Sistem Hukum Indonesia
Sistem Hukum Indonesia
Sistem Hukum Indonesia
Terdapat tiga kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang yang disebutkan oleh Pasal
22D UUD 1945, yaitu: “dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepadaDewan
Perwakilan Rakyat (DPR)”, “ikut membahas RUU”, dan “memberikan pertimbangankepada
DPR”, terhadap rancangan undang-undang tertentu. Ketentuan dalam UUD
1945memerlukan penjabaran atau pengaturan lebih lanjut. Pada saat ini terdapat dua
undang-undang yang menjabarkan ketentuan tersebut, yaitu Undang- Undang Nomor 27 Tahun
2009tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penjabaran ketentuan di dalam kedua
undang-undang tersebut menerjemahkan ketentuan mengenai beberapa hal, misalnya
“DPDmengajukan RUU kepada DPR” maka RUU tersebut kemudian menjadi RUU DPR; “DPD
ikut membahas RUU tertentu” maka pembahasan tersebut dilakukan sebatas
memberikanpandangan dan pendapat.
2. Pasal 1320 ayat (1) KUH PerdataPasal 1320 ayat (1) menyatakan enga ni salah satu syarat
sahnya suatu perjanjian diperlukanadanya “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Pasal
1338 ayat (1) menentukan bahwa“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi yangmembuatnya”.Berdasar pasal dalam KUH Perdata
tersebut, dapatlah dikatakan berlakunya asas konsensualisme di dalam hukum perjanjian
memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak.Tanpa “sepakat” dari salah satu pihak yang
membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuattidak sah, sehingga dapat dibatalkan.
Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikansepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan
paksa disebut Contradictio interminis, adanya paksaan menunjukkan tidak adanya
sepakat.Adanya enga nis dari para pihak, maka menimbulkan kekuatan mengikat
perjanjiansebagaimana undang-undang (pacta sunt servanda). Asas pacta sunt
servanda menjadikekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan hanya kewajiban moral, tetapi
juga kewajibanhukum yang pelaksanaannya wajib ditaati, konsekuensinya hakim maupun pihak
ketiga tidakboleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat para pihak tersebut.Perkataan “semua”
mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang enga n dikenalmaupun yang tidak
dikenal oleh undang-undang. Asas ini berhubungan enga nisi perjanjian,yaitu kebebasan
menentukan “apa” dan “siapa” perjanjian diadakan. Perjanjian yang dibuatsesuai dengan Pasal
1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat (Badrulzaman,2001:84).Maka dari uraian
diatas dapat kita simpulkan bahwa syarat sahnya perjanjian Pasal 1320KUH Perdata yaitu :
adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; Tuan Alimeminjam uang dari
Nn. Barbie sebesar Rp. 400 juta sebagaimana tertuang didalam aktapengakuan hutang No. 22
yang dibuat dihadapan notaris pada tanggal 10 Januari 2017 dan uang tersebut harus
dikembalikan selambat-lambatnya tanggal 10 April 2017, kecakapanuntuk membuat suatu
perikatan;. Suatu pokok persoalan tertentu;, suatu sebab yang tidakterlarang.
3. Perkara korupsi saat ini merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk dibicarakan.Apalagi
jika tindak pidana korupsi dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang terkenaldan memiliki
image bersih dan merakyat. Tindak pidana korupsi oleh pejabatpemerintah
kebanyakan diawali dengan adanya penyim- pangan administratif.Patokan untuk melihat
hal tersebut yang pertama adalah apakah ada samenhang antaraklausula yang menye- babkan
terjadinya penyimpangan adminis- tratif dengankerugian yang menjadi kon- sekuensinya.
Sebagai contoh PP No. 10 Ta hun 2000yang menyeret anggota DPRD karena menafsirkan
kata “dan lain-lain” un- tukmembayarkan premi asuransi para ang- gota DPRD
tersebut. Dimana jika terjadikerugian keuangan negara maka sudah dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidanakorupsi. Kedua adalah mengenai pertanggungja- waban terhadap
penyalahgunaanwewenang yang menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi.
Pertanggungjawabantersebut menu- rut Hukum Administrasi merupakan tang- gungjawab yang
bersifattunggal yang artinya top leaderlah yang menjadi pelaku utama- nya.Ketiga adalah kata
“dapat” dalam frasa “dapat menimbulkan kerugian keuangan ne-gara dan perekonomian negara”.
Penjelasan diatas dirumuskan sebagai delik formil,yaitu adanya tindak pidana korupsi terjadi
karena sudah dipenuhi unsur-unsur yangsudah di- rumuskan oleh delik, tidak didasarkan pada
timbulnya akibat. Penjelasan iniberarti, ada- nya potensial loss saja sudah memiliki
unsur yang cukup untukmembuktikan terjadinya tindak pidana korupsi.Kewenangan atau
wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tatanegara dan hukum administrasi
Penyalahgunaan wewenang dianggap sa- ma dengan unsur melawan hukum. Sepertikita ketahui
bahwa Unsur "melawan hukum" merupakan "genus"nya, sedangkanunsur "pe-
nyalahgunaan wewenang" adalah "species" nya. "Penyalahgunaanwewenang" subjek
deliknya adalah pegawai negeri atau pejabat publik, berbedadengan unsur "melawan
hukum" subjek deliknya setiap orang.`Dalam pemberian suatu kewenangan kepada
orang/badan dapat menimbulkanmasalah baru yaitu penyalahgunaan kewenangan.
Pengertian mengenaipenyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi dapat
diartikan dalam 3(tiga) wujud, yaitu:a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan
tindakan-tindakan yangbertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan
kepentinganpribadi, kelompok atau golongan;b. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa
tindakan pejabat tersebut adalahbenar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi
menyimpang dari tujuankewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau peraturan-
peraturan lainnya;c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur
yangseharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telahmenggunakan
prosedur lain agar terlaksana.Berdasarkan hal diatas, konsep penyalahgunaan wewenang
dalam HukumAdiministrasi Negara dapat dibagi menjadi dua, yaitu:a) Detournement de
pouvoir atau melampaui wewenang/batas kekuasaaanMenurut Wiktionary, “melampaui
wewenang adalah melakukan tindakan di luarwewenang yang telah ditentukan berdasarkan
perundang-undangan tertentu. 18Berdasarkan pengertian dalam pasal 1 angka 3 Undang-
undang No. 37 Tahun 2008tentang Ombudsman Republik Indonesia yang menguraikan unsur
dari pemenuhansuatu tindakan administrasi point kedua: “yang melampaui wewenang,
ataumenggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenangtersebut,
atau termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalampenyelenggaraan
pelayanan publik”19b) Abuse de droit atau sewenang-wenang.Menurut Sjachran Basah “abus
de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaituperbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan
tujuan di luar lingkungan ketentuanperundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian
bahwa untuk menilaiada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan
pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
Bertindaksewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak
dankekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan
sehinggatindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan.Penyalahgunaan kewenangan sangat
erat kaitan dengan terdapatnya ketidaksahan(cacat hukum) dari suatu keputusan dan atau
tindakan pemerintah/ penyelenggaranegara. Cacat hukum keputusan dan/atau tindakan
pemerintah/ penyelenggaranegara pada umumnya menyangkut tiga unsur utama, yaitu unsur
kewenangan,unsur prosedur dan unsur substansi, dengan demikian cacat hukum
tindakanpenyelenggara negara dapat diklasifikasikan dalam tiga macam, yakni:
cacatwewenang, cacat prosedur dan cacat substansi. Ketiga hal tersebutlah
yangmenjadi hakekat timbulnya penyalahgunaan kewenangan.Undang-undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal17 menyatakan bahwa (1) Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dilarangmenyalahgunakan Wewenang. (2) Larangan
penyalahgunaan Wewenangsebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:a. larangan
melampaui Wewenang;b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atauc. larangan
bertindak sewenang-wenang.21Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan
melampaui Wewenangsebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila
Keputusan dan/atauTindakan yang dilakukan:a. melampaui masa jabatan atau batas waktu
berlakunya Wewenang;b. melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atauc.
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkanWewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2) huruf b apabilaKeputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:a. di luar
cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/ataub. bertentangan dengan tujuan
Wewenang yang diberikan.Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak
sewenang- wenangsebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan
dan/atauTindakan yang dilakukan:
2. Dalam konsep hukum administrasi, setiap pemberian wewenang kepada suatu badanatau
kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan maksud“diberikannya
wewenang itu, sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai dengan“tujuan dan maksud“
diberikannya wewenang itu. Dalam hal penggunaan wewenangtersebut tidak sesuai dengan
“tujuan dan maksud“ pemberian wewenang itu makatelah melakukan penyalahgunaan
wewenang (“détour- nement de pouvoir”).Parameter “tujuan dan maksud“ pembe- rian
wewenang dalam menentukan terjadinyapenyalahgunaan wewenang dikenal dengan asas
spesialitas (specialialiteitsbeginsel).Asas ini dikembangkan oleh Mariette Kobussen dalam
bukunya yang berjudul DeVrij- heid Van De Overheid. Secara substansial specialialiteitsbeginsel
mengandungmakna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Dalam
kepustakaanhukum administrasi sudah lama dikenal asas zuiverheid van oogmerk (ketajaman
arahatau tujuan). Menyimpang dari asas ini akan melahirkan “détournement de
pouvoir”.Penyalahgunaan wewenang dalam terdiri dari:A. DiskresiPhilipus M. Hadjon
menyatakan untuk memudahkan memberikan pemahamanten- tang kekuasaan bebas atau
kekuasaan diskresi dengan cara melihat ruanglingkupnya. Ke- kuasaan bebas atau
kekuasaan diskresi me- liputi: (a)kewenangan untuk memutus sen- diri, (b)
kewenangan interpretasi terhadapnorma-norma tersamar atau vage normen (Philipus M.
Hadjon, 2004:6).Pendapat Indriyanto Seno Adji yang me- ngutip dari W. Konijnenbelt
menyatakanbah- wa untuk mengukur penyalahgunaan wewe- nang dengan
menggunakanparameter seba- gai berikut: (a) unsur menyalahgunakan ke- wenangan dinilai
adatidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang idup dalam
masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifatalternatif. (b) Asas
kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atauzorgvul- digheid ini diterapkan
apabila tidak ada per- aturan dasar ataupun AsasKepatutan ini di- terapkan apabila ada
peraturan dasar, sedang- kan peraturandasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada
kondisi dan ke- adaantertentu yang mendesak sifatnya (Indri- yanto Seno Adji, 2009:75-
76).Parameter penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat menggunakanperaturan
perundang-undangan (written ru- les), atau menggunakan parameterasas lega- litas;
sedangkan pada kewenangan bebas (dis- kresi) parameterpenyalahgunaan wewenang
menggunakan asas-asas umum pemerintahan yangbaik, karena asas “wetmatigheid”
tidaklah memadai.B. Cacat ProsedurDi dalam hukum administrasi asas legali-
tas/keabsahan (legaliteitbeginsel/wetmati- gheid van bestuur) mencakup 3 (tiga) aspek yaitu:
wewenang,prosedur dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun sub- stansi
harusberdasarkan peraturan perun- dang-undangan (asas legalitas), karena
padaperaturan perundang-undangan tersebut su- dah ditentukan tujuan diberikannyawewe-
nang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapaisuatu tujuan serta
menyangkut tentang substansinya.Di dalam praktik peradilan sering diper-
tukarkan/dicampur adukan antarapenyalah- gunaan wewenang dengan cacat prosedur
yang seolah-olah cacatprosedur itu in haeren dengan penyalahgunaan wewenang (Nur Basuki
Minarno,2009:82-85
Terbuktinya penyalahgunaan wewenang membawa implikasi yang lebih luasdiban-
dingkan dengan adanya cacat prosedur, yaitu di samping berakibat padapencabutan ke- tetapan
(beschikking) bisa berimplikasi pidana jika denganpenyalahgunaan wewenang
menimbulkan kerugian negara.Sumber
Referensi :https://lldikti11.ristekdikti.go.id/jurnal/pdf/d3246e7b-3092-11e8-9030-54271eb90d3b