Bir Maunah 1
Bir Maunah 1
Bir Maunah 1
lebih memilukan. Ketika itu datang Abu Barra` ‘Amir bin Malik menemui Rasulullah di Madinah,
kemudian oleh beliau diajak kepada Islam. Ia tidak menyambutnya, namun juga tidak menunjukkan
penolakan.
Kemudian dia berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya engkau mengutus shahabat-shahabat engkau
kepada penduduk Najd untuk mengajak mereka kepada Islam, aku berharap mereka akan
menyambutnya.”
Beliau berkata: “Aku mengkhawatirkan perlakuan penduduk Najd atas mereka.” Tapi kata Abu Barra`:
“Aku yang menjamin mereka.”
Kemudian Rasulullah mengutus 70 orang shahabat ahli baca Al-Qur`an, termasuk pemuka kaum
muslimin pilihan. Mereka tiba di sebuah tempat bernama Bi`r Ma’unah, sebuah daerah yang terletak
antara wilayah Bani ‘Amir dan kampung Bani Sulaim. Setibanya di sana, mereka mengutus Haram bin
Milhan, saudara Ummu Sulaim bintu Milhan, membawa surat Rasulullah kepada ‘Amir bin Thufail.
Namun ‘Amir bin Thufail tidak menghiraukan surat itu, bahkan memberi isyarat agar seseorang
membunuh Haram. Ketika orang itu menikamkan tombaknya dan Haram melihat darah, dia berkata:
“Demi Rabb Ka’bah, aku beruntung.”
Kemudian ‘Amir bin Thufail menghasut orang-orang Bani ‘Amir agar memerangi rombongan shahabat
lainnya, namun mereka menolak karena adanya perlindungan Abu Barra`. Diapun menghasut Bani
Sulaim dan ajakan ini disambut oleh ‘Ushaiyyah, Ri’l, dan Dzakwan. Merekapun datang mengepung
para shahabat Rasulullah lalu membunuh mereka kecuali Ka’b bin Zaid bin An-Najjar yang ketika itu
terluka dan terbaring bersama para mayat lainnya. Dia hidup hingga terjadinya peristiwa Khandaq.
“Dari Anas, bahwa Nabi mengutus pamannya (saudara Ummu Sulaim) bersama 70 orang berkuda.
Ketika itu yang menjadi pemimpin kaum musyrikin ‘Amir bin Thufail. Dia memberi tiga pilihan, katanya:
“Untukmu penduduk Sahl dan aku penduduk Madar, atau aku penggantimu, atau aku perangi engkau
bersama penduduk Ghathafan dengan dua ribu pasukan.”
Akhirnya ‘Amir ditikam di rumah Ummu Fulan, katanya: “Ghuddah seperti ghuddah Al-Bakri, di rumah
seorang wanita Bani Fulan. Bawakan kudaku, lalu dia mati di atas kudanya. Kemudian berangkatlah
Haram saudara Ummu Sulaim, dia seorang laki-laki pincang, dan seorang dari Bani Fulan. Katanya:
“Mendekatlah, sampai aku menemui mereka, kalau mereka menjamin keamananku, itulah urusan kamu.
Kalau mereka membunuhku, maka carilah shahabat-shahabat kamu.”
Lalu dia berkata: “Apakah kamu memberiku keamanan untuk menyampaikan surat Rasulullah ?
Kemudian dia mulai berbicara dengan mereka, namun ada yang memberi isyarat kepada seseorang
yang mendatanginya dari belakang lalu menikamnya. Kata Hammam, aku kira sampai tombaknya
menembus tubuhnya. Dia berkata: “Allahu Akbar, saya beruntung, demi Rabb Ka’bah.” Lalu dikejarlah
temannya dan mereka semua dibunuh kecuali seorang yang pincang yang berada di puncak bukit.
Allah turunkan kepada kami ayat yang kemudian dimansukh: “Sesungguhnya kami telah menemui Rabb
kami, lalu Dia ridha kepada kami dan membuat kami ridha. Maka Nabi mendoakan kejelekan terhadap
mereka selama 30 hari; terhadap Ri’l, Dzakwan, dan Bani Lihyan serta ‘Ushaiyyah yang mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya.”
Akhirnya Rasulullah melakukan qunut selama satu bulan mendoakan kejelekan terhadap orang-orang
yang membunuh para qurra` shahabat-shahabat beliau di Bi`r Ma’unah. Belum pernah para shahabat
melihat Rasulullah begitu berduka dibandingkan ketika mendengar berita ini.
Pada waktu yang telah ditentukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para shahabat ini
bertolak menuju Najd meninggalkan Madinah. Ketika tiba di Bi`r Ma’unah sebuah daerah yg terletak
antara wilayah Bani ‘Amir dan wilayah Bani Sulaim, para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini mengutus Haram bin Milhan Radhiyallahu anhu saudara Ummu Sulaim[6] bintu Milhan untuk
mengantarkan surat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Amir bin Thufail, sepupu Abu Bara’
‘Amir bin Malik[7]. Namun ‘Amir bin Thufail tidak menghiraukan surat itu bahkan ia memberi isyarat
kepada seseorang pengikutnya untuk menikam Haram Radhiyallahu anhu dengan tombak dari
belakang. Orang itu melaksanakan apa yang diisyaratkan ‘Amir. Haram Radhiyallahu anhu ditikam.
Sesaat setelah ditikam dan Haram Radhiyallahu anhu melihat darah segar mengalir dari lukanya, beliau
Radhiyallahu anhu mengatakan, “Allahu Akbar, Demi Rabb Ka’bah, aku telah beruntung.”[8]
Kemudian ‘Amir bin Thufail memprovokasi orang-orang Bani ‘Amir agar memerangi rombongan
shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Bani ‘Amir menolak ajakan ‘Amir bin Thufail karena
para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam jaminan Abu Barra`. Tekadnya
untuk memerangi rombongan ini tidak luntur disebabkan kegagalannya memprovokasi Bani ‘Amir. Dia
arahkan hasutannya ke Bani Sulaim. Ajakan ini disambut oleh kabilah ‘Ushaiyyah, Ri’l dan Dzakwan.
Mereka mulai bergerak dan mengepung para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Pertempuran sengit tak terhindarkan. Satu persatu shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
gugur sebagai syahid, sampai akhirnya tidak ada yang tersisa kecuali Ka’b bib Zaid bin Najjar
Radhiyallahu anhu yang dibiarkan sekarat dengan harapan agar meninggal pelan-pelan. Namun Allâh
Azza wa Jalla menakdirkan lain, Ka’b ternyata bisa bertahan hidup sampai perang Khandaq. Sementara
itu ada dua shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tertinggal yaitu Amr bin Umayyah
dan al Mundzir Uqbah bin ‘Amir. Melihat para shahabat mereka telah menjadi korban, tanpa rasa gentar,
mereka maju dan menyerang kaum kuffar. Al Mundzir terbunuh. Sementara Amr ditawan namun
akhirnya dilepas dengan tebusan.
Setelah statusnya sebagai tawanan hilang dari dirinya, Amr bin Umayyah Radhiyallahu anhu bergegas
pergi ke Madinah dan melaporkan peristiwa memilukan ini. Dalam perjalanannya ke Madinah, beliau
Radhiyallahu anhu berjumpa dengan dua orang Bani Kilâb. Tanpa berpikir panjang, beliau Radhiyallahu
anhu menyerang kedua orang itu sampai akhirnya keduanya terbunuh. Setelah berhasil membunuh
mereka, beliau Radhiyallahu anhu merasa puas dan merasa telah membalas kematian para shahabat
beliau Radhiyallahu anhu . Amr bin Umayyah Radhiyallahu anhu tidak tahu kalau orang yang dibunuh
itu sudah ada perjanjian damai dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu,
setelah mendengar berita pembunuhan ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan
pembayaran diyat (denda) atas pembunuhan. Diyat ini dibebankan kepada seluruh kaum Muslimin dan
kaum yahudi yang terikat perjanjian. Saat Amr bin Umayyah pergi ke wilayah Yahudi untuk keperluan
diyat inilah, orang-orang Yahudi berusaha untuk membunuh beliau Radhiyallahu anhu . Peristiwa inilah
diantara yang menyulut pertempuran antara kaum Muslimin dengan Bani Nadhir.
Pembantaian yang dialami oleh para shahabat ini telah menorehkan luka teramat dalam di hati
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu menceritakan :
Aku belum pernah melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih berduka dibandingkan duka
akibat peristiwa tersebut. (HR. Bukhâri)
Pasca dua peristiwa memilukan yang menimpa para shahabat pilihan itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam melakukan qunut nazilah selama satu bulan atau lebih. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendo’akan keburukan buat orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan terhadap para shahabat
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
.KHUBAIB BIN ADIY
Khubaib bin Adiy sedang berada di dalam penjara. Orang-orang Mekah menyeretnya keluar untuk
disalib di hadapan umum. Sebelum naik kayu salib, Khubaib bertanya, "Dapatkah kamu membiarkan
aku sekedar melakukan shalat dua rakaat?"
Permintaan itu dikabulkan. Khubaib melakukan sholat dua rokaat dengan baik dan sempurna. Setelah
sholat ia membalikkan badannya, menghadapi semua orang. Lalu berkata, "Kalau bukan karena kamu
akan menyangka aku sengaja memperlambat karena takut dibunuh, niscaya aku masih akan shalat
lebih banyak lagi."
Setelah itu, orang-orang Quraisy menaikkan ke atas tunggak kayu. Dengan mata sayu, Khubaib
memandangi orang-orang yang menontonnya sambil berseru, "Ya Allah hitungkan jumlah mereka itu,
binasakan mereka dalam keadaan tercerai berai, jangan biarkan hidup seorang pun!" Mendengar suara
yang keras itu, para penonton gemetar. Sebagian dari mereka bahkan merebahkan diri seolah-olah
takut terkena kutukan. Sesudah itu, Khubaib dibunuh.
Seperti halnya Zaid, Khubaib pun gugur sebagai syahid yang memegang teguh amanat Allah ُس ْبَح اَنُه َو
َتَعاَلى. Dua roh suci ini melayang memasuki surga yang dijanjikan.
Seandainya mau terus saja, mereka dapat menyelamatkan diri mereka. Keduanya tinggal berkata
bahwa mereka akan kembali ke agama nenek moyang, dan orang-orang Quraisy bersenang hati
menerima para prajurit segagah mereka.
Namun keyakinan keduanya kepada Allah ُس ْبَح اَنُه َو َتَعاَلىdan hari kemudian sudah sedemikian tinggi.
Keimanan mereka sudah sekokoh karang dan tidak bisa lagi dikikis oleh siksaan atau tawaran harta
duniawi.
Mereka melihat maut bukan sebagai akhir segalanya, namun justru sebagai cita-cita hidup di dunia ini.
Lagi pula mereka yakin bahwa darah mereka yang tumpah akan memanggil-manggil saudara-saudara
muslim mereka supaya memasuki Kota Mekah sebagai pemenang.
Saudara-saudara muslim mereka akan menghancurkan pertahanan dan perbuatan syirik. Kesucian
sebagai rumah Allah akan dipulihkan. Tidak ada lagi nama berhala yang disebut kecuali nama-nama
Allah yang Mahasuci.
RASULULLAH BERDUKA
Rasa duka menyelimuti Madinah, awan tampak bergumpal-gumpal. Mendung di hati Rasulullah ﷺdan
kaum muslimin membuahkan air mata duka yang membasahi pipi. Penyair Rasulullah, Hasan bin Tsabit
membacakan syair-syair duka untuk mengenang kepergian enam orang syuhada itu.
Beban di benak Rasulullah terus bertambah berat. Beliau khawatir kejadian seperti itu akan terulang
lagi. Orang-orang Arab yang masih membenci kaum muslimin akan terdorong melakukan hal serupa di
kemudian hari.
Tiba-tiba datanglah Abu Bara Amir bin Malik seorang pemuka masyarakat di daerah Najd. Rasulullah ﷺ
pun menawarkan kepadanya, agar ia mau memeluk agama yang mulia ini. Namun Abu Bara menolak.
Meskipun demikian Abu Bara tidak menunjukkan sikap yang memusuhi Islam. Ia bahkan berkata,
"Muhammad saya mempersilahkan engkau mengutus sahabat-sahabatmu ka Najd dan mengajak
mereka itu mau menerima ajaranmu. Saya berharap banyak orang yang akan memeluk Islam."
Ini adalah sebuah peluang besar, namun Rasulullah ﷺmasih khawatir. Beliau takut akan terjadi
penghianatan lagi terhadap para sahabatnya. Dia tidak bisa segera menjawab permintaan Abu Bara.
Melihat keraguan di wajah Rasulullah ﷺAbu Bara pun mengerti. "Saya menjamin mereka!" tegas Abu
Bara. "Kirimkanlah utusan ke sana untuk mengajak mereka menerima ajaranMu".
Rasulullah ﷺmelihat kejujuran di mata Abu Bara, beliau juga tahu bahwa Abu Bara adalah orang yang
dapat dipercaya. Dia adalah orang yang ditaati masyarakatnya. Setiap kata-katanya akan dituruti orang-
orang Najd. Siapa pun yang sudah pernah diberikan perlindungan oleh Abu Bara, tidak pernah diganggu
oleh orang lain.
Berdasarkan pertimbangan ini dan peluang besar berkembangnya Islam di Jazirah Arabia. Rasulullah
ﷺmemanggil Al Mundir bin Amr dari bani Sa'idah. Beliau menugasi Al Mundir memimpin 70 orang
muslim pilihan untuk menyebarkan ajaran Islam di Najd.
Rombongan dai itu pun berangkat dengan penuh harap akan datangnya kebaikan. Apakah benar
mereka akan diterima dengan baik atau sebaliknya, malah dikhianati.
Ketika tiba di Najd, tepatnya di Bi'ir Ma'unah, ke 70 muslim itu berhenti. Daerah itu terletak di antara
wilayah Bani Amir dan Bani Sulaim. Al Mundir mengutus Haram bin Milhan menemui Amir bin Ath
Thufail, pemimpin bani Sulaim. Haram ditugasi menyampaikan surat Rasulullah ﷺkepada pemimpin-
pemimpin Najd. Namun Amir bin Ath Thufail sama sekali tidak membaca surat Rasulullah ﷺitu. Ia
bahkan memerintahkan agar Haram bin Milhan dibunuh.
Setelah itu Amir meminta bantuan Bani Amir untuk membunuh kaum muslimin yang lain. Bani Amir
menolak karena mereka adalah suku Abu Bara. Mereka tidak ingin melanggar perlindungan yang
diberikan pemimpin mereka sendiri.
Amir bin Ath Thufail cepat berpaling ke suku-suku Najd yang lain. Beberapa suku menyatakan
dukungan atas penghianatan Amir. Dengan cepat mereka berkumpul dan berangkat mengepung
sahabat-sahabat Rasulullah ﷺdi Bi'ir Mau'nah.
Mulai curiga karena Haram bin Milham tidak kunjung kembali, kaum muslimin di Bi'ir Mau'nah mulai
meningkatkan kewaspadaan. Namun segala tindakan untuk menarik diri dari tempat itu sudah terlambat,
karena dari segala penjuru para prajurit Najd muncul mengepung.
Segera saja kaum muslimin mencabut pedang dan siap bertarung. Pertempuran tidak seimbang segera
pecah. Para Dai itu bertempur mati-matian tanpa sedikit pun niat untuk menyerah. Al Mundir yang saat
itu tengah menengok ternak yang menjadi perbekalan mereka, berlari dan terjun ke pertempuran.
Hampir seluruh sahabat Rasulullah ﷺdi Bi'ir Mau'nah gugur kecuali dua orang.
Kaab bin Said disangka telah mati, namun begitu pasukan Najd pulang, Ka'ab bangun dan pulang ke
Madinah dengan tubuh di penuhi luka. Satu orang lagi bernama Amir bin Umayyah.
Di tengah perjalanan pulang ke Madinah Amir bin Umayyah bertemu dua orang yang mencurigakan.
Dikiranya kedua orang itu termasuk pasukan yang menyergap dan membunuh para sahabatnya. Pada
tengah malam Amir menyerang dan berhasil membunuh kedua orang itu.
Sampai di Madinah Amir mengakui semuanya, termasuk dua orang yang ia bunuh. Namun kedua orang
itu ternyata bukanlah musuh. Mereka justru termasuk suku bani Amir yang telah terikat perjanjian jiwar
atau bertetangga baik dengan kaum muslimin.
Seorang ketua suku yang besar di kalangan orang Arab pada masa itu, dikenali sebagai Abu Barra ( أبو
)البراءatau nama sebenarnya Amir bin Malik ( )عامر بن مالكdari daerah Najd datang menemui
Rasulullah di Madinah.
Baginda sendiri amat mengalu-alukan kehadiran Abu Barra. Malah segera dakwah itu disampaikan
dengan dibacakan ayat-ayat al Quran dan penjelasan demi penjelasan mengenai Islam kepada tetamu
itu.
Baginda menyeru Abu Barra kepada Islam, tetapi beliau tidak menganut Islam. Di sini beliau telah
meminta dari Rasulullah dengan katanya: “Wahai Rasulullah kalaulah tuan hamba dapat mengutus
sahabat-sahabat tuan hamba kepada penduduk Najd untuk mengajak mereka kepada agama tuan
hamba ini, ku mengharapkan mereka akan menyahut seruan”
Oleh kerana Abu Barra dikatakan ketua suku yang dihormati dan disegani lawan dan kawan terutama
daripada kalangan kaumnya sendiri maka baginda akhirnya setuju dengan permintaan itu.
Ini kerana menurut adat atau budaya di kalangan bangsa Arab, apabila ketua sesuatu kabilah berjanji
bagi melindungi dan menjamin keselamatan kabilah yang lain, maka tiada siapa pun daripada
kabilahnya dan kabilah-kabilah yang lain berani untuk menganggu dan melakukan perkara-perkara yang
tidak diingini!
Baginda Rasulullah pun menyediakan hampir 70 sahabat dan pengikut yang terpilih untuk menjayakan
misi sebagai mubaligh islam ke daerah Najd. Rombongan tujuh puluh orang ini adalah dipilih dari kaum
muslimin, golongan pemimpin, qari, dan kenamaan. Di siang hari mereka berjalan mengumpul kayu api
untuk dijual, dengan harganya dibelinya makanan untuk ahli al-Suffah, mereka ini gemar mempelajari al-
Quran dan melakukan qiamulail.
Begitupun rombongan itu tidak sahaja mempunyai matlamat untuk berdakwah kepada penduduk di
daerah Najd yang diketuai oleh Abu Barra, malah kesempatan itu turut diambil untuk menyebarkan
Islam kepada mana-mana suku dan kaum lain yang mereka temui sepanjang menuju ke Najd.
Akhirnya rombongan tersebut tiba di tempat yang dikenali sebagai Telaga Maunah atau Bir Maunah
yang terletak antara tanah milik Bani Amir ( )بني عامرdan Harrah Bani Sulaim ()حرة بني سليم.
Kesempatan tetap diambil bagi menghantar wakil dari rombongan Rasulullah, iaitu Haram bin Milhan (
)حرام بن ملحانuntuk menyampaikan sepucuk surat dari baginda mengajak kepada Islam kepada Bani
Amir.
Namun surat itu telah dikoyak-koyakkan. Amir sangat marah dengan kehadiran utusan Nabi Muhammad
itu.
Tidak cukup dengan itu, Amir memerintahkan orang suruhannya membunuh Haram. Lalu Haram
dibunuh dengan ditikam dengan tombak dari arah belakang.
Apabila Haram melihat darahnya mengalir, terus beliau meneriak: “Allahu Akbar, demi Tuhan Ka’abah!
Daku telah berjaya”.
Kemudian Amir bin Tufail telah menyeru kaumnya untuk membunuh kaum muslimin yang masih hidup.
Ini kerana beliau sedar adalah menjadi satu kesalahan besar dalam adat budaya Arab membunuh
sesiapa sahaja yang diutus menjadi wakil. Oleh itu, supaya kesalahannya tidak diketahui oleh kalangan
kabilah yang lain, Amir mahukan anggota rombongan mubaligh Islam yang lain turut dibunuh. Kaumnya
tidak bersetuju kerana kaum muslimin tersebut di bawah perlindungan Abu Barra,
Dengan itu beliau meminta Banu Salim membantunya, maka puak Usaiyah, Ra’al dan Zakwan datang
melingkungi sahabat Rasulullah. Mereka menentang serangan Amir itu hingga seluruh mereka
terbunuh, kecuali Ka’ab bin Zaid bin al-Najjar tersembunyi di bawah jenazah-jenazah sahabatnya, beliau
ini hidup hingga ke hari peperangan Khandak.
Adapun Amru bin Umaiyah al-Dhamri dan al-Munzir bin Uqbah bin Amir bersama orang-orang Islam
telah mendapati burung-burung terbang mengelilingi tempat kejadian. al-Munzir pun turun ke tempat
berkenaan dan melawan kaum musyrikin di sana hingga beliau dan orang-orang lain terbunuh,
manakala Amru bin Umaiyah al-Dhamri telah ditawan. Setelah diberitahu yang beliau ini dari qabilah
Mudhar, maka beliau pun dibebaskan.
Sesampainya Amru bin Umaiyah ke hadapan Rasulullah terus beliau melaporkan kejadian ngeri itu
kepada Baginda, di mana terkorbannya tujuh puluh orang pilihan para sahabat terbilang. Peristiwa ini
bagaikan mengulangi peristiwa Uhud, yang bezanya, di Uhud mereka pergi dengan niat berperang,
manakala di Bir’ al-Ma’unah ini pembunuhan mereka lantaran pengkhianatan yang jahat.
Semasa Amru bin Umaiyah dalam perjalanan pulang ke Madinah di pertengahan jalan “al-Qarqarah”
dari “Sadru al-Qanah” beliau telah berehat di bawah sepohon kayu, kemudian dua orang lelaki dari
Banu Kilab telah turut tumpang berteduh bersama Amru di bawah pohon kayu itu, setelah dua lelaki ini
sedang nyenyak lena Amru pun terus membunuh mereka, sebagai menuntut beta di atas pembunuhan
sahabatnya di dalam peristiwa Bi’r Ma’unah itu, sedang mereka berdua ini adalah di dalam perjanjian
damai dengan Rasulullah, di mana beliau tidak menyedari perkara ini, sebaik sahaja beliau tiba di
Madinah beliau menceritakan peristiwa al-Maunah ini;
Rasulullah pun bersabda: “Sesungguhnya engkau telah membunuh dua orang di mana ku berkewajipan
membayar pampasannya, dengan itu Baginda pun sibuk mengumpul pampasan itu dari kaum muslimin
dan sekutu-sekutu Yahudi”.
Rasulullah amat bersedih dengan peristiwa Bi’r Maunah yang menyayatkan hati ini selepas peristiwa al-
Raji’. Kedua-duanya berlaku dalam tempoh beberapa hari sahaja, Rasulullah amat berdukacita. Hal ini
telah membawa Baginda merasa tidak tenteram kerana sedih dan pilu, menyebabkan Baginda terus
mendoakan kemusnahan ke atas qabilah-qabilah yang mengkhianati sahabat-sahabat itu.
“Rasulullah saw. pernah qunut sebulan lamanya dalam solat Subuh sesudah rukuk, iaitu mengutuk
kabilah-kabilah Ri’il, Dzakwan dan ‘Ushliyyah, kerana mereka mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.”
Tragedi Raji’
Pada tahun ke -3 Hijriyah, beberapa utusan dari Kabilah Udlal dan Qarah datang kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa berita tentang Islam telah sampai kepada
mereka. Oleh sebab itu, mereka sangat membutuhkan orang-orang yang akan mengajarkan kepada
mereka agama. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus beberapa orang dari
sahabatnya, antara lain: Murtsid bin Abi Murtsid, Khalid bin Al-Bakir, Ashim bin Tsabit, Khubaib bin Ady,
Zaid bin Datsinah dan Abdullah bin Thariq. Rasulullah saw menunjukk Ashim bin Tasbit sebagai Amir
mereka.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus sekelompok pasukan pengintai yang dipimpin
oleh ‘Ashim bin Tsabit -dia adalah kakek ‘Ashim bin Umar- Lalu mereka berangkat, mereka kemudian
singgah disuatu tempat antara ‘Usfan dan Makkah, keberadaan mereka diberitahukan kepada suatu
perkampungan dari suku Hudzail, mereka biasa disebut dengan Bani Lahyan. Maka mereka diikuti oleh
orang-orang dari perkampuangan tersebut, yaitu sekitar seratus orang pemanah, mereka mengiuti jejak
para sahabat tersebut, sesampainya mereka di suatu persinggahan yang pernah disinggahi oleh para
sahabat, mereka mendapati biji kurma Madinah yang dibawa oleh para sahabat sebagai perbekalan
mereka, mereka berkata, ‘Ini adalah kurma Madinah.’ Mereka terus mengikuti para sahabat sehingga
berhasil menyusulnya,
ketika ‘Ashim bin Tsabit dan para sahabatnya merasakan kehadiran orang-orang itu, para sahabat
langsung berlindung dibalik bukit, orang-orang itu datang dan langsung mengepung, mereka berkata,
‘Turunlah kalian, kalian dapat membuat perjanjian dan kesepakatan, supaya kami tidak membunuh
seorangpun dari kalian, ‘ ‘Ashim bin Tsabit menimpali, ‘Demi Allah, aku tidak akan berada dalam
lindungan orang kafir, ya Allah beritahukanlah kabar kami kepada Nabi-Mu shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘
Lalu mereka menyerang para sahabat hingga berhasil membunuh ‘Ashim bersama tujuh pemanah
lainnya, tinggal tersisa Khubaib, Zaid dan seorang sahabat lagi. Lalu mereka membuat perjanjian dan
kesepakatan dengan mereka jika bersedia untuk turun dan menyerahkan diri.
Tatkala pasukan tersebut telah menyandera tiga utusan Nabi, mereka memudar tali anak panah mereka
untuk mengikat sandra mereka dengan tali itu, maka laki-laki yang ketiga berkata, ‘Ini adalah
pengkhinatan pertama, demi Allah aku tidak akan menjadi teman kalian, ‘ lalu mereka menyeretnya,
namun ia tetap berontak, akhirnya mereka membunuhnya dan mereka pergi dengan membawa Khubaib
dan Zaid hingga mereka menjualnya di Makkah.
Bani Harits bin ‘Amir bin Naufal lalu membeli Khubaib. -Khubaib adalah orang yang telah membunuh Al
Harits ketika perang badar- Khubaib menjadi tawanan bagi mereka hingga mereka sepakat untuk
membunuhnya. Khubaib meminjam pisau kecil dari salah satu anak perempuan Al Harits untuk
bercukur, lalu ia meminjamkannya kepada Khubaib. Wanita itu berkata, ‘Namun aku lalai dengan anak
laki-laki kecilku, anak itu datang kepadanya, lalu ia mengambilnya dan mendudukkanya diatas
pangkuannya. Ketika aku melihatnya, aku sangat takut dengan rasa takut yang bisa ia pahami,
sedangkan pisau kecil masih ada dalam tangannya. Khubaib berkata, ‘Apakah kamu takut kalau aku
akan membunuhnya? Insya Allah aku tidak akan melakukan itu.’ Wanita itu berkata, ‘Demi Allah aku
tidak pernah melihat tawanan yang sangat baik seperti Khubaib, aku pernah melihatnya memakan
setangkai anggur di tangannya dalam keadaan terikat dengan rantai besi, padahal di Makkah tidak ada
buah anggur, tidaklah hal itu melainkan rizqi yang Allah berikan kepada Khubaib.’
Lalu mereka membawa Khubaib keluar dari Haram untuk membunuhnya. Khubaib berkata, ‘Berikanlah
kesempatan kepadaku untuk mengerjakan (shalat) dua raka’at!’ Setelah itu Khubaib kembali kepada
mereka dan berkata, ‘Sekiranya aku tidak khawatir kalian menganggapku takut dari kematian, niscaya
aku akan menambah bilangan raka’atku.’ Dan dialah orang yang pertama kali melakukan shalat dua
raka’at sebelum menghadapi kematian, kemudian ia berkata, ‘Ya Allah hitunglah jumlah mereka, ‘
kemudian dia melanjutkan, ‘Aku tak peduli bila terbunuh sebagai seorang muslim, di bagian manapun
hanya untuk Allah kematianku, yang demikian bagi Sang Ilah, jika Dia berkehendak akan memberkahi
semua persendian jasad yang terpisah.’ Lalu berdirilah ‘Uqbah bin Al Harits dan membunuhnya. Orang-
orang Quraisy kemudian mengutus utusan kepada ‘Ashim untuk mendapatkan sebagian jasadnya
sebagai bukti, sebab ia telah membunuh sebagian besar dari para pembesar mereka pada perang
badar, ternyata Allah mengutus semacam gulungan debu yang menggulung utusan mereka hingga
mereka tidak berhasil mengambil sedikitpun dari jasad Khubaib.’”
Ath-Thabary menambahkan sebuah riwayat dari Abi Kuraib, ia berkata : “Telah menceritakan kepada
kami Ja‘far b in Aun dari Ibrahim bin Ismail ia berkata, telah menceritakan kepadaku Ja‘far bin Amir bin
Umaiyyah dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya
sendirian sebagai mata-mata kepada kaum Quraisy. Ia berkata, ‘Kemudian aku datang ke sebuah kayu
tempat Khubaib dieksekusi, dengan sangat hati-hati. Lalu aku naik kepadanya kemudian aku lepaskan
ikatakannya dan Khubaib pun lenyap seolah-olah ditelan oleh bumi. Sampai hari ini tidak diketahui
tulang-tulang Khubaib itu’”.
Ibnu Ishaq berkata, “Adapun Zaid bin Datsinah, dia dibeli oleh Shafwan bin Umaiyah. Ketika mereka
membawanya keluar dari al-Haram untuk dibunuh, Abu Shafwan bertanya kepadaku, ‘Aku bersumpah
padamu hai Zaid. Apakah kamu suka seandainya Muhammad sekarang ini kami hukum sebagai
penggantimu dan kami kami kembalikan kepada keluargamu?’ Jawab Zaid dengan tegas : ‘Demi Allah,
aku tidak rela jika Muhammad sekarang ini terkena duri sedikitpun sedangkan aku duduk bersama
keluargaku.’ Mendengar jawaban ini Abu Shufyan berkomentar , ‘Aku tidak pernah melihat seorang pun
yang lebih dicintai oleh sahabatnya seperti kecintaan sahabat Muhammad terhadap Muhammad.’”
Tragedi Bi‘ru Ma‘unah
Amir bin Malik yang dikenal dengan Mula‘ibul Asnah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan Islam kepadanya, tetapi dia tidak
menerima juga tidak menolak Islam. Dia hanya berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hai
Muhammad , utuslah beberapa orang sahabatmu ke Najd untuk berdakwah di sana. Saya yakin mereka
akan menyambut agamamu!“ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku khawatir penduduk
Nejd akan menyerang mereka.“ Kata Amir, “Utuslah saja, aku yang akan melindungi dan menjamin
mereka. Biarlah mereka mengajak kepada agamamu.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus 70 sahabat pilihannya. Pengiriman para da’i ini
menurut riwayat Ibnu Ishaq dan Ibnu Katsir, dilakukan empat bulan setelah perang Uhud. Maka
berangkatlah mereka hingga sampai di Bi‘ru Ma‘unah. Ketika sampai di tempat ini, diutuslah Haram bin
Milham salah seorang dari delegasi da’i tersebut untuk menyampaikan surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Amir bin Thufail. Belum sampai surat itu dibacanya, Amir bin Thufail langsung
membunuh Haram bin Milhan.
Menurut riwayat Bukhari dari Anas bin Malik bahwa ketika Haram bin Milhan ditikam dan darahnya
muncrat di wajahnya, ia berteriak, “Aku telah sukses demi Rabb Ka‘bah“. Kemudian Amir bin Thufail
menggerakkan Bani Amir untuk menyerang pada da’i yang lainnya, tetapi Bani Amir menolaknya dan
berkata, “Kami tidak akan mengkhianati Abu Barra‘ (Amir bin Malik)”. Lalu Amir bin Thufail meminta
bantuan kepada kabilah-kabilah Sulaim dari suku Ushaiyyah, Ri‘iI dan Dzakwan. Kabilah-kabilah ini
menyambut ajakan Amir bin Thufail lalu mengepung dan menyerang mereka. Para da’i itu berusaha
melakukan perlawanan tetapi tidak berdaya sampai semuanya gugur terbunuh.
Di antara para da’i yang diutus itu terdapat dua orang sahabat yang tidak menyaksikan tindak
pengkhianatan ini. Salah seorang di antaranya ialah Amir bin Umaiyyah Adh-Dhamri. Kedua sahabat ini
tidak mengetahui berita terjadinya pengkhianatan tersebut sehingga keduanya datang membantu
saudara-saudaranya. Tetapi sahabatnya itu pun terbunuh bersama yang lain, sementara Amir bin
Umaiyyah Adh-Dhamri berhasil lolos dan kembali ke Madinah. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan
dua orang Musyrik yang disangkanya dari Bani Amir. Lalu kedua orang itu dibunuhnya. Setelah sampai
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diceritakan kasus tersebut, ternyata kedua orang itu
dari Bani Kilab dan telah mendapatkan jaminan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Nabi
bersabda, “Engkau telah membunuh dua orang. Aku harus membayar diyatnya.“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan kesedihan yang mendalam atas kematian delegasi
da’i yang semuanya itu adalah sahabat beliau, sehingga selama sebulan penuh Rasulullah saw
melakukan qunut di shalat subuh mendoakan kecelakaan atas kabilah Ri‘I, Dzakwan, Bani Lihyan dan
Ushaiyyah.
Peristiwa tersebut diceritakan dalam banyak riwayat, diantaranya adalah dua riwayat berikut,
Dari Anas bin Malik dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendo’akan kebinasaan terhadap
kaum yang telah membunuh para sahabat beliau di Bi’rul Ma’unah selama tiga puluh hari, beliau
mendo’akan (kebinasaan) terhadap Ri’l, Lahyan dan ‘Ushayyah yang durhaka kepada Allah dan Rasul-
Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.” Anas mengatakan, “Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat untuk
memberitahukan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai orang-orang yang terbunuh di
peristiwa Bi’rul Ma’unah, dan ayat tersebut sempat kami baca hingga akhirnya dimansukh, ayat itu
adalah ‘Sesungguhnya kami telah berjumpa dengan Rabb kami, dan Rabb kamipun ridla terhadap kami,
dan kamipun ridla terhadap-Nya ‘.” (HR. Bukhari)
Dari Anas radliallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
mengutus tujuhpuluh orang untuk suatu keperluan, mereka disebut sebagai qurra`
(para ahli al Qur’an), mereka di hadang oleh penduduk dari bani Sulaim, Ri’l dan
Dzakwan dekat mata air yang disebut dengan Bi’r Ma’unah, mereka berkata, ‘Demi
Allah, bukan kalian yang kami inginkan, kami hanya ada perlu dengan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Mereka akhirnya membunuh para sahabat tersebut,
maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendo’akan kecelakan kepada mereka
(Sulaim, Ri’l dan Dzakwan) selama sebulan pada shalat shubuh, itu adalah awal
kali dilakukannya qunut, sebelumnya kami tida pernah melakukan do’a qunut.”
Abdul Aziz mengatakan, ‘Seseorang bertanya kepada Anas tentang
qunut, apakah ia dikerjakan setelah rukuk ataukah setelah selesai membaca ayat?’
Anas menjawab, ‘Tidak, bahkan dikerjakan setelah selesai membaca
ayat.’” (HR. Bukhari)
Beberapa Ibrah
Pada kedua peristiwa yang menyedihkan ini terdapat beberapa pelajaran penting. Diantaranya :
1. Masing-masing dari tragedi Ar-Raji‘ dan Bi‘ru Ma‘unah menunjukkan keterlibatan dan partisipasi
seluruh kaum Muslimin dalam tanggung jawab dakwah kepada Islam dan menjelaskan hakekat
serta hukum-hukum Islam kepada manusia. Tanggung jawab dakwah bukan hanya tugas para
Nabi dan Rasul atau para Khalifah dan ulama saja. Tetapi merupakan tanggung jawab setiap
individu Muslim.
Anda akan merasakan betapa pentingnya melaksanakan kewajiban dakwah , setelah anda mengetahui
bagaimana Rasulullah saw mengutus 70 orang sahabat pilihannya yang padahal tidak lama setelah
enam orang sahabatnya terbunuh dalam missi yang sama yaitu berdakwah menyebarkan Islam.
Rasulullah saw sendiri telah mengkhawatirkan terjadinya tragedi tersebut, bahkan hal ini pernah
disampaikan kepda Amir bin Malik ketika beliau mengusulkan pengiriman utusan untuk mengajak
manusia kepada Islam. Tetapi Amir bin Malik waktu itu juga melihat bahwa pelaksanaan kewajiban
dakwah (tabligh) lebih penting daripasa segala sesuatu jika tanggung jawab mengemban amanat
dakwah tidak akan bisa dilaksanakan kecuali harus dengan menempuh petualangan dengan resiko
seperti itu maka biarlah semua itu terjadi. Biarlah terjadi apa yang dikehendaki oleh Allah swt dengan
kewajiban melaksanakan dakwah tersebut.
2. Seorang Muslim tidak boleh tinggal di Darul Kufri atau Darul Harbi, jika tidak dapat
memperlihatkan eksistensi dan misi agamanya. Tetapi kasus dalam sirah Nabi ini menunjukkan
pengecualian hukum tersebut, yaitu apabila menetapkan seorang Muslim di Darul Harbi atua
Darul Kufri itu karena melaksanakan tugas kewajiban dakwah Islam. Sebab, hal ini termasuk
salah satu bentuk jihad yang tanggung jawabnya berkaitan dengan seluruh kaum Muslimin , atas
dasar fardhlu kifayah yang jika telah ada sebagian orang yang melaksanakannya secara
sempurna maka tanggung jawab itu gugur dari orang lain, tetapi jika belum terlaksanakan secara
sempurna maka seluruh kaum Muslimin akan menanggung dosanya.
3. Kedua tragedi ini secara jelas menunjukkna betapa kebencian dan dendam kesumat yang
membara di hati kaum Musyrikin terhadap kaum Muslimin, sampai mereka tega melakukan
pengkhianatan yang terburuk demi untuk memuaskan dahaga kebencian mereka kepada kaum
Muslimin. Sebaliknya, kedua tragedi ini menunjukkan betapa indah dan mengagumkan gambaran
watak dan tabiat kaum Muslimin yang menjadi korban pengkhianatan mereka.
Anda sendiri telah melihat bagaimana Khubaib disekap sebagai tawanan di rumah Bani Al-Harits,
menanti pelaksanaan eksekusinya. Pada hari pelaksanaan eksekusi, Khubaib meminjam pisau cukur
untuk mencukur demi mempersiapkan diri menghadapi kematian. Saat itu tiba-tiba seorang anak balita
dari seorang wanita lepas dan mendatangi Khubaib . Pada saat-saat ini, bagi orang berpikir ingin
membalas dendam dan selamat dari kematian, merupakan kesempatan yang baik untuk melakukan
penyanderaan sebagai media tawarmenawar atau membayar pengkhianatan dengan pengkhianatan
yang sama.
Dan memang demikianlah perkiraan semua penghuni rumah itu, sehingga ketika ibu dari bayi itu melihat
bayinya berada di pangkuan Khubaib, ia terkejut ketakutan. Tetapi ibu itu tercengang ketika melihat
Khubaib mendudukan anaknya di pangkuan seraya memanjakannya seperti seorang ayah! Ketika
Khubaib melihat wanita itu penuh ketakutan dan kecemaran, maka dengan tenang dan rasa kasih
sayang sebagai seorang Mukmin Khubaib berkata: “Apakah engkau takut akan akan membunuhnya ?
Insya Allah aku tidak akan melakukannya.“
Perhatianlah mukjizat tarbiyah Islamiyah kepada manusia ! perhatikanlah perbedaan antara Khubab dan
orang-orang Musyrik yang telah membunuhnya secara kejam dan aniaya. Sama-sama orang Arab yang
tumbuh dalam satu lingkungan dan tradisi yang serupa. Tetapi Khubaib telah memeluk Islam sehingga
Islam telah membentuknya menjadi manusia yang berbeda sama sekali dengan mereka yang tetap
bertahan dalam kesesatan dan tabiat mereka yang buruk. Betapa besar perubahan yang telah dilakukan
oleh Islam pada tabiat manusia !
4. Tragedi ini menjadi dalil bahwa seorang yang ditawan oleh musuh boleh tidak menerima tawaran
keamanan dan tidak mau tunduk kepada musuh, sekalipun dengan resiko dibunuh, karena
menolak diberlakukannya hukum memilih tawaran keamanan, demi menanti kesempatan dan
mengharapkan pembebasan, sebagaimana yang dilakukan oleh Khubaib dan Zaid. Tetapi
seandainya ia dapat melarikan diri maka menurut pendapat yang lebih shahih ia harus
melakukannya, kendatipun ia dapat menampakkan agamanya di antara mereka, karena tawanan
di tangan kaum kafir itu terhina. Oleh sebab itu ia wjaib membebaskan dirinya dari kehinaan
tawanan dan perbudakkan.
5. Jika kita perhatikan jawaban Zaid bin Datsinah kepada Abu Sofyan beberapa menit sebelum
pembunuhannya dapatlah kita ketahui betapa besar kecintaan para sahabat kepada Rasulullah
tidak diragukan lagi bahwa kecintaan ini merupakan faktor terpenting yang menumbuhkan
kesiapsediaan berkorban di jalan Allah dan membela Rasulullah. Betapapun kualitas keimanan
seseorang, jika tidak disertai kecintaan kepada Rasulullah seperti ini, adalah tetap merupakan
keimanan yang belum sempurna.
Hakekat ini dinyatakan secara tegas oleh Rasulullah di dalam sabdanya, “Tidaklah beriman salah
seorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada hartanya, anaknya, orang tuanya dan
semua manusia.“ (HR Bukhari dan Muslim)
6. Apa yang terjadi pada khubaib selama menjadi tawanan di Mekkah menunjukkan kemungkinan
terjadinya karamah bagi seorang Wali sebagaimana mukjizat bagi seorang Nabi. Perbedaan
utamanya bahwa mukjizat Nabi disertai dengan tantangan dan pernyataan Kenabian sedangkan
karamah para Wali dan orang-orang shalih datang begitu saja tanpa disertai tantangan. Inilah
yang ditetapkan oleh jumhur Ahli Sunnah wal Jama‘ah. Tidak ada karamah yang lebih jelas
daripada karamah yang diberikan oleh Allah, kepada Khubaib sebelum pembunuhannya. Ia
begitu tabah dan tegar menghadapi kematian, sebagaimana diriwayatkan bukhari dan lainnya.
7. Mungkin ada yang ingin bertanya, “ Apa hikmah terjadinya pengkhianatan terhadap para pemuda
Mukmin yang keluar demi menyambut perintah Allah swt dan Rasul-Nya?“ Mengapa Allah tidak
memberikan kekuatan kepada mereka sehingga berhasil mengalahkan para pengkhianat itu ?“
Jawabannya ialah, apa yang telah kami sebutkan berkali-kali yaitu, bahwa Allah
memperhambakan para hamba-Nya melalui perjuangan mewujudkan dua hal : Menegakkan
masyarakat Islam dan berjuang mencapai tujuan tersebut pada jalan yang penuh dengan tebaran
duri. Hikmahnya agar terwujudnya ubudiyah manusia kepada Allah dan terpisahkan antara
orang-orang yang benar-benar beriman dan orang-orang munafiq. Di samping terlaksananya
mubaya‘ah antara Allah dan para hambah-Nya yang beriman.
Mubaya‘ah yang secara tegas disebutkan di dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah swt telah
membeli dari orang-orang Mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga bagi mereka.
Mereka berpegang di jalan Allah, lalu membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar di
dalam Taurat, Injil dan Al-Quran..“ (QS At-Taubah : 111)
Apa arti penandatanganan perjanjian ini jika isi perjanjian itu sendiri tidak terlaksanakan? Apa nilai bai’at
ini, jika tidak terlaksanakan, sehingga pihak yang menandatangai berhak mendapatkan surga dan
kebahagiaan abadi ? Keberatan terhadap persoalan ini hanyalah bagi orang-orang yang lebih
mengutamakan kehidupan di dunia daripada kehidupan di akherat. Hal ini merupakan tanda ketiadaan
keimanan kepada Allah swt, atau lemahnya iman pada dirinya.
Orang-orang seperti ini tidak dapat diharapkan untuk melakukan petualangan dengan mengorbankan
nyawa dan harta. Tetapi bagi orang-orang yang beriman secara benar, hal ini tidak menjadi masalah.
Karena kenikmatan kehidupan duniawi tidaklah sedemikian besar nilainya dalam keyakinan mereka
sehingga harus menghalangi dari menunaikan ketaatan yang paling ringan kepada Allah swt.
Pengorbanan nyawa, dalam pandangan Mukmin tidak lain hanylaah merupakan perpindahan dari
penjara dunia menuju kenikmatan akherat.
Memperoleh kenikmatan akherat merupakan puncak cita-cita yang hendak dicapai oleh setiap Muslim
dalam kehidupannya. Perasaan dan sikap ini tmapak secara jelas dalam bait-bait yang diucapkan oleh
Khubaib ketika hendak dibunuh terutama pada bait terakhir: “Aku tak akan tunduk dan takut kepada
musuh, Kepada Allah jua tempat kembaliku.”
Telah menceritakan kepadaku Abdul A'la bin Hammad telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' telah menceritakan
kepada kami Sa'id dari Qatadah dari Anas bin Malik radliallahu
'anhu, bahwa Dzakwan, 'Ushayyah dan bani Lahyan meminta
bantuan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk
menghadapi musuh, lalu beliau mengirim bala bantuan tujuh
puluh sahabat Anshar, kami menyebut mereka sebagai al Qurra'
di zaman mereka. Mereka biasa mencari kayu bakar di siang
hari dan shalat malam di malam harinya, ketika mereka tiba di
Bi'rul Ma'unah, mereka (orang-orang kafir) membunuh dan
mengkhianati mereka. Ketika peristiwa itu sampai kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau melaksanakan qunut selama
sebulan dalam shalat shubuh, beliau mendo'akan kecelakaan
terhadap penduduk di antara penduduk-penduduk Arab, yaitu
Ri'l, Dzakwan, 'Ushayyah serta bani Lahyan." Anas berkata,
"Maka kami membaca (kisah mereka yang diabadikan) dalam al
Quran, namun kemudian itu dimasukh (dihapus), yaitu ayat
yang berbunyi 'Sampaikanlah kisah kami kepada kaum kami,
bahwa kami telah berjumpa dengan Rabb kami, Dia meridlai
kami dan kamipun ridla dengan-Nya'." Dan
dari Qatadah dari Anas bin Malik dia menceritakan kepadanya,
bahwa Nabiyullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan
qunut dishalat shubuh selama sebulan, beliau mendo'akan
kebinasaan beberapa perampungan Arab seperti Ri'l, Dzakwan,
'Ushayyah dan bani Lahyan." Khalifah menambahkan; telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' telah menceritakan
kepada kami Sa'id dari Qatadah telah menceritakan kepada
kami Anas bahwa ketujuh puluh sahabat Anshar tersebut
dibunuh di Bi'rul Ma'unah (kami membaca) dalam Al
Qur'an...sebagaimana riwayat di atas." Hadits Shahih Al-Bukhari
No. 3781
Telah menceritakan kepadaku Hibban telah mengabarkan kepada
kami Abdullah telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dia berkata,
telah menceritakan kepadaku Tsumamah bin Abdullah bin
Anas bahwa dia mendengar Anas bin Malik radliallahu 'anhu berkata,
"Ketika Haram bin Milhan ditikam -dia adalah paman beliau- pada
peristiwa Bi'rul Ma'unah, dia memercikkan darahnya ke wajah dan
kepalanya, lalu dia berkata, "Demi Rabb pemilik Ka'bah, aku telah
menang." Hadits Shahih Al-Bukhari No. 3783
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Malik dari Ishaq bin
Abdullah bin Abu Thalhah dari Anas bin Malik dia berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
mendo'akan kebinasaan terhadap kaum yang telah membunuh para sahabat beliau di Bi'rul Ma'unah
selama tiga puluh hari, beliau mendo'akan (kebinasaan) terhadap Ri'l, Lahyan dan 'Ushayyah yang
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam." Anas mengatakan, "Lalu Allah Ta'ala
menurunkan ayat untuk memberitahukan kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam mengenai
orang-orang yang terbunuh di peristiwa Bi'rul Ma'unah, dan ayat tersebut sempat kami baca hingga
akhirnya dimansukh, ayat itu adalah '(Sesungguhnya kami telah berjumpa dengan Rabb kami, dan
Rabb kamipun ridla terhadap kami, dan kamipun ridla terhadap-Nya) '." Hadis Imam Bukhari No. 3786
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah
menceritakan kepada kami Abdul Wahid telah menceritakan kepada
kami 'Ashim Al Ahwal dia berkata, aku bertanya kepada Anas bin
Malik radliallahu 'anhu mengenai qunut dalam shalat, Anas menjawab,
"Benar." Aku bertanya lagi, "Apakah dilaksanakan sebelum rukuk atau
setelahnya?" Anas menjawab, "Sebelum rukuk." Aku lalu berkata,
"Sesungguhnya fulan mengabarkan kepadaku bahwa anda mengatakan
setelah rukuk!" Anas menjawab, "Dia telah berdusta! Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam pernah melaksanakan qunut setelah rukuk
selama sebulan, yaitu ketika beliau mengutus sekelompok sahabatnya
yang disebut Qurra' (orang yang ahli dalam al Qur'an), mereka
berjumlah tujuh puluh orang, mereka diutus kepada sekelompok orang
dari kaum Musyrikin, sementara antara kaum tersebut dengan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ada perjanjian, namun kaum
yang ada perjanjian dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
mengkhianatinya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
mengerjakan qunut setelah rukuk selama sebulan untuk mendo'akan
kebinasaan atas mereka." Hadits Shahih Al-Bukhari No. 3787
dalam riwayat Abu Dawud dalam kitab Sunan-Nya.
Telah berkata Al Hasan bin Ali RA, “Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada beberapa kalimat yang
aku ucapkan ketika melakukan witir. Ibnu Hawwas berkata; ketika melakukan qunut witir yaitu;
Allahumma dinii fiiman hadait, wa' aafinii fiiman tawallait, wa baarik lii fiimaa a'thait, wa qinii, syarra maa
qadhait, innaka taqdhii wa laa yuqdhaa 'alaik, wa innahu laa yadzillu man waalait, wa laa ya'izzu man
'aadait, tabaarakta rabbanaa wa ta'aalait
(Ya Allah, berilah aku petunjuk diantara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku
keselamatan diantara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku diantara orang-
orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku,
lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau putuskan, sesungguhnya Engkau Yang
memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau
jaga dan Engkau tolong, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Engkau Mahasuci dan
Mahatinggi).