Kak Acuan Surveilans Gizi 2017
Kak Acuan Surveilans Gizi 2017
Kak Acuan Surveilans Gizi 2017
DINAS KESEHATAN
PUSKESMAS ENTIKONG
Jl. Lintas Malindo Entikong (78557)
Telepon (0564) 31294 Email : [email protected]
TENTANG
PROGRAM SURVEILANS GIZI TAHUN 2018
A. PENDAHULUAN
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus merupakan
investasi sumber daya manusia, serta memiliki kontribusi yang besar untuk
meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia. Oleh karena itu, menjadi suatu
keharusan bagi semua pihak untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi
kesehatan demi kesejahteraan masyarakat.
Keadaan gizi yang baik merupakan prasyarat utama dalam mewujudkan
sumber daya manusia yang berkualitas. Masalah gizi terjadi di setiap siklus
kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan (janin), bayi, anak, dewasa dan usia
lanjut. Periode dua tahun pertama kehidupan merupakan masa kritis, karena
pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat.
Gangguan gizi yang terjadi pada periode ini bersifat permanen, tidak dapat
dipulihkan walaupun kebutuhan gizi pada masa selanjutnya terpenuhi.
Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini,
selain masih menghadapi masalah kekurangan gizi, masalah kelebihan gizi juga
menjadi persoalan yang harus kita tangani dengan serius. Dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, perbaikan status gizi
masyarakat merupakan salah satu prioritas dengan menurunkan prevalensi
balita gizi kurang (underweight) menjadi 15% dan prevalensi balita pendek
(stunting) menjadi 32% pada tahun 2014. Hasil Riskesdas dari tahun 2007 ke
tahun 2013 menunjukkan fakta yang memprihatinkan dimana underweight
meningkat dari 18,4% menjadi 19,6%, stunting juga meningkat dari 36,8%
menjadi 37,2%, sementara wasting (kurus) menurun dari 13,6% menjadi 12,1%.
Riskesdas 2010 dan 2013 menunjukkan bahwa kelahiran dengan Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR) <2500 gram menurun dari 11,1% menjadi 10,2%.
Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh kemiskinan
dan pola asuh tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak
berkembang maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa
terjebak dalam kemiskinan. Seribu hari pertama kehidupan seorang anak adalah
masa kritis yang menentukan masa depannya, dan pada periode itu anak
Indonesia menghadapi gangguan pertumbuhan yang serius. Yang menjadi
masalah, lewat dari 1000 hari, dampak buruk kekurangan gizi sangat sulit
diobati. Untuk mengatasi stunting, masyarakat perlu dididik untuk memahami
pentingnya gizi bagi ibu hamil dan anak balita. Secara aktif turut serta dalam
komitmen global (SUN-Scalling Up Nutrition) dalam menurunkan stunting, maka
Indonesia fokus kepada 1000 hari pertama kehidupan (terhitung sejak konsepsi
hingga anak berusia 2 tahun) dalam menyelesaikan masalah stunting secara
terintergrasi karena masalah gizi tidak hanya dapat diselesaikan oleh sektor
kesehatan saja (intervensi spesifik) tetapi juga oleh sektor di luar kesehatan
(intervensi sensitif). Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan Indonesia menunjukkan prevalensi balita berat kurang
berdasarkan indikator berat badan menurut Umur (BB/U) berhasil diturunkan
dari 18,4% tahun 2007 menjadi 17,9% tahun 2010, namun pada tahun 2013
sedikit meningkat menjadi 19,6 %. Prevalensi balita pendek berdasarkan
indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) turun dari 36,8% tahun 2007
menjadi 35,6% tahun 2010, namun pada tahun 2013 sedikit meningkat menjadi
37,2%. Untuk Indikator berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) secara
nasional prevalensi sangat kurus tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3 %,
terdapat penurunan dibandingkan tahun 2010 yaitu 6,0 % dan tahun 2007
sebanyak 6,2 %. Demikian pula halnya dengan prevalensi kurus menurut BB/TB
sebesar 6,8 % juga menunjukkan adanya penurunan dari 7,3 % (tahun 2010)
dan 7,4 % (tahun 2007). Secara keseluruhan prevalensi anak balita kurus dan
sangat kurus menurun dari 13,6 % pada tahun 2007 menjadi 12,1 % pada tahun
2013. Hasil tersebut secara nasional telah mendekati pencapaian target
prevalensi gizi kurang yang ditetapkan dalam Milleniium Development Goals
(MDGs) yaitu 15,5% pada tahun 2015. Meskipun mendekati target pencapaian,
tetapi kondisi ini tetaplah mencengangkan dan sangat memprihatinkan.
Potret yang lebih besar tampak pada hasil Riskesdas 2013, diantara 33
Provinsi di Indonesia, 18 provinsi memiliki prevalensi gizi buruk-kurang diatas
angka prevalensi nasional yaitu berkisar 21,2% sampai 33,1%. Yang dinilai
berdasarkan indikator BB/U. Dari 19 provinsi tersebut, Kalimantan Barat berada
pada urutan ke 6 dengan prevalensi tertinggi. Sedangkan menurut indikator
BB/TB terdapat 17 Provinsi dimana prevalensi kurus diatas angka nasional.
Kalimantan Barat menempati urutan paling atas dengan angka prevalensi kurus
paling tinggi diatas angka nasional. Hal ini merupakan temuan yang
mengkhawatirkan dan harus membutuhkan penanganan yang tepat.
Salah satu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) bidang Kesehatan 2015-2019 adalah menurunkan prevalensi balita
gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 15% dan menurunkan prevalensi balita
pendek menjadi setinggi-tingginya 32%. Uutuk pencapaian RPJMN tersebut,
dalam Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat telah di tetapakan 20 indikator
terbaru yang sebelumnya hanya terdapat 8 indikator kinerja kegiatan pembinaan
gizi masyarakat tahun 2015-2019, yaitu: (1) meningkatkan persentase balita
yang ditimbang berat badannya (D/S) sebanyak 60%, (2) meningkatkan
persentase balita yang mempunyai Buku KIA/KMS (K/S) sebanyak 80%, (3)
meningkatkan persentase balita ditimbang yang naik berat badannya (N/D
Aksen) sebanyak 60%, (4) menurunkan persentase balita ditimbang yang tidak
naik berat badannya (T/D) sampai ambang batas < 40%, (5) menurunkan
persentase balita ditimbang yang tidak naik berat badannya dua kali berturut-
turut (2T/D) sampai ambang batas < 20%, (6) menurunkan persentase balita
Bawah Garis Merah (BGM/D) sampai ambang batas < 5%, (7) Menurunkan
persentase ibu hamil anemia sampai ambang batas < 40%, (8) meningkatkan
persentase ibu hamil yang mendapatkan Tablet Tambah Darah (TTD) 30 tablet
pada pemeriksaan pertama selama masa kehamilan (Fe 1) sebanyak 90%, (9)
meningkatkan persentase ibu hamil yang mendapatkan Tablet Tambah Darah
(TTD) minimal 90 tablet selama masa kehamilan (Fe 3) sebanayak 85%, (10)
meningkatkan persentase remaja putri mendapat Tablet Tambah Darah (TTD)
sebanyak 15%, (11) meningkatkan persentase ibu hamil Kurang Energi Kronis
(KEK) yang mendapat makanan tambahan (PMT) sebanyak 50%, (12)
meningkatkan persentase bayi usia 0-5 bulan mendapat ASI Ekslusif sebanyak
42%, (13) Meningkatkan persentase bayi usia 5 bulan 29 hari mendapat ASI
Ekslusif sebanyak 39%, (14) meningkatkan persentase rumah tangga
mengkonsumsi garam beryodium sebanyak 90%, (15) meningkatkan persentase
kasus balita gizi buruk yang mendapat perawatan sebanyak 100%, (16)
meningkatkan persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan
(PMT) sebanyak 75%, (17) meningkatkan persentase balita usia 6-59 bulan
mendapat kapsul Vitamin A sebanyak 80%, (18) meningkatkan persentase ibu
nifas mendapat kapsul vitamin A sebanyak 60%, (19) meningkatkan persentase
bayi baru lahir yang mendapat IMD sebanyak 41%, (20) menurunkan persentase
bayi dengan berat badan lahir rendah (berat badan < 2500 gram/BBLR) sampai
ambang batas < 12%.
Kabupaten Sanggau, Kecamatan Entikong merupakan daerah yang
cocok untuk dilakukan pembinaan gizi masyarakat, karena beberapa desa di
kecamatan tersebut merupakan daerah yang rawan kejadian malnutrisi.
Memiliki kondisi geografis pegunungan, akses transportasi dan komunikasi
yang tersedia sangat menyulitkan untuk mendapatkan akses pelayanan
kesehatan menjadi penyumbang bagi tingginya kejadian malnutrisi di
Kecamatan Entikong. Berdasarkan Survey yang dilakukan Puskesmas
Entikong pada tahun 2015 pada kegiatan Pemantauan Stataus Gizi secara
Kumulatif ditemukan 5 balita (0,94%) menderita gizi buruk berdasarkan BB/TB
dari jumlah balita yang diukur sebanyak 532 balita dengan sasaran balita
keseluruhan adalah 1799 balita. Kejadian gizi buruk ini tersebar di Entikong
sebanyak 5 balita. Namun, per januari-Maret 2016 melalui data rekapitulasi
laporan gizi, jumlah akumulatif kasus gizi buruk yang ditemukan tersisa 3
orang anak dimana anak ini masih dalam proses perawatan. Sebaran kasus
ini meliputi 1 kasus komplikasi pada penyakit jantung, 1 kasus gizi kurang
yang sudah menyerupai pada kasus gizi buruk, dan 1 kasus gizi buruk
dengan usia umur diatas lima tahun yang disertai penyakit penyerta.
Melihat fakta tersebut, Puskesmas Entikong bekerja sama dengan
Nusantara Sehat tergugah untuk secara aktif turut menyelesaikan persoalan
gizi ini, terutama yang berada di wilayah kerja Puskesmas Entikong, karena
bila dibiarkan maka potensi bahayanya di kemudian hari justru lebih besar.
Untuk mengatasi masalah gizi yang ada saat ini, perlu dilakukan berbagai
upaya perbaikan gizi masyarakat yang bersifat terintegrasi melalui intervensi
spesifik dan intervensi sensitif yang dibentuk, dari, oleh dan untuk
masyarakat dengan pendekatan pelayanan bersifat promotif, kuratif, dan
preventif
Mencermati Permasalahan diatas pendidikan gizi seimbang yang
proaktif serta PHBS menjadi suatu kewajiban yang harus dilaksanakan di
masyarakat, Nusantara Sehat sebagai salah satu komponen yang berfungsi
untuk memperkuat fungsi puskesmas tergerak untuk menjalankan program
peningkatan pelayanan gizi masyarakat. Program yang dirancang merupakan
program yang diarahkan untuk pencapaian RPJMN dalam rencana aksi
pembinaan gizi masyarakat yang ditetapkan dalam upaya menurunkan angka
kejadian malnutrisi. Program-program yang dirancang tersebut salah satunya
adalah program Surveilans Gizi.
B. LATAR BELAKANG
Upaya perbaikan gizi masyarakat sebagaimana disebutkan dalam
Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, bertujuan untuk
meningkatkan mutu gizi perseorangan dan masyarakat, antara lain melalui
perbaikan pola konsumsi makanan, perbaikan perilaku sadar gizi, peningkatan
akses dan mutu pelayanan gizi serta kesehatan sesuai dengan kemajuan ilmu
dan teknologi.
Hasil tiga kali Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yaitu pada tahun
2007, 2010, dan 2013 menunjukkan tidak terjadi banyak perubahan pada
prevalensi balita gizi kurang maupun balita pendek. Pada tahun 2007 prevalensi
balita gizi buruk - kurang adalah 18,4%, pada tahun 2010 17,9% dan pada tahun
2013 19,6%. Demikian pula dengan prevalensi balita pendek pada tahun 2007,
2010, dan 2013 berturut-turut sebesar 36,6%, 35,6% dan 37,2%.
Secara nasional cakupan pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif 0–6
bulan berfluktuasi dari waktu ke waktu. Pada tahun 2007 cakupan ASI Eksklusif
sebesar 62,2% turun menjadi 61,3% pada tahun 2009 dan meningkat menjadi
64,9% pada tahun 2013. Demikian juga cakupan pemberian ASI Eksklusif pada
bayi sampai 6 bulan meningkat dari 28,6% pada tahun 2007 menjadi 34,3%
pada tahun 2009 dan 44,0% pada tahun 2013 (Susenas 2007-2012).
PELINDUNG
Kepala Puskesmas Entikong
dr. Hidayat Samiaji
PELAKSANA
D. TUJUAN Siskawati Laila, S.Gz
1
1. Tujuan Umum
Terselenggaranya kegiatan surveilans gizi untuk memberikan
gambaran perubahan pencapaian kinerja pembinaan gizi masyarakat dan
indikator khusus lainnya yang diperlukan secara cepat, akurat, teratur dan
berkelanjutan dalam rangka pengambilan tindakan segera, perencanaan
jangka pendek dan menegah serta perumusan kebijakan.
2. Tujuan Khusus
Tersedianya informasi secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan
mengenai perubahan pencapaian kinerja pembinaan gizi yang meliputi :
a. Persentase kasus gizi buruk yang mendapat perawatan
b. Persentase balita yang ditimbang berat badannya
c. Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan mendapat ASI Ekslusif
d. Persentase balita 6-59 bulan mendapat vitamin A
e. Persentase remah tangga mengkonsumsi garam beryodium
f. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang KIA/KB.
g. Persentase ibu hamil kurang energi kronik yang mendapat makanan
tambahan
h. Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan
i. Persentase remaja puteri mendapat TTD
j. Persentase ibu nifas mendapat kapsul vitamin A
k. Persentase bayi baru lahir mendapat IMD
l. Persentase bayi dengan berat badan lahir rendah
m. Persentase balita mempunyai buku KIA/KMS
n. Persentase balita ditimbang berat badannya
o. Persentase balita ditimbang yang tidak naik berat badannya dua kali
berturut-turut
p. Persentase ibu hamil anemia.
J. PENUTUP
Demikian kerangka acuan kegiatan ini, dibuat untuk dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.