40 (POJKA PAP) Panduan Pelayanan Resiko Tinggi
40 (POJKA PAP) Panduan Pelayanan Resiko Tinggi
40 (POJKA PAP) Panduan Pelayanan Resiko Tinggi
NOMOR: 40/PER/DIR/RSMI/VIII/2018
TENTANG
MEMUTUSKAN
Ditetapkan di Banjar
pada tanggal 31 Agustus 2018
DIREKTUR,
SURIPTO
2
Lampiran Peraturan Direktur
Nomor : 40/PER/DIR/RSMI/VIII/2018
Tentang : Panduan Pelayanan Pasien Risiko Tinggi
Tanggal : 31 Agustus 2018
BAB I
DEFINISI
Definisi Operasional :
3
khusus (cacat, lansia, dan individu yang berisiko disiksa) serta pelayanan pengobatan
yang berisiko tinggi.
2. Pelayanan emergensi adalah asuhan pasien baik keperawatan maupun medis yang
membutuhkan tindakan kegawat daruratan, dalam hal ini tidak hanya di IGD namun di
semua unit pelayanan yang membutuhkan tindakan kegawatdaruratan.
3. Pasien Gawat Darurat adalah Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau
akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi
cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya.
5. Pelayanan bantuan hidup dasar adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas
(Airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi darah.
6. Pelayanan pasien koma adalah pelayanan yang diberikan kepada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran, yang ditandai pasien tidak dapat dibangunkan
dengan rangsang verbal maupun nyeri.
11. Pelayanan kepada kelompok khusus (pasien yang berisiko dilindungi) merupakan
pelayanan yang diberikan kepada pasien lanjut usia, anak-anak, pasien cacat, pasien
dengan riwayat
4
BAB II
RUANG LINGKUP
Rumah Sakit Mitra Idaman dalam memberikan pelayanan kepada pasien, termasuk
pelayanan pasien risiko tinggi selalu didasarkan pada Undang-Undang ataupun peraturan
perundangan tentang Rumah Sakit maupun Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
Prinsip pelayanan pasien risiko tinggi adalah sebagai berikut:
1. Pelayanan pasien berisiko tinggi selalu mengutamakan keselamatan pasien dan tetap
memperhatikan keselamatan kerja karyawan.
2. Pelayanan pasien risiko tinggi diberikan di semua unit pelayanan di Rumah Sakit Mitra
Idaman.
3. Pelayanan pasien berisiko tinggi disediakan secara memadai, secara teratur dan
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
4. Pelayanan pasien berisiko tinggi tersedia dalam 24 jam termasuk keadaan darurat di
luar jam kerja.
5. Pemberi pelayanan pasien berisiko tinggi adalah tenaga medis, perawat dan tenaga
kesehatan lainnya sesuai SK Direktur Rumah Sakit Mitra Idaman yang senantiasa
mengembangkan kompetensinya sesuai kebutuhan dari pasien.
6. Pemberi pelayanan pasien risiko tinggi harus memberikan asuhan yang seragam sesuai
dengan panduan yang berlaku di masyarakat.
7. Bahwa semua pemberi pelayanan pasien risiko tinggi harus mentaati kebijakan,
pedoman dan standar tentang pelayanan pasien risiko tinggi telah ditetapkan Direktrur
Rumah Sakit Mitra Idaman .
8. Pelayanan pasien berisiko tinggi diberikan sesuai standar keselamatan pasien dan
keselamatan kerja karyawan rumah sakit (K3RS).
9. Pelayanan pasien risiko tinggi yang kita berikan kepada pasien harus
didokumentasikan dalam lembar rekam medik pasien sesuai panduan rekam medik.
10. Sebelum pemberian tindakan petugas harus memberikan informasi dan mendapatkan
persetujuan dari pasien dan atau keluarga.
11. Pelayanan pasien risiko tinggi harus sesuai dengan kaidah moral, sosial budaya,
kepercayaan dan panduan pelayanan di Rumah Sakit Mitra Idaman .
12. Adanya pelaporan apabila mendapatkan pasien dengan riwayat kekerasan misalnya
KDRT, penyiksaan, pemerkosaan kepada petugas yang mendapatkan tugas dari
Direktur Rumah Sakit Mitra Idaman .
13. Apabila ada pasien dengan riwayat mendapat kekerasan, penyalahgunaan obat,
penurunan imunitas (misalkan kasus yang rawan di masyarakat: HIV, AIDS) maka
pasien tersebut harus dirawat di kamar/ruang isolasi untuk menjaga keamanan dan
kenyamanan pasien baik secara psikologi maupun fisiologi.
5
14. Informed Consent yang berkaitan dengan pelayanan pasien yang mendapatkan
kekerasan, penyalahgunaan obat, penurunan imunitas (misalkan kasus yang rawan di
masyarakat: HIV, AIDS) dilakukan oleh petugas yang telah ditunjuk Direktur Rumah
Sakit Mitra Idaman .
15. Apabila mendapatkan pasien dengan riwayat kekerasan, penyalahgunaan obat,
penurunan imunitas (misalkan kasus yang rawan di masyarakat: HIV, AIDS) harus
melaporkan kepada petugas yang ditunjuk direktur dilanjutkan dengan pelaporan
kepada Dinas Kesehatan Kota Banjar.
16. Dalam memberikan pelayanan, privacy pasien dan rasa aman harus tetap terjaga.
6
BAB III
TATA LAKSANA
8
2. Pelayanan Pasien Emergensi di IBS
Instalasi Bedah Sentral (IBS) adalah salah satu instalasi di Rumah Sakit Mitra
Idaman yang memberikan pelayanan pembedahan, dengan mengutamakan patient safety
dan keselamatan kerja karyawan. IBS memberikan pelayanan pembedahan dan anestesi
baik elektif maupun gawat darurat (cito). Tujuan dari pelayanan IBS cito/emergensi adalah
untuk memberikan pelayanan pembedahan dan anestesi secara cepat dan tepat guna
penyelamatan nyawa pasien, mengkoordinasi petugas kamar operasi bila terjadi
keadaan/tindakan darurat di rumah sakit.
a. Pasien sudah di IBS
1) Merupakan pemberian pelayanan dimana pada saat pasien di IBS terjadi situasi yang
memerlukan tindakan emergensi.
2) Pemberian pelayanan ini sesuai dengan panduan, kebijakan dan SPO pelayanan
emergensi di IBS.
3) Kondisi gawat darurat pada saat pasien di meja operasi, maka lakukan tindakan
penyelamatan hidup terlebih dahulu oleh tim operasi tersebut.
4) Tindakan kelanjutan operasi didasarkan pada kondisi pasien dan keputusan operator
dan anestesiolog.
5) Transfer ke HCU jika diperlukan.
6) Dokumentasikan secara tepat.
b. Pasien di luar IBS
1) Pelayanan pada pasien yang membutuhkan tindakan pembedahan/operasi segera
untuk peneyelamatan hidup pasien, misal pada kasus perdarahan pervaginam, fraktur
femur, trauma abdomen dll.
2) Pemberian pelayanan emergensi di IBS ini sesuai dengan panduan, kebijakan dan SPO
yang berlaku di Rumah Sakit Mitra Idaman .
3) Pelayanan emergensi di IBS meliputi bedah umum, ortopedi, obgyn, THT dan mata.
4) Pelayanan emergensi di IBS 24 jam/hari
5) Pasien yang dilakukan tindakan emergensi saat pembedahan harus dilakukan
tindakan seperti EKG, cek laboratorium (darah rutin, elektroliet, Gol darah, HbsAg,
Ureum Kreatinin, GDS), dan persiapan darah untuk tranfusi jika dibutuhkan.
6) Pelayanan emergensi pembedahan dan anestesi bisa dari IGD maupun HCU.
7) Prosedur sesuai dengan SPO pelayanan emergensi/cito IBS, yaitu:
a) Lakukan tindakan awal untuk penyelamatan hidup.
b) Lakukan pemeriksaan lanjutan seperti EKG, cek laboratorium (darah rutin,
elektroliet, Gol darah, HbsAg, Ureum Kreatinin, GDS
c) Setelah pemeriksaan dilakukan Dokter IGD/keliling (sesuai hasil konsul) /
DPJPmelakukan konsultasi kepada spesialis anestesi dan operator.
9
d) Apabila dokter anestesi dan operator menyetujui untuk dilkukan pembedahan
dilanjutkan dengan pemanggilan petugas cito oleh kamtib, Bila pasien yang
memerlukan tindakan pembedahan banyak (lebih dari 3) maka semua petugas
IBS dihadirkan untuk mempercepat penanganan pasien.
e) 30 menit kemudian tim operasi sudah siap melakukan tindakan pembedahan
dan anestesi.
f) Lakukan pendokumentasian sesuai panduan pengisian.
2. Resusitasi
a. Resusitasi Jantung Paru
Pelayanan resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau
memulihkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat
berhentinya fungsi jantung dan paru, yang berorientasi pada otak. Pelayanan ini bisa
dilakukan di semua unit pelayanan Rumah Sakit Mitra Idaman terhadap individu yang
membutuhkan tindakan ini.
“Bila Penderita Henti Napas Belum Tentu Henti Jantung. Bila Penderita Henti Jantung Secara
Otamatis Penderita Penderita Mengalami Henti Napas. Lakukan RJP Segera”
Tujuan utama resusitasi kardiopulmoner yaitu melindungi otak secara manual dari
kekurangan oksigen, lebih baik terjadi sirkulasi walaupun dengan darah hitam daripada
tidak sama sekali. Sirkulasi untuk menjamin oksigenasi yang adekwat sangat diperlukan
dengan segera karena sel-sel otak menjadi lumpuh apabila oksigen ke otak terhenti selama
8 – 20 detik dan akan mati apabila oksigen terhenti selama 3 – 5 menit (Tjokronegoro,
1998). Kerusakan sel-sel otak akan menimbulkan dampak negatif berupa kecacatan atau
bahkan kematian.
Sebelumnya dalam pedoman pertolongan pertama, kita mengenal ABC: airway,
breathing dan chest compressions, yaitu buka jalan nafas, bantuan pernafasan, dan
kompresi dada. Saat ini kompresi dada didahulukan, baru setelah itu kita bisa fokus pada
airway dan breathing. Pengecualian satu-satunya adalah hanya untuk bayi baru lahir.
Namun untuk RJP bayi, RJP anak, atau RJP dewasa, harus menerima kompresi dada sebelum
kita berpikir memberikan bantuan jalan nafas.
Keberhasilan resusitasi tergantung kepada keadaan miokardium, penyebab
terjadinya henti jantung, kecepatan dan ketepatan tindakanmempertahankan penderita di
perjalanan ke rumah sakit, perawatan khusus di rumah sakit, Umur (tetapi tidak terlalu
menentukan), tatalaksana tindakan resusitasi. Untuk penatalksanaan RJP ini sesuai dengan
SPO Pelayanan RJP.
11
b. Resusitasi cairan
Cairan tubuh adalah cairan suspensi sel di dalam tubuh makhluk multiseluler seperti
manusia atau hewan yang memiliki fungsi fisiologis tertentu. Merupakan pemberian
pelayanan resusitasi cairan kepada pasien secara cepat dalam waktu tertentu yang
diberikan dengan mempertimbangkan penyebab dari kehilangan cairan pasien. Tujuan dari
resusitasi cairan adalah : mengganti kehilangan akut cairan tubuh, untuk ekspansi cepat
dari cairan intravaskuler dan memperbaiki perfusi jaringan.
Dilakukan pada pasien dengan kasus:Syok hypovolemi, Syok haemoragik, Luka
bakar, dehidrasi berat. Pelayanan ini bisa dilakukan di semua unit pelayanan, di mana
pasien ditempatkan. Untuk prosedur pelayanan sesuai dengan SPO Pelayanan Resusitasi
Cairan.
14
Pelaksanaan pelayanan transfusi darah dilakukan dengan menjaga keselamatan dan
kesehatan penerima darah dan tenaga kesehatan dari penularan penyakit melalui transfusi
darah. Penatalaksanaan pelayanan tranfusi darah sesuai SPO pelayanan tranfusi darah.
15
Pelayanan pada pasien dengan immunossupressed termasuk dalam pelayanan risiko
tinggi karena pasien dengan gangguan imune mudah terserang penyakit. Sehingga
terkadang memerlukan ruang khusus karena beberapa pasien dengan kasus
immunossuppressed merupakan penyakit menular dan memerlukan pengawasan khusus.
Untuk penatalaksanaan pasien dengan immunosspressed harus sesuai panduan, kebijakan
dan SPO pelayanan pasien dengan immunossupressed, SPO pemberian immunossupresan
yang berlaku.
Dalam kaitannya dengan pelayanan ini, fokus patient safety dan keselamatan kerja
petugas tetap dilaksanakan. Begitu juga dengan pemberian Informed Consent kepada
pasien dan atau keluarga mutlak harus dilakukan dan pendokumentasian yang tepat.
Berikut beberapa contoh penyakit karena serangan sistem imun tubuh sendiri:
1) Hashimoto tiroiditis (gangguan kelenjar tiroid).
2) Pernisiosaanemia (penurunan sel darah merah yang terjadi ketika tubuh tidak dapat
dengan baik menyerap vitamin B12 dari saluran pencernaan).
3) Penyakit Addison (penyakit yang terjadi ketika kelenjar adrenal tidak memproduksi
cukup hormon).
4) Diabetes tipe I.
5) Rheumatoid arthritis (radang sendi).
6) Systema lupus erythematosus.
7) Dermatomyositis (penyakit otot yang dInformed consentirikan dengan radang dan
ruam kulit).
8) Sjorgen sindrom (kelainan autoimun dimana kelenjar yang memproduksi air mata.
9) Multiple sclerosis (gangguan autoimun yang mempengaruhi otak dan sistem saraf
pusat tulang belakang).
10)Myasthenia gravis (gangguan neuromuskuler yang melibatkan otot dan saraf).
11)Reactive arthritis (peradangan sendi, saluran kencing dan mata).
12)Penyakit Grave (gangguan autoimun yang mengarah ke kelenjar tiroid hiperaktif).
Perkosaan:
Hubungan seksual yang dilakukan seseorang atau lebih tanpa persetujuan korbannya, dan
merupakan tindak kekerasan sebagai ekspresi rasa marah, keinginan/ dorongan untuk
menguasai orang lain dan untuk atau bukan untuk pemuasan seksual. Seks hanya
merupakan suatu senjata baginya untuk menjatuhkan martabat suatu kaum/ keluarga,
dapat dijadikan alat untuk teror dsb. Perkosaan tidak semata-mata sebuah serangan
seksual, tetapi juga merupakan sebuah tindakan yang direncanakan dan bertujuan.
Apabila kita menemukan pasien dengan riwayat kekerasan, maka privasi harus tetap
terjaga baik saat pasien diidentifikasi baik di IGD maupun di HCU. Di mana ruang tersendiri
diperlukan, karena pasien dengan riwayat kekerasan akan mempunyai rasa takut yang
lebih dibandingkan pasien lain. Sehingga rasa aman dan nyaman menjadi fokus utama
dalam pemberian pelayanan pasien dengan riwayat kekerasan.
Penatalaksanaan pasien dengan riwayat kekerasan sesuai panduan, kebijakan dan
SPO yang berlaku. Pendokumentasian juga dilakukan secara tepat.
17
2. Gangguan Nutrisi
Pelayanan pasien dengan gangguan nutrisi merupakan pelayanan kepada pasien
dimana dari pengkajian awal didapatkan adanya gangguan nutrisi yang perlu dilakukan
pengkajian lanjutan di ICU oleh nutrisionis. Dalam pengkajian lanjutan nantinya akan
didapatkan data yang dibutuhkan dalam pengelolaan nutrisi melalui skrinning gizi.
Penatalaksanaan gizi disesuaikan dengan panduan, kebijakan dan SPO yang berlaku.
Informed consent diberikan sebelum dilakukan pentalaksanaan gizi termasuk
pendokumentasiannya. Pengeloaan ataupun asuhan pelayanan nutrisi harus seragam di
semua unit pelayanan rumah sakit.
Gangguan nutrisi bisa berupa kurangnya asupan makanan, yang mungkin
disebabkan oleh kurangnya jumlah makanan yang diberikan, kurangnya kualitas makanan
yang diberikan dan cara pemberian makanan yang salah, adanya penyakit: terutama
penyakit infeksi, mempengaruhi jumlah asupan makanan dan penggunaan nutrien oleh
tubuh. Infeksi apapun dapat memperburuk keadaan gizi, malnutrisi walaupun masih
ringan mempunyai pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Juga ada
gangguan kelebihan asupan, dimana biasanya disebabkan pola makan yang salah dan
gangguan hormon.
PROSEDUR
1. Melakukan tindakan sesuai SPO.
2. Secara umum, setiap pelayanan yang akan kita berikan mempunyai prosedur sbb:
a) Selalu memperkenalkan nama petugas dan memanggil nama pasien untuk
mengetahui apakah pasien tersebut sesuai dengan rekam medik.
b) Menyiapkan lingkungan yang aman bagi pasien pada saat dilakukan asuhan.
c) Memberi informed consent (menjelaskan tentang tindakan yang akan kita lakukan
kepada pasien dan atau keluarga, dan meminta persetujuannya).
d) Laksanakan sesuai prinsip etik, dapat diterima di seluruh budaya, nilai-nilai dan
kepercayaan pasien dan keluarga.
e) Lakukan tindakan sesuai SPO dan catat hasilnya/respon pasien terhadap tindakan
yang kita lakukan dalam catatan perkembangan terintegrasi.
f) Lakukan pengawasan secara lebih intensif.
g) Kolaborasikan dengan semua tim pemberi pelayanan secara komprehensif.
h) Dokumentasikan tindakan/pelayanan serta respon dari pasien secara tepat.
20
BAB IV
DOKUMENTASI
Ditetapkan di Banjar
pada tanggal 31 Agustus 2018
DIREKTUR,
SURIPTO
21