Lapsus Bedah Diges Ileus Obs
Lapsus Bedah Diges Ileus Obs
Lapsus Bedah Diges Ileus Obs
Ileus Obstruktif
Oleh :
Pembimbing :
dr. Tedjo A, Sp.B,SBD
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik dan hidayat-Nya, sholawat serta salam penyusun junjungkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran sehingga dalam
penyelesaian tugas ini penyusun dapat memilah antara yang baik dan yang buruk. Penyusun
mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan
dalam menempuh pendidikan ini. Tak lupa penyusun ucapkan terimakasih kepada semua
pihak sehingga dalam penyusunan laporan kasus ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penyusun menyadari dalam laporan kasus ini belum sempurna secara keseluruhan oleh karena
itu dengan tangan terbuka menerima masukan-masukan yang membangun sehingga dapat
membantu dalam penyempurnaan dan pengembangan penyelesaian laporan kasus selanjutnya.
Demikian pengantar penyusun, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua,
Aamiin.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1
1.3 Tujuan...........................................................................................................................2
1.4 Manfaat.........................................................................................................................2
2.2 Anamnesis....................................................................................................................3
2.5 Assessment...................................................................................................................9
2.6 Planning........................................................................................................................9
3.1 Definisi.......................................................................................................................20
3.2 Epidemiologi..............................................................................................................20
3.3 Etiologi.......................................................................................................................21
3.4 Patofisiologi...............................................................................................................25
BAB IV PEMBAHASAN.........................................................................................................37
ii
4.1 Penegakan Diagnosis..................................................................................................37
4.2 Terapi.........................................................................................................................38
BAB V PENUTUP...................................................................................................................41
5.1 Kesimpulan.................................................................................................................41
5.2 Saran...........................................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................42
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ileus merupakan gangguan pasase usus yang mencegah perjalanan isi usus ke
depan, sehingga menyebabkan akumulasi di proksimal dari lokasi penyumbatan (Vilz
TO, 2017). Ileus dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ileus obstruktif dan ileus
paralitik. Ileus obstruktif merupakan pasase usus yang terganggu akibat sumbatan
mekanik. Sedangkan ileus paralitik merupakan peristiwa peristaltik usus yang terhenti
akibat adanya peradangan ataupun terjepitnya saraf sehingga menyebabkan saraf
mengalami kelumpuhan (Sjamsuhidajat, 2017).
Prevalensi ileus obstruktif pada tahun 2011 mencapai 16% dari seluruh
populasi dunia. Di amerika serikat, angka kejadian ileus obstruktif sekitar 0,13%.
Sedangkan di Nepal pada tahun 2007 sebesar 1053 kasus (5,32%). Indonesia sendiri
pernah tercatat sebanyak 7.059 kasus ileus paralitik dan ileus obstruktif tanpa hernia
yang dirawat inap, dan sebanyak 7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004. Di India
obstruksi usus akut didiagnosis sebanyak 9,87% dan terlihat mempengaruhi sebagian
besar laki-laki (276 pasien, 75,20%) dibandingkan perempuan (91 pasien, 24,79%).
Kelompok usia yang paling umum terkena adalah 20-60 tahun (Sari, 2019).
Ileus obstruktif biasanya sering ditemukan pada usus halus maupun usus besar.
Penyebab terjadinya pada usus halus antara lain hernia inkarserata 15%, adhesi atau
perlekatan usus 65%, sedangkan penyebab terjadinya penyumbatan pada usus besar
adalah tumor atau kanker 70%, perlengketan berulang 10%, dan hernia 2,5% (Vilz
TO, 2017). Etiologi maligna harus menjadi kesan pertama seseorang pada obstruksi
usus besar. Penyebab obstruksi kolon yang paling sering ialah karsinoma terutama
pada daerah rektosigmoid dan kolon kiri distal. Tanda obstruksi usus merupakan tanda
lanjut (late sign) dari karsinoma kolon (Sinicrope, 2003)
Gejala yang dapat ditimbulkan pada ileus obstruktif yaitu nyeri perut, mual,
muntah, konstipasi, obstipasi, dan distensi abdomen (Smith, 2022). Penyakit ini
menjadi salah satu bentuk kelainan pada traktus digestivus dan menjadi kegawatan
dalam bedah abdominalis yang sering dijumpai akibat keadaan umum yang memburuk
dalam waktu singkat. Ileus obtruktif menempati 20% dari seluruh kasus pembedahan
darutat. Bila pembedahan dilakukan dalam 24-48 jam, maka dapat menurunkan angka
kematian hingga kurang dari 10% (Behman, 2018). Keterlambatan pembedahan dapat
menyebabkan berbagai komplikasi, seperti iskemia, perforasi serta gangguan
1
hemodinamika dan elektrolit, hingga menyebabkan kematian (Indrayani, 2017).
Berdasarkan data diatas, maka pengetahuan mengenai ileus obstruktif harus dipahami
dengan benar agar dapat menentukan penanganan dengan sesegera mungkin.
1.3 Tujuan
Laporan kasus ini bertujuan untuk memperdalam keilmuan mengenai definisi, etiologi,
patofisiologi, penegakan diagnosis, serta penatalaksanaan ileus obstruktif.
1.4 Manfaat
Menambah wawasan mengenai penyakit ileus obstruktif pada sebagai proses
pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian
ilmu bedah.
Sebagai bekal klinisi agar mampu menegakan diagnosis dan memberi terapi serta
edukasi pada keluarga terkait Ileus Obstruktif.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Perut Membesar
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Ny. M datang ke IGD RSUD Kanjuruhan tanggal 13 Juni 2024 pukul
10.20 dengan keluhan perut membesar sejak 1 minggu SMRS, nyeri perut dan
kembung. Pasien juga mengeluh muntah kehitaman disertai BAB kehitaman seperti
kerikil sejak 1mgg SMRS, BAB terakhir 11 juni 2024 malam, kentut terakhir pagi
hari pemeriksaan. Pasien juga mengeluh mual, muntah 3x sehari, nafsu makan
menurun. Pasien telah MRS di Wava Kesamben selama seminggu dengan keluhan
yang sama dan KRS 12 Juni 2024.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Keluhan yang sama : (-)
- Hipertensi : (-)
- Diabetes Mellitus : (-)
- Penyakit Jantung : (-)
- CVA : (-)
Riwayat Penyakit Keluarga (Ayah dan Ibu)
- Keluhan yang sama : (-)
- Hipertensi : (-)
- Diabetes Mellitus : (-)
- Penyakit Jantung : (-)
3
Riwayat Pekerjaan
Pasien merupakan IRT, sehari-hari banyak menghabiskan waktu dengan duduk.
Riwayat Kebiasaan
Nutrisi
Makan 3x sehari dengan nasi, lauk, sayur, dan buah. Namun sejak 1 minggu
SMRS pasien hanya makan bubur, roti dan susu karena mual, muntah, dan
mengaku mengalami penurunan nafsu makan.
Rokok : (-)
Alkohol : (-)
Olahraga : (-)
Kopi : (-)
Jamu : (-)
Riwayat Alergi :
Pasien tidak ada riwayat alergi obat maupun makanan.
Riwayat Sosial-Ekonomi : Ekonomi cukup
Riwayat Pengobatan : Obat stroke tapi tidak dibawa
4
Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-), cowong (-/-),
pupil isokor diameter 3 mm, reflek cahaya (+/+), eksoftalmus (-/-)
Hidung
Nafas cuping hidung (-), secret (-/-), epistaksis (-/-), deformitas (-/-)
Mulut
Bibir pucat (+), bibir kering (-), lidah kotor (+), tremor (-), gusi
berdarah (-), sariawan (-), lidah terasa pahit (-), mukosa kering (-)
Telinga
Posisi dan bentuk normal, deformitas (-), nyeri tekan mastoid (-/-),
secret (-/-), pendengaran dalam batas normal
Tenggorokan
Hiperemi (-), tonsil membesar (-/-)
Toraks : bentuk simetris, retraksi supraklavikula intercostal subkostal (-)
1) Cor
I : tidak terlihat iktus kordis
P : iktus cordis tidak teraba
P:
Batas kiri atas : ICS II para sternal line sinistra
Batas kanan atas : ICS II para sternal line dekstra
Batas kiri bawah : ICS V midclavicular line sinistra
Batas kanan bawah : ICS IV para sternal linea dekstra
A : BJ I-II tunggal, regular, bising (-)
2) Pulmo
I : pengembangan dada simetris , benjolan (-), luka (-)
P : nyeri tekan (-), krepitasi (-)
P:
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Abdomen
I : distended
5
A : bising usus (-)
P : nyeri tekan - + -
- + -
- - -
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium 139 mmol/L 136 – 145
Kalium 3.5 mmol/L 3.5 – 5.0
Clorida 105 mmol/L 98 – 106
GDS 143 mg/dL <200
SGOT 54 U/L 0 – 32
SGPT 81 U/L 1 - 33
Ureum 67 mg/dL 19 - 49
Kreatinin 0.92 mg/dL <1.2
6
HEMOSTASIS
PT 11 Detik 9.4 – 11.3
INR 1.02 2 – 3.5
APTT 23.9 Detik 24.6 – 30.6
IMUNOSEROLOGI
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif
Jantung membesar
Paru : bronchovascular pattern meningkat
Tak tampak infiltrate/nodul
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Hemidiafragma kanan kiri Domeshape
Tulang-tulang intak
Tampak radio opak lapang paru bawah dextra
Kes.
Foto thorax susp. pneumonia
- Hasil Foto BOF LLD 5 Juli
2024
7
- Hasil Foto BOF AP 12 Juli 2024
8
Kesimpulan :
- Dilatasi intestine dengan retensi cairan di dalamnya dan gerakan peristaltik yang
menurun susp. Ileus obstruktif menujub fase ileus paralitik
- Sludge GB
- Ascites
2.5 Assessment
- Diagnosis Banding :
a. Ileus obstruktif letak tinggi
b. Ileus Paralitik
c. Susp. Peritonitis
- Diagnosis Kerja : Ileus obstruktif menuju fase ileus paralitik
2.6 Planning
a. Planning Diagnosis
Pemeriksaan barium enema untuk mencari penyebab ileus obstruktif.
Foto BOF 3 Posisi
USG ulang Abdomen Cito
b. Planning Terapi
- IVFD RL 20 tpm
- NGT Decompresi (Warna Kecoklatan)
- NC 3lpm
9
- Inj. Omeprazole 40 mg
- Inj. Asam tranexamat 1gr
- DC (UOP = 500cc)
- Konsul Sp.B / Sp.BKBD
c. Planning Monitoring
Vital sign, keadaan umum, keseimbangan cairan dan elektrolit, urine output.
d. Planning Edukasi
- Penjelasan tentang penyakit, terapi, prognosa penyakit pasien. Edukasi
mengenai penyakit pasien, bahaya, dan juga tindakan yang harus diambil yaitu
operasi untuk laparatomi eksplorasi.
10
2.7 FOLLOW UP
Tanggal S O A P
13/7/2024 -Lemas KU : Lemah -Post -IVFD NS 20tpm
Di ICU -Sesak Kesadaran : Laparotomy -Inj. Cefoperazone
Compos mentis + HF 1x2gram
GCS : 456 -Inj. Metronidazole
TTV 3x120mg
TD : 94/51 -Inj. Lansoprazole
N : 116 1x30mg
T : 36,8 -Inj. Ondansetron
RR : 18 3x4mg
Spo2 : 98% -Inj. Asam
Vas Score : 3-4 Tranexamat 3x1
-Ramipril 0-0-2.5mg
Edema -Digoxin 1x0,25mg
ekstermitas non -Spironolacton 0-25-
pitting bilateral 0
20
RR : 14 3x4mg
Spo2 : 98% -Inj. Asam
Vas Score : 5-6 Tranexamat 3x1
-Ramipril 0-0-2.5mg
Edema -Digoxin 1x0,25mg
ekstermitas non -Spironolacton 0-25-
pitting bilateral 0
21
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Ileus merupakan gangguan atau hambatan pasase isi usus yang dapat
disebabkan oleh obstruksi lumen usus (ileus obstruktif/ obstruksi usus mekanik)
atau oleh gangguan peristaltik (ileus paralitik). Ileus obstruktif adalah kerusakan
atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh gangguan atau sumbatan
mekanik (ileus mekanik) sehingga isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke
distal atau anus karena ada sumbatan/hambatan yang disebabkan kelainan dalam
lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan segmen usus. Obstruksi usus
mekanik apabila disebabkan oleh strangulasi, invaginasi, atau sumbatan di dalam
lumen usus (Sjamsuhidajat, 2017).
a. Berdasarkan sifat sumbatan, obstruksi usus dibedakan menjadi :
Obstruksi sederhana : obstruksi yang tidak disertai terjepitnya pembuluh
darah.
Obsruksi strangulasi : terjadi obstruksi yang disertai terjepitnya pembuluh
darah sehingga terjadi iskemia yang akan menyebabkan nekrosis dan
gangren,
b. Berdasarkan letak sumbatan, obstruksi dibagi menjadi :
Letak tinggi (Small Bowel Obstruction/SBO) : bila mengenai usus halus (dari
gaster sampai ileum terminal), merupakan obstruksi saluran cerna letak
tinggi, biasanya disertai dengan pengeluaran banyak cairan dan elektrolit.
Keadaan umum akan memburuk dalam waktu relatif singkat.
Letak rendah (Large Bowel Obstruction/LBO) : bila mengenai usus besar
(dari ileum terminal sampai anus).
3.2 Epidemiologi
Obstruksi usus merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas yang
menyebabkan hampir 30.000 kematian dan peningkatan biaya medis per tahun.
Pada 90% kasus, obstruksi usus halus disebabkan oleh perlengketan/ adhesi, hernia,
dan neoplasma. Obstruksi usus halus akibat adhesi mewakili 55-75% dari seluruh
kasus obstruksi usus halus. Sementara hernia dan tumor usus halus menyumbang
sisanya. Obstruksi usus besar yang dipicu oleh kanker bertanggung jawab pada
sekitar 60% kasus, volvulus dan penyakit divertikular bertanggung jawab atas 30%
20
lainnya. Berbagai penyebab lain (karsinomatosis, endometriosis, stenosis penyakit
radang usus, dll.) menyebabkan 10-15% obstruksi usus yang tersisa (Catena et al.,
2019).
Insiden ileus sangat bervariasi, beberapa penelitian menunjukkan sekitar 10-
20% kemungkinan terjadinya ileus akibat prosedur operasi. Operasi perut bagian
bawah, terutama dengan sayatan terbuka yang besar dan peningkatan manipulasi
usus, dikaitkan dengan risiko ileus yang lebih tinggi. Sebaliknya, operasi
laparoskopi dengan manipulasi usus minimal, seperti pada kolesistektomi,
memberikan risiko yang lebih rendah. Ileus mekanik yang memerlukan
pembedahan merupakan komplikasi umum setelah pembedahan sebelumnya
dengan kejadian setelah kolektomi sekitar 11%. Obstruksi usus halus dan usus
besar memiliki insiden yang sama pada pria dan wanita. Faktor utama yang
mempengaruhi insiden dan distribusi tergantung pada faktor risiko pasien, termasuk
adanya riwayat operasi perut sebelumnya, kanker usus besar atau metastasis,
penyakit radang usus kronis, hernia inguinalis, paparan radiasi sebelumnya, dan
benda asing. Obstruksi kolon sering terjadi pada usia lanjut karena tingginya
insiden neoplasma dan penyakit lainnya pada populasi ini (Beach & De Jesus,
2022).
3.3 Etiologi
Beberapa faktor risiko telah terbukti meningkatkan kemungkinan terjadinya
ileus, dimana masing-masing mempengaruhi sebagian kecil dari sistem neuroimun
yang kompleks. Faktor-faktor ini termasuk agen farmakologis seperti opioid,
antihipertensi, dan antiemetik, serta kondisi medis seperti pneumonia, stroke, dan
kelainan elektrolit (Beach & De Jesus, 2022).
21
(sepsis/peritonitis)
Karsinoma peritoneal
Komplikasi perioperatif (pneumonia,
abses)
Perdarahan (intraoperatif atau
postoperatif)
Hipokalemia
Terdapat berbagai etiologi obstruksi usus halus (SBO) dan besar (LBO) yang
diklasifikasikan sebagai ekstrinsik, intrinsik, atau intraluminal. Penyebab paling
umum dari SBO adalah dari sumber ekstrinsik, yakni adhesi pasca-bedah menjadi
penyebab yang paling umum, sekitar dua pertiga pasien dengan operasi perut
sebelumnya mengalami adhesi. Sumber ekstrinsik lainnya adalah neoplasma, yang
menyebabkan kompresi usus sehingga menyebabkan obstruksi. Penyebab ekstrinsik
yang kurang umum adalah hernia inguinalis dan umbilikalis. Penyebab lain SBO
dari sumber intrinsik, yang dapat menyebabkan penebalan dinding usus dan
membentuk striktur. Penyakit Crohn adalah penyebab paling umum dari striktur
jinak yang terlihat pada populasi orang dewasa. Penyebab intraluminal SBO kurang
umum terjadi. Proses ini terjadi ketika ada benda asing yang tertelan yang
menyebabkan impaksi di dalam lumen usus atau mengarah ke katup ileocecal dan
membentuk penghalang menuju usus besar. Namun, sebagian besar benda asing
yang telah melewati sfingter pilorus dapat melewati sisa saluran pencernaan. LBO
kurang umum dan insidennya hanya sekitar 10-15% dari semua obstruksi usus.
Penyebab paling umum dari semua LBO adalah adenokarsinoma, diikuti oleh
divertikulitis dan volvulus. Obstruksi kolon paling sering terlihat pada kolon
sigmoid (Catena et al., 2019).
Tabel 2. Penyebab obstruksi usus pada pasien dewasa (Catena et al., 2019).
Penyebab SBO Persentase (%) Penyebab LBO Persentase (%)
Adhesi 55-75 Kanker 60
Hernia 15-25 Volvulus 15-20
Keganasan 5-10 Divertikular 10
Lainnya* 15 Lainnya* 10
*karsinoma, endometriosis, penyakit radang usus stenosis, intususepsi, stenosis
22
iskemik, stenosis raiasi, batu empedu, benda asing.
Obstruksi dapat terjadi kapan saja setelah operasi perut, tetapi interval rata-rata
antara operasi dengan perkembangan obstruksi adhesif yang dilaporkan dalam satu
penelitian adalah 6 tahun. Hernia adalah penyebab utama obstruksi setelah adhesi.
Neoplasma menyebabkan obstruksi usus halus serta usus besar. Etiologi maligna
harus menjadi kecurigaan pertama pada obstruksi usus besar. Obstruksi dapat
disebabkan oleh tumor primer atau kanker metastatik, termasuk metastasis ke
mesenterium, serosa usus, atau karsinomatosis peritoneal. Pada pasien kanker,
penyebab paling umum termasuk penggunaan opioid, ketidakseimbangan elektrolit,
agen kemoterapi tertentu (seperti vincristine), dan gangguan metabolisme (Catena
et al., 2019).
23
3.4 Patofisiologi
Mekanisme yang tepat dan penyebab ileus tidak sepenuhnya dipahami karena
kompleksitas dan banyak sistem dan faktor yang terlibat. Ileus adalah interaksi
neuroimun yang terdiri dari dua fase, yakni fase neurogenik awal dan fase
inflamasi. Interaksi ini diatur oleh komunikasi dua arah antara sistem saraf otonom
(termasuk aferen, eferen, dan sistem saraf enterik) dan sistem kekebalan baik di luar
maupun di dalam saluran pencernaan (sel mast, makrofag). Makrofag yang berada
di tunika muskularis di luar dinding usus melepaskan sitokin yang menginduksi
aktivasi sel pro-inflamasi lebih lanjut, sitokin antiperistaltik lainnya (termasuk
interleukin-6 dan TNF-alpha), bersama dengan neuropeptida dan oksida nitrat.
Secara keseluruhan interaksi ini dimulai dengan manipulasi usus. Stres pembedahan
dan manipulasi usus menyebabkan aktivasi respon inflamasi molekuler lokal,
pelepasan hormon, dan neurotransmiter yang menghasilkan aktivitas simpatis
penghambatan berkelanjutan dan penekanan aparatus neuromuscular (Schwartz et
al., 2006).
Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas
akibat peningkatan tekanan intralumen,yang menurunkan pengaliran air dan
natrium dari lumen ke aliaran darah. Muntah dan penyedotan usus setelah
pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolit.
Pengaruh atas kehilangan ini adalah penyempitan ruang cairan ekstrasel yang
mengakibatkan syok dan hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi
jaringan dan asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus
mengakibatkan penurunan absorpsi cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam
usus. Efek lokal peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan
permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam
rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik menyebabkan bakteriemia (Schwartz et
al., 2006).
24
Setelah timbulnya ileus obstruktif sederhana, distensi timbul di proksimal dan
menyebabkan reflex muntah. Setelah mereda, peristaltik melawan obstruksi timbul
dalam usaha mendorong isi usus melewatinya yang menyebabkan nyeri episodic
atau kram dengan periode tanpa nyeri di antara episode. Gelombang peristaltik
yang lebih sering, timbul setiap 3 sampai 5 menit di dalam jejunum dan setiap 10
menit di didalam ileum. Aktivitas peristaltik mendorong udara dan cairan melalui
gelung usus, yang menyebabkan gambaran auskultasi yang khas terdengar pada
ileus obstruktif. Pada obstruksi lanjut, aktivitas peristaltik menjadi lebih jarang dan
akhirnya tidak ada. Jika ileus obstruktif berlangsung kontinu dan tidak diterapi,
maka kemudian timbul muntah tergantung atas tingkat obstruksi (Price et al.,
2005).
Ileus obstruktif usus halus menyebabkan muntah lebih dini dengan distensi
usus relatif sedikit, disertai kehilangan air, natrium, klorida dan kalium, kehilangan
asam lambung dengan konsentrasi ion hidrogennya yang tinggi menyebabkan
alkalosis metabolik. Berbeda pada ileus obstruktif usus besar, muntah bisa muncul
lebih lambat (jika ada), biasanya kehilangan isotonik dengan plasma. Kehilangan
cairan ekstrasel tersebut menyebabkan penurunan volume intravascular,
hemokonsentrasi dan oliguria atau anuria. Jika terapi tidak diberikan dalam
perjalanan klinis, maka dapat timbul azotemia, penurunan curah jantung,hipotensi
dan syok (Robbins, 2007).
Pada ileus obstruktif strangulata yang melibatkan terancamnya sirkulasi pada
usus mencakup volvulus, pita lekat, hernia dan distensi. Disamping cairandan gas
yang mendistensi lumen dalam ileus obstruksi sederhana, dengan strangulasi ada
juga gerakan darah dan plasma ke dalam lumen dan dinding usus. Plasma bisa juga
dieksudasi dari sisi serosa dinding usus ke dalam cavitas peritonealis. Mukosa usus
yang normalnya bertindak sebagai sawar bagi penyerapan bakteri dan produk
toksiknya, merupakan bagian dinding usus yang paling sensitif terhadap perubahan
dalam aliran darah. Dengan strangulasi memanjang timbul iskemi dan sawar rusak.
Bakteri (bersama dengan endotoksin dan eksotoksin) bisa masuk melalui dinding
usus ke dalam cavitas peritonealis. Disamping itu, kehilangan darah dan plasma
maupun air ke dalam lumen usus cepat menimbulkan syok. Jika kejadian ini tidak
dinilai dini, maka dapat cepat menyebabkan kematian. (Robbins, 2007).
25
3.5 Manifestasi Klinis
Anamnesis yang rinci merupakan kunci dalam menentukan lokasi obstruksi.
Penting untuk memastikan durasi gejala untuk membedakan kondisi akut dan
kronis. Riwayat operasi perut sebelumnya, episode obstruksi sebelumnya, penyakit
radang usus, herniasi di dinding perut atau sayatan sebelumnya, radiasi perut atau
panggul sebelumnya, atau kanker sebelumnya memberikan petunjuk penting
tentang penyebab obstruksi. Tinjauan pengobatan mencakup riwayat narkotika
penting dalam menemukan penyebab yang mendasari ileus. Pasien yang datang
dengan nyeri perut, muntah, distensi abdomen, dan obstipasi, dapat
dipertimbangkan sebagai obstruksi usus. Pasien biasanya datang dengan distensi
abdomen dan kembung, yang seringkali dengan onset lambat dibandingkan dengan
onset tiba-tiba. Nyeri biasanya menyebar, persisten tanpa tanda peritoneum. Tanda
dan gejala umum lainnya termasuk mual dan muntah, serta keterlambatan atau
ketidakmampuan untuk mengeluarkan flatus, dan ketidakmampuan untuk
mentoleransi diet oral. Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya distensi
dan timpani dengan nyeri tekan difus ringan (Schwartz et al., 2006; Price & Wilson,
2005).
Gambaran klinis ileus obstruksi tergantung pada lokasi usus yang terlibat.
Obstruksi proksimal (saluran lambung, duodenum) berhubungan dengan muntah
yang persisten dan berlebihan, nyeri perut ringan, dan distensi abdomen minimal.
Obstruksi distal berhubungan dengan muntah yang berbau tidak sedap, distensi
abdomen yang signifikan, dan nyeri. Muntah jarang terjadi pada obstruksi kolon,
tetapi rasa sakit dan distensi dapat ditemukan. Diameter sekal 13 cm memiliki
risiko perforasi, terutama ketika obstruksi relatif akut. Nyeri yang terus menerus,
lokal, dan intens menunjukkan kemungkinan obstruksi strangulasi. Terdapat 4
tanda kardinal gejala ileus obstruktif, mencakup nyeri abdomen, muntah, distensi
dan kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi) (Schwartz et al., 2006; Price &
Wilson, 2005).
Obstruksi usus halus dan besar memiliki banyak gejala yang tumpang tindih.
Namun kualitas, waktu, dan presentasi yang berbeda. Umumnya pada SBO, nyeri
perut digambarkan sebagai intermiten dan kolik tetapi membaik dengan muntah,
sedangkan nyeri yang terkait dengan LBO biasanya berlanjut. Muntah pada SBO
cenderung lebih sering dan dalam volume yang lebih besar dan berisi cairan jernih
hijau atau kuning, berbeda dengan muntah pada LBO yang biasanya muncul
26
lambat, intermiten dan berbau busuk (feculent). Nyeri tekan saat palpasi terdapat
pada kedua kondisi, tetapi SBO lebih fokal dan LBO lebih difus. Selain itu, distensi
pada LBO dengan obstipasi lebih sering terjadi. Penting untuk dicatat bahwa dalam
situasi tertentu, LBO akan menyerupai SBO jika katup ileocecal tidak kompeten.
Katup ileocecal yang tidak kompeten dapat memungkinkan masuknya udara dari
usus besar ke usus halus yang menghasilkan gejala SBO (Schwartz et al., 2006;
Price & Wilson, 2005).
Inspeksi perut dapat ditemukan adanya distensi, bekas luka bedah sebelumnya,
atau massa. Dinding usus halus kuat dan tebal karena terdiri atas dua lapis otot,
yang sirkuler dan longitudinal. Oleh karena itu. tidak akan terjadi distensi
berlebihan atau ruptur. Sebaliknya, dinding usus besar tipis, dan hanya terdiri dari
otot sirkularis sehingga mudah mengalami distensi. Dinding sekum merupakan
bagian kolon yang paling tipis. Oleh karena itu, dapat terjadi ruptur bila terlalu
teregang. Derajat distensi bervariasi tergantung pada tingkat obstruksi. Palpasi
abdomen dilakukan untuk menemukan area yang mengalami nyeri tekan, rebound
guarding, atau rigiditas, yang menunjukkan hernia strangulata atau perforasi lokal
yang memerlukan perhatian bedah segera. Auskultasi abdomen dapat ditemukan
adanya peningkatan bising usus dengan periode relatif tenang. Pada obstruksi,
bising usus biasanya bernada tinggi. Pada kasus obstruksi dan ileus yang
berkepanjangan, bising usus dapat hilang sebagai akibat dari penurunan motilitas.
(Schwartz et al., 2006; Price & Wilson, 2005).
Tabel 4. Kelainan atau penyakit akibat obstruksi usus halus (Sjamsuhidajat, 2017).
Sistemik Hypovolemia
Syok
Oligouria
Gangguan elektrolit
Perut kembung Kelebihan cairan usus
Kelebihan gas dalam usus (timpani)
Serangan kolik Nyeri perut berkala
Mual/muntah
Gelisah
Hiperperistaltik tampak sewaktu kolik
Nada tinggi
Halangan pasase Obstipasi
Tidak ada kentut
27
3.6 Penegakan Diagnosis
A. Anamnesis
Terdapat 4 tanda kardinal ileus obstruksi mencakup nyeri abdomen,
muntah, distensi dan kegagalan buang air besar atau gas. Nyeri yang terus
menerus, lokal, dan intens menunjukkan kemungkinan obstruksi strangulasi
(Schwartz et al., 2006).
SBO LBO
Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup
kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus
dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia dan massa abdomen. Inspeksi
pada penderita yang kurus/sedang juga dapat ditemukan “darm contour”
(gambaran kontur usus) maupun “darm steifung” (gambaran gerakan usus),
biasanya nampak jelas pada saat penderita mendapat serangan kolik yang
disertai mual dan muntah dan juga pada ileus obstruksi yang berat. Penderita
tampak gelisah dan menggeliat sewaktu serangan kolik (Bickley, 2009;
Townsend et al., 2012).
28
Gambar 1. Darm counter
- Palpasi
Distensi perut dan tidak nyeri tekan (kecuali pada saat hiperperistaltik)
tak ada defance muscular kecuali pada peritonitis. Palpasi bertujuan mencari
adanya tanda iritasi peritoneum apapun atau nyeri tekan, yang mencakup
‘defance muscular’ involunter atau rebound dan pembengkakan atau massa
yang abnormal (Bickley, 2009; Townsend et al., 2012).
- Perkusi
Timpani pada seluruh regio abdomen terutama di subdiafragma
(Bickley, 2009; Townsend et al., 2012).
- Auskultasi
Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodik
gemerincing logam bernada tinggi dan gelora (rush’) diantara masa tenang.
Tetapi setelah beberapa hari dalam perjalanan penyakit dan usus di atas telah
berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga juga bising usus) bisa tidak
ada atau menurun parah. Tidak adanya nyeri usus bisa juga ditemukan dalam
ileus paralitik (Bickley, 2009; Townsend et al., 2012).
- Rectal Toucher
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan
rectum dan pelvis. Dapat ditemukan penemuan massa atau tumor serta tidak
adanya feses di dalam kubah rektum menggambarkan ileus obstruktif usus
halus (Bickley, 2009; Townsend et al., 2012).
C. Pemeriksaan Penunjang
Foto Polos Abdomen
29
Ileus merupakan penyakit abdomen akut yang dapat muncul secara
mendadak dan memerlukan tindakan sesegera mungkin. Maka dari itu
pemeriksaan abdomen harus dilakukan secara cepat tanpa perlu persiapan. Pada
foto polos abdomen, 60-70% dapat dilihat adanya pelebaran usus dan hanya
40% dapat ditemukan adanya air fluid level (Nobie, 2011).
Posisi terlentang (supine).
Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah
obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring
Bone Appearance). Gambaran ini didapat dari pengumpulan gas dalam
lumen usus yang melebar.
Posisi setengah duduk atau berdiri.
Gambaran radiologis didapatkan adanya air fluid level dan step ladder
appearance.
Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus.
Adanya air fluid level dapat diduga terjadi gangguan pasase usus. Bila air
fluid level pendek-pendek memungkinkan adanya ileus letak tinggi,
sedangkan jika panjang-panjang kemungkinan gangguan di kolon.
Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan
air fluid level.
Gambar 2. Dilatasi usus dan Multipel air fluid level dan “string of pearls”
sign.
30
Gambar 3. Herring bone appearance
CT - Scan
CT scan abdominopelvic menggunakan kontras oral dan intravena tidak
hanya untuk membantu menggambarkan titik transisi potensial tetapi juga untuk
menyingkirkan patologi intra-abdomen lainnya, termasuk tumor atau abses.
Meskipun obstruksi usus dapat dicurigai dengan riwayat dan presentasi klinis
pasien, standar perawatan saat ini untuk memastikan diagnosis pada obstruksi
usus halus dan besar adalah CT abdomen dengan kontras oral. CT
memungkinkan visualisasi titik transisi, keparahan obstruksi, etiologi potensial,
dan penilaian komplikasi yang mengancam jiwa (Catena et al., 2019).
Computed tomography adalah tes yang sangat baik pada pasien yang
dicurigai atau diketahui memiliki keganasan dan dalam mengidentifikasi
kekambuhan, massa inflamasi, dan obstruksi ekstrinsik oleh massa.
Demonstrasi zona transisi dengan dilatasi loop yang berisi cairan, udara, atau
udara di atas loop usus yang kolaps secara distal menunjukkan adanya obstruksi
usus halus. CT sangat sensitif (90%) untuk obstruksi derajat tinggi, tetapi
31
sensitivitasnya rendah (50%) untuk obstruksi derajat rendah. Computed
tomography juga mendeteksi udara di dinding usus atau di rongga peritoneum
pada kasus perforasi (Catena et al., 2019).
Barium Enema
Barium enema adalah sebuah pemeriksaan radiologi dengan menggunakan
kontras positif. Kontras positif yang biasanya digunakan dalam pemeriksaan
radiologi saluran cerna adalah barium sulfat (BaSO4). Bahan ini adalah suatu
garam berwarna putih, berat dan tidak mudah larut dalam air. Garam tersebut
diaduk dalam air dengan perbandingan tertentu sehingga menjadi suspensi.
Suspensi tersebut diminum oleh pasien pada pemeriksaan esofagus, lambung
dan usus halus atau dimasukkan lewat kliasma pada pemeriksaan kolon (lazim
disebut enema). Sinar rontgen tidak dapat menembus barium sulfat tersebut,
sehingga menimbulkan bayangan dalam foto rontgen. Setelah pasien meminum
suspensi barium dan air, dengan fluroskopi diikuti kontrasnya sampai masuk ke
dalam lambung, kemudian dibuat foto-foto dalam posisi yang di perlukan.
Pemeriksaan radiologi dengan barium enema mempunyai suatu peran terbatas
pada pasien dengan obstruksi usus halus. Pengujian barium enema terutama
sekali bermanfaat jika suatu obstruksi letak rendah yang tidak dapat pada
pemeriksaan foto polos abdomen (Maung et al., 2012; Kulaylat & Doerr, 2001)
Studi kontras sangat membantu dalam membedakan antara obstruksi dan
ileus, untuk mengidentifikasi lokasi obstruksi, dan membedakan antara
obstruksi parsial dan total. Jika obstruksi kolon telah disingkirkan atau dianggap
sangat tidak mungkin, barium sulfat dapat diberikan secara oral untuk studi
kontras antegrade karena sekresi bersih dalam lumen usus membuat barium
tetap dalam larutan. Agen kontras yang larut dalam air seperti diatrizoate
meglumine (Gastrografin) biasanya menjadi encer (karena banyaknya cairan
yang ada di dalam usus yang tersumbat) dan mencegah definisi obstruksi distal.
Jika dicurigai adanya obstruksi kolon, Gastrografin atau barium enema harus
dilakukan sebagai tes pertama (Kulaylat & Doerr, 2001).
USG
Obstruksi usus halus dapat didiagnosis dengan ultrasonografi jika terdapat
dilatasi lengkung usus > 2,5 cm yang proksimal dari lengkung usus yang kolaps
dan jika ada penurunan atau tidak adanya aktivitas peristaltik. USG untuk
diagnosis obstruksi usus halus memiliki sensitivitas 90% dan spesifisitas 96%.
Visualisasi obstruksi usus besar dengan USG sama baiknya dengan computed
32
tomography. Computed tomography jelas lebih unggul dari USG dalam hal
definisi etiologi untuk kedua obstruksi usus kecil dan obstruksi usus besar.
Ultrasonografi berkinerja lebih baik daripada rontgen abdomen planar pada
obstruksi usus besar (Catena et al., 2019).
MRI
Untuk meminimalkan beban radiasi pengion pada anak-anak dan wanita
hamil, pencitraan resonansi magnetik adalah pemeriksaan alternatif yang dapat
digunakan sebagai pilihan alternative dari computed tomography scan untuk
obstruksi usus. Studi prospektif menunjukkan sensitivitas 95% dan spesifisitas
100% (Catena et al., 2019).
Laboratorium
Evaluasi laboratorium sangat penting untuk mengevaluasi adanya
leukositosis, gangguan elektrolit yang mungkin ada sebagai akibat dari muntah.
Laboratorium juga dapat mengevaluasi peningkatan asam laktat yang mungkin
mengarah pada sepsis atau perforasi, yang terkadang tidak terlihat pada CT jika
terdapat mikroperforasi dan tanda-tanda sepsis/syok septik lainnya. Meskipun
asam laktat sering diperiksa untuk menentukan apakah ada tanda perforasi atau
usus iskemik, perlu dicatat bahwa hal ini dapat menunjukkan hasil yang normal
bahkan dengan adanya mikroperforasi. Pemeriksaan fisik pasien tetap
merupakan alat diagnostik penting mengenai tingkat keparahan pasien dan
kebutuhan untuk pembedahan darurat serta manajemen medis. Evaluasi
laboratorium harus dilakukan untuk membantu mengidentifikasi penyebab ileus
yang berpotensi reversibel, seperti hipokalemia atau tanda-tanda infeksi. Hitung
darah lengkap dalam mencari anemia untuk menyingkirkan perdarahan atau
jumlah leukosit yang meningkat, seperti pada abses, infeksi, atau iskemia usus.
Pemeriksaan elektrolit dapat dilakukan untuk mencari kelainan elektrolit dan
menggantinya sesuai kebutuhan. Pemeriksaan laboratorium berguna dalam
diagnosis ileus atau pseudoobstruksi yang dapat disebabkan oleh
ketidakseimbangan elektrolit. Abnormalitas metabolik dan gangguan elektrolit
biasanya berhubungan dan merupakan konsekuensi dari, obstruksi usus yang
berkepanjangan (Catena et al., 2019).
3.7 Tatalaksana
33
Prinsip paling penting untuk pengobatan ileus adalah mengobati penyebab
yang mendasarinya (Townsend et al., 2005; Price & Wilson, 2005). Langkah
penting lainnya yang harus diambil adalah sebagai berikut :
a. Membatasi asupan oral
b. Mempertahankan volume intravascular
c. Mengoreksi kelainan elektrolit, terutama hipokalemia
d. Menghentikan pemberian obat-obatan penyebab, jika memungkinkan
e. Menggunakan suction nasogastric
f. Dekompresi rektum dengan tabung
g. Sering mengubah posisi pasien.
Tindakan konservatif ini berhasil pada sebagian besar (85%) pasien dalam
rata-rata 3 hari. Penatalaksanaan awal harus selalu mencakup penilaian jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi pasien. Jika resusitasi diperlukan, itu harus dilakukan
dengan saline isotonik dan penggantian elektrolit. Pada pasien dengan obstruksi
usus, kateter Foley disarankan untuk mengukur asupan dan keluaran dan juga untuk
menilai efek langsung resusitasi cairan pada urin. Kateter Foley harus dimasukkan
untuk memantau keluaran urin pasien jika pasien tidak stabil atau septik.
Penyisipan selang nasogastrik akan memungkinkan dekompresi usus untuk
meredakan distensi proksimal dari obstruksi. Selang nasogastrik harus dipasang
untuk dekompresi lambung dan usus dan untuk menghindari distensi abdomen lebih
lanjut. Pemasangan selang nasogastrik juga akan membantu mengontrol emesis,
memungkinkan penilaian asupan dan haluaran yang akurat, dan menurunkan risiko
aspirasi. Konsultasi bedah harus dilakukan untuk menentukan apakah manajemen
operatif harus dilakukan. Keputusan ini tergantung pada kondisi klinis pasien dan
patologi yang mendasari, derajat obstruksi, kecepatan berkembangnya obstruksi,
adanya strangulasi atau perforasi, dan tanda-tanda peritonitis (Townsend et al.,
2005; Price & Wilson, 2005).
Penatalaksanaan pada akhirnya tergantung pada etiologi dan beratnya
obstruksi. Pasien stabil dengan obstruksi parsial atau ringan sembuh dengan
dekompresi pipa nasogastrik dan tindakan suportif. Pasien yang datang dengan
hernia yang dapat direduksi akan memerlukan intervensi bedah yang tidak darurat
untuk mencegah kekambuhan di masa depan. Hernia yang tidak dapat direduksi
atau strangulasi memerlukan intervensi bedah darurat. Obstruksi lengkap atau
tingkat tinggi sering memerlukan intervensi bedah segera atau darurat karena risiko
iskemia meningkat. Keadaan penyakit kronis seperti penyakit Crohn dan keganasan
34
memerlukan tindakan suportif awal dan periode manajemen nonoperatif yang lebih
lama. Perawatan pada akhirnya akan tergantung pada disposisi pasien dan ahli
bedah (Townsend et al., 2005; Price & Wilson, 2005).
Antibiotik intravena yang mencakup bakteri gram negatif dan anaerobik
harus dimulai pada kasus dugaan massa inflamasi atau perforasi. Endoskopi yang
hati-hati dapat dicoba dalam kasus obstruksi distal yang memerlukan evaluasi
diagnostik lebih lanjut atau dalam kasus pseudoobstruksi dengan segmen usus yang
sangat melebar, untuk penempatan tabung dekompresi. Pada beberapa pasien
dengan keganasan padat yang tidak dapat direseksi, prosedur bypass usus dapat
dilakukan untuk paliatif dan untuk meningkatkan kualitas sisa hidup mereka.
Sebagai alternatif, penempatan tabung gastrostomi dekompresi dapat digunakan
untuk paliatif pasien dengan beberapa lokasi obstruksi usus kecil yang ganas, dan
dalam beberapa kasus, untuk karsinomatosis peritoneal. Baru-baru ini, penggunaan
stent logam yang berkembang sendiri untuk obstruksi kolon akut sebelum operasi
elektif telah dilaporkan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Waktu rata-rata
antara penempatan stent dan operasi adalah 8,6 hari (Townsend et al., 2005; Price &
Wilson, 2005).
Penanganan obstruksi usus halus komplit memerlukan intervensi operatif.
Penanganan operatif obstruksi usus bergantung pada sebab obstruksinya misalnya
perlengketan/ adhesi dapat dhilangkan dengan melisis adhesi dan segmen- segmen,
usus yang mengalami hernia inkarserata dapat direduksi secara manual lalu diikuti
dengan penutupan defek yang ada (Schwartz et al., 2016; Townsend et al., 2012).
Ada 4 macam tindakan bedah yang dikerjakan pada ileus obstruksi mencakup :
a. Koreksi sederhana, merupakan tindakan bedah sederhana untuk membebaskan
usus dari jepitan
b. Tindakan operatif by pass, yakni membuat saluran usus baru yang melewati
bagian usus yang tersumbat
c. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proksimal dari tempat obstruksi,
misalnya pada kanker stadium lanjut.
d. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung- ujung
usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus.
3.8 Komplikasi
Sebagian besar komplikasi berasal dari lama rawat inap di rumah sakit dan
kemungkinan untuk prosedur selanjutnya untuk ileus yang berkepanjangan (saluran
35
kateter sentral terpasang perifer, Ada kemungkinan aspirasi dengan meningkatnya
mual dan muntah. Beberapa komplikasi yang dapat timbul mencakup abses
intraabdominal, sepsis, aspirasi, sindrom usus pendek, radang paru, perforasi usus,
kegagalan pernafasan dan lain sebagainya. Komplikasi pada pasien ileus obstruktif
dapat meliputi gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan, serta iskemia dan
perforasi usus yang dapat menyebabkan peritonitis, sepsis dan kematian (Beach &
De Jesus, 2022; Smith et al., 2022).
Strangulasi menjadi penyebab dari kebanyakan kasus kematian akibat
obstruksi usus. Isi lumen usus merupakan campuran bakteri, hasil produksi bakteri,
jaringan nekrotik dan darah. Usus yang mengalami strangulasi dapat mengalami
perforasi dan menggeluarkan materi ke dalam rongga peritoneum. Pada obstruksi
kolon dapat terjadi dilatasi progresif pada sekum yang berakhir dengan perforasi
sekum sehingga terjadi pencemaran rongga perut akibat peritonitis. Tetapi
meskipun usus tidak mengalami perforasi, bakteri dapat melintasi usus yang
permeabel dan masuk ke dalam sirkulasi tubuh melalui cairan getah bening dan
mengakibatkan shock septic (Schwartz et al., 2016; Townsend et al., 2012).
3.9 Prognosis
Prognosis keseluruhan dari ileus adalah baik dengan kondisi pasien pulih,
namun waktu yang tepat sampai kembalinya fungsi usus belum dapat diprediksi.
Ileus berbahaya apabila berlangsung lama dan terjadi penurunan asupan nutrisi.
Ketika obstruksi usus ditangani dengan segera, maka hasilnya dapat baik. Secara
umum, ketika obstruksi usus ditangani tanpa pembedahan, tingkat kekambuhan
jauh lebih tinggi daripada dengan tatalaksana pembedahan. Obstruksi usus halus
lebih berbahaya dan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan obstruksi kolon.
Mortalitas obstruksi tanpa strangulasi adalah 5-8% pada kasus yang segera
dilakukan operasi. Mortalitas akan meningkat sampai 35%-40% apabila terjadi
keterlambatan pembedahan atau timbulnya strangulasi atau penyulit lainnya.
Kebanyakan pasien yang meninggal adalah lanjut usia. Obstruksi usus halus yang
mengalami strangulasi mempunyai angka kematian sekitar 8% jika operasi
dilakukan dalam jangka waktu 36 jam sesudah timbulnya gejala, dan 25% jika
operasi diundurkan lebih dari 36 jam. Pada obstruksi usus besar, biasanya angka
kematian berkisar antara 15–30%. Perforasi sekum merupakan penyebab utama
36
kematian yang masih dapat dihindarkan (Beach & De Jesus, 2022; Smith et al.,
2022).
37
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Ny. M datang ke IGD RSUD Kanjuruhan tanggal 13 Juni 2024 pukul
10.20 dengan keluhan perut membesar sejak 1 minggu SMRS, nyeri perut dan
kembung. Pasien juga mengeluh muntah kehitaman disertai BAB kehitaman seperti
kerikil sejak 1mgg SMRS, BAB terakhir 11 juni 2024 malam, kentut terakhir pagi
hari pemeriksaan. Pasien juga mengeluh mual, muntah 3x sehari, nafsu makan
menurun. Pasien telah MRS di Wava Kesamben selama seminggu dengan keluhan
yang sama dan KRS 12 Juni 2024.
Berdasarkan hasil anamnesis, pasien mengalami obstipasi, nyeri abdomen
(regio epigastrium dan umbilicus), mual, muntah, meteorismus, dan penurunan nafsu
makan. Hal ini mengarah pada gejala klinis dari ileus obstruksi yang mencakup tanda
kardinal nyeri abdomen, muntah, distensi dan kegagalan buang air besar atau gas.
Hasil anamnesis pada pasien diketahui bahwa pasien mengalami muntah yang
persisten, nyeri perut ringan, dan distensi abdomen minimal yang mengarah pada ileus
obstruksi letak tinggi (Small Bowel Obstruction/ SBO). Pada pemeriksaan fisik pasien
ditemukan adanya distensi abdomen, meteorismus, nyeri tekan regio epigastric dan
umbilicus. Hal ini memperkuat hasil anamnesis yang mengarah pada ileus obstruksi
letak tinggi. Namun didapatkan penurunan bising usus yang menandakan pada fase
menuju kepada ileus paralitik karera ketidakmampuan usus melakukan gerakan
peristaltik.
Gejala obstipasi disebabkan karena adanya suatu sumbatan atau gangguan
pasase usus yang menyebabkan feses dan gas sulit dikeluarkan. Sedangkan
meteorismus merupakan gejala yang disebabkan oleh gas yang terakumulasi didalam
lumen usus. Gejala ini dapat diikuti oleh perasaan mual dan muntah akibat adanya
peningkatan tekanan intraluminal. Pada pasien didapatkan adanya gangguan faal usus,
obstruksi, perubahan pola defekasi, feses seperti kotoran kambing, disertai dengan
penurunan berat badan dan nyeri abdomen (regio epigastrium dan umbilical) yang
mana gejala-gejala tersebut mengarah pada manifestasi klinis karsinoma kolon.
Sehingga dalam hal ini perlu dicurigai penyebab obstruksi pada pasien yakni adanya
karsinoma kolon. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti rektosigmoidoskopi
dan foto kolon dengan kontras ganda untuk membantu menegakkan penyebab
38
terjadinya obstruksi. Obstruksi sering merupakan tanda pertama adanya karsinoma
kolon.
Pemeriksaan laboratorium umumnya tidak dapat dijadikan pedoman untuk
menegakkan diagnosis. Pada kasus ini hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah foto
polos abdomen, yang mana dapat menunjukkan gambaran usus yang melebar
membentuk Herring Bone Appearance. Pada pasien juga ditemukan penebalan
dinding usus halus yang terdilatasi dan memberikan gambaran herring bone
appearance. Sehingga dalam hal ini, pemeriksaan foto polos abdomen pada pasien
mengarah pada ileus obtruksi.
4.2 Terapi
39
yang akurat, dan menurunkan risiko aspirasi. Pasien juga dilakukan pemasangan
kateter foley untuk memantau keluaran urin dan memantau output cairan. Pemberian
medikamentosa omeprazole dan ondancetron pada pasien ditujukan untuk mengurangi
mual dan muntah. Kemudian pasien dapat direncanakan untuk tindakan operatif.
Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang
disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi.
Proses keganasan terutama karsinoma ovarium dan karsinoma kolon, dapat
menyebabkan obstruksi usus. Obstruksi ini terutama disebabkan oleh kumpulan
metastasis di peritoneum atau mesenterium yang menekan usus. Pada pasien perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan tindakan operatif karena terdapat kecurigaan
terhadap adanya karsinoma kolon sebagai penyebab obstruksi. Sehingga pada kasus
ini pasien dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan dalam rangka memastikan penyebab
obstruksi. Prinsip paling penting untuk pengobatan ileus adalah mengobati penyebab
yang mendasarinya. Terapi kuratif yang dapat dilakukan pada karsinoma kolon adalah
tindak bedah yang bertujuan untuk memperlancar saluran cerna, baik bersifat kuratif
maupun non kuratif. Kemoterapi dan radiasi bersifat paliatif dan tidak memberi
manfaat kuratif. Tindak bedah terdiri atas reseksi luas karsinoma primer dan kelenjar
limfe regional. Bila sudah terjadi metastasis jauh tumor primer akan direseksi juga
dengan maksud mencegah obstruksi, perdarahan, anemia, inkontinensia, fistel dan
nyeri. Bedah kuratif dilakukan jika tidak ditemukan gejala penyebaran lokal maupun
jauh. Bila pengelolaan konservatif tidak berhasil, dianjurkan operasi sebagai tindakan
paliatif.
Reseksi tumor secara paliatif dilakukan untuk mencegah atau mengatasi
obstruksi atau menghentikan perdarahan supaya kualitas hidup penderita lebih baik.
Jika tumor tidak dapat diangkat, dapat dilakukan bedah pintas atau anus preternaturalis
atau kolostomi. Kolostomi dapat dibuat sementara atau menetap. Kolostomi
sementara, dibuat pada penderita gawat perut dengan peritonitis yang telah dilakukan
reseksi sebagian kolon. Aliran feses dialihkan sementara melalui kolostomi dua stoma
yang biasanya disebut stoma ganda. Dengan cara Hartmann, pemuatan anastomosis
ditunda sampai radang di perut telah reda. Sedangkan kolostomi tetap, dibuat pada
reseksi rektoanal abdominoperineal menurut Quenu-Miles berupa anus preternaturalis
sejati. Esofagostomi, gastrostomy, yeyunostomi, dan sekostomi biasanya merupakan
stoma sementara. Ileostomy dan kolostomi sering berupa stoma tetap. Indikasi
kolostomi adalah untuk mendekompresi usus pada obstruksi, membuat stoma
sementara pada bedah reseksi usus akibat radang atau perforasi, dan sebagai anus
40
pasca reseksi usus distal untuk melindungi anastomosis distal. Kolostomi dapat berupa
stoma kait (loop colostoma) atau stoma ujung (end colostoma).
41
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka
dapat disimpulkan bahwa diagnosa Ny. M adalah ileus obstruksi letak tinggi. Perlu
dilakukan penegakan diagnosis dengan segera agar pasien dapat ditangani sedini
mungkin. Penegakan diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang dapat mengarahkan diagnosis agar lebih
akurat sehingga tatalaksana dapat diberikan secara adekuat.
Ileus obstruktif merupakan kasus dengan kategori kegawatan bedah. Ileus ini
dapat berkomplikasi pada kematian apabila tidak ditangani dan perlu pemahaman
yang baik mengenai bagaimana perjalanan penyakit serta gejala klinis dari ileus untuk
menentukan tindakan yang tepat dan sesuai dengan kondisi pasien. Kebanyakan dari
kasus ileus memerlukan tindakan bedah karena merupakan pilihan terapi yang berguna
untuk menghilangkan sumbatan, selain menjaga keseimbangan elektrolit dari pasien.
5.2 Saran
42
DAFTAR PUSTAKA
Basson, M.D. 2004. Colonic Obstruction. Editor: Ochoa, J.B., Talavera, F., Mechaber, A.J.,
and Katz, J. June 14, 2004.
Beach EC, De Jesus O. Ileus. [Updated 2021 Aug 30]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
Behman R, Nathens AB, Look Hong N, Pechlivanoglou P, Karanicolas PJ, 2018. Evolving
Management Strategies in Patients with Adhesive Small Bowel Obstruction: a
Population-Based Analysis. J. Gastrointest. Surg. Dec;22(12):2133-2141.
Bickley LS. Guide to phisical examination. 10th ed. Philadelphia:Wolters Kluwer Lippincott
Williams & Wilkins, 2009
Catena, F., De Simone, B., Coccolini, F., Di Saverio, S., Sartelli, M., & Ansaloni, L. (2019).
Bowel obstruction: a narrative review for all physicians. World journal of emergency
surgery: WJES, 14, 20.
Indrayani M. Diagnosis dan Tata laksana Ileus Obstruktif. Universitas Udayana, Bagian Ilmu
Bedah. 2017;3–10.
Kulaylat MN, Doerr RJ. Small bowel obstruction. In: Holzheimer RG, Mannick JA, editors.
Surgical Treatment: Evidence-Based and Problem-Oriented. Munich: Zuckschwerdt;
2001.
Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani WI., Setiowulan W. Ileus Obstruktif. Dalam: Kapita
Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Penerbit Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2000; 318 – 20.
Maung, A.A., Johnson, D.C., Piper, G.L., Barbosa, R.R., Rowell, S.E., Bokhari, F., Collins,
J.N., Gordon, J.R., Ra, J.H. and Kerwin, A.J., 2012. Evaluation and management of
small-bowel obstruction: an Eastern Association for the Surgery of Trauma practice
management guideline. Journal of Trauma and Acute Care Surgery, 73(5), pp.S362-
S369.
Nobie, B. A. Obstruction, Small Bowel. Emedicine. Retrieved June 6th, 2011.
Price SA,Wilson MCL. Gangguan Usus. Dalam: Pendit BU, Hartanto H, Wulansari P,
Mahanani DA, penyunting. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2005.h.450-4
Robbins. Buku Ajar Patologi vol.2. Ed. 7. Jakarta: EGC, 2007
43
Sari, Novita, E. N. (2019). ‘Gambaran Ileus Obstruktif Pada Anak Di Rsud Arifin 52 Achmad
Provinsi Riau Periode Januari 2012 – Desember 2014’, Journal of Medicine, 53(9), pp.
1689–1699.
Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip ilmu bedah (Principles of Surgery). Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.
Sinicrope FA. Ileus and Bowel Obstruction. In: Kufe DW, Pollock RE, Weichselbaum RR, et
al., editors. Holland-Frei Cancer Medicine. 6th edition. Hamilton (ON): BC Decker;
2003.
Sinicrope FA. Ileus and Bowel Obstruction. In: Kufe DW, Pollock RE, Weichselbaum RR, et
al., editors. Holland-Frei Cancer Medicine. 6th edition. Hamilton (ON): BC Decker;
2003.
Sjamsuhidajat, R & Wim de J. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2017.
Smith DA, Kashyap S, Nehring SM. Bowel Obstruction. [Updated 2022 May 2]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
Smith DA, Kashyap S, Nehring SM. Bowel Obstruction. [Updated 2022 May 2]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
Townsend MC, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Small Intestine. Sabiston Textbook
of Surgery. Edisi ke-19. Philadelphia, Elsevier, 2012.h.1236-44.
Townsend MC, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Small Intestine. Textbook of Surgery
Pocket Companion. Edisi ke-17. Phildelphia: Elsevier, 2005.h.637-66
Vilz TO, Stoffels B, Strassburg C, Schild HH, Kalff JC. Ileus in Adults. Dtsch Arztebl Int.
2017 Jul 24;114(29-30):508-518. doi: 10.3238/arztebl.2017.0508. PMID: 28818187;
PMCID: PMC5569564.
44