20253-Article Text-39803-1-10-20180105

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 12

SELOKA 6 (3) (2017)

Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/seloka

Potret Kehidupan Sosial Orang Flores dalam Novel “Ata Mai” (Sang Pendatang)

Yohanes Orong

Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel Penelitian ini bertujuan untuk mengemukakan potret kehidupan sosial orang Flores
Diterima: dalam novel Ata Mai (Sang Pendatang). Pendekatan yang dipakai dalam rangka
Oktober 2017
mencapai tujuan tersebut ialah sosiologi sastra. Sosiologi sastra yang dimaksudkan di sini
Disetujui:
identik dengan sosiokritik. Artinya, karya sastra memiliki pretensi melakukan kritik sosial
November 2017
Dipublikasikan: atas peristiwa dan kenyataan sosial kemasyarakatan. Menurut pendekatan ini karya
Desember 2017 sastra terlahir atas latar belakang sosial budaya, pengetahuan, dan pengalaman langsung
________________ pengarang dengan kehidupan sosial masyarakat pada sebuah tempat tertentu. Metode
Keywords: yang digunakan di dalam penelitian ini ialah metode kualitatif yang menghasilkan data
sociology of literature, deskriptif berupa kata-kata tertulis. Dari hasil analisis diketahui bahwa melalui novel
socio-criticism, author, “Ata Mai” (Sang Pendatang) pengarang mengobservasi, mendokumentasikan, dan
novel, poverty, dignity mendeskripsikan kenyataan faktual masyarakat Ende-Lio, Flores, Nusa Tenggara Timur
____________________ sebagai ekspresi ungkapan jiwa kepengarangannya. Intensitas pengetahuan dan
pengalaman pengarang tentang masyarakat suku Ende-Lio Flores tampak dalam
temuannya mengenai persoalan-persoalan sosial seperti dkemiskinan, penindasan atas
perempuan, belis, pendidikan dan kesehatan yang tidak memadai, dan aktualisasi diri
masyarakat yang dibangun atas tingginya harga diri.

Abstract
___________________________________________________________________
This study presents a portrait of the social life of a Florinese person in the novel “Ata Mai” (“The
One Who Comes”). The approach used to achieve this is the sociology of literature. What is meant
by the sociology of literature is identical with socio-criticism. This means that a literary work
possesses the pretension to make a social criticism of an event and a happening in society. According
to this approach, a literary work is born out of a cultural social background, which includes an
understanding, and a direct experience of the writer in the social life of the community in a particular
place. The method used in this study is qualitative, which produces descriptive data in written form.
Analysis reveals that the author of “Ata Mai” has observed, documented and described a portrait of
the life of a person from the Ende-Lio, Flores, community, in Nusa Tenggara Timur. This work
reveals the author’s own soul, and the intensity of the knowledge and experience of the author, of the
people of Ende-Lio, Flores. This is evidenced in the findings regarding person problems such as
poverty, the harassment of women, dowry, education and health which are not evenly enjoyed, and
the actualization of a society which is built upon a high regard for one’s dignity.

© 2017 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: p-ISSN 2301-6744
Maumere (86152), Flores, Nusa Tenggara Timur
e-ISSN 2502-4493
E-mail: [email protected]

244
Yohanes Orong / SELOKA 6 (3) (2017) : 244 - 255

PENDAHULUAN Indiatmoko (2017) bahwa melalui membaca


karya sastra seseorang mengetahui atau meraba
Apabila sebuah novel dikaji dengan bagaimana kondisi sosial masyarakat tertentu
menggunakan pendekatan sosiologi sastra, meskipun tidak selalu digambarkan persis apa
hubungan antara novel dan kenyataan diuraikan. adanya mengingat kefiktifan karya sastra dan
Kenyataan di sini tentu secara luas dimengerti pengarang memiliki subyektifitas dalam menilai
sebagai segala sesuatu yang berada di luar dan dan mengamati realita yang disaksikannya.
yang diacu oleh karya sastra. Kajian sosiologi Subyektifitas inilah yang mempengaruhi suatu
sastra dilakukan atas konsep bahwa pada karya sastra. Hal inilah yang dilihat sebagai
dasarnya sastra merupakan gambaran atau potret karakter kajian interdisipliner sosiologi sastra.
fenomena sosial. Fenomena sosial itu bersifat Laurenson sebagaimana dikutip Retno Winarni
konkret, terjadi sebagai peristiwa harian, dapat (2010) menandaskan sastra, seperti juga sosiologi
diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh sungguh-sungguh berbicara tentang kenyataan
pengarang, fenomena itu diangkat kembali sosial masyarakat manusia, bahkan memiliki
menjadi wacana baru dengan proses kreatif interese untuk “menciptakan kembali dunia
dalam bentuk karya sastra, yaitu melalui sosial”.
pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, Konsep sosiologi sastra didasarkan pada
imajinasi, evaluasi, dan sebagainya. dalil karya sastra ditulis oleh seorang pengarang,
Keadaan sosial pengarang, pembaca, dan dan pengarang merupakan a salient being,
masyarakat menjadi semacam conditio sine qua makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam
non (syarat mutlak) lahirnya sebuah karya sastra. kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan
Atas karakternya yang demikian, Kutha Ratna demikian, sastra juga dibentuk oleh
(2010) mengidentikkan sosiologi sastra dengan masyarakatnya dan berada dalam jaringan sistem
sosiokritik. Karya sastra memiliki pretensi untuk dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran
melakukan kritik sosial terhadap kejadian- ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki
kejadian dalam masyarakat. Seorang pengarang keterkaitan timbal balik dalam derajat tertentu
melalui karya sastra yang dihasilkannya dengan masyarakatnya, dan sosiologi sastra
terpanggil untuk melakukan kritik atau sekurang- berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan
kurangnya menyingkap sesuatu yang terselubung kenyataan masyarakat dalam berbagai
di balik realitas sosial yang tampak. dimensinya (Soemanto 1993).
Seturut batasan ini karya sastra memiliki Damono (dalam Harahap, 2006) menamai
kaitan erat dengan masyarakat, maka karya sastra sebagai lembaga sosial karena sastra
sastra diteliti dalam kaitannya dengan menampilkan gambaran kehidupan. Pada regen
masyarakat. Kaitan itu oleh Retno Winarni novel, Sumardjo (dalam Harahap, 2006)
(2009) dianggap sebagai prinsip sosiologi sastra. menyatakan novel yang bermain di Indonesia
Pada prinsipnya, sosiologi sastra ingin dengan sendirinya mencerminkan masyarakat
mengaitkan penciptaan karya sastra, keberadaan Indonesia, sehingga dengan membaca novel
karya sastra, serta peranan karya sastra dengan Indonesia, diharapkan orang mengenal
realitas sosial.” Lahirnya sebuah karya sastra Indonesia. Demikian pun misalnya jika ada novel
didasarkan atas latar belakang sosial budaya, yang bercerita tentang sebuah suku di Flores atau
pengetahuan, dan pengalaman langsung di mana pun, maka dengan membacanya, orang
pengarang dengan kehidupan sosial masyarakat diantar untuk menyelami tindak-tanduk
pada sebuah tempat tertentu. Dengan kehidupan orang Flores atau dibantu untuk
mendasarkan penciptaan karya sastra pada latar melihat secara lebih dekat konteks budaya dan
belakang dan konteks sosial tertentu, Paul Budi kondisi sosial masyarakat suku tertentu.
Kleden (dalam Andriani, 2005) mengafirmasi Maria D. Andriana melalui novel Ata Mai
karya sastra sebagai transformasi budaya yang (Sang Pendatang) mengobservasi kenyataan
kreatif. Hal itu dikemukakan pula oleh Annisa & faktual masyarakat Ende-Lio, sebuah suku di

245
Yohanes Orong / SELOKA 6 (3) (2017) : 244 - 255

pulau Flores, Nusa Tenggara Timur dan novel Ata Mai (Sang Pendatang) pernah
mendeskripsikannya secara jamak dalam dilakukan Kristina Wanti dalam artikelnya
dokumentasi literer menjadi semacam cerita berjudul “Representasi Kebudayaan Masyarakat
tentang orang Flores. Walaupun untuk orang Suku Lio dalam Novel Ata Mai” yang dimuat
Flores, Maria D. Andriana adalah seorang ”ata dalam Jurnal NOSI Volume 2, Nomor 7, Agustus
mai” (sang pendatang), penulisan novel Ata Mai 2014. Kristina Wanti menggambarkan aspek
bukan hanya hasil imajinasi subjektifnya. kebudayaan masyarakat Suku Lio-Ende, dengan
Andriana dilahirkan di Kediri, Jawa Timur, secara khusus mendeskripsikan penggunaan
tetapi intensitas pengetahuan dan bahasa yang mencerminkan nilai kepercayaan
pengalamannya tentang masyarakat suku Ende- (kepada Tuhan, kepada roh-arwah, dan kepada
Lio Flores sangat kuat terekam dalam karyanya. alam) dan nilai sosial masyarakat Suku Lio
Novel Ata Mai terlahir sebagai hasil intimasi berupa kesederhanaan, keramahan, kasih sayang,
hubungan pengarangnya dengan orang-orang kepasrahan, kekerabatan, dan kebersamaan.
Ende-Lio di Flores. Ata Mai merupakan produk Walaupun representasi kebudayaan Suku
ungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, Lio yang diulas Kristina Wanti bersinggungan
peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dengan fungsi timbal balik antara pengarang dan
dihayatinya. konteks sosial kepengarangannya, akan tetapi
Interaksi sosial dan potret kehidupan yang Kristina Wanti belum menyinggung secara
riil dari masyarakat Ende-Lio di Flores dijadikan spesifik aspek transformasi sosial yang hendak
sebagai bahan penceritaan pengarang novel. dibangun penulis novel. Berkaitan dengan
Dalam hal ini pengarang menggunakan hal-hal elemen ini, Junus (1986), Alan Swingewood, dan
yang diamati, dirasakan, dan dialaminya sumber Wellek dan Warren (1993) sebagaimana dikutip
penulisan novel. Karya sastra dengan Nurhayati Harahap (2005) mengemukakan
karakteristik yang demikian, oleh Kutha Ratna pentingnya mengedepankan konteks sosial
(2007) disebut sebagai “hasil interaksi sosial”. pengarang dan faktor-faktor yang memengaruhi
Dalam hal ini interaksi sosial diabsah sebagai pengarang dalam menciptakan karya sastra. Di
sesuatu yang secara kausalitas melahirkan dalam dua elemen tersebut mudah ditemukan
produktivitas seorang pengarang. Sebaliknya produk jiwa kepengarangan penulis novel. Maka
pada gilirannya karya sastra hasil interaksi sosial hal yang membedakan artikel ini dengan hasil
itu akan membantu terciptanya transformasi studi terdahulu ialah penambahan poin konteks
sosial baru bagi masyarakat pembacanya. Karya sosial pengarang novel dan elaborasi persoalan
sastra yang transformatif merupakan sebuah sosial masyarakat Suku Lio di luar lingkup dua
lembaga sosial (Harahap, 2006) yang dengan nilai kebudayaan yang pernah disinggung studi
membacanya, pembaca dapat mempelajari hal- terdahulu.
hal yang terjadi pada masyarakat.
Masalah yang menjadi fokus kajian ini METODE
ialah bagaimanakah potret kehidupan sosial
orang Flores dalam novel Ata Mai (Sang Penelitian ini dilakukan dengan
Pendatang)? Berdasarkan rumusan masalah menggunakan metode kualitatif deskriptif.
tersebut tujuan akhir tulisan ialah Menurut H.B. Sutopo (2006) metode kualitatif
mendeskripsikan potret kehidupan sosial orang deskriptif adalah penelitian yang melibatkan
Flores dalam novel Ata Mai (Sang Pendatang). kegiatan ontologis. Data yang dikumpulkan
Dalam konteks analisis sosiologi sastra, produk terutama berupa kata-kata, kalimat atau gambar
jiwa kepengarangan berkaitan erat dengan ikhtiar pemahaman yang lebih nyata daripada sekadar
penulis novel untuk menyatakan kepada sajian angka atau frekuensi. Penelitian
pembaca persoalan imajiner yang dilukiskannya menekankan catatan dengan deskripsi kalimat
dalam novel sebagai hal yang korelatif dengan yang rinci, lengkap, dan mendalam, yang
fakta sosial. Pendekatan sosiologis terhadap menggambarkan situasi yang sebenarnya guna

246
Yohanes Orong / SELOKA 6 (3) (2017) : 244 - 255

mendukung penyajian data. Metode kualitatif kehadiran “yang lain” dalam ruang publik. Pada
memberi perhatian terhadap data alamiah, yaitu halaman introduksi, pengarang menulis
data dalam hubungannya dengan konteks demikian: “Kisah ini juga saya harapkan dapat
keberadaannya. Metode ini melibatkan sejumlah membuat lebih banyak orang akan memahami
besar gejala sosial yang relevan. Dalam kaitan saudara-saudara kita yang bermukim di belahan
dengan studi sastra, metode deskripsi dilakukan timur, khususnya warga suku Lio, suatu
dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang komunitas yang relatif tertinggal dibandingkan
kemudian disusul dengan analisis. warga Indonesia di belahan barat.” (Hal. vi).
Data penelitian ini berupa narasi Hubungan emosional antara pengarang
pengarang yang menggambarkan konteks sosial dan latar tempat penulisan novel relatif sulit
pengarang novel dan persoalan-persoalan sosial ditemukan. Jejak cerita tentang pergumulan
yang diamati dan kemudian direkamnya di eksistensial pengarang terhadap hal-hal yang
dalam novel. Sumber data adalah objek yang dituliskannya pun hampir tidak ditemukan.
menjadi tempat data diperoleh dalam suatu Namun, sebagaimana dijelaskan dalam lembaran
penelitian. Sumber data penelitian ini ialah novel “Pengantar Penulis”, novel ini tidak ditulis hanya
yang berjudul Ata Mai karya Maria D. Andriana atas dasar imajinasi subjektif pengarang. Penulis
dengan jumlah halaman sebanyak 351. Novel ini mengakui “Ata Mai ini merupakan karya fiksi
diterbitkan pada Juni 2005 oleh Penerbit Galang yang diangkat dari pengalamannya ketika
Press (anggota IKAPI) Yogyakarta. Dalam melakukan perjalanan jurnalistik ke pulau Flores
penelitian ini, peneliti berperan sebagai di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2001 dan
instrumen utama atau instrumen kunci. Data 2002. Ia mengunjungi Larantuka, Maumere,
dikumpulkan dengan teknik noninteraktif yang Ende, Mbay, Riung dan Bajawa – dari timur
meliputi content analysis (analisis isi) terhadap hingga tengah di pulau “bunga” itu.” (Hal. v).
dokumen dan arsip. Analisis isi dibuat dengan Judul novel ini diambil dari dua lema lokal
menggunakan lambang-lambang tertentu, Ende, yaitu “ata” yang berarti “orang” dan “mai”
mengklasifikasi data yang ada dengan kriteria- yang berarti ‘dari luar’ atau ‘pendatang’. Secara
kriteria tertentu serta melakukan prediksi dengan harfiah, frasa “ata mai” diterjemahkan sebagai
teknik analisis yang tertentu pula. Teknik analisis “sang pendatang”. Sesuai dengan pengertian
data yang digunakan dalam penelitian ialah tersebut, walaupun novel Ata Mai (Sang
analisis data model mengalir (flow model of Pendatang) berkisah tentang “cerita tentang suku
analysis). Proses ini dimulai dari pengumpulan lain”, sesungguhnya ia mengandung sekelumit
data, reduksi data, display data, dan berakhir “perjumpaan” yang intens dialami penulis
dengan penarikan simpulan. terhadap masyarakat Lio di Flores. Artinya tetap
ada dorongan yang mengafirmasi pentingnya
HASIL DAN PEMBAHASAN “latar belakang” pengarang terhadap upaya
menciptakan karya sastra. Setidaknya hal ini
Konteks Sosial Pengarang Novel Ata Mai diakui penulis Ata Mai sendiri. “Hati saya
Latar tempat penulisan novel Ata Mai tertambat pada masyarakat setempat, pada
(Sang Pendatang) ialah Ende-Lio Flores-NTT. kehidupan mereka yang bersahaja dan pada
Sebagaimana sudah dijelaskan dalam bagian alamnya yang elok.” (Hal. v). Bahkan pada
pendahuluan, pengarang novel Ata Mai (Sang halaman 379 pengarang mengemukakan
Pendatang) dilahirkan di Kediri, Jawa Tengah. pergumulan eksistensial tatkala dirinya yang
Dilihat dari tempat kelahiran sang pengarang, sudah lama terbiasa dengan gaya kehidupan
penulisan novel Ata Mai adalah sebuah pelukisan masyarakat urban di kota besar menemukan
“tentang orang lain” atau “tentang suku lain”. semacam pencerahan baru. Flores diakuinya
Dengan menulis “tentang orang lain” terlihat telah membuat dia berubah. Pengarang
upaya pengarang novel untuk mengajak mencatat:
masyarakat pembaca mempertimbangkan

247
Yohanes Orong / SELOKA 6 (3) (2017) : 244 - 255

“Ende telah mengubah hidupku. Aku tidak lagi Ata Mai ini. Setidaknya, melalui novel ini
rindu ke kafe dan mal, bahkan sekarang aku pengarang hendak mengajak manusia modern
memandang hidup bukan hanya dari prestasi dan untuk kembali memikirkan dengan bijak kunci
uang. Kehebatan orang bukan hanya ditentukan dari
kebahagiaan dalam hidup.
derajat, pangkat dan kekayaan. Aku belajar dari Emma
yang baru menemukan hidup baru, yang memulai
tantangan baru dan tidak takut melihat masa lalu yang Potret Kehidupan Sosial Orang Flores
suram. Sam pernah berkata bahwa perubahan dalam Mengukur dan memotret kehidupan sosial
hidup bukanlah suatu hidup baru melainkan orang Flores melalui novel Ata Mai terkesan
kelanjutan dari hidup. Aku juga belajar dari mama dan terlalu generalistis. Akan tetapi sungguh disadari,
perempuan lain di kampung yang tidak pernah ribut beberapa aspek penting yang dikemukakan
menuntut kesetaraan gender tetapi mengerjakan pengarang dalam novel ini telah menjadi
pekerjaan sederajat dengan pria. Mereka mencangkul representasi kehidupan sosial orang Flores pada
ladang, memanjat pohon, memetik kopi, memetik
umumnya. Novel Ata Mai cukup realistis
jeruk, menyiangi rumput, memikul beban tanpa
berbicara tentang kenyataan sebuah suku di
pernah meminta perhatian dan belas kasih. Dalam
perundingan mereka tidak disertakan, tetapi mereka Flores. Dalam ceritanya tergambar potret realitas
memunyai jalur sendiri, di luar meja perundingan, jamak orang Flores. Atas sifatnya yang demikian,
dengan sikap keibuan dan khas perempuan”. (Hal. Paul Budi Kleden mencatat bahwa di dalam
379) novel ini pengarang membawa kita untuk
mengetahui dan mengenal kompleksitas
Sejenak pengarang terjebak pada kenyataan dan permasalahan satu kelompok
pengagungan suasana kehidupan desa. Hal ini masyarakat yang sedang berada dalam satu tahap
dapat menimbulkan ambiguitas persepsi dan perubahan. Pretensi memotret wajah Flores
pemahaman pembaca untuk menilai secara bukanlah maksud terdalam pengarang Ata Mai.
jernih hal manakah yang lebih baik dan penting Akan tetapi, ketika, misalnya, penulis
diupayakan; apakah melepaskan model dan mengemukakan kenyataan seperti ditampilkan
sistem kehidupan orang kampung dan berikut ini, pembaca seakan diantarkan pada
menggantikannya dengan pola hidup orang kota? simpulan telak mengenai kondisi Flores dalam
Akan tetapi dengan cara itu pengarang hendak arti sesungguhnya.
mengungkapkan pergumulan aktual dialami oleh
orang-orang kota. Pada akhirnya orang-orang “Hampir enam bulan berada di Flores dan
kota mesti mengakui kebajikan dan kearifan lokal mengalami berbagai peristiwa. Hidup bukan sesuatu
dan menerima pelajaran penting dari orang- yang mudah, bukan sekadar kesenangan menerima
orang desa. Pada halaman 380 pengarang gaji, berbelanja di pertokoan atau menghabiskan uang
dengan berekreasi atau membeli benda-benda koleksi
menulis demikian.
dan hobi. Banyak hal mewarnai kehidupan. Ibarat
pelangi, selama ini hanya warna putih dan merah yang
“Aku mengagumi Sam sebagai seorang
kulihat, tetapi di Flores aku mengenal warna jingga,
pendidik yang tidak pongah dengan kepandaiannya,
hijau, biru dan ungu”. (Hal. 420)
yang bisa menghormati orang lain, yang membukakan
kesadaranku untuk hidup di zaman ini dengan
memegang adat dan tatakrama kuno yang sudah Penyebutan nama Flores dalam kutipan di
ditinggalkan orang kota. Ia memang kolot mengoreksi atas menandaskan sebuah keyakinan pada diri
cara berpakian, memilih teman bergaul, tetapi ia pengarang novel bahwa semua yang dilihat dan
memerdekakan pikiran-pikiran murid-muridnya. Ia dialaminya selama hidup bersama dengan orang-
menikmati hidup dengan tenang, tanpa kecemasan orang Lio, sebuah suku di Flores merupakan
akan hari esok”. (Hal. 380) “pars prototo” untuk kehidupan orang-orang di
pulau Flores umumnya. Penulis novel seperti
Selain rekam jejak perjalanan jurnalistik, tidak keberatan untuk membuat generalisasi
pergumulan eksistensial semacam itu turut semacam itu. Terasa biasa bagi pengarang Ata
melatarbelakangi niat pengarang menulis novel Mai untuk saling mencampuradukkan

248
Yohanes Orong / SELOKA 6 (3) (2017) : 244 - 255

penyebutan nama tempat; antara Lio, satu kematian. Salah satu adat yang penting dan
wilayah kecil di pulau Flores dan Flores sebagai masih dijalankan ialah pemberian mas kawin
sebuah pulau. Walaupun tentu membaca catatan yang disebut belis. Selain hewan (kerbau, kuda,
seperti itu akan membangkitkan rasa harga diri sapi, babi) ada macam-macam benda berharga
orang-orang Flores untuk menolak generalisasi yang bisa menjadi belis, misalnya gading gajah (di
yang ada, tetapi pada akhirnya tetap ada sesuatu wilayah Sikka, Flores Timur, dan sebagian pulau
yang memang bersifat umum dan jamak. Timor), Ome Mbulu (anting-anting emas untuk
Pengarang mengakui kejamakan itu. Realitas Flores Tengah), Nekara (Flores Barat), Mamuli
ketidakadilan jender, misalnya dilukiskan yaitu perhiasan yang melambangkan kesuburan
sebagai suatu hal yang sebenarnya tidak hanya wanita di Sumba.
terjadi di suku Lio yang terpencil di Flores, tetapi Terdapat aturan adat mengenai nilai belis
merupakan hal yang seakan telah mengglobal. bagi seseorang. Khusus tentang Ome Mbulu di
Pada halaman 454 tertulis demikian. Ende, pengarang Ata Mai mencatat.

“Tetapi, pemandu kami, bernama Sayako “Belis di Ende diukur dengan perhiasan emas
Matsushinta Dunn, menghadapi problem yang sama yang disebut Omembulu, yaitu anting-anting seberat
dengan kebanyakan perempuan di dunia. Ia mengaku 20 gram berbentuk belah ketupat dengan lubang di
bahwa perempuan Jepang merupakan warga negara bagian tengah, selain juga ternak sapi dan kuda. Jika
kelas dua di negerinya. Dalam bidang pekerjaan, seorang perempuan berstatus sosial tinggi, belisnya
mereka sulit mendapat posisi puncak, gaji lebih kecil pun tinggi, seperti perhiasan emas ome bulu seberat 40
dari rekan pria dan sarjana baru lebih banyak bertugas gram atau 60 gram dan seterusnya, demikian pula
sebagai office lady, melayani rekan sekerja yang jumlah ternaknya. Sepasang Ome Mbulu disebut
berjenis kelamin pria, misalnya memfotokopi, setengah liwut (ukuran Ome Mbulu), sedangkan jika
mengetik, tugas-tugas administrasi sampai menuang dua pasang disebut satu liwut”. (Hal. 44)
teh!” (Hal. 454)
Sebenarnya belis di dalam dirinya kurang
Bahkan, banyak hal yang membuat lebih mengandung tiga unsur positif berikut.
peneliti seakan menghadapi kesesuaian antara Pertama, belis dimaksukkan untuk “memuliakan”
kenyataan terlahir sebagai orang Flores dengan perempuan. Artinya secara sosial perempuan
sejumput cerita miris yang begitu kuat dihormati sebagai pihak yang ketika menikah
diungkapkan pengarang Ata Mai. Menjumpai patut diperhitungkan dan dihargai. Kedua, belis
kesesuaian seperti ini jauh lebih kuat menguasai secara sosial mendefinisikan eksistensi dan harga
diri peneliti untuk memberikan apresiasi kepada diri pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
pengarang atas kejujurannya mengatakan “apa Artinya, orang Flores menganggap “baru
adanya” tentang realitas suku Lio di Flores dan menjadi manusia dalam arti sesungguhnya”
mengeksplorasi rupa-rupa ketimpangan sosial apabila dalam urusan paling penting di dalam
yang mewarnai hari-hari hidup masyarakat hidupnya, seperti perkawinan, dia sanggup
Flores daripada rasa harga diri yang terkadang memenuhi tuntutan adat belis. Ketiga, belis dapat
dipaksakan untuk sekadar mengafirmasi mempererat kekerabatan antara keluarga pria
eksistensi kemanusiaan. Berikut dikemukakan dan keluarga perempuan. Namun, sejalan
potret kehidupan sosial orang Flores dalam novel dengan kesadaran manusia akan pentingnya
Ata Mai. menempatkan martabat dan hak asasi manusia
pada posisi yang wajar, maka ditemukan bahwa
Belenggu Belis di dalam sistem belis terkandung pelbagai aspek
Di Flores dan di Nusa Tenggara Timur negatif. Pengarang Ata Mai menyebutnya sebagai
(NTT) umumnya, sebagian masyarakatnya belenggu, sebagaimana tercatat berikut ini.
masih melaksanakan hukum adat untuk berbagai
peristiwa penting sepanjang hidup, seperti pada “Sistem belis hanya menguntungkan kaum
saat menyambut kelahiran, pernikahan, dan pria, ujarnya. Seorang suami yang membayar belis

249
Yohanes Orong / SELOKA 6 (3) (2017) : 244 - 255

tinggi, kerapkali menyia-nyiakan istri karena merasa sarung untuk menambah tabungan mereka”.
telah membelinya. Maka belis yang semula bertujuan (Hal. 116).
memuliakan perempuan, justru berbalik merendahkan Dari kutipan terakhir di atas, terkesan ada
perempuan. Para suami semena-mena
solidaritas yang dibangun sesama keluarga pria
memperlakukan istri seperti benda yang lunas
dan antara istri dan suami. Belis sejenak menjadi
terbayar, bahkan banyak yang mencari baru dan
melupakan istri”. (Hal. 46-47)
unsur perekat hubungan kekerabatan dan cinta.
Namun hal yang dicatat itu menegaskan
Belis telah melegitimasi kaum pria untuk kenyataan lain, yakni bahwa belis juga dibangun
memperlakukan istrinya sesuka hati dan atas ongkos harta, waktu, dan tenaga yang tak
menganggapnya sebagai semacam barang yang tertanggungkan. Banyak orang terjebak pada
lunas terbayar. Di sini jelas terlihat bahwa belenggu yang diakui terjadi, tetapi sulit dilawan.
perempuan menjadi korban paling serius dari Mengapa? Selain karena belis diterima sebagai
adat belis. Selain bermasalah bagi perempuan, bagian dari “warisan” budaya leluhur, juga
sebenarnya belis juga menjadi masalah yang juga “persoalan belis ini rumit karena penentunya
menimpah kaum lelaki. Apabila tidak sanggup bukan hanya orangtua kandung, melainkan juga
membayar belis, biasanya seorang pemuda untuk tergantung pada paman dari mempelai
beberapa saat tinggal dan berkerja di rumah pihak perempuan bahkan juga fungsionaris adat. “
istri. Kebiasaan ini cukup lama bertahan jauh (Hal. 47)
sebelum lahan-lahan pertanian menjadi Dalam kasus tertentu, campur tangan
berkurang seperti sekarang. pihak keluarga terutama paman dari mempelai
Tentang hal ini pengarang Ata Mai perempuan semacam ini, lalu menstigmatisasi
mengutip penjelasan seorang ibu di Flores. “Dulu figur paman untuk orang Flores. Hal ini dapat
pria kawin masuk, tinggal di rumah keluarga istri ditemukan dalam kutipan berikut.
dan menjadi hamba untuk membantu pekerjaan
“Kami juga membicarakan kasus Yohana dan
di ladang. Ia baru bisa membawa keluar istrinya
tiba-tiba melompat membicarakan calon suami
jika sudah melunasi belis. Suami seperti ini harus
Sandra. Pria itu jatuh sakit karena bekerja terlalu keras
mau disuruh apa saja.” (Hal. 46) untuk mengumpulkan uang guna membayar belis,
Walaupun diakui bahwa di zaman sampai-sampai tidak mengurus kesehatannya. Kini
sekarang, ketika kebanyakan orang tidak lagi tabungannya habis untuk membeli obat. Sandra
berkebun, atau jika keluarga istri tidak punya memohon pada keluarganya untuk meringankan belis
ladang, maka “Belis tidak lagi terlalu ketat seperti tersebut. Dia ingin menikah dan merawat kekasihnya
itu, walaupun masih banyak keluarga yang sebagai suami. Tapi paman-pamannya tetap menuntut
menuntut belis, biasanya kerabat mempelai laki- belis berupa “seliwut ome mbulu” dan dua ekor sapi.
Menurut Leo, calon suami Sandra sudah sangat kurus
laki akan bahu-membahu membayarnya”. (Hal.
kering dan rusak levernya. Ia cemas jangan-jangan jika
46)
menikah Sandra hanya akan merawat suami yang
menjelang ajal”. (Hal. 231)
Persoalan belis selain merendahkan
derajat kaum perempuan dan menimbulkan Lilitan Kemiskinan Struktural
kesulitan bagi kaum pria, juga menjadi salah satu Bagi masyarakat Flores kemiskinan
alasan mengapa kemiskinan masih menjadi merupakan sebuah fakta. Ia muncul dalam
seakan identik dengan Flores. Banyak waktu berbagai aspek dan bentuk kehidupan
terkuras hanya untuk bekerja dalam rangka masyarakat sehingga menjadi sebuah persoalan
memenuhi tuntutan belis. Pengarang mencatat: yang serius. Menyoal kemiskinan, lantas
“...Sandra misalnya, menanti masa pernikahan membedahnya dan menemukan solusi
karena kekasihnya masih menabung untuk penanganannya bagaikan mengurai benang
membayar belis. Diam-diam Sandra sering kusut. Tokoh aku dalam novel Ata Mai, seorang
membantu menyisihkan uang hasil penjualan Jawa, yang lama tinggal di kota Jakarta dan tentu
secara ekonomis termasuk golongan kaya, sangat

250
Yohanes Orong / SELOKA 6 (3) (2017) : 244 - 255

merasakan kemiskinan itu. Kemiskinan di Flores dan Inez. Inez menjelaskan bahwa rumah ini memiliki
telah membuatnya merasa letih. “Ada rasa letih delapan bilik dan empat tungku, menandakan ada
yang mulai menyelinap menghadapi kemiskinan empat subsuku yang menghuninya bersama-sama.
Bangunan rumah komunal yang menunjukkan
ini. Aku bisa pulang dan menyudahi kemiskinan
kekerabatan erat, tanpa batas privasi antarsesama
ini sewaktu-waktu, tetapi mereka harus
penghuninya. Dalam hati aku bertanya bagaimana
menghadapinya sepanjang hayat, tanpa mereka menjaga rahasia keluarga, bahkan rahasia
harapan.” (Hal. 122). suami-istri... “ (Hal. 71-72)
Secara alamiah Flores termasuk daerah
yang gersang dan tandus. Hal ini tidak dapat Mempersoalkan kemiskinan Flores dari
dimungkiri karena fakta membuktikan curah latar belakang geografis dan juga topografis
hujan yang rendah dan musim panas yang masih terbilang wajar, dan itu tidak terelakkan.
panjang. Persoalan alamiah ini diperparah Lantas, untuk mengelak dari keadaan yang
dengan keadaan geografis Flores yang tergolong demikian, separuh kaum muda baik laki-laki
rentan akan bencana alam. Berangkat dari latar maupun perempuan memilih untuk menemukan
belakang ini, sebetulnya keadaan sosial-ekonomi penghidupan yang layak di tanah perantauan.
masyarakat Flores sudah bisa ditakar. Hampir Tentang hal ini pengarang mencatat.
sebagian besar masyarakat Flores bertani secara
musiman dan amat bergantung pada hasil “Pada beberapa dasawarsa belakangan ini
pertanian jangka panjang, dan yang menetap di kebanyakan pemuda kampung itu merantau ke luar
pesisir pantai menggantungkan hidupnya pada negeri, khususnya Malaysia. Akibatnya penghuni desa
hasil tangkapan laut. Dari sini dapat diukur pun lebih banyak perempuan, anak-anak serta laki-laki
kemampuan ekonomi rata-rata masayarakat, tua. Selama ditinggal suami merantau, kaum
perempuan mengurus ladang yang ditanami jenis
yaitu bahwa pendapatan perkapita sangat rendah
tanaman umur panjang misalnya kelapa, kakao, kemiri
dan masih terbilang berada di bawah garis
dan kopi. Hasilnya bisa dipetik untuk konsumsi sendiri
kemiskinan. dan juga dijual. Kadang-kadang mereka menerima
Pengarang novel bercerita tentang potret kiriman uang dari para suami atau anak laki-laki yang
kemiskinan di Flores secara agak detail. merantau. Para perempuan desa bekerja di ladang,
Tampilan fisik rumah, perkampungan, dan mengurus rumah dan sekaligus mendidik anak-anak.
orang-orang di Lio digambarkannya mendekati Tubuh mereka tegak, langsing dengan wajah berseri-
realitas. Ada kesan ketika membaca catatannya seri. Hidup keras dan sinar matahari yang membakar
seakan memang orang tidak sedang membaca membuat orang-orang terlihat lebih tua dari umurnya,
kulit orang tua berkerut seperti buah kurma kering, gigi
novel tetapi sebuah laporan observasi yang jujur
merenggang karena makan sirih, malahan beberapa
dan objektif. Sepintas kemiskinan itu identik
orang giginya menghitam dan ompong. Bau mulut
dengan kekolotan. Ironisnya hal ini malah mereka asam bercampur aroma sirih, tembakau dan
membuat tokoh aku dalam novel bergairah pinang”. (Hal. 75)
menghadapinya. Sesuatu yang tentu
menandaskan sinisme yang tak terbantahkan. Deskripsi kenyataan semacam di atas
adalah gambaran yang seakan wajar jika tidak
“Ketika kami berada di tengah-tengah dipertentangkan dengan situasi lain yang
kampung aku terpesona oleh rumah-rumah tradisional
berlawanan dengannya. Tokoh aku memperkuat
berbentuk panggung dengan atap ilalang.
catatannya dengan membuat perbandingan
Pemandangannya membuat pikiranku seperti
melayang-layang mengalami sensasi yang
kontradiktif antara kehidupannya yang serba
menggairahkan. Anak-anak berlarian mendekati mewah dan kemelaratan janda tua di desa Lio.
mobil, para nenek melongok dari balik pintu rumah
untuk menyapa Sam dan Inez dengan suara nyaring “Harga sebuah gaunku sama dengan biaya
dan tawa yang menghangatkan. Dalam sekejap hidup Emma selama tiga bulan, perangkat kosmetika
kampung menjadi meriah oleh kehadiran kami.... yang kupakai bisa menghidupinya selama 1-2 bulan.
Kami menuju rumah adat tempat tinggal paman Sam Aku merasa bagaikan orang lumpuh tanpa daya.

251
Yohanes Orong / SELOKA 6 (3) (2017) : 244 - 255

Dinding bambu yang dingin ini setiap hari menyimpan pembanding seperti orang kota yang kaya informasi.
rahasia keluarga Emma dan menumpuknya bagai Pengetahuan akan adanya masyarakat lain yang lebih
tabungan tanpa bunga. Dinding bambu dengan maju dan mapan dapat memicu masyarakat untuk
kemewahannya tersendiri, sebatas inilah kemampuan menggapai keinginan-keinginan lian demi mengejar
Emma... Penghasilan Emma sebulan mungkin hanya kemajuan. Untuk itu mereka dituntut bekerja lebih
uang jajan satu kali makan bagi seorang mahasiswi keras dalam mencari uang guna memenuhi berbagai
kaya yang mendapat jatah uang saku dari keinginan.” ......... Menyebut suatu kelompok
orangtuanya”. (Hal. 119) masyarakat sebagai pemalas menjadi suatu kesalahan
jika pengukurnya adalah kehidupan desa yang statis”.
Menghadapi kenyataan seperti itu ada (Hal. 140-141)
godaan untuk menuding masyarakat setempat
sebagai faktor penentu kemiskinan. Ada Pada akhirnya pengarang Ata Mai
streotisme yang lazim diberikan kepada orang mengantar pembaca untuk melihat kompleksitas
miskin. Pandangan streotif seperti itu sering kali alasan di balik kemiskinan di Flores. Orang
dilontarkan oleh tokoh Bimo pacar Lila di dalam Flores juga menurut catatannya menolak untuk
novel. Bahkan, demi pandangannya yang mengaitkan kemiskinan dengan takdir.
teramat negatif tentang orang Flores, Bimo Pengarang hakulyakin “Kemiskinan bukanlah
menampik menerima sarung tenun ikat Flores takdir karena manusia sebagai makhluk paling
yang dikirimkan Lila padanya. Terhadap hal ini luhur, telah diciptakan Tuhan untuk
pengarang menulis demikian. menggunakan akal dan kepandaiannya dalam
mengarungi hidup. Adalah hidup yang sis-sia bila
“Apa kamu mau aku bersarung seperti badut?” manusia tidak melakukan apa pun kecuali
Kalimat tanya itu dilontarkan dengan tawa geli. menadahkan tangan pada anugerah alam apalagi
Kubayangkan Bimo dengan sarung itu dan rambut menggantungkan hidup dari pemberian orang
palsu keriting warna-warni, hidung bulat merah. lain,” Kata Aleks. (Hal. 223)
Sarung yang kukirim dengan penuh kasih sayang Kemalasan dan kebodohan menurutnya
untuknya ternyata menjadi bahan lelucon yang
bukan akar kemiskinan. Di dalam kemiskinan itu
menyakitkan. Badut bersarung, badut bersarung, badut
terkait banyak hal. Pengarang mengakui, secara
bernama Bimo. Alih-alih berterima kasih, ia malah
menegurku. Pembicaraan melebar mengenai orang
struktural kemiskinan juga disebabkan oleh
Flores. Bimo masih memandang rendah masyarakat adanya ketimpangan pembangunan. Tercatat
Flores seperti yang selama ini dilakukannya. Ia pada halaman 267 ketimpangan ini.
bersikukuh bahwa orang Flores itu pemalas, pemabuk,
bodoh dan keras kepala. Bahkan ia memberi contoh “Berada di Flores membuat aku tersadar akan
beberpa preman di Jakarta yang berasal dari timur kemiskinan struktural yang menjerat rakyat jelata.
adalah orang Flores”. (Hal. 275) Fasilitas dari pemerintah tersalur dengan timpang,
menguntungkan orang-orang di papan atas saja.
Berbeda dengan konsep Bimo yang Pendidikan, pelayanan kesehatan, pinjaman bank,
memandang rendah orang miskin di Flores serta listrik, jalan raya bahkan subsidi bahan bakar, baru
menjangkau orang kaya dan orang kota. Orang-orang
menganggap kemalasan sebagai penyebab
di kampung, di atas gunung, di tepi pantai, masih
kemiskinan, Lila menemukan sebuah realitas lain
hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka banyak yang
yang barangkali lebih realistis, lebih manusiawi belum terjangkau jalan beraspal, listrik, puskesmas,
dan lebih seimbang. Lila menangkap dari Sam sekolah. Nafkah mereka berasal dari hasil ladang atau
pandangannya tentang persoalan dituding hasil laut, memasak dengan kayu bakar, rumah
pemalas. tradisional dan bepergian dengan kendaraan umum”.
(Hal. 267)
“Kehidupan masyarakat desa memang statis
sehingga bisa dikesan malas. Orang-orang seperti Pendidikan yang Memprihatinkan
terkungkung dalam suatu lingkaran wadah yang Kemiskinan dan pendidikan memiliki
membatasi gerak. Bagi mereka kehidupan sehari-hari kaitan yang tidak dapat dipisahkan. Ada dilema
sudah memuaskan karena tidak memunyai
yang tidak mudah terpecahkan. Di satu sisi,

252
Yohanes Orong / SELOKA 6 (3) (2017) : 244 - 255

rendahnya tingkat dan mutu pendidikan serta lulus S-2.” (Hal. 256). Sam mempunyai
tingginya angka putus sekolah disebut sebagai pandangan yang bahkan lebih realistis dan tidak
dampak langsung dari kemiskinan. Sementara di mau terjebak dalam generalisasi tentang karut-
sisi yang lain, kemiskinan yang tinggi marutnya pendidikan di Flores. Sam melihat
mengakibatkan akses ke dunia pendidikan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang tidak beres
menjadi tertutup. Tidak jarang pendidikan sering secara nasional.
‘dituduh’ tidak banyak membantu, entah dengan
alasan biaya pendidikan yang terlalu mahal atau “Sam mengemukakan pendapatnya yang lebih
alasan yang lain semisal munculnya bias mirip sebagai koreksi diri. Ia mengakui bahwa
komersialisasi pendidikan. rendahnya kualitas pendidikan sekarang ini
merupakan akibat dari sistem pencetakan tenaga guru
Menghadapi dilema seperti di atas, banyak
yang kuran gtepat. Pemerintah menurut Sam hanya
orang memilih pasrah kepada kenyataan dan
mementingkan segi kuantitas, yaitu menyediakan
menganggap bahwa mereka hidup hanya untuk tenaga guru sebanyak-banyaknya untuk disebar ke
makan saja, seperti penggalan teks berikut. seluruh wilayah nusantara. Standar kriteria untuk
menjadi guru terlalu rendah, sehingga banyak orang
“Kita hidup hanya untuk makan dua-tiga kali” muda memilih menjadi guru dan bersedia dikirim ke
(Hal. 76). tempat-tempat terpencil hanya untuk mendapat
pekerjaan sebagai pegawai negeri! Akibatnya ketika
Pengarang merekam pernyataan bekerja mereka hanya mentransfer isi buku pelajaran
masyarakat Lio dan menulis beberapa ungkapan kepada murid, bukan mendidik! (Hal. 40)
minimalis tentang pendidikan, sebagaimana
terlihat dalam penggalan berikut. Tampak bagi pengarang sebuah konsep
yang lebih komprehensif tentang potret
“Sekolah baginya hanya kewajiban agar pendidikan di Lio-Flores, yakni sebuah realitas
seseorang bisa membaca, berhitung, mengenal ilmu pendidikan yang memang memprihatinkan.
bumi dan sejarah di samping juga belajar agama dan Namun, pengarang tetap mengakui kenyataan
sopan santun. Aku mendengarkan perdebatan mereka. seperti itu bersifat jamak. Pendidikan yang
Tujuan bersekolah yang lebih penting lagi bagi memprihatinkan itu menurutnya terjadi sebagai
kebanyakan orang di kampung itu adalah untuk
konsekuensi dari ketidakberesan negara
mendapat ijasah. Para orangtua bermimpi jika
mengurusi dunia pendidikan. Tentang kebijakan
anaknya pandai, kelak bisa menjadi pegawai negeri
apa pun kelas dan pangkatnya karena kedudukan itu
pemerintah menetapkan standar buku pelajaran
dapat menaikkan status sosial”. (Hal. 76) misalnya pengarang menulis: “Pemerintah tidak
memunyai standar buku pelajaran resmi, penerbit
Kendati demikian, sebenarnya pengarang buku pelajaran sekarang lebih banyak bersifat
juga mengakui potret dunia pendidikan dan proyek dan perang tender antarpenerbit dan
konsep orang tentang masa depan kehidupannya percetakan. Tindakan itu telah mengorbankan
sebagai realitas yang relatif umum di Indonesia. materi pendidikan itu sendiri.” (Hal. 207)
Tokoh Sam dalam novel adalah seorang guru
yang telah lama mengabdi di sebuah sekolah Minimnya Pelayanan Kesehatan
terpencil di Lio. Sam kelahiran Lio, menetap dan Pengarang Ata Mai mencatat pengalaman
menghabiskan hidupnya di kampung Lila menghadapi kenyataan minimnya
halamannya. Akan tetapi sebagaimana diakui pelayanan kesehatan di Lio. Hal yang teramat
Lila, Sam memiliki wawasan dan pengetahuan jelas misalnya tampak dalam catatan Lila tentang
luas bahkan lebih luas dari dirinya yang kondisi rumah Emma tempat dia tinggal untuk
berprofesi sebagai dosen. Juga lebih cerdas dari beberapa saat di sebuah kampung di Lio. Tertulis
Bimo, kekasih Lila. Pengarang menulis: “Tapi pada halaman 119 kenyataan tersebut.
dia punya kedewasaan, punya wawasan yang
justru lebih luas ketimbang Bimo yang sudah “Rumah Emma tidak memiliki kamar mandi
maupun jamban. Dulu sebelum gempa bumi 1992,

253
Yohanes Orong / SELOKA 6 (3) (2017) : 244 - 255

penduduk biasa mandi dan mencuci di sungai, tetapi aku yakin mereka sudah pernah mendapat
setelah gempa itu, sungai menjadi kering ksrena mata penyuluhan, hanya masyarakatnya bebal
airnya tertutup. Sekarang Emma mandi atau mencuci sih...lebih percaya pada dukun daripada dokter
di halaman belakang yang terbuka, dengan membawa
yang sekolahnya susah.” (Hal. 360) Lila
seeember air. Ia harus mandi pada pagi buta atau
termenung menghadapi kondisi demikian.
petang agar tidak terlihat oleh orang yang lewat. Jika
malam-malam ingin kencing, cukup membawa
segayung air dan berjongkok di halaman belakang, “Tiba-tiba aku merasa sedih luar biasa
pada tempat berpindah-pindah. Biasanya dia dan menghadapi kemiskinan masyarakat yang membuat
anak-anaknya mengambil air di ember atau Jeri can mereka tak terjangkau layanan kesehatan.
dari pipa air di depan rumah mama Mia”. (Hal. 119) Kesenjangan sering terjadi antara penduduk desa
dengan petugas ahli dari kota baik yang bergerak di
bidang layanan kesehatan, pertanian, peternakan,
Tampak di dalam catatan di atas guratan
ekonomi dan pendidikan. Para ahli yang muda usia
kesederhanaan hidup masyarakat desa di Lio. biasanya amat bangga dengan kemampuan teoretisnya
Mereka hampir tidak memiliki pilihan yang lebih yang diperoleh melalui pendidikan tinggi sedangkan
baik selain menerima kenyataan serba terbatas penduduk yang terkesan naif merasa memiliki
seperti itu. Kondisi itu memperlihatkan bukan pengalaman yang lebih, khususnya yang berusia tua.
hanya minimnya pelayanan kesehatan, Tanpa komunikasi yang baik, kesenjangan ini bisa
melainkan juga kemiskinan yang riil. membuat program layanan dan penyuluhan gagal
Secara geografis, kampung-kampung karena penduduk melakukan penolakan”. (Hal. 360)
terpencil di Lio relatif jauh dari akses kesehatan
dan pelayanan publik lain. Masyarakat hidup di Pengarang membungkus dirinya dengan
daerah terpencil yang komunikasinya terputus tokoh Lila yang melihat kondisi masyarakat Lio
dengan kota. Dalam kondisi dengan jarak seperti secara dekat yang melihat permasalahan hidup
itu, tidak heran dalam urusan pengobatan ketika yang terjadi sebagai sebuah ketimpangan sosial
sakit, orang lebih “memilih dukun untuk untuk bukan karena kelemahan dan ketakberdayaan.
persalinan dan pengobatan.” (Hal. 357). Kondisi tersebut oleh Supriyanto (2008 dalam
Kebiasaan meminta bantuan dukun adalah cara Margono, 2015:8) bahwa teks sastra adalah situs
paling murah ditempuh, ketika masyarakat tidak ideologi yang di dalamnya ideologi-ideologi
memiliki pilihan lain. Sebuah kondisi yang bersemi dan saling memperebutkan pencapaian
memang patut direfleksikan oleh orang di mana hegemoni.
pun. Pengarang mencatat: “Di zaman ini, saat
orang-kota bisa memilih persalinan normal atau SIMPULAN
pembedahan, ketika banyak orang bisa
menciptakan kehamilan tabung, bahkan Pembacaan dan analisis sosiologi sastra
teknologi sudah berkembang sehingga atas novel Ata Mai (Sang Pendatang)
memungkinkan manusia untuk membuat cloning memperlihatkan temuan berikut ini. Pertama,
makhluk hidup, di negeriku masih banyak pengarang novel (Maria D. Andriana), walaupun
perempuan tercabut nyawanya ketika akan terlahir sebagai orang Jawa, melalui novel Ata
melahirkan. Letak bayi lintang bukan masalah Mai, telah berusaha menjadi bagian dari kisah
sulit untuk diatasi dalam dunia kedokteran.” kehidupan sosial orang suku Lio di Flores. Ata
(Hal. 359) Mai adalah rekam jejak observasi pengarang
Di tengah kecenderungan penguasa dan sekaligus produk jiwa kepengarannya tentang
mereka yang memiliki akses akan suatu model cerita kehidupan masyarakat Flores yang riil.
kehidupan yang lebih baik dan bermartabat, Lila Kedua, konteks sosial pengarang novel
menolak untuk melimpahkan kesalahan pada menjadi alasan kepengarangannya. Dalam hal ini
masyarakat miskin. Setidaknya sikap menuding ketika Ata Mai dibaca, ditemukan antitesis
seperti itu diungkapkan seorang dokter asal Jawa karakteristik novel sebagai yang lazim dipahami
yang bekerja di kota Ende Flores. “Sebenarnya buku fiksi. Ata Mai sebaliknya, berkisah tentang
potret kehidupan sosial masyarakat Lio di Flores.

254
Yohanes Orong / SELOKA 6 (3) (2017) : 244 - 255

Potret kehidupan sosial masyarakat Lio yang Harahap, Nurhayati. 2006. Ende Ungut-Ungut Angkola
dibaca dalam Ata Mai merupakan representasi Mandailing, Kajian Sosiologi Sastra.
produk jiwa sang pengarang. Melalui novel ini Kutha Ratna, Nyoman. 2010. Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
ditemukan antara lain sejumput persoalan yang
Kutha Ratna, Nyoman. 2007. Sastra dan Cultural
sejauh ini masih menjadi keprihatinan serius di
Studies, Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta:
Flores. Persosalan-persoalan tersebut ialah Pustaka pelajar.
belenggu mahar yang disebut belis, lilitan Margono, Aris. 2015. Perjuangan Kesetaraan Gender
kemiskinan struktural, pendidikan yang Tokoh Wanita pada Novel-Novel Karya
memprihatinkan, dan minimnya pelayanan Abidah El Khalieqy. Seloka: Jurnal Pendidikan
kesehatan. Bahasa dan Sastra Indonesia. 4(1): 1-8.
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/sel
DAFTAR PUSTAKA oka
Pradopo, Rachmat. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Andriana, D. Maria. 2005. Ata Mai, Sang Pendatang.
Wanti, Kristina. Representasi Kebudayaan
Yogyakarta: Galang Press
Masyarakat Lio dalam Novel Ata Mai. Nosi
Annisa, Apik Ilma dan Bambang Indiatmoko. 2017.
2(7).
Representasi Sistem Pernikahan Budaya
Winarni, Retno. 2009. Kajian Sastra. Salatiga: Widya
Yogya dalam Novel Perempuan Jogja Karya
Sari.
Achmad Munif dalam Seloka: Jurnal Pendidikan
Sapardi Djoko Damono. 1977. Sosiologi Sastra. Jakarta:
Bahasa dan Sastra Indonesia 6(1): 74-84
Dikti Depdikbud.
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/sel
oka
Budi Kleden, Paul. 2005. Yang Tersingkap dan Yang
Tersembunyi, Yang Akrab dan Yang Asing
dalam Maria D. Andriana. 2005. Ata Mai, Sang
Pendatang. Yogyakarta: Galang Press.

255

Anda mungkin juga menyukai