Tugas Paper 3 Fitri Sakinah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 20

Filosofis Tentang Pendidikan Dasar Sebagai Proses Pendewasaan, Prinsip,

Pendekatan dan Evaluasi Pembelajaran

Tugas Paper
Tugas ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Landasan Filosofi Pendidikan Dasar

Disusun Oleh:

Fitri Sakinah

NIM. 23124036
Kelas A

Dosen Pengampu Mata Kuliah

Prof. Dr. Jamaris, M.Pd

Dr. Desyandri, M.Pd

PENDIDIKAN DASAR
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2024
RINGKASAN MATERI

Pendidikan adalah kegiatan berupa aktivitas mendidik, yang pada intinya


terletak pada proses belajar, dan inti dari proses belajar adalah terletak pada proses
kemampuan berpikirnya. Pendidikan merupakan upaya untuk melatih dan
mengembangkan peserta didik untuk berpikir melalui kegiatan pembelajaran.
Pengembangan pendidikan secara mikro harus selalu memperhitungkan individualitas
atau karakteristik perbedaan antar individu peserta didik pada setiap jenjang dan jenis
pendidikan (Alfurqan et al., 2020).
Esensi pendidikan dasar adalah kunci bagi setiap peserta didik untuk
pengembangan dirinya di masa depan, dan menjadi bekal dasar untuk dapat hidup
layak dalam hidup bermasyarakat dimanapun di dunia ini. Oleh karenanya, program
belajar pendidikan dasar harus mengembangkan potensi peserta didik secara terpadu
dan sinergis. Pola pembelajaran pada tingkat pendidikan dasar harus dilakukan secara
terpadu, karena secara psikologis perkembangan kemampuan kognisi, kemampuan
sosio-emaosional, kemampuan pengembangan moral dan perkembangan fisik peserta
didik usia pendidikan dasar terjadi secara terpadu dan saling ketergantungan (Hosaini,
2019).
Mengembangkan filosofi pendidikan dasar bukanlah tugas yang mudah.
Seperti yang terjadi dalam faktanya, para guru harus mempertimbangkan serangkaian
masalah ketika merencanakan pendidikan dasar anak, yaitu memahami, dan
menjelaskan bagaimana anak-anak berkembang dalam lingkungan belajar yang sesuai
dengan perkembangan. Serta merencanakan dan memfasilitasi pengalaman belajar
anakanak dan membimbing perilaku anak secara profesional. Filosofi personal
pendidikan dasar dapat membantu menempatkan informasi baru tentang
perkembangan dan pendidikan anak dalam perspektif terapan. Sebagai guru maupun
sebagai konsultan pendidikan perlu memiliki kemampuan mengidentifikasi hal yang
terkait dengan pengembangkan filosofi pendidikan dasar, antara lain, bagaimana anak
berkembang, apa korelasi antara perkembangan dan pendidikan anak serta bagaimana
anak belajar (Sahnan, 2019).
Pendekatan adalah cara atau usaha dalam menyampaikan sesuatu hal yang
diinginkan. Dalam pembelajaran pun harus memiliki suatu pendekatan dalam
melaksanakannya, agar pembelajaran yang diinginkan tersampaikan dengan baik
kepada peserta didik. Salah satu pendekatan yang mendorong peserta didik untuk
lebih berpikir dalam kegiatan belajar dan tidak bosan belajar yaitu pendekatan yang
membelajarkan peserta didik dari lingkungan sekitar mereka, tidak hanya lingkungan
saja tetapi peserta didik dapat belajar dari orang sekitar mereka, misalnya keluarga,
guru, teman sekolah. Pendekatan ini biasanya disebut dengan pendekatan
konstruktivisme. Pandangan konstruktivisme menekankan pentingnya peserta didik
untuk menyadari alasan dan tujuan dalam belajar. Pengetahuan dibangun oleh siswa
melalui kegiatan eksplorasi dan diskusi dengan temannya. Semula konstruktivisme
merupakan suatu filosofi dan bukan suatu strategi, pendekatan, maupun model
pembelajaran. “Constructivism is not an instructional strategy to be deployed under
appropriate conditions. Rather, constructivism is an underlying philosophy or way of
seeing the world”. Tujuan dengan pendekatan konstruktivisme ini tentu sangat
membantu untuk mengembangkan daya imajinasi peserta didik dengan pembelajaran
yang diberikan oleh pendidik (Muliani Resti et al., 2022).
Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki ribuan pulau dengan jutaan
penduduk yang tersebar di seluruh pulau memiliki corak budaya yang beraneka
ragam. Dari ragam corak budaya ini pula menghasilkan ragam kepribadian individu
masyarakat Indonesia. Kepribadian sendiri adalah corak tingkah laku sosial yang
meliputi corak kekuatan, dorongan, keinginan, opini dan sikap yang melekat pada
seseorang apabila berhubungan dengan orang lain atau menanggapi suatu keadaan
Kepribadian yang ada dalam diri manusia bukanlah sesuatu yang didapatnya dari
lahir layaknya karunia. Kepribadian terbentuk karena proses yang terjadi di sekitar
kita, lingkungan keluarga, sekolah, sosial, kerja, dan dunia bermain membentuk
seperti apa kepribadian seseorang tersebut. Lingkungan yang tidak baik akan
membentuk pribadi seseorang menjadi tidak baik pula, begitu pun sebaliknya
(Akhmad, 2020).

PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan
Bapak Pendidikan Nasional Indonesia Ki Hajar Dewantara mendefinisikan
bahwa arti Pendidikan; “Pendidikan yaitu tuntutan didalam hidup tumbuhnya anak-
anak, adapun maksudnya, pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiian setinggi-tingginya”. Pendidikan
merupakan adalah sebuah proses humanime yang selanjutnya dikenal dengan istilah
memanusiakan manusia. Oleh karena itu kita seharusnya bias menghormati hak asasi
setiap manusia. Murid dengan kata lain siswa bagaimanapu bukan sebuah manusia
mesin yang dapat diatur sekehendaknya, melainkan mereka adalah generasi yang
perlu kita bantu dan memberi kepedulian dalam setiap reaksi perubahannya menuju
pendewasaan supaya dapat membentuk insan yang swantrata, berpikir kritis seta
memiliki sikap akhlak yang baik. Untuk itu pendidikan tidak saja membentuk insan
yang berbeda dengan sosok lainnya yang dapat beraktifitas menyantap dan meneguk,
berpakaian serta memiliki rumah untuk tinggal hidup, ihwal inilah disebut dengan
istilah memanusiakan manusia (Pristiwanti et al., 2022).
Dalam Perundang-undangan tentang Sistem Pendidikan No.20 tahun 2003,
mengatakan bahwa Pendidikan merupakan “usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan sepiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang
diperlukan dirinya dan masyarakat”. Definisi dari Kamus Bahasa Indonesia (KBBI)
kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ serta mendapatkan imbuhan ‘pe’ dan akhiran
‘an’, sehingga kata ini memiliki pengertian sebuah metode, cara maupum tindakan
membimbing. Dapat didefinisi pengajaran ialah sebuah cara perubahan etika serta
prilaku oleh individu atau sosial dalam upaya mewujudkan kemandirian dalam
rangka mematangkan atau mendewasakan manusia melalui upaya pendidikan,
pembelajaran, bimbingan serta pembinaan.
Karakter adalah wujud pemahaman dan pengetahuan seseorang tentang
nilai-nilai mulia dalam kehidupan yang bersumber dari tatanan budaya, agama dan
kebangsaan seperti : nilai moral, nilai etika, hukum, nilai budi pekerti, kebajikan dan
syari’at agama dan budaya serta diwujudkan dalam sikap, perilaku dan kepribadian
sehari-hari hingga mampu membedakan satu dengan lainnya. Dengan demikian maka
karakter pada hakekatnya bukan hanya harus dipahami dan diketahui ataupun hanya
diajarkan tetapi harus diteladani. Dimana yang selanjutnya diharapkan bahwa
karakter individu tersebut akan membangun karakter-karakter daerah dan bangsa
sesuai dengan harapan dan cita-cita luhur dalam tujuan pendidikan nasional. Pendapat
lain dari pengertian karakter, seperti yang disampaikan bahwa : Karakter merupakan
nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, budaya
dan nilai kebangsaan yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-sehari menjadi
suatu pembiasaan yang melekat (Baginda, 2018).

B. Teori Pendidikan Ideal Plato


Menurut Plato pendidikan harus diarahkan untuk menemukan
kebenaran sejati (true knowledge). Selain itu pendidikan juga harus diarahkan untuk
pengembangkan watak (character development). Dalam usahanya untuk menemukan
kebenaran siswa harus lebih diarahkan untuk menemukan konsep-konsep tentang ide
dari pada dunia materi yang serba berubah. Dunia materi bukanlah dunia yang hakiki
akan tetapi hanyalah sebuah bayang-bayang dan ilusi sebagaimana dilihat oleh
manusia gua. Dalam pandangan Plato hikmah filsafat (philosophic wisdom) atau
konsep tentang ide yang hakiki merupakan kebenaran tertinggi yang harus dijadikan
tujuan pendidikan. Mengenai pengembangan karakter (character development), Plato
memandang siswa sebagai seorang yang sangat potensial untuk ber- kembang dari
aspek moral maupun intelektual26. Oleh sebab itu, sekolah harus mengembangkan
potensi tersebut. Dalam hal ini guru menempati posisi penting untuk mendorong
sisiwa berani mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dan harus menciptakan
lingkungan yang kondusif untuk belajar.
Tentunya dalam pendidikan ada usaha untuk mencapai proses
perkembangan anak, plato menggunakan metode pendidikan yang paling baik di
tingkat dasar adalah metode permainan (game), permainan peran (role playing), atau
simulasi dan permainan (simulation and game). Hal tersebut terlihat dalam ungkapan
Plato, di dalam mendidik anak-anak, didiklah mereka dengan semacan permaina. Dari
sini tampak bahwa plato tidak hanya berfikir idealis tapi juga berfikir praktis. Apa
yang disampaikan Plato tentang belajar sambil bermain tampaknya terus
dikembangkan oleh para praktisi pendidikan sampai sekarang ini. Melalui proses
pembelajaran dengan kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak yaitu melalui
bermain, diharapkan dapat merangsang dan memupuk kreativitas anak sesuai dengan
potensi yang dimilikinya untuk pengembangan diri sejak usia dini
Adapun metode pendidikan untuk tingkat atas adalah dialektika
Melalui metode berfikir kritis ia percaya bahwa individu dapat melihat sesuatu secara
menyeluruh. Dengan metode ini Plato yakin bahwa kita dapat mengembangkan ide
kita untuk membentuk sebuah sintesa dan konsep yang universal. Walaupun metode
ini merupakan dapat dipelajari akan tetapi membutuhkan sikap kritis, kemampuan
dalam bidang mate matika, dan studi yang mendalam Oleh karena itu, dialektika
merupakan puncak untuk mendapatkan pengetahuan, dan hanya mereka yang
mempunyai kemampuan istimewa yang dapat mempelajarinya. Yang dimaksud
kemampuan istemewa yaitu kemampuan untuk melepaskan diri dari belenggu dan
ikatan realitas yang ada di dunia inderawi dan beralih menuju realitas hakiki yang ada
di dunia ide.Pendidikan dalam pandangan Plato dan kaum idealisme merupakan
proses untuk menemukan kebenaran sejati. Oleh karena itu, guru dalam sistem
pengajaran harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) guru adalah
personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam
suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar
secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para
murid; (5) Guru menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi
yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar (7) Guru harus bisa menjadi
idola para siswa; (8) Guru harus rajin beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang
bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komuni-
katif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan
ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar
sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya
berhasil; (13) Guru haruslah bersikap demokratis dan mengembangkan demokrasi;
(14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya (Fathoni, 2010)
C. Teori Pendidikan Pragmatisme Menurut John Dewey
John Dewey memandang pendidikan sebagai suatu proses pembentukan
kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut tentang pikir (intelektual)
maupun daya perasaan (emosional), menuju ke arah tabiat manusia dan manusia
biasa. Berangkat dari itu maka filsafat pendidikan dapat juga diartikan sebagai teori
umum pendidikan. John Dewey menyatakan pendidikan sebagai penataan ulang atau
rekonstruksi aneka pengalaman dan peristiwa yang dialami dalam kehidupan individu
sehingga segala sesuatu yang baru menjadi lebuh terarah dan bermakna. Defenisi ini
berarti bahwa seorang berpikir tentang pengalaman-pengalaman yang dilaluinya.
Lebih jauh terkandung arti bahwa pendidikan seseorang terdiri dari segala sesuatu
yang ia lakukan, dari mulai lahir sampai mati, kata kucinya adalah seseorang berbuat
atau mengerjakan sesuatu. Seseorang belajar dengan cara melakukan sehingga
pendidikan dapat terjadi di perpustakaan, kelas, tempat bermain, gymnasium
perjalanan, ataupun di rumah.
John Dewey juga berpendapat pendidikan adalah suatu proses pembentukan
kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut tentang pikir (intelektual)
maupun daya perasaan (emosional), menuju ke arah tabiat manusia dan manusia
biasa. Pendidikan sebagai penataan ulang atau rekonstruksi aneka pengalaman dan
peristiwa yang dialami dalam kehidupan individu sehingga segala sesuatu yang baru
menjadi lebih terarah dan bermakna. John Dewey menganut aliran pragmatisme.
Artinya, proses pendidikan adalah hanya terhadap ide yang dapat dipraktikkan yang
benar dan berguna. Idea-ide yang hanya ada dalam ide juga kebimbangan terhadap
realitas objek indra, semua itu nonsense bagi pragmatisme. Filsafat pemikiranya
tentang pendidikan adalah berpikir reflektif yaitu suatu cara berpikir yang dimulai
dari adanya problem-problem yang dihadapkan padanya untuk dipecahkan. Menurut
John Dewey, belajar harus dititik beratkan pada praktek dan trial and error. Manusia
harus aktif, penuh minat, dan siap mengadakan eksplorasi. Oleh karena itu
pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju
kedewasaan, melainkan pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan
kelanjutan penerang hidup. Pendidikan diarahkan pada efisiensi sosial dengan cara
memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi
pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. John
Dewey banyak melakukan kritik terhadap pola pendidikan tradisional, yaitu pola
pendidikan yang menjadikan anak adalah objek pendidikan, bukan subjek pendidikan.
Ia tidak setuju dengan konsep pendidikan tradisional, yang menyatakan bahwa
pusat perhatian pendidikan adalah di luar anak, apakah itu guru, buku, sarana
prasarana, atau lainnya. Karena konsep pendidikan tradisional menjadikan sekolah
sebagai tempat formal untuk mendengarkan, untuk intruksi massal, dan terpisah dari
kehidupan. Pola pendidikan tradisional tidak akan mampu melihat anak sebagai
mahluk hidup yang tumbuh dalam pengalaman dirinya kemudian dikembangkan
dalam sebuah lingkungan kehidupan sesuai dengan potensi dasar yang dimilikinya.
Oleh karena itu pendidikan perlu diselenggarakan secara demokratis. Seluruh siswa
yang telah dewasa didorong untuk memberikan partisipasi dalam membentuk nilai-
nilai yang mengatur hidup bersama. Ilmu pendidikan tidak bisa dipisahkan dari
filsafat, bahwa maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup
yang demokratis dan untuk mengembangkannya (Arifin, 2020)
D. Teori Psikoanalisis Sigmund Freud
Pendidikan merupakan usaha manusia untuk menumbuhkan serta
mengembangkan potensi dirinya melalui sebuah proses perubahan sikap dan tingkah
laku dalam upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan dalam psikoanalisis
merupakan sebuah tindakan yang diterapkan dari orang dewasa, seorang ahli atau non
ahli, guru dan orang tua, yang bertujuan untuk membentuk dan berpengaruh terhadap
prilaku peserta didik yang terbentuk dengan cara yang diinginkan. Berhasil tidaknya
proses pendidikan dapat di lihat dari seberapa baik karakter peserta didik yang juga
dipengaruhi oleh pendidikan yang diperoleh.
Sigmund Freud seorang ahli filsuf berkebangsaan Austria sebagai pencetus
pertama teori psikoanalisis. Teori ini digunakan untuk menjelaskan mengenai
kepribadian individu secara sistematis berdasarkan kualitas kejiwaaannya. Freud
memiliki pandangan bahwa “anak-anak adalah ayah bagi manusia” yang berarti pada
masa kanak-kanak merupakan faktor yang sangat menentukan perkembangan
manusia di masa depan. Beliau menghubungkan antara kehidupan masa kecil yang
menjadi penentu prilaku manusia di saat dewasa dan dipengaruhi pula oleh kondisi
dari lingkungan sosial. Freud memiliki pandangan mengenai hakikat manusia terbagi
menjadi tiga, materialism, mekanisme dan pesimisme. Freud memiliki pandangan
bahwa manusia pada hakikatnya ada dan dilahirkan dalam kondisi jahat. Setiap
energi-energi yang bersifat negatife atau merusak berasal dari perilaku manusia.
pemikiran yang melandasinya adalah adanya kecemasan, rasa permusuhan dan agresi.
Manusia hanya dapat berkembang ke arah yang bersifat positif jika ada
pendampingan secara interpersonal. Freud menyatakan bahwa perilaku agresif telah
menjadi koadrat bawaan manusia (Helaluddin & Syawal, 2018)
E. Teori Pendidikan Jean Piaget
Sebuah filsafat pembelajaran yang kini makin popular selama beberapa
dekade ini adalah konstruktivisme (constructivism). Konstruktivisme juga merupakan
sebuah gerakan besar yang memiliki posisi filosofis dalam pendekatan dan strategi
pembelajaran.Karena itu konstruktivisme sangat berpengaruh dalam bidang
pendidikan, yang memunculkan beragamnya metode/strategi pembelajaran baru.
Prinsip dasar yang melandasi filsafat konstruktivisme adalah bahwa semua
pengetahuan dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh
indera (penciuman, perabaan, pendengaran, perabaan, dan seterusnya) sebagaimana
asumsi kaum realis pada umumnya. Selain itu tidak ada teori konstruktivisme
tunggal, tetapi sebagian besar para konstruktivis memiliki setiadaknya dua ide utama
yang sama; (1) pembelajar aktif dalam mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri,
dan; (2) interaksi sosial merupakan aspek penting bagi pengkonstruksian
pengetahuan. Konstruktivisme memandang belajar lebih dari sekedar menerima dan
memproses informasi yang disampaikan oleh guru atau teks.Alih-alih pembelajaran
adalah konstruksi pengetahuan yang bersifat aktif dan personal.
Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Von Glaserfeld (1987), pendiri
gerakan konstruktivis, konstruktivisme berakar pada asumsi bahwa pengetahuan,
tidak peduli bagaimana pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di dalam otak
manusia, dan subjek yang berpikir tidak memiliki alternatif selain mengkonstruksikan
apa yang diketahuinya berdasarkan pengalamannya sendiri.
Ada berbagai pendekatan konstruktivisme di bidang pendidikan sains, dan
matematika, psikologi, sejarah, antropologi, sosiologi, sastera, dan bidang pendidikan
berbasis komputer. Meskipun banyak ahli psikologi pendidikan serta praktisi
pendidikan menggunakan istilah konstruktruktivisme, sering kali mereka
dimaksudkan hanya untuk hal-hal yang sangat berbeda. Salah satu cara untuk
mengorganisasikan pandangan-pandangan konstruktivis adalah berbicara tentang tiga
bentuk konstruktivisme; konstruktivisme psikologis/individual/endogenous,
konstruktivisme sosial/eksogenous, serta konstruktivisme dialektikal.
Kita bisa saja sedikit terlalu menyederhanakan dengan mengatakan bahwa
konstruktivisme psikologis memfokuskan pada bagaimana individu-individu
menggunakan informasi, sumber daya, dan bantuan dari orang lain untuk membangun
dan meningkatkan model mental dan strategi problem solving- nya.
Sebaliknya konstruktivisme sosial/eksogenous melihat belajar sebagai peningkatan
kemampuan untuk berpartisipasi bersama orang lain dalam kegiatan-kegiatan yang
bermakna dalam budaya. Untuk itu mari kita lihat lebih dekat. Sedangkan
konstruktivisme dialektikal, merupakan perpaduan antara
psikologis/individual/endogenous dengan sosial/eksogenous. konstruktivisme
dialektikal Pengetahuan dikonstruksikan berdasarkan pengalaman individual dengan
interaksi sosial, di mana pengetahuan merefleksikan dunia luar yang disaring melalui
dan dipengaruhi oleh budaya, bahasa, keyakinan, interaksi dengan orang lain,
pelajaran langsung, dan modeling.
Adapun beberapa prinsip dalam pembelajaran konstruktivisme, konstruktor
pengetahuan aktif memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Belajar selalu merupakan sebuah proses aktif. Pembelajar secara aktif
mengkonstruksikan belajarnya dari berbagai macam input yang diterimanya. Hal
ini mengisyaratkan bahwa pembelajar perlu bersikap aktif agar dapat belajar
secara efektif. Belajar adalah tentang membantu untuk mengkonstruksikan makna
mereka sendiri, bukan tentang "mendapatkan jawaban yang benar" karena dengan
cara seperti ini siswa dilatih untuk mendapatkan jawaban yang benar tanpa benar-
benar memahami konsepnya.
2. Anak-anak belajar dengan paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik
kognitif (konflik dengan berbagai ide dan konsepsi lain) melalui pengalaman,
refleksi, dan metakognis
3. Bagi konstruktivis, belajar adalah pencarian makna, Pembelajar secara aktif
berusaha mengkonstruksikan makna.
4. Konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat individual semata-mata.
Belajar juga dikonstruksikan secara sosial, melalui interaksi dengan teman
sebaya, guru, orang tua dan sebagainya
5. Elemen lain yang berakar pada fakta bahwa pembelajar secara individual dan
kolektif mengkonstruksilan pengetahuan adalah bahwa agar efektif guru harus
memiliki pengetahuan yang baik tentang perkembangan anak dan teori belajar,
sehingga mereka dapat menilai secara lebih akurat belajar seperti apa yang dapat
terjadi
6. Di samping itu belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-
fakta secara murni abstrak, tetapi selalu dalam hubungannya dengan apa yang
telah kita ketahui. Kita juga belajar dalam kaitannya dengan prakonsepsi kita
(Supardan, 2016)
F. Penerapan Teori pendidikan pragmatisme Jhon Dewey

John Dewey adalah salah satu tokoh terkemuka dalam teori pendidikan
pragmatisme. Pemikirannya yang berpengaruh membentuk landasan bagi banyak
pendekatan pembelajaran modern. Berikut adalah gambaran singkat tentang teori
pendidikan pragmatisme John Dewey:

1. Pengalaman sebagai Pusat Pembelajaran: Dewey menekankan pentingnya


pengalaman dalam proses pembelajaran. Menurutnya, pengalaman adalah fondasi
pengetahuan yang paling penting bagi siswa, dan pembelajaran seharusnya
dimulai dari situasi nyata yang relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa.
2. Belajar Aktif dan Berasaskan Masalah: Dewey mempromosikan pendekatan
belajar aktif di mana siswa terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran
mereka. Dia percaya bahwa pembelajaran terjadi ketika siswa menghadapi
masalah atau tugas yang bermakna dan kemudian mencari solusi melalui
eksperimen, refleksi, dan diskusi.
3. Kurikulum Berbasis Pengalaman: Pendekatan pragmatis Dewey menekankan
pembelajaran yang berpusat pada siswa dan konteks kehidupan nyata mereka.
Kurikulum haruslah relevan dengan pengalaman dan kebutuhan siswa serta dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
4. Pendidikan Demokratis: Dewey menekankan pentingnya pendidikan dalam
mempersiapkan siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat
demokratis. Dia memandang sekolah sebagai laboratorium sosial tempat siswa
belajar tentang kerja sama, tanggung jawab sosial, dan pengambilan keputusan
yang demokratis.
5. Integrasi Seni, Kerja, dan Pendidikan: Dewey mendukung integrasi seni, kerja,
dan pendidikan dalam proses pembelajaran. Menurutnya, seni memberikan
kesempatan bagi ekspresi kreatif siswa, sementara kerja praktis memberikan
pengalaman langsung yang bermanfaat dalam memahami konsep-konsep abstrak.
6. Peran Guru sebagai Fasilitator: Dewey melihat peran guru sebagai fasilitator
pembelajaran yang membimbing siswa dalam menjalani pengalaman, merangsang
refleksi, dan mengarahkan pemecahan masalah. Guru harus menjadi pemimpin
dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang merangsang dan berpusat pada
siswa.

Dewey berpendapat bahwa pendidikan harus memberdayakan individu untuk


berpikir secara kritis, bertindak secara kreatif, dan berkontribusi dalam masyarakat.
Dengan demikian, teori pendidikan pragmatisme Dewey menekankan pembelajaran
yang relevan, kontekstual, dan berpusat pada siswa, yang telah menjadi landasan bagi
banyak pendekatan pembelajaran modern.

Berikut adalah tahapan umum dalam proses pembelajaran discovery learning:

1. Penyajian Masalah atau Tantangan: Proses dimulai dengan menyajikan


masalah, tantangan, pertanyaan, atau situasi kompleks kepada siswa. Tujuan
dari langkah ini adalah untuk membangkitkan rasa ingin tahu dan minat siswa
tentang topik yang akan dipelajari.
2. Pendahuluan dan Pengantar Materi: Guru memberikan pengantar atau
konteks singkat tentang topik yang akan dipelajari. Informasi ini memberikan
landasan awal bagi siswa untuk mulai menjelajahi topik tersebut.
3. Eksplorasi dan Penjelajahan: Siswa diberi kesempatan untuk menjelajahi
topik atau masalah secara mandiri atau dalam kelompok. Ini bisa dilakukan
melalui pembacaan, observasi, percobaan, atau diskusi. Siswa diberi
kebebasan untuk menggunakan kreativitas dan inisiatif mereka sendiri dalam
menghadapi masalah yang disajikan.
4. Pemecahan Masalah dan Penemuan: Siswa aktif mencari solusi atau
jawaban atas masalah atau pertanyaan yang diajukan. Mereka menguji
hipotesis, melakukan percobaan, mengamati pola, atau berpikir kritis untuk
mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang topik tersebut.
5. Diskusi dan Kolaborasi: Siswa berdiskusi dengan teman sejawat atau guru
tentang temuan mereka, bertukar ide, dan berbagi perspektif. Diskusi ini
memungkinkan siswa untuk mempertajam pemahaman mereka, melihat sudut
pandang yang berbeda, dan menguji pemikiran mereka melalui interaksi
sosial.
6. Refleksi dan Evaluasi: Siswa merefleksikan proses penemuan mereka,
mengidentifikasi apa yang mereka pelajari, kesulitan yang mereka alami, dan
strategi apa yang efektif. Guru juga memberikan umpan balik atau evaluasi
terhadap kemajuan siswa dan proses pembelajaran yang telah mereka lakukan.
7. Penggunaan Penemuan dalam Konteks yang Lebih Luas: Siswa
mengaitkan temuan mereka dengan konsep yang lebih luas atau situasi
kehidupan nyata. Mereka mengaitkan apa yang mereka pelajari dengan
pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya dan mengidentifikasi
relevansinya dalam konteks yang lebih besar.
8. Pembahasan dan Generalisasi: Guru dan siswa bersama-sama membahas
temuan-temuan kunci dan melakukan generalisasi atas apa yang telah
dipelajari. Mereka mengidentifikasi pola atau prinsip umum yang muncul dari
proses penemuan tersebut.
9. Penguatan dan Penerapan: Siswa diberi kesempatan untuk menguatkan
pemahaman mereka melalui penerapan konsep atau penemuan mereka dalam
konteks baru atau melalui proyek atau kegiatan praktis.

Berikut adalah contoh penerapan discovery learning dalam pembelajaran matematika


di sekolah dasar:

Tema: Pemahaman Konsep Pembagian

1. Penyajian Masalah: Guru memperkenalkan konsep pembagian dengan


menyajikan sebuah masalah: "Ibu memiliki 12 buah jeruk kemudian jeruk.
jeruk tersebut dibagikan sama rata kepada 3 orang anaknya berapakah buah
jeruk yang didapatkan oleh masing masing anak?"
2. Eksplorasi: Siswa diminta untuk berpikir tentang cara menyelesaikan
masalah tersebut. Dan mereka diberi kesempatan untuk menggunakan
manipulatif matematika.
3. Penemuan: Siswa mulai melalui bereksperimen dengan mengelompokkan
anak dalam lingkaran. Mereka menemukan bahwa dengan mengelompokkan
anak dalam 3 lingkaran, dengan menemukan total jeruk yang dimiliki anak
semuanya adalah (4).
4. Diskusi dan Kolaborasi: Siswa berbagi temuan mereka dengan teman
sekelas dan berdiskusi tentang berbagai pendekatan yang mereka gunakan
untuk menyelesaikan masalah tersebut. Mereka juga mendiskusikan
bagaimana konsep dalam pembagian dapat diterapkan dalam situasi sehari-
hari.
5. Refleksi dan Evaluasi: Siswa merefleksikan proses penemuan mereka,
mengidentifikasi bagaimana mereka menggunakan konsep pembagian untuk
menyelesaikan masalah, dan mengapa metode yang mereka gunakan berhasil.
Guru memberikan umpan balik dan evaluasi terhadap pemahaman siswa.
6. Penerapan: Guru memberikan lebih banyak contoh masalah pembagian yang
efektif dalam kehidupan sehari-hari atau dengan konsep matematika lainnya.
7. Penggunaan Penemuan dalam Konteks yang Lebih Luas: Siswa
mengidentifikasi bagaimana konsep cara pembagian yang dapat diterapkan
dalam situasi-situasi yang berbeda,

Dengan melalui pendekatan discovery learning ini, siswa tidak hanya belajar
tentang konsep perkalian secara teoritis, tetapi juga mengalami proses penemuan dan
pemahaman yang mendalam tentang bagaimana konsep tersebut diterapkan dalam
berbagai situasi. Ini memungkinkan siswa untuk membangun pemahaman yang kuat
dan relevan tentang matematika. Proses pembelajaran discovery learning melibatkan
serangkaian langkah yang memungkinkan siswa untuk aktif terlibat dalam
menemukan pengetahuan dan pemahaman baru.
KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik dari rangkaian kutipan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pendidikan merupakan suatu proses yang mengedepankan aktivitas mendidik


dengan fokus pada proses belajar, yang esensinya adalah pengembangan
kemampuan berpikir peserta didik.
2. Pendidikan dasar memegang peranan kunci dalam membentuk dan
mengembangkan peserta didik untuk hidup bermasyarakat di masa depan
dengan layak, sehingga program pembelajaran harus menyelaraskan
pengembangan potensi peserta didik secara terpadu dan sinergis.
3. Guru dan para praktisi pendidikan perlu mempertimbangkan berbagai faktor
dan memahami filosofi personal pendidikan dasar untuk merencanakan dan
melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan anak.
4. Pendekatan pembelajaran, khususnya pendekatan konstruktivisme, menjadi
penting dalam membantu peserta didik untuk berpikir lebih dalam dan aktif
dalam proses belajar, dengan memperhatikan lingkungan sekitar mereka
sebagai sumber pembelajaran utama.
5. Kepribadian individu dipengaruhi oleh lingkungan tempat individu tersebut
tumbuh dan berkembang, sehingga penting bagi pendidikan untuk
menciptakan lingkungan yang mendukung pembentukan kepribadian yang
positif dan baik.

Dengan demikian, pendidikan haruslah menjadi upaya terus-menerus dalam


memahami, mendukung, dan mengembangkan potensi serta karakteristik individu
peserta didik, dengan memanfaatkan pendekatan pembelajaran yang sesuai dan
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan kepribadian yang positif.

RUJUKAN

Akhmad, F. (2020). Implementasi Pendidikan Karakter dalam Konsep Pendidikan


Muhammadiyah. Al-Misbah (Jurnal Islamic Studies), 8(2), 79–85.

Arifin, N. (2020). Pemikiran Pendidikan John Dewey. As-Syar’i: Jurnal Bimbingan


& Konseling Keluarga, 2(2), 204–219.

Alfurqan, Trinova, Z., Tamrin, M., & Khairat, A. (2020). Membangun Sebuah
Pengajaran Filosofi Personal : Konsep dari Pengembangan dan Pendidikan
Dasar. Tarbiyah Al-Awlad: Jurnal Kependidikan Islam Tingkat Dasar, 10(2),
213–222.

Baginda, M. (2018). Nilai-Nilai Pendidikan Berbasis Karakter Pada Pendidikan Dasar


dan Menengah. Iqra’ Scientific Journal, 10(2), 1–12.
manado.ac.id/index.php/JII/article/view/593/496

Fathoni, A. B. M. (2010). Idealisme Pendidikan Plato. Tadris, 5(1), 99–110.


Hendrizal. (2015). Menelisik Implikasi Perkembangan Kognitif dan Sosio
Emosional dalam Pembelajaran. Jurnal PPKn dan Hukum, 10(2), 20–44.

Hosaini. (2019). Behauvioristik Basid Learning Dalam Bingkai Pendidikan Islam


Perspektif Al-Ghazali. Jurnal Pemikiran Keislaman, 03(1), 23–43.

Muliani Resti, Anisa, A., Febriani, & Silvina, N. (2022). Meningkatkan Minat Belajar
Sejarah Dengan Pendekatan Kontruktivisme Di Sekolah Dasar. Jurnal
Pendidikan Dan Konseling, 4(3), 1–4.

Pristiwanti, D., Badariah, B., Hidayat, S., & Dewi, R. S. (2022). Jurnal Pendidikan
dan Konseling. Jurnal Pendidikan Dan Konseling, 4(6), 1349–1358.
Sahnan, A. (2019). Konsep Akhlak dalam Islam dan Kontribusinya Terhadap
Konseptualisasi Pendidikan Dasar Islam. AR-RIAYAH : Jurnal Pendidikan
Dasar, 2(2), 99. https://doi.org/10.29240/jpd.v2i2.658

Helaluddin, & Syawal, S. (2018). Psikoanalisis Sigmund Freud dan Implikasinya


dalam Pendidikan. Academia.Edu, March, 1–16.

Hidayah, N., & Atmoko, A. (2014). LANDASAN SOSIAL BUDAYA DAN PSIKOLOGIS
PENDIDIKAN. Malang: Penerbit Gunung Samudera Grup Penerbit Pt Book
Mart Indonesia

Supardan, H. D. (2016). Teori dan Pratik pendekatan KOnstruktivisme dalam


pembelajaran. Jurnal Edunomic, 4 No.1(1),

Suparno, P. (2012). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Penerbit


Kanisius.
Salkind, Neil J. (2004). An Introduction to Theories of Human Development.
Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. International
Education and Publisher

Purna, R. S., & Kinasih, A. S. (2017). Psikologi Pendidikan Anak Usia Dini Menumbuh-
kembangkan Potensi “Bintang” Anak di TK Atraktif. Jakarta: PT Indeks
Permata Puri Media.

Yohanes, R. S. (2010). Teori Vygotsky dan Implikasi Terhadap Pembelajaran


Matematika. Widya Warta, XXXIV(2), 127–135.

Anda mungkin juga menyukai