Bab Ii

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 33

22

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Budaya

1. Budaya (Culture)

Zamroni mengatakan bahwa budaya merupakan pandangan hidup

yang diakui oleh suatu kelompok masyarakat yang mencakup cara berpikir,

perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun

abstrak.25 Budaya dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup

dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan dan

sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya.

Dengan kata lain, budaya dalam pengertiannya dapat dilihat dalam

makna yang luas dan sempit. Kalau dalam bahasa sehari-hari “kebudayaan”

dibatasi hanya pada hal-hal yang indah (seperti; candi, tari-tarian, seni suara,

kesusastraan dan filsafat) saja, maka itulah yang melihat budaya dalam

batasan yang sempit. Artinya, kebudayaan diartikan dengan kesenian. Padahal

dalam pandangan lain, kesenian hanyalah salah satu aspek kebudayaan.

Artinya, kebudayaan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan

masyarakat yang dibangun berdasarkan proses belajar.

25
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Bigrafi Publishing, 2003),
hlm.148

22
23

Ilmu Antropologi melihat budaya dalam makna yang jauh lebih luas

baik sifat maupun ruang lingkupnya. Menurut Ilmu Antropologi, kebudayaan

adalah keseluruhan gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam

23
24

kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.26

Definisi yang menganggap bahwa “kebudayaan” dan “Tindakan kebudayaan”

itu adalah segala tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar

(learned behavior), juga diajukan oleh beberapa ahli Antropologi terkenal

seperti C.Wissler,27 C.Kluckhohn,28 A. Davis,29 atau A. Hoebel.30 Definisi

yang mereka ajukan hanya beberapa saja diantara banyak definisi lain yang

pernah diajukan, tidak hanya para sarjana Antropologi, tetapi juga oleh

sarjana ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, filsafat, sejarah dan kesusasteraan.

Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu

bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian

ke-budaya-an dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. ada

sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari

kata majemuk budi-daya, yang berarti “daya dan budi”.31 Karena itu mereka

membedakan “budaya” dan “kebudayaan”. demikianlah “budaya” adalah

“daya dan budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan “kebudayaan”

26
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm.144
27
Lihatlah karangan C.wissler, “Psychological and Historical Interpretations for Culture”,
Science, XLV (1916: hlm.165)
28
Lihatlah karangan C. Kluckhohn, “Patterning as Examplified in Navaho Culture”,
Language, Culture and Personality (1941: hlm.2
29
Lihatlah karangan A. Davis, Social Class Influences Upon Learning (1948: hlm.59
30
Lihatlah buku pelajaran A. Hoebel, Man in the Primitive World An Introduction to
Antrhopology, New York, Mc Graw Hill (1958: hlm. 152-153)
31
Lihat buku P.J Zoetmulder, Culture, Oost en West, Amsterdam, C.P.J van der Peet (1951)
25

adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu.32 Dalam istilah “antropologi-

budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata “budaya” di sini hanya dipakai

sebagai suatu singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti yang sama.

Kata culture merupakan kata asing yang sama artinya dengan

“kebudayaan”. Berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengolah,

mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini

berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia

untuk mengolah tanah dan mengubah alam”.33 Antropologi Inggris, Sir

Edward B. Taylor menggunakan kata kebudayaan untuk menunjuk

“keseluruhan kompleks dari ide dan segala sesuatu yang dihasilkan manusia

dalam pengalaman historisnya. Termasuk di sini adalah pengetahuan,

kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan dan kemampuan serta perilaku

lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.34

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan

cakupan semua ide yang dihasilkan oleh manusia dari pengalamannya yaitu

pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan dan kemampuan

serta perilakunya dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan terdiri dari

segala sesuatu yang dipelajari dari pola perilaku yang normatif, yaitu

mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak.

32
Lihatlah karangan M.M Djojodigoeno, Azas-azas Sosiologi (1958: hlm. 24-27)
33
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,…, hlm.146
34
Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 26
26

Menurut Havighurst dan Neugarten dalam bukunya Society and

education mengatakan bahwa kebudayaan dapat didefinisikan sebagai cara

bertingkah laku manusia, meliputi etika, bahasa, kebiasaan makan,

kepercayaan agama dan moral, pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai yang

merupakan hasil karya manusia seperti bermacam-macam benda termasuk

didalamnya alat-alat/benda-benda hasil teknologi. Selanjutnya juga

dikemukakan bahwa kebudayaan merupakan pola way of life suatu

masyarakat. Tingkat martabat manusia sebagai makhluk budaya ditentukan

oleh tingkat perkembangan kebudayaannya, yaitu tingkat kemampuan

manusia terhadap diri dan dari ikatan instingnya, dan penguasaan manusia

terhadap alam sekitar dengan alat pengetahuan yang dimilikinya.35

Darjhi Darmodiharjo juga mengatakan bahwa, sebagai suatu sistem

nilai kebudayaan mencakup aspek logika, etika, estetika, dan praktika. Logika

berbicara tentang benar dan salah, etika membahas tentang baik dan buruk,

estetika mengupas masalah indah dan tidak indah, sedang praktika berbicara

tentang berguna dan mudarat. Kebudayaan disebut pula sebagai ide vital yang

dihayati karena kebudayaan berisi pandangan hidup, nilai-nilai yang dipilih

individu atau maasyarakat dalam mencapai tujuan hidupnya. Ditinjau dari

segi pribadi, kebudayaan merupakan pengetahuan, pilihan hidup, dan praktek

komunikasi yang dihayatinya dan diamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

35
Ary H Gunawan, Sosiologi Pendidikan, Suatu Analisis tentang Pelbagai Problem
Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm.110
27

Ditinjau dari segi masyarakat, kebudayaan merupakan segenap

perwujudan dan keseluruhan hasil logika, etika dan estetika umat manusia

dalam rangka perkembangan pribadi dan hubungan sesama manusia, antara

manusia dan masyarakat, manusia dengan alam sekitarnya, manusia dengan

Tuhan Yang Maha Esa dalam perkembangan menuju suatu peradaban.

Adapun wujud dari kebudayaan ini berupa pengetahuan, teknologi, nilai-nilai

sosial, karya seni dan sebagainya.36

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan

sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat

menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan

jasmaniah (material culture) yang diperlukan manusia untuk menguasai alam

sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan pada keperluan

masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-

kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan yang perlu untuk mengatur masalah-

masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Didalamnya termasuk

misalnya agama, ideologi, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang

merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia yang hidup sebagai anggota

masyarakat.

Selanjutnya, cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan

berpikir dari orang-orang yang hidup bermasyarakat dan yang antara lain

menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan, baik yang berwujud teori

36
Ibid, hlm.111
28

murni, maupun yang telah disusun untuk langsung diamalkan dalam

kehidupan masyarakat. Rasa dan cipta dinamakan pula kebudayaan rohaniyah

(Spiritual atau immaterial culture). Semua karya, rasa dan cipta dikuasai oleh

karsa dari orang-orang yang menentukan keguanaannya agar sesuai dengan

kepentingan sebagai orang besar atau dengan seluruh masyarakat.37

Dari beberapa pendapat di atas dapat di analisis bahwa manusia

sebenarnya mempunyai segi materil dan segi spiritual didalam kehidupannya.

Segi materil mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk

menghasilkan benda-benda maupun lain-lainnya yang berwujud materi. Segi

spiritual manusia mengandung cipta yang menghasilkan ilmu pengetahuan,

karsa yang menghasilkan kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan

hukum, serta rasa yang menghasilkan keindahan. Manusia berusaha

mendapatkan ilmu pengetahuan melalui logika, menyerasikan tingkah

lakunya terhadap kaidah-kaidah melalui etika, dan mendapatkan keindahan

melalui estetika. Hal itu semuanya merupakan kebudayaan, yang juga dapat

dipergunakan sebagai patokan analisa.

2. Unsur-unsur Kebudayaan

Beberapa orang pakar telah merumuskan unsur-unsur pokok

kebudayaan. Seperti, Melville J. Herskovis mengajukan empat unsur pokok

kebudayaan, yaitu: (1) alat-alat teknologi, (2) sistem ekonomi, (3) keluarga,

37
Ibid, hlm.155
29

(4) kekuasaan politik.38 Sedangkan Bronislawa Malinowski, yang terkenal

sebagai salah satu seorang pelopor teori fungsional dalam antropologi,

menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan, antara lain: pertama, sistem norma

yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam

upaya menguasai alam sekelilingnya. Kedua, organisasi ekonomi. Ketiga,

alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan; perlu diingat bahwa keluarga

merupakan lembaga pendidikan yang utama. Keempat, organisasi kekuatan.39

Dari beberapa macam unsur-unsur kebudayaan tersebut, untuk

kepentingan ilmiah dan analisisnya diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur

pokok besar kebudayaan, yang lazim disebut cultural universals. Istilah ini

menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat

dijumpai pada setiap kebudayaan dimanapun di dunia ini.

Dengan mengambil sari dari berbagai kerangka tentang unsur-unsur

kebudayaan universal yang disusun oleh beberapa tokoh antropologi, maka

Koentjaraningrat berpendapat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat

kita sebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan di dunia adalah: (1)

bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan

hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, (7)

kesenian.40

38
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta: Yayasan
Badan Penerbit Fakultas Ekonoi Universitas Indonesia, 1964), hlm.113
39
Ibid
40
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,…, hlm.165
30

Masing-masing unsur kebudayaan universal sudah tentu juga

menjelma dalam ketiga wujud yang diuraikan diatas, yaitu wujudnya berupa

sistem budaya, berupa sisitem sosial dan beberapa unsur kebudayaan fisik.

Dengan demikian, sistem ekonomi misalnya mempunyai wujud sebagai

konsep, rencana, kebijaksanaan, adat istiadat yang berhubungan dengan

ekonomi tetapi mempunyai juga wujud yang berupa tindakan dan interaksi

berpola antara produsen, tengkulak, pedagang, ahli transportasi, pengecer

dengan konsumen dan selain itu dalam sistem ekonomi terdapat juga unsur-

unsurnya yang berupa peralatan, komoditi dan benda ekonomi.

Demikian juga sistem religi misalnya mempunyai wujud sebagai

sistem keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, Dewa, roh halus, neraka, surga

dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujud berupa upacara, baik yang

bersifat musiman maupun kadangkala dan sistem religi juga mempunyai

wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius.

Berbicara tentang wujud kebudayaan, Koentjaraningrat menjelaskan

bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya41, yaitu:

a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma,

peraturan dan sebagainya.

b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola

dari manusia dalam masyarakat.

41
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,…, hlm.150
31

c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya

abstrak, tidak dapat diraba dan difoto. Lokasinya ada di dalam kepala atau

dengan kata lain, dalam alam pikiran warga masyarakat tempat kebudayaan

bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat menyatakan gagasan mereka

tadi dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal sering berada dalam

karangan dan buku-buku hasil karya penulis warga masyarakat bersangkutan.

Sekarang kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disket, arsip,

koleksi microfilm dan microfish, kartu komputer, silinder dan pita

komputer.42

Ide gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu

masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan itu satu dengan

yang lain selalu berkaitan menjadi suatu sistem (sistem budaya/cultural

system). Dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah yang sangat tepat untuk

menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat atau adat-istiadat. Adat

mempunyai beberapa lapisan, yakni sistem nilai budaya, norma-norma,

sistem hukum dan peraturan-peraturan khusus. Sistem nilai budaya adalah

tingkat paling abstrak dari adat. Yang dimaksud dengan sistem nilai budaya

adalah konsepsi yang hidup dalam alam pikiran masyarakat mengenai hal

yang sangat bernilai dalam hidup dan berfungsi sebagai pedoman tertinggi

dalam kelakuan manusia.

42
Ibid, hlm.151
32

Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial (social system),

mengenai tindakan berpola dari manusia sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari

aktivitas-aktivitas manusia berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama

lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu

menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai

rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial

itu bersifat konkret, terjadi disekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi,

difoto, dan didokumentasikan.43 Masyarakat dengan segala norma yang

dimilikinya merupakan dasar aktivitas manusia. Dalam satu tatanan sosial,

manusia melakukan berbagai aktivitas budaya. Dibandingkan dengan wujud

ideal wujud kebudayaan yang disebut sistem sosial itu lebih konkret.

Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Berupa

seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam

masyarakat. Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal

yang dapat diraba, dilihat dan difoto. Ada benda-benda yang sangat besar,

seperti pabrik, benda yang kompleks dan canggih; seperti komputer

berkapasitas tinggi, bangunan hasil seni arsitek seperti suatu candi yang

indah, atau ada pula benda-benda yang sangat kecil seperti kain batik dan

sebagainya.44

43
ibid
44
Ibid
33

Pemikiran tiga wujud kebudayaan itu kemudian dirumuskan sebagai

sesuatu yang berkaitan satu sama lain. Ide atau gagasan-gagasan terdapat di

dalam pemikiran manusia. Tentunya sebagai hasil olah otak karena di otak

atau di kepala manusia maka ide-ide tidak tampak. Tidak terlihat. Hanya

terdengar bila disebutkan secara oral oleh pemikirnya (penggagasnya) dan

baru terlihat bila dituliskan atau ditayangkan dalam slide atau power point

melalui LCD. Idealnya gagasan-gagasan atau ide bisa disimpan dalam arsip.

Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa kenyatan dalam

kehidupan di masyarakat tentu tidak terpisah satu sama lain. Kebudayaan dan

adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada manusia. Baik pikiran-

pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan

benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk

suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia

dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pola-pola

perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya.

Dengan kata lain, ketiga wujud kebudayaan tersebut memperlihatkan

adanya pengaruh timbal balik antar ketiganya. Tidak hanya kebudayaan ideal

yang mempengaruhi kegiatan manusia, tidak hanya kegiatan manusia yang

menentukan kebudayaan fisik, tetapi kebudayaan fisik pada gilirannya

mempengaruhi kebudayaan ideal dan kegiatan manusia. Itulah dialektika

yang menandai proses perkembangan kebudayaan dari masa ke masa.


34

Selain itu, kebudayaan juga memiliki ciri-ciri,45 yaitu:

1. Kebudayaan adalah produk manusia. Artinya, kebudayaan adalah ciptaan

manusia, bukan ciptaan Tuhan atau Dewa. Manusia adalah pelaku sejarah

dan kebudayaannya.

2. Kebudayaan bersifat sosial. Artinya kebudayaan tidak pernah dihasilkan

secara individual, melainkan oleh manusia secara bersama. Kebudayaan

adalah satu karya bersama, bukan karya perorangan.

3. Kebudayaan diteruskan lewat proses belajar. Artinya kebudayaan itu

diwariskan dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya melalui suatu

proses belajar. Kebudayaan berkembang dari waktu ke waktu, karena

kemampuan belajar manusia. Tampak di sini bahwa kebudayaan itu selalu

bersifat historis, artinya proses yang selalu berkembang.

4. Kebudayaan bersifat simbolik. Sebab kebudayaan merupakan ekspresi,

ungkapan kehadiran manusia. Sebagai ekspresi manusia, kebudayaan itu

tidak sama dengan manusia. Kebudayaan disebut simbolik, sebab

mengekspresikan manusia dan segala upayanya untuk mewujudkan

dirinya.

5. Kebudayaan adalah sistem pemenuhan berbagai kebutuhan manusia.

Tidak seperti hewan, manusia memenuhi segala kebutuhannya dengan

cara-cara yang beradab, atau dengan cara-cara manusiawi. Hewan

45
Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar,
(Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2000), hlm.49-50
35

misalnya, tidak mampu mengubah makanan hingga terasa enak dan lezat

untuk disantap. Hewan ketika lapar, langsung saja mencaplok bahan-

bahan mentah yang disediakan alam baginya. Sedangkan manusia harus

mengolah terlebih dahulu bahan makanan dari ladang yang digarapnya

dengan teknik-teknik tertentu, sehingga makanannya pantas untuk

disantap. Meskipun sangat lapar, manusia bisa menahan diri seandainya

makanan belum tersedia di meja makan. Pokoknya, cara manusia

memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya berbeda dengan cara hewan

memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

3. Karakteristik Kebudayaan

Dalam karyanya The Cruch and Cultures, Louis mencoba

merumuskan karakteristik-karakteristik umum kebudayaan, yaitu: Pertama,

kebudayaan adalah suatu cara hidup. Kedua, kebudayaan adalah total dari

rencana atau rancangan hidup. Ketiga, secara fungsional kebudayaan

diorganisasikan dalam suatu sistem. Keempat, kebudayaan diperoleh melalui

proses belajar. Kelima, kebudayaan adalah cara hidup dari suatu grup atau

kelompok sosial, bukan cara hidup individual atau perorangan.46

1. Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berfungsi bagi masyarakat

Kebudayaan adalah suatu cara hidup. Kebudayaan mempunyai

fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam-macam

46
Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar,…,
hlm. 26
36

kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota-anggota masyarakat,

seperti kekuatan alam di mana ia bertempat tinggal, maupun kekuatan-

kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri, yang tidak selalu baik

baginya. Kecuali dari pada itu, manusia dan masyarakat memerlukan pula

kepuasan, baik dibidang spiritual, maupun bidang materi. Kebutuhan-

kebutuhan masyarakat tersebut di atas, untuk sebagaian besar dipenuhi oleh

kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Dikatakan sebagian

besar karena kemampuan manusia terbatas, dan dengan demikian kemampuan

kebudayaan yang merupakan hasil ciptaannya juga terbatas dalam memenuhi

kebutuhan-kebutuhan manusia.47

Karsa masyarakat, mewujudkan norma-norma dan nilai-nilai

kemasyarakatan yang sangat perlu untuk mengadakan tata-tertib dalam

pergaulan kemasyarakatan. Karsa merupakan daya upaya masyarakat untuk

melindungi diri terhadap kekuatan-kekuatan lain di dalam masyarakat.

Kekuatan yang tersembunyi di dalam masyarakat, tidak selamanya baik, dan

untuk menghadapi kekuatan-kekuatan buruk, manusia terpaksa melindungi

dirinya dengan cara menciptakan norma-norma atau kaidah-kaidah yang pada

hakikatnya merupakan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia

bertindak dan berlaku di dalam pergaulan hidup.

Kebudayaan mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana

seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikap jika mereka berhubungan

47
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hlm.154
37

dengan orang lain. Apabila manusia hidup sendiri, maka tidak akan ada

manusia lain yang merasa terganggu oleh tindakan-tindakannya. Akan tetapi

setiap orang, bagaimanapun hidupnya, ia akan selalu menciptakan kebiasaan

bagi dirinya sendiri.

Kebiasaan (habit) merupakan suatu perilaku pribadi. Pribadi berarti

kebiasaan seseorang itu adalah berbeda dengan kebiasaan orang lain, waupun

mereka hidup dalam satu rumah. Jadi setiap orang akan membentuk suatu

kebiasaan yang khusus bagi dirinya sendiri. Contoh, ada orang yang ingin

membiasakan dirinya bangun pagi, sebab dia akan merasakan bahwa udara

pagi akan menyebabkan jiwa menjadi bersih. Akan tetapi, orang lain akan

mempunyai kebiasaan yang lain pula, ada yang mempunyai kebiasaan untuk

tidur jauh sampai siang hari. Apabila semua kebiasaan tadi tidak dilakukan,

misalnya satu hari saja karena sesuatu hal, maka jiwanya akan kacau

sepanjang hari itu.

Menurut Ferdinand Tonnies,48 kebiasaan memiliki tiga arti, yaitu:

Pertama, dalam arti yang menunjukkan suatu kenyataan yang bersifat

objektif. Misalnya, kebiasaan untuk bangun pagi-pagi, kebiasaan untuk tidur

di siang hari. Artinya bahwa seseorang biasa melakukan perbuatan-perbuatan

tadi masuk dalam tata cara hidupnya. Kedua, dalam arti bahwa kebiasaan

tersebut dijadikan norma bagi seseorang, norma yang diciptakan untuk dirinya

sendiri. Dalam hal ini, maka orang yang bersangkutanlah yang menciptakan

48
Ibid, hlm. 161
38

suatu prilaku bagi dirinya sendiri. Ketiga, sebagai perwujudan kemauan atau

keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kebiasaan

menunjukkan pada suatu gejala seseorang di dalam tindakan-tindakannya

selalu ingin melakukan hal-hal yang teratur baginya. Kebiasaan-kebiasaan

yang baik akan diakui serta dilakukan pula oleh orang-orang lain yang

semasyarakat. Bahkan lebih jauh lagi, begitu mendalamnya pengakuan atas

kebiasaan seseorang, sehingga kebiasaan tersebut dapat dijadikan patokan

orang lain, bahkan bisa dijadikan peraturan oleh orang lain. Kebiasaan yang

dijadikan kebiasaan teratur oleh seseorang, kemudian dijadikan dasar bagi

hubungan antara orang-orang tertentu, sehingga tingkah laku atau tindakan

masing-masing dapat diatur, dan semuanya menimbulkan norma-norma atau

kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah yang timbul di masyarakat sesuai dengan

kebutuhannya pada suatu saat, lazimnya dinamakan adat atau adat-istiadat.

Dengan demikian, di dalam setiap masyarakat, terdapat apa yang

dinamakan pola-pola perilaku atau pattern of behavior. Pola-pola perilaku

tersebut adalah cara-cara bertindak atau tindakan yang sama terhadap orang-

orang yang hidup bersama dalam masyarakat yang harus diikuti oleh semua

anggota masyarakat tersebut. Setiap tindakan manusia dalam masyarakat,

selalu mengikuti pola-pola perilaku masyarakat. Kecuali terpengaruh sekali

oleh tindakan bersama tadi, pola-pola perilaku masyarakat, sangat

dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat.


39

Pola-pola perilaku adalah berbeda dengan kebiasaan. Pola-pola

perilaku adalah cara bertindak yang dilakukan bersama-sama oleh semua

anggota suatu mayarakat yang mempunyai norma-norma dan kebudayaan

yang sama juga. Sedangkan kebiasaan merupakan cara bertindak seseorang

anggota masyarakat yang kemudian diakui dan mungkin diikuti oleh orang-

orang lain.49

2. Kebudayaan adalah suatu cara hidup dalam kelompok

Manusia adalah makhluk yang hidup dalam kelompok, dan

mempunyai organ secara biologis sangat kalah kemampuan fisiknya dengan

jenis-jenis hewan berkelompok lain. Walaupun demikian, otak manusia telah

berevolusi paling jauh jika dibandingkan dengan makhluk lain. Otak manusia

yang telah dikembangkan oleh bahasa, tetapi yang mengembangkan bahasa

mengandung kemampuan akal, yaitu kemampuan untuk membentuk gagasan-

gagasan dan konsep-konsep yang makin lama makin tajam, untuk memilih

alternatif tindakan-tindakan yang menguntungkan bagi keberlangsungan

hidup manusia. Gagasan-gagasan dan konsep-konsep tersebut dapat

dikomunikasikan dengan lambang-lambang vokal yang disebut bahasa, tidak

hanya kepada individu-individu lain dalam kelompoknya, tetapi juga kepada

keturunannya.50

3. Kebudayaan diorganisasikan dalam suatu sistem

49
Ibid, hlm. 162
50
Koentjaraningrat, Pengantar,…, hlm.78
40

Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa hidup secara kelompok.

Sikap hidup untuk berkelompok bukan karena insting semata, melainkan atas

kebutuhan bersama. Mereka memandang hidup berkelompok jauh lebih

menguntungkan dibandingkan hidup menyendiri.

Kebudayaan diorganisasikan dalam suatu sistem. Kebudayaan adalah

suatu kesatuan yang tersusun dari banyak bagian yang berbeda -a complex

whole, seperti dikatakan oleh Taylor. Bagian-bagian yang membentuk

kebudayaan terintegrasi dan saling berhubungan. Perubahan pada suatu

bagian dalam sisitem akan mengubah hubungan diantara bagian-bagian

lainnya, dan akan mempengaruhi keseluruhan sistem yang bersangkutan.

Maka tidaklah memadai jika kehidupan di pandang hanya dari satu atau

beberapa bagian saja.

4. Kebudayaan diperoleh melalui proses belajar

Kebudayaan diperoleh melalui proses belajar. Setiap makhluk hidup

berada dalam suatu lingkungan. Lingkungan merupakan situasi pangkal dari

tingkah lakunya. Situasi lingkungan menyebabkan timbulnya suatu dorongan

batin untuk berbuat dalam dirinya, sebaliknya mengakibatkan reaksi berupa

suatu perbuatan tertentu yang dilakukan oleh makhluk tersebut.51

Lingkungan merupakan salah satu pengaruh baik buruknya dalam

proses belajar. Jika lingkungan sekitarnya baik, tentu akan menghasilkan

51
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Press, 2010), hlm. 75
41

belajar yang bai, namun sebaliknya jika lingkungan itu tidak baik tentu akan

sangat berpengaruh keberhasilan belajar terhadap manusia itu sendiri.

Lingkungan yang nyaman tentunya akan membawa kenyaman dalam belajar.

5. Kebudayaan adalah cara hidup dari suatu grup atau kelompok sosial

Kebudayaan adalah cara hidup dari suatu grup atau kelompok sosial.

R. Linton,52 seorang Antropologi Columbia University dan Yale University,

mengatakan bahwa untuk meneliti kepribadian umum warga suatu masyarakat

dilakukan dengan mempelajari adat-istiadat pengasuhan anak-anak dalam

kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Adat-istiadat pengasuhan anak

dalam suatu kebudayaan menyebabkan bahwa hampir semua individu dalam

kebudayaan tersebut sewaktu kecilnya diasuh dengan cara yang sama.

Akibatnya adalah bahwa mereka kelak mengembangkan beberapa ciri watak

yang sama.

Ciri-ciri watak yang sama pada sebagian besar warga dewasa dalam

masyarakat yang merupakan kepribadian umum masyarakat dan kebudayaan

bersangkutan. Sedangkan menurut Linton, hal itu disebabkan karena selain

ditentukan oleh bakatnya sendiri, kepribadian individu juga ditentukan juga

oleh latar belakang kebudayaan dan sub kebudayaan dari lingkungan sosial di

mana individu dibesarkan.53

52
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II,…, hlm. 52
53
Ibid, hlm. 53-55
42

B. Hakikat Budaya Belajar

1. Pengertian Belajar

Dalam aktivitas kehidupan manusia sehari-hari hampir tidak pernah

dapat terlepas dari kegiatan belajar, baik ketika seseorang melaksanakan

aktivitas sendiri, maupun di dalam suatu kelompok tertentu. Dipahami

ataupun tidak dipahami, sesungguhnya sebagian besar aktivitas di dalam

kehidupan sehari-hari kita merupakan kegiatan belajar. Dengan demikian

dapat dikatakan, tidak ada ruang dan waktu di mana manusia dapat

melepaskan dirinya dari kegiatan belajar, dan itu berarti bahwa belajar tidak

dibatasi usia, tempat maupun waktu, karena perubahan yang menuntut

terjadinya aktivitas belajar juga tidak pernah berhenti.

Belajar merupakan kegiatan penting setiap orang, termasuk

didalamnya belajar bagaimana seharusnya belajar. Menurut Abdillah (2002)

dalam buku Aunurrahman mengatakan bahwa belajar adalah suatu usaha

sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah laku baik

melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek-aspek kognitif,

afektif dan psikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu.54 Rosleny

berpendapat bahwa belajar merupakan aktivitas fisik sekaligus aktivitas

psikis. Artinya, belajar itu berkaitan dengan kebutuhan fisik dan mental serta

proses kerja sama keduanya dalam suatu aktivitas tertentu.55

54
Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2012), hlm.35
55
Rosleny Marliany, Psikologi Umum, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2010), hlm.195
43

Dimyati dan Mudjiono mengemukakan pendapat Gagne bahwa

belajar adalah suatu kegiatan yang komplek. Hasil belajar berupa kapabilitas,

artinya setelah belajar seseorang memiliki ketrampilan, pengetahuan, sikap

dan nilai.56 Hakim juga berpendapat bahwa belajar merupakan suatu proses

perubahan dalam kepribadian manusia dan perubahan tersebut ditampakkan

dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku, seperti

peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman,

ketrampilan, daya pikir, dan kemampuan lainnya. Sehingga belajar

merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalan pembentukan

perilaku dan pribadi individu.57

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar

merupakan suatu kegiatan atau aktivitas seseorang untuk perubahan tingkah

laku, baik yang dilakukan berdasarkan latihan dan pengalaman dan akan

menghasilkan suatu pengetahuan, ketrampilan, nilai, kebiasaan, sikap, dan

daya pikir dalam pembentukan perilaku individu. Timbulnya stimulus dalam

belajar tentunya berasal dari lingkungan, dan proses kognitif yang dilakukan

oleh pembelajar. Dengan demikian, belajar juga dapat dikatakan seperangkat

proses kognitif yang mengubah sifat stimulus lingkungan, melewati

pengelolaan informasi menjadikan perubahan yang baru.

56
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002),
hlm.10
57
Thursan Hakim, Belajar Secara Efektif, (Jakarta: Puspa Swara, 2005), hlm.1
44

Belajar juga merupakan suatu keharusan bagi siswa karena tanpa

melalui proses belajar pengetahuan tidak akan sampai pada siswa itu sendiri.

Cara belajar siswa memang banyak, misalnya; dengan mendengarkan,

diskusi, membaca, menonton atau cara lainnya yang dapat memberikan

pengetahuan pada siswa. Belajar juga tidak hanya bisa dilakukan di

lingkungan sekolah saja, tetapi keluarga dan masyarakat merupakan tempat

yang sangat baik untuk melakukan proses belajar. Ketiga tempat

berlangsungnya kegiatan belajar tersebut sering disebut sebagai Tri pusat

pendidikan. Akan tetapi, seringkali ada kesalahan paradigma di masyarakat

yang memandang bahwa hanya sekolahlah tempat anak belajar, sehingga

tugas sekolah menjadi lebih berat.

Menurut Ngalim Purwanto dalam bukunya Psikologi Pendidikan

yang mengungkapkan bahwa ada beberapa para ahli yang mendefinisikan apa

itu belajar, diantaranya:58

a) Hilgard dan Bower dalam bukunya Theories of Learning (1975)

mengemukakan bahwa belajar itu berhubungan dengan perubahan tingkah

laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh

pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan

tingkah laku tersebut tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan

respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang

(misalnya; kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya).

58
Ngalim Puerwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007),
hlm.84
45

b) Gagne dalam bukunya The Conditions of Learning (1977) menyatakan

belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan

mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya

(performancenya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi ke

waktu sesudah mengalami situasi.

c) Morgan dalam bukunya Introduction to Psykology (1978) menyatakan

belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku

yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.

d) Witherington dalam bukunya Educational Psykology mengemukakan

bahwa belajar ialah suatu perubahan di dalam kepribadian yang

menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari pada reaksi yang berupa

kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat dianalisis bahwa belajar

merupakan suatu aktivitas yang menyebabkan terjadinya perubahan pada

siswa, baik dalam tingkah laku (sikap), kemampuan kognitif, kebiasaan atau

lainnya yang dilakukan dengan sengaja. Ketika suatu aktivitas sudah

menyebabkan perubahan pada seseorang, maka orang tesebut dapat dikatakan

telah melalui proses belajar, baik dalam tataran positif maupun negatif.

Sementara Sumadi Suryabrata menyatakan bahwa belajar itu

memiliki beberapa konsep, yaitu: 59

59
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
hlm.232
46

1) Belajar itu membawa perubahan, baik aktual maupun potensial,

2) Perubahan itu didapatkan dari kecakapan baru,

3) Perubahan terjadi karena usaha (dengan sengaja)

Dari uraian di atas, dapat ditemukan beberapa ciri umum kegiatan

belajar, yaitu:60

Pertama, belajar menunjukkan suatu aktivitas pada diri seseorang

yang disadari atau disengaja. Oleh sebab itu pemahaman pertama yang sangat

penting adalah bahwa kegiatan belajar merupakan kegiatan yang disengaja

atau direncanakan oleh pembelajar sendiri dalam bentuk suatu aktivitas

tertentu. Aktivitas ini menunjukkan pada keaktifan seseorang dalam

melakukan sesuatu kegiatan tertentu, baik pada aspek-aspek jasmaniah

maupun aspek mental yang memungkinkan terjadinya perubahan pada

dirinya. Dari aspek ini dapat dipahami, begitu banyak aktivitas seseorang

yang merupakan cerminan dari kegiatan belajar, walupun diri individu tidak

secara nyata memahami bahwa dirinya melakukan kegiatan belajar.

Kedua, belajar merupakan interaksi individu dengan

lingkungannya. Lingkungan dalam hal ini dapat berupa manusia atau obyek-

obyek lain yang memungkinkan individu memperoleh pengalaman-

pengalaman atau pengetahuan, baik pengalaman atau pengetahuan baru

maupun sesuatu yang pernah diperoleh atau ditemukan sebelumnya, akan

60
Ibid, hlm.36
47

tetapi menimbulkan perhatian kembali bagi individu tersebut sehingga

memungkinkan terjadinya interaksi. Adanya interaksi individu dengan

lingkungan mendorong seseorang untuk lebih intensif meningkatkan

keaktifan jasmaniah maupun mentalnya guna lebih mendalami sesuatu yang

menjadi perhatian.

Ketiga, hasil belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku.

Waupun tidak semua perubahan tingkah laku merupakan hasil belajar, akan

tetapi aktivitas belajar umumnya disertai perubahan tingkah laku. Perubahan

tingkah laku pada kebanyakan hal merupakan sesuatu perubahan yang dapat

diamati (observable). Akan tetapi juga tidak selalu perubahan tingkah laku

yang dimaksudkan sebagai hasil belajar tersebut dapat diamati. Perubahan-

perubahan yang dapat diamati kebanyakan berkenaan dengan perubahan

aspek-aspek motorik.

2. Budaya Belajar

Budaya belajar mengandung arti adanya perubahan kebiasaan

belajar. Perubahan ini mencakup perubahan sikap, nilai dan perilaku tertentu

serta struktur organisasi belajar sesuai dengan tuntutan budaya belajar.

Sehingga dengan adanya perubahan ini akan memberikan dampak terhadap


48

kita, baik dampak positif maupun dampak negatif. Sebab kita akan

mempelajari aturan-aturan yang sesuai dengan budaya belajar untuk tujuan,

tanggung jawab utama terhadap pelajaran, pola perilaku yang dilakukan untuk

pelaksanaan belajar yang efektif dan norma-norma serta nilai yang berlaku.

Budaya belajar dalam kegiatannya mampu melaksanakan tugas dan

belajar, sehingga kita dalam bertindak dan berpikir aktif serta kreatif. Sebab

aktivitas dan kreabilitas yang tinggi dapat berjalan dengan baik jika ditopang

dengan budaya belajar yang baik. Karena pelaksanaan proses pembelajaran

yang ditunjang dengan budaya belajar akan memberikan arah kepada kita

untuk bersifat kreatif, dinamis dan inovatif. Sikap-sikap tersebut antara lain

terbuka dan peka terhadap rangsangan dari luar, interest, bervariasi, bersikap

mandiri, memiliki rasa ingin tahu, berani menjelajahi dan meneliti serta

berani mengutarakan dan mengaktualisasikan gagasan.61

Banyak orang yang belajar dengan susah payah, tetapi tidak

mendapatkan hasil apa-apa, hanya kegagalan yang ditemui. Penyebabnya

tidak lain karena belajar tidak teratur, tidak disiplin, dan kurang bersemangat,

tidak tahu bagaimana cara berkonsentrasi dalam belajar, mengabaikan

masalah pengaturan waktu dalam belajar, istirahat yang kurang dan kurang

tidur.

61
Tabrani Rusyan, Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja Karya,
2011), hlm.11
49

Rusyan berpendapat bahwa budaya belajar merupakan serangkaian

kegiatan dalam melaksanakan tugas belajar yang dilakukan.62 Kita

menjadikan belajar sebagai kebiasaan, dimana jika kebiasaan itu tidak

dilaksanakan, berarti melanggar suatu nilai atau patokan yang ada, dan

menjadikan belajar sebagai kegemaran dan kesenangan, sehingga motivasi

belajar muncul dari dalam diri kita sendiri, yang akhirnya produktifitas

belajar meningkat.

Menurut Rousseau yang dikutip Dalyono bahwa manusia itu pada

dasarnya baik, ia jadi buruk dan jahat karena pengaruh kebudayaan. 63 Berarti

pengaruh budaya yang lebih fatal terjadi apabila sebagian besar masyarakat

mengalami keterbelakangan budaya. Tirta Rahardja menggambarkan bahwa

keterbelakangan budaya terjadi akibat dari sekelompok masyarakat yang tidak

mau mengubah cara dan kebiasaan yang selama ini menganggap dirinya

sudah maju. Pada kelompok ini mereka tidak mau menerima segala macam

pembaharuan dan tidak mau mengubah tradisi yang selama ini sudah diyakini

kebenarannya.64

Sama halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat,

bahwa “Faktor budaya berkaitan dengan kultur masyarakat yang berupa

62
Tabrani Rusyan, Budaya Belajar yang Baik, (Jakarta: Panca Anugerah Sakti, 2007), hlm.
12
63
Dalyono, Psikologi Pendidikan, ((Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 106
64
Tirtarahardja, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 246
50

persepsi/pandangan, adat istiadat dan kebiasaan”.65 Peserta didik selalu

melakukan kontak dengan masyarakat. Pengaruh-pengaruh budaya yang

negatif dan salah terhadap dunia pendidikan akan turut berpengaruh terhadap

perkembangan dan pertumbuhan anak. Peserta didik yang bergaul dengan

teman-temannya yang tidak sekolah atau putus sekolah akan terpengaruh

dengan mereka. Dalam hal ini Slameto mengatakan bahwa banyaknya siswa

gagal belajar akibat karena mereka tidak mempunyai budaya belajar yang

baik. Mereka kebanyakan hanya menghafal pelajaran.66

Pendapat tersebut di pertegas oleh William H. Burton dalam

Hamalik yang termasuk dalam salah satu prinsip belajar, yaitu proses belajar

terutama terdiri dari berbuat hal-hal yang harus dipelajari di samping

bermacam-macam hal lain yang ikut membantu proses belajar itu.67

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, bahwa budaya belajar

adalah cakupan semua ide yang dihasilkan oleh manusia berupa pengetahuan,

kepercayaan, moral, kebiasaan secara sadar yang dilakukan oleh individu

dalam perubahan tingkah laku baik melalui latihan dan pengalaman yang

menyangkut aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomotorik untuk

memperoleh tujuan tertentu. Secara implisit budaya belajar mempunyai

keterkaitan dengan prestasi belajar, sebab dalam budaya belajar mengandung

65
Koentjaraningrat, Bunga Rampai: Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 147.
66
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta,
2003), hlm.73
67
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), hlm.26
51

kebiasaan belajar dan cara-cara belajar yang dianut oleh siswa. Pada

umumnya setiap orang (siswa) bertindak berdasarkan force of habit (menurut

kebiasaannya) sekalipun ia tahu, bahwa ada cara lain yang mungkin lebih

menguntungkan.

Sehubungan dengan hal itu, budaya belajar akan menjadi tradisi

yang dianut oleh peserta didik. Tradisi tersebut akan selalu melekat di dalam

setiap tindakan dan prilaku peserta didik sehari-hari, baik di sekolah, di

rumah maupun di lingkungan masyarakat. Misalnya tradisi dalam

memanfaatkan waktu belajar, kegigihan/keuletan dalam belajar, dan konsisten

dalam menerapkan cara belajar efektif.

C. Pendukung Peningkatan Budaya Belajar

Dalam proses belajar, tentunya setiap individu ingin memperoleh

suatu keberhasilan yang baik, sehingga akan mencapai cita-cita yang

diharapkan. Rusyan68 mengatakan bahwa ada beberapa faktor pendukung

dalam keberhasilan belajar, diantaranya:

1. Motivasi belajar peserta didik

Untuk mendapatkan motivasi belajar dijasikan suatu landasan

pembinaan sikap perilaku terhadap peserta didik dalam melaksanakan

proses pembelajaran. Seperti; memberikan penghargaan terhadap

68
Tabrani Rusyan, Budaya Belajar Yang Baik, (Jakarta: PT Panca Anugerah, 2007), hlm.14
52

pencapaian tugas, adanya rasa tanggung jawab, pencapaian pelaksanaan

tugas, adanya peningkatan kemajuan dalam belajar dan lain sebagainya.

2. Etika belajar

Supaya budaya belajar berjalan dengan baik, maka perlu diupayakan

melalui etos belajar, karena etos belajar merupakan etika belajar yang

terdapat dari diri seseorang untuk bertindak atau berbuat yang tertuju pada

suatu tujuan yaitu pencapaian tujuan dalam belajar.

3. Lingkungan belajar

Lingkungan merupakan salah satu pendukung dalam berjalannya

proses belajar, karena baik buruknya budaya dalam belajar itu juga

tergantung dari lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini misalnya di

lingkungan sekolah. Jika sudah berada di lingkungan sekolah tentunya apa

yang di dapatkan oleh seseorang akan bernilai baik, karena adanya

pengajaran yang disampaikan oleh seorang pendidik. Menurut Sukmadinata

lingkungan sekolah juga memegang peranan penting bagi perkembangan

belajar peserta didik.69 Lingkungan sekolah meliputi lingkungan fisik

sekolah seperti; lingkungan sekolah, sarana dan prasarana belajar, media

69
Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007), hlm.164
53

belajar dan lain sebagainya. Suasana dalam pelaksanaan kegiatan belajar

mengajar dilakukan di sekolah, dengan peran guru sebagai pendidik.

Rusyan juga mengemukakan bahwa budaya belajar yang baik

merupakan salah satu upaya perbuatan meningkatkan kualitas belajar, karena

dengan budaya belajar segala kegiatan pelajaran dan tugas akan teratur dan

terarah, sehingga tujuan belajar yang diharapkan dapat tercapai dengan baik.70

Dengan demikian, budaya belajar sebagai salah satu upaya meningkatkan

kualitas belajar, karena:

a) Dengan budaya belajar semua pelajaran dapat dikerjakan dengan terarah,

tertib dan teratur, sehingga tujuan yang diharapkan mudah untuk dicapai.

b) Dengan budaya belajar kreativitas dapat terpusat pada satu arah tujuan

yang tepat.

c) Budaya belajar menjadikan belajar dengan dinamis dan inovatif, sehingga

semua hal yang dikerjakan akan menghasilkan sesuatu yang berguna.

d) Dengan budaya belajar aktivitas belajar lebih meningkat kualitasnya,

karena budaya belajar memberikan rasa peka terhadap pengaruh dari luar,

sehingga seseorang dapat mudah terpengaruh dengan hal-hal yang bersifat

negatif.

e) Dengan budaya belajar, semua kegiatab belajar bisa dilaksanakan secara

efisien dan efektif.

70
Tabrani Rusyan, Budaya Belajar Yang Baik,…, hlm.34-77
54

f) Dengan budaya belajar, semua aktivitas belajar yang sedang berlangsung

dapat memberikan suasana yang menyenangkan dan harmonis.

g) Aktivitas belajar berdasarkan budaya belajar dapat mengoptimalkan hasil

belajar.

h) Budaya belajar dapat mendorong seseorang untuk mengerjakan pelajaran

secara bekerja sama dan menghasilkan suatu pencapaian tujuan yang

optimal dalam waktu singkat.

i) Pelaksanaan budaya belajar merupakan manipestasi disiplin nasional

j) Suasana dan situasi belajar berdasarkan budaya belajar mudah

mengarahkan seseorang kepada tujuan dan program belajar.

Dari uraian di atas dapat dianalisis bahwa budaya belajar yang baik

perlu adanya faktor pendukung seperti motivasi belajar, etika dalam belajar,

lingkungan (baik lingkungan di rumah, sekolah maupun masyarakat),

bermacam kegiatan belajar tambahan di luar jam sekolah, dan tentunya

kesemuanya itu perlu diatur dengan aturan-aturan tertentu, sehingga budaya

belajar akan menjadi terarah sesuai dengan tujuan yang akan di capai.

Anda mungkin juga menyukai