Jurnal - 1 KB 1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA

Vol. 15. No. 2, Februari 2016, 304-319

PENDISTRIBUSIAN ZAKAT PRODUKTIF


DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Siti Zalikha
Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, Kabupaten Bireuen
E-mail: [email protected]

Abstrak
Kewajiban berzakat serta penjelasan tentang hukumnya sudah ditegaskan semenjak
zaman Mekah, menurut pendapat kuat pada tahun kedua Hijriyah. Namun,
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan industri serta perubahan struktur
politik dan ekonomi, membuat konsep kekayaan dan kemiskinan berubah drastis,
sehingga paradigma hukum tidak lagi mencukupi untuk menjalankan ajaran zakat
dalam masyarakat. Maka perlu adanya kritik dan evaluasi atas pemahaman dan
persepsi tentang zakat, baik pada konsep teoritik maupun konsep operasional, serta
model pelaksanaan dan aplikasinya. Artikel ini merupakan upaya membangun
kembali konsep zakat yang utuh, komprehensif dan tepat dengan berbagai konsep
terkait, yang meliputi konsep harta, kepemilikan, ekonomi dan keadilan dalam
berbagai dimensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendistribusian zakat secara
produktif dibolehkan dengan maksud untuk meningkatkan kehidupan ekonomi para
mustahik.

Kata kunci: Zakat produktif; Hukum Islam; Mustahik zakat

Abstract
The obligation on charity and explanation of the law has been emphasized since the
days of Mecca,the strongest opinion in the second year Hijr. However, the
occurrence of major changes in the world that followed the revolution of science,
technology, political and economic structure, made the concept of wealth and
poverty is changing dramatically in which legal paradigm is no longer sufficient to
carry out the teachings of charity in society. Hence, it is needed the criticism and
evaluation of understanding and perception of charity, both on theoretical concepts
and operational concepts, as well as implementation and application models. This
study discuss the criticism to rebuild the whole concept of charity, comprehensive
and precise with a variety of related concepts, including the concept of property and
ownership, economy and fairness in various dimensions.

Key words: Productive charity, Islamic law, Charity ricipient.

‫ﻣﺴﺘﺨﻠﺺ‬
‫ وﻣﻊ‬.‫ ﰲ رأي راﺣﺞ ﰲ اﻟﺴﻨﺔ اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ اﳍﺠﺮﻳﺔ‬،‫اﻻﻟﺘﺰام ﺑﺎﻟﺰﻛﺎةوﺑﻴﺎن ﻋﻦ أﺣﻜﺎﻣﻬﺎ ﻛﺎن ﻣﻨﺬ أﻳﺎم ﻣﻜﺔ اﳌﻜﺮﻣﺔ‬
‫ ﻓﺈن ﺣﺪوث ﺗﻐﲑات واﺳﻌﺔ اﻟﻨﻄﺎق ﰲ اﻟﻌﺎﱂ اﻟﱵ أﻋﻘﺒﺖ ﺛﻮرة اﻟﻌﻠﻢ واﻟﺘﻜﻨﻮﻟﻮﺟﻴﺎ واﻟﺼﻨﺎﻋﺔ واﻟﺘﻐﲑات ﰲ‬،‫ذﻟﻚ‬
‫ وﺣﱴ ﰲ ﻧﻈﺮﻳﺔ اﳊﻜﻢ ﱂ ﻳﻌﺪ ﻛﺎﻓﻴﺎ‬،‫ ﳑﺎ ﳚﻌﻞ ﻣﻔﻬﻮم اﻷﻏﻨﻴﺎءواﻟﻔﻘﺮ اء ﻟﺘﻐﲑ ﺑﺸﻜﻞ ﻛﺒﲑ‬،‫ﻫﻴﻜﻞ اﻟﺴﻴﺎﺳﻴﺔ واﻻﻗﺘﺼﺎدﻳﺔ‬
‫ﻟﺘﻔﻌﻴﻠﺪراﺳﺔ اﻟﺰﻛﺎة‬
PENDISTRIBUSIAN ZAKAT PRODUKTIF

‫ ﺳﻮاء ﻋﻠﻰ اﳌﻔﺎﻫﻴﻢ اﻟﻨﻈﺮﻳﺔ‬،‫ وﻣﻦ ﻫﻨﺎ ﺟﺎءت اﳊﺎﺟﺔ إﱃ اﻟﻨﻘﺪ واﻟﺘﻘﻴﻴﻢ ﻣﻦ ﻓﻬﻢ وﺗﺼﻮرات اﳋﲑﻳﺔ‬.‫ﺘﻤﻊ‬Ẓ‫ﰲ ا‬
‫ و ﻫﺬﻫﺎﳊﺎﻟﺔ ﻫﻲ دراﺳﺔ ﻧﻘﺪﻳﺔ ﻟﺒﻨﺎء ﻛﺎﻣﻞ ﻋﻦ ﻣﻔﻬﻮم اﻟﺰﻛﺎة‬.‫ ﻓﻀﻼ ﻋﻦ اﻟﺘﻨﻔﻴﺬ واﻟﺘﻄﺒﻴﻖ‬،‫واﳌﻔﺎﻫﻴﻢ اﻟﺘﻄﺒﻴﻘﻴﺔ‬
‫ﺷﺎﻣﻠﺔ ودﻗﻴﻘﺔ ﻣﻊ‬
‫ ﲟﺎ ﰲ ذﻟﻚ ﻣﻔﻬﻮم اﳌﺎﻟﻴﺔ واﳌﻠﻜﻴﺔ واﻻﻗﺘﺼﺎدﻳﺔ واﻟﻌﺪاﻟﺔ ﰲ ﳎﺎﻻت‬،‫ﳎﻤﻮﻋﺔ ﻣﺘﻨﻮﻋﺔ ﻣﻦ اﳌﻔﺎﻫﻴﻢ ذات اﻟﺼﻠﺔ‬
.‫ﳐﺘﻠﻔﺔ‬
‫ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ و أﺻﻨﺎف اﻟﺰﻛﺎة‬،‫ اﻟﺰﻛﺎة اﻹﻧﺘﺎﺟﻴﺔ‬: ‫اﻟﻜﻠﻤﺎت اﻟﺮﺋﻴﺴﻴﺔ‬

A. Pendahuluan
Secara sosiologis, zakat merupakan refleksi rasa kemanusiaan, keadilan,
keimanan serta ketakwaan yang tertanam dalam sikap orang kaya, karena ibadah
zakat tidak hanya mengandung dimensi habl min Allah, tetapi juga mengandung
dimensi habl min al-nas. 1 Selain itu banyak hikmah dan manfaat dari ibadah zakat,
baik yang dirasakan oleh pemberi zakat (muzaki), penerima (mustahik), maupun
masyarakat secara keseluruhan. Muzaki akan meningkat kualitas keimanannya, rasa
syukur, kebersihan jiwa dan hartanya, sekaligus pengembangan harta yang
dimilikinya. Mustahik akan meningkat kesejahteraan hidupnya, terjaga agama,
akhlaknya, meningkatnya etos kerja dan ibadahnya. Bagi masyarakat luas, hikmah
zakat akan dirasakan dalam bentuk tumbuhnya rasa solidaritas sosial antar sesama
anggota masyarakat, keamanan, ketenteraman, dan roda ekonomi berputar karena
dengan zakat harta terdistribusi dengan baik, sekaligus akan menjaga dan
menumbuhkembangkan etika dalam bekerja dan berusaha.
Atas dasar ini, maka distribusi zakat merupakan rangkaian dari perintah
menunaikan zakat dalam al-Quran. Sebagai sumber hukum Islam, al-Quran telah
menetapkan siapa saja yang berhak menerima zakat. Namun begitu, al-Quran tidak
menjelaskan secara eksplisit, bahwa pendistribusian itu berbentuk konsumtif, atau
produktif sebagaimana dapat disimak dalam al-Quran surah al-Tawbah ayat 60:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. al- Tawbah: 60)

Berdasarkan teks ayat di atas dapat dipahami, bahwa zakat harus diberikan
kepada delapan golongan (senif) secara menyeluruh seperti urutan yang telah
disebutkan, dan tidak boleh diberikan kepada beberapa golongan saja jika semua

Volume 15 No.2, Februari 2016 | 305


Siti Zalikha
1
Yūsuf al-Qarḍawī, Fiqh al-Zakāh; Dirāsah Muqāranah li Aḥkāmihā wa Falsafatihā fī
Zaw’ al-Qur’ān wa al-Sunnah, jilid I (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1991), 52.

306 | Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA


PENDISTRIBUSIAN ZAKAT PRODUKTIF

senif ada. Sedangkan tentang teknis pembagiannya kepada para senif atau mustahik
tersebut tidak terdapat keterangan yang tegas dari Nabi saw. yang mengharuskan
zakat disalurkan secara merata atau tidak, secara konsumtif atau secara produktif.
Akan tetapi Nabi saw. menyalurkan zakat sesuai dengan kebutuhan hidupnya dan
disesuaikan dengan persediaan zakat yang ada. Sedangkan dalam kenyataan atau
praktek sehari-hari ditemukan adanya pendistribusian zakat dilakukan secara
konsumtif dan ada pula dalam bentuk produktif.
Arif Mufraini bahkan telah mengemas bentuk inovasi pendistribusian zakat
yang dikategorikan dalam empat bentuk: Pertama, distribusi bersifat “konsumtif
tradisional,” yaitu zakat dibagikan kepada mustahik untuk dimanfaatkan secara
langsung, seperti zakat fitrah, atau zakat mal yang dibagikan kepada para korban
bencana alam. Kedua, distribusi bersifat “konsumtif kreatif.” yaitu zakat yang
diwujudkan dalam bentuk lain dari barangnya semula, seperti diberikan dalam
bentuk alat-alat sekolah atau beasiswa. Ketiga, distribusi bersifat “produktif
tradisional,” yaitu zakat diberikan dalam bentuk barang-barang yang produktif
seperti kambing, sapi, dan lain sebagainya. Pemberian dalam bentuk ini dapat
menciptakan usaha yang membuka lapangan kerja bagi fakir miskin. Keempat,
distribusi dalam bentuk “produktif kreatif,” yaitu zakat diwujudkan dalam bentuk
permodalan baik untuk menambah modal pedagang pengusaha kecil ataupun
membangun proyek sosial dan proyek ekonomis.2
Dengan demikian, masalah distribusi zakat dibolehkan dalam bentuk lain
sesuai kebutuhan, barang-barang produktif seperti kambing, pisau cukur dan lain-
lain, serta dalam bentuk modal usaha jika penyalurannya ditamlikkan langsung
kepada para mustahik (non investasi), karena sesuai dengan pendapat jumhur ulama.
Sedangkan pendapat Arif Mufraini yang keempat yaitu masalah permodalan dana
zakat ataupun membangun proyek sosial di mana penyalurannya dilakukan secara
investasi yaitu zakat diberikan dengan cara tidak langsung ditamlikkan kepada
mustahik. Inilah yang masih perlu dikaji lebih lanjut karena belum ditemukan dalil
tentang kebolehannya.

2
Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran dan
Membangun Jaringan, cet. I (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), 147.

Volume 15 No.2, Februari 2016 | 307


Siti Zalikha

B. Pembahasan
1. Pendistribusian Zakat Secara Produktif dalam Islam
Sebelum menjelaskan tentang pengertian zakat produktif dan landasan
hukumnya, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu penuturan al-Quran dan sunah
tentang zakat. Dalam al-Quran terdapat 30 lafaz al-zakah dalam bentuk ma‘rifah, 28
di antaranya beriringan dengan kata salat, sebanyak 12 kali diulang sebutannya
dengan memakai kata sinonim dengannya, yaitu sadaqah. Dari 30 kata zakat yang
disebutkan itu, 8 di antaranya terdapat dalam surah-surah Makiyah, dan selebihnya
terdapat dalam surah-surah Madaniyah.3
Namun, masalah pendistribusian dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, tidak
terdapat penjelasan secara rinci baik dalam al-Quran, Hadis maupun ijma’, maka
perlu adanya pertimbangan tujuan dan maslahat (I‘tibar al-Maqasid wa al-Masalih)
sebagaimana yang telah disebutkan pada bab pertama. Menurut Yusuf al-Qaradawi,
syariat Islam ini bersumber dari nilai-nilai ilahiyah, dan dari hasil penelitian terhadap
ketetapan hukum-hukumnya, maka dapat dikatakan bahwa di mana ada syariat di situ
ada kemaslahatan.4 Hal tersebut dapat dipahami sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh Al-Syatibi, bahwa tujuan disyariatkan hukum adalah untuk
kemaslahatan hamba. Maslahat yang ingin dicapai dalam tasyri‘ hanyalah yang
bersifat umum secara mutlak, bukan yang bersifat khusus, yaitu tujuan hukum adalah
kemaslahatan umat manusia dalam arti yang hakiki, yaitu merealisasikan
kemaslahatan hamba, dan menolak kerusakan untuk kesempurnaan hidup di dunia
dan akhirat, bukan kemaslahatan yang berdasarkan hawa nafsu atau tradisi.5
Oleh karena itu, ajaran zakat yang merupakan ibadah di bidang muamalah
(sosial kemasyarakatan), di samping adanya prinsip-prinsip dasar yang telah
ditegaskan oleh al-Quran dan Hadis, juga diberikan kebebasan kepada hamba untuk
mengkaji maksud dan manfaat yang terkandung di dalamnya dalam merealisasi
tujuan syariat. Berbeda halnya dengan ibadah murni (ibadah mahdah) yang harus
dipatuhi secara mutlak sesuai dengan bunyi nas yang telah ditetapkan secara pasti
oleh pembuat hukum (syari‘) tanpa melihat maksudnya. Maka ajaran zakat sekalipun
disebutkan beriringan dengan ibadah salat, bukanlah ibadah murni semata, melainkan
juga mengandung masalah yang mengatur hubungan antar sesama manusia di bidang

3
Yūsuf al-Qarḍawī, Fiqh al-Zakāh …, 42.
4
Yūsuf al-Qarḍawī, Ijtihad kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, terj. Abu
Barzani, cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 80.
5
Al-Syāṭibī, Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Aḥkām, jilid. II (t.tp: Dār al-Fikr, t.t.), 25.

308 | Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA


PENDISTRIBUSIAN ZAKAT PRODUKTIF

kehidupan sosial, yaitu menghubungkan antara negara dengan pemilik harta serta
menghubungkan orang kaya dengan orang miskin.6
Karena itu Yusuf al-Qaradawi melakukan istinbat hukum untuk mencari dalil
tentang pendistribusian zakat secara produtif, dapat diklasifikasikan kepada dua
kategori, yaitu: pertama, dengan jalan tarjih, yaitu memilih salah satu pendapat di
antara pendapat yang ada dalam fikih berdasarkan analisa dalil yang terkuat, atau
memilih pendapat yang terkuat dan dipandang lebih sesuai dengan maksud syari‘,
kepentingan masyarakat, dan kondisi zaman, yang disebut juga dengan ijtihad
selektif atau ijtihād intiqā‘ī. Kedua, upaya melahirkan hukum baru atau mengambil
konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan yang belum pernah dikemukakan
oleh ulama terdahulu melalui pemahaman nas, qiyas, dan pertimbangan maslahat, 7
yang disebut juga dengan ijtihād insya’i.
Zakat produktif adalah zakat yang didistribusikan kepada mustahik dengan
dikelola dan dikembangkan melalui perilaku-perilaku bisnis. Indikasinya adalah
harta tersebut dimanfaatkan sebagai modal yang diharapkan dapat meningkatkan
taraf ekonomi mustahik. Termasuk juga dalam pengertian zakat produktif jika harta
zakat dikelola dan dikembangkan oleh amil yang hasilnya disalurkan kepada
mustahik secara berkala. Lebih tegasnya zakat produktif adalah zakat yang
disalurkan kepada mustahik dengan cara yang tepat guna, efektif manfaatnya dengan
sistem yang serba guna dan produktif, sesuai dengan pesan syariat dan peran serta
fungsi sosial ekonomis dari zakat.
Mustahik yang mendapatkan penyaluran zakat secara produktif, mereka tidak
menghabiskannya melainkan mengembangkannya dan menggunakannya untuk
membantu usaha mereka, sehingga dengan dana zakat tersebut dapat membuat
mereka menghasilkan sesuatu secara berkelanjutan.
Pendistribusian zakat secara produktif terbagi kepada dua bentuk yaitu:
Pertama, zakat diserahkan langsung kepada mustahik untuk dikembangkan, artinya
‘ayn al-zakah yang ditamlikkan kepada mustahik sehingga zakat tersebut menjadi
hak milik penuh mustahik. Pendistribusian seperti ini disebut juga dengan
pendistribusian zakat secara produktif non investasi, Arif Mufraini menyebutkannya
6
Yūsuf al-Qarḍawī, Fiqh al-Zakāh …, 30.
7
Maslahat yang dimaksudkan di sini adalah maslahat yang tidak diatur dalam nas yang sarih
dan tidak bertentangan dengan al-Quran dan Hadis. Contoh maslahat yang bertentangan dengan al-
Quran dan Hadis adalah menghalalkan bunga bank dengan alasan untuk kemaslahatan umat,
sedangkan nas sudah jelas mengharamkannya.

Volume 15 No.2, Februari 2016 | 309


Siti Zalikha

dengan istilah produktif tradisional.8 Pendistribusian dalam bentuk ini terdiri dari dua
model yaitu:
a. Zakat yang diberikan berupa uang tunai atau ganti dari benda zakat yang
dijadikan sebagai modal usaha. Nominalnya disesuaikan dengan kebutuhan
mustahik agar memperoleh laba dari usaha tersebut.
b. Zakat yang diberikan berupa barang-barang yang bisa berkembangbiak atau
alat utama kerja, seperti kambing, sapi, alat cukur, mesin jahit dan lain-lain.
Kedua, pendistribusian zakat secara produktif yang dikembangkan sekarang
adalah pendistribusian dalam bentuk investasi, yaitu zakat tidak langsung diserahkan
kepada mustahik, dengan kata lain, mustawlad al-zakah yang ditamlikkan kepada
mustahik. Arif Mufraini mengistilahkannya dengan produktif kreatif. 9
Pendistribusian semacam ini juga terdiri dari dua model, yaitu:
a. Memberikan modal usaha kepada mustahik dengan cara bergiliran yang
digulirkan kepada semua mustahik.
b. Membangun proyek sosial maupun proyek ekonomis, seperti membangun
sarana tempat bekerja bagi mustahik dan lain-lain.
Pendistribusian zakat secara produktif dalam bentuk investasi khususnya
dalam bentuk pemberian modal adalah modal diberikan secara bergiliran yang
digulirkan kepada semua mustahik. Status modal tersebut bukanlah milik individu
melainkan milik bersama para mustahik, dan juga bukan milik amil atau lembaga,
karena dana tersebut tidak boleh dimasukkan dalam kas Bait al-Mal untuk disimpan.
Sistem pendistribusian seperti ini lebih sering dipraktekkan melalui ‘aqad qard al-
hasan, ‘aqad mudarabah dan ‘aqad murabahah.
Kepemilikan harta zakat secara kolektif ini, dikemukakan oleh al-Tabari
bahwa, “Ashab Syafii telah berpegang teguh bahwa Allah swt. menyandarkan zakat
dengan lam (li) yang menunjukkan pada pemilikan (li al-fuqara’ wa al-masakin)
terhadap mustahiknya, sehingga menunjukkan kebolehan adanya pemilikan dengan
cara bersyarikat.10
Selanjutnya pendistribusian zakat secara produktif dalam bentuk investasi
dengan cara membangun proyek sosial maupun proyek ekonomis, di mana metode

8
Arif Mufraini, Akuntansi dan …, 147.
9
Ibid., 148.
10
Ibn al-‘Arabi, Aḥkām al-Qur’ān, Taḥqīq ‘Ali Muḥammad al-Bajawi, jilid II (Kairo: al-
Halabi, 1957), 947. Lihat pula Al-Nawāwī, Al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadhdhab, Jilid. VII (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Alamiyah), 1971, 229.

310 | Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA


PENDISTRIBUSIAN ZAKAT PRODUKTIF

ini terdiri dari dua bentuk yaitu: Pertama, proyek tersebut disediakan sebagai
lapangan kerja bagi mustahik. Kedua, proyek yang dikelola oleh institusi zakat, di
mana keuntungannya akan diberikan kepada mustahik setiap bulannya secara rutin.
Kedua model distribusi tersebut (pemberian modal dan membangun proyek),
dapat dilaksanakan apabila dana zakat tersebut sudah ditamlikkan kepada mustahik,
yang kemudian diminta izin kembali untuk dijadikan sebagai saham untuk
dikembangkan, di mana status saham tersebut adalah milik bersama mustahik.
Yusuf al-Qaradawi mengemukakan bahwa, untuk memberdayakan orang
miskin, dibolehkan kepada institusi zakat untuk mengembangkan dana zakat jika
kutipannya banyak. Baik dengan cara mendirikan pabrik-pabrik atau industri,
membeli tanah pertanian, membangun bangunan sebagai tempat perniagaan dan
usaha-usaha lain yang bertujuan untuk menambah sumber pendapatan untuk
dihakmilikkan kepada fakir miskin agar mereka memiliki penghasilan yang tetap.
Hak milik mereka ini tidak boleh dipindahkan kepada orang lain, seperti menjual
bagiannya dari usaha tersebut, maka statusnya seperti harta wakaf. 11 Kegiatan ini
bertujuan untuk mengembangkan harta zakat dalam jangka waktu tertentu, dengan
berbagai metode yang diperbolehkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi orang-
orang yang berhak menerima zakat.12
Pendapat tersebut didasarkan kepada metode istinbat yang digunakan al-
Qaradawi sebagaimana telah penulis sebutkan, yaitu dengan memilih salah satu
pendapat yang rajih. Maka dalam hal ini al-Qaradawi memilih pendapat yang di-
tarjih-kan oleh Imam Abu Sulaiman Khitabi. Ia melandaskan pendapatnya kepada
Hadis Qabisah, di mana zakat diberikan kepada orang yang tertimpa musibah dan
orang miskin hingga mereka bisa mandiri atau dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
sendiri (berkecukupan).13
Kata-kata “kecukupan” yang terdapat dalam Hadis di atas memiliki dua
kemungkinan, apakah kecukupan selama setahun atau untuk selamanya. Maka ini
disesuaikan dengan perbedaan yang menyebabkan kefakiran. Umar bin Khattab
pernah berpesan:
‫إذا أﻋﻄﻴﺘﻢ ﻓﺄﻏﻨﻮا‬

11
Yūsuf al-Qarḍawī, Athar al-Zakāh fī al-Afrād wa al-Mujtama‘, Majallat Majma‘ al-Fiqh
al-Islāmī (t.tp: t.p, 1984), 45.
12
Yūsuf al-Qarḍawī, Fiqh al-Zakāh …, 567.
13
Yūsuf al-Qarḍawī, Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, terj. Sari
Narulita, cet. I (Jakarta: Zikru al-Hakim, 2005), 43.

Volume 15 No.2, Februari 2016 | 311


Siti Zalikha

“Jika kamu memberi zakat kepada fakir-miskin maka cukupkanlah.”14

Maka dalam hal ini, pendistribusian zakat kepada mereka hendaklah dapat
memenuhi kebutuhan hidup selamanya. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah
Umar bin Khattab, yang mana beliau selalu memberikan zakat kepada fakir miskin
bukan hanya sekadar untuk mengisi perut, melainkan beliau juga memberikan zakat
kepada mereka dalam bentuk permodalan, yang terdiri dari binatang ternak dan lain-
lain untuk mencukupi kebutuhan hidup. Di mana modal tersebut menjadi hak milik
mutlak mustahik tanpa harus mengembalikannya kepada pemilik modal.
Umar selalu menjadikan zakat sebagai ajang untuk membuat fakir miskin
menjadi orang yang tidak membutuhkan zakat dan bantuan orang lain lagi di
kemudian hari. Maka kata-kata “cukup” di atas dapat dipahami kepada cukup untuk
selamanya. Arahan ini yang digunakan oleh Imam Abu Ubaid dengan berlandaskan
kepada dalil naqli juga penalaran yang bisa diterima secara logis.
Berdasarkan pendapat di atas, maka Yusuf al-Qaradawi menyimpulkan
bahwa, bila lembaga zakat berhasil mengumpulkan zakat yang berlebih, boleh
mendirikan pabrik penghasilan barang-barang pertanian, mendirikan bangunan untuk
dibisniskan, mendirikan pusat perdagangan atau banyak proyek lainnya yang
meningkatkan produktifitas umat, membangun sarana dan prasarana pertanian dan
perindustrian untuk menampung orang-orang miskin yang menganggur. Keseluruhan
saham itu dimiliki oleh kaum fakir miskin dengan dibuat satu aturan yang membuat
mereka tidak dapat menjualnya atau memindahtangankan kepemilikannya. Mereka
dapat beraktifitas terus menerus sehingga mereka memiliki penghasilan tetap dan
mampu menafkahi diri dan keluarganya.
Sejalan dengan pendapat al-Qaradawi di atas adalah menyelenggarakan
sentra-sentra pendidikan keterampilan dan kejuruan untuk mendidik para penganggur
agar mereka memiliki skill tertentu. Pendistribusian zakat semacam ini akan sangat
membantu pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, mempersempit kesenjangan
antara yang kaya dengan yang miskin, dan mengurangi jumlah pengangguran karena
terciptanya lapangan kerja yang baru. Maka di sini jelas terlihat bahwa zakat itu
benar-benar mempunyai dampak rambatan yang luas karena menyentuh semua aspek
kehidupan.15

14
Abu ‘Ubayd al-Qāsim bin Sallam, al-Amwāl (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1986), 565.
15
H.M. Djamal Doa, Menggagas Pengelolaan Zakat oleh Negara (Jakarta: Nuansa Madani,
2005), 20.

312 | Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA


PENDISTRIBUSIAN ZAKAT PRODUKTIF

Hal tersebut juga dikemukakan oleh Amin Azis bahwa, pendayagunaan harta
zakat dan infak hendaknya diprogramkan untuk mengentaskan kemiskinan dan
kefakiran, yaitu dengan menyediakan lapangan pekerjaan dan usaha bagi fakir
miskin, santunan bagi yatim piatu, bea siswa bagi pelajar yang kurang mampu,
membantu pengusaha lemah, membebaskan umat (pengusaha kecil dan petani) dari
cengkraman ijon dan riba, juga bagi kesehatan masyarakat, kebersihan lingkungan
dan untuk kegiatan dakwah Islam lainnya.16
Kebolehan distribusi zakat secara produktif ini harus disertai oleh beberapa
syarat, yaitu: izin dari mustahik bahwa haknya akan dijadikan sebagai modal, tidak
adanya keperluan mustahik yang mendesak yang harus segera menggunakan dana,
adanya jaminan terhadap keutuhan harta zakat, serta adanya kemaslahatan dalam
melakukan tindakannya itu. Akan tetapi apabila kemaslahatan tersebut dibarengi
dengan kemelaratan (mudarat), haram hukumnya mengembangkan harta zakat.
Contoh kemudharatan yang paling nyata adalah kondisi masyarakat muslim, masih
banyak di antara mereka yang membutuhkan bantuan mendesak yang perlu segera
dibantu. Hal ini karena masih banyaknya masyarakat muslim yang hidup di bawah
garis kemiskinan, maka pendistribusian zakat secara produktif dalam bentuk
investasi sangat kontradiksi dengan kondisi masyarakat muslim hari ini yang sangat
membutuhkan.
Perlu diingat, bahwa pengelolaan zakat yang bersifat produktif, harus
dilakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik agar kegiatan
usahanya dapat berjalan dengan baik.17 Karena tujuan utama pengelolaan zakat
secara produktif adalah untuk mentransformasikan seorang mustahik (orang yang
berhak mendapatkan zakat) menjadi seorang muzaki (orang yang berkewajiban
mengeluarkan zakat).
Untuk mencapai tingkatan muzaki, seorang mustahik harus ditrasformasikan
secara bertahap. Mulanya seorang mustahik zakat ditransformasikan menjadi seorang
muktafi (orang yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri). Pada level ini, seorang
muktafi memang belum bisa berbagi dengan yang lain tapi sudah bisa mandiri.
Transformasi dari mustahik ke muzaki membutuhkan proses dan konsistensi dalam

16
Amin Azis, “Nilai-nilai Pengembangan Perekonomian Islam dan Perbankan,” dalam
Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syariah, ed. Baihaqi dkk. (Jakarta: PINBUK, 2000),
160.
17
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, cet. I (Jakarta: Gema Insani
Press, 2002),133.

Volume 15 No.2, Februari 2016 | 313


Siti Zalikha

berusaha. Maka sebelum dana zakat diberikan, lembaga pengelola zakat harus
melakukan feasibility study terlebih dahulu. Calon penerima zakat diajarkan tentang
manajemen keuangan yang baik, sehingga mereka bisa menghitung berapa
persentase modal yang akan dikelola, berapa labanya, dan berapa persen yang akan
mereka konsumsi.
Selain itu lembaga pengelola zakat secara bertahap juga melakukan
peningkatan profesionalitas pengelolaannya. Ini semua dilakukan dalam rangka
meningkatkan pelayanan terhadap semua para pengambil kebijakan, baik terhadap
muzaki, mustahik, pengurus dan karyawannya.18 Jika semua proses yang telah
disebutkan tidak terpenuhi, dana zakat tidak akan dapat diproduktifkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, zakat produktif adalah
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu zakat yang diberikan kepada
mustahik, baik secara langsung diserahkan (‘ayn al-zakah yang ditamlikkan) kepada
mustahik maupun tidak langsung diserahkan (mustawlad al-zakah yang ditamlikkan)
kepada mustahik. Namun mereka tidak menghabiskannya melainkan
mengembangkannya dan menggunakannya untuk membantu usaha mereka, sehingga
dengan dana zakat tersebut dapat membuat mustahik menghasilkan sesuatu secara
berkelanjutan.
Para ulama cenderung berani mengambil suatu inisiatif untuk melakukan
ijtihad tentang distribusi zakat secara produktif, karena melihat kondisi yang begitu
mendesak. Serta masalah tersebut termasuk bagian dari masalah muamalah yang
hukumnya tidak ditunjuk secara langsung oleh nas, khususnya tentang teknik
penyaluran zakat. Karena itu, dalam rangka memenuhi hajat hidup manusia
sepanjang zaman dan tempat, serta sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat itu
sendiri, maka praktek muamalah seperti ini syariat Islam mengemukakan kaedah-
kaedah dasar, kriteria-kriteria dan prinsip-prinsip umum yang sesuai dengan
kehendak syarak.19
Bila ditinjau kembali hukum asal muamalah adalah mubah selama tidak ada
nas yang melarang praktek muamalah tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam
sebuah Hadis Rasulullah saw.

18
Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang, (ed), Zakat dan Peran Negara (Jakarta:
Forum Zakat (FOZ), 2006), 162.
19
Armiadi, Zakat Produktif: Solusi Alternatif Pemberdayaan Ekonomi Umat (Banda Aceh:
Ar-Raniry Press, 2008), 109.

314 | Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA


PENDISTRIBUSIAN ZAKAT PRODUKTIF

‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ إن اﷲ ﻋﺰ وﺟﻞ ﻟﻔﺮض ﻓﺮاﺋﺾ‬:‫ﻋﻦ أﰉ ﺛﻌﻠﺒﺔ اﳋﺜﲎ ﻗﺎل‬
‫ﻓﻼﺗﻀﻴﻌﻮﻫﺎ وﺣﺮم‬
‫ﳏﺮﻣﺎت ﻓﻼﺗﻨﺘﻬﻜﻮﻫﺎ وﺣﺪ ﺣﺪودا ﻓﻼﺗﻌﺘﺪوﻫﺎ وﺳﻜﺖ ﻋﻦ أﺷﻴﺎء ﻏﲑ ﻧﺴﻴﺎن ﻓﻼﺗﺒﺤﺚ ﻋﻨﻬﺎ )رواﻩ اﻟﺪار‬
(‫ﻗﻄﲎ‬

Artinya: “Dari Abi Tha‘labah al-Khuthani berkata: Rasulullah saw. telah bersabda:
“Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla telah memfardukan beberapa
ketentuan, jangan kamu sia-siakan (hilangkan). Dia mengharamkan
beberapa perkara yang diharamkan, jangan kamu melanggar. Dia telah
menetapkan ḥudūd jangan kamu melampauinya, dan Dia mendiamkan
(tidak menentukan hukum) pada banyak perkara bukan (karena) kelupaan,
jangan kamu membahasnya.” (HR. al-Daruqutni)20

Namun, kebolehan praktek muamalah di sini yaitu distribusi zakat yang


dilakukan secara produktif, harus memenuhi beberapa syarat. Ini merupakan hasil
keputusan yang dihasilkan melalui pertemuan ulama di Kuwait pada tahun 1413 H-
1992 M, yang disponsori oleh lembaga zakat Internasional Kuwait. Syarat-syarat
tersebut di antaranya sebagai berikut:
a. Tidak adanya keperluan mendesak yang harus menggunakan dana segera.
b. Penyaluran zakat untuk usaha produktif, yang dilakukan dalam bentuk investasi
harus sesuai dengan ketentuan syarak.
c. Adanya jaminan keamanan bagi utuhnya dana zakat.
d. Adanya jaminan bahwa modal tersebut dapat ditarik jika terdapat keperluan yang
mendesak dari para mustahik zakat.
e. Adanya jaminan bahwa usaha produktif dilakukan dengan sungguh-sungguh,
professional dan amanah.
f. Adanya keputusan dan pertimbangan pemerintah terhadap lembaga amil dalam
penyaluran dana zakat untuk usaha produkif, dan juga adanya pengawasan yang
ketat agar dana zakat diberikan kepada orang yang memiliki kecakapan,
berpengalaman dan bersikap amanah.21
Berdasarkan beberapa persyaratan yang tertera di atas, menurut penulis ada
satu persyaratan lain yang perlu dimasukkan, dan itu sangat menentukan sah atau
tidak sahnya muamalah yang dimaksud, yaitu dana zakat tersebut ditamlikkan
terlebih dahulu kepada mustahik, kemudian diminta izin kembali kepada mereka
karena bagiannya tidak disalurkan secara langsung, melainkan dijadikan sebagai
saham yang dimiliki oleh semua mustahik.

20
‘Ali Ibn ‘Umar al-Dāruquṭnī, Sunan al-Dāruquṭnī, jilid. IV (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1994),
91.
Volume 15 No.2, Februari 2016 | 315
Siti Zalikha
21
Armiadi, Zakat Produktif …, 85-86. Lihat juga Arifin Purwakananta dan Noor Aflah (ed),
Southeast Asia Zakat Movement, cet. I (Jakarta: FOZ, DD, Pemkot Padang, 2008), 162.

316 | Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA


PENDISTRIBUSIAN ZAKAT PRODUKTIF

Selanjutnya, kebolehan penyaluran zakat sacara produktif ini, apabila


kebutuhan konsumtif para mustahik sudah terpenuhi dan modal tersebut dikelola
secara professional agar memperoleh keuntungan. Di samping itu juga harus mampu
melakukan pembinaan dan pendampingan pada mustahik agar usahanya dapat
berjalan dengan baik dan tujuan penyaluran zakat tercapai serta memberikan
pembinaan ruhani dan intelektual keagamaannya, agar semakin meningkat keimanan
dan keislamannya.
Selain beberapa argumen yang telah disebutkan di atas, al-Quran juga tidak
menjelaskan bagaimana teknik penyaluran zakat secara terperinci. Karena itu
menurut Sjechul Hadi Permono, ada empat hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Allah swt. tidak menetapkan perbandingan yang tetap antara bagian masing-
masing mustahik yang delapan.
b. Allah swt. tidak menetapkan zakat harus disalurkan kepada delapan senif
semuanya. Akan tetapi Allah hanya menetapkan zakat dibagi kepada delapan
senif dan tidak boleh keluar dari delapan tersebut.
c. Allah swt. juga tidak menjelaskan bahwa zakat yang diserahterimakan kepada
mustahik itu berupa in cash (uang tunai) atau in kind (natura).22
Berdasarkan uraian di atas, maka persoalan zakat produktif termasuk masalah
yang menurut para uṣuliyun dinamakan dengan persoalan ta‘aqquliyāt (yang dapat
dinalar) atau ma‘qul ma’na (dapat dilogikakan). Oleh karena itu, dasar hukum yang
digunakan sebagai sandaran berpijak bagi ulama yang membolehkan pendistribusian
zakat secara produktif adalah: Pertama, tidak ada nas yang melarang distribusi zakat
secara produktif. Kedua, tujuan (al-‘illah) zakat adalah menjadikan mustahik kaya,
bukan sekedar menyerahkan harta zakat. Ketiga, ijtihad ‘Umar bin Khaṭṭāb tentang
pembagian tanah fay’ yang ada di Irak, Syam, Mesir dan di beberapa tempat lainnya
yang berhasil ditaklukkan oleh pasukan kaum muslimin.
Pendistribusian zakat produktif di kalangan umat Islam, menoreh pengaruh
besar terhadap perwajahan realitas perekonomian dan sosial pada masyarakat kita.
Dibuktikan dengan betapa besarnya manfaat dari alokasi zakat yang disalurkan
secara produktif dibanding konsumtif. Di antara manfaat yang sangat menonjol
adalah menjadi solusi untuk mengurangi kemiskinan dan membina kemandirian
mustahik, walaupun masih dalam skala kecil, disebabkan dana zakat belum bisa

22
Sjechul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat dalam Rangka Pembangunan Nasional:
Persamaan dan Perbedaannya dengan Pajak (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 41.

Volume 15 No.2, Februari 2016 | 317


Siti Zalikha

dimobilisasi secara optimal.23 Untuk itu, agar memperoleh hasil yang maksimal,
seyogyanya zakat itu harus dikelola oleh pemerintah. Namun, dalam hal ini terjadi
perbedaan pendapat ulama, sebagian mereka menyatakan, zakat itu tidak boleh
dikelola oleh pemerintah karena negara kita bukan negara Islam. Sebagian yang lain
membolehkannya, dengan alasan bahwa syari’at Islam itu terdiri dari tiga kategori.
Pertama, syariat yang mengatur tentang hubungan manusia dengan
Tuhannya, seperti shalat, dan puasa. Untuk melaksanakan syariat ini tidak perlu
kepada bantuan pemerintah karena ia merupakan ibadah yang menyangkut dengan
indifidu seseorang dengan Tuhannya. Berbeda halnya dengan ibadah haji, walaupun
ia juga merupakan ibadah yang bersifat kewajiban pribadi, namun perlu kepada
bantuan pemerintah agar terjamin keamanan dan lancar dalam pelaksanaanya.
Kedua, syariat yang menyangkut dengan keimanan dan akhlak. Kategori ini
juga tidak perlu kepada bantuan pemerintah (negara). Ketiga, syariat yang
menyangkut dengan hukum dunia, seperti hukum zakat, hukum perkawinan, hukum-
hukum pidana, dan hukum kewarisan. Hukum-hukum ini perlu kepada bantuan
pemerintah (negara) agar dapat terlaksana dengan sempurna.
Berdasarkan uraian di atas, maka zakat termasuk salah satu ibadah yang
menyangkut dengan hukum dunia, serta telah mengalami reformasi konsepsi
operasionalnya. Di mana saat ini zakat tidak hanya didistribusikan dalam bentuk
bantuan langsung tunai (bagi habis) bagi mustahik, tetapi juga telah dikembangkan
sebagai upaya mengentaskan kemiskinan, membina kemandirian mustahik dan untuk
pemberdayaan ekonomi mereka. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Syauqi al-
Fanjari bahwa zakat tidak hanya dibatasi untuk menyantuni orang miskin dalam
bentuk konsumtif yang bersifat temporer, tetapi juga bertujuan untuk memberantas
kemiskinan secara permanen dengan harapan para penerima zakat (mustahik) dapat
berubah menjadi pembayar zakat (muzaki) di kemudian hari.24 Dalam hal ini terdapat
suatu filosofi yang menyatakan bahwa “Berikan kailnya, bukan ikannya.” Agar
terlaksananya upaya tersebut perlu adanya bantuan pemerintah 25 serta dukungan
secara multidimensional, agar pelaksanaan zakat khususnya zakat produktif
terkordinir, tepat sasaran, dan tepat guna, serta mencapai tujuan yang signifikan.

23
Arifin Purwakananta dan Noor Aflah (ed), Southeast Asia …, 162.
24
Ismā’il Syawqi al-Fanjari, Al-Islām wa al-Daman al-Ijtimā‘ī (Riyad: Dār al-Thaqif, 1400
H), 81.
25
Peran pemerintah di sini dapat diganti oleh Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat
(LAZ), Bait al-Mal dan lain-lain.

318 | Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA


PENDISTRIBUSIAN ZAKAT PRODUKTIF

Namun, selain beberapa hal positif yang telah penulis sebutkan di atas,
pengaplikasian zakat produktif juga masih mengalami beberapa kendala, antara lain:
Pertama, sebagian besar dari mustahik belum layak dipercaya, secara teknis
operasional apalagi moral, maka upaya untuk mengelola zakat secara swadaya
menjadi pilihan. Kedua, belum menjadi prioritas yang diperhitungkan di tanah air
kita maupun di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim yang senasib. Ketiga,
jarang diperkenalkan apalagi sengaja direkomendasikan oleh lembaga-lembaga amil
yang ada, karena secara teknis penyaluran zakat konsumtif jauh lebih mudah
ditunaikan baik secara prosedur dan pertanggungjawabannya.

C. Penutup

Pendistribusian zakat secara produktif adalah zakat yang disalurkan kepada


mustahik untuk dikelola dan dikembangkan melalui perilaku-perilaku bisnis di mana
harta tersebut dimanfaatkan sebagai modal untuk meningkatkan taraf ekonomi
mustahik. Metode distribusinya terdiri dari dua bentuk: Pertama, pendistribusian
zakat secara produktif dalam bentuk non investasi, yaitu: zakat yang diserahkan
langsung kepada mustahik untuk dikembangkan, sehingga zakat tersebut menjadi
hak milik penuh mustahik, artinya yang diberikan kepada mustahik adalah ‘ayn al-
zakah; kedua, pendistribusian zakat secara produktif dalam bentuk investasi, yaitu:
zakat yang tidak langsung diserahkan kepada mustahik, artinya yang diberikan
kepada mustahik adalah mustawlad al-zakah.
Pendistribusian zakat secara produktif dibolehkan dengan maksud untuk
meningkatkan kehidupan ekonomi para mustahik. Namun, ada persyaratan penting
bahwa para calon mustahik itu sendiri sebelumnya harus mengetahui bahwa harta
zakat yang sedianya mereka terima akan disalurkan secara produktif atau
didayagunakan dan mereka memberi izin atas penyaluran zakat dengan cara seperti
itu. Mustahik harus benar-benar mengetahui dan menentukan terlebih dahulu yang
kemudian ada kesepakatan antara pengelola zakat dengan mereka, baru
kemudian zakat dapat disalurkan secara produktif atau didayagunakan untuk
kepentingan para mustahik. Status dana zakat tersebut adalah menjadi saham milik
bersama mustahik

Volume 15 No.2, Februari 2016 | 319


Siti Zalikha

DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Arabi, Ibn. Aḥkām al-Qur’ān, Taḥqiq ‘Ali Muhammad al-Bajawi, jilid. II. Kairo:
al-Halabi, 1957.

Al-Nawāwī, Abi Zakariyyā Yaḥya Muḥyi al-Dīn ibn Syaraf. al-Majmū‘ Syarḥ al-
Muhadhdhab, jilid V. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Alamiyah, 1971.

Al-Qarḍāwī, Yūsuf. Athār al-Zakāh fī al-Afrād wa al-Mujtama‘, Majallat Majma‘ al-


Fiqh al-Islami. t.tp, t.p., 1984.

, Fiqh al-Zakāh; Dirāsah Muqāranah lī Aḥkāmihā wa


Falsafatihā fi Zaw’ al-Qur’ān wa al-Sunnah, jilid I. Beirut: Mu’assasah al-
Risālah, 1991.

, Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, cet.


I. terj. Sari Narulita. Jakarta: Zikru al-Hakim, 2005.

Al-Syātibi, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Aḥkām, jilid II. t.tp.: Dār al-Fikr, t.th.

Armiadi. Zakat Produktif: Solusi Alternatif Pemberdayaan Ekonomi Umat. Banda


Aceh: Ar-Raniry Press, 2008.

Azis, Amin. “Nilai-nilai Pengembangan Perekonomian Islam dan Perbankan,” dalam


buku bunga rampai Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syariah, ed.
Baihaqi dkk. Jakarta: PINBUK, 2000.

Djamal Doa, H.M. Menggagas Pengelolaan Zakat oleh Negara. Jakarta: Nuansa
Madani, 2005.

Hadi Permono, Sjechul. Pendayagunaan Zakat dalam Rangka Pembangunan


Nasional: Persamaan dan Perbedaannya dengan Pajak. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1995.

Hafidhuddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern, cet. I. Jakarta: Gema


Insani Press, 2002.

Ibn Umar al-Dāruqutnī, ‘Ali. Sunan al-Dāruqutnī. jilid IV. Beirut: Dār al-Ma‘rifah,
1994.
Mufraini, Arif. Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran
dan Membangun Jaringan, cet. I. Jakarta: Prenada Media Group, 2006.

Noor Aflah, Kuntarno. dan Nasir Tajang, Mohd. (ed). Zakat dan Peran Negara.
Jakarta: Forum Zakat (FOZ), 2006.

Purwakananta, Arifin. dan Noor Aflah, Kuntarno. (ed). Southeast Asia Zakat
Movement, cet. I. Jakarta: FOZ, DD, Pemkot Padang, 2008.

Syawqi al-Fanjari, Ismail. Al-Islām wa al-Daman al-Ijtimā‘ī. Riyad: Dār al-Thaqif,


1400 H.

320 | Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA


PENDISTRIBUSIAN ZAKAT PRODUKTIF

‘Ubayd al-Qāsim bin Sallam, Abū. Al-Amwāl. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1986.

Volume 15 No.2, Februari 2016 | 321

Anda mungkin juga menyukai