Cerita Fantasi
Cerita Fantasi
Cerita Fantasi
“Kupu-Kupu Api”
Dulu, kakek sempat bercerita tentang legenda kupu-kupu api. Kawanan kupu-kupu kecil
dengan warna merah menyala. Semerah warna api yang menyalak. Konon, apa pun yang
dihinggapi kupu-kupu api seketika akan terbakar. Ludes, tanpa bekas. Entah betulan atau
cuma bualan kakek. Toh, aku tetap percaya.
Dongeng yang selalu di ulang itu tak pernah membuatku bosan. Justru sebaliknya. Setiap kali
mukaku lebam di pukul Ayah, aku selalu berlari ke rumah kakek dan minta dininabobokan.
Seingatku, itu waktu aku masih berusia 6 tahunan. Dan seperti yang kuduga sebelumnya.
Kakek akan mendongengkan cerita kupu-kupu api.
Namun kali ini ada yang berbeda dengan cerita kakek. Bukan hanya ceritanya, tetapi juga
ekspresi wajah kakek.
“Kakek pernah bertemu kupu-kupu api?” tanyaku, berusaha mengalihkan kecemasan dalam
benak.
Sembari menepuk-nepuk pantatku, Kakek berucap, “Belum. Tapi, Kakek selalu percaya kupu-
kupu api akan turun ke bumi dan mencabut nyawa manusia jahat.”
“Dulu, kakek tidak pernah bilang kalau mereka akan turun untuk mencabut nyawa?” sahutku
penasaran.
Sekali lagi, kakek menepuk-nepuk pantatku sebelum menjawab. “Karena kakek ingin
menyimpan cerita hebat ini untukmu, Nduk,” seberkas senyuman tersungging di pucuk
bibirnya.
“Lantas, apa yang akan dilakukan kupu-kupu api pada orang jahat itu, Kek?” sejenak aku
berharap dongeng itu sungguh-sungguh terjadi pada Ayahku.
Entah apa yang terjadi padaku kalau kakek tiada. Dialah yang memberiku makan ketika istri
kedua Ayah –Ibu tiriku– tidak menyisakan nasi untukku. Kakek pula yang meninabobokkanku
sejak Ibu meninggal -saat usiaku masih 5 tahun. Lantas, di mana ayahku? Dia tentu bukan
orang tua yang bertanggung jawab sebab telah menelantarkanku selama 10 tahun. Tak pelak,
bogem mentahnya sering mendarat ke sekujur tubuhku.
“Seperti yang sudah kakek katakan sebelumnya, kupu-kupu api adalah utusan malaikat
pencabut nyawa. Mereka ditugasi untuk mencabut nyawa manusia-manusia jahat di bumi
dengan membakar habis tubuh mereka,” lamunanku sirna saat mendengar cerita kakek yang
seakan-akan membawaku kembali ke bumi.
“Membakar habis tubuh mereka, Kek? Sampai habis?” aneh betul pertanyaanku barusan.
“Apa yang membuatmu segembira itu, Nduk?” Kakek tampaknya penasaran dengan tingkahku
barusan. Sayang, aku tak bisa mengatakannya pada kakek. Sebuah rahasia yang ku pendam,
selama lebih kurang 5 tahunan ini dan cerita kupu-kupu api membuatku tambah bersemangat
untuk mewujudkan rencana tersebut.
“Tidak ada apa-apa, Kek. Aku cuma penasaran dengan dongeng kupu-kupu api,” perasaan
bersalah itu membuatku malu menatap wajah kakek – wajah tirus yang dijejali kerutan di
sana-sini.
Jujur, aku takut membayangkan wajah kakek. Terutama ketika ia tahu apa yang hendak
kulakukan pada ayah.
Ah… Sudahlah! teriakku membatin. Ini demi kebahagiaan kami. Untukku dan Kakek
tersayang. Malam itu aku pun pamit pada kakek. Tak menginap.
Namun tidak seperti biasanya, kakek mencoba menahanku. Ia memohon agar aku mau
menemaninya tidur. Aneh. Ini tak pernah terjadi sebelumnya.
Kecemasan yang tadinya hilang, kini datang lagi. Pria renta berumur 80 tahunan itu pun
akhirnya kutemani tidur. Kakek tidur begitu tenang di sebelahku. Saking tenangnya, aku
sempat berpikir dia mati.
Maka kuputuskan untuk menjaganya semalaman suntuk. Tanpa tidur. Tiga jam berselang,
jam kayu usang yang tergantung di seberang tempat tidur berdentang tiga kali. Sudah pukul
tiga pagi. Rasa kantuk kian merekatkan dua biji mataku. Perlahan, aku pun mulai tertidur
pulas.
Kegelapan mulai beranjak pergi. Setitik cahaya mengintip di balik celah jendela. Mataku
terkejap pelan dan mengumpulkan cahaya. Aku terbaring di atas ubin kayu, lengkap dengan
kasur kapuk yang sudah kempes. Sesaat, aku merasa lega kakek masih ada di sebelahku.
Terlelap tanpa suara.
“Kek, sudah pagi. Kek,” ku usap-usap bahu kirinya. Sudah ku tunggu tetap tak merespon.
Kecemasan itu membuncah kembali dari dadaku. Ini aneh. Sungguh aneh. Kakek tak pernah
sulit aku bangunkan. Ku coba untuk kesekian kalinya.
“Kek, Kakek, Kek, bangun Kek. Ayo Kek bangun! Kakeee…k,” pekikku, sembari menyentakkan
tubuh renta yang terbujur kaku.
Aku terus mencoba untuk membangunkan Kakek. Hasilnya tetap nihil. Tubuh kakek sudah
mengeras. Dingin. Jantung tua itu tak lagi berdegup. Nafasnya pun telah menyurut. Pagi itu,
kakek benar-benar pergi meninggalkanku. Tidak untuk sesaat. Tapi selamanya.
“Tidakkah Ayah sedih melihat kepergian Kakek?” nada suaraku sedikit naik. Berharap Ayah
tahu maksudku barusan. Dia seharusnya malu dengan para tamu. Sungguh tak sedikitpun
tergambar raut pilu di wajah pria yang kusebut “Ayah” itu.
“Dasar anak setan! Kau ingin mengajariku?” kata-kata itu seolah mencekik telingaku. Jika
sudah begini, bapak pasti akan menghajarku. Tapi tidak di sini. Tidak saat orang sekampung
berkumpul di kuburan Kakek. Itu sedikit melegakanku.
Hingga akhirnya tanah itu menimbun tubuh Kakek. Aku tetap mematung di samping nisannya.
Bahkan ketika satu per satu pengantar telah kembali. Aku masih di situ. Di samping nisan
batu yang bertuliskan nama Edi Sujarwo.
Seketika itu juga. Sekawanan kupu-kupu berwarna merah menyeruak dari dalam makam
Kakek. Aku sempat terperangah melihat kejadian luar biasa itu. Kupu-kupu api! Teriakku.
Kakek tidak pernah berbohong padaku. Dongeng itu nyata.
“Apakah kalian akan membalaskan dendamku?” tanyaku pada para kupu-kupu. Mereka terus
berputar di sekelilingku. Seperti ingin menuntunku ke suatu tempat. Lantas kuikuti saja
kemana arah mereka terbang. Aku berlari bak sedang mengejar layangan putus. Instingku
masih menerka kemana mereka akan terbang. Yang ternyata adalah rumah Ayahku dan istri
mudanya.
“Apa yang hendak kau lakukan pada mereka?” langkahku terhenti di bawah pohon mangga –
di dekat pekarangan rumah. Seekor kupu-kupu api yang berukuran agak besar mendekatiku.
Badannya tampak merah menyala. Sayap kertas itu terus mengepak tiada henti. Dia tak
berkata apa-apa. Namun seperti sedang mengatakan sesuatu. Entah apa itu maksudnya.
Kupu-kupu api itu kemudian menggiring teman-temannya untuk terbang ke arah rumah. Aku
sempat menelan ludah. Tak membayangkan, apa yang akan terjadi selanjutnya. Semula satu
per satu kupu-kupu menempel di dinding. Perlahan warna merah sayap mereka seakan
menutupi seluruh bagian rumah. Di atap. Di jendela. Di dinding. Semua penuh dengan kupu-
kupu api.
Dengan tawa yang terukir di wajah, Aku berbalik memunggungi rumah yang sudah di lahap
si jago merah. Kumasukkan korek api gas di saku celana. Sebelum beranjak, tak lupa ku bakar
habis jerigen bensin yang kemarin lusa sempat kusembunyikan di balik semak pohon mangga.