Makalah Dan Laporan 3
Makalah Dan Laporan 3
Makalah Dan Laporan 3
Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar penyakit SLE?
2. Apa saja manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan SLE?
3. Bagaimana pendekatan penatalaksanaan untuk pasien dengan SLE?
4. Bagaimana asuhan keperawatan yang tepat untuk pasien dengan SLE?
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan dapat memahami penjabaran tentang penyakit
lupus.
2. Tujuan Khusus
a) Mampu menjelaskan tentang defenisi, etiologi, klasifikasi / jenis-jenis
penyakit lupus, patofisiologi dan pathway, manifestasi klinis (tanda
dan gejala), pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan medis dan
keperawatan.
b) Mampu menjabarkan dan atau membuat asuhan keperawatan pada
klien yang menderita penyakit lupus.
C. Manfaat
1. Memberikan pemahaman yang lebih baik tentang SLE kepada tenaga
kesehatan.
2. Membantu perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang efektif
dan efisien kepada pasien dengan SLE.
3. Meningkatkan kualitas hidup pasien dengan SLE melalui intervensi
keperawatan yang tepat.
BAB II
KONSEP PENYAKIT
A. Definisi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau
serigala,sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-
merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani
kuno untuk menyatakansuatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang
disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar
luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga
mengakibatan kerusakan jaringan.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kronis
yang ditandai dengan produksi autoantibodi yang menyerang jaringan dan
organ tubuh sendiri, menyebabkan peradangan dan kerusakan pada berbagai
sistem organ. SLE adalah jenis lupus yang paling umum dan dapat
mempengaruhi hampir semua bagian tubuh, termasuk kulit, sendi, ginjal, otak,
jantung, paru-paru, darah, dan sistem saraf.
Penyakit ini bersifat sistemik, yang berarti dapat mempengaruhi banyak
organ sekaligus, dan sering kali berlanjut dengan episode flare (eksaserbasi)
yang diikuti oleh periode remisi (penurunan gejala). SLE memiliki gambaran
klinis yang sangat beragam, sehingga sering kali disebut sebagai "penyakit
seribu wajah."
Berikut adalah beberapa karakteristik utama dari SLE:
1. Autoimunitas
SLE adalah penyakit autoimun, di mana sistem kekebalan tubuh yang
seharusnya melindungi tubuh dari infeksi malah menyerang jaringan tubuh
sendiri. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sistem imun
yang menghasilkan autoantibodi.
2. Peradangan Sistemik
Peradangan pada SLE dapat terjadi di berbagai organ dan jaringan,
menyebabkan gejala yang bervariasi tergantung pada organ yang terkena.
Peradangan ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang signifikan
dan disfungsi organ.
3. Manifestasi Klinis Beragam
Gejala SLE sangat beragam, mulai dari gejala umum seperti kelelahan,
demam, dan nyeri sendi hingga gejala yang lebih spesifik seperti ruam
kulit berbentuk kupu-kupu di wajah (malar rash), nefritis lupus
(peradangan ginjal), pleuritis (peradangan selaput paru), dan gangguan
sistem saraf pusat.
4. Episodik
SLE sering kali memiliki pola episodik, di mana pasien mengalami flare-
up gejala yang parah diikuti oleh periode remisi di mana gejala berkurang
atau hilang sama sekali. Faktor pemicu flare-up dapat mencakup stres,
infeksi, paparan sinar matahari, dan perubahan hormonal.
5. Kompleksitas Diagnosis
Diagnosis SLE bisa sangat menantang karena gejalanya yang beragam dan
mirip dengan banyak penyakit lain. Diagnosis biasanya didasarkan pada
kombinasi dari riwayat klinis, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium,
termasuk tes untuk autoantibodi seperti antinuclear antibody (ANA).
6. Pengelolaan Multidisiplin
Penatalaksanaan SLE memerlukan pendekatan multidisiplin yang
melibatkan dokter spesialis seperti reumatolog, nefrolog, dermatolog, dan
lain-lain, serta perawat, psikolog, dan pekerja sosial. Penatalaksanaan
bertujuan untuk mengendalikan gejala, mencegah flare-up, dan mengelola
komplikasi.
Secara keseluruhan, SLE adalah penyakit yang kompleks dan menantang
yang memerlukan perhatian medis yang berkelanjutan dan asuhan
keperawatan yang komprehensif untuk membantu pasien menjalani kehidupan
yang lebih baik meskipun ada penyakit ini.
B. Etiologi
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa
faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.
Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui
faktor yangpaling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.Berikut ini
beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak
kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE,
sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%.
Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan
penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok
gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility
Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2),
telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada
struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko
tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan
defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1,
akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun,
yaitu :
a. Antigen Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
PresentingCell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada
penderita lupus, beberapareseptor yang berada di permukaan sel T
mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini
menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan
salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B Kelainan yang dapat terjadi pada sel
T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel
autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan
memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin
dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi
pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe
dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi
autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor resiko terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor
lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri Agen infeksius, seperti virus dan bakteri,
dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri
dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi
penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan
penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin
sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui
peredaran pembuluh darah
C. Manifestasi Klinis
Awitan penyakit ini sifatnya membayakan atau akut. SLE bisa saja tidak
terdiagnosis selama beberapa tahun. Proses klinis penyakit meliputi
eksaserbasi dan remisi.
1. Gejala klasik demam, keletihan, penurunan berat badan, dan kemungkinan
artritis, pleurisi.
2. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia dan artritis (sinovitis) adalah cirti yang paling sering muncul.
Pembekakan sendi nyeri tekan, dan nyeri pergerakan adalah hal yang
lazim, disertai dengan kekakuan pada pagi hari.
3. Sistem integumen
Terlihat beberapa jenis SLE yang berbeda (mis., lupus eritematosus
kutaneus sub akut [SCLE], lupus etitematosus diskoid [DLE]). Ruam
kupu-kupu pada batang hidung dan pipi muncul pada lebih dari separuh
pasien dan mungkin merupakan prekusor untuk gangguan yang sistemik.
Lesi memburuk selama periode eksaserbasi (ledakan) dan dapat
distimulasi oleh sinar matahari atau sinar ultraviolet buatan. ulkus oral
dapat mengenai mukosa bukal dan palatum.
4. Sistem Pernapasan
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah
pneumonitis,emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan
shrinking lungsyndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau
berlanjut menjadi kronik.Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk
kering, dan dijumpai ronki di basal.
Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada
alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak.
Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik terhadap steroid.
Hemoptisis merupakan keadaan yang sering apabila merupakan bagian
dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan tidak
hanya pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau pemberian
sitostatika.
5. Sistem Kardiovaskuler
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial,
dapatberupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh
takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai
gagal jantung.
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri
substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun
EKG, Echokardiografi. Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak
terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai
endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam
harus dicurigai kemungkinanendokarditis bakterialis.
Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6%
lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44
tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.
6. Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian
besarterjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan
kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30
tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.
7. Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena
dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit LES
atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang
biasanya menonjol walaupun tidak didapatkan adanya kelainan pada
esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas.
Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak
dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan
adanya ulkus.Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada
peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan
hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak
dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT
ataupun fosfatase alkali dan LDH.
8. Manifestasi Hemopoetik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan
anemia hemolitik autoimun.
9. Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena
gambaranklinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai
manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan
pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti
sepsis, uremia, dan hipertensiberat.
Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa
migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan
tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab
terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama
tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis.
Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis
cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik,
kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.
Elektroensefalografi(EEG) juga tidak memberikan gambaran yang
spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan
adanya infark atau perdarahan.
D. Klasifikasi
Klasifikasi SLE dilakukan berdasarkan beberapa parameter yang meliputi
keterlibatan organ, tingkat keparahan penyakit, serta pola gejala klinis. Berikut
adalah klasifikasi lengkap SLE:
1. Berdasarkan Keterlibatan Organ
a) Keterlibatan Kulit dan Mukosa:
- Lupus Eritematosus Diskoid: Lesi kulit kronis berbentuk cakram
yang biasanya tidak melibatkan organ dalam.
- Subakut Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE): Lesi kulit yang
lebih menyebar, sering kali berbentuk annular atau psoriasiform.
- Acute Cutaneous Lupus Erythematosus (ACLE): Ruam kulit akut
yang sering kali berbentuk kupu-kupu (malar rash) di wajah, dapat
melibatkan daerah lain seperti lengan dan tubuh bagian atas.
b) Keterlibatan Sendi:
- Artritis Lupus: Nyeri sendi dan pembengkakan, sering kali
menyerupai artritis reumatoid, tetapi biasanya tidak menyebabkan
kerusakan sendi permanen.
c) Keterlibatan Ginjal:
- Nefritis Lupus: Peradangan ginjal yang dapat menyebabkan
hematuria, proteinuria, dan gangguan fungsi ginjal.
Diklasifikasikan lebih lanjut oleh biopsi ginjal berdasarkan pola
histopatologis.
d) Keterlibatan Sistem Saraf:
- Neuropsychiatric Lupus (NPSLE): Gangguan neurologis dan
psikiatris seperti kejang, psikosis, neuropati perifer, dan gangguan
kognitif.
e) Keterlibatan Jantung dan Paru:
- Perikarditis: Peradangan pada lapisan luar jantung (perikardium).
- Pleuritis: Peradangan pada lapisan luar paru-paru (pleura).
- Miokarditis dan Endokarditis: Peradangan pada otot jantung dan
lapisan dalam jantung.
f) Keterlibatan Hematologi:
- Anemia: Penurunan jumlah sel darah merah.
- Leukopenia: Penurunan jumlah sel darah putih.
- Trombositopenia: Penurunan jumlah trombosit.
g) Keterlibatan Gastrointestinal:
- Peritonitis Lupus: Peradangan pada lapisan dalam perut
(peritoneum).
- Gastritis dan Hepatitis Autoimun: Peradangan pada lambung dan
hati.
2. Berdasarkan Tingkat Keparahan
a) Ringan (Mild SLE):
- Gejala terbatas pada kulit dan sendi.
- Tidak ada keterlibatan organ dalam yang signifikan.
- Pengelolaan dengan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan
antimalaria.
b) Sedang (Moderate SLE):
- Keterlibatan organ dalam yang lebih serius seperti ginjal atau
paru-paru.
- Gejala lebih berat dan mungkin memerlukan kortikosteroid dosis
rendah hingga sedang dan imunosupresan.
c) Berat (Severe SLE):
- Keterlibatan organ vital seperti ginjal yang menyebabkan gagal ginjal,
atau sistem saraf pusat dengan manifestasi berat.
- Memerlukan pengobatan agresif dengan kortikosteroid dosis tinggi dan
terapi imunosupresan kuat.
3. Berdasarkan Pola Gejala Klinis
a) SLE Akut:
- Gejala muncul secara tiba-tiba dan parah.
- Flare-up sering terjadi dengan periode remisi yang singkat.
b) SLE Kronis:
- Gejala lebih stabil tetapi persisten.
- Periode remisi lebih lama, tetapi flare-up tetap terjadi.
c) SLE Subakut:
- Gejala berkembang perlahan dan berkelanjutan.
- Manifestasi kulit yang dominan, sering kali dengan keterlibatan
organ minimal.
4. Berdasarkan Penyebab atau Faktor Pemicu
a) Drug-Induced Lupus:
- Lupus yang disebabkan oleh obat-obatan tertentu seperti
procainamide, hydralazine, dan isoniazid.
- Gejala mirip dengan SLE tetapi biasanya menghilang setelah
penghentian obat.
b) Idiopathic SLE:
- Lupus tanpa penyebab yang jelas, biasanya dikaitkan dengan faktor
genetik dan lingkungan.
Dengan memahami klasifikasi ini, perawat dan tenaga medis lainnya
dapat memberikan penatalaksanaan yang lebih tepat dan terarah sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan masing-masing pasien.
E. Komplikasi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dapat menyebabkan berbagai
komplikasi yang melibatkan hampir semua sistem organ dalam tubuh.
Komplikasi ini sering kali timbul sebagai akibat dari peradangan kronis yang
disebabkan oleh respons autoimun tubuh. Berikut adalah beberapa komplikasi
utama yang dapat terjadi pada pasien dengan SLE:
1. Komplikasi Ginjal
- Nefritis Lupus: Salah satu komplikasi paling serius dari SLE adalah
nefritis lupus, yang merupakan peradangan pada ginjal. Ini dapat
menyebabkan kerusakan ginjal yang signifikan dan dapat berkembang
menjadi gagal ginjal kronis. Gejala mungkin termasuk hematuria (darah
dalam urine), proteinuria (protein dalam urine), hipertensi, dan edema.
2. Komplikasi Jantung dan Pembuluh Darah
- Perikarditis: Peradangan pada perikardium, selaput yang mengelilingi
jantung, menyebabkan nyeri dada yang tajam dan mungkin disertai
dengan efusi perikardial (penumpukan cairan di sekitar jantung).
- Miokarditis: Peradangan pada otot jantung yang dapat menyebabkan
gagal jantung, aritmia, dan kardiomiopati.
- Endokarditis: Peradangan pada lapisan dalam jantung, sering kali
melibatkan katup jantung, yang dapat menyebabkan kelainan katup.
- Aterosklerosis: Pasien dengan SLE memiliki peningkatan risiko
aterosklerosis dini, yang dapat menyebabkan penyakit arteri koroner,
serangan jantung, dan stroke.
3. Komplikasi Paru-paru
- Pleuritis: Peradangan pada pleura, selaput yang melapisi paru-paru dan
rongga dada, yang menyebabkan nyeri dada dan sesak napas.
- Efusi Pleura: Penumpukan cairan di antara lapisan pleura yang dapat
menyebabkan kesulitan bernapas.
- Pneumonitis Lupus: Peradangan jaringan paru-paru yang dapat
menyebabkan batuk, demam, dan sesak napas.
- Fibrosis Paru: Jaringan parut pada paru-paru yang menyebabkan
penurunan fungsi paru dan kesulitan bernapas.
4. Komplikasi Sistem Saraf
- Neuropsychiatric Lupus (NPSLE): Termasuk gangguan neurologis dan
psikiatris seperti kejang, psikosis, gangguan kognitif, migrain, neuropati
perifer, dan mielitis transversa. Komplikasi ini dapat mempengaruhi
fungsi otak dan saraf secara signifikan.
- Stroke: Peningkatan risiko stroke akibat peradangan dan
hiperkoagulabilitas.
5. Komplikasi Hematologi
- Anemia: Penurunan jumlah sel darah merah yang dapat menyebabkan
kelelahan dan kelemahan.
- Leukopenia: Penurunan jumlah sel darah putih yang meningkatkan
risiko infeksi.
- Trombositopenia: Penurunan jumlah trombosit yang dapat menyebabkan
perdarahan dan memar yang mudah terjadi.
- Antiphospholipid Syndrome (APS): Gangguan autoimun yang sering
terkait dengan SLE dan menyebabkan peningkatan risiko pembekuan
darah, keguguran berulang, dan komplikasi vaskular lainnya.
Pengelolaan komplikasi ini memerlukan pendekatan multidisiplin yang
melibatkan berbagai spesialis medis dan tim keperawatan yang terlatih.
Deteksi dini dan intervensi yang tepat sangat penting untuk mencegah atau
mengurangi dampak komplikasi ini pada kualitas hidup pasien.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada
lapisan kulit
2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan hati tidak dapat mensintesa zat-zat
penting untuk tubuh
3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
5. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret
C. Perencanaan Keperawatan
1. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada
lapisan kulit
a. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi.
Gambarkan lesi dan amati perubahan.R/: Menentukan garis dasar di
man perubahan pada status dapat di bandingkan dan melakukan
intervensi yang tepat.
b. Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, mis, membasuh
kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan
masase dengan menggunakan lotion atau krim.R/: mempertahankan
kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.
c. Gunting kuku secara teratur.R/: kuku yang panjang dan kasar
meningkatkan risiko kerusakan dermal.
d. Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau
barrier protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.R/: dapat mengurangi
kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.
e. Kolaborasigunakan/berikan obat-obatan topical sesuai indikasi. R/:
digunakan pada perawatan lesi kulit.
2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan mual/ muntah.
a. Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan.R/: lesi
mulut,tenggorok dan esophagus dapat menyebabkan disfagia,
penurunan kemampuan pasien mengolah makanan dan mengurangi
keinginan untuk makan.
b. Berikan perawatan mulut yang terus menerus, awasi tindakan
pencegahan sekresi. Hindari obat kumur yang mengandung alcohol.R/:
Mengurangi ketidaknyamanan yang berhubungan dengan mual/muntah,
lesi oral, pengeringan mukosa dan halitosis. Mulut yang bersih
meningkatkan nafsu makan.
c. Jadwalkan obat-obatan di antara makan (jika memungkinkan) dan
batasi pemasukan cairan dengan makanan, kecuali jika cairan memiliki
nilai gizi. R/: lambung yang penuh akan akan mengurangi napsu makan
dan pemasukan makanan.
d. Dorong aktivitas fisik sebanyak mungkin.R/: dapat meningkatkan napsu
makan dan perasaan sehat.
e. Berikan fase istirahat sebelum makan. Hindari prosedur yang
melelahkan saat mendekati waktu makan.R/: mengurangi rasa lelah;
meningkatkan ketersediaan energi untuk aktivitas makan.
f. Dorong pasien untuk duduk pada waktu makan.R/: mempermudah
proses menelan dan mengurangi resiko aspirasi.
g. Catat pemasukan kalori. R/: mengidentifikasi kebutuhan terhadap
suplemen atau alternative metode pemberian makanan.
h. KolaborasiKonsultasikan dengan tim pendukung ahli diet/gizi.R/:
Menyediakan diet berdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang
tepat
3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.
INTERVENSI/TINDAKAN RASIONAL
MANDIRI
A. Pengkajian
Identitas Pasien:
- Nama : Ny. N
- Usia : 13 tahun
- Jenis Kelamin : Perempuan
- Alamat : Kabila
- Pekerjaan : Belum Bekerja
- Tanggal Masuk RS : 12-07-2024
Keluhan Utama:
- Nyeri sendi pada beberapa bagian tubuh.
- Kelelahan yang ekstrem.
- Ruam kulit di wajah (malar rash).
Riwayat Penyakit Sekarang:
- Tn. N telah didiagnosis dengan SLE selama 2 tahun.
- Mengalami flare-up dengan gejala yang memburuk selama 1 minggu
terakhir.
- Mengeluh nyeri sendi yang intens, terutama pada lutut dan siku.
- Kelelahan yang tidak membaik meskipun istirahat.
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Tidak ada riwayat penyakit autoimun lain.
- Riwayat hipertensi yang terkontrol dengan obat.
Riwayat Penyakit Keluarga:
- Tidak ada riwayat SLE atau penyakit autoimun lainnya dalam keluarga.
Riwayat Psikososial:
- Tn. N mengalami stres karena penyakitnya yang mempengaruhi
pekerjaannya.
- Keluarga memberikan dukungan yang cukup.
Pemeriksaan Fisik:
- Tekanan Darah: 130/80 mmHg
- Nadi: 80 kali/menit
- Suhu: 37,5°C
- RR: 20 kali/menit
- Kulit: Ruam kemerahan di wajah, tidak ada ulserasi.
- Sendi: Pembengkakan dan nyeri tekan pada lutut dan siku.
- Sistem Saraf: Tidak ada defisit neurologis.
Pemeriksaan Laboratorium:
- Hb: 10 g/dL (anemia)
- WBC: 3,000 /μL (leukopenia)
- Platelet: 100,000 /μL (trombositopenia)
- ANA: Positif
- Anti-dsDNA: Positif
- Urinalisis: Proteinuria
B. Analisa Data
Masalah Keperawatan:
1. Nyeri sendi berhubungan dengan inflamasi akibat SLE.
2. Kelelahan berhubungan dengan kondisi kronis SLE dan anemia.
3. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan leukopenia.
4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ruam dan peradangan kulit.
5. Kecemasan berhubungan dengan penyakit kronis dan dampaknya terhadap
kehidupan sehari-hari.