BAB 1 PENDAHULUAN (MK) (3) (Kesimpulan)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

HUKUM ACARA ……….

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Dosen Pengampu :
Alda Rifada Rifqi, S.H., M.H.

Disusun oleh :
Putu Ayu Delima Putri F (21.4301.058)
Marcellino Jonathan (21.4301.060)
Lasmarita Simbolon (21.4301.061)
Atma Jalasena Putra (21.4301.066)
Muhammad Fazzel JF (21.4301.078)
Danial Hilla Rosad (21.4301.083)

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG


2024
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Perubahan ketiga UUD 1945 mengalami perubahan diantaranya pasal 1 dan ayat
3, pokok isinya adalah: Negara indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk
Republik. 1Kedaulatan adalah ditangan rayat, dan dilaksanakan menurut UUD. Negara
indonesia adalah negara hukum, dapat dipahami bahwa negara huum yang dimaksud ialah
negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan,
serta tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan atau akuntable.

Pancasila sebagai filosofiche grodslag harus terimplementasikan dalam UUD


1945, karena segala landasan bernegara dan bermasyrakat tercantum didalamnya
(pancasila). Suatu produk hukum yang baik sudah tentu pasti sesuai dengan dasar
filosofis,yuridi,dan sosial. Maka dari itu,Pancasila sebagai ide menjadi dasar
pembentukan suatu produk hukum yang baik untuk indonesia.

Menurut Lawrence Friedman, hukum yang baik harus memenuhi tiga unsur
sistem hukum, yang terdiri dari struktur hukum (legal structu re), substansi hukum (legal
substance), dan budaya hukum (legal culture). Bentuk pemerintahan dimana ada
pemisahan yang tegas antara badan legislatif(perlemen) dengan badan eksekutif (fixed
executive).

Jimly Asshiddqie mengatakan keuntungan sistem presidensial itu justru


menjamin stabilitas pemerintahan dan juga dapat dipratekkan dengan menerapan sistem
multi-partai yang dapat mengakomodasikan peta konfigurasi kekuatan politik dalam
masyrakat yang dilengkapi dengan pengaturan konsititusional untuk mengurangi dampak
negatif atau kelemahan dari sistem presidensial tersebut.2

Secara teoritis, kedudukan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial


sangat kuat dibandingkan dengan kedudukan perdana menteri dalam sistem parlementer.
Hal itu wajar karena sistem presidensial dimaksudkan dan diharapkan untuk melahirkan
1
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 1 ayat (1).
2
Yopi gunawan dan kristian. “Perkembangan Konsep Negara Hukum dan Negara Hukum Pancasila”
(Bandung: Replika Aditama, 2015) h. 5.
suatu pemerintahan yang relatif stabil dalam jangka waktu tertentu. Presiden hamya dapat
dimakzulkan dalam masa jabatanya apabila melakukan pelanggaran hukum secara tegas
diatur dalam konsititusi setiap negara. Berbeda dengan sistem parlementer, kepala
pemerintahan atau perdana menteri yang memimpin kabinet setiap saat dapat dijatuhkan
oleh parlemen dengan mosi tidak percaya.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (pasca amandemen) kedaulatan rakyat


ditentukan dibagian secara horizontl dengan cara memisahkanya (sparation of power)
menjadi kekuasaan yang diinstankan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang
sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip check and balaces.
Dengan adanya prinsip chec and balances ini, kekuasaan negara dapat di kontrol dengan
sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara
bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.

Jika terjadi keseimbangan kekuasaan akan menyebabkan terjadinya proses


impeachment atau pemberhentian Presiden sebagai kepala lembaga Eksekutif yang
didasarkan kepada alasan-alasan politis, yang bermula adanya mosi tidak percaya oleh
lembaga legislatif. Menurut Abdul Rasyid Thalib menyatakan bahwa pemberhentian
dalam masa jabatan merupakan bentuk tanggung jawab yang dilakuakn oleh presiden dan
atau wakil presiden melakukan kesalahan terkait jabatanya sebagaimana diatur dalam
UUD 1945 sebelum amandemen menurut Abdul Rasyid Thalib masih menimbulkan
multitafsir. Beliau mencontohkan satu sisi Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatanya, pada sisi lainya Presiden dapat saja menyatakan dirinya berhenti (perytaan
sepihak) atas permintan sendiri. Pamberhentian ir soekarno dan K.H. Aabdurrahman
Wahid sebagai presiden dalam masa jabatanya dilakukan dengan sistem
pertanggungjawaban, yang prosedurnya belum terperinci, tata cara pembuktian yang tidek
jelas dan tidak konsisten, sekaligus dengan dasar-dasar pengambilan keputusan yang tidak
tertib.3

Indonesia tercatat telah mengalami beberapa kali pergantian Presiden secara


tidak normal. Terdapat dua dari empat Presiden Republik Indonesia (Soekarno dan

3
Hamdan Zoelva. “Impeachment Presiden, Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD
1945”(Jakarta: Konsititusi Press, 2014) h. 1.
Abdurrahman wahid) yang diberhentiakan dari jabatanya sebelum berakhir masa
jabatanya. Presiden Soeakarno dimakzulakan oleh Majelis permusywaratan Rakyat
Sementara, setelah adanya memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong pada
tahun 1967 dengan dikeluarkanya TAP- MPRS-RI No XXX111/MPRS/1967. Kemudian
pada 23 juli 2001, MPR-RI mengadakan sidang istimewa sehingga mengesahakan TAP
MPR-RI Nomor 11/MPR/2001 yang menyebabkan Presiden Abdurrahman Wahid
dimakzulkan oleh MPR-RI karena beliau dianggap telan melanggar Garis-Garis Besar
Haluan Negara.

Prosedur pemberhentian Presiden dan /atau Wakil Presiden dalam masa


jabatanya sebagimana ketentuan pasal 7A diatur dalam ketentuan pasal 7B yang terdiri
atas tujuh ayat, yaitu(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7),
pemberhentian Presiden dan /atau Wakil presiden disebutkan secara limitif dalam
konsitusi, yaitu penghianatan terhadap negara, korupsi,penyuapan, tindak pidanaberat
lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.

Selanjutnya pendapat DPR bahwa Presiden dan /atau Wakil Presiden telah
melakukan penghianatan terhadap negara,korupsi,penyuapan, tindak pidana berat lain
pembuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebgai Presiden dan Wakil Presiden
selanjutnya akan di periksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konsitusi (MK) apakah
pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak. Amar putusan MK
atas pendapatn DPR tersebut sekurang-kurangya terdiri dari tiga kemungkinan. Pertama,
amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila
permohonan tidak memenuhi syarat. Kedua, amar putusan MK menyatakan
membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti
melakukan tindakan yang dituduhakan. Ketiga, amar putusan MK menyatakan bahwa
permohonan ditolak apabila Presiden dan atau/ Wakil Presiden terbukti melakukan
tindakan yang dituduhkan.4

4
Maruarar Siahaan. “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”. (Jakartak: Sinar Grafika,
2012) h 11-13.
Ketentuan itu diterbelakangi oleh kehendak untuk melaksanakan prinsip saling
mengawasi dan saling mengimbangi antara lembaga negara (DPR, Presiden dan MK)
serta paham mengenai Negara hukum, sesuai dengan bidang kekuasaanya sebagai
lembaga perwakilan, DPR mengusulakn pemberhentian Presiden dan atau/ Wakil
Presiden dalam masa jabatanya, kemudian MK menjalankan proses hukum tersebut atas
usul pemberhentian tersebut dengan cara memeriksa mengadili dan memutus pendapat
DPR.

Sebagaimana kewenangan Mahkamah Konsitusi dalam pasal 24C ayat (1) dan
ayat (2) menggariskan kewenangan Mahkamah Konsitusi adalah berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhiri dan putusanya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan hasil pemilu dan Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban memberi putusan
atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan /atau Wakil Presiden
diduga melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan tindak pidana berat lainya atau perbuatan tercela, dan /atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan /atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar 1945.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan


mekanisme pemakzulan perlu dikaji secara akademis untuk mendapatkan jawaban-
jawaban akademis terhadap berbagai pemasalahan yang terkait dengan pemakzulan
tersebut. Dengan masalah pokok adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden dan
atau Wakil Presiden menurut UUD 1945 setelah perubahan ?
2. Bagaimanakah kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap dugaan
pelanggaran Presiden atau Wakil Presiden?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Negara Hukum
Konsep Negara Hukum
Proses transisi di Indonesia dengan dilakukannya perubahan terrhadap UUD 1945
telah mengubah secara mendasar penyelenggaraan sistem ketatanegaraan di Indonesia
yang diarahkan untuk mewujudkan negara hukum.10 Wujud Indonesia adalah Negara
hukum dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Negara
Indonesia adalah negara hukum”.
Dalam perspektif teori, terdapat beberapa konsep negara hikum,11 yaitu Rechtstaat,
Rule of Law, Socialist Legality, Nomokrasi Islam, dan Negara Hukum Pancasila. Dari
berbagai konsep tersebut, konsep yang paling banyak dikenal di berbagai negara adalah
Rechtstaat dan rule of law. Perkembangan wawasan negara hukum telah berlangsung
cepat. Pada abad ke-21 ini tidak ada suatu negara pin yang menganggap dirinya sebagai
negara modern tanpa menyebutkan dirinya sebagai negara berdasarkan atas hukum.5
Menurut Scheltema, unsur-unsur rechtstaat adalah kepastian Hukum, persamaan,
demokrasi, dan pemerintahan yang melayani kepentingan umum. Rechtstaat lahir pada
abad ke-19, meskipun waasannya telah lama ada jauh sebelumnya.
Selanjutnya, rule of law merupakan konsep negara hukum yangg tumbuh dan
berkembang di negara Anglo Saxon, antara lain Amerika Serikat dan Inggris. Menurut
Albert Venn Dicey, mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1) Supremasi Hukum (supremacy of law) dan tidak adanya ksewenang-wenangan
tanpa aturan yang jelas;
2) Persamaan di muka hukum (equality before the law); dan
3) Hak asasi manusia yang dijamin melalui undang-undang.

B. Konsep Pemakzulan
5
Satya Arinanto dalam Mahkamah Konstitusi. Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila, Proceeding
Kongres Pancasila: Pancasila dalam Berbagai Perspektif, (Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan MK: 2009), hlm.
207.
Secara garis besar, dalam dunia hukum tata negara terdapat dua model pemakzulan,
yaitu impeachment dan forum previlegiatum. Konsep impeachment lahir di Mesir kuno
dengan istilah iesangelia, kemudian pada abad ke-17 diadopsi oleh pemerintahan Inggris
dan dimasukkan dalam konstitusi Amerika Serikat pada akhir abad Ke-18. Konsep
impeachment dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat adalah mekanisme
pemberhentian pejabat negara karena melanggar pasal-pasal impeachment, yaitu
penghianatan terhadap Negara, penyuapan, kejahatan tingkat tinggi lainnya, dan
perbuatan tercela (treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors).
Forum previlegiatum merupakan konsep pemberhentian pejabat tinggi negara,
termasuk Presiden melalui peradilan khusus (special Legal proceedings), yaitu Presiden
yang dianggap melanggar hukum diberhentikan melalui mekanisme pengadilan yang
dipercepat tanpa melalui jenjang pemeriksaan pengadilan konvensional dari tingkat
bawah. Konsep ini diterapkan di Perancis dalam Pasal 68 Konstitusinya yang mengatur
bahwa Presiden dan para pejabat Negara dapat dituntut diberhentikan di dalam forum
Mahkamah Agung Perancis karena penghianatan kepada negara, melakukan keahatan
kriminal, dan tindakan tidak pantas lainnya. 6

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan Kehakiman, di


samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud Dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini berarti
Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
Yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya Dalam menegakkan
hukum dan keadilan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 C UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945,
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan Dan kewajiban sebagai berikut:
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat Pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus Pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang Hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.” 7
Dengan demikian Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) kewenangan konstitusional
dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia yaitu:

6
Abdul Mukthie Fadjar. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta, Konstitusi Press dan
Citra Media: 2006), hlm. 233.
7
Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum;
Mahkamah Konstitusi juga memiliki 1 (satu) kewajiban konstitusional dalam Pasal
24 C ayat (2) untuk memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-
Undang Dasar. Dilibatkannya Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment terhadap
Presiden dan atau Wakil Presiden, tidak terlepas dari pengalaman masa lalu dan
merupakan konsekuensi logis dari perubahan sistem dan bangunan ketatanegaraan yang
dikembangkan di Indonesia. Selain itu ada keinginan untuk memberikan pembatasan agar
seorang Presiden Dan/atau Wakil Presiden diberhentikan bukan karena alasan politik
nelaka, melainkan juga memiliki landasan dan pertimbangan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.8
Hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini memuat
aturan umum beracara di muka Mahkamah Konstitusi dan aturan khusus sesuai dengan
karakteristik masingmasing perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi diberi
kewenangan untuk melengkapi hukum acara menurut Undang-Undang ini. Dalam
implementasinya untuk melengkapi hukum acara yang ada, diterbitkanlah beberapa
Peraturan Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2003 sampai sekarang ini.
Hanya saja untuk kewajiban Mahkamah Konstitusi dalam hal memberikan putusan
atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar, sampai sekarang ini belum
pernah dilakukan sama sekali. Tidak mengherankan masyarakat dan media menaruh
perhatian yang sangat besar seputar wacana pemakzulan Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzulan Presiden
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, secara konstitusional Mahkamah Konstitusi
memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kewenangan dan kewajiban Mahkamah
Konstitusi ini kemudian dipertegas dan diuraikan lebih lanjut dalam Pasal 10 Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Menurut Maruarar Siahaan, rumusan tersebut lahir akibat tidak membedakan proses
Impeachment di Mahkamah Konstitusi sebagai proses yang bersifat yuridis semata

8
Fatkhurohman, dkk, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004, hlm. 53.
dengan adanya nuansa politis, yang diawali dengan proses politik di DPR dan diakhiri
juga dengan proses politik di MPR. Proses politik di MPR ini menetapkan apakah dengan
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang diawali dengan pendapat DPR tentang
pelanggaran Presiden dan /atau Wakil Presiden, MPR memandang cukup untuk dijadikan
dasar untuk menghentikan Presiden.9
Pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan:
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangan-nya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah meakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi di
atas, maka dalam hal kewajiban Mahkamah Konstitusi memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar, nampak lebih diuraikan lebih rinci termasuk
alasan-alasannya. Ada beberapa alasan seorang Presiden dan / atau Wakil Presiden
dimintakan putusan oleh DPR kepada mahkamah Konstitusi, yaitu :
1. Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan Pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, Korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya.
2. Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan perbuatan tercela.
3. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dijelaskan lebih lanjut
mengenai maksud tindakan pelanggaran hukum oleh Presiden dan /atau Wakil Presiden
tersebut, yaitu berupa:

9
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,
2005, hlm. 16.
a. Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara
sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah
syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.10
Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau
warga masyarakat untuk memberikan keterangan, baik berupa keterangan lisan dan
tertulis, termasuk dokumen yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa.17
Dengan demikian Putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan syarat dan proses yang
harus dilalui terlebih dahulu dalam rangka pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden,
yaitu untuk menyatakan terbukti atau tidaknya Presiden Dan/atau Wakil Presiden yang
diduga melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar.

10
Lihat Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Teori Pembagian Kekuasaan dan Makna Pemakzulan (Impeachment) Terhadap


Presiden Dan Wakil Presiden

Menurut Bagir Manan, ditinjau dari teori pembagian kekuasaan, yang dimaksud kekuasaan
pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif. Sebagai kekuasaan eksekutif, penyelenggaraan
pemerintahan yang dilaksanakan presiden dapat dibedakan antara kekuasaan penyelenggaraan
pemerintahan yang bersifat umum dan kekuasaan pemerintahan yang bersifat khusus Konstitusi
merupakan hukum atau aturan tertinggi yang harus ditaati, sehingga menjadi landasan atau
pedoman untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi Indonesia, yakni
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, salah satu
persoalan penting setelah terjadinya perubahan tersebut adalah adanya ketentuan yang secara
eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ketentuan ini merepukan kosekuensi dari keinginan untuk mempertegas sistem
pemerintahan presidential yang telah disepakati fraksi-fraksi di MPR pada masa itu, agar
terciptanya pemerintahan yang baik dengan memperbaiki dan menyempurnakan penyelengaraan
negara agar lebih demokratis, seperti disempurnakannya hubungan saling mengawasi (checks and
balances), pembatasan masa jabatan dan peberhentian Presiden dan wakil Presiden Republik
Indonesia. UUD 1945 sebelum perubahan tidak memuat aturan secara jelas tentang mekanisme
pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, sehingga pada masa itu
alasan pemberhentian presiden tidak memiliki kepastian hukum yang jelas, jadi persoalan hukum
atau bukan persoalan hukum yang dilanggar presiden tidak menjadi acuan, pemberhentian
presiden pada itu lebih pada kepentingan dan keinginan politik, dapat dilihat pada kasus
pemberhentian Presiden Sukarno yang diberhentikan melalui Ketetapan MPRS Nomor
XXXIII/MPRS/1967, alasan yang dimuat dalam ketetapan tersebutnya hanyalah bersipat politis
yakni presiden tidak dapat menjalankan kewajibanya. Pemberhentian terhadap Presiden
Abdurrahman Wahid dipandang hanya beralasan pada kepentingan politik, bermula dengan tidak
diterimanya keterangan yang disampaikan oleh presiden dalam Memorandum Pertama dan Kedua
dalam kasus buloggate dan bruneigate, yang akhirnya membuat presiden mengambil tindakan
politik dengan mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakn pembubaran parlemen dan akan
segera melakukan pemilihan umum, langkah tersebut akhirnya membuat anggota DPR
mempercepat Memorandum Ketiga dengan agenda mencabut mandat terhadap presiden, bila
mengacu pada Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 maka pemberhentian terhadap presiden
Abdurrahman Wahid tidak sepenuhnya mengikuti aturan yang ada, pemberhentian tersebut
terkesan hanya untuk melawan Dekrit Presiden, sehingga mekanisme yang telah diatur tidak
terlaksana sebaimana mestinya. Pemberhentian terhadap Presiden Sukarno dan Presiden
Abdurrahman Wahid menunjukan bahwa tidak jelasnya dasar hukum, alasan dan mekanisme
pemberhentian presiden, sehingga pemberhentian presiden didasarkan pada pandangan dan
penilaian yang subjektif dari anggota DPR, sehingga MPR dapat memberhentikan presiden kapan
saja tanpa alasan yang jelas. UUD 1945 setelah perubahan mengatur secara terbatas tentang
pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden, pada Pasal 7A dan 7B yaitu pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden. Secara jelas subtansi dari Pasal 7B
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 adalah sebagai berikut:
Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu
mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya
dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya
terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah
permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan
Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat
menerima usul tersebut.

Menurut M. Tahir Azhary terdapat lima konsep Negara hukum antara lain:
“Negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah. Atau lebih dikenal dengan sebutan
Nomokrasi Islam; Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan
rechtsstaats; Negara hukum rule of law yang diterapkan dinegara-negara Anglo-Saxon,
antara lain Inggris dan Amerika Skarikat.Negara hukum socialist legality yang
diterapkan antara lain di Uni Soviet sebagai Negara komunis; Negara hukum pancasila.
Yang diterapkan di Indonesia”.11

11
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum (Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah Dan Masa Kini), Prenada Media, Jakarta, 2010, hlm.
34.
Menurut Hans Kelsen, dalam teori konstitusinya mengatakan bahwa konstitusi terbagi menjadi
dua yaitu konstitusi dalam arti material dan konstitusi dalam arti formal. Konstitusi dalam arti
formal adalah suatu dokumen resmi, seperangkat norma hukum yang hanya dapat diubah dibawah
pengawasan ketentuan-ketentuan khusus, yang tujuannya adalah untuk menjadikan perubahan
norma-norma ini lebih sulit. Sedangkan konstitusi dalam arti material terdiri atas peraturan-
peraturan yang mengatur pembentukan norma-norma hukum yang bersifat umum, terutama
pembentukan undang-undang.12
Secara teknis ketatanegaraan proses pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dalam
masa jabatanya oleh MPR atas usul DPR disebut dengan istilah pemakzulan, atau dalam bahasa
asing dikenal dengan impeachment. Pengaturan terhadap hal ini bertujuan untuk mencegah dan
menaggulangi penyalahgunaan kekuasaan yang dipegang Presiden dan atau Wakil Presiden. Akan
tetapi, yang menjadi persoalan selanjutnya, yakni ketentuan-ketentuan mengenai pemakzulan
yang terdapat di dalam konstitusi tidak mengatur dengan jelas tentang persoalan-persoalan teknis
untuk melaksanakan pemakzulan tersebut, sehingga masih banyak hal-hal yang harus
diformulasikan, yakni aturan-aturan teknis dalam melaksanakan pemakzulan tersebut.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi negara dan bangsa Indonesia. Jakarta, 22 Juli 2001,
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang KH Abdurrahman Wahid 13.

Gusdur mengeluarkan maklumat/dekrit, akhirnya meloloskan Tap. MPR RI Nomor II Tahun


2001 tentang Pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid dengan suara mutlak tanpa ada
satupun anggota yang menolak.
Sebagaimana sesuai Kompas (22/7/2001), percepatan SI MPR didukung mayoritas di MPR,
kecuali oleh anggota Fraksi PKB dan PDKB. Sebanyak 292 anggota MPR dari 601 anggota MPR
yang hadir setuju percepatan pelaksanaan SI MPR14.

Ada banyak persoalan yang tidak atau belum sepenuhnya bisa terjawab dengan sebaik-
baiknya. Berbicara tentang impeachment tidak lepas dari pembicaraan pertanggungjawaban
khususnya pertanggungjawaban hukum. Istilah impeachment berasal dari kata “to impeach”, yang
berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah
removal from office, atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu
sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum
yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black, “Strictly speaking, “impeachment”
means ‘acusating’ or ‘charge’,” Artinya, “kata impeachment dalam bahasa Indonesia dapat kita
alih bahasakan sebagai dakwaan atau tuduhan” 15 . Dan adapun menurut Menurut Bagir Manan
dan Kuntana Magnar secara teoritis dengan memperhatikan beberapa ketentuan diantaranya Pasal

12
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 24
13
[email protected], DEKRIT PRESIDEN ABDURAHMAN WAHID,EDT, Sun Jul 22 2001 – 15 :
32 : 39.
14
Kompas, SI MPR didukung mayoritas di MPR, Edisi 22/07/2001.
15
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007,
hlm. 600. 7
Bagir Manan dan Kuntana, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997,
Hlm. 30-33.
4 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum diamandemen, sebenarnya dapat ditarik
beberapa alternatif pertanggungjawaban wakil presiden antara lain :

1. Wakil Presiden bertanggung jawab kepada MPR, atas dasar dipilih oleh MPR;
2. Wakil Presiden bertanggung jawab kepada Presiden atas dasar merupakan pembantu
Presiden (tetapi tidak sama dengan menteri);
Wakil Presiden bertanggung jawab baik kepada MPR, maupun kepada Presiden, atas dasar
disatu pihak dipilih oleh MPR, dilain pihak merupakan pembantu Presiden. 7

B. Kedudukan Mahkamah Konstitusi


Pemerintah adalah pengemban tugas dan tanggung jawab kenegaraan, senantiasa
berusaha memenuhi tanggungjawabnya demi kebutuhan rakyat. Artinya bahwa
kepercayaan rakyat ada pada pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Presiden sebagai kepala penyelenggara pemerintahan di negara memegang penuh
amanat rakyat. Hal ini berarti bahwa Presiden dan Wakil Presiden melaksanakan tugas
dan tanggungjawabnya dengan penghormatan yang tinggi kepada rakyat, tidak melakukan
perbuatan – perbuatan tercela,tindak pidana, pengkhianatan terhadap negara, dan sikap
serta perbuatan yang melanggar aturan – aturan yang berlaku.
Namun, tidak dapat dihindari pula dalam sifat kemanusiaannya ada sikap dan
perbuatan yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden sehingga martabat sebagai
seorang kepala negara dan kepala pemerintahan menjadi tidak baik. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa untuk menyelesaikan persoalan ini sering melibatkan
lembaga negara lainnya yaitu DPR dan MPR. Disadari bahwa dengan adanya amandemen
UUD 1945, maka jelas Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga baru memiliki
kewenangan yang dapat menyelesaiakan persoalan ini. Hal tersebut dapat dilihat dari
kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 10 UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
a. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat yang pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
- Menguji undang – undang terhadap UUD Negara RI Tahun 1945;
- Memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945;
- Memutuskan pembubaran partai politik;
- Memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
b. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR, bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden di duga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Preisiden dan Wakil Presiden sebagiamana dimkasud UUD 1945.
c. Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (2) berupa:
- Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan
negara sebagaimana diatur dalam Undang – Undang;
- Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam undang – undang;
- Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
- Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat
Presiden dan/atau Wakil Presiden;
- Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah
syarat sebagiamana ditentukan dalam Pasal 6 UUD 1945.

Dengan demikian salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah


Konstitusi yaitu mengatur tentang mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang dikenal dengan istilah impeachment.
Namun pelaksanaan impeachment adalah bukan hanya sekedar
pertanggungjawaban formalitas saja, mengingat dalam proses impeachment itu sendiri
dilaksanakan berdasarkan adanya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan konstitusi. Hal ini harus dapat dibuktikan
secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi.
Proses pelaksanaan impeachment sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945,
BAB III Pasal 7B adalah sebagai berikut :
1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya
dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi
untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan pendapat dewan Perwakilan
Rakyat, bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan / atau pendapat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupuan telah tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam
rangka pelaksnaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan rakyat.
3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah
Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang – kurangnya 2/3
dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang
paripurna, yang dihadiri oleh sekurang – kurangnya 2/3 jumlah anggota dewan
perwakilan Rakyat
4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan memutus dengan
seadil – adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan rakyat tersebut paling
lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan perwakilan Rakyat itu
diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang
paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh
hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
7) Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
harus diambil dalam rapat paripurna MPR dihadiri oleh sekurang – kurangnya
¾ dari jumlah anggota, dan disetujui oleh sekurang – kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi
kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

Berdasarkan penjelasan Undang Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan


dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD Pasal 27 huruf A, menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada
pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sedangkan Pasal 27 huruf b
menentukan bahwa yang dimaksud dengan hak angket adalah hak DPR untuk melakukan
penyelidikkan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang – undangan.

Impeachment diawali dengan Hak Angket (penyelidikan) oleh DPR setelah DPR
melaksanakan Hak Interpelasi (bertanya kepada Presiden). Permohonan Hak Angket bisa
diajukan minimal 10 anggota dewan disetujui Rapat Paripurna.

Rapat paripurna yang membahas impeachment minimal dihadiri ¾ jumlah


anggota DPR dan disetujui 2/3 anggota yang hadir itu. Jika disetujui pendapat DPR
tentang pelanggaran yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden diserahkan kepada
Mahkamah Konstitusi.

Terlibatnya lembaga DPR, MPR, dan Mahkamah Konstitusi, sekaligus dalam


proses impeachment terlepas dari institusi Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai
pihak yang disarankan dalam proses ini, sekaligus memberikan kandungan makna
penyelenggaraan asas check and balance dalam proses ini. Pihak legislatif (DPR) harus
menerima terlebih dahulu bukti hukum dari pihak yudikatif (Mahkamah Konstitusi)
berupa bukti benar atau tidaknya dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagai lembaga eksekutif. Sementara pihak lembaga MPR sebagai satu –
satunya lembaga ciri khas Indonesia, diberikan kewenangan untuk melaksanakan putusan
Mahkamah Konstitusi.

Sesuai ketentuan konstitusi, Mahkamah Konstitusi wajib menyelesaikan perkara


ini dalam waktu 90 hari. Karena kewenangan ini menjadi satu hal yang diwajibkan, maka
apabila hakim konstitusi dengan sengaja menghambat pelaksanaan kewenangannya, maka
dapat diberhentikan dengan tidak hormat. Selanjutnya bila Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden bersalah, DPR meneruskan usul
pemberhentian kepada MPR.

Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak sampai memutuskan


apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden layak diberhentikan atau tidak. Mahkamah
Konstitusi hanya memberikan pertimbangan – pertimbangan hukum dan membuktikan
benar tidaknya pendapat DPR. Wewenang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden ada pada institusi MPR. Proses persidangan selanjutnya, MPR akan menentukan
kemudian berdasarkan hasil dari Mahkamah Konstitusi dimaksud.

Dapat dipertegas bahwa kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil


Presiden ada pada institusi MPR. Sebagaimana Pasal 3 ayat 2 UUD 1945 menentukan
bahwa MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka Pasal 7A UUD Negara RI
Tahun 1945 pun menentukan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi,penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Selain itu, dipertimbangkan pula bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden


mempunyai legitimasi kuat karena dipilih langsung oleh rakyat, maka pemberhentiannya
haqnya dapat dilakukan oleh lembaga negara yang juga mempunyai legitimasi kuat.
Dalam hal ini dibanding lembaga negara lainnya, hanya MPR yang memiliki legitimasi
kuat sebanding dengan Presiden, karena seluruh anggotanya adalah anggota DPR dan
anggota DPD yang dipilih oleh rakyat.

Dengan demikian kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai


pertimbangan hukum dan sebagai pembuktian benar tidaknya pendapat DPR. Selanjutnya
putusan tersebut dijadikan dasar oleh MPR untuk memutuskan bersalah atau tidaknya
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1. Bagir Manan mengungkapkan teori pembagian kekuasaan, yang dimaksud kekuasaan


pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif. Sebagai kekuasaan eksekutif, penyelenggaraan
pemerintahan yang dilaksanakan presiden dapat dibedakan antara kekuasaan
penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum dan kekuasaan pemerintahan yang
bersifat khusus Konstitusi merupakan hukum atau aturan tertinggi yang harus
ditaati, sehingga menjadi landasan atau pedoman untuk menjalankan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Konstitusi Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar 1945 telah
mengalami perubahan sebanyak empat kali, sal ah satu persoalan penting setelah
terjadinya perubahan tersebut adalah adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur
pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat

Pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden DPR mengirimkan permohonan


pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. Namun terlebih dahulu,
meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki, menilai, dan mengklaim DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden melanggar ketentuan undang-undang. Pernyataan DPR
tersebut merupakan bagian dari amanat pengawasan DPR. Atas permintaan DPR,
pernyataan ke MK hanya bisa diberikan jika jumlah dukungan minimal 2/3 dari jumlah
anggota DPR yang mengikuti rapat paripurna. MK wajib menyelidiki permintaan DPR
dan mengambil keputusan yang adil selambat-lambatnya sembilan puluh hari setelah
DPR menerima permintaan DPR. Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum terhadap
ketentuan undang-undang.

2. Presiden sebagai kepala penyelenggara pemerintahan di negara memegang penuh


amanat rakyat. Hal ini berarti bahwa Presiden dan Wakil Presiden melaksanakan tugas
dan tanggungjawabnya dengan penghormatan yang tinggi kepada rakyat, tidak melakukan
perbuatan – perbuatan tercela,tindak pidana, pengkhianatan terhadap negara, dan sikap
serta perbuatan yang melanggar aturan – aturan yang berlaku. Namun, tidak dapat
dihindari pula dalam sifat kemanusiaannya ada sikap dan perbuatan yang dilakukan oleh
Presiden dan Wakil Presiden sehingga martabat sebagai seorang kepala negara dan kepala
pemerintahan menjadi tidak baik.

Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap dugaan pelanggaran Presiden atau Wakil


Presiden memiliki kedudukan yang sangat penting dalam proses pemakzulan. Mahkamah
Konstitusi berperan sebagai lembaga yang melakukan pemeriksaan atas dugaan
pelanggaran tersebut dengan memastikan bahwa proses pemakzulan berjalan sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jika Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
ada cukup bukti pelanggaran yang dapat menjadi dasar untuk pemakzulan, maka hal
tersebut dapat memperkuat argumen dalam sidang pemakzulan di MPR. Putusan
Mahkamah Konstitusi ini memberikan legitimasi hukum terhadap proses pemakzulan dan
memiliki dampak besar terhadap keputusan akhir yang diambil oleh MPR dalam sidang
pemakzulan. Dengan demikian, kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi adalah penting
dalam menentukan langkah-langkah selanjutnya dalam proses pemakzulan terhadap
Presiden atau Wakil Presiden.

Bahwa dengan putusan tersebut memiliki otoritas hukum yang tinggi dan penting
dalam menegakkan konstitusi, memastikan akuntabilitas pemimpin negara, dan
memberikan legitimasi terhadap proses politik yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran
tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi juga memiliki dampak besar terhadap proses
pemakzulan, jika ada, terhadap Presiden atau Wakil Presiden. Dengan demikian, putusan
Mahkamah Konstitusi memainkan peran krusial dalam menjaga supremasi hukum dan
prinsip-prinsip demokrasi dalam suatu negara.

B. Saran

1.

2.

Anda mungkin juga menyukai