan dalam pengendalian

vektor dengue adalah dengan mengintroduksi larva nyamuk Toxorhyncites

Sp, serta memasukkan ikan-ikan pemakan jentik seperti ikan cupang, ikan

guppy, ikan nila dan sebagainya yang merupakan predator dan musuh

alami nyamuk Aedes sp (Wijana dan Ngurah, 2008).

Pencegahan secara kimiawi seperti melakukan pengasapan (fogging) dan

penggunaan insektisida disekitar pemukiman penduduk telah lama

dilakukan sebagai salah satu upaya menurunkan populasi nyamuk Aedes

Sp (Supartha, 2008). Untuk pemakaian rumah tangga dapat digunakan

berbagai jenis insektisida yang beredar di pasaran misalnya golongan

organofosfat, karbamat atau pyrethroid. Bila menggunakan insektisida

jenis semprot, penyemprotan dilakukan sekitar 2 jam sebelum masuk

ruangan. Alternatif lainnya berupa pengguanaan anti nyamuk elektrik dan

anti nyamuk bakar yang digunakan hati-hati agar tidak mengganggu

pernafasan (Masri, 2010).

Abatisasi dengan cara menaburkan bubuk abate pada tempat-tempat

penampungan air adalah salah satu cara ampuh yang dianjurkan oleh
16

pemerintah sebagai upaya pengendalian penyebaran nyamuk Aedes Sp.

Abatisasi dapat diulang setiap 2-3 bulan sekali, walaupun beracun untuk

jentik nyamuk, namun abate tidak berbahaya bagi manusia (Wijana dan

Ngurah, 2008).

B. Aedes sp

Demam berdarah merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue dan

vektor utama demam berdarah adalah Aedes sp. Nyamuk Aedes sp badannya

berwarna hitam berbintik-bintik putih, lebih kecil dibandingkan dengan

nyamuk biasa. Nyamuk betina menggigit manusia dan nyamuk jantan hanya

tertarik pada cairan yang mengandung gula seperti bunga. Aedes sp biasanya

menggigit pada siang hari saja dan memiliki kebiasaan menggigit berulang

kali. Nyamuk ini lebih suka berkembangbiak di tempat perindukan dengan air

yang bersih dan terlindungi dari sinar matahari langsung (Sriasi G, 2000) .

Nyamuk Aedes sp terdapat pada daerah tropis dan subtropik di seluruh dunia

dalam garis lintang 35°LU dan 35°LS, dengan ketinggian wilayah kurang dari

1000 meter di atas permukaan air laut (WHO, 1997). Di Indonesia Aedes sp

tersebar luas meliputi semua provinsi yang ada. Penyebaran Aedes sp dari

pelabuhan ke desa disebabkan karena larva Aede sp terbawa melalui

transportasi yang mengangkut benda – benda berisi air hujan pengandung

larva (Ridad dkk, 1999).


17

1. Klasifikasi

Menurut Borror, dkk.(1992) klasifikasi nyamuk Aedes sp adalah sebagai

berikut, Kingdom: Animalia, filum: Arthropoda, kelas: Insecta, ordo: Diptera,

famili: Culicidae, sub famili: Culicinae, Genus: Aedes, Spesies: Aedes Sp

2. Morfologi

Karakteristik Aedes sp sebagai vektor utama DBD adalah termasuk Genus

Aedes dari Famili Culicidae. Aedes sp mempunyai dua subspesies yaitu Aedes

aegypti queenslandensis dan Aedes aegypti formosus. Subspesies pertama

hidup di Afrika sementara subspesies kedua hidup di daerah tropis yang

terkenal efektif menularkan virus DBD (Wayan, 2008).

Nyamuk Aedes sp berukuran lebih kecil dibandingkan dengan spesies

nyamuk lain. Badan, kaki dan sayapnya berwarna dasar hitam dengan bintik-

bintik putih. Jenis kelamin nyamuk Aedes sp dibedakan dengan

memperhatikan jumlah probosis. Nyamuk betina mempunyai proboscis

tunggal, sedangkan nyamuk jantan mempunyai probosis ganda (Sriasi dkk.,

2000). Nyamuk Aedes aegypti juga dikenal dari ciri morfologi yang spesifik

yaitu mempunyai gambaran menyerupai bentuk lira (lyre-form) yang putih

pada punggungnya (mesotonum).

Gambar 3. Nyamuk Aedes sp (Dinkes DKI, 2003)


18

Telur Aedes sp berwarna hitam dengan ukuran ± 0,08 mm (Ditjen PPM&PL,

1992) , mempunyai dinding yang bergaris – garis dan membentuk bangunan

menyerupai gambaran kain kasa (Ridad dkk, 2009). Sedangkan larva Aedes

sp mempunya ciri – ciri, yaitu adanya corong udara pada segmen yang

terakhir, pada segmen abdomen tidak ditemukan rambut-rambut berbentuk

kipas (Palmatus hairs), pada corong udara terdapat pectin, sepasang rambut

serta jumbai pada corong (siphon), pada setiap sisi abdomen segmen

kedelapan terdapat comb scale sebanyak 8-21 atau berjajar 1 sampai 3,

bentuk individu dari comb scale seperti duri, dan pada sisi thorax terdapat

duri yang panjang dengan bentuk kurva dan adanya sepasang rambut di

kepala.

Ada 4 tingkatan perkembangan (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan

larva yaitu Larva instar I berukuran 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada

belumjelas dan corong pernapasan pada siphon belum jelas. Larva instar II

berukuran 2,5–3,5 mm, duri–duri belum jelas, corongkepala mulai

menghitam. Larva instar III berukuran 4-5 mm, duri-duri dada mulai jelas

dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman. Larva instar IV

berukuran 5-6 mm dengan warna kepala gelap. Pupa Aedes sp berbentuk

seperti koma, berukuran besar namun lebih ramping dibandingkan dengan

pupa spesies nyamuk lain.


19

Gambar 4. Larva Aedes sp (Department Medical Entomology ICPMR,

2002)

3. Siklus Hidup

Siklus hidup Daur hidup nyamuk Aedes sp melalui metamorfosis sempurna

yaitu dimulai dari telur - larva - pupa- dewasa. Nyamuk betina meletakkan

telur di atas permukaan air dalam keadaan menempel pada dinding tempat

perindukannya. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata sebanyak

100 butir telur tiap kali bertelur (Sriasi dkk, 2000). Telur akan menetas dalam

waktu 1 sampai 3 hari pada suhu 30 °C, sementara pada suhu 16 °C telur akan

menetas dalam waktu 7 hari. Telur dapat bertahan lama tanpa media air

dengan syarat tempat tersebut lembab. Telur dapat bertahan sampai berbulan-

bulan pada suhu -2 °C sampai 42 °C (Upik dan Susi, 2000).

Stadium larva berlangsung selama 6-8 hari. Stadium larva terbagi menjadi

empat tingkatan perkembangan atau instar. Instar I terjadi setelah 1-2 hari

telur menetas, instar II terjadi setelah 2-3 hari telur menetas, instar III terjadi

setelah 3-4 hari telur menetas dan instar IV terjadi setelah 4-6 hari telur

menetas. Stadium pupa terjadi setelah 6-7 hari telur menetas. Stadium pupa
20

berlangsung selama 2-3 hari. Stadium dewasa terjadi setelah 9-10 hari telur

menetas tetapi dapat menularkan virus yang masa inkubasinya antara 3 – 10

hari ( Soedarto,1992).

Gambar 5.Daur hidup nyamuk Aedes Sp ( North Dakota State


University,1991)

4. Tempat Perkembangbiakan

Menurut Nusa dalam Depkes RI (2007), tempat perkembangbiakan nyamuk

Aedes Sp dapat dikelompokan menjadi 3 jenis, yaitu:

a. Tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat menampung air guna

keperluan sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC dan

ember.

b. Bukan tempat penampungan air (non TPA) yaitu tempat-tempat yang

biasa digunakan untuk menampung air tetapi bukan untuk keperluan

sehari-hari seperti tempat minum hewan piaraan, kaleng bekas, ban bekas,

botol, pecahan gelas, vas bunga dan perangkap semut.

c. Tempat penampungan air alami (TPA alami) seperti lubang pohon, lubang

batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang

dan potongan bambu.


21

5. Variasi Musiman

Populasi nyamuk Aedes sp mengalami peningkatan pada musim hujan. Hal ini

disebabkan pada musim hujan banyak tempat penampungan air alami yang

terisi air dan dapat digunakan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk

Aedes sp. Peningkatan populasi nyamuk Aedes sp pada musim hujan juga

disebabkan oleh menetasnya telur-telur nyamuk Aedes sp, yang pada musim

kemarau sebelumnya belum sempat menetas dan bertahan dalam tempat

perkembangbiakan. Bertambahnya populasi nyamuk Aedes sp merupakan

salah-satu faktor yang menyebabkan peningkatan kejadian demam berdarah

dengue pada periode musim hujan (Ditjen PPM&PL, 1992).

6. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Vektor

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor adalah faktor

abiotik dan biotik. Menurut Barrera dkk. (2006) faktor abiotik seperti curah

hujan, temperatur, dan evaporasi dapat mempengaruhi kegagalan telur, larva

dan pupa nyamuk menjadi imago. Demikian juga faktor biotik seperti

predator, parasit, kompetitor dan makanan yang berinteraksi dalam kontener

sebagai habitat akuatiknya pradewasa juga sangat berpengaruh terhadap

keberhasilannya menjadi imago. Keberhasilan itu juga ditentukan oleh

kandungan air kontainer seperti bahan organik, komunitas mikroba, dan

serangga air yang ada dalam kontainer itu juga berpengaruh terhadap siklus

hidup Aedes sp. Selain itu bentuk, ukuran dan letak kontener (ada atau
22

tidaknya penaung dari kanopi pohon atau terbuka kena sinar mata hari

langsung) juga mempengaruhi kualitas hidup nyamuk.

Faktor curah hujan mempunyai pengaruh nyata terhadap flukstuasi populasi

Aedes sp. Suhu juga berpegaruh terhadap aktifitas makan, dan laju

perkembangan telur menjadi larva, larva menjadi pupa dan pupa menjadi

imago (Wu dan Chang, 1993). Faktor suhu dan curah hujan berhubungan

dengan evaporasi dan suhu mikro di dalam kontainer. Di Indonesia, faktor

curah hujan itu mempunyai hubungan erat dengan laju peningkatan populasi.

Pada musim kemarau banyak barang bekas seperti kaleng, gelas plastik, ban

bekas, keler plastik, dan sejenisnya yang dibuang atau ditaruh tidak teratur di

sebarang tempat. Sasaran pembuangan atau penaruhan barang-barang bekas

tersebut biasanya di tempat terbuka seperti lahan-lahan kosong atau lahan

tidur yang ada di daerah perkotaan maupun di daerah perdesaan. Ketika cuaca

berubah dari musim kemarau ke musim hujan sebagian besar permukaan dan

barang bekas itu menjadi sarana penampung air hujan. Bila di antara tempat

atau barang bekas itu berisi telur hibernasi maka dalam waktu singkat akan

menetas menjadi larva Aedes sp yang dalam waktu (9-12 hari) menjadi imago.

C. Temephos

1. Definisi

Temephos telah direkomendasikan penggunaannya oleh WHO sejak tahun

1970 untuk pengendalian larva nyamuk Aedes sp. dan aman bila

digunakan pada air minum. Pemberian temephos pada tempat

penyimpanan air merupakan salah satu cara yang penting untuk


23

pengendalian spesies nyamuk Aedes sp. di tempat perindukan nyamuk

tersebut .

Temephos adalah larvasida golongan organofosfat turunan fenil dan

sekarang telah dipergunakan secara meluas terutama untuk nyamuk Aedes

sp . Insektisida organofosfat dapat berinteraksi dengan gugus serin yang

merupakan bagian fungsional dari sisi aktif enzim asetilkolinesterase.

Atom P akan berikatan dengan atom O gugus serin, melalui reaksi

fosforilasi, membentuk ikatan kovalen, sehingga fungsi enzim menjadi

terganggu. Hambatan tersebut mempengaruhi proses katalitik asam amino,

sehingga terjadi penumpukan asetilkholin yang bersifat toksik terhadap

serangga.

Temephos merupakan racun serangga yang paling aman terhadap manusia

dan binatang berdarah panas lainnya, tetapi sangat efektif terhadap larva

nyamuk penular penyakit. Dalam takaran pemakaian seperti yang

dianjurkan untuk larva nyamuk Aedes sp yaitu 0,1 g/L, temephos tidak

merubah bau, warna dan rasa, sehingga airnya dapat dipergunakan sebagai

air minum (Departemen Kesehatan RI, 1999).

2. Sifat Fisk dan Kimia

Temephos memiliki ciri-ciri dengan tampilan seperti kristal tidak berwarna

dan berwarna kecolatan dalam larutan. Titik leleh dari temephos adalah

30-30,5o C. temephos memiliki kelarutan dalam air sebesar 0,003/100ml


24

dan memiliki massa molekul 466,5 g / mol. Serta memiliki rumus molekul

C16H20O6P2S3 (Meister dkk, 1984).

Gambar 6. Stuktur Molekul Temephos (Meister dkk, 1984).

3. Cara Kerja

Temephos merupakan insektisida organofosfat. Senyawa organofosfat

mempengaruhi sistem syaraf dan mempunyai cara kerja mengurangi

fungsi enzim asetilkolinesterase. Pada semua system syaraf hewan

vertebrata dan serangga terdapat pusat penghubung elektrik atau sinaps di

mana sinyal akan dialirkan tempat ini ke otot atau serabut syaraf (neuron)

oleh senyawa kimia yang disebut asetilkolin (Ach). Asetilkolin bertindak

sebagai pembawa sinyal dan jika sudah tidak ada lagi sinyal yang akan

dibawa maka enzim asetilkolinesterase akan memberikan pengaruh pada

Ach (Meister dkk, 1984).

4. Toksisitas

a. Akut

 Kulit: LD50 (24 hr) = 1300-1930 mg/kg (kelinci); >4000 mg/kg

(tikus)
25

 Oral: LD50 = 8600 mg/kg (tikus jantan); 13000 mg/kg (tikus

betina)

 Inhalation: gangguan inhalasi akut (tikus), >25 mg/m3

b. Subakut dan kronik

Dalam percobaan dengan tikus selama 2 tahun, pemberian 300 mg/kg

tidak menunjukkan efek klinis. Tidak juga ditemukan efek klinis bermakna

terhadap hewan lain maupun manusia (Meister dkk, 1984).

5. Dosis

a. Dosis Diagnostik

Dosis diagnostik adalah konsentrasi yang digunakan untuk

membedakan serangga yang memiliki respon kematian terhadap

temephos dengan serangga yang dapat bertahan hidup terhadap

paparan temephos (resisten). Dosis diagnostik temephos terhadap

Aedes sp adalah 0,012 mg/L (WHO, 1992).

b. Dosis Operasional

Dalam program pemberantasan Jentik Aedes formulasi temephos

(abate) yang digunakan ialah granules (sand granules), dosis yang

digunakan 1 ppm atau 10 gram untuk tiap 100 liter air (1 g/L) yang

ekuivalen dengan konsentrasi temephos sebesar 1 mg/L (Depkes,

1999).
26

D. Stratifikasi Daerah Rawan Berdasarkan Besarnya Masalah Penyakit

DBD

Stratifikasi daerah rawan berdasarkan besarnya masalah penyakit DBD

adalah :

a. Kelurahan endemis yaitu kelurahan yang dalam tiga tahun terakhir

setiap tahun terjangkit demam berdarah dengue.

b. Kelurahan sporadis yaitu kelurahan yang dalam tiga tahun terakhir

terjangkit demam berdarah dengue tetapi tidak setiap tahun.

c. Kelurahan Potensial adalah kelurahan yang dalam tiga tahu terkhir

tidak pernah terjangkit demam berdarah, tetapi penduduknya padat,

mempunyai hubungan tranportasi yang ramai dengan wilayah lain dan

persentase rumah yang ditemukan jentik lebih dari 5% (Fitriani dan

Soejadadi, 2009).

Anda mungkin juga menyukai