LPP Ett

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasien kritis merupakan pasien yang berpotensial mengancam jiwa ntuk masalah kesehatan.
Semakin kritis kondisinya, kemungkinan semakin besar menjadi sangat rentan, tidak stabil dan
kompleks, juga membutuhkan perawatan yang intensif dan asuhan keperawatan yang teliti
(American Assosiation of Critical-Care Nurses, 2016). Pasien kritis memerlukan observasi yang ketat
secara terus menerus dan terapi titrasi segera untuk mencegah komplikasi yang merugikan. Pasien
kritis ada yang bersifat akut maupun kritis kronis (Ministry of Healt of Indonesia, 2010).

Rumah Sakit sebagai salah satu penyedia pelayanan kesehatan yang mempunyai fungsi rujukan
harus dapat memberikan pelayanan ICU yang profesional dan berkualitas dengan mengedepankan
keselamatan pasien. Pada unit Perawatan Intensif (ICU), perawatan untuk pasien dilaksanakan
dengan melibatkan berbagai tenaga profesional yang terdiri dari multidisiplin ilmu yang bekerja
sama dalam tim. Pengembangan tim multidisiplin yang kuat sangat penting dalam meningkatkan
keselamatan pasien. Selain itu dukungan sarana, prasarana serta peralatan juga diperlukan dalam
rangka meningkatkan pelayanan (Kemenkes, 2010).

ICU (Intensive Care Unit) adalah salah satu bagian rumah sakit dengan staf dan perlengkapan yang
khusus ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien yang menderita penyakit akut,
kronis, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa dengan harapan masih reversible. ICU
menyediakan perawatan intensif seperti sarana dan prasarana serta peralatan khusus untuk
menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan staf medik, staf perawat, dan staf lain yang
dalam pengelolaannya berpengalaman pada pasien keadaan kritis (Zahra & Arki, 2018).Pasien yang
mengalami penurunan kesadaran umumnya mengalami gangguan jalan nafas, gangguan pernafasan
dan gangguan sirkulasi. Bersihan jalan nafas tidak efektif merupakan ketidakmampuan untuk
melakukan sekresi serta penyempitan jalan nafas oleh sekret atau obstruksi untuk mempertahankan
jalan nafas (Nanda NIC & NOC, 2013).

Perawatan jalan nafas terdiri dari pelembapan adekuat, tindakan suctioning, perubahan posisi, dan
tindakan membuang sekret. Kelembapan saluran nafas dapat dilakukan dengan menggunakan cairan
humidifier, semua udara dialirkan dari ventilator melalui air humidifier, dihangatkan dan dijenuhkan.
Tindakan ini berfungsi untuk mencegah obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh sekresi kering
dan perlengketan mukosa. Suction dilakukan apabila pernafasan terdengar suara ronkhi atau sekresi.
Peningkatan tekanan inspirasi puncak pada ventilator dapat mengindikasikan adanya perlengketan
atau penyempitan jalan nafas oleh sekret, juga menunjukkan kebutuhan untuk dilakukan suction.
Tindakan penghisapan endotracheal dapat menyebabkan beberapa masalah pada pasien kritis bila
dilakukan dengan prosedur tidak benar. Diantaranya penurunan saturasi oksigen, disritmia jantung,
hipotensi, bahkan menyebabkan tekanan intrakranial (Hudak & Gallo, 2010).

Ada dua metode berbeda untuk suction berdasarkan jenis kateter yaitu metode hisap terbuka dan
tertutup. Metode hisap terbuka dengan melapaskan pasien dari ventilator dan memasukkan kateter
suction kedalam saluran napas buatan. Metode hisap tertutup memerlukan sistem suction trakea
yang steril dan memungkinkan pasien untuk tetap menggunakan ventilator ketika suction. Metode
tertutup lebih disukai, karena menunjukkan bahwa metode ini membatasi terjadinya hipoksemia
yang diasosiasikan dengan penghisapan. Ada dua teknik untuk suction menurut kedalaman kateter
suction yaitu penghisapan dangkal dan penghisapan dalam. Untuk penghisapan dangkal, kateter
suction dimasukkan ke selang ETT, dan kemudian di suction. Untuk penghisapan dalam, kateter
suctionnya dimasukkan sampai resistensi terpenuhi, kateter ditarik kembali kira-kira 1 cm, dan
kemudian di suction. Penghisapanan dangkal adalah penghisapan yang efektif untuk pengangkatan
sekresi dan berhubungan dengan komplikasi yang lebih sedikit (Linda et al, 2017).

Terdapat variasi dalam penggunaan tekanan negatif pada suctioning baik pada beberapa literatur
ataupun beberapa penelitian. Muhaji, et al (2017) dalam penelitiannya menjelaskan tentang
comparison of the effectiveness of two levels of suction pressure on oxygen saturation in patients
with endotracheal tube, dimana ada pengaruh yang signifikan secara statistik dari tindakan
penghisapan lendir (suction) dengan menggunakan tekanan 130 mmHg dan tekanan 140 mmHg
terhadap SpO2 pada pasien yang terpasacng ETT dengan p-value <0,005. Berdasarkan penelitian
tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan suction terdapat perbedaan antara suction dengan
tekanan 130 mmHg dan tekanan 140 mmHg dengan p-value 0,004 (<0,005). Perbedaan rata-rata
SpO2 keduanya adalah 13,157.
BAB III

PEMBAHASAN

1. Definisi Endotracheal tube (ETT)


Endotracheal tube (ETT) pertama kali digunakan diawal tahun 1900 (Szmuk, Ezri, Evron,
Roth, & Katz, 2008) dalam bentuk yang sederhana dan terbuat dari bahan polyvinylchloride
(PVC) yang ditempatkan diantara pita suara melalui trakea untuk menyalurkan oksigen dan
gas inhalasi ke paru-paru. Secara umum ETT terbuat dari polyvinylchloride (PVC) namun Ada
juga yang terbuat dari karet,silicone dan stainless steel. ETT juga berfungsi untuk mencegah
terjadinya aspirasi dari cairan lambung dan darah. Perkembangan ETT ini juga diikuti oleh
perkembangan dalam bidang anestesi dan pembedahan (Haas, Eakin, Konkle, & Blank, 2014)
2. ETT
Indikasi utama dalam penggunaan ETT adalah untuk mengamankan jalan napas,
ketidakmampuan untuk mempertahankan jalan napas, mencegah terjadinya aspirasi,
kegagalan dalam ventilasi dan oksigenasi dan untuk mengantisipasi keadaan yang dapat
menyebabkan gagal napas (Haas et al., 2014) .
3. Kontraindikasi
Kontraindikasi pada penggunaan ETT antara lain adanya trauma pada jalan napas atas dan
terjadinya obstruksi pada jalan napas yang tidak memungkinkan dipasang ETT, cedera pada
tulang servikal yang sulit untuk digerakkan dan pada pasien dengan klasifikasi Mallaampati
III/IV yang berpotensi sulit dalam manajemen jalan napas. Sementara itu, komplikasi utama
pada pemasangan ETT pada nasotrakeal antara lain trauma pada wajah, trauma kepala
dengan adanya fraktur basal tengkorak, epistaksis aktif, hematom yang luas pada leher, dan
trauma oropharingeal (Haas et al., 2014).
4. Jenis fiksasi ETT
ETT harus diamankan dengan menggunakan metode non-komersial atau dengan metode
komersial yang dapat meminimalkan pergerakan tabung, memastikan aplikasi yang cepat
dan mudah, dan menunjukkan risiko cedera yang rendah pada tubuh (Fisher et al., 2014).
Teknik non-komersial termasuk mengikat atau memperbaiki dengan menggunakan plester
perekat dan pita tali, masing-masing, lebih pas untuk wajah pasien. Pengaman ETT
komersial, yang didesain menggunakan metode fiksasi cepat, di sekitar belakang leher untuk
stabilitas, menguntungkan karena perangkat ini meningkatkan fiksasi yang kuat, kemudahan
untuk digunakan, mengurangi dan relokasi (Reis, 2013) .
5. Tekanan pada cuff ETT
Tekanan cuff ETT yang ideal pada pasien dewasa yaitu 20-30 cmH2O (Hyzy, 2020)
6. Kedalaman dan ukuran ETT
Endotracheal Tube memiliki panjang dan diameter yang mengacu pada diameter internal
dalam satuan millimeter (mm). Kedalaman pada saat pemasangan ETT idealnya pada laki laki
23 cm dan wanita 21 cm (Haas et al., 2014).

Anda mungkin juga menyukai